Anda di halaman 1dari 42

MODUL AJAR

INFORMASI UMUM
Nama Sekolah SMK Negeri 1 Talamau Tahun Ajaran 2022/2023
Kelas/ Semester XI/ 1 (Ganjil) Mapel Agribisnis Ternak
Ruminansia
Alokasi Waktu 2 x 45 menit (1 Guru Sutri Riyanti,S.Pt
pertemuan)
Jurusan ATR Fase/ Elemen F/ Seleksi bibit ternak
5
Deskripsi/ Capaian Pada akhir fase F, peserta didik dapat menerapkan dan
Pembelajaran melakukan seleksi bibit ternak, pengadaan bibit ternak
jantan dan betina, standar mutu ternak, penentuan
umur ternak, reproduksi ternak (pengamatan siklus
birahi, perkawinan ( buatan dan alami ), kebuntingan
( pemeriksaan kebuntingan ), kelahiran ( persiapan
kelahiran dan pertolongan kelahiran ), serta
penanganan gangguan reproduksi
Kompetensi Awal Dasar-dasar Agribisnis Ternak
Profil Pelajar Pancasila a. Beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan
berakhlak Mulia
b. Mandiri
c. Bernalar Kritis
d. Kreatif
Sarana & Prasaran yang PC/Laptop, Jaringan internet, HP, Buku paket/handout, lcd proye
Digunakan kyor, video tentang bentuk usaha peternakan, LKPD
Target Peserta Didik Peserta didik reguler
Model Pembelajaran yang Tatap muka terbatas.
Digunakan Model problem based learning dengan metode ceramah, diskus
i, penugasan, dan presentasi.
KOMPONEN INTI
Tujuan Pembelajaran
5.1 Peserta didik dapat menerapkan dan melakukan seleksi bibit pada ternak ruminansia deng
an baik dan penuh tanggung jawab
Pemahaman Bermakna

Seleksi bibit sangat perlu dilakukan untuk mendapatkan ternak yang unggul.
Pertanyaan Pemantik

Pertemuan 1
1. Apakah kalian tahu tentang seleksi bibit ternak?

Persiapan Pembelajaran
1. Menyiapkan WA grup dan mengabsen siswa.
2. Guru membuat slide tentang video profil
3. Guru membuat LKPD berisi seleksi bibit pada ternak ruminansia
4. Guru menyusun asesmen yang akan digunakan selama proses dan akhir kegiatan
pembelajaran.
Kegiatan Pembelajaran Pertemuan 1
Pendahuluan ( 20 menit)
1. Peserta didik dan Guru memulai dengan berdoa bersama.
2. Peserta didik disapa dan melakukan pemeriksaan kehadiran bersama dengan guru.
3. Peserta didik bersama dengan guru membahas tentang kesepakatan yang akan diterapkan
dalam pembelajaran
4. Peserta didik dan guru berdiskusi melalui pertanyaan pemantik.

Kegiatan Inti (55 menit)


LANGKAH KERJA AKTIVITAS GURU AKTIVITAS PESERTA DIDIK
Guru menyampaikan masalah yang
Orientasi peserta didik Kelompok mengamati dan memahami
akan dipecahkan secara kelompok.
pada masalah masalah tentang seleksi bibit ternak
(Jelaskan seleksi bibit ternak?)
Mengorganisasikan Peserta didik berdiskusi dan membagi
Guru memastikan setiap anggota
peserta didik untuk tugas untuk mencari data tentang
memahami tugas masing-masing.
belajar. seleksi bibit ternak
Membimbing Guru memantau keterlibatan Peserta didik melakukan penyelidikan
penyelidikan individu peserta didik dalam pengumpulan (mencari data) untuk bahan diskusi
maupun kelompok. data selama proses penyelidikan. kelompok.
Kelompok melakukan diskusi untuk
Guru memantau diskusi dan
Mengembangkan dan menghasil-kan solusi pemecahan
membimbing pembuatan laporan
menyajikan hasil masalah dan hasilnya
sehingga karya setiap kelompok
karya. dipresentasikan/disajikan dalam bentuk
siap untuk dipresentasikan.
karya.
Guru membimbing presentasi dan Setiap kelompok melakukan presentasi,
mendorong kelompok kelompok yang lain memberikan
Menganalisis dan
memberikan penghargaan apresiasi. Kegiatan dilanjutkan dengan
mengevaluasi proses
serta masukan kepada merangkum/ membuat kesimpulan
pemecahan masalah.
kelompok lain. Guru bersama sesuai dengan masukan yang diperoleh
peserta didik menyimpulkan materi. dari kelompok lain.
Penutup (15 menit)
1. Guru dan peserta didik merangkum pembelajaran
2. Peserta didik mengerjakan soal individu sebagai bahan evaluasi yang berkaitan dengan
materi pembelajaran
3. Guru memberikan motivasi kepada peserta didik dalam menguasai materi yang telah
dipelajari.
4. Guru menyampaikan materi yang akan diajarkan pada pertemuan berikutnya.
5. Pelajaran ditutup dengan doa bersama
Asesmen
1. Asesmen pembelajaran (diagnostik) dan Asesmen selama proses pembelajaran (formatif)
2. Sikap dengan observasi selama proses pembelajaran
3. Performa dengan presentasi dan keaktifan tanya jawab
4. Tertulis dengan LKPD, tes formatif bentuk isian.

