Anda di halaman 1dari 58

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu


Suripin (2004) dalam studi kasus Kota Semarang, yang mengungkapkan bahwa
penampang saluran mengikuti trase yang sudah ada, sedangkan kemiringan dasar
saluran diambil menyesuaikan dengan kemiringan lahan setempat. Bentuk
melintang penampang saluran disesuaikan dengan ketersedian lahan. Bagian yang
lahannya terbatas digunakan bentuk persegi, sedangkan yang agak longgar
digunakan bentuk trapesium. Perhitungan dimensi saluran menggunakan
persamaan Manning untuk aliran tunak seragam, kemudian dihitung pengaruh air
balik pada daerah muara.

2.2 Landasan Teori


2.2.1 Daerah Aliran Sungai (DAS)

Daerah Aliran Sungai (DAS) dapat diartikan sebagai kawasan yang dibatasi
oleh pemisah topografis yang menampung, menyimpan dan mengalirkan air hujan
yang jatuh di atasnya ke sungai yang akhirnya bermuara ke danau atau laut
(Manan, dalam jurnal Sismanto 2009).
DAS merupakan satuan gerak air yang bersifat bebas dari DAS lainnya, yaitu
dua buah DAS adalah DAS yang satu sama yang lainnya berbeda dalam hal
pengaliran air, dengan demikian, suatu DAS secara jelas dapat dipandang sebagai
satu kesatuan ekosistem hidrologi, geografi atau unsur fisik lainnya dengan unsur
utamanya sumber daya tanah, air, flora, dan fauna.

2.2.2 Banjir
Banjir adalah peristiwa terbenamnya daratan (yang biasanya kering) karena
volume air yang meningkat. Banjir ada dua peristiwa.Pertama peristiwa banjir
atau genangan yang terjadi pada daerah yang biasanya tidak terjadi banjir. Kedua
peristiwa banjir terjadi karena limpasan air banjir dari sungai. Karena debit banjir
tidak mampu dialirikan oleh alur sungai atau debit banjir lebih besar dari kapasitas
pengaliran sungai yang ada (Suripin, 2004).
2.2.3 Drainase Perkotaan
A. Secara umum
Drainase yang berasal dari bahasa inggris drainage berasal dari kata kerja ‘to
drain’ mempunyai arti megeringkan, menyalurkan, menguras, membuang, atau
mengalihkan air. Drainase merupakan terminologi yang digunakan yang untuk
menyatakan sistem-sistem yang berkaitan dengan penanganan kelebihan air, baik
di atas maupun di bawah permukaan tanah (Hadihardja, Joetata.1997). Secara
umum drainase dapat pula didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan yang
mempelajari usaha untuk mengalirkan air yang berlebihan dalam suatu konteks
pemanfaatan tertentu (Hadihardja, Joetata.1997).
Selain itu, drainase secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu tindakan
teknis untuk mengurangi kelebihan air, baik yang berasal dari air hujan, rembesan,
maupun kelebihan air irigasi dari suatu kawasan/lahan, sehingga fungsi
kawasan/lahan tidak terganggu. Drainase dapat juga diartikan sebagai usaha untuk
mengontrol kualitas air tanah dalam kaitannya dengan salinitas. Jadi, darinase
menyangkut tidak hanya air permukaan tapi juga air tanah (Suripin, 2004).
Drainase pada prinsipnya terbagi atas 2 macam yaitu: drainase untuk daerah
perkotaan dan drainase untuk daerah pertanian. Drainase perkotaan adalah ilmu
drainase yang mengkhususkan pengkajian pada kawasan perkotaan yang erat
kaitannya dengan kondisi lingkungan fisik dan sosial budaya kawasan tersebut
(Kodoatie. J. Robert dan Roestam S. 2005).
Drainase perkotaan tidak hanya terbatas pada teknik penyaluran dan
pembuangan kelebihan air akibat limpasan air hujan akan tetapi juga meliputi
penyaluran air buangan atau air limbah terutama yang berasal dari aktifitas
domestik. Sesuai dengan prinsipnya sebagai jalur pembuangan maka waktu terjadi
kelebihan air diusahakan untuk secepatnya dibuang agar tidak menimbulkan
genangan yang dapat mengganggu aktifitas perkotaan, kerugian sosial ekonomi
terutama yang menyangkut aspek kesehatan lingkungan (Kodoatie. J. Robert dan
Roestam S. 2005).

B. Jenis-Jenis Drainase
Jenis drainase dapat dikelompokkan yakni sebagai berikut (Hadihardja, Joetata.
1997):
1. Drainase Menurut Sejarah Terbentuknya
a. Drainase Alamiah (Natural Drainage)
Drainase yang terbentuk secara alami dan tidak terdapat bangunan-bangunan
penunjang seperti bangunan pelimpah, pasangan batu atau beton, gorong-gorong dan
lain-lain. Saluran ini terbentuk oleh gerusan air yang bergerak karena gravitasi
yang lambat laun membentuk jalan air yang permanen seperti sungai. Daerah-
daerah dengan drainase alamiah yang relatif bagus akan membutuhkan
perlindungan yang lebih sedikit daripada daerah-daerah rendah yang tertindak
sebagai kolam penampung bagi aliran dari daerah anak-anak sungai yang luas.

Gambar 2.1 Drainase Alamiah Pada Saluran Air

b. Drainase Buatan
Drainase yang dibuat dengan maksud dan tujuan tertentu sehingga memerlukan
bangunan-bangunan khusus seperti selokan pasangan batu, gorong-gorong, dan
pipa-pipa dan sebagainya.

Gambar 2.2 Drainase Buatan


2. Drainase Menurut Letak Bangunannya
a. Drainase Permukaan Tanah (Surface Drainage)
Saluran drainase yang berada di atas permukaan tanah yang berfungsi untuk
mengalirkan air limpasan permukaan. Analisis alirannya merupakan analisis open
channel flow (aliran saluran terbuka).
b. Drainase Bawah Permukaan Tanah (Subsurface Drainage)
Saluran drainase yang bertujuan untuk mengalirkan air limpasan permukaan
melalui media di bawah permukaan tanah (pipa-pipa) dikarenakan alasan-alasan
tertentu. Ini karena alasan tuntutan artistik, tuntutan fungsi permukaan tanah yang
tidak membolehkan adanya saluran dipermukaan tanah seperti lapangan sepak
bola, lapangan terbang, dan taman.

3. Drainase Menurut Fungsinya


a. Single Purpose
Berfungsi mengalirkan satu jenis air buangan, seperti air hujan, air limbah
domestik, atau air limbah industri.
b. Multi Purpose
Saluran yang berfungsi mengalirkan beberapa macam air buangan baik
tercampur maupun secara bergantian.

4. Drainase Menurut Konstruksinya


a. Saluran Terbuka
Saluran yang lebih cocok untuk drainase air hujan yang terletak di daerah yang
mempunyai luasan yang cukup, ataupun untuk drainase air non-hujan yang tidak
membahayakan kesehatan atau menganggu lingkungan.
b. Saluran Tertutup
Saluran yang pada umumnya sering di pakai untuk aliran air kotor (air yang
mengganggu kesehatan atau lingkungan) atau untuk saluran yang terletak di
tengah kota.

C. Pola Jaringan Drainase


Suatu saluran pembuangan dibuat sesuai dengan kondisi lahan dan lingkungan
sekitarnya. Oleh karena itu drainase bisa di bangun dalam berbagai macam pola
jaringan agar tercapai hasil yang optimal (Sidhartha Karmawan, dalam jurnal
Kusumo 2009).

D. Fungsi Drainase
Drainase memiliki banyak fungsi dan kegunaan, berikut adalah fungsi menurut
beberapa ahli, diantaranya:
Menurut (Suripin, 2004):
1) Mengeringkan genangan air sehingga tidak ada akumulasi air tanah.

2) Menurunkan permukaan air tanah pada tingkat yang ideal.

3) Mengendalikan erosi tanah, kerusakan jalan dan bangunan yang ada.

4) Mengendalikan air hujan yang berlebihan sehingga tidak terjadi bencana banjir.

Menurut (Moduto, dalam jurnal Ainal Muttaqin 2011):

1) Mengeringkan daerah becek dan genangan air.


2) Mengendalikan akumulasi limpasan air hujan yang berlebihan.
3) Mengendalikan erosi, kerusakan jalan, dan kerusakan infrastruktur.
4) Mengelola kualitas air.

2.2.4 Sistem Drainase


A. Jenis Sistem Drainase Berdasarkan Daerah Yang Akan Dilayani
1. Drainase Permukiman
Di kota-kota besar, air hujan biasanya ditampung di jalan-jalan dan dialirkan
melalui pemasukan-pemasukan ke dalam pipa-pipa di dalam tanah yang akan
membawanya ke tempat-tempat dimana dapat dituangkan dengan aman ke dalam
suatu sungai, danau, dan laut. Pada beberapa contoh, air hujan dirembeskan jauh
ke dalam tanah. Suatu pelepasan tunggal dapat dipergunakan, atau sejumlah titik
pembuangan dapat dipilih berdasarkan titik topogrfi daerahnya. Air yang
terkumpul haruslah dibuang sedekat mingkin ke sumbernya. Pengaliran dengan
gaya berat lebih disukai, tetapi tidak selalu layak, sehingga perangkat-perangkat
pompa dapat menjadi bagian yang penting dari suatu sistem drainase hujan kota
besar.

2. Drainase Lahan
Drainase lahan membuang air permukaan yang berlebihan dari suatu daerah
atau menurunkan air tanah ke zona akar untuk memperbaiki pertumbuhan
tanaman dan mengurangi penumpukan garam-garam tanah.
Sistem drainase lahan mempunyai berbagai segi yang sama dengan sistem
drainase hujan kota. Parit terbuka, yang lebih dapat diterima di daerah pedesaan
daripada di kota-kota besar, luas dipergunakan untuk drainase air permukaan
dengan penghematan biaya yang cukup besar, dibandingkan dengan pipa-pipa di
bawah tanah. Bila kondisi cocok, parit-parit dapat juga bertindak sebagai sarana
untuk menurunkan permukaan air tanah.
Namun parit-parit terbuka yang diletakkan pada jarak dekat akan mengganggu
operasi pertanian, sehingga metode yang lebih umum adalah dengan selokan-
selokan di bawah tanah. Tembikar lempung kasar dan pipa beton adalah bahan-
bahan yang paling umum dipergunakan sebagai selokan bawah tanah, walaupun
selokan-selokan kotak kayu serta pipa baja yang berhubung telah digunakan pula.
Rancangan untuk suatu sistem drainase pipa tembikar terutama dipengaruhi
oleh keadaan topografi daerahnya. Untuk sistem alamiah dipergunakan pada
topografi bergelombang yang hanya membutuhkan drainase ceruk dan lembah-
lembah yang sempit. Jika seluruh daerah yang bersangkutan harus didrainase
maka sistem pemanggang lebih ekonomis.
Sedangkan drainase utama berganda sering digunakan apabila dasar cekungan
cukup lebar, untuk drainase penyadap biasanya digunakan bila sumber utama dari
air kelebihan adalah drainase fari bukit-bukit. Beberapa kemungkinan
diperlihatkan pada gambar dibawah ini:

Drainase Alamiah Drainase Pemanggang

Drainase Utama Berganda Drainase Penyadap

Gambar 2.3 Jenis-Jenis Drainase


(Sumber : Linsley, Ray K, dkk. 1991)

3. Drainase Jalan Raya


Jalan raya menduduki jalur lahan yang panjang, sempit dan menimbulkan dua
jenis masalah drainase. Masalah itu saling berkaitan sehingga perlu diatasi secara
komplek. Air yang terkumpul di atas jalan (atau di atas lereng lahan yang
berdekatan jika jalan itu terletak dalam galian) haruslah dibuang tanpa
menimbulkan genangan atau kerusakan jalan serta daerah di sekitarnya. Jalan raya
melintasi berbagai alur drainase alamiah, sehingga air yang dialirkan oleh alur-
alur ini haruslah dibawa menyeberangi daerah hak jalan tanpa menghalangi aliran
di dalam alur di hulu jalan dan tanpa merusakkan hak milik di luar hak jalan
tersebut. (American Association Of State Highway and Transportation Officials,
1992).

