Anda di halaman 1dari 38

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1. Gambaran Jaringan Drainase


Drainase merupakan salah satu fasilitas dasar yang dirancang sebagai
sistem guna memenuhi kebutuhan masyarakat dan merupakan komponen penting
dalam perencanaan kota (perencanaan infrastruktur khususnya). Drainase juga
diartikan sebagai suatu cara pembuangan kelebihan air yang tidak diinginkan
pada suatu daerah, serta cara-cara penanggulangan akibat yang ditimbulkan oleh
kelebihan air tersebut. Kegunaan dengan adanya saluran drainase ini adalah
untuk mengeringkan daerah becek dan genangan air sehingga tidak ada
akumulasi air tanah, menurunkan permukaan air tanah pada tingkat yang ideal,
mengendalikan erosi tanah, kerusakan jalan dan bangunan yang ada,
mengendalikan air hujan yang berlebihan sehingga tidak terjadi bencana banjir.
Sebagai salah satu sistem dalam perencanaan perkotaan, maka sistem
drainase yang ada dikenal dengan istilah sistem drainase perkotaan. Drainase
perkotaan yaitu ilmu drainase yang mengkhususkan pengkajian pada kawasan
perkotaan yang erat kaitannya dengan kondisi lingkungan sosial budaya yang ada
di kawasan kota. Drainase perkotaan merupakan sistem pengeringan dan
pengaliran air dari wilayah perkotaan yang meliputi daerah permukiman, kawasan
industri dan perdagangan, kampus dan sekolah, rumah sakit dan fasilitas umum,
lapangan olahraga, lapangan parkir, instalasi militer, listrik, telekomunikasi,
pelabuhan udara.
Sistem jaringan drainase perkotaan umumnya dibagi atas 2 bagian, yaitu :
1. Sistem Drainase Makro
Sistem drainase makro yaitu sistem saluran/badan air yang menampung
dan mengalirkan air dari suatu daerah tangkapan air hujan (Catchment Area).
Pada umumnya sistem drainase makro ini disebut juga sebagai sistem saluran
pembuangan utama (major system) atau drainase primer. Sistem jaringan ini
menampung aliran yang berskala besar dan luas seperti saluran drainase primer,
kanal-kanal atau sungai-sungai. Perencanaan drainase makro ini umumnya

II-1
dipakai dengan periode ulang antara 5 sampai 10 tahun dan pengukuran topografi
yang detail mutlak diperlukan dalam perencanaan sistem drainase ini.
2. Sistem Drainase Mikro
Sistem drainase mikro yaitu sistem saluran dan bangunan pelengkap
drainase yang menampung dan mengalirkan air dari daerah tangkapan hujan.
Secara keseluruhan yang termasuk dalam sistem drainase mikro adalah saluran
di sepanjang sisi jalan, saluran/selokan air hujan di sekitar bangunan, gorong-
gorong, saluran drainase kota dan lain sebagainya dimana debit air yang dapat
ditampungnya tidak terlalu besar. Pada umumnya drainase mikro ini direncanakan
untuk hujan dengan masa ulang 2, 5 atau 10 tahun tergantung pada tata guna
lahan yang ada. Sistem drainase untuk lingkungan permukiman lebih cenderung
sebagai sistem drainase mikro.

Menurut sumber dari Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah


(2002) ada beberapa sarana penunjang bangunan drainase:

1. Lubang air pada dinding saluran (wheep hole) yaitu lubang yang berfungsi
untuk mengalirkan air resapan yang berasal dari tanah sekitar saluran
drainase, sehingga tanah tidak menjadi berlumpur dan becek.

2. Lubang air pada trotoar (street inlet) yaitu lubang yang berfungsi untuk
mengalirkan air yang berasal dari jalan yang beraspal sehingga tidak terjadi
genangan air/banjir.

3. Saringan sampah kasar (bar screen) yaitu saringan sampah yang diletakkan
sebelum terdapatnya kantong lumpur/pasir sehingga sampah yang berukuran
besar tidak dapat masuk ke dalam kantong lumpur/pasir

4. Saringan sampah halus (fine screen) yaitu saringan sampah yang mempunyai
ukuran lebih kecil dari pada ukuran saringan sampah kasar di letakkan pada
gorong-gorong (box culvert) sehingga sampah yang mempunyai ukuran kecil
tidak dapat masuk kedalam gorong-gorong (box culvert).

5. Penutup atas parit (cover slab) yaitu struktur beton bertulang yang diletakkan
di atas bangunan drainase. Umumnya penutup parit ini digunakan pada daerah
perkotaan, hal ini disebabkan karena keterbatasan lahan untuk pembuatan
trotoar (pedestrian).

II-2
Menurut Maryono (2000), pada daerah perkotaan konsep drainase
konvensional atau drainase ramah lingkungan sering dilakukan, dimana dalam
konsep drainase konvensional seluruh air hujan yang jatuh di suatu wilayah harus
secapat-cepatnya dibuang ke sungai dan seterusnya mengalir ke laut. Konsep
drainase konvensional untuk permukiman atau perkotaan dibuat dengan cara
membuat saluran-saluran lurus terpendek menuju sungai .

Bila ditinjau deri segi fisik (hirarki susunan saluran) sistem drainase
perkotaan diklasifikasikan atas saluran primer, sekunder, tersier dan seterusnya.
1. Saluran Primer, saluran yang memanfaatkan sungai dan anak sungai. Saluran
primer adalah saluran utama yang menerima aliran dari saluran sekunder.
2. Saluran Sekunder, saluran yang menghubungkan saluran tersier dengan
saluran primer (dibangun dengan beton/ plesteran semen).
3. Saluran Tersier, saluran untuk mengalirkan limbah rumah tangga ke saluran
sekunder, berupa plesteran, pipa dan tanah.
4. Saluran Kwarter, saluran kolektor jaringan drainase lokal.

II-3
Jaringan sekunder ( saluran 1.1,
1.2, 2.1, 3.1, dan 3.2)
Muara Drainase

Jarin
gan
Jaringan
tersi primer,
er sungai
berad atau
saluran
a di
draianse
setia
utama
p
blok
Gambar 2.1 Jaringan Saluran Drainase Perkotaan
(Suhardjono, 2014 )

Pola jaringan drainase terdiri dari :


a. Pola jaringan siku, dibuat pada daerah yang mempunyai topografi sedikit
lebih tinggi dari pada sungai. Sungai sebagai saluran pembuang akhir
berada di tengah kota.

II-4
Gambar 2.2 Jaringan Drainase Siku

b. Pola jaringan pararel, saluran utama terletak sejajar dengan saluran


cabang. Dengan saluran cabang (sekunder) yang cukup banyak dan
pendek-pendek, apabila terjadi perkembangan kota, saluran-saluran akan
dapat menyesuaikan diri.

Gambar 2.3 Jaringan Drainase Pararel


c. Pola jaringan Grid iron, untuk daerah dimana sungainya terleteak di pinggir
kota, sehingga saluran-saluran cabang dikumpulkan dulu pada saluran
pengumpul.

`
Gambar 2.4 Jaringan Drainase Grid Iron
d. Pola jaringan Alamiah, sama seperti pola siku, hanya sungai pada pola
alamiah lebih besar.

II-5
Gambar 2.5 Jaringan Drainase Alamiah
e. Pola jaringan Radial, pada daerah berbukit sehingga pola saluran
memencar ke segala arah.

Gambar 2.6 Jaringan Drainase Radial


f. Pola jaringan jaring-jaring, mempunyai saluran-saluran pembuang yang
mengikuti arah jalan raya dan cocok untuk daerah dengan topografi datar.