Pengayaan & Remidial


Siswa melakukan
1. Pengayaan untuk peserta didik dengan capaian tinggi.
2. Remedial untuk peserta didik yang membutuhkan bimbingan dalam memahami materi atau
pembelajaran mengulang
Refleksi Peserta Didik & Guru
1. Apakah ada kendala pada kegiatan pembelajaran?
2. Apakah semua siswa aktif dalam kegiatan pembelajaran?
3. Apa saja kesulitan siswa yang dapat diidentifikasi pada kegiatan pembelajaran?
4. Apakah siswa yang memiliki kesulitan ketika berkegiatan dapat teratasi dengan baik?
5. Apa level pencapaian rata-rata siswa dalam kegiatan pembelajaran ini?
6. Apakah seluruh siswa dapat dianggap tuntas dalam pelaksanaan pembelajaran?
7. Apa strategi agar seluruh siswa dapat menuntaskan kompetensi?

Mengetahui Talu, Juli 2022


Guru Mata Pelajaran

HELISWAN, SP, M,Si Sutri Riyanti, S.Pt


NIP. 19750108 200801 1 003 NIP 19780916 201101 2 001
LAMPIRAN

Lembar Kerja Peserta Didik

LEMBAR AKTIVITAS PRAKTIK 1


Instruksi:

Bahan Bacaan Guru dan Peserta Didik


Referensi : Buku Paket Dasar – Dasar Peternakan Semester 1
Internet: yutube dan video

Bahan Bacaan Guru dan Peserta Didik

Pemilihan bibit merupakan bagian dari rangkaian kegiatan dalam proses


produksi ternak. Seleksi bibit adalah proses pemilihan bibit ternak baik dari mutu
genetik maupun proporsi tubuh untuk selanjutnya dikembangbiakkan sesuai
tujuan pemeliharaan. Proses pemilihan bibit ternak yang ideal dapat dilakukan
dengan menyeleksi bibit ternak yang kurang baik untuk disingkirkan. Proses
dalam seleksi bibit dapat dilakukan dengan pengembangbiakkan kelompok ternak
dengan mutu genetik yang unggul secara kontinyu dan dalam pengawasan ketat.
Dengan demikian, pencampuran keturunan dari kelompok tertentu yang memiliki
mutu genetik kurang baik dapat dikendalikan. Keturunan atau generasi ternak
hasil seleksi ditargetkan memiliki sifat-sifat unggul.

Seleksi pada ternak ruminansia pedaging bertujuan untuk mendapatkan


produk daging optimal dengan sistem pemeliharaan yang efisien. Pelaksanaan
seleksi bibit dengan target tersebut memerlukan manajemen pemeliharaan dan
pengawasan yang ketat baik dari segi genetik, proses perkawinan, sistem
penjaminan mutu, dan faktor penunjang lain.

Proses seleksi dapat berlangsung secara alami maupun seleksi oleh tenaga
ahli (seleksi buatan). Seleksi alam berlangsung secara alami akibat kondisi alam
bukan karena perlakuan yang sengaja dilakukan oleh manusia. Contoh seleksi
alam adalah teori Darwin mengenai ―The origin of different species‖. Tujuan dari
proses seleksi alam tidak dapat dipastikan arahnya. Para pengamat dan peneliti
dapat berkontribusi dalam menduga arah, mencegah atau memperlambat proses,
serta melakukan tindakan semacam gerakan mendukung atau menghambat proses
seleksi alam dari berbagai bidang ilmu. Sebagai contoh keberadaan banteng (Bos
javanicus d‘Alton) yang terancam punah karena terjadi tren penurunan populasi,
baik di dunia maupun di Indonesia. Di Jawa Timur terdapat beberapa kawasan
konservasi yaitu Taman Nasional Baluran (TNB), Taman Nasional Alas Purwo
(TNAP) dan Taman Nasional Meru Betiri (TNMB). Kawasan konservasi ini
merupakan habitat alami ternak tersebut. Peneliti dari berbagai instansi dan
kepakarannya dalam berbagai ilmu turut melakukan observasi dan tindakan untuk
mendukung upaya konservasi banteng di habitat aslinya. Parameter yang diamati
dapat berupa updating data populasi dan ancaman banteng, mengevaluasi daya
dukung habitat banteng, menghitung home range banteng pada habitat alaminya
dengan melihat komposisi dan strukur vegetasi, ketersediaan pakan, ketersediaan
air, ketersediaan covering, serta home range banteng.
Contoh berikutnya adalah mengenai kemurnian genetik sapi bali yang
mulai terancam. Erosi genetik atau seleksi negatif dan hibridisasi menurunkan
kualitas dari keturunan ternak ini. Seleksi negatif terjadi di Indonesia bagian
Timur karena banyaknya sapi berkualitas tinggi yang dikirim keluar sehingga di
daerah tersebut hanya menyisakan ternak berkualitas rendah untuk
dikembangbiakkan. Oleh sebab itu, produktivitas sapi pada pulau tersebut sangat
rendah. Seleksi negatif tersebut mengakibatkan sapi yang dihasilkan memiliki
bobot badan rendah sehingga daerah Indonesia bagian Timur tidak lagi menjadi
pemasok/penghasil sapi. Hibridisasi atau kawin persilangan telah dilakukan di
hampir seluruh wilayah termasuk di Bali. Sapi bali secara khusus dikembangkan
di Bali untuk mempertahankan genetik asli. Namun saat ini persilangan sapi bali
dan sapi lainnya sudah diijinkan. Proses seleksi secara alami menentukan
persebaran populasi ternak di dunia. Berikut disajikan contoh distribusi dan
domestikasi ternak sapi (Gambar 20).