B. Jenis Sistem Drainase Berdasarkan Keberadaan Air Hujan Dan Air


Kotor
1. Sistem Terpisah (Separate System)
Pada sistem ini air hujan dan air kotor dilayani oleh sistem saluran masing-
masing secara terpisah. Pemilihan ini didasarkan atas beberapa pertimbangan
antara lain :
a. Periode musim hujan dan kemarau yang terlalu lama.
b. Kuantitas yang jauh berbeda antara air buangan dan air hujan.
c. Air buangan memerlukan pengolahan terlebih dahulu sedangkan air hujan
tidak perlu dan harus secepatnya dibuang ke sungai yang terdapat pada
daerah yang ditinjau.

2. Sistem Tercampur (Combined System)


Air kotor dan air hujan disalurkan melalui satu saluran yang sama. Saluran ini
harus tertutup. Pemilihan sistem ini didasarkan atas beberapa pertimbangan,
antara lain:
a. Debit masing-masing buangan relatif kecil sehingga dapat disatukan.
b. Kuantitas air hujan dan air buangan tidak jauh berbeda.
c. Fluktuasi air hujan dari tahun ke tahun relatif kecil.

3. Sistem Kombinasi (Pseudo Separate System)


Sistem yang merupakan perpaduan antara saluran air hujan dan air buangan,
yakni pada waktu musim hujan air buangan dan air hujan tercampur dalam saluran
air buangan, sedangkan air hujan bertindak sebagai pengencer dan penggelontor.
Kedua saluran ini tidak dapat bersatu tetapi dihubungkan dengan sistem perpipaan
inseptor. Pemilihan sistem didasarkan pada:
a. Perbedaan yang besar antara kuantitas air buangan yang akan disalurkan
melalui jaringan penyalur air buangan dan kuantitas air hujan pada daerah
pelayanan.
b. Umumnya di dalam kota dilalui sungai-sungai sehingga air hujan secepatnya
dapat dibuang ke dalam sungai-sungai tersebut.
c. Periode musim kemarau dan musim hujan yang lama dan fluktuasi curah hujan
yang tidak tetap.

Tabel 2.1 Keuntungan & Kerugian Jenis Sistem Buangan


Jenis Sistem Buangan Keuntungan Kerugian
1. Harus membuat dua
1. Sistem saluran mempunyai dimensi yang kecil
sistem saluran sehingga
sehingga memudahkan saluran dan operasinya.
2. Penggunaan sistem terpisah mengurangi bahaya memerlukan tempat yang
bagi kesehatan masyarakat. Pada instalasi luas dan biaya yang cukup
Sistem Terpisah
(Separate System) pengolahan air buangan tidak ada tambahan beban besar.
kapasitas, karena penambahan air hujan.
3. Pada sistem ini untuk saluran air buangan bisa
direncanakan pembilasan sendiri, baik pada musim
kemarau maupun pada musim penghujan.
1.Diperlukan areal yang luas
1.Hanya diperlukan satu sistem penyaluran air untuk menempatkan
Sistem Tercampur sehingga dalam pemilihannya lebih ekonomis instalasi tambahan untuk
(Combined System) 2.Terjadi pengenceran air buangan oleh air hujan
penanggulangan pada saat-
sehingga konsentrasi air buangan menurun.
saat tertentu.

C. Jenis Saluran Air Hujan


Pada sistem penyaluran terpisah, air hujan dialirkan tersendiri dengan
menggunakan saluran terbuka. Saluran air hujan terdiri dari tiga jenis, yaitu:
1. Saluran Tertier, yaitu saluran yang terdapat pada jalan-jalan kecil, untuk
kemudian menyalurkan air hujan menuju ke saluran yang lebih besar.
2. Saluran Sekunder, yaitu saluran lanjutan dari saluran tertier, dengan kuantitas
air merupakan kumulatif dari saluran-saluran kecil, lalu disalurkan menuju
saluran utama.
3. Saluran Primer, yaitu saluran yang menampung air hujan dari beberapa daerah
pengaliran lewat saluran sekunder.
primer

sekunder

Gambar 2.4 Jenis Saluran Air Hujan


Untuk saluran air hujan yang melewati daerah ramai dan sibuk seperti
perkantoran, daerah pertokoan, pasar, industri, rumah sakit, dll umumnya
menggunakan saluran tertutup. Hal ini untuk menghindari agar orang tidak
terperosok dan pada daerah ramai umumnya lahan sangat diperlukan, sehingga
dengan saluran tertutup bagian atas saluran dapat digunakan untuk kepentingan
lain, misalnya untuk tempat parkir, trotoar, dan sebagainya.

D. Tata Letak
1. Alternatif Tata Letak Saluran Drainase
Beberapa contoh model tata letak saluran yang dapat diterapkan dalam
perencanaan sistem drainase. (Hadihardja, Joetata.1997)
a. Pola Alamiah
Letak conveyor drain (b) ada di bagian terendah (lembah) dari suatu daerah
yang secara efektif berfungsi sebagai pengumpul dari anak cabang saluran atau
collector drain (a), dengan collector dan conveyor drain merupakan saluran
alamiah.
a
b

Gambar 2.5 Tata Letak Drainase dengan Pola Alamiah


b. Pola Siku
Conveyor drain (b) terletak di lembah dan merupakan saluran alamiah,
sedangkan collector drain (a) dibuat tegak lurus dari conveyor drain.
a

Gambar 2.6 Tata Letak Drainase dengan Pola Siku

c. Pola Paralel
Collector drain yang menampung debit dari sungai-sungai yang lebih kecil,
dibuat sejajar satu sama lain dan kemudian masuk dalam conveyor drain.

a b

Gambar 2.7 Tata Letak Drainase dengan Pola Paralel

d. Pola Grid Iron


Beberapa interceptor drain (a) dibuat satu sama lain sejajar, kemudian
ditampung di collector drain (b) untuk selanjutnya masuk ke dalam conveyor
drain.

Gambar 2.8 Tata Letak Drainase dengan Pola Grid Iron

e. Pola Radial
Suatu daerah genangan dikeringkan melalui beberapa collector drain dari satu
titik menyebar ke segala arah (sesuai dengan kondisi topografi daerah)
Gambar 2.9 Tata Letak Drainase dengan Pola Radial
f. Pola Jaring-jaring
Untuk mencegah terjadinya pembebanan aliran dari suatu daerah terhadap
daerah lainnya, maka dapat dibuat beberapa interceptor drain (a) yang kemudian
ditampung ke dalam saluran collector drain (b), dan selanjutnya dialirkan menuju
saluran conveyor drain.

a
a

Gambar 2.10 Tata Letak Drainase dengan Pola Jaring-jaring

2. Susunan Dan Fungsi Saluran Dalam Jaringan Drainase


Dalam pengertian jaringan drainase, maka sesuai dengan fungsi dan sistem
kerjanya, jenis saluran dapat dibedakan menjadi:
a. Interseptor Drain, adalah saluran yang berfungsi sebagai pencegah terjadinya
pembebanan aliran dari suatu daerah terhadap daerah lain di bawahnya.
b. Collector Drain, adalah saluran yang berfungsi sebagai pengumpul debit yang
diperoleh dari saluran drainase yang lebih kecil dan akhirnya akan dibuang ke
saluran conveyor (pembawa).
c. Conveyor Drain, adalah saluran yang berfungsi sebagai pembawa air buangan
dari suatu daerah ke lokasi pembuangan tanpa harus membahayakan daerah
yang dilalui.
Letak conveyor di bagian terendah lembah dari suatu daerah, sehingga secara
efektif dapat berfungsi sebagai pengumpul dari anak cabang saluran yang ada.
Dalam pengertian lain, saluran ini berbeda dengan sub surface drainage atau
drainase bawah tanah.
E. Bangunan Penunjang
Untuk menjamin berfungsinya saluran drainase secara baik, maka diperlukan
bangunan-bangunan pelengkap di tempat-tempat tertentu. Jenis bangunan
pelengkap yang dimaksud meliputi:
1. Bangunan Silang, missal: gorong-gorong
2. Bangunan Pemecah Energi, misal: bangunan terjunan dan saluran curam
3. Bangunan Pengaman, missal: ground sill atau levelling structure
4. Bangunan Inlet, misal: grill samping atau datar
5. Bangunan Outlet, misal: kolam loncat air
6. Bangunan Pintu Air, misal: pintu geser, pintu otomatis
7. Bangunan Rumah Pompa
8. Bangunan Kolam Tandon atau Pengumpul
9. Bangunan Lubang Kontrol atan Manhole
10. Bangunan Instaasi Pengolah Limbah

Semua bangunan tersebut di atas tidak harus selalu ada pada jaringan drainase.
Keberadaannya tergantung pada kebutuhan setempat yang biasanya dipengaruhi
oleh fungsi saluran, kondisi lingkungan, dan tuntutan akan kesempurnaan
jaringannya.

2.2.5 Hidrologi
Hidrologi adalah suatu ilmu yang menjelaskan tentang kehadiran gerakan air di
alam ini, yang meliputi berbagai bentuk air yang menyangkut perubahan-
perubahannya antara lain : keadaan zat cair, padat dan gas dalam atmosfer di atas
dan di bawah permukaan tanah, di dalamnya tercakup pula air laut yang
merupakan sumber dan penyimpanan air yang mengaktifkan kehidupan di bumi.
Tanpa kita sadari bahwa sebagian besar perencanaan bangunan sipil memerlukan
analisis hidrologi. Analisis hidrologi tidak hanya diperlukan dalam perencanaan
berbagai bangunan air seperti : bendungan, bangunan pengendali banjir, dan
bangunan irigasi, tetapi juga diperlukan untuk bangunan jalan raya, lapangan
terbang, dan bangunan lainnya. (Soemarto,1987)

2.2.6 Siklus Hidrologi


Dalam perencanaan suatu bangunan air yang berfungsi untuk pengendalian
penggunaan air antara lain yang mengatur aliran sungai, pembuatan waduk-waduk
dan saluran-saluran yang sangat diperlukan untuk mengetahui perilaku siklus yang
disebut dengan siklus hidrologi. Siklus hidrologi adalah proses yang diawali oleh
evaporasi / penguapan kemudian terjadinya kondensasi dari awan hasil evaporasi.
Awan terus terproses, sehingga terjadi salju atau hujan yang jatuh ke permukaan
tanah. Pada muka tanah air hujan ada yang mengalir di permukaan tanah, sebagai air
run off atau aliran permukaan dan sebagian (infiltrasi) meresap kedalam lapisan
tanah. Besarnya run off dan infiltrasi tergantung pada parameter tanah atau jenis tanah
dengan pengujian tanah di laboratorium. Air run off mengalir di permukaan muka
tanah kemudian kepermukaan air di laut, danau, sungai. Air infiltrasi meresap
kedalam lapisan tanah, akan menambah tinggi muka air tanah didalam lapisan tanah,
kemudian juga merembes didalam tanah kearah muka air terendah, akhirnya juga
kemungkinan sampai dilaut, danau, sungai. Kemudian terjadi lagi proses penguapan.
(Hasmar,2012:9)
Gambar 2.11 Siklus Hidrologi

2.3 Dasar Teori Perhitungan


2.3.1 Analisa Hidrologi
Secara umum analisis hidrologi merupakan satu bagian analisis awal dalam
perancangan bangunan-bangunan hidraulik. Pengertian yang terkandung di
dalamnya adalah bahwa informasi dan besaran-besaran yang diperoleh dalam
analisis hidrologi merupakan masukan penting dalam analisis selanjutnya.
Bangunan hidraulik dalam bidang teknik sipil dapat berupa gorong-gorong,
bendung, bangunan pelimpah, tanggul penahan banjir, dan sebagainya.
Perencanaan sistem drainase perkotaan tidak lepas dari aspek hidrologi, yakni
hujan yang terjadi pada kawasan tersebut. Aspek hidrologi sangat berpengaruh
terutama dalam penentuan dimensi saluran drainase, karena air hujan inilah yang
harus segera dibuang atau dialirkan dari permukaan tanah agar tidak menggenang.
Untuk pembuatan sebuah sistem drainase air hujan dalam suatu wilayah
diperlukan beberapa macam analisa terhadap berbagai bidang yang terkait dan
berpengaruh terhadap sistem perencanaan. Salah satu yang paling penting adalah
menganalisa sumber air yang ada terutama air hujan sehingga diketahui distribusi
curah hujan. Distribusi curah hujan berbeda-beda sesuai dengan jangka waktu
yang kita tinjau, misalnya curah hujan tahunan, harian, dan perjam.
Untuk perencanaan saluran drainase dilakukan analisis terhadap data curah
hujan harian maksimum, yaitu data curah hujan yang paling tinggi untuk tahun
tertentu. Pengolahan dan analisa data dilakukan terhadap data curah hujan harian
maksimum sebanyak 10 tahun terakhir.