Gambar 2.7 Jaringan Drainase Jaring-Jaring


2.2. Debit Hujan Rancangan
2.2.1. Pemilihan Data Hujan

II-6
Penentuan besar hujan rencana memerlukan data hujan jam-jaman
maksimum tahunan atau kalau data tersebut tidak ada dapat menggunakan data
hujan harian maksimum. Data hujan yang dibutuhkan dalam analisis hidrologi
biasanya adalah data curah hujan rerata dari daerah yang bersangkutan. Secara
teoritis, semakin tinggi kerapatan jaringan, data yang diperoleh semakin baik dan
mewakili, tetapi pada prakteknya akan membutuhkan biaya dan waktu yang besar.
Sehingga para hidrogiwan diharapkan mampu menentukan suatu jaringan stasiun
hujan yang dapat mewakili daerah yang diteliti.
Dalam pemilihan jaringan lokasi stasiun, harus direncanakan untuk
menghasilkan gambaran yang mewakili distribusi daerah hujan. Satu alat ukur
curah hujan dapat mewakili beberapa km persegi, tergantung pada penempatan
letak stasiun dan fungsinya. Jaringan stasiun yang relative renggang cukup untuk
hujan besar yang biasa untuk menentukan nilai rata-rata tahunan di atas daerah
luas yang datar. Sedangkan jaringan yang sangat rapat dibutuhkan guna
menentukan pola hujan dalam hujan yang lebat disertai guntur (Soemarto, 1999).
Kerapatan minimum jaringan stasiun curah hujan telah direkomendasikan World
Meteorogical Organization sebagai berikut :

1. Untuk daerah datar pada zona beriklim sedang, mediteranian, dan tropis, 600
km² sampai 900 km² untuk setiap stasiun.
2. Untuk derah pegunungan pada zona beriklim sedang, mediteranian, dan tropis,
100 km² sampai 250 km² untuk setiap stasiun.
3. Untuk pulau-pulau dengan pegunungan kecil dengan hujan yang tak beraturan,
25 km² untuk setiap stasiun.
4. Untuk zona-zona kering dan kutub, 1.500 km² sampai 10.000 km² untuk setiap
stasiun.
Sehingga curah hujan yang diperlukan untuk penyusunan suatu rancangan
drainase adalah curah hujan rata-rata di seluruh daerah yang bersangkutan,
bukan curah hujan pada suatu titik tertentu. Curah hujan ini disebut curah hujan
wilayah atau daerah dan dinyatakan dalam mm (Soemarto, 1999).

a. Koefisen pengaliran (  )

II-7
Koefisien pengaliran merupakan nilai banding antara bagian hujan yang
membentuk limpasan langsung dengan hujan total yang terjadi. Besaran ini
dipengaruhi oleh tata guna lahan, kemiringan lahan, jenis dan kondisi tanah.
Pemilihan koefisien pengaliran harus memperhitungkan kemungkinan adanya
perubahan tata guna lahan di kemudian hari.
Besarnya koefisien pengaliran dapat diambil sebagai berikut :
1. Perumahan tidak begitu rapat ( 20 rumah/ha )  = 0.25 – 0.40
2. Perumahan kerapatan sedang ( 20 – 60 rumah/ha )  = 0.40 – 0.70
3. Perumahan rapat ( 60 – 160 rumah/ha )  = 0.70 – 0.80
4. Taman dan daerah rekreasi  = 0.20 – 0.30
5. Daerah industri  = 0.80 – 0.90
6. Daerah perniagaan  = 0.90 – 0.95
b. Koefisien penyebaran hujan (  )
Koefisien penyebaran hujan () merupakan nilai yang digunakan untuk
mengoreksi pengaruh penyebaran hujan yang tidak merata pada suatu daerah
pengaliran. Nilai besaran ini tergantung dari kondisi dan luas daerah pengaliran.
Untuk daerah yang relatif kecil biasanya kejadian hujan dianggap merata sehingga
nilai koefisien penyebaran hujan  diambil 1. Besarnya koefisien ini yang
tergantung dari luas daerah pengaliran dapat dilihat dalam tabel berikut.
Tabel 2.1 Tabel Koefisien Penyebaran Hujan
Luas daerah pengaliran (km2) Koefisien penyebaran hujan ()
0–4 1
5 0.995
10 0.980
15 0.955
20 0.920
25 0.875
30 0.820
50 0.500
(Sumber : Priseila Pentewati; Buku Ajar Drainase Perkotaan FT. UNWIRA Jurusan
Teknik Sipil)

2.2.2. Uji Konsistensi

II-8
Uji konsistensi bertujuan untuk menguji kebenaran data yang diperoleh,
karena data hasil dari pengukuran curah hujan tidak sepenuhnya benar.
Kesalahan data disebabkan karena perubahan lokasi stasiun hujan, perubahan
sistem lingkungan atau perubahan prosedur pengamatan yang sangat
berpengaruh terhadap pengukuran curah hujan yang ada. Hasil dari pengukuran
tersebut bisa saja tidak sesuai dan tidak konsisten sehingga menyebabkan
penyimpangan terhadap hasil perhitungan.
Data hujan disebut konsisten jika data yang terukur dan dihitung adalah
teliti dan benar serta sesuai dengan fenomena saat hujan itu terjadi. Konsistensi
data dari suatu stasiun pengamatan dapat dilakukan dengan metode kurva massa
ganda (double mass curve). Metode kurva massa ganda digunakan untuk data
curah hujan tahunan dengan jangka waktu pengamatan yang panjang. Metode ini
membandingkan hujan kumulatif dari stasiun hujan yang diteliti dengan harga-
harga kumulatif curah hujan rata-rata dari beberapa stasiun hujan yang
berdekatan. Nilai kumulatif tersebut digambarkan pada sistem koordinat kartesian
x-y, kurva tersebut diperiksa untuk melihat kemiringan (trend). Jika garis
berbentuk lurus, berarti data konsisten. Jika kemiringan patah/berubah, berarti
data tidak konsisten perlu dikoreksi dengan mengalikan data setelah kurva
berubah dengan perbandingan kemiringan setelah dan sebelum kurva patah.
Data – data hujan dipakai untuk keperluan perencanaan drainase adalah
data hujan harian maksimum dan memenuhi persyaratan baik kualitas maupun
kuantitas. Untuk menentukan kecocokan (the goodness of fit test) distribusi
frekuensi dari sampel data terhadap fungsi distribusi peluang yang diperkirakan
dapat menggambarkan/mewakili distribusi frekuensi tersebut diperlukan pengujian
parameter. Pengujian parameter dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu Chi-
Kuadrat ataupun dengan Smirnov-Kolmogorov. Umumnya pengujian dilaksanakan
dengan menggambarkan pada kertas peluang dan menentukan apakah data
tersebut merupakan garis lurus, atau dengan membandingkan kurva frekuensi dari
data pengamatan terhadap kurva teoritisnya (Soewarno, 1995).

a. Uji Chi-Kuadrat

II-9
Uji chi-kuadrat dimaksudkan untuk menentukan apakah persamaan
distribusi peluang yang telah dipilih dapat mewakili dari distribusi statistik sampel
data yang dianalisis. Pengambilan keputusan uji ini menggunakan parameter x 2,
oleh karena itu disebut dengan uji Chi-Kuadrat.
Adapun prosedur pengujian Chi-kuadrat adalah sebagai berikut :
1. Urutkan data pengamatan (dari yang terbesar ke yang terkecil atau
sebaliknya)
2. Kelompokan data menjadi G sub-grup yang masing–masing beranggotakan
minimal 4 data pengamatan
3. Jumlahkan data pengamatan sebesar O f tiap–tiap sub-grup
4. Jumlahkan data dari persamaan distribusi yang digunakan sebesar E f

(Of – Ef)2
5. Pada tiap sub grup hitung nilai (Of – Ef) dan
2

Ef
(Of – Ef)2
6. Jumlah seluruh G sub-grup nilai untuk menentukan nilai chi-kuadrat
Ef
7. Tentukan derajat kebebasan dk = G-R-1 (nilai R = 2 untuk distribusi normal
dan binominal, nilai R = 1 untuk distribusi poisson dan gumbel).
Adapun kriteria penilaian hasilnya adalah sebagai berikut :
a. Apabila peluang lebih dari 5% maka persamaan distribusi teoritis yang
digunakan dapat diterima.
b. Apabila peluang lebih kecil dari 1% maka persamaan distribusi teoritis yang
digunakan dapat diterima.
c. Apabila peluang berada diantara 1% - 5%, maka tidak mungkin mengambil
keputusan, perlu penambahan data.
b. Uji Smirnov-Kolomogorov
Uji kecocokan Smirnov-Kolomogorov, sering juga disebut uji kecocokan
non parametrik (non parametrik test), karena pengujiannya tidak menggunakan
fungsi distribusi tertentu. Pengujian kecocokan sebaran dengan cara ini dinilai
lebih sederhana dibanding dengan pengujian dengan cara Chi-Kuadrat. Dengan
membandingkan kemungkinan (probability) untuk setiap variat, distribusi empiris
dan teoritisnya, akan terdapat perbedaan (  ) tertentu.