Gambar 20. Distribusi dan domestikasi sapi

Sumber: Felius et al. (2014)


Gambar: A. Taurine di Mesopotamia, B. Zebu di Indus valley, C. Sapi bali di
Jawa atau Bali, D. Yak di dataran tinggi Tibetan, E. Gayal di India dan
Bangladesh
Persebaran sapi tersebut menggambarkan daging sapi yang dikonsumsi di
negara tersebut. Berikut disajikan grafik konsumsi daging di dunia (Gambar 21).

Gambar 21. Konsumsi daging di dunia

Sumber: Godfray et al. (2018)

Seleksi buatan adalah proses seleksi dengan campur tangan manusia


dengan tujuan tertentu. Tujuan dari seleksi buatan adalah sebagian besar untuk
memenuhi kebutuhan manusia. Seleksi buatan pada sapi potong dilakukan dengan

2 cara, yakni seleksi tradisional dan seleksi kuantitatif. Seleksi tradisional yakni
melakukan kastrasi pada pejantan yang tidak unggul sehingga mencegah adanya
keturunan dari pejantan tersebut. Seleksi kuantitatif dilakukan berdasar hasil
perhitungan. Dasar pemilihan bibit pada ternak ruminansia diantaranya:

1. Pemilihan Tipe Produksi

Dalam modul ini akan difokuskan dalam memilih bibit ruminansia tipe
pedaging, dimana ternak harus memiliki laju pertumbuhan yang cepat, cepat
mencapai dewasa tubuh, efisiensi pakan tinggi, kualitas daging yang dihasilkan,
tubuh berbentuk persegi empat (ciri tipe pedaging), proporsi tubuh ideal, serta
tidak cacat.
2. Pemilihan Ternak Berdasarkan Keturunan

Setiap jenis ternak memiliki sifat berbeda yang memungkinkan mereka


dapat unggul dalam lingkungan geografis atau manajemen yang berbeda. Seleksi
untuk perbaikan genetik pada sapi sumba ongole dapat dicapai melalui uji
proporsi tubuh dan uji kinerja. Uji gen digunakan untuk pemilihan sapi
berdasarkan keturunan. Oleh karena itu, seleksi warna bulu sapi dan pedet dapat
dilakukan dengan menggunakan informasi dari nilai Blood Value (BV). Sapi
dengan skor BV tertinggi merupakan ternak terbaik di antara kawanannya.

3. Proporsi Tubuh Ternak

Proporsi tubuh bibit ternak ruminansia pedaging berdasarkan Standar

Nasional Indonesia (SNI) diantaranya:

a. Sapi Sumba Ongole

Salah satu rumpun sapi potong lokal Indonesia yang wilayah sebarannya
di provinsi Nusa Tenggara Timur dan beberapa daerah lainnya, mempunyai
karakteristik bentuk fisik dan komposisi genetik serta kemampuan adaptasi pada
berbagai lingkungan di Indonesia. Proporsi tubuh sapi sumba ongole SNI
disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Proporsi tubuh sapi sumba ongole

Umur Parameter
Satuan Kelas
(bulan) (minimum)
Jantan I II III

Tinggi pundak cm 143 136 129


Panjang badan cm 142 135 128
18 - 24 Lingkar dada cm 176 169 162
Lingkar skrotum cm 26
Tinggi pundak cm 147 140 133
Panjang badan cm 145 138 131
24 - 30 Lingkar dada cm 179 172 165
Lingkar skrotum cm 26
Betina
18 - 24 Tinggi pundak cm 129 124 119
Panjang badan cm 128 123 118
Lingkar dada cm 160 155 150
Tinggi pundak cm 132 127 122
24 - 30
Panjang badan cm 131 126 121
Lingkar dada cm 165 160 155
Sumber: SNI (2016)
b. Sapi Pesisir

Sapi pesisir termasuk komoditas ternak ruminansia potong yang berasal


dari Sumatera Barat. Ciri khusus secara lengkap dapat diunduh pada laman
http://bibit.ditjenpkh.pertanian.go.id/sites/default/files/SNI%207651.6.2015%20B
ibit%20sapi%20potong%20bagian%206%20%20.%20Pesisir.pdf. Proporsi tubuh
sapi pesisir sesuai SNI disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Proporsi tubuh sapi pesisir

Umur Persyaratan
(bulan) Parameter Satuan (minimum)