2.3.2 Karakteristik Hujan


Hujan pada tiap-tiap wilayah memiliki karakteristik masing-masing sesuai
dengan kondisi wilayah tersebut. Karakteristik hujan antara lain:
1. Durasi hujan, adalah lama kejadian hujan (menitan, jam-jaman, harian) yang
diperoleh dari hasil pencatatan alat pengukur hujan otomatis.
2. Intensitas hujan, adalah jumlah hujan yang dinyatakan dalam tinggi hujan atau
volume hujan tiap satuan waktu. Nilai ini tergantung dari lamanya curah hujan
dan frekuensi kejadiannya serta diperoleh dengan cara analisis data hujan baik
secara statistik maupun empiris.
3. Lengkung intensitas hujan adalah grafik yang menyatakan hubungan antara
intensitas hujan dengan durasi hujan.
4. Waktu konsentrasi (tc) adalah waktu yang diperlukan untuk mengalirkan air
dari titik yang paling jauh pada daerah aliran ke titik kontrol yang ditentukan di
bagian hilir suatu saluran. Rumus untuk menghitung waktu konsentrasi :
(Suripin, 2003)

tc = to + td )

Waktu konsentrasi terdiri atas dua komponen, yaitu:


a. Inlet time (to), yaitu waktu yang diperlukan air untuk mengalir di atas
permukaan tanah menuju saluran drainase. Untuk menghitung to pada daerah
pengaliran yang kecil dengan panjang limpasan sampai dengan ± 300 meter,
menggunakan rumus:

0,5
3,26 x ( 1,1−c ) x Lo
t o= 1 /3 )
So

keterangan:

to = inlet time (menit)


C = koefisien pengaliran
Lo = panjang aliran limpasan (m)
So = kemiringan (%)

b. Conduit time (td), yaitu waktu yang diperlukan oleh air untuk mengalir di
sepanjang saluran sampai ke titik kontrol yang ditentukan di bagian hilir.
Penentuan td dengan rumus:
Ld
td = )
Vd

keterangan:

to = conduit time (menit)


Ld = panjang saluran (m)
Vd = Kecepatan air dalam saluran (%)

Untuk kecepatan air dalam saluran tergantung kepada kondisi salurannya.


Untuk saluran alami, sifat-sifat hidroliknya sulit ditentukan sehingga td dapat
ditentukan dengan menggunakan perkiraan kecepatan air seperti pada tabel
berikut:
Tabel 2.2 Kecepatan Untuk Saluran Alami
Kecepatan
Kemiringan Rata-rata
No Rata-rata
Dasar Saluran (%)
(m/detik)
1 <1 0,40
2 1–2 0,60
3 2–4 0,90
4 4–6 1,20
5 6 – 10 1,50
6 10 - 15 2,40
Sumber: Drainase Perkotaan, 1997

2.3.3 Data Hujan


Data curah hujan di Indonesia dikumpulkan oleh dinas meteorologi dan
Geofisika, Dephub. Dari sini penggunaan data curah hujan untuk:
1. Perhitungan dimensi saluran, baik yang tertutup maupun terbuka, dengan
lining atau tanpa lining
2. Perhitungan dimensi bangunan pelengkap dan lintasan (gorong-gorong atau
sipon)
3. Perhitungan bentang jembatan
4. Perhitungan waduk pengendali banjir mikro dan makro

Analisa curah hujan yaitu dengan memproses data curah hujan mentah, diolah
menjadi data yang siap dipakai untuk perhitungan debit aliran. Data curah hujan
yang akan dianalisa berupa array data tinggi hujan harian maksimum dalam
setahun, selama paling sedikit 20 tahun pengamatan berturut-turut. Untuk
menganalisa data curah hujan harian ini, dapat digunakan beberapa metode analisa
distribusi probabilitas yang dipandang sangat berguna bagi perencanaan teknis
secara teoritis. Apabila data curah hujan pengamatan jangka pendek tidak
didapatkan pada daerah perencanaan, maka analisa intensitas curah hujan dapat
dilakukan dengan menggunakan data curah hujan pengamatan maksimum selama
24 jam.
Beberapa tahapan dalam menentukan curah hujan maksimum adalah seperti
dijelaskan di bawah ini:
a. Melengkapi Data Curah Hujan yang Hilang
Terkadang hasil pengukuran hujan yang diterima oleh pusat Meteorologi dan
Geofisika dari stasiun-stasiun pengamatan hujan belum terjamin kelengkapannya,
sehingga terdapat data yang hilang. Untuk melengkapi data yang hilang itu, kita
dapat melakukan perkiraan. Sebagai dasar untuk perkiraan ini digunakan data
hujan dari data hujan stasiun pengamat yang berdekatan dan mengelilingi stasiun
pengamat yang datanya tidak lengkap.
1) Jika selisih antara hujan tahunan normal dari stasiun yang datanya tidak
lengkap dengan hujan tahunan normal semua stasiun kurang dari 10%, maka
perkiraan data yang hilang bisa mengambil harga rata-rata hitung dari stasiun-
stasiun yang mengelilinginya atau metode aritmatik.
2) Jika selisihnya lebih dari 10%, maka dapat menggunakan metode perbandingan
rasio normal, yaitu:

n
rx 1 rn
= .∑
Rx ( N −1 ) i=1 Rn( ) )

Keterangan tabel:
rx = Curah hujan yang dilengkapi
Rx = Rata-rata curah hujan pada stasiun pengamat yang salah satu tinggi curah
hujannya sedang dilengkapi
N = Banyaknya stasiun pengamat hujan untuk perhitungan N > 2
rn = Curah hujan pada tahun yang sama dengan rx pada stasiun pembanding
Rn = Curah hujan rata-rata tahunan pada stasiun pengamat hujan pembanding

b. Uji Konsistensi Data Curah Hujan


Data-data yang dipakai untuk keperluan perencanaan drainase adalah data
hujan harian maksimum yang memenuhi persyaratan baik kualitas maupun
kuantitas.
Sebelumnya harus ditentukan, apakah terjadi penyimpangan data hujan, atau
inconsistent, atau non homogenitas yang bisa mengakibatkan hasil perhitungan
menjadi tidak tepat. Inconsistent data curah hujan ini disebabkan oleh faktor:
1) Perubahan mendadak pada sistem lingkungan
2) Pemindahan alat ukur
3) Perubahan cara pengukuran

Inconsistent data hujan ditandai dengan beloknya grafik garis lurus yang terdiri
dari:
a) Absis yaitu harga rata-rata curah hujan dari paling sedikit 5 (lima) stasiun
hujan yang datanya dipakai dalam perhitungan perencanaan sistem drainase.
b) Ordinat yaitu curah hujan dari stasiun yang diuji konsistensinya.

Keduanya harus dalam tahun yang bersamaan dan diplot dalam koordinat
cartesius, yang dimulai dari data pada tahun yang terbaru. Harga rata-rata yang
diplot merupakan harga kumulatif.
Konsistensi data hujan kemudian diuji dengan garis massa ganda (double mass
curves technique). Dengan metoda ini dapat juga dilakukan koreksi datanya.
Dasar metoda ini adalah membandingkan curah hujan tahunan akumulatif dari
jaringan stasiun dasar. Curah hujan yang konsisten seharusnya membentuk garis
lurus, namun apabila tidak membentuk garis lurus, maka diadakan koreksi sebagai
berikut: (Suripin, 2003)
tg β TB
F k= = )
tg α TL
Rk =F k . R )

Keterangan:
α, dan β = Sudut kemiringan data hujan dari stasiun yang dicari
Fk = Faktor koreksi
R = Curah hujan asli
Rk = Curah hujan setelah dikoreksi

Berikut adalah contoh grafik data hujan yang konsisten dan tidak konsisten:

Grafik 2.1 Grafik Data Hujan Stasiun


Grafik 2.2 Grafik Data Hujan Stasiun Yang
Yang konsisten
Tidak Konsisten

c. Uji Homogenitas Data Curah Hujan


Stasiun pengamat yang telah diuji konsistensinya, selanjutnya dilakukan uji
homogenitas. Uji homogenitas dilakukan untuk mengetahui apakah data yang
didapat telah homogen atau belum. Jika tidak homogen, maka terjadi
penyimpangan data yang dapat disebabkan oleh gangguan atmosfer, kesalahan
melakukan pencatatan data hujan, dll. Suatu data dikatakan homogen apabila titik
H (n,Tr) berada dalam grafik homogenitas. Untuk perhitungan homogenitas
terlebih dahulu dilakukan rangking data dari data curah hujan yang ada pada
masing-masing stasiun. Perhitungan dilakukan untuk mencari standar deviasi (σ).
Untuk menentukan standar deviasi, dapat digunakan rumus:

1 /2
∑ (Ri− Ŕ)2
σR =( n−1 ) )

Langkah-langkah uji homogenitas selanjutnya adalah:


1 σR
= )
α σn

1
μ=R− Yn )
α

Untuk mencari Reduced Mean (Yn) dan Reduced Standard Deviation (Sn) dapat
dicari melalui Tabel 2.3 dan Tabel 2.4. Namun apabila nilai n (jumlah tahun
pengamatan tidak ada pada tabel, dapat dicari dengan menggunakan interpolasi.
Tabel 2.3 Reduced Mean (Yn) untuk Metode Sebaran Gumbel Tipe 1
N 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
0,495 0,499 0,503 0,507 0,510 0,512 0,515 0,518 0,520 0,522
10
2 6 5 0 0 8 7 1 2 0
0,523 0,525 0,526 0,528 0,529 0,530 0,582 0,588 0,534 0,535
20
6 2 8 3 6 0 0 2 3 3
0,536 0,537 0,538 0,538 0,539 0,540 0,541 0,541 0,542 0,543
30
3 1 0 8 6 0 0 8 4 0
0,546 0,544 0,544 0,545 0,545 0,546 0,546 0,547 0,547 0,548
40
3 2 8 3 8 8 8 3 7 1
0,548 0,548 0,549 0,549 0,550 0,550 0,550 0,551 0,551 0,551
50
5 9 3 7 1 4 8 1 5 8
0,552 0,552 0,552 0,553 0,553 0,553 0,553 0,554 0,554 0,554
60
1 4 7 0 3 5 8 0 3 5
0,554 0,555 0,555 0,555 0,555 0,555 0,556 0,556 0,556 0,556
70
8 0 2 5 7 9 1 3 5 7
0,556 0,557 0,557 0,557 0,557 0,557 0,558 0,558 0,558 0,558
80
9 0 2 4 6 8 0 1 3 5
0,558 0,558 0,558 0,559 0,559 0,559 0,559 0,559 0,559 0,559
90
6 7 9 1 2 3 5 6 8 9
10 0,560
0 0

Tabel 2.4 Reduced Standard Deviation (Sn) untuk Metode Sebaran Gumbel Tipe 1
N 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
0,967 0,983 0,997 1,009 1,020 1,031 1,041 1,049 1,056
10 0,9496
6 3 1 5 6 6 1 3 5
1,069 1,075 1,081 1,086 1,031 1,096 1,100 1,104 1,108
20 1,0628
6 4 1 4 5 1 4 7 0
1,115 1,119 1,122 1,125 1,128 1,131 1,133 1,136 1,138
30 1,1124
9 3 6 5 5 3 9 3 8
40 1,1413 1,143 1,145 1,148 1,149 1,151 1,153 1,155 1,157 1,159
N 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
6 8 0 9 9 8 7 4 0
1,1610 1,192 1,163 1,165 1,166 1,168 1,169 1,170 1,172 1,173
50
7 3 8 8 7 1 6 8 1 4
1,175 1,177 1,178 1,179 1,180 1,181 1,182 1,183 1,184
60 1,1747
9 0 2 3 3 4 4 4 4
1,186 1,187 1,188 1,189 1,189 1,190 1,191 1,192 1,193
70 1,1854
3 3 1 0 8 6 5 3 0
1,194 1,195 1,195 1,196 1,197 1,198 1,198 1,199 1,200
80 0,1938
5 3 9 7 3 0 7 4 1
1,201 1,202 1,203 1,203 1,204 1,204 1,204 1,205 1,206
90 1,2007
3 6 2 8 4 6 9 5 0
10
1,2065
0

Kemudian dicari persamaan regresi melalui persamaan:

1
R=μ+ y )
α

Bila y1 = 0, maka R1 = …
Bila y2 = 5, maka R2 = …

Kemudian y1 dan y2 diplot pada “Gumbel’s Probability Paper”, yang


menggunakan skala log, kemudian kedua titik dihubungkan sehingga terdapat
sebuah garis. Lalu dari garis tersebut didapatkan nilai : Tr dan R10. Lalu
selanjutnya dilakukan uji homogenitas pada grafik “Homogeneity Test Graph”,
dengan jumlah tahun atau n sebagai absis atau sumbu x dan R sebagai ordinat atau
sumbu y

R10
Ordinat : Ŕ= x Tr )
Ȓ

d. Daerah Tangkapan Hujan (Catchment Area)


Catchment area adalah suatu daerah tadah hujan dimana air yang mengalir
pada permukaannya ditampung oleh saluran yang bersangkutan. Sistem drainase
yang baik yaitu apabila ada hujan yang jatuh di suatu daerah harus segera dapat
dibuang, untuk itu dibuat saluran yang menuju saluran utama.
Untuk menentukan daerah tangkapan hujan tergantung kepada kondisi
lapangan suatu daerah dan situasi topografinya atau elevasi permukaan tanah
suatu wilayah disekitar saluran yang bersangkutan yang merupakan daerah
tangkapan hujan dan mengalirkan air hujan kesaluran drainase. Untuk
menentukan daerah tangkapan hujan (Cathment area) sekitar drainase dapat
diasumsikan dengan membagi luas daerah yang akan ditinjau.