II-10
Apabila harga  max yang terbaca pada kertas probabilitas lebih kecil dari
 kritis maka distribusi teoritis yang digunakan untuk menentukan persamaan
distribusi dapat diterima, apabila  max lebih besar dari  kritis maka distribusi
teoritis yang digunakan untuk menentukan persamaan distribusi tidak dapat
diterima.

2.2.3. Pemilihan Distribusi Hujan Rancangan


Curah hujan rancangan adalah analisis berulangnya suatu peristiwa hujan
dengan besaran, baik frekuensi persatuan waktu maupun kala ulangnya. Metode
yang digunakan adalah dengan analisa – analisa statistik dengan distribusi –
distribusi sebagai berikut (Soemarto, 1987) :
1. Distribusi Binominal
2. Distribusi Poison
3. Distribusi Gamma Berparameter Dua
4. Distribusi Gumbel Type 1
5. Distribusi Gumbel Type 3
6. Distribusi Goodrich
7. Distribusi Frechet
8. Distribusi Normal
9. Distribusi Log Normal
10. Distribusi Log Pearson Type 3
Pemilihan distribusi ditetapkan berdasarkan nilai koefisien kemencengan
(skewness) dan koefisien kepuncakan (kurtosis) yang dirumuskan sebagai berikut:
Tabel 2.2 Distribusi Nilai Koefisien Kemencengan (skewness) dan Koefisien Kepuncakan (kurtosis)
Untuk Jenis Metode Yang Dipakai
Je Jenis Sebaran Sy Syarat
Cs Cs  0
No Normal
Ck Ck = 3
Cs Cs  1,1396
G Gumbel Type I
Ck Ck  5, 4002
Lo log Pearson Type III Cs Cs  0
Cs Cs  3Cv + Cv2 = 3
L log Normal
Ck Ck = 5,383
(Sumber : CD. Soemarto,1999)

II-11
Analisis frekuensi diperlukan seri data hujan yang diperoleh dari pos
penakar hujan, baik yang manual maupun yang otomatis. Analisis frekuensi ini
didasarkan pada sifat statistik data kejadian yang telah lalu untuk memperoleh
probabilitas besaran hujan yang akan datang. Dengan anggapan bahwa sifat
statistik kejadian hujan yang akan datang masih sama dengan sifat statistik
kejadian hujan masa lalu (Suripin, 2004).

Perencanaan persungaian biasanya diadakan setelah ditentukannya


batas–batas besaran hidrologi yang terjadi karena fenomena alam yang
mendadak dan tidak normal. Karena itu perlu dihitung kemungkinan debit atau
curah hujan yang lebih kecil atau lebih besar dari suatu nilai tertentu, berdasarkan
data – data yang diperoleh sebelumnya (Sosrodarsono dan Tominaga, 1985).

a. Pengukuran Dispersi
Dalam analisis frekuensi curah hujan data hidrologi dikumpulkan, dihitung,
disajikan dan ditafsirkan dengan menggunakan prosedur tertentu, yaitu metode
statistik. Pada kenyataannya bahwa tidak semua varian dari suatu variabel
hidrologi terletak atau sama dengan nilai rata – ratanya. Variasi atau dispersi
adalah besarnya derajat atau besaran varian di sekitar nilai rata – ratanya. Cara
mengukur besarnya dispersi disebut pengukuran dispersi.

Distribusi frekuensi digunakan untuk memperoleh probabilitas besaran


curah hujan rencana dalam berbagai periode ulang. Pada kenyataannya bahwa
tidak semua varian dari suatu variabel hidrologi terletak atau sama dengan nilai
rata-ratanya. Variasi atau dispersi adalah besarnya derajat atau besaran varian di
sekitar nilai rata-ratanya. Cara mengukur besarnya dispersi disebut pengukuran
dispersi (Soewarno, 1995).

Dasar perhitungan distribusi frekuensi adalah parameter yang berkaitan


dengan analisis data yang meliputi rata-rata, simpangan baku, koefisien variasi,
dan koefisien skewness (kecondongan atau kemiringan).

1. Deviasi Standar (S)


Umumnya ukuran dispersi yang paling banyak digunakan adalah deviasi
standar (standard deviation) dan varian (variance). Varian dihitung sebagai nilai

II-12
kuadrat dari deviasi standar. Apabila penyebaran data sangat besar terhadap nilai
rata-rata maka nilai standar deviasi akan besar, akan tetapi apabila penyebaran
data sangat kecil terhadap nilai rata-rata maka standar deviasi akan kecil.
Rumus ;


n
1
S= ∑ ( X −X )2
n−1 i=1 i
............................................................(2.1)

Dimana :
S = deviasi standar
Xi = nilai variat
X = nilai rata-rata
n = jumlah data
2. Koefisien Skewness (Cs)
Kemencengan (skewness) adalah suatu nilai yang menunjukkan derajat
ketidaksimetrisan (asymetry) dari suatu bentuk distribusi. Umumnya ukuran
kemencengan dinyatakan dengan besarnya koefisien kemencengan (coefficient of
skewness).
Rumus :
n
n ∑ (X i− X)
3

i=1 ............................................................(2.2)
Cs= 3
( n−1 ) (n−2) S
Dimana :
CS = koefisien kemencengan
Xi = nilai variat
X = nilai rata-rata
n = jumlah data
S = standar deviasi
3. Pengukuran Kurtosis (Ck)
Pengukuran kurtosis dimaksudkan untuk mengukur keruncingan dari
bentuk kurva distribusi, yang umumnya dibandingkan dengan distribusi normal.
Rumus :
n
1
∑ ( X − X)4
n i=1 i ............................................................(2.3)
Ck= 4
S

II-13
Dimana :
Ck = koefisien kepuncakan (kurtosis)
Xi = nilai variat
X = nilai rata-rata
n = jumlah data
S = standar deviasi
4. Koefisien Variasi (Cv)
Koefisien variasi (variation coefficient) adalah nilai perbandingan antara
deviasi standar dengan nilai rata-rata hitung dari suatu distribusi.
Rumus :
S
Cv= ............................................................(2.4)
X
Keterangan :
Cv = koefisien variasi
S = standar deviasi
X = nilai rata-rata
Dari nilai-nilai diatas, kemudian dilakukan pemilihan jenis sebaran yaitu
dengan membandingkan koefisien distribusi dari metode yang akan digunakan.
Berdasarkan ilmu statistik dikenal beberapa macam distribusi frekuensi yang
banyak digunakan dalam bidang hidrologi. Berikut ini empat jenis distribusi
frekuensi yang paling banyak digunakan dalam bidang hidrologi:
a. Distribusi Normal
Distribusi normal atau kurva normal disebut juga distribusi Gauss.
Perhitungan curah hujan rencana menurut metode distribusi normal, mempunyai
persamaan sebagai berikut:
X T = X+ K T S ........................................................................(2.5)

Keterangan:
XT = Perkiraan nilai yang diharapkan terjadi dengan periode ulang T- tahunan
X = Nilai rata-rata hitung variat
S = Deviasi standar nilai variat
KT = Faktor frekuensi

II-14
Untuk mempermudah perhitungan, nilai faktor frekuensi (K T) umumya
sudah tersedia dalam tabel, disebut sebagai tabel nilai variabel reduksi Gauss
(Variable reduced Gauss), seperti ditunjukkan dalam Tabel 2.3

Tabel 2.3 Nilai Variabel Reduksi Gauss


No Periode ulang T Peluang KT
(Tahun)
1 1,001 0,999 -3,05
2 1,005 0,995 -2,58
3 1,010 0,990 -2,33
4 1,050 0,950 -1,64
5 1,110 0,900 -1,28
6 1,250 0,800 -0,84
7 1,330 0,750 -0,67
8 1,430 0,700 -0,52
9 1,670 0,600 -0,25
10 2,000 0,500 0
11 2,500 0,400 0,25
12 3,330 0,300 0,52
13 4,000 0,250 0,67
14 5,000 0,200 0,84
15 10,000 0,100 1,28
16 20,000 0.050 1,64
17 50,000 0,020 2,05
18 100,000 0,010 2,33
19 200,000 0,005 2,58
20 500,000 0,002 2,88
21 100,000 0,001 3,09
(Sumber : Suripin (2004))

b. Distribusi Log Normal


Dalam distribusi log normal data X diubah kedalam bentuk logaritmik Y =
log X. Jika variabel acak Y = log X terdistribusi secara normal, maka X dikatakan
mengikuti Distribusi Log Normal. Untuk distribusi Log Normal perhitungan curah
hujan rencana menggunakan persamaan berikut ini :
Y T =Ȳ + K T S ........................................................................(2.6)