Jantan
Tinggi pundak cm 92
18 - 24 Panjang badan cm 94
Lingkar dada cm 111
Lingkar skrotum cm 20
Tinggi pundak cm 100
24 - 36 Panjang badan cm 108
Lingkar dada cm 124
Lingkar skrotum cm 21
Betina
Tinggi pundak cm 91
18 - 24 Panjang badan cm 93
Lingkar dada cm 110
Tinggi pundak cm 99
24 - 36 Panjang badan cm 104
Lingkar dada cm 123
Sumber: SNI (2015)

c. Sapi Aceh
Sapi Aceh merupakan sapi lokal Indonesia dengan tujuan produksi sebagai
penghasil daging. Kelebihan dari jenis sapi ini adalah kemampuan adaptasinya
pada lingkungan yang kurang mendukung. Ciri khusus secara lengkap dapat
diunduh pada laman:
http://bibit.ditjenpkh.pertanian.go.id/sites/default/files/SNI%207651.3-

2013%20Bibit%20sapi%20potong%20-20Bagian%203%20%20Aceh.pdf.
Proporsi tubuh sapi aceh sesuai SNI disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Proporsi tubuh sapi aceh

Umur Kelas
Parameter Satuan
(bulan) I II III

Jantan
Tinggi pundak (min.) cm 112 109 105
Lingkar dada (min.) cm 143 140 135
24 - 36 Panjang badan (min.) cm 116 113 107
Lingkar skrotum (min.) cm 24
Betina
Tinggi pundak (min.) cm 90 88 86
Lingkar dada (min.) cm 99 97 94
15 - 18 Panjang badan (min.) cm 87 84 82
Lebar pinggul (min.) cm 32 30 29
Sumber: SNI (2013)

d. Sapi Madura

Sapi madura merupakan sapi lokal Indonesia dengan tujuan produksi


sebagai penghasil daging. Kelebihan dari jenis sapi ini adalah kemampuan
adaptasinya pada lingkungan yang kurang mendukung. Ciri khusus secara lengkap
dapat diunduh pada laman:
http://bibit.ditjenpkh.pertanian.go.id/sites/default/files/SNI%207651.2-

2013%20bibit%20sapi%20madura.pdf

Proporsi tubuh sapi madura sesuai SNI disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Poporsi tubuh sapi madura

Umur Kelas
(bulan) Parameter I II III
Jantan
Lingkar dada (min) 144 138 126
Tinggi gumba/pundak (min) 122 117 107
Panjang badan (min) 120 114 102
Lingkar skrotum (min) 19
Lingkar dada (min) 169 161 145
Tinggi gumba/pundak (min) 131 126 116
Panjang badan (min) 141 134 120
Lingkar skrotum (min) 22
Umur Kelas
(bulan) Parameter I II III
Lingkar dada (min) 191 184 170
Tinggi gumba/pundak (min) 136 132 124
Panjang badan (min) 147 142 132
Lingkar skrotum (min) 25

Lingkar dada (min) 141 133 125


12 - 18 Tinggi gumba/pundak (min) 116 111 106
Panjang badan (min) 115 108 101
Lingkar dada (min) 154 148 142
18 - 24 Tinggi gumba/pundak (min) 120 117 114
Panjang badan (min) 127 123 119
Lingkar dada (min) 167 161 155
24 - 36 Tinggi gumba/pundak (min) 131 126 121
Panjang badan (min) 134 130 125
Sumber: SNI (2013)

e. Sapi Brahman

Sapi brahman telah didomestikasi di Indonesia dimana populasi yang ada


merupakan generasi ke-5 atau lebih dari keturunab sapi brahman asli. Ciri khusus
secara lengkap dapat diunduh pada laman:
http://bibit.ditjenpkh.pertanian.go.id/sites/default/files/sapi%20brahman%20indon
esia.pdf. Proporsi tubuh sapi brahman Indonesia sesuai SNI disajikan pada Tabel

8.

Tabel 8. Proporsi tubuh sapi brahman Indonesia

Umur Parameter Satuan Kelas I Kelas II Kelas III

Jantan
24 - 36 Lingkar dada cm 168 165 162
minimum
Tinggi pundak cm 142 139 136
minimum
Panjang badan cm 139 135 131
minimum
Tinggi pinggul cm 139 137 135
minimum
Bobot badan kg 361 350 339
minimum
Lingkar scrotum cm 32 - 36
Umur Parameter Satuan Kelas I Kelas II Kelas III

minimum
Betina
8 - 24 Lingkar dada cm 159 157 154
minimum
Tinggi pundak cm 120 117 114
minimum
Panjang badan cm 132 127 121
minimum
Tinggi pinggul cm 134 132 129
minimum
Bobot badan kg 328 320 310
minimum
24 - 30 Lingkar dada cm 162 161 160
minimum
Tinggi pundak cm 128 124 120

Panjang badan cm 142 137 132


minimum
Tinggi pinggul cm 140 138 136
minimum
Bobot badan kg 339 335 331
minimum
Sumber: SNI (2011)

f. Sapi Bali

Karakter sapi Bali secara lengkap dapat diunduh pada laman


http://bibit.ditjenpkh.pertanian.go.id/sites/default/files/SNI%207651.4-

2017%20Bibit%20sapi%20potong%2C%20Bagian%204%20Bali.pdf. Proporsi
tubuh sapi bali sesuai SNI disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9. Proporsi tubuh sapi bali