Sebelum menghitung curah hujan rata-rata dari wilayah stasiun pengamat


hujan, maka terlebih dahulu perlu dihitung luas catchment area dari masing-
masing stasiun pengamat hujan.

e. Menghitung Hujan Wilayah Rata-rata Daerah Aliran


Curah hujan yang diperlukan untuk penyusunan suatu rancangan pemanfaatan
air dan rancangan pengendalian banjir adalah curah hujan rata-rata diseluruh
daerah yang bersangkutan, bukan curah hujan pada suatu titik tertentu (Soemarto,
1995).
Curah hujan ini disebut curah hujan wilayah atau daerah dan dinyatakan dalam
mm. Curah hujan daerah ini harus diperkirakan dari beberapa titik pengamatan
curah hujan. Cara-cara perhitungan curah hujan daerah dari pengamatan curah
hujan di beberapa titik adalah sebagai berikut:
1) Metode Thiessen Polygon
Jika titik-titik pengamatan di dalam daerah itu tidak tersebar merata dan
masing-masing ketinggian terwakili, maka cara perhitungan curah hujan rata-rata
dilakukan dengan memperhitungkan daerah pengaruh tiap titik pengamatan
(Varsheney, 1979). Curah hujan daerah itu dapat dihitung dengan persamaan
sebagai berikut:

A1 R 1+ A 2 R2 + A 3 R3 +.....+ An Rn
Ŕ= )
A 1+ A 2+ A 3+ .....+ A n
A R + A R + A 3 R3 +.....+ An Rn
Ŕ= 1 1 2 2 )
A
Ŕ=W 1 R1 +W 2 R2 +W 3 R 3+ .....+W n R n )

Keterangan:
R = Curah hujan daerah
R1, R2, R3, … Rn = Curah hujan di tiap titik pengamatan dan n adalah jumlah
= titik-titik pengamatan
A1, A2, A3, … An = Luas daerah yang mewakili tiap titik pengamatan

Gambar dari penentuan curah hujan dengan metode Thiessen Polygon adalah
sebagai berikut:

Gambar 2.12 Metode Thiessen Polygon

Keterangan:
I = Stasiun I dengan luas poligon A1
II = Stasiun II dengan luas poligon A2
III = Stasiun III dengan luas poligon A3
A1 = Luas daerah yang dibatasi LON
A2 = Luas daerah yang dibatasi LOM
A3 = Luas daerah yang dibatasi MON

2) Metode Rata-rata Aljabar


Metode ini adalah perhitungan rata-rata secara aljabar curah hujan di dalam
dan di sekitar daerah yang bersangkutan. Metode ini digunakan untuk data hujan
dengan jumlah stasiun relatif banyak, perbedaan stasiun tidak terlalu besar dan
selisih rata-rata kurang dari 10%.

1
R= ( R1 + R2 + R3 +.....+ Rn ) )
n

Keterangan:
R = Curah hujan daerah (mm)
n = Jumlah titik (pos-pos) pengamatan
R1, R2, R3, … Rn = Curah hujan di tiap titik pengamatan (mm)
(Tim Penulis Perguruan Tinggi Swasta, 1997)

Gambar dari penentuan curah hujan dengan metode Aljabar adalah sebagai
berikut:

A
B
C D E

Gambar 2.23 Metode Aljabar

3) Metode Isohiyet
Metode ini digunakan untuk daerah dengan topografi yang tidak rata dan
dihitung sesuai ketinggian kontur, tetapi tidak berlaku untuk masing-masing
tahun. Dirumuskan sebagai berikut: (Suripin, 2003)

P=
A1 [ 2 ] [
P1 + P2 P +P
2 ] [
P +P
+ A 2 2 3 +… ..+ An−1 n−1 n
2 ] )
A 1+ A 2+.....+ A n−1
Keterangan:
A1, A2, ….. An = Luas area
P = Tinggi curah hujan rata-rata area
P1, P2, ….. Pn = Luas total daerah cakupan

Gambar dari penentuan curah hujan dengan metode Isohiyet adalah sebagai
berikut:
Gambar 2.14 Metode Isohyet

Ini adalah cara yang paling teliti untuk mendapatkan hujan areal rata-rata,
tetapi memerlukan jaringan pos penakar yang relatif lebih padat yang
memungkinkan untuk membuat isohyet (Takeda, Kenzaku, Hidrologi Untuk
Pengairan, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1993).

f. Cara Memilih Metoda Hujan Rata-rata


Pemilihan metode mana yang cocok dipakai pada suatu DAS dapat ditentukan
dengan mempertimbangkan tiga faktor, terlepas dari kelebihan dan kelemahan
kedua metoda yang tersebut di atas. Faktor - faktor tersebut adalah sebagai berikut
(Suripin,2004:31):
1) Jaring-jaring pos penakar hujan dalam DAS
2) Luas DAS
3) Topografi DAS

Tabel 2.5 Cara Memilih Metoda Curah Hujan


No Faktor-faktor Syarat-Syarat Jenis Metode
1 Jaring-Jaring Pos Jumlah Pos Penakar Hujan Metoda Isohiet, Thiessen
Penakar Hujan Dalam Cukup Atau Rata-Rata Aljabar
DAS dapat dipakai
Jumlah Pos Penakar Hujan Metoda Rata-Rata
Terbatas Aljabar atau Thiessen
Pos Penakar Hujan Tunggal Metoda Hujan Titik
2 Luas DAS DAS Besar (>5000 km2) Metoda Isohiet
DAS Sedang (500 s/d 5000
km2) Metoda Thiessen
Metoda Rata-Rata
DAS Kecil (<500 km2) Aljabar
3 Topografi DAS Pegunungan Metoda Rata-Rata
Aljabar
Dataran Metoda Thiessen
Berbukit Dan Tidak Beraturan Metoda Isohiet
Sumber : Suripin, 2004

2.3.4 Analisa Frekuensi Data Hujan


Analisis frekuensi adalah prosedur memperkirakan frekuensi suatu kejadian
pada masa lalu atau masa yang akan datang. Prosedur tersebut dapat digunakan
untuk menentukan hujan rancangan dalam berbagai kala ulang berdasarkan
distribusi yang paling sesuai. Menurut Harto (1993), analisis frekuensi dapat
dilakukan dengan seri data yang diperoleh dari rekaman data baik data hujan
maupun data debit. Analisis ini sering dianggap cara analisis yang paling baik,
karena dilakukan terhadap data yang terukur langsung yang tidak melewati
pengalihragaman terlebih dahulu.
Analisis frekuensi atau distribusi frekuensi digunakan untuk memperoleh
probabilitas besaran curah hujan rencana dalam berbagai periode ulang. Dasar
perhitungan distribusi frekuensi adalah parameter yang berkaitan dengan analisis
data yang meliputi ratarata, simpangan baku, koefisien variasi, dan koefisien
skewness (kecondongan atau kemiringan).

Tabel 2.6 Parameter Statistik


No Parameter Sampel Populasi
n
µ = E(X)
1 ∞
1 Rata-rata Ẍ=
n ∑ Xi = ∫ f ( x ) dx
t =1
−∞
1 /2

[ ]
n
Simpangan baku 1 1 /2
2
(Standar deviasi) Sd = ∑( X −Ẍ )
n−1 t =1 1
σ= { E { x−µ }2 }
S σ
3 Koefisien variasi CV = CV =
X µ
X 1− Ẍ
¿
¿2 2
Koefisien ¿ E ⌊ { x−µ } ⌋
4 Cs = ¿
skewness σ3
n
n∑¿
t =1
¿
Sumber : Suripin (2004
Keterangan pada tabel 2.5:
Ẍ = rata-rata data hujan
N = Jumlah tahun pengamatan
Sd = Standar deviasi
Cv = Koefisien variansi
Cs = Asimetri (skewness)
Ck = Koefisien Kurtosis

Hujan merupakan komponen yang sangat penting dalam analisis hidrologi.


Pengukuran hujan dilakukan selama 24 jam baik secara manual maupun otomatis,
dengan cara ini berarti hujan yang diketahui adalah hujan total yang terjadi selama
satu hari. Berdasarkan ilmu statistik dikenal beberapa macam metode distribusi
frekuensi yang banyak digunakan dalam bidang hidrologi. Berikut ini empat jenis
metode distribusi frekuensi yang paling banyak digunakan dalam bidang
hidrologi:
- Metode Gumbel
- Metode Log Normal

- Metode Log Person III

- Metode Iwai Kadoya

- Metode Normal

Berikut ini lima jenis distribusi frekuensi yang paling banyak digunakan dalam
bidang hidrologi:
A. Metode Gumbel
Hujan harian maksimum metode Gumbel dirumuskan sebagai berikut:

Yt
RT = Ȓ + ( σσ NR ) ( Y )
n
7)

Keterangan:
RT = HHM rencana dengan PUH = t Tahun
Ȓ = Presipitasi rata-rata dalam kisaran data HHMS (mm/24 jam)
σR = Standart Deviasi
σN = Expected Standart Deviasi
Yn = Expected Mean Reduced Variate
Yt = Reduced Variated untuk PUH = t Tahun (Loebis, 1992)
Tabel 2.7 Reduce Variate (Yt) pada PUH Tahun
PUH = t Tahun Reduce Variated
2 0,3665
5 1,4999
10 2,2502
25 3,1985
50 3,9019
100 4,6001
Sumber : Nemec, J., Engineering Hydrology, Tata-McGraw Hill Publishing
Company, Ltd., New Delhi, 1972

Pada metode ini yang perlu dicari adalah rentang keyakinannya (convidence
interval), yaitu keyakinan bahwa harga-harga perkiraan tersebut mempunyai
rentang harga, missal dari 100 mm/24 jam, yang ditulis (105 ± 5) mm/24 jam. Jadi
rentang keyakinan adalah ± 5 mm/24 jam. Persamaannya adalah: (Loebis, 1992)

Rk = ± t (a). Se 8)

Keterangan:
Rk = Rentang keyakinan (mm/24 jam)
T (a) = fungsi a
Untuk a = 90%, t (a) = 1,64
Untuk a = 80%, t (a) = 1,2822
Untuk a = 68%, t (a) = 1,00
Se = Probability error (eror deviasi)

σR
Se=b 9)
√N

b=√1+1,3 k + 1,1 K 2 )

Yt−Yn
k= )
σN
Dimana:
N = Jumlah data tahun pengamatan

1. Metode Gumbel Termodifikasi


Rumus metode Gumbel termodifikasi adalah: (Hardjosuprapto dan Masduki,
1999)

(ln ⁡( T T−1 +0,45)) x SD 22)


0,78 ln ¿
RT =R−¿

Keterangan:
R = Rata-rata hujan wilayah terkoreksi
T = Periode ulang hujan
SD = Simpangan Deviasi


2
( R −R)
SD= ∑ i )
N −1

Keterangan:
Ri = Hujan harian maksimum tiap tahun
R = Rata-rata hujan wilayah terkoreksi
N = Jumlah data curah hujan
B. Metode Log Normal
Dalam metode distribusi log normal data X diubah kedalam bentuk logaritmik
Y = log X. Jika variabel acak Y = log X terdistribusi secara normal, maka X
dikatakan mengikuti Distribusi Log Normal.
Untuk distribusi Log Normal perhitungan curah hujan rencana menggunakan
persamaan berikut ini:

Y T =Ӯ + K T Sd )

Dengan

Y T −¿Ӯ
Sd )
K T =¿
Keterangan:
YT = Perkiraan nilai yang diharapkan terjadi dengan periode ulang T- tahun
Ӯ = Nilai rata-rata hitung variat
Sd = Standar deviasi nilai variat
KT = Faktor frekuensi

C. Metode Log Pearson III

Metode Log Pearson Tipe III ini banyak dugunakan dalam analisis hidrologi,
terutama dalam analisis data maksimum (banjir) dan minimum (debit minimum)
dengan nilai ekstrim. Bentuk metode Log Pearson Tipe III merupakan hasil dari
transformasi dari distribusi Pearson tipe III dengan perubahan data yang ada ke
dalam bentuk logaritma. Data hujan harian maksimum tahunan sebanyak n tahun
diubah dalam bentuk logaritma. Hal ini sesuai dengan anjuran The Hydrology
Community of The Water Recurrence Council, di mana untuk pemakaian yang
praktis dari data yang ada, terlebih dahulu merubah data tersebut ke dalam
logaritmanya, kemudian dihitung statistikl parameternya.

Langkah-langkah dalam perhitungan curah hujan rencana berdasarkan


perhitungan Log Pearson Type III sebagai berikut (Soemarto, 1999):
1. Hitung rata-rata logaritma dengan rumus:

n
1
log Ẍ = ∑ log X i )
n t=1

2. Hitung simpangan baku dengan rumus:


n
1
Sd = ∑ ( log X i−logẌ )2 )
n−1 t=1

3. Hitung Koefisien Kemencengan dengan rumus:


n
n ∑ (log X i−logẌ )3
t =1 )
C s= 3
( n−1 )( n−2 ) sd

4. Hitung logaritma curah hujan rencana dengan periode ulang tertentu :

log X T =log Ẍ + K . Sd )

Keterangan:
Log Ẍ = Rata-rata logaritma data
n = Banyaknya tahun pengamatan
Sd = Standar deviasi
Cs = Koefisien kemencengan
K = Frequency Factors K yang tergantung nilai koefisien
kemiringan Cs (Tabel 2.5)

Untuk Harga Cs yang tidak ada pada tabel dapat dicari dengan menggunakan
interpolasi. Berikut tabel Harga K untuk metode Log Pearson Tipe III:

Tabel 2.8 Harga K Untuk Metode Distribusi Log Pearson Tipe III
Periode Ulang Tahun
Kemencengan 2 5 10 25 50 100 200 1000
No
(Cs) Peluang (%)
50 20 10 4 2 1 0,5 0,1
1 3,0 -0,396 0,420 1,180 2,278 3,150 4,051 4,970 7,250
2 2,5 -0,360 0,518 1,250 2,262 3,048 3,845 4,652 6,600
3 2,2 -0,330 0,574 1,284 2,240 2,970 3,705 4,444 6,200
4 2,0 -0,307 0,609 1,302 2,219 2,912 3,605 4,298 5,910
5 1,0 -0,282 0,643 1,318 2,193 2,848 3,499 4,147 5,660
6 1,6 -0,254 0,675 1,329 2,163 2,780 3,388 3,990 5,390
7 1,4 -0,225 0,705 1,337 2,128 2,706 3,271 3,828 5,110
8 1,2 -0,195 0,732 1,340 2,087 2,626 3,149 3,661 4,820
9 1,0 -0,164 0,758 1,340 2,043 2,543 3,022 3,489 4,540
10 0,9 -0,148 0,769 1,339 2,018 2,498 2,957 3,401 4,395
11 0,8 -0,132 0,780 1,336 2,998 2,453 2,891 3,312 4,250
12 0,7 -0,116 0,790 1,333 2,967 2,407 2,824 3,223 4,105
13 0,6 -0,099 0,800 1,328 2,939 2,359 2,755 3,132 3,960
14 0,5 -0,083 0,808 1,323 2,910 2,311 2,686 3,041 3,815
15 0,4 -0,066 0,816 1,317 2,880 2,261 2,615 2,949 3,670
16 0,3 -0,050 0,824 1,309 2,849 2,211 2,544 2,856 3,595
Periode Ulang Tahun
Kemencengan 2 5 10 25 50 100 200 1000
No
(Cs) Peluang (%)
50 20 10 4 2 1 0,5 0,1
17 0,2 -0,033 0,830 1,301 2,818 2,159 2,472 2,763 3,580
18 0,1 -0,017 0,836 1,292 2,785 2,107 2,400 2,670 3,501
19 0,0 0,000 0,842 1,282 2,751 2,054 2,326 2,576 3,090
20 -0,1 0,017 0,836 1,270 2,761 2,000 2,252 2,482 3,950
21 -0,2 0,033 0,850 1,258 1,680 1,945 2,178 2,388 2,810
22 -0,3 0,050 0,853 1,245 1,643 1,890 2,104 2,294 2,675
23 -0,4 0,066 0,855 1,231 1,606 1,834 2,029 2,201 2,540
24 -0,5 0,083 0,856 1,216 1,567 1,777 1,955 2,108 2,400
25 -0,6 0,099 0,857 1,200 1,528 1,720 1,880 2,106 2,275
26 -0,7 0,116 0,857 1,183 1,488 1,663 1,806 1,926 2,150
27 -0,8 0,132 0,856 1,166 1,488 1,606 1,733 1,837 2,035
28 -0,9 0,148 0,854 1,147 1,407 1,549 1,660 1,749 1,910
29 -1,0 0,164 0,852 1,128 1,366 1,492 1,588 1,664 1,800
30 -1,2 0,195 0,844 1,086 1,282 1,379 1,449 1,501 1,625
31 -1,4 0,225 0,832 1,041 1,198 1,270 1,318 1,351 1,465
32 -1,6 0,254 0,817 0,994 1,116 1,166 1,200 1,216 1,280
33 -1,8 0,282 0,799 0,945 0,035 1,069 1,089 1,097 1,130
34 -2,0 0,307 0,777 0,895 0,959 0,980 0,990 1,995 1,000
35 -2,2 0,330 0,752 0,844 0,888 0,900 0,905 0,907 0,910
36 -2,5 0,360 0,711 0,771 0,793 0,798 0,799 0,800 0,802
37 -3,0 0,396 0,636 0,660 0,666 0,666 0,667 0,667 0,668
Sumber : Soemarto,1999

5. Hujan Harian Maksimum metode Log Pearson Tipe III dirumuskan sebagai
berikut:

RT =antilog X T )
D. Metode Iwai Kadoya
Langkah perhitungan yang dilakukan pertama kali adalah:
1. Menentukan Harga Xo

1
n∑
Xo= log X i )

2. Memperkirakan harga b:
1
m∑
b= bi )

Dimana
n
m= )
10

( X s X t )− X o 2
bi= )
2 X o−(X s X t )

3. Memperkirakan harga c:

1 /2
1
c
=⌊ { }
2n
n−1
( X 2−X o2 ) ⌋ )

Keterangan:
X = Harga dengan nomor pengamatan m dari yang terbesar
XT = Harga dengan nomor pengamatan m dari yang terkecil
n = Banyaknya data variabel normal ξ yang sesuai pada W(x) utama

E. Metode Normal
Distribusi normal atau kurva normal disebut juga distribusi Gauss. Perhitungan
curah hujan rencana menurut metode distribusi normal, mempunyai persamaan
sebagai berikut:

X T = Ẍ + K T Sd )

Dimana

X T− Ẍ
KT= )
Sd

Keterangan:
YT = Perkiraan nilai yang diharapkan terjadi dengan periode ulang T-
tahun
Ӯ = Nilai rata-rata hitung variat
Sd = Standar deviasi nilai variat
KT = Faktor frekuensi

Untuk mempermudah perhitungan, nilai faktor frekuensi (KT) umumya sudah


tersedia dalam tabel, disebut sebagai tabel nilai variabel reduksi Gauss (Variable
reduced Gauss), seperti ditunjukkan dalam Tabel 2.9.
Tabel 2.9 Nilai Variabel Reduksi Gauss
Periode
No T (Tahun) Peluang KT
Ulang
1 1,001 0,999 -3,05
2 1,005 0,995 -2,58
3 1,010 0,990 -2,33
4 1,050 0,950 -1,64
5 1,110 0,900 -1,28
6 1,250 0,800 -0,84
7 1,330 0,750 -0,67
8 1,430 0,700 -0,52
9 1,670 0,600 -0,25
10 2,000 0,500 0
11 2,500 0,400 0,25
12 3,330 0,300 0,52
13 4,000 0,250 0,67
14 5,000 0,200 0,84
15 10,000 0,100 1,28
16 20,000 0,050 1,64
17 50,000 0,020 2,05
18 100,000 0,010 2,33
19 200,000 0,005 2,58
20 500,000 0,002 2,88
21 1000,000 0,001 3,09
Sumber : Suripin (2004

2.3.5 Analisa Intensitas Hujan


Untuk mengolah data curah hujan menjadi intensitas curah hujan digunakan
cara statistik dari data pengamatan durasi hujan yang terjadi, apabila data untuk
seiap data curah hujan tidak ada, maka diperlukan pendekatan secara empiris
dengan berpedoman pada durasi 60 menit (1 jam) dan pada curah hujan
maksimum yang terjadi setiap tahun.
Cara lain yang lazim digunakan adalah dengan mengambil pola intensitas
hujan di kota lain yang mempunyai kondisi hampir sama. Metode yang biasa
digunakan untuk menghitung distribusi hujan dapat digunakan beberapa metode,
yaitu:

A. Metode Van Breen


Metode Van Breen ini menganggap besarnya atau lamanya durasi hujan harian
adalah terpusat selama 4 jam dengan hujan efektif sebesar 90% dari hujan selama
24 jam. Perhitungan intensitas hujan ini menggunakan kurva Kota Jakarta sebagai
kurva basis. Kurva basis dapat memberikan kecenderungan bentuk kurva untuk
daerah lain di Indonesia.
Pada metode ini intensitas hujan dapat dihitung dengan menggunakan rumus
sebagai berikut:

90 x R24
I= )
4

Keterangan:
I = Intensitas hujan (mm/jam)
R24 = Curah Hujan Harian Maksimum (mm/24 jam)

Untuk mendapatkan durasi intensitas digunakan tabel lengkung Jakarta (lihat


tabel 2.10). Tabel 2.10 ini digunakan sebagai asumsi yang umumnya digunakan di
Indonesia.