Y T −Ȳ
KT= ........................................................................(2.7)
S
Keterangan:
YT = perkiraan nilai yang diharapkan terjadi dengan periode ulang T-tahun
Ȳ = nilai rata-rata hitung variat
S = deviasi standar nilai variat

II-15
KT = faktor frekuensi
c. Distribusi Gumbel
Faktor frekuensi untuk distribusi ini dapat dihitung dengan mempergunakan
persamaan sebagai berikut :
1. Besarnya curah hujan rata-rata dengan rumus :
n
1
X= ∑ Xi ........................................................................(2.8)
n i=1
2. Hitung standar deviasi dengan rumus :


n
1
Sd= ∑
n−1 i=1
( X i− X)2 ........................................................................(2.9)

3. Hitung besarnya curah hujan untuk periode ulang t tahun dengan rumus :
Y T −Y n
X T =x + Sd ......................................................................(2.10)
σn
Keterangan :
Xt = Besarnya curah hujan untuk t tahun (mm)
Yt = Besarnya curah hujan rata-rata untuk t tahun (mm)
Yn = Reduce mean deviasi berdasarkan sampel n
σn = Reduce standar deviasi berdasarkan sampel n
n = Jumlah tahun yang ditinjau
Sd = Standar deviasi (mm)
x = Curah hujan rata-rata (mm)
Xi = Curah hujan maximum (mm)
Harga Yn berdasarkan banyaknya sampel n dapat dilihat pada tabel 2.4
berikut ini:
Tabel 2.4 Hubungan reduce mean (Yn) dengan banyaknya sampel (n)
n. 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

10 0,4952 0,4996 0,5035 0,5070 0,5100 0,5128 0,5157 0,5181 0,5202 0,5220

20 0,5236 0,5252 0,5268 0,5283 0,5296 0,5309 0,5320 0,5332 0,5343 0,5353

30 0,5362 0,5371 0,5380 0,5388 0,5396 0,5402 0,5410 0,5418 0,5424 0,5430

40 0,5436 0,5442 0,5448 0,5453 0,5453 0,5463 0,5468 0,5473 0,5477 0,5481

II-16
50 0,5485 0,5489 0,5493 0,5497 0,5501 0,5504 0,5508 0,5511 0,5518 0,5518

60 0,5521 0,5524 0,5527 0,5530 0,5533 0,5535 0,5538 0,5540 0,5543 0,5545

70 0,5548 0,5550 0,5552 0,5555 0,5557 0,5559 0,5561 0,5563 0,5565 0,5567

80 0,5569 0,5570 0,5572 0,5574 0,5576 0,5578 0,5580 0,5581 0,5583 0,5585

90 0,5586 0,5587 0,5589 0,5591 0,5592 0,5593 0,5596 0,5596 0,5598 0,5599

100 0,5600

(Sumber : Tata Cara Perencanaan Sistem Drainase Perkotaan, Nomor 12/Prt/M/2014)

Hubungan periode ulang untuk t tahun dengan curah hujan rata - rata dapat dilihat
pada tabel 2.5
Tabel 2.5 Periode ulang untuk t tahun
Kala ulang (tahun) Faktor reduksi
(Yt)
2 0,3665
5 1,4999
10 2,2502
25 3,1985
50 3,9019
100 4,6001
(Sumber : Tata Cara Perencanaan Sistem Drainase Perkotaan, Nomor 12/Prt/M/2014)

Harga reduce standar deviasi (σn) dapat dilihat pada tabel 2.6
Tabel 2.6 Hubungan reduce standar deviasi (σn) dengan banyaknya sampel (n)

II-17
n Sn n Sn n Sn n Sn
10 0.9496 34 1.1255 58 1.1721 82 1.1953
11 0.9676 35 1.1285 59 1.1734 83 1.1959
12 0.9933 36 1.1313 60 1.1747 84 1.1967
13 0.9971 37 1.1339 61 1.1759 85 1.1973
14 1.0095 38 1.1363 62 1.1770 86 1.1980
15 1.0206 39 1.1388 63 1.1782 87 1.1987
16 1.0316 40 1.1413 64 1.1793 88 1.1994
17 1.0411 41 1.1436 65 1.1803 89 1.2001
18 1.0493 42 1.1458 66 1.1814 90 1.2007
19 1.0565 43 1.1480 67 1.1824 91 1.2013
20 1.0628 44 1.1499 68 1.1834 92 1.2020
21 1.0696 45 1.1519 69 1.1844 93 1.2026
22 1.0754 46 1.1538 70 1.1854 94 1.2032
23 1.0811 47 1.1557 71 1.1863 95 1.2038
24 1.0864 48 1.1574 72 1.1873 96 1.2044
25 1.0915 49 1.1590 73 1.1881 97 1.2049
26 1.1961 50 1.1607 74 1.1890 98 1.2055
27 1.1004 51 1.1623 75 1.1898 99 1.2060
28 1.1047 52 1.1638 76 1.1906 100 1.2065
29 1.1086 53 1.1658 77 1.1915
30 1.1124 54 1.1667 78 1.1923
31 1.1159 55 1.1681 79 1.1930
32 1.1193 56 1.1696 80 1.1938
33 1.1226 57 1.1708 81 1.1945

(Sumber : Tata Cara Perencanaan Sistem Drainase Perkotaan, Nomor 12/Prt/M/2014


d. Distribusi Log Pearson III
Distribusi Log Pearson Type III banyak dugunakan dalam analisis hidrologi,
terutama dalam analisis data maksimum (banjir) dan minimum (debit minimum)
dengan nilai ekstrim. Bentuk distribusi Log Pearson Type III merupakan hasil dari
transformasi dari distribusi Pearson Type III dengan mengganti varian menjadi
nilai logaritma. Data hujan harian maksimum tahunan sebanyak n tahun diubah
dalam bentuk logaritma. Langkah-langkah dalam perhitungan curah hujan rencana
berdasarkan perhitungan Log Pearson Type III sebagai berikut (Soemarto, 1999).
1. Hitung rata-rata logaritma dengan rumus :
n
1
log X = ∑ log X i
n i=1
..........................................................(2.11)

2. Hitung simpangan baku dengan rumus :


n
1
Sd= ∑ (log X i−logX )2
n−1 i=1
..........................................................(2.12)

3. Hitung Koefisien Kemencengan dengan rumus :


n
n ∑ (log X i−log X)3
i−1 ..........................................................(2.13)
G= 3
( n−1 ) (n−2)Sd

II-18
4. Hitung logaritma curah hujan rencana dengan periode ulang tertentu :
log X T =log X+ K . Sd ..........................................................(2.14)

Keterangan:
Log X = Rata-rata logaritma data
n = Banyaknya tahun pengamatan
Sd = Standar deviasi
G = Koefisien kemencengan
K =Variabel standar (standardized variable) untuk X yang besarnya
tergantung koefisien kemiringan G
Besarnya harga K berdasarkan nilai G dan tingkat probabilitasnya dapat dilihat
pada Tabel 2.7

Tabel 2.7 Distribusi Log Pearson Type III untuk Koefisien Kemencengan G
Interval kejadian (Recurrence interval), tahun (periode ulang)

1,0101 1,2500 2 5 10 25 50 100

Koef, G Persentase peluang terlampaui (Percent chance of being


exceeded)
99 80 50 20 10 4 2 1
3,0 -0,667 -0,636 -0,396 0,420 1,180 2,278 3,152 4,051
2,8 -0,714 -0,666 -0,384 0,460 1,210 2,275 3,114 3,973
2,6 -0,769 -0,696 -0,368 0,499 1,238 2,267 3,071 2,889
2,4 -0,832 -0,725 -0,351 0,537 1,262 2,256 3,023 3,800
2,2 -0,905 -0,752 -0,330 0,574 1,284 2,240 2,970 3,705
2,0 -0,990 -0,777 -0,307 0,609 1,302 2,219 2,192 3,605
1,8 -1,087 -0,799 -0,282 0,643 1,318 2,193 2,848 3,499
1,6 -1,197 -0,817 -0,254 0,675 1,329 2,163 2,780 3,388
1,4 -1,318 -0,832 -0,225 0,705 1,337 2,128 2,706 3,271
1,2 -1,449 -0,844 -0,195 0,732 1,340 2,087 2,626 3,149
1,0 -1,588 -0,852 -0,164 0,758 1,340 2,043 2,542 3,022