Umur Kelas
(Bulan)
I II III
Jantan
Tinggi pundak cm 115 110 105
18 - 24 Panjang badan cm 125 120 115
Lingkar dada cm 155 147 142
24 - 36 Panjang badan cm 133 124 119
Lingkar dada cm 179 158 148
Lingkar skrotum cm 26
Betina

18 - 24 Panjang badan cm 112 105 101


Lingkar dada cm 139 130 124

24 - 36 Panjang badan cm 114 110 105


Lingkar dada cm 147 135 130
Sumber: SNI (2017)

g. Sapi Peranakan Ongole (PO)

Karakter sapi PO secara lengkap dapat diunduh pada laman


http://bibit.ditjenpkh.pertanian.go.id/sites/default/files/SNI%207651.5.2015%20B
ibit%20sapi%20potong%20bagian%205%20.%20Peranakan%20ongol.pdf.
Proporsi tubuh sapi peranakan ongole sesuai SNI disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10. Proporsi tubuh sapi PO

Umur Kelas

I II III
Jantan
Tinggi pundak cm 128 125 122
Panjang badan cm 134 127 124
18 - 24 Lingkar dada cm 152 148 144
Lingkar skrotum cm 26
Tinggi pundak cm 133 130 127
Panjang badan cm 139 133 129
24 - 36 Lingkar dada cm 175 160 149
Lingkar skrotum cm 26
Betina
Tinggi pundak cm 119 116 113
18 - 24 Panjang badan cm 120 118 117
Lingkar dada cm 138 134 130
Tinggi pundak cm 129 125 121
24 - 36 Panjang badan cm 132 129 127
Lingkar dada cm 161 156 139
Sumber: SNI (2015)
h. Kambing Peranakan Etawah (PE)

Persyaratan bibit kambing PE secara kuantitatif disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11. Proporsi tubuh kambing PE

Umur (bulan) Parameter Satuan Persyaratan (minimum)


Jantan
8 - 12 Tinggi pundak cm 60
Panjang badan cm 54
Lingkar dada cm 60
Panjang telinga cm 22
Bobot badan kg 20
Lingkar scrotum cm 20
12 - 18 Tinggi pundak cm 73
Panjang badan cm 66
Lingkar dada cm 71
Panjang telinga cm 26
Bobot badan kg 34
Lingkar skrotum cm 21
18 - 24 Tinggi pundak cm 78
Panjang badan cm 74
Lingkar dada cm 78
Panjang telinga cm 30
Bobot badan kg 42
Lingkar skrotum cm 23
Betina
8 - 12 Tinggi pundak cm 56
Panjang badan cm 51
Lingkar dada cm 52
Panjang telinga cm 22
Bobot badan kg 19
12 - 18 Tinggi pundak cm 65
Panjang badan cm 62
Lingkar dada cm 66
Panjang telinga cm 26
Bobot badan kg 26
18 - 24 Tinggi pundak cm 69
Panjang badan cm 65
Lingkar dada cm 72
Panjang telinga cm 26
Bobot badan kg 34
Sumber: SNI (2015)
i. Domba Garut
Persyaratan bibit domba garut secara kuantitatif disajikan pada Tabel 12.

Tabel 12. Proporsi tubuh domba garut

Umur (bulan) Parameter Satuan Persyaratan (minimum)


Jantan
8 - 12 Tinggi pundak cm 60
Panjang badan cm 49
Lingkar dada cm 68
Bobot badan kg 23
Lingkar scrotum cm 22
12 - 18 Tinggi pundak cm 63
Panjang badan cm 51
Lingkar dada cm 72
Bobot badan kg 33
Lingkar scrotum cm 23
18 - 24 Tinggi pundak cm 73
Panjang badan cm 61
Lingkar dada cm 87
Bobot badan kg 50
Lingkar scrotum cm 25
Betina
8 - 12 Tinggi pundak cm 59
Panjang badan cm 49
Lingkar dada cm 67
Bobot badan kg 22
12 - 18 Tinggi pundak cm 60
Panjang badan cm 51
Lingkar dada cm 72
Bobot badan kg 29
18 - 24 Tinggi pundak cm 65
Panjang badan cm 56
Lingkar dada cm 76
Bobot badan kg 31
Sumber: SNI (2015)

j. Kerbau Pampangan

Persyaratan bibit kerbau pampangan secara kuantitatif disajikan pada

Tabel 13.

Tabel 13. Proporsi tubuh kerbau pampangan


Umur (bulan) Parameter Satuan Ukuran
Jantan
Tinggi pundak cm 110
18 - 24 Panjang badan cm 106
Umur (bulan) Parameter Satuan Ukuran
Lingkar dada cm 159
Lingkar skrotum cm 17
Tinggi pundak cm 116
24 - 30 Panjang badan cm 110
Lingkar dada cm 168
Lingkar skrotum cm 18
Tinggi pundak cm 126
30 - 36 Panjang badan cm 116
Lingkar dada cm 179
Lingkar skrotum cm 20
Betina
Tinggi pundak cm 107
18 - 24 Panjang badan cm 92
Lingkar dada cm 144
Tinggi pundak cm 109
24 - 30 Panjang badan cm 101
Lingkar dada cm 156
Sumber: SNI (2016)

k. Kerbau Kalimantan

Persyaratan bibit kerbau kalimantan secara kuantitatif disajikan di Tabel

14.