Tabel 2.10 Intensitas Hujan Kota Jakarta


Intensitas Hujan Jakarta (mm/jam
Durasi (menit) Untuk Periode Ulang Hujan (Tahun)
2 5 10
5 126 145 155
10 114 126 138
20 102 114 123
40 78 87 96
60 61 73 81
120 36 45 51
240 21 27 30
Sumber : BUDP Drainage Design for Bandung dalam Pandebesie dkk, 2002.
Angka intensitas pada durasi 240 menit (21, 27 dan 30) adalah angka pembagi,
sedang yang lainnya adalah angka pengali. Dengan membandingkan intensitas
yang didapatkan melalui Metode Van Breen dengan intensitas hujan kota Jakarta,
maka intensitas hujan pada durasi tertentu diperoleh, dengan rumus:
126
I ( x , y )= x Ix )
21

Keterangan:
Ix = Intensitas curah hujan pada PUH tertentu (mm/jam)
x = Periode Ulang Hujan dalam tahun (misal: 2,5,10)
y = Durasi waktu dalam menit (misal: 5,10,20,40,..,240)

B. Metode Hasper Weduwen


Pada metode ini, perhitungan intensitas hujan tetap didasarkan kepada HHM
terpilih, yaitu HHM dengan Metode Gumbel. Berdasarkan anggapan bahwa hujan
memiliki distribusi simetris dengan durasi hujan (t) lebih kecil dari 1 jam dan
durasi antara 1 sampai 24 jam. Dengan persamaan berikut ini dilakukan
perhitungan intensitas hujan dengan PUH 2 - 10 tahun dalam durasi 5 - 40 menit.
Intensitas hujan dihitung dengan rumus, sebagai berikut:

1. Bila 0 ≤ t < 1, maka:

R=
√ 11300 t Ri
( )
t +3,12 100
)

Dimana

Ri = X t
( X (1218t
t
+54
1−t ) +1272 t )
)

2. Bila 1 ≤ t ≤ 24, maka:

R=
√ 11300 t X i
( )
t +3,12 100
)

Sedangkan untuk menentukan intensitas hujan menurut Hasper Weduwen,


digunakan rumus, sebagai berikut:

R
I= )
t
Keterangan:
Xt = Hujan Harian Maksimum (mm/24 jam)
t = Durasi waktu (jam)
R, Ri = Curah Hujan

2.3.6 Pemilihan Rumus Intensitas Hujan


Persamaan intensitas terhadap variabel untuk perhitungan debit air hujan
menggunakan bentuk persamaan yang sederhana yang umumnya memakai bentuk
persamaan Talbot, Sherman, dan Ishiguro. Dari hasil analisa curah hujan menurut
rumus Van Breen atau Hasper Weduwen, untuk disubtitusikan kedalam rumus
Talbot, Sherman, dan Ishiguro dengan metode kuadrat terkecil (Least Square).
Persamaan yang mempunyai beda terkecil yang akan dipakai. Berikut metode
perhitungan yang digunakan:
A. Metode Talbot
Rumus ini dikemukakan oleh Prof. Talbot dalam tahun 1881 dan disebut jenis
Talbot. Rumus ini banyak digunakan karena mudah diterapkan. Adapun rumus
yang digunakan yaitu sebagai berikut:

a
I= )
t +b

Dengan

2
ΣI ¿
( n Σ I 2 ) −( ¿¿)
( Σ I t ) ( Σ I 2) −( Σ I 2 t ) (Σ I ) )
¿
a=¿

Σ I ¿2
( n Σ I 2 )−(¿¿)
( Σ I t )( Σ I t )−n ( Σ I 2 t ) )
¿
b=¿
Keterangan:
I = Intensitas hujan (mm/jam)
t = Durasi waktu (menit)
a dan b = Konstanta
n = Jumlah tahun pengamatan

B. Metode Sherman
Rumus ini dikemukakan oleh Prof. Sherman dalam tahun 1905 dan disebut
jenis Sherman. Rumus ini mungkin cock untuk jangka waktu curah hujan yang
lamanya lebih dari 2 jam. Rumus yang digunakan (Suripin, 2003):

a
I= 47)
tn

Dimana

I
I
t
Σ log ¿
¿
¿
¿
¿ )
¿
t . log ¿ .¿
Σ log ¿
Σ log¿ . ( Σ log 2 t ) −¿
¿
¿
log a=¿

t
I
Σ logt . log¿
¿
¿
¿ )
Σ logt ¿2
Σ log I . Σ log ¿−N ¿
¿
¿
n=¿
Keterangan:
I = Intensitas hujan (mm/jam)
t = Durasi waktu (menit)
a dan N = Konstanta
N = Jumlah tahun pengamatan

C. Metode Ishiguro
Rumus ini dikemukakan oleh Dr. Ishiguro dalam tahun 1953. Rumus yang
digunakan sebagai berikut (Suripin, 2003):

a. y
I= 50)
√ t +b

Dimana

Σ I ¿2
2
N Σ I −(¿ ¿)
( Σ I √t . Σ I ) )
2

¿
a=¿

Σ I ¿2
N Σ I 2−(¿ ¿)
( Σ I . Σ I √t ) )
¿
b=¿

Keterangan:
I = Intensitas hujan (mm/jam)
t = Durasi waktu (menit)
a dan b = Konstanta
N = Jumlah tahun pengamatan

D. Metode Mononobe
Menurut Dr. Mononobe intensitas hujan (I) di dalam rumus rasional dapat
dihitung dengan rumus (Tim Penyusun Perguruan Tinggi Swasta, 1997):
2/3
I=
[ ]
R 24
24 t c
53)

Keterangan:
R = Curah hujan rancangan setempat (mm)
Tc = Lama waktu konsentrasi (jam)
I = Intensitas hujan (mm/jam)

2.4 Dasar Perencanaan


Sistem yang akan direncanakan adalah sistem terpisah. Di dalam perencanaan
sistem penyaluran air hujan ini digunakan beberapa parameter yang merupakan
dasar perencanaan sistem. Dalam menentukan arah jalur saluran air hujan yang
direncanakan terdapat batasan – batasan sebagai berikut:
1. Arah pengaliran dalam saluran mengikuti garis ketinggian yang
ada sehingga diharapkan pengaliran secara gravitasi dan menghindari
pemompaan.
2. Pemanfaatan sungai/anak sungai sebagai badan air penerima dari
outfall yang direncanakan.

Dalam parameter tersebut ditunjukkan adanya faktor pembatas yaitu kondisi


geografi setempat. Dari kondisi ini dikembangkan suatu sistem dengan berbagai
alternatif dengan mempertimbangkan segi teknis dan ekonomisnya (Joetata
Hadihardjaja, 1995).

2.4.1 Aspek Aliran/Teknis


Faktor – faktor yang diperlukan dipertimbangkan untuk perancangan saluran
tahan erosi adalah:
1. Jenis material yang membentuk tubuh saluran untuk menentukan koefisien
kekasarannya.
2. Kecepatan aliran minimum yang diijinkan agar tidak terjadi pengendapan
apabila air mengandung lumpur dan sisa – sisa kotoran.
3. Kemiringan dasar dan dinding saluran. Penampang yang efisien, baik yang
hidrolis maupun empiris.

Beberapa kriteria perancangan dapat diuraikan berikut ini :


a. Koefisien larian (run off)
Ketepatan dalam menetapkan besarnya debit air yang harus dialirkan melalui
saluran drainase pada daerah tertentu, sangatlah penting dalam penentuan dimensi
saluran. Menghitung besarnya debit rancangan drainase perkotaan pada umumnya
digunakan metode rasional dan modifikasinya (Joetata Hadihardjaja, 1995).

Besarnya koefisien pengaliran dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2.11 Harga Koefisien Pengaliran (C) pada tiap Guna Lahan
N
Tipe Daerah Aliran Harga C
o
1 Rerumputan Tanah pasir, datar 2% 0,05 - 0,10
Tanah pasir, rata-rata 2 - 7% 0,10 - 0,15
Tanah pasir, curam 7% 0,15 - 0,20
Tanah gemuk, datar 2% 0,13 - 0,17
Tanah gemuk, rata-rata 2-7% 0,18 - 0,22
Tanah gemuk, curam 7% 0,25 - 0,35
2 Bisnis Daerah kota lama 0,75 - 0,95
Daerah pinggiran 0,50 - 0,70
3 Perumahan Daerah single family 0,30 -0,50
Multi unit terpisah-pisah 0,40 - 0,60
Multi unit tetutup 0,60 - 0,75
Sub urban 0,25 - 0,40
Daerah rumah apartemen 0,50 - 0,70
4 Industri Daerah industri ringan 0,50 - 0,80
Daerah industri berat 0,60 - 0,90
5 Pertmanan, kuburan 0,10 - 0,25
6 Tempat bermain 0,20 - 0,35
7 Halaman K.A 0,20 - 0,40
8 Daerah yang tidak dikerjakan 0,10 - 0,30
9 Jalan Beraspal 0,70 - 0,95
Beton 0,80 - 0,95
Batu 0,70 - 0,85
Untuk berjalan dan naik
10 kuda 0,75 - 0,85
11 Atap 0,75 - 0,95
Sumber : Liong dalam Pandebesie dkk, 2007
Tabel 2.12 Koeisien Run Off (C)
Deskripsi Lahan atau Koefisien
No
Karakter Permukaan Pengaliran
1 Bisnis
Perkotaan 0,7 - 0,95
Pinggiran 0,5 - 0,7
2 Perumahan
Rumah Tinggal 0,3 - 0,4
Multi, terpisah 0,4 - 0,6
Multi, tergabung 0,6 - 0,75
Perkampungan 0,25 - 0,4
Apartemen 0,5 - 0,7
3 Industri
Ringan 0,5
Berat 0,8
4 Perkerasan
Aspal dan Beton 0,7 - 0,95
Batu-bata, Paving 0,5 - 0,7
5 Atap 0,7 - 0,95
6 Halaman, tanah berpasir
Datar 2% 0,05 - 0,1
Rata-rata 2 - 7% 0,1 - 0,15
Curam 7% 0,15 - 0,20
7 Halaman tanah berat
Datar 2% 0,13 - 0,17
Rata-rata 2 - 7% 0,18 - 0,22
Curam 7% 0,25 - 0,35
8 Halaman kereta api 0,1 - 0,35
9 Taman tempat bermain 0,2 - 0,35
10 Taman perkebunan 0,1 - 0,25
11 Hutan
Datar 0% - 5% 0,1 - 0,4
Bergelombang 5 - 10% 0,25 - 0,5
Berbukit 10 - 30% 0,3 - 0,6
Sumber : Suripin, Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan, 2004

b. Bentuk – bentuk saluran


Bentuk – bentuk untuk saluran drainase tidak terlampau jauh berbeda dengan
saluran air untuk irigasi pada umumnya. Dalam perancangan dimensi saluran
harus diusahakan dapat memperoleh dimensi penampang yang ekonomis (Joetata
Hadihardjaja, 1995).
Bentuk saluran drainase terdiri dari:
1) Bentuk trapesium
Pada umumnya saluran ini dari tanah, tetapi dimungkinkan juga dari pasangan
batu kali. Saluran ini membutuhkan ruang yang cukup.
2) Bentuk segi empat
Saluran ini tidak banyak membutuhkan ruang. Sebagai konsekuensi saluran ini
harus dari pasangan atau beton.
3) Bentuk lingkaran, parabola, dan bulat telur
Saluran ini berupa saluran dari pasangan atau kombinasi pasangan dan pipa
beton. Dengan bentuk dasar saluran yang bulat memudahkan pengangkutan
bahan endapan/limbah.
4) Bentuk tersusun
Saluran ini dapat berupa tanah maupun pasangan. Tampang saluran yang
bawah berfungsi mengalirkan air rumah tangga pada kondisi tidak hujan,
apabila terjadi hujan maka kelebihan air dapat ditampung pada saluran bagian
atas (Joetata Hadihardjaja, 1995).

c. Macam Material
Lapisan dasar dan dinding saluran drainase tanah erosi bisa dibuat dari : beton,
pasangan batu kali, pasangan batu merah, aspal, kayu, besi cor, baja, dan lain –
lain. Pilihan material tergantung pada tersedianya lahan serta harga bahan
konstruksi saluran. Penampang melintang saluran drainase perkotaan pada
umumnya berbentuk segi empat, karena dipandang lebih efisien di dalam
pembebasan tanahnya jika dibandingkan dengan trapezium (Joetata Hadihardjaja,
1995).

d. Kemiringan Saluran
Kkemiringan saluran adalah kemiringan dasar saluran dan kemiringan dinding
saluran. Kemiringan dasar saluran merupakan kemiringan dasar saluran arah
memanjang dimana umumnya dipengaruhi oleh kondisi topografi, serta tinggi
tekanan yang diperlukan untuk adanya pengaliran sesuai dengan kecepatan yang
diinginkan. Kemiringan dasar saluran maksimum yang diperbolehkan adalah
0,005 – 0,008 tergantung pada bahan saluran yang digunakan. Kemiringan yang
lebih curam dari 0,002 bagi tanah lepas sampai dengan 0,005 untuk tanah padat
akan menyebabkan erosi (Joetata Hadihardjaja, 1995).

e. Kecepatan yang diijinkan


Kecepatan minimum yang diijinkan adalah kecepatan terkecil yang tidak
menimbulkan pengendapan dan tidak merangsang pertumbuhan tanaman akuatik
serta lumut. Pada umumnya dalam praktek kecepatan sebesar 0,60 – 3,0 m/det
dapat digunakan dengan aman apabila prosentase lumpur yang ada di air cukup
kecil.
Kecepatan maksimum yang diijinkan berdasarkan material :
1. Untuk saluran berdinding tanah : v maks = 0,75 m/det
2. Untuk saluran berdinding batu : v maks = 2,5 m/det
3. Untuk saluran berdinding beton : v maks = 3 m/det

f. Tinggi Jagaan (Freeboard)


Yang dimaksud dengan jagaan dari suatu saluran adalah jarak vertikal dari
puncak tanggul sampai permukaan air pada kondisi perencanaan. Jagaan
direncanakan untuk dapat mencegah peluapan air akibat gelombang serta fluktuasi
permukaan air, akibat gerakan angin serta pasang surut. Jagaan tersebut
direncanakan antara 5 % sampai dengan 30 % dari dalamnya aliran (Joetata
Hadihardjaja, 1995).

g. Koefisien kekasaran Manning


Dari macam – macam jenis saluran, baik berupa saluran tanah maupun
dengan pasangan, besarnya koefisien mengacu pada tabel berikut :

Tabel 2.13 Nilai Kekasaran Manning (n) untuk Saluran Terbuka

No Channel Type Manning (n)

1 Lined Channels
Aspalt 0,013 - 0,017
Brick 0,012 - 0,018
Concrete 0,011 - 0,020
Rubble or riprap 0,020 - 0,035
Vegetal 0,030 - 0,400
2 Excavated or dredged
Earth, straight, and uniform 0,020 - 0,030
Earth, windind, fairly uniform 0,025 - 0,040
Rock 0,030 - 0,045
Unmaintained 0,050 - 0,140
3 Natural channels (mirror strams, top width at flood stage < 100 ft)
Fairly regular section 0,030 - 0,070
Irrengular section with poo;s 0,040 - 0,100
Sumber : EPA SWMM 5.0
Tabel 2.14 Nilai Kekasaran Manning (n) untuk Saluran Tertutup

No Condult Material Manning (n)

1 Asbestos - cement pipe 0,011 - 0,015


2 Brick 0,013 - 0,017
3 Cast Iron pipe
Cement-lined & seal coated 0,011 - 0,015
4 Concrete (monolithlc)
Smooth forms 0,012 - 0,014
Rough forms 0,015 - 0,017
Concrete pipe 0,011 - 0,015
5 Corrugated-metal pipe (1/2-ln, x 2-2/3-ln, corrugations)
plain 0,022 - 0,026
Paved invert 0,018 - 0,022
Spun asphalt lined 0,011 - 0,015
Plastic pipa (smooth) 0,011 - 0,015
6 Vitrifled clay
Pipes 0,011 - 0,015
Liner plates 0,013 - 0,017

Sumber : EPA SWMM 5.0

Dalam mencari besarnya t0 pa


da perhitungan kapasistas saluran dapat digunakan beberapa rumus dibawah
ini :
1. Berlaku untuk daerah pengaliran dengan tali air sepanjang + 300 m

1
Lo ¿ 2
¿ )
3,26 . ( Li−c ) . ¿
t 0=¿

Dimana :
t0 = Waktu limapsan (menit)
c = Angka pengaliran
Lo = Panjang limpasan (m)
So = Kemiringan medan/slope (m/m)
Berlaku untuk daerah panjang tali air sampai dengan 1000 m
1
3
Lo ¿
¿ )
108 n .¿
t 0 =¿

Dimana :
t0 = Waktu limpasan (menit)
n = Harga kekasaran permukaan tanah
Lo = Panjang limpasan (m)
So = Kemiringan medan/slope (m/m)

2. Berlaku untuk umum, baik untuk limpasan maupun waktu konsentrasi

92,7 . L
t c= 0,1
t
0,2 0 )
A . Sr

Dimana :
tc = Waktu konsentrasi (menit)

2.1 Kriteria Penentuan Daerah Pelayanan


Dalam menentukan luasan catchman area dari sebuah saluran yang melayani
suatu areal tertentu, perlu diperhatikan sistem drainase pada kota tersebut secara
keseluruhan. Mengingat masing-masing areal pelayanan dari setiap saluran
merupakan sebuah subsistem dari sistem drainase kota sebagai suatu kesatuan.
Penentuan besarnya catchment area sangat bergantung dari beberapa faktor,
antara lain :
1. Kondisi topografi daerah
2. Sarana/prasarana drainase yang sudah ada.
3. Sarana/prasarana jalan yang sudah ada dan akan dibangun
4. Sarana/prasarana kota lainnya seperti jaringan listrik, air bersih, telepon, dan

lain-lain
5. Ketersediaan lahan alur saluran

2.2 Jens Drainase


Jenis-jenis drainase digolongkan berdasarkan sudut pandang tertentu dibagi
menjadi beberapa jenis sebagai berikut (Tim Penulis Perguruan Tinggi Swasta, 1997):
1. Menurut sejarah terbentuknya
a. Drainase alamiah (Natural Drainage)
Drainase yang terbentuk secara alami dan tidak terdapat bangunan-bangunan
penunjang seperti banginan pelimpah, pasangan batu/beton, gorong-gorong,
dan lain-lain. Saluran ini terbentuk oleh gerusan air yang bergerak karena
gravitasi yang lambat laun membentuk jalan air yang permanen seperti
sungai.
b. Drainase buatan (Artificial Drainage)
Drainase yang dibuat dengan maksud dan tujuan tertentu sehingga
memerlukan bangunan khusus seperti selokan, pasang batu/beton, gorong-
gorong, pipa, dan sebagainya.

2. Menurut bangunan
a. Drainase permukaan tanah (Surface Drainage)
Saluran drainase yang ada diatas permukaan tanah yang berfungsi
mengalirkan air limpasan permukaan.
b. Drainase bawah permukaan tanah (Subsurface Drainage)
Saluran drainase yang bertujuan mengalirkan air limpasan permukaan
melalui media dibawah permukaan tanah (pipa-pipa), dikarenakan antara
lain tuntutan artistik, fungsi permukaan tidak diperbolehkan adanya saluran
di permukaan tanah seperti lapangan sepak boa, lapangan terbang, taman,
dan lain-lain.

3. Menurut fungsi
a. Single Purpose, yaitu saluran yang berfungsi mengalirkan satu jenis air

buangan, misalnya air hujan saja atau jenis air buangan yang antara lain
seperti limbah domestik, industri, dan lain-lain.
b. Multi Purpose, yaitu saluran yang berfungsi mengalirkan beberapa jenis air
buangan baik secara bercampur atau bergantian.
4. Menurut kontruksi
a. Saluran terbuka, yaitu saluran yang lebih cocok drainase air hujang yang

terletak di daerah yang mempunyai luasan yang cukup, ataupun untuk


drainase air non hujan yang tidak mengganggu kesehatan atau lingkungan.
b. Saluran tertutup, yaitu saluran pada umumnya sering dipaka untuk aliran air

kotor atau untuk saluran yang ditengah kota.


Gambar 2.3 Saluran Terbuka dan Saluran Tertutup
(Sumber : Ichwan Ridwan Nasution, 2005)

Pada sistem penyaluran terpisah, air hujan dialirkan tersendiri dengan


menggunakan saluran terbuka. Saluran air hujan terdiri atas tiga jenis, yaitu:
1. Saluran Tersier, yaitu saluran yang terdapat pada jalan-jalan kecil, untuk

kemudian menyalurkan air hujan munuju ke saluran yang lebih besar.


2. Saluran Sekunder, yaitu saluran lanjutan dari saluran tersier, dengan kuantitas

air merupakan kumulatif dari saluran-saluran yang kecil, lalu disalurkan


menuju saluran saluran uatama/saluran primer.
3. Saluran Primer, yaitu saluran yang menampung air hujan dari beberapa daerah

pengaliran lewat saluran sekunder.

Untuk saluran air hujan yang melewati daerah ramai dan sibuk seperti
perkotaan, pasar, industri, perkantoran, dan rumah sakit umumnya menggunakan
saluran tertutup. Hal ini untuk menghindari agar orang tidak terperosok dan pada
daerah ramai umumnya lahan sangat diperlukan, sehingga saluran tertutup bagian
atas saluran dapat digunakan untuk kepentingan lain, misalnya untuk tempat
parkir, trotoir, dan sebagainya.

2.3 Debit Rencana


Debit rencana untuk daerah perkotaan umumnya dikehendaki pembuangan
air secara tepat, agar jangan ada genangan air yang berarti. Faktor-faktor yang
menentukan tinggi genangan air yang diperbolehkan agar tidak menimbulkan
kerugian yang berarti, adalah :
a. Luasan daerah yang akan tergenang
b. Lama waktu penggenangan
Besarnya debit rencana dapat dihitung dengan metode rasional dan modifikasinya.
1. Metode rasional
Apabila luar daerah pengaliran lebih kecil dari 0,80 km 2 (40-80 Ha), kapasitas
pengaliran dapat dihitung dengan rumus (Tim penyusun Perguruan Tinggi Swasta,
1997) :

Q=a. β . IA )

Keterangan :
Q = Kapaitas pengaliran (m3/detik)
a = Koefisien pengaliran
 = Koefisien penyebaran hujan
I = Intensitas hujan (mm/jam)
A = Luas daerah pengaliran (Ha)

2. Modifikasi metode rasional


Apabila luas daerah pengaliran antara 0,80 – 50 km2 maka metode rasional
harus dimodifikasi dengan memperhitungkan efek penampungan saluran. Efek
penampungan tersebut dinyatakan dalam bentuk koefisien penampungan yang
berfungsi untuk memperkecil nilai estimasi suatu daerah pengaliran yang relatif
besar. Kapasitas pengaliran dapat dihitung dengan rumus (Nemec, 1972) :

Q=f .Cs . C . I . A )

Keterangan :
Q = Kapasitas pengaliran (m3/detik)
f = Faktor konversi (0,278)
I = Intensitas hujan (mm/jam)
C = Koefisien pengaliran
A = Luas daerah (km2)
Cs = Koefisien penampungan

2 tc
Cs= )
2 tc+td

Keterangan :
tc = Waktu konsentrasi
td = Waktu pengaliran

Waktu yang diperlukan air hujan dalam saluran untuk mengalir sampai ke
titik pengamatan (td) ditentukan oleh karakteristik hidrolis didalam saluran
dimana rumus pendekatannya adalah :

L
td= )
V

Dimana :
L = Panjang saluran (m)
V = kecepatan aliran (m/detik)

Untuk mencari nilai V dapat digunakan rumus kecepatan Manning sebagai


berikut :

2 1
1
V = . R3 . S 2 )
n

Dimana :
n = Harga kekasaran salran
R = Radius hidrolis
S = Kemiringan medan/slope (m/m)

Rumus Manning tersebut dianjurkan untuk dipakai dalam saluran buatan atau
dengan pasangan (lining). Untuk saluran alami, dianjurkan untuk memakai rumus
kecepatan de Chezy.
Koefisien pengaliran (c) merupakan jumlah hujan yang jatuh dengan
mengalir sebagai limpasan air hujan dalam permukaan tanah tertentu. Faktor-
faktor yang mempengaruhi harga koefisien pengaliran ini adalah adanya infiltrasi
dan tampungan hujan pada tanah, sehingga mempengaruhi jumlah air hujan yang
mengair. Penerapan koefisien pengaliran (c) dalam pemakaian metode rasional,
disesuaikan dengan tata guna lahan dari rencana pengembangan tanah atau daerah
setempat.
Air hujan yang jatuh di suatu tempat pada daerah aliran sungai memerlukan
waktu untuk mengalir sampai pada titik pengamatan. Lama waktu yang
dibutuhkan untuk mencapai titik pengamatan oleh air hujan yang jatuh di tempat
terjauh dari titik pengamatan disebut waktu konsentrasi atau time of concentration
(tc).
2 0,385
tc= (
0,87 x L
1000 x s ) )

Dimana :
L = Jumlah panjang (ekivalen) aliran (km)
A = Luas daerah pengaliran kumulatif (ha)
Sr = Kemiringan / slope rata-rata (m/m)

Waktu untuk mengalir dalam saluran (td)

L
td= ( detik ) 35)
V

atau

L 1
td= . (menit)6)
V 60

Dimana :
L = Panjang saluran (m)
V = Kecepatan aliran (m/detik)

2.4 Susunan dan Fungsi Saluran Jaringan Drainase


Dalam pegertian jaringan drainase, maka sesuai dengan fungsi dan sistem
kerjanya, jenis saluran dapat dibedakan sebagai berikut:
1. Interceptor drain
Saluran interceptor adalah saluran yang berfungsi sebagai pencegah terjadinya
pembebanan aliran dari suatu daerah terhadap daerah lain dibawahnya dan saluran
ini dibangun pada bagian yang relatif sejajar dengan garis kontur. Outlet saluran
ini terletak di saluran collector atau langsung di naturan drainage (drainase
alami).

2. Collector drain
Saluran collector adalah saluran yang berfungsi sebagai pengumpul debit yang
diperoleh dari drainase yang lebih kecil dan akhirnya dibuang ke saluran conveyor
(pembawa).

3. Coveyor drain
Saluran coveyor adalah saluran yang berfungsi sebagai pembawa air buangan
dari suatu daerah ke lokasi pembuangan tanpa harus membahayakan daerah yang
dilalui. Letaknya dibagian terendah lembah dari suatu daerah sehingga dapet
berfungsi sebagai pengumpul dari anak cabang saluran yang ada.

2.5 Perhitungan Elevasi dan Slope Tanah


.8.1 Elevasi
Sebelum menentukan slope tanah dilakukan perhitungan elevasi tanah
terlebih dahulu, dimana penentuan elevasi muka tanah dihitung berdasarkan
interpolasi kontur.
Apabila mengukur elevasi titik yang dicari dari elevasi terendah, maka
menggunakan rumus :

tr+ ( tt−tr
dt )
x dx )

Apabila mengukur elevasi titik yang dicari dari elevasi tertinggi, maka
menggunakan rumus :

tt− ( tt−tr
dt )
x dx )

Dimana :
tt = Kontur tertinggi
tr = Kontur terendah
dt = Jarak antara 2 kontur diantara titik yang dicari
dx = Jarak titik yang dicari dari kontur tertinggi / terendah

.8.2 Slope Tanah


Setelah didapatkan debit aliran puncak dalam setiap sektor pelayanan
kemudian dikalikan suatu faktor sehingga didapatkan debit penuh, maka
selanjutnya dilakukan pendimensian pipa dengan menghitung kemiringan tanah,
yang dihitung dengan persamaan (H. E. Babbit, Sewerage and Sewage Treatment,
1969) :

St= ( E1−E
L
2
) )
Dimana :
St = Slope tanah
E1 = Elevasi tanah hulu (m)
E2 = Elevasi tanah hilir (m)
L = Panjang saluran (m)

2.6 Perhitungan Dimensi dan Saluran Drainase


Rumus yang digunakan untuk perhitungan dimensi saluran adalah rumus
Manning, yaitu :

Q=V . A 40)

2 /3 1 /2
R .S
V= 41)
n

1
Q= . A . R2/ 3 . S1 /2 42)
n

Dimana :
Q = Debit air yang disalurkan (m3/s)
V = Kecepatan rata-rata dalam saluran (m/s)
n = Koefisien kekasaran Manning
A = Luas penampang basah (m2)
R = Jari-jari hidrolis (m)
S = Kemiringan dasar saluran (m/m)

Sesuai dengan sifat bahan saluran yang dipakai untuk kota, maka beberapa
harga n tercantum seperti dalam Tabel 2.4 dan Tabel 2.5.

Tabel 2.1 Harga n dalam Rumus Manning Berdasarkan Jenis Saluran


Jenis Saluran 1/n N
Lapisan beton 67 0,015
Pasangan batu kali 40 0,025
Tanpa pengerasan (teratur) 33 0,030
Saluran alami (tidak teratur) 22 0,045
Sumber : Dr. Ir. Suripin, M.Eng

Tabel 2.2 Harga n dalam Rumus Manning Berdasarkan Jenis Permukaan


Jenis Permukaan N
Permukaan diperkeras 0,015
Tanah Terbuka 0,0275
Tanah dengan sedikit rumput 0,055
Tanah dengan rumput sedang 0,045
Tanah dengan rumput tebal 0,060
Sumber : Dr. Ir. Suripin, M.Eng

.9.1 Perhitungan Kecepatan Saluran


Penentuan kecepatan aliran air didalam saluran yang direncanakan
didasarkan pada kecepatan minimum yang memungkinkan saluran dapat self-
cleansing dan kecepatan maksimum yang diperbolehkan agar konstruksi saluran
tetap aman. Tiap kecepatan aliran di dalam saluran diatur tergantung dengan
bentuk dan tipe saluran yang direncanakan. Berikut adalah batasan aliran dari tiap
tipe, dapat dilihat pada Tabel 2.6.

Tabel 2.3 Variasi Kecepatan dalam Saluran


Tipe Saluran Variasi Kecepatan (m/s)
Bentuk bulat, buis beton 0,75 – 3,0
Bentuk persegi, pasangan batu kali 1,0 – 3,0
Bentuk trapesiodal 0,6 – 1,5
Sumber : Dr. Ir. Suripin, M.Eng

2.7 Profil Hidrolis


Profil hidrolis adalah faktor yang penting demi terjadinya proses pengaliran
air. Profil ini tergantung dari energi tekan/head tekan (dalam tinggi kolom air)
yang tersedia bagi pengaliran. Head ini dapat disediakan oleh beda elevasi (tinggi
ke rendah) sehingga air pun akan mengalir secara gravitasi. Jika tidak terdapat
beda elevasi yang memadai, maka perlu diberikan head tambahan dari luar, yaitu
dengan menggunakan pompa.

2.8 Bangunan Pelengkap


Bangunan pelengkap dimaksudkan sebagai sarana pelengkap dan pendukung
sistem penyaluran air hujan yang tujuan utamanya adalah membantu melancarkan
fungsi pengaliran sesuai yang diharapkan dan diperhitungkan. Bangunan
pelengkap yang ada pada sistem drainase antara lain :

.11.1 Sambungan Persil


Merupakan sambungan saluran air hujan dari rumah-rumah ke saluran air
hujan yang terletak di tepi-tepi jalan. Sambungan ini dapat berupa saluran terbuka
atau tertutup dan dibuat terpisah dari saluran air buangan.
Dalam prakteknya, pertemuan saluran diusahakan mempunyai ketinggian
yang sama untuk mengurangi konstruksi yang berlebihan, yaitu dengan jalan
optimasi kecepatan untuk menghasilkan kemiringan yang diinginkan. Untuk
mengurangi kehilangan tekanan yang terlalu besar dan untuk kemanan konstruksi,
maka dinding pertemuan saluran dibuat tiak bersudut atau dibuat lengkung serta
diperhalus. Untuk pertemuan saluran yang berbeda jenis maupun bentuknya,
maka digunakan bak yang berfungsi sebagai bak pengumpul.

.11.2 Street Inlet


Street Inlet merupakan lubang di sisi jalan yang berfungsi untuk menampung
dan menyalurkan limpasan air hujan yang berada di sepanjang jalan menuju ke
dalam saluran. Sesuai dengan kondisi dan penempatan saluran serta fungsi jalan
yang ada, maka pada jenis penggunaan saluran terbuka tidak diperlukan street
inlet karena ambang saluran yang ada merupakan bukaan yang bebas. Peletakan
street inlet mempunyai ketentuan-ketentuan, sebagai berikut :
1. Diletakkan pada tempat yang tidak memberikan gangguan lalu lintas jalan

maupun pejalan kaki.


2. Ditempatkan pada daerah yang rendah di mana limpasan air hujan menuju kea
rah tersebut.
3. Air yang masuk melalui street inlet harus secepatnya mengalir ke dalam

saluran.
4. Jumlah street inlet harus cukup untuk dapat menangkap limpasan air hujan
pada jalan yang bersangkutan.

Rumus yang digunakan, yaitu :

280
D= √ S 43)
W
Dimana :
D = Distance atau jarak antar street inlet (m)
S = Slope atau kemiringan (%), D ≤ 50 m
W = Lebar jalan (m)

.11.3 Gorong-gorong
Gorong-gorong adalah bangunan yang diperlukan untuk menyalurkan air
hujan bila saluran yang akan dibangun menyebrangi atau melintasi jalan.
Perencanaannya tetap didasarkan pada debit yang mengalir pada gorong-gorong.
Selain itu, faktor endapan lumpur yang mungkin timbul saat pengaliran harus
dihindari. Caranya adalah mengatur kecepatan pengaliran lebih atau sama dengan
kecepatan self-cleansing. Dalam perecanaan ini kecepatan minimal air dlam
gorong-gorong yang digunakan adalah 0,5 – 3 m/s.

Gambar 2.4 Gorong-gorong (Sumber : Nety Ayun, 2005)

Rumus yang digunakan dalam perhitungan gorong-gorong adalah :

k m ( V gorong −V saluran )2
Z 1 ( Kehilangan Masuk ) = 44)
2g

2
k k ( V gorong −V saluran )
Z 2 ( Kehilangan Keluar )= 45)
2g

V 2gorong x Lgorong
Z 3 ( Kehilangan Energi Akibat Gesekan )= 46)
C2 x R

h
R= 47)
2

C=K x R1 /6 48)

Dimana :
Z1 = Kehilangan energi pada peralihan masuk
Z2 = Kehilangan energi pada peralihan keluar
Z3 = Kehilangan energi akibat gesekan
km & kk = Faktor kehilangan energi yang bergantung pada hidrolis peralihan
Vgorong = Kecepatan air di dalam gorong-gorong (m/s)
Vsaluran = Kecepatan air di dalam saluran (m/s)
R = Jari-jari hidrolis
h = Kedalaman air di gorong-gorong (m)
C = Koefisien Chezy
K = Koefisien kekasaran Mikler (= 70 m1/3/s)
Lgorong = Panjang gorong-gorong (m)

.11.4 Out Fall


Out fall merupakan ujung saluran air hujan yang ditempatkan pada sungai
atau badan air penerima lainnya. Struktur out fall hampir sama dengan struktur
bangunan terjunan karenan biasanya titik ujung saluran terletak pada elevasi yang
lebih tinggi dari permukaan badan air penerima, sehingga dalam perencanaan, out
fall ini merupakan bangunan terjunan miring dari konstruksi pasangan batu kali
atau batu belah. Pada pengembangan area di dekat pantai, sistem drainase
dipengaruhi oleh pasang surut. Secara hidrolika, pengaruh pasang surut pada
aliran bagian hilir menyebabkan aliran balik (backwater). Kondisi ini dapat
digabungkan dalam perencanaan struktur out fall-nya atau bagian terminal dari
sistem drainase dengan menggunakan metode backwater yang sederhana.
Beberapa model dapat digunakan untuk mengevaluasi pengaruh pasang surut,
antara lain persamaan Saint-Venant dan program computer SWMM.
Bangunan out fall sistem drainase yang diletakkan di zona pasang surut
biasanya digunakan bangunan flapgates. Bangunan ini memiliki pintu yang
digantung, yang mencegah air masuk kembali ke dalam sistem drainase. Aliran air
dalam sistem drainase harus mempunyai sisa tekanan yang memungkinkan pintu
secara otomatis terbuka atau tertutup. Pertimbangan dalam membangun out fall
pada kondisi terburuk, pada saat air pasang dan hujan juga sangat lebat terjadi
secara bersamaan, harus menjadi perhatian dalam perencanaan sistem drainase.
Kriteria perencanaan dibuat pada kondisi banjir dan seluruh infrastruktur
perkotaan pada saat tersebut tidak mengalami genangan.

.11.5 Talang

Talang sebenarnya tidak beda jauh dengan jembatan. Bila jembatan


menyalurkan lalu lintas, maka talang berfungsi untuk menyalurkan air dan
diletakkan di atas pangkal-pangkal. Talang biasanya terbuat dari kayu, pasangan
batu, baja, atau beton bertulang.
Talang kayu biasanya hanya digunakan untuk saluran-saluran yang tidak
penting yang sifatnya sementara. Talang dari pasangan batu dibuat menjadi satu
dengan tembok-tembok pangkalnya. Talang dari beton bertulang dibuat cukup
untuk memikul beban karena berat air dan berat talang itu sendiri. Sedangkan
talang baja dibuat dari besi plat yang diletakkan pada suatu kerangka yang bekerja
sebagai pemikulnya, dimana pilar-pilarnya juga terbuat dari baja. Kecepatan air
dalam talang dari pasangan batu atau beton biasanya diambil tidak lebih dari 1,5 –
2,5 m/s dan untuk talang baja sampai 3,5 m/s.

Anda mungkin juga menyukai