II-19
0,8 -1,733 -0,856 -0,132 0,780 1,336 1,993 2,453 2,891
0,6 -1,880 -0,857 -0,099 0,800 1,328 1,939 2,359 2,755
0,4 -2,029 -0,855 0,066 0,816 1,317 1,880 2,261 2,615
0,2 -2,178 -0,850 -0,033 0,830 1,301 1,818 2,159 2,472
0,0 -2,326 -0,842 0,000 0,842 1,282 1,751 2,051 2,326
-0,2 -2,472 -0,830 0,033 0,850 1,258 1,680 1,945 2,178
-0,4 2,615 -0,816 0,066 0,855 1,231 1,606 1,834 2,029
-0,6 -2,755 -0,800 0,099 0,857 1,200 1,528 1,720 1,880
-0,8 -2,891 -0,780 0,132 0,856 1,166 1,448 1,606 1,733
-1,0 -3,022 -0,758 0,164 0,852 1,128 1,366 1,492 1,588
-1,2 -2,149 -0,732 0,195 0,844 1,086 1,282 1,379 1,449
-1,4 -2,271 -0,705 0,225 0,832 1,041 1,198 1,270 1,318
-1,6 -2,388 -0,675 0,254 0,817 0,994 1,116 1,166 1,197
-1,8 -3,499 -0,643 0,282 0,799 0,945 1,035 1,069 1,087
-2,0 -3,605 -0,609 0,307 0,777 0,895 0,959 0,980 0,990
-2,2 -3,705 -0,574 0,330 0,752 0,844 0,888 0,900 0,905
-2,4 -3,800 -0,537 0,351 0,725 0,795 0,823 0,830 0,832
-2,6 -3,889 -0,490 0,368 0,696 0,747 0,764 0,768 0,769
-2,8 -3,973 -0,469 0,384 0,666 0,702 0,712 0,714 0,714
-3,0 -7,051 -0,420 0,396 0,636 0,660 0,666 0,666 0,667
(Sumber : Suripin, 2004:43)

2.2.4. Perhitungan Curah Hujan Rancangan


Curah hujan rancangan adalah curah hujan terbesar yang mungkin terjadi
pada suatu daerah tertentu pada periode ulang tertentu, yang dipakai sebagai
dasar perhitungan dalam perencanaan suatu dimensi bangunan air.
Menentukan curah hujan rerata harian maksimum daerah dilakukan
berdasarkan pengamatan beberapa stasiun pencatat hujan. Perhitungan curah
hujan rata-rata maksimum ini dapat menggunakan beberapa metode, diantaranya
menggunakan metode rata –rata aljabar, garis Isohiet, dan poligon Thiessen .
A. Cara rata-rata Aljabar
Cara ini menggunakan perhitungan rata-rata secara aljabar, tinggi curah
hujan diambil dari harga rata-rata dari stasiun pengamatan di dalam daerah yang
ditinjau.

II-20
Persamaan rata-rata aljabar :
1
R= (R 1+ R 2+… ..+ R n) .............................................(2.15)
n
Dimana :

R = Curah hujan rata-rata rendah.

n = Jumlah titik atau pos pengamatan.

R1 + R2 +… + Rn = curah hujan ditiap titik pengamatan.

B. Cara Garis Isohiet


Peta isohiet digambarkan pada peta topografi dengan perbedaan (interval)
10 mm sampai 20 mm berdasarkan data curah hujan pada titik-titik pengamatan
didalam dan di sekitar daerah yang dimaksud. Luas daerah antara dua garis
isohiet yang berdekatan diukur dengan planimeter. Demikian pula harga rata-rata
dari garis-garis isohiet yang berdekatan yang termasuk bagian-bagian daerah itu
dapat dihitung. Curah hujan daerah itu dapat dihitung menurut persamaan sebagai
berikut:

R = A1R1 + A2R2 + …… + AnRn ...........................................(2.16)

A1 + A2 + ……. + An .............................................(2.17)

Dimana :
R = Curah hujan daerah
A1, A2, …, An = Luas daerah yang mewakili titik pengamatan
R1, R2, …,Rn = Curah hujan setiap titik pengamatan.

II-21
Gambar 2.8 Garis Isohiet

C. Metode Poligon Thiessen


Cara ini memberikan bobot tertentu untuk setiap stasiun hujan dengan
pengertian bahwa setiap stasiun hujan dianggap mewakili hujan dalam suatu
daerah dengan luas tertentu. Dan luas tersebut merupakan faktor koreksi
(weighing factor) bagi hujan di stasiun yang bersangkutan.
Luas masing-masing daerah tersebut diperoleh dengan cara berikut:
1) Semua stasiun yang terdapat didalam dihubungkan dengan garis sehingga
terbentuk jaringan segitiga-segitiga.
2) Pada masing-masing segitiga ditarik garis sumbunya, dan semua garis sumbu
tersebut membentuk poligon.
3) Luas daerah yang hujannya dianggap diwakili oleh salah satu stasiun yang
bersangkutan adalah daerah yang dibatasi oleh garis-garis poligon tersebut
atau dengan batas DAS.
4) Luas relatif daerah ini dengan luas DAS merupakan faktor koreksinya. Rumus
yang digunakan sebagai berikut (Soemarto, 1999) :
A1 d 1 + A 2 d 2+ …+ A n d n
d= ................................(2.18)
A 1+ A 2 +…+ An
d= p 1 . d 1+ p 2 . d 2 +…+ pn . d n ................................(2.19)

Dimana:
d = Curah hujan harian rerata maksimum (mm)
dn = Curah hujan pada stasiun penakar (mm)
An = Luas daerah pengaruh stasiun pencatat hujan (km 2)
Pn= Faktor koreksi (An/∑ A )
Prosedur untuk mendapatkan curah hujan maksimum harian rata-rata daerah
adalah sebagai berkut :
a. Tentukan curah hujan harian maksimum pada stasiun-stasiun lain pada bulan
untuk masing-masing stasiun
b. Cari besarnya curah hujan pada stasiun-stasiun lain pada bulan kejadian yang
sama dalam tahun sama
c. Dalam tahun yang sama, dicari hujan maksimum tahunan untuk stasiun
berikutnya

II-22
d. Dengan metode Thiesen dipilih salah satu yang tertinggi pada setiap tahun
Data curah hujan yang terpilih adalah merupakan data hujan maksimum daerah
(basin rainfall)

Gambar 2.9 Poligon Thiesen


(Sumber:Soemarto (1999))
Cara Thiessen ini memberikan hasil yang lebih teliti dari pada cara aljabar.
Akan tetapi penentuan titik pengamatan dan pemilihan ketinggian akan
mempengaruhi ketelitian hasil yang didapat. Kerugian yang lain umpamanya untuk
penentuan kembali jaringan segitiga jika terdapat kekurangan pengamatan pada
salah satu titik pengamatan.

2.3. Debit Banjir Rancangan


2.3.1. Penentuan Batas DAS
Daerah aliran sungai (DAS) didefinisikan sebagai hamparan wilayah yang
dibatasi oleh pembatas topografi (punggung bukit) yang menerima,
mengumpulkan air hujan, sedimen, dan unsur hara serta mengalirkannya melalui
anak-anak sungai dan keluar pada satu titik (outlet) (Dunne dan Leopold, 1978).
Pemilihan metode mana yang cocok dipakai pada suatu DAS dapat ditentukan
dengan mempertimbangkan tiga faktor. Faktor – faktor tersebut adalah sebagai
berikut (Suripin ,2004:31):
1. Jaring-jaring pos penakar hujan dalam DAS
2. Luas DAS
3. Topografi DAS

II-23
Tabel 2.8 Cara Memilih Metoda Curah Hujan
Faktor-Faktor Syarat-Syarat Jenis Metoda
Metoda Isohiet, Thiessen
Jumlah Pos Penakar Hujan Atau Rata-Rata Aljabar
Cukup
Jaring-Jaring dapat dipakai
Pos Penakar
Jumlah Pos Penakar Hujan Metoda Rata-Rata Aljabar
Hujan Dalam Terbatas atau Thiessen
DAS
Pos Penakar Hujan Tunggal Metoda Hujan Titik

2
DAS Besar (>5000 km ) Metoda Isohiet

2
Luas DAS DAS Sedang (500 s/d 5000 km ) Metoda Thiessen

2
DAS Kecil (<500 km ) Metoda Rata-Rata Aljabar

Pegunungan Metoda Rata-Rata Aljabar

Topografi DAS Dataran Metoda Thiessen

Berbukit Dan Tidak Beraturan Metoda Isohiet

(Sumber : Suripin, 2004)


Catchment area adalah suatu daerah tadah hujan dimana air yang mengalir
pada permukaannya ditampung oleh saluran yang bersangkutan. Sistem drainase
yang baik yaitu apabila ada hujan yang jatuh di suatu daerah harus segera dapat
dibuang, untuk itu dibuat saluran yang menuju saluran utama.
Untuk menentukan daerah tangkapan hujan tergantung kepada kondisi
lapangan suatu daerah dan situasi topografinya / elevasi permukaan tanah suatu
wilayah disekitar saluran yang bersangkutan yang merupakan daerah tangkapan
hujan dan mengalirkan air hujan kesaluran drainase. Untuk menentukan daerah
tangkapan hujan (Cathment area) sekitar drainase dapat diasumsikan dengan
membagi luas daerah yang akan ditinjau .