Tabel 14. Proporsi tubuh kerbau kalimantan


Umur (bulan) Parameter Satuan Ukuran
Jantan
Tinggi pundak cm 113
18 - 24 Panjang badan cm 114
Lingkar dada cm 162
Lingkar skrotum cm 20
Tinggi pundak cm 121
24 - 30 Panjang badan cm 122
Lingkar dada cm 174
Lingkar skrotum cm 22
Tinggi pundak cm 131
30 - 36 Panjang badan cm 131
Lingkar dada cm 181
Lingkar skrotum cm 24
Betina
Tinggi pundak cm 105
18 - 24 Panjang badan cm 116
Lingkar dada cm 147
Tinggi pundak cm 116
Umur (bulan) Parameter Satuan Ukuran
24 - 30 Panjang badan cm 123
Lingkar dada cm 156
Sumber: SNI (2016)

4. Tilik Ternak atau Judging

Penilaian tubuh ternak atau judging dilakukan untuk melihat kualitas fisik
tubuh ternak. Langkah awal dalam mempelajari cara judging adalah dengan
mengetahui bagian tubuh ternak. Bagian tubuh antara ternak dengan jenis kelamin
jantan maupun betina pada dasarnya sama. Perbedaan mendasar terlihat pada
bagian tertentu seperti bagian reproduksi.

Bagian tubuh sapi betina yang menonjol adalah ambing. Ambing pada sapi
betina mereprentasikan produksi susu yang dapat dihasilkan. Organ reproduksi
pada ternak jantan yaitu testis. Ukuran testis sebanding dengan volume semen
yang dapat dihasilkan oleh pejantan. Testis yang cacat atau kelainan skrotum
mempengaruhi produksi dan kualitas sperma termasuk hormon testosteron yang
mempengaruhi kesuburan dan kinerja. Berikut disajikan bagian tubuh sapi jantan
dewasa (Gambar 22).

Gambar 22. Bagian tubuh sapi jantan


Sumber: Khan (2016)
Penilaian tubuh ternak yang ideal dijelaskan pada gambar berikut.

a b c

d e
f g h

i j k
Gambar 23. Judging ternak
Sumber: Khan (2016)

Keterangan: a. kurus, b. menengah, c, besar, d. hocked, e. normal, f. terlalu lurus,


g. normal, h. melengkung, i,k. ekstrim, j. normal

Selain proporsi dan ukuran tubuh, terdapat kriteria seleksi lain seperti
berat badan pada umur tertentu maupun kecepatan pertumbuhan. Sebagian besar
pusat pembibitan di dunia menggunakan berat badan (kelahiran, sapih, bobot 1
tahun) dan pengukuran tubuh (tinggi, panjang tubuh, panjang jantung) sebagai
kriteria pemilihan ternak. Beberapa studi menunjukkan bahwa bobot badan ternak
pada usia 365 hari digunakan sebagai kriteria seleksi sapi bali, sapi ongole, sapi
Peranakan Ongole (PO), sapi bhagnari x driedmaster, sapi hanwoo dan sapi
nelore. Sapi jantan dan sapi muda yang dipilih harus diseleksi lanjut dengan tes
kinerja sebagai proses seleksi akhir pada sapi potong. Tes kinerja dilakukan
selama 9 bulan pada sapi bali (usia 1 hingga 2 tahun) dengan bobot badan 261,56
kg, tinggi 17,61 cm, panjang tubuh 123,08 cm, dan panjang jantung 156,89 cm.

Seleksi dengan kriteria umur pada sapi pedaging dilakukan pada sapi
muda usia 18 bulan. Sapi muda memiliki tingkat pertumbuhan yang lebih cepat
dibanding sapi berumur tua. Selain itu, ternak sapi yang lebih muda (umur 1 - 2,5
tahun) mempunyai tekstur daging yang lebih halus, kandungan lemak yang lebih
rendah, dan warna lemak daging yang lebih muda sehingga menghasilkan daging
dengan keempukan yang lebih baik dibandingkan sapi tua (umur diatas 2,5 tahun).
Umur sapi yang baik/ideal untuk digemukkan berkisar antara 1 - 2,5 tahun. Hal ini
juga tergantung dari kondisi ternak sapi. Sapi jenis simmental dan limousin dan
silangannya baik digunakan untuk penggemukan adalah dengan kisaran bobot
badan 380 - 500 kg, sedangkan sapi PO sekitar 250 - 350 kg. Sapi jenis ini ideal
apabila digemukkan dalam waktu singkat antara 100 - 150 hari.

Proses seleksi berdasar umur mempertimbangkan proses melahirkan, berat


lahir, lama bunting, berat badan 1 tahun, pemindaian karkas dengan ultrasound,
serta ukuran skrotum. Proses seleksi juga membutuhkan recording atau catatan
keturunan (misalkan jumlah anakan atau sapi pejantan) serta sifat indukan seperti
riwayat melahirkan indukan, berat saat penyapihan, reproduksi dan ukuran sapi
dewasa. Tingkat efisiensi pakan dan data motalitas anakan juga bisa digunakan
sebagai kriteria seleksi namun keduanya memiliki akurasi yang rendah.

Penentuan umur seekor ternak dapat dilakukan dengan pendugaan


berdasarkan pertumbuhan gigi seri. Pendugaan umur berdasarkan gigi seri

disajikan pada Gambar 24.

 Umur 1 bulan terdapat dua atau


lebih gigi seri sementara, dalam bulan pertama gigi seri
sementara muncul semuanya.

 Berumur antara 1,5 - 2 tahun, pasangan gigi seri


sementara (I1) digantikan oleh gigi permanen (I1). Dalam

2 tahun gigi permanen sentral (I1) mencapai pertumbuhan


penuh.

 Berumur 2 - 2,5 tahun, pasangan gigi seri


intermedial (I2) digantikan oleh gigi permanen intermedial
(I2). Pertumbuhan penuh biasanya umur 3 tahun.

 Berumur 3 - 3,5 tahun, pasangan gigi seri


intermedial kedua atau lateral (I3) digantikan oleh gigi
permanen intermedial kedua (I3). Intermedial mulai
mengalami keausan umur 4 tahun.

 Berumur 4 - 4,5 tahun, gigi sudut (I4) digantikan


oleh gigi permanen (I4). Pada umur 5 tahun gigi sudut
biasanya telah tumbuh sempurna.

 Berumur 5 - 6 tahun, gigi permanen (I1) rata,


pasangan intermediet sebagian rata, dan gigi sudut mulai
terlihat alus.

 Berumur 7 - 10 tahun, pada umur 7 atau 8 tahun I1


terlihat keausan yang nyata, dan pada umur 10 tahun I4 baru
terlihat keausan yang nyata.
 Berumur 12 tahun, lengkungan sudut tak terlihat dan
membentuk segitiga yang jelas yang menandakan bertambahnya usia.
Sumber:umur
Gambar 24. Pendugaan Torellternak
et al. berdasar
(2003) susunan gigi

Pengukuran tinggi pundak sapi dapat dilakukan menggunakan tongkat ukur


dari permukaan tanah sapi berdiri sampai dengan bagian tertinggi pundak sapi
melewati bagian scapulla. Pengukuran dilakukan secara tegak lurus seperti pada
Gambar 25 yang ditunjukkan huruf a. Pengukuran panjang badan sapi dapat
dilakukan menggunakan tongkat ukur dari bongkol bahu (tuberositas humeri)
sampai ujung tulang duduk (tuber ischii), sebagaimana ditunjukkan pada Gambar

25 yang ditunjukkan huruf b. Lingkar dada digunakan untuk menaksir bobot


badan ternak. Cara mengukurnya adalah dengan melingkarkan pita ukur pada
bagian dada dibelakang punuk, sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 25 huruf
c.

Gambar 25. Cara pengukuran sapi

Sumber: SNI (2016)

Keterangan gambar: a. Tinggi pundak, b. Panjang badan, c. Lingkar dada


Cara pengukuran lingkar skrotum adalah dengan melingkarkan pita ukur

47
Gambar 26. Pengukuran lingkar skrotum

Sumber: SNI (2016)


pada bagian skrotum yang terbesar sebagaimana ditunjukkan pada gambar 26.

Seleksi pada sapi pejantan dilakukan untuk meningkatkan kualitas genetik


sapi. Program seleksi dapat digunakan untuk memproduksi semen melalui uji
kualitas libido dan sperma. Peningkatan kualitas genetik dilakukan dengan
menggabungkan beberapa sifat yang penting secara ekonomi. Seleksi genom
dapat meningkatkan substansi genetik pada sapi pedaging. Namun efek yang
dapat diketahui secara langsung ialah meningkatnya variasi genetik. Variasi
genetik ini dapat diperkirakan dengan prediksi genomik, namun saat ini akurasi
prediksi genomik sapi pedaging lebih rendah dibandingkan dengan sapi perah.
Hal ini kemungkinan disebabkan oleh jumlah ternak yang relatif rendah dengan
genotipe dan fenotipe yang telah digunakan dalam mengembangkan persamaan
prediksi genom.

Langkah untuk meningkatkan akurasi prediksi genomik membutuhkan


pengumpulan genotipe dan fenotipe pada lebih banyak ternak. Jumlah ternak yang
lebih besar diperlukan untuk mengetahui sifat-sifat yang dapat diwariskan, seperti
reproduksi betina dan sifat lainnya. Tantangan lebih lanjut prediksi genom pada
populasi sapi pedaging dengan multi-breed ialah biaya yang dibutuhkan untuk
pengumpulan data fenotip yang jauh lebih banyak daripada yang tersedia saat ini.
Karakterisasi gen diperlukan untuk meningkatkan kualitas ternak. Sapi simmental
pada tahun 1970 - 1980 di Amerika Serikat berwarna hitam. Namun sapi
simmental yang dijumpai di Indonesia memiliki ciri wajah kuning atau merah
kecoklatan dengan kaki bagian bawah putih dan ujung ekor putih. Mirip dengan
sapi-sapi ras murni Indonesia seperti sapi madura dan sapi bali. Di Indonesia, sapi
simmental sebagian besar dipelihara sebagai sapi potong dan dikawin silangkan
dengan sapi lokal melalui inseminasi buatan khususnya pada sapi ongole, sapi
madura, dan sapi bali. Di Jawa, inseminasi buatan juga dilakukan pada sapi
simmental dengan sapi friesian holstein. Dari kawin silang tersebut, dihasil
keturunan jantan yang lebih disukai karena pertumbuhan yang lebih cepat,
sedangkan keturunan betina memiliki pertumbuhan kurang optimal dan

4
menghasilkan produksi susu yang sedikit. Pada usia 2,5 tahun seekor sapi
simmental dapat memiliki berat hingga 1.000 kg. Hal ini yang menyebabkan

4
inseminasi buatan dilakukan secara kontinu di Indonesia. Di sisi lain, inseminasi buatan
tersebut dilakukan langsung di lapangan sehingga anakan belum bisa beradaptasi
dengan iklim lokal, pakan, serta penyakit. Perubahan genetik sapi lokal terutama
faktor genetik yang mempengaruhi produktivitas dan keberlanjutan ternak dalam
jangka panjang harus diidentifikasi. Hal ini disebabkan karena variasi genetik
berkorelasi dengan faktor kesehatan, penurunan variabilitas genetik yang mungkin
dapat membatasi kemampuan populasi untuk beradaptasi dengan perubahan lingkungan
seperti perubahan iklim, penyakit, atau parasit.

Daftar Pustaka
Maulani, Sirojul, 2021, Dasar – Dasar Peternakan Semester 1, Kemdikbud RI
Nugroho, Caturto Priyo , 2013, Agribisnis Ternak Ruminansia 1, Kemendikbud RI.

Asesmen
ASESMEN DIAGNOSTIK
Asesmen Diagnostik Non Kognitif
1. Bagaimana kondisi hari ini?
2. Apakah anda senang mengikuti pelajaran hari ini?

Asesmen Diagnostik Kognitif


1. Apakah kamu tahu bagaimana penampilan ternak yang sakit?

ASESMEN FORMATIF 1
1. Apakah yang disebut dengan Rantai Pasok?
2. Sebutkan aspek rantai pasok!
3. Apa saja yang termasuk dalam awal rantai pasok?
4. Sebutkan sarana produksi yang diperlukan dalam peternakan!
5. Sebutkan jenis – jenis persediaan dalam rantai pasok pada peternakan!
Kunci Jawaban dan pedoman penskoran
NO KUNCI JAWABAN SKOR
1 Integrase aktivitas yang berawal dari pengadaan jasa dan barang, 2
barang jadi, mengubah bahan baku menjadi bahan proses dan
mengantarkan barang kepada pelanggan dengan efisien.
2 Pendekatan yang digunakan, dampak pada pengendalian 2
biaya, meningkatkan kualitas pelayanan perusahaan
3 Bibit ternak 2
4 Pakan, obat – obatan dan perlatan 2
5 Bahan baku, bahan setengah jadi, barang komoditas dan 2
barang proyek
50
TOTAL SKOR 10

51
RUBRIK ASESMEN PRESENTASI HASIL AKTIVITAS PRAKTIK 1
INSTRUMEN PENILAIAN: PROSES DAN HASIL BELAJAR
ASPEK Belum Kompeten (0-6) Cukup Kompeten (6-7) Kompeten (8-9) Sangat Kompeten (10)

Menjelaskan Peserta didik tidak terlibat dalam Peserta didik terlibat dalam Peserta didik terlibat dalam Peserta didik terlibat dalam
Klasifikasi diskusi untuk mengklasifikasi diskusi Klasifikasi Industri diskusi Klasifikasi Industri diskusi Klasifikasi Industri
Industri Industri Peternakan Peternakan namun kurang aktif Peternakan secara aktif tetapi Peternakan secara aktif dan
Peternakan menutup diri untuk diskusi terbuka untuk diskusi

Hasil penyusuna Peserta didik tidak Peserta didik kurang mampu Peserta didik kurang mampu Peserta didik kurang mampu
cara makalah menyusun makalah mengidentifikasi permasalahan dan mengidentifikasi permasalahan dan mengidentifikasi permasalahan
presentasi kurang mampu dalam menyusun mampu dalam menyusun makalah dan kurang mampu dalam
makalah tetapi tidak lengkap menyusun makalah dan lengkap

52
Keterangan :

Siswa yang belum kompeten maka harus mengikuti pembelajaran remediasi.

Siswa yang cukup kompeten diperbolehkan untuk memperbaiki pekerjaannya sehingga mencapai level kompeten

53
PEMBELAJARAN
REMEDIASI

Siswa melakukan
a. Pencarian contoh laporan Profil Perusahaan Peternakan
b. Melakuakn wawancara dengan peternak sapi atau domba tentang proses
pemeliharaan ternak domba dan bagaimana pemasaran produknya.

54

Anda mungkin juga menyukai