Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

EKONOMI POLITIK

“MazhabEkonomi Neo-Klasik”
Dosen:
Dra. Marlien T. Lapian, M.Si
Dr. Drs. M. Mamentu, M.A
Drs. Ismail Rachman, M.Si

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 2

Arlen Korua 18081103073 Annisatul Mujahidah 18081103001


Nofellina Rumajar 18081103045 Gracia Sumayku 18081103033
Thesalonika Pangerapan 18081103013 Susanti A. Takaluhude 18081103023
Regina Saroinsong18081103093 Caroline Horopu 18081103083
Johan Liow18081103063 Reignhard Sangian18081103183
Eunike Abast17081103126 Deby Jacobus 16081103081
Aprilia Durandt19081103093

PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SAM RATULANGI

MANADO 2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami naikan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena telah
memperkenankan kami untuk menyelesaikan makalah “Mazhab Ekonomi Neo-
Klasik” dalam mata kuliah Ekonomi Politik.
Semoga makalah ini dapat membantu kita semua dalam proses pembelajaran
di mata kuliah Ekonomi Politik agar dapat berguna untuk kedepannya. Sehingga
kita bisa menguasai mata kuliah ini, terlebih khusus materi ini.
Terlepas dari semua itu, kami juga adalah manusia biasa yang tidak terlepas
dari salah, apabila dalam makalah ini terdapat kesalahan, kami membuka
kesempatan untuk dikoreksi maupun dikritik.

Manado, April 2020

Kelompok 2

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................................ ii
DAFTAR ISI...................................................................................................................... iii
BAB I .................................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN .............................................................................................................. 1
A. Latar Belakang ........................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................... 2
C. Tujuan ..................................................................................................................... 2
BAB II................................................................................................................................. 3
PEMBAHASAN ................................................................................................................. 3
A. Konsep Dasar Neo Klasik Generasi I ..................................................................... 3
1. Mazhab Austria ................................................................................................... 3
2. Mazhab Cambridge ............................................................................................. 5
B. Neoklasik Generasi II: Persaingan Monopolistis dan Pasar Tidak Sempurna ........ 7
C. Focus Perhatian ..................................................................................................... 10
1. Pendekatan Terpusat ke Masyarakat .................................................................. 11
3. Pendekatan Terpusat ke Negara ........................................................................ 11
BAB III ............................................................................................................................. 17
KESIMPULAN ................................................................................................................. 17
A. Kesimpulan ........................................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 19

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Teori-teori yang dikembangkan oleh Marx dan Engels mendapat banyak
tanggapan dari pakar-pakar ekonomi, baik dari kaum sosialis sendiri maupun dari
pendukung sistem liberal-kapitalisme. Pemikiran-pemikiran ekonomi dari para
pakar pendukung sistem liberal ini kemudian dimasukkan ke dalam suatu
kelompok pemikiran ekonomi tersendiri yang disebut mazhab Neo-Klasik.
Karena analisis yang dibuat Marx untuk meramal kejatuhan sistem kapitalis
bertitik tolak dari teori nilai kerja dan tingkat upah, oleh para pakar Neo-Klasik,
paling kurang ada empat orang yang melakukan penelitian tentang hal yang sama,
yaitu W. Stanley Jevons (1835-1882), Leon Walras (1837-1910), Carl Menger
(1840-1921) dan Alfred Marshall (1842-1924).
Stanley Jevons dari University of Manchester (Inggris) menulis Theory of
Political Economy tahun 1871. Karl Menger dari Austria menulis Principles of
economics in germany pada tahun yang sama. Leon Walras dari sekolah Lausanne
(Swiss) menulis Elements of Pure economic pada tahun 1874.
Alfred Marshall dari Cambridge University (Inggris) sebetulnya sudah
menulis Principles of Economics Pada awal tahun 1870-an. Akan tetapi, ia
termasuk orang yang sangat hati-hati dalam memberikan pandapat baru, sehingga
buku tersebut baru diterbitkan dua puluh tahun kemudian, yaitu tahun 1891.
Walaupun mereka melakukan penelitian secara terpisah, dari hasil
penelitian masing-masing mereka mengemukakan hal yang sama. Kesimpulan
yang dihasilkan pun sama, bahwa teori nilai lebih (surplus value) Marx tidak
mampu menjelaskan secara tepat tentang nilai komoditas. Mereka seperti
menyepakati bahwa teori Marx tersebut tidak memberikan sumbangan apa pun
dalam perkembangan teori ekonomi. Oleh karena itu, dapat diabaikan.
Kesimpulan dari keempat tokoh neo-klasik yang disebutkan di atas telah
meruntuhkan seluruh bangunan teori sosialis yang dikembangkan Marx dan
Engels, sekaligus menyelamatkan sistem liberal/kapitalis dari kemungkinan krisis
sebagaimana diramal Marx.

1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep ekonomi neo klasik generasi I?
2. Bagaimana konsep ekonomi neo klasik generasi II?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui konsep ekonomi neo klasik generasi I.
2. Untuk mengetahui konsep ekonomi neo klasik generasi II.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Dasar Neo Klasik Generasi I
Mazhab Neo-Klasik telah mengubah pandangan tentang ekonomi, baik
dalam teori maupun dalam metodologinya. Teori nilai tidak lagi didasarkan pada
nilai tenaga kerja atau biaya produksi tetapi telah beralih pada kepuasan marjinal
(marginal utility). Pendekatan ini merupakan pendekatan yang baru dalam teori
ekonomi. Beralih pada kepuasan marjinal (marjinal utility).
Salah satu pendiri mazhab neoklasik yaitu Heindrich Gossen. Heindrich
Gossen (1810-1858) telah lama menggunakan konsep marjinal dalam menjelaskan
kepuasan atau faidah (utility) dari pengkonsumsian sejenis barang. Menurut
Gossen, faidah tambahan (marginal utility) dari pengkonsumsian suatu macam
barang akan semakin turun jika barang yang sama dikonsumsi semakin banyak.
Pernyataan ini kemudian dijadikan semacam dalil dan lebih dikenal sebagai
“hukum Gossen Pertama”. Dalam “hukum Gossen Kedua” ia menjelaskan bahwa
sumber daya dan dana yang tersedia selalu terbatas secara relatif untuk memenuhi
berbagai kebutuhan yang relatif tak terbatas.
Dengan adanya kendala ini, kepuasan maksimum yang bisa diperoleh
(sesuai dengan keterbatasan sumber daya dan dana tersebut) terjadi pada saat
faidah marjinal (marjinal utility) sama untuk tiap barang yang dikonsumsi
tersebut. Namun dengan syarat semua sumber daya dan dana terpakai habis
seluruhnya.

1. Mazhab Austria
Para pendukung dan pemakai konsep marjinal kebanyakan berasal dari
Universitas Wina (Austria). Pandangan mereka mempunyai cirri-ciri tersendiri,
yaitu penerapan kalkulus dalam pengembangan teori-teori mereka. Karena
dikembangkan oleh pakar-pakar ekonomi dari Austria, pandangan mereka dalam
berbagai buku ajar dimasukkan kedalam aliran tersendiri yang disebut mazhab
Austria (Austrian School of Economics). Tiga tokoh utama mazhab Austria
tersebut adalah Carl Menger, Friedrich Von Wieser, dan Eugen Von Bohm
Bawerk.
Carl Menger (1840-1921) menjabat sebagai profesor ekonomi di Univeritas
Wina dari tahun 1873 hingga 1903. Karya utamanya adalah Grunsatze der volks