2.3.2. Waktu Konsentrasi


Waktu konsentrasi adalah waktu yang dibutuhkan untuk mengalirkan air
dari titik yang paling jauh pada daerah aliran ke titik kontrol yang ditentukan di
bagian hilir suatu saluran. Waktu konsentrasi dibagi atas 2 bagian :

II-24
a. Inlet time (to) yaitu waktu yang diperlukan oleh air untuk mengalir di atas
permukaan tanah menuju saluran drainase.
b. Conduit time (td) yaitu waktu yang diperlukan oleh air untuk mengalir di
sepanjang saluran sampai titik kontrol yang ditentukan di bagian hilir.

Gambar 2.10 Lintasan aliran waktu inlet time (to) dan conduit time (td)

Sehingga waktu konsentrasi dapat dihitung dengan ( Suripin, 2004):

tc = to + td ..........................................................(2.20)

Dengan :

t o=¿ ..........................................................(2.21)

L
t d= ..........................................................(2.22)
60 v

Dimana :
S = Kemiringan saluran,
L = panjang saluran (m),
Lo = jarak dari titik terjauh ke fasilitas drainase (m),
V = kecepatan rata-rata didalam saluran (m/det) berdasarkan tabel 2.11
nd = Koefisien hambatan berdasarkan tabel 2.10

Tabel 2.9 Kemiringan Saluran Memanjang (S) Berdasarkan Jenis Material


No Jenis Kemiringan
Material Saluran (S)

II-25
(%)

1 Tanah Asli 0–5

2 Kerikil 5 - 7,5

3 Pasangan 7,5

(Sumber : Petunjuk desain drainase permukaan jalan No. 008/T/BNKT/1990, BINA MARGA)

Tabel 2.10 Koefisien Manning


Bahan nd

Besi tulang dilapis 0,014

Kaca 0,010

Saluran Beton 0,013

Bata dilapis mortar 0,015

Pasangan batu disemen 0,025

Saluran tanah bersih 0,022

Saluran tanah 0,030

Saluran dengan dasar batu dan tebing rumput 0,040

Saluran pada galian batu padas 0,040


(Sumber : Tata Cara Perencanaan Sistem Drainase Perkotaan, Nomor 12/Prt/M/2014)

Tabel 2.11 Kecepatan Aliran Air Yang Diizinkan


Kecepatan
Aliran Air Yang
Diizinkan
Jenis Bahan
(m/detik)

Pasir Halus 0,45

Lempung Kepasiran 0,5

Lanau Alluvial 0,6

Kerikil Halus 0,75

Lempung Kokoh 0,75

Lempung Padat 1,1

Kerikil Kasar 1,3

Batu-Batu Besar 1,5

Pasangan Batu 1,5

II-26
Beton 1,5

Beton Bertulang 1,5


(Sumber : Tata Cara Perencanaan Sistem Drainase Perkotaan, Nomor 12/Prt/M/2014)

2.3.3. Intensitas Hujan


Intensitas hujan adalah tinggi atau kedalaman air hujan persatuan waktu.
Sifat umum hujan adalah makin singkat hujan berlangsung intensitasnya
cenderung makin tinggi dan makin besar periode ulangnya makin tinggi pula
intensitasnya.
Intensitas hujan diperoleh dengan cara melakukan analisis data hujan baik
secara statistik maupun secara empiris. Biasanya intensitas hujan dihubungkan
dengan durasi hujan jangka pendek misalnya 5 menit, 30 menit, 60 menit dan jam-
jaman. Data curah hujan jangka pendek ini hanya dapat diperoleh dengan
menggunakan alat pencatat hujan otomatis. Apabila data hujan jangka pendek
tidak tersedia, yang ada hanya data hujan harian, maka intensitas hujan dapat
dihitung dengan rumus Mononobe

R 24 24 23
.I = ( ) ......................................................................(2.23)
24 t

Dimana:
I = Intensitas hujan (mm/jam)
t = lamanya hujan (jam)
R24 = curah hujan maksimum harian (selama 24 jam)(mm).

2.3.4. Debit Banjir Rancangan


Debit air hujan / limpasan adalah volume air hujan per satuan waktu yang tidak
mengalami infiltrasi sehingga harus dialirkan melalui saluran drainase. Debit air
limpasan terdiri dari tiga komponen yaitu koefisien run off (C), data intensitas curah
hujan (I), dan catchment area (Aca).
Koefisien yang digunakan untuk menunjukkan berapa banyak bagian dari air
hujan yang harus dialirkan melalui saluran drainase karena tidak mengalami
penyerapan ke dalam tanah (infiltrasi). Koefisien ini berkisar antara 0-1 yang
disesuaikan dengan kepadatan penduduk di daerah tersebut. Semakin padat

II-27
penduduknya maka koefisien run-offnya akan semakin besar sehingga debit air yang
harus dialirkan oleh saluran drainase tersebut akan semakin besar pula.
Rumus debit air hujan / limpasan:

Q = 0,278.C.I.A ......................................................................(2.24)

Dimana :
Q = Debit aliran air limpasan (m3/detik)
C = Koefisien run off (berdasarkan standar baku)
I = Intensitas hujan (mm/jam)
A = Luas daerah pengaliran (m², km², ha)
0,278 = Konstanta

Dalam perencanaan saluaran drainase dapat dipakai standar yang telah


ditetapkan, baik debit rencana (periode ulang) dan cara analisis yang dipakai, tinggi
jagaan, struktur saluran, dan lain-lain. Tabel 2.12 berikut merupakan kala ulang yang
dipakai berdasarkan luas daerah pengaliran saluran dan jenis kota yang akan
direncanakan system drainasenya.

Tabel 2.12 Kala Ulang Berdasarkan Tipologi Kota


Daerah Tangkapan Air (ha)
Tipologi Kota
< 10 10 - 100 101 - 500 > 500

Kota
2 Th 2 - 5 Th 5 - 10 Th 10 - 25 Th
Metropolitan
Kota Besar 2 Th 2 - 5 Th 2 - 5 Th 5 - 20 Th

Kota Sedang 2 Th 2 - 5 Th 2 - 5 Th 5 - 10 Th

Kotak Kecil 2 Th 2 Th 2 Th 2 - 5 Th

(Sumber : Tata Cara Perencanaan Sistem Drainase Perkotaan, Nomor 12/Prt/M/2014)

Koefisien pengaliran (run-off coefficient) adalah perbandingan antara jumlah air


hujan yang mengalir atau melimpas di atas permukaan tanah (surface run-off) dengan
jumlah air hujan yang jatuh dari atmosfir (hujan total yang terjadi). Besaran ini
dipengaruhi oleh tata guna lahan, kemiringan lahan, jenis dan kondisi tanah.
Pemilihan koefisien pengaliran harus memperhitungkan kemungkinan adanya
perubahan tata guna lahan di kemudian hari.

Tabel 2.13 Koefisien Limpasan Untuk Metode Rasional

II-28
Deskripsi lahan / karakter Koefisien limpasan, C
permukaan
Business
perkotaan 0,70 – 0,95
pinggiran 0,50 – 0,70
Perumahan
rumah tunggal 0,30 – 0,50
multiunit, terpisah 0,40 – 0,60
multiunit, tergabung 0,60 – 0,75
perkampungan 0,25 – 0,40
apartemen 0,50 – 0,70
Industri
Ringan 0,50 – 0,80
Berat 0,60 – 0,90
Perkerasan
aspal dan beton 0,70 – 0,65
batu bata, paving 0,50 – 0,70
Atap 0,75 – 0,95
Halaman, tanah berpasir
datar 2 % 0,05 – 0,10
rata-rata, 2- 7 % 0,10 – 0,15
curam, 7 % 0,15 – 0,20
Halaman, tanah berat
datar 2 % 0,13 – 0,17
rata-rata, 2- 7 % 0,18 – 0,22
curam, 7 % 0,25 – 0,35
Halaman kereta api 0,10 – 0,35
Taman tempat bermain 0,20 – 0,35
Taman, pekuburan 0,10 – 0,25
Hutan
datar, 0 – 5 % 0,10 – 0,40
bergelombang, 5 – 10 % 0,25 – 0,50
berbukit, 10 – 30 % 0,30 – 0,60
(Sumber : Suripin ,2004)

2.4. Limbah Permukiman


Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 tahun 2001,
air limbah adalah sisa dari suatu usaha dan atau kegiatan yang berwujud cair. Air
limbah dapat berupa bekas dari rumah tangga (domestic) maupun Industri
(industry). Setiap aktivitas produksi dalam suatu industri selalu menghasilkan air
buangan, oleh karena itu diperlukan penanganan lebih lanjut secara tepat agar
tidak mencemari lingkungan. Tchobanoglous (1991) memberikan batasan air
limbah sebagai kombinasi dari cairan dan buangan-buangan cair yang berasal
dari kawasan pemukiman, perkantoran, perdagangan serta industi yang

II-29
mempunyai kemungkinan untuk bercampur dengan air tanah, air permukaan serta
air hujan.
Sumber air limbah dari kegiatan rumah tangga seperti dari kegiatan mandi,
mencuci peralatan rumah tangga, mencuci pakaian serta kegiatan dapur lainnya.
Idealnya sebelum air limbah dibuang ke saluran air harus diolah terlebih dahulu
dalam tangki peresapan. Prinsip dasarnya adalah bahwa air limbah yang dilepas
ke lingkungan sudah tidak berbahaya lagi bagi kesehatan lingkungan. Air Limbah
yang tidak dikelola dengan baik dapat berdampak sangat luas, misalnya dapat
meracuni air minum, meracuni makanan hewan, menjadi penyebab ketidak
seimbangan ekosistem sungai dan sebagainya.
Pada umumnya air limbah dapat menimbulkan dampak, yaitu dampak
terhadap kehidupan biota air, dampak terhadap kualitas air tanah, dampak
terhadap kesehatan, dampak terhadap estetika lingkungan. Pada wilayah
perkotaan mudah terlihat adanya sarana air limbah yang dialirkan melalui saluran-
saluran, dimana air limbah dari rumah tangga tersebut segera dialirkan ke saluran-
saluran yang ada di sekitar wilayah permukiman sampai ke badan air anak sungai
dan sungai terdekat. Selain dialirkan ke saluran-saluran yang ada, terdapat satu
pendekatan dalam usaha pengolahan air limbah rumah tangga adalah dengan
menggunakan Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) Komunal.
Untuk menentukan jumlah air limbah dapat dilakukan dengan mengacu
pada besaran People Equivalent (PE) yaitu untuk rumah biasa perkiraan jumlah
air limbah adalah 120 liter/orang/hari. Debit air limbah rumah tangga didapat dari
60% - 70% suplai air bersih setiap orang, diambil debit limbah rumah tangga 70% dan
sisanya dipakai pada proses industri, penyiraman kebun-kebun dan lain-lain.

Besarnya air limbah buangan dipengaruhi oleh :


1. Asumsi jumlah orang setiap rumah 6 orang
2. Asumsi kebutuhan air bersih rata-rata tiap orang untuk perumahan 100 – 200
ltr/orang/hari = 150 ltr/org/hari
3. Asumsi kebutuhan air bersih rata-rata tiap orang untuk sarana ibadah (masjid) =
20 ltr/orang/hari
4. Faktor puncak (Fp) diperoleh berdasarkan jumlah penduduk yang ada di
perumahan Graha Bukit Rafflesia Palembang, yaitu sebesar 2.5

II-30
Air limbah rumah tangga didapat berdasarkan kebutuhan air bersih dan diambil
70%, sisanya dipakai pada proses industri, penyiraman kebun, dan lain-lain.
Q rata-rata = (70% x Konsumsi Air Bersih/Orang x Jumlah Penduduk x Fp) liter/hari

Tabel 2.14 Konsumsi Air Bersih


No Sumber Satuan Jumlah Aliran

(l/unit/orng)

Antara Rata-Rata

1 Rumah Orang 200 – 280 220

2 Pondok Orang 130 - 190 160

3 Kantin Pengunjung 4 – 10 6

Pekerja 30 – 50 40

4 Perkemahan Orang 80 – 150 120

5 Penjuaal Minuman Buah Tempat Duduk 50 – 100 75

6 Buffet (Coffee Shop) Pengunjung 15 – 30 20

Pekerja 30 – 50 40

7 Perkemahan Anak-Anak Pekerja 250 – 500 400

8 Tempat Perkumpulan Pekerja 40 – 60 50

Orang 40 – 60 50

9 Ruang Makan Pengunjung 15 – 40 30

10 Asrama / Perumahan Orang 75 – 175 150

11 Hotel Orang 150 – 240 200

12 Tempat Cuci Otomatis Mesin 1800 – 2600 2200

13 Toko Pengunjung 5 – 20 10

Pekerja 30 – 50 40

14 Kolam Renang Pengunjung 20 – 50 40

Pekerja 30 – 50 40

15 Gedung Bioskop Tempat Duduk 10 – 15 10

16 pusat Keramaian Pengunjung 15 - 30 20

(Sumber :Gunadarma 2011)

a. Proyeksi Jumlah Penduduk

II-31
Pada perencanaan drainase tercampur dimana air hujan dialirkan melalui
saluran yang sama dengan limbah rumah tangga, jumlah penduduk perlu
diketahui untuk menghitung debit air kotor. Kecendrungan pertambahan populasi
berdasarkan pertumbuhan penduduk juga tergantung dari rencana
pengembangan tata ruang wilayah. Estimasi populasi untuk masa yang akan
datang merupakan salah satu parameter utama dalam penentuan kebutuhan air
domestik. Pertumbuhan penduduk secara sederhana dapat diperhitungkan
dengan rumus – rumus sebagai berikut :
1. Metode Aritmatik
Pn = P0 + Ka (Tn – T0) ................................................................... (2.25)
(Pa – P1)
Ka = ..................................................................... (2.26)
(T2 – T1)
Dimana : Pn = jumlah penduduk pada tahun ke n
P0 = jumlah penduduk pada tahun dasar
Ka = konstanta arithmatik
Tn = tahun ke n
T0 = tahun dasar
T2 = tahun ke-1 yang diketahui jumlah penduduknya
T1 = tahun ke-2 yang diketahui jumlah penduduknya b.
2. Metode Geometrik
Pn = P0 (1+r)n.................................................................... (2.27)
Dimana : Pn = jumlah penduduk pada tahun ke n
P0 = jumlah penduduk pada tahun dasar
n = jumlah interval
r = laju pertumbuhan penduduk
b. Kebutuhan Air Bersih
Kebutuhan air yang dimaksud adalah kebutuhan air yang digunakan untuk
menunjang segala kegiatan manusia, meliputi air bersih domestik dan non
domestik, air irigasi baik pertanian maupun perikanan, dan air untuk
penggelontoran kota. Air bersih digunakan untuk memenuhi kebutuhan air
domestik seperti keperluan rumah tangga dan kebutuhan air non domestik untuk
industri, pariwisata, tempat ibadah, tempat sosial, serta tempat – tempat komersial

II-32
atau tempat umum lainnya. Kebutuhan air domestik ditentukan oleh jumlah
penduduk, dan konsumsi perkapita. Daerah perkotaan atau semi perkotaan,
daerah rural perlu dianalisis mengingat karakteristik kebutuhan airnya di tiga
daerah tersebut berbeda. Secara rata – rata jumlah kebutuhan air bersih domestik
adalah 120 – 140 liter/orang/hari. Kebutuhan air domestik yang meliputi
pemanfaatan komersial, kebutuhan institusi, dan kebutuhan industri dapat
mencapai 20 % samapai 25 % dari total suplai air. Kebutuhan air komersial untuk
suatu daerah cenderung meningkat sejalan dengan peningkatan penduduk dan
perubahan tata guna lahan. Kebutuhan institusi meliputi kebutuhan – kebutuhan
air untuk sekolah, rumah sakit, gedung – gedung pemerintah, tempat ibadah, dan
lain – lain. Besaran kebutuhan air diasumsikan sebesar 5 % dari total suplai air.
Kebutuhan untuk industri sangat beragam, tergantung pada jenis dan macam
kegiatan industri. Sebagai estimasi, 2 % total suplai air dapat dipakai sebagai
dasar dan acuan perhitungan.(Kodoatie dan Sjarief, 2005).

2.5. Kapasitas Saluran


Menurut Haryono (1999), kapasitas rencana saluran dihitung dengan
menggunakan rumus Manning, yang merupakan dasar dalam menentukan dimensi
saluran, yaitu sebagai berikut:

2 1
V =K . R 3 . S 2 (m/det) ......................................................................(2.28)

Q=V . F (m3/det) ......................................................................(2.29)


F
R= (m) ......................................................................(2.30)
P
Keterangan:
V = Kecepatan aliran rata-rata dalam saluran (m/det)
K = Koefisien kekasaran (tabel 2.8)
R = Radius hidrolis (m)
S = Kemiringan rata-rata saluran
F = Luas penampang basah saluran (m²)
P = Keliling basah saluran (m)
Q = Debit aliran (m³/det)

II-33
Penurunan rumus perhitungan luas penampang basah saluran (F):
F=( b+ m. y ) . y ......................................................................(2.31)

Keterangan:
b = Lebar dasar saluran (m)
m = Perbandingan kemiringan lining
y = Ketinggian saluran (m)

Penurunan rumus perhitungan keliling basah saluran (P) :


P=b+2. y . √ 1 + m
2 2
......................................................................(2.32)

Keterangan:
b = Lebar dasar saluran (m)
m = Perbandingan kemiringan lining
y = Ketinggian saluran (m)

Tabel 2.15 Standar Harga Koefisien Kekasaran


NO Material Saluran Koefisien Kekasaran
Stickler
1 Plesteran halus 77 - 100
2 Plesteran kasar 67 - 91
3 Beton cor dipoles 60 - 77
4 Beton pra cetak 67 - 91
5 Pasangan batu disiar 50 - 67
6 Pasangan batu kosong 42 - 59
7 Pasangan batu bronjong 29 - 50
8 Saluran tanah bersih 30 - 45
9 Saluran tanah dan 1-3
timbunan
(Sumber: Haryono, 1999)

2.6. Hidrolika
Zat cair dapat diangkut dari suatu tempat lain melalui bangunan pembawa
alamiah maupun buatan manusia. Bangunan pembawa ini dapat terbuka maupun
tertutup bagian atasnya. Saluran yang tertutup bagian atasnya disebut saluran

II-34
tertutup (closed conduits), sedangkan yang terbuka bagian atasnya disebut
saluran terbuka (open channels).

Pada sistem pengaliran melalui saluran terbuka terdapat permukaan air


yang bebas (free surface) di mana permukaan bebas ini dipengaruhi oleh tekanan
udara luar secara langsung, saluran terbuka umumnya digunakan pada lahan
yang masih memungkinkan (luas), lalu lintas pejalan kakinya relatif jarang, beban
kiri dan kanan saluran relatif ringan. Pada sistem pengaliran melalui saluran
tertutup (pipa flow) seluruh pipa diisi dengan air sehingga tidak terdapat
permukaan yang bebas, oleh karena itu permukaan tidak secara langsung
dipengaruhi oleh tekanan udara luar, saluran tertutup umumnya digunakan pada
daerah yang lahannya terbatas (pasar, pertokoan), daerah yang lalu lintas pejalan
kakinya relatif padat, lahan yang dipakai untuk lapangan parkir.

Berdasarkan konsistensi bentuk penampang dan kemiringan dasarnya


saluran terbuka dapat diklasifikasikan menjadi:
a. Saluran prismatik (prismatic channel), yaitu saluran yang bentuk penampang
melintang dan kemiringan dasarnya tetap.
Contoh : saluran drainase, saluran irigasi.
b. Saluran non prismatik (non prismatic channel), yaitu saluran yang bentuk
penampang melintang dan kemiringan dasarnya berubah-ubah.
Contoh : sungai.

Aliran pada saluran terbuka terdiri dari saluran alam (natural channel),
seperti sungai-sungai kecil di daerah hulu (pegunungan) hingga sungai besar di
muara, dan saluran buatan (artificial channel), seperti saluran drainase tepi jalan,
saluran irigasi untuk mengairi persawahan, saluran pembuangan, saluran untuk
membawa air ke pembangkit listrik tenaga air, saluran untuk suplay air minum,
dan saluran banjir. Saluran buatan dapat berbentuk segitiga, trapesium, segi
empat, bulat, setengah lingkaran, dan bentuk tersusun (Gambar 2.11).

II-35
Gambar 2.11 Bentuk-bentuk Profil Saluran
(Sumber: Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan ( 2003: 121))

2.6.1. Dimensi Saluran


Perhitungan dimensi saluran didasarkan pada debit harus ditampung oleh
saluran (Qs dalam m3/det) lebih besar atau sama dengan debit rencana yang
diakibatkan oleh hujan rencana (QT dalam m3/det). Kondisi demikian dapat
dirumuskan dengan persamaan berikut:

Qs ≥Qr ..............................................................................................................(2.33)

Debit yang mampu ditampung oleh saluran (Qs) dapat diperoleh dengan
rumus seperti di bawah ini:
Q= As . V ......................................................................................(2.34)

Di mana :
As =luas penampang saluran (m2)
V =Kecepatan rata-rata aliran di dalam saluran (m/det)

Kecepatan rata-rata aliran di dalam saluran dapat dihitung dengan


menggunakan rumus Manning sebagai berikut:

2 1
1
V= .R3.S2 ......................................................................(2.35)
n

As
R= ......................................................................(2.36)
P

Di mana:

II-36
V = Kecepatan rata-rata aliran di dalam saluran (m/det)

N = Koefisien kekasaran Manning (Tabel 2.10)

R = Jari-jari hidrolis (m)

S = Kemiringan dasar saluran

As = luas penampang saluran (m2)

P = Keliling basah saluran (m)

Nilai koefisien kekasaran Manning nd, untuk gorong-gorong dan saluran pasangan
dapat dilihat pada Tabel 2.10
Nilai kemiringan dinding saluran diperoleh berdasarkan bahan saluran yang
digunakan. Nilai kemiringan dinding saluran dapat dilihat pada Tabel 2.9

2.6.2. Bangunan Pelengkap


Bangunan pelengkap diperlukan untuk melengkapi suatu sistem saluran
untuk fungsi-fungsi tertentu. Bangunan pelengkap drainase harus kuat, fungsional,
tidak menyebabkan ketidaknyamanan berkendaraan dan tidak merusak keindahan
kota. Bagian-bagiannya meliputi: Catch Basin/watershed, Inlet, Manhole,
Headwall, Gorong-gorong, Bangunan terjun, Siphon, Bangunan got miring.
1. Catch Basin/watershed
Bangunan dimana air masuk ke dalam sistem saluran tertutup, untuk
mempermudah air masuk, lokasi catch basin ditetapkan pada tempat yang
rendah, catch basin dibuat pada tiap persimpangan jalan, tempat-tempat yang
rendah dan tempat parkir.
2. Inlet
Dibuat bila terdapat saluran terbuka dimana pembuangannya akan
dimasukkan ke dalam saluran tertutup yang lebih besar. Inlet harus diberi
saringan agar sampah tidak masuk kedalam saluran tertutup.
3. Manhole
Untuk keperluan pemeliharaan sistem saluran drainase tertutup dibuat di
setiap pertemuan, perubahan dimensi, perubahan bentuk selokan, dan setiap

II-37
jarak 10-25 meter, lubang manhole dibuat sekecil mungkin supaya ekonomis
diameter lubang biasanya 60 cm dengan tutup dari besitulang.
4. Headwall
Konstruksi khusus pada outlet saluran tertutup dan ujung gorong-gorong yang
dimaksudkan untuk melindungi dari longsor dan erosi.
5. Gorong-gorong
Didesain untuk mengalirkan air untuk menembus jalan raya, jalan kereta api,
dan halangan lain. Bentuk penampangnya dapat berupa lingkaran, segiempat,
dll, tergantung dari debit, ruang bebas dari atasnya, perhitungan ekonomi dan
peraturan setempat

Gambar 2.12 Bangunan Pelengkap Drainase


(Sumber ; Google.com)

II-38

Anda mungkin juga menyukai