3
Wirtschaftslehre (1871). Dalam buku tersebut Menger mengembangkan teori
utilitas marjinal yang ternyata membawa pengaruh yang sangat besar dalam
pengembangan teori-teori ekonomi.
Pada tahun 1903 kedudukan Menger di Universitas Wina digantikan oleh
Friedrich Von Wieser (1851-1920). Karya utama von wiser antara lain: Uber den
Ursprung und die Hauptgesetze des wirtschatlichen Wertes (1884), Der
Naturliche Wert (1889), dan Theorie der Gesellschatlichen Wirtschaft (1914).
Wieser dipandang sangat berjasa dalam mengembangkan teori utilitas marjinal
Menger, dengan menambahkan formulasi biaya-biaya oportunitas (opportunitas
cocts).
Kedudukan Wieser kemudian digantikan pula oleh Eugen Von Bohm
Bawerk (1851-1914). Kontribusi utama Bohm Bawerk adalah dalam
pengembangan teori tentang modal dan teori tentang tingkat suku bunga. Hal ini
dapat diikuti dari bukunya Capital Positive Theory of Capital (1889). Teori-teori
yang dikembangkan oleh ketiga tokoh utama aliran Austria di atas kemudian
diikuti dan dikembangkan lebih lanjut oleh tokot-tokoh lain seperti Knut
Wicksell, Von Mises, F.A. Hayek dan J.R. Hicks.
Knut Wicksell (1851-1926) mendapat pendidikan di Uppsala University
(Swedia). Ia berjasa mengasimilasikan analisis keseimbangan umum walras
dengan teori kapital dan suku bunga Bohm Bawerk menjadi teori distribusi.
Asimilasi kedua teori itu didasarkan pada analisis marjinal versi baru
dikembangkan oleh Jevons, Walras dan Menger. Pengaruh Wicksell terhadap
perkembangan teori moneter juga sangat besar sebab ia yang pertama melihat
hubungan langsung antara tingkat suku bunga dengan harga-harga. Sesuatu yang
dianggap bertentangan pada waktu itu.karyanya yang utama adalah lectures on
political economy (1901).
Ludwig Edler Von Mises (1881-1973) menjabat sebagai profesor ekonomi
di Universitas Wina tahan 1913. Menurut Von Mises sistem harga merupakan
basis paling efisien dalam mengalokasikan sumber daya. Sehubungan dengan
pendapatnya tersebut tidak mengherankan jika ia sering megkritik sistem
perekonomian komando. Hal itu karena sistem komamdo tidak mempunyai sistem

4
harga. Mises berpendapat bahwa sistem ekonomi komando tidak akan dapat
melembagakan sisitem harga tanpa terlebih dahulu menghancurkan prinsip politik.
Mises juga menagplikasikan teori kepuasan marjinal untuk mengembangkan
teori baru tentang uang. Ia memaparkan bahwa kepuasan (utility) dapat diukur
secara ordinal, tetapi tidak secara cardinal. Teori-teori lain yang dikembangkan
oleh Von Mises adalah teori paritas daya beli (purchasing power parity) dan teori
trade cycle.
F.A. Hayek (1899) menjadi direktur lembaga penelitian ekonomi di
Universitas Wina dari 1927-1931. Selain itu, ia juga pernah menjabat sebagai
dosen tamu di University of Chicago (1950-1962). Ia dianggap sangat berjasa
dalam mengembangkan teorisiklus perdagangan (theory of trade cycle) dari von
mises, yang diintegrasikannya dengan teori capital dari Bohm Bawerk. Atas jasa-
jasanya dalam mengembangkan ilmu ekonomi, hayek menerima hadiah nobel
tatun 1974 bersama-sama dengan Gunnar Myrdal.

2. Mazhab Cambridge
Dari sekian banyak tokoh noe-klasik yang dianggap sebagai tokoh paling
utama adalah Alfred Marshall (1842-1924). Menger dianggap sebagai pelopor
aliran Austria, dan Walras dianggap sebgai pelopor aliran Lausanne. Berbeda
dengan kedua tokoh itu, Marshall dianggap sebagai pelopor aliran atau mazhab
Cambridge (Cambridge Scholl of Economics) di Inggris.
Pendidikan dasarnya ditempuh di sekolah Mercant Taylor dan lulus dalam
bidang matematika di St. John’s Collage, Cambridge. Pada 1868 marshall
diangkat sebagai tenaga pengajar dalam bidang moraldi Cambridge dan pada saat
yang samaia mulai mempelajari ilmu ekonomi. Tahun 1882 ia mengajar ekonomi
politik di Bristol dan tahun 1885 kembali ke Cambridge. Ia mengaku jabatan
ketua Jurusan Ekonomi Publik di Cambridge hingga tahun 1908.
Marshall dianggap sangat berjasa dalam memperbarui asas dan pos-tulat
pandangan-pandangan ekonomi yang dikemukakan pakar klasik dan pasar neo-
klasik sebelumnya. Menurut kaum klasik, harga barang ditentukan oleh besarnya
pengorbanan untuk mengahasilkan barang tersebut. Dengan demikian, bagi kaum
klasik yang menentukan harga adalah sisi penawaran. Pendapat klasik tersebut
ditentang oleh tokoh-tokoh neo-klasik lain seperti Jevons, Menger, dan Walras.

5
Mereka sepakat bahwa yang menentukan harga adalah kondisi permintaan.
Jevons, Menger dan Walras secara bersama-sama telah mengembangkan
analisis yang sifatnya revolusioner tentang faktor-faktor yang menentukan harga-
harga relatif. Semuanya tidak setuju dengan teori ini dinilai tidak berlaku secara
umum. Mereka secara tegas juga mengkritik teori nilai upah buruh (labour theory
of value) Ricardo serta teori biaya produksi dari Senior dan Mill. Teori biaya
produksi yang ditentang itu mengatakan bahwa harga abarang ditentukan oleh
biaya-biaya yang diperlukan untuk menghasilkan barang tersebut.
Pakar-pakar neo-klasik di atas lebih jauh mengkritik pakar-pakar klasik
yang gagal membedakan antara ultilitas total (total utility), utilitas marginal
(marginal utility), dan utilitas rata-rata (average utility). Misalnya dalam
menjelaskan paradoks antara intan dan air, Smith menjelaskan bahwa air sangat
berfaidah, tetapi mempunyai harga yang rendah. Hal itu karena biaya yang
diperlukan untuk memperoleh air, kecil atau tidak ada sama sekali. Sebaliknya,
intan yang kurang berfaidah bagi manusia nilainya sangat tinggi karena
dibutuhkan biaya yang besar untuk memperoleh intan tersebut. Menurut kaum
neo-klasik, nilai atau harga intan lebih tinggi dari nilai air bukan karena biaya
untuk mendapatkan intan lebih besar daripada untuk mendapatkan air, melainkan
karena utilitas marjinal (utilitas dari pengkonsumsian satu unit intan terakhir)
yang besar. Oleh sebab itu orang mau menghargai intan lebih tinggi daripada air.
Bagi Jevons, Menger, dan Walras biaya-biaya bukan satu-satuya faktor yng
menentukan harga-harga. Yang paling menentukan harga, sesuai dengan teori
utilitas marjinal, adalah utilitas yang diterima dari pengonsumsian satu unit
terakhir dari barang tersebut.
Jadi jika diperhatikan, teori-teori yang dikembangkan kaum marjinal sangat
berbeda dengan teori yang dikembangkan pakar-pakar klasik tentang harga. Kalau
kaum klasik melihar harga hanya dari sisi produsen) dari jumlah pengorbanan
yang dikeluarkan), kaum marjinal melihatnya dari sisi konsumen, yaitu dari
kepuasan marjinal (marginal utility) pengonsumsian satu unit barang terakhir.
Marshall tidak menyalahkan kedua konsep diatas, tetapi menggabungnya.
Menurut Marshall, selain biaya-biaya, harga juga dipengaruhi oleh unsur subjektif
yang mempengaruhi harga dari pihak konsumen maupun dari pihak produsen.

6
Unsur subjektif yang mempengaruhi harga dari pihak konsumen,misalnya
pendapatan (daya beli). Dari pihak produsen mungkin keadaan keuangan
perusahaan. Kalau keuangan perusahaan dalam suatu keadaan sulit, misalnya,
kemungkinan perusahaan mau menerima harga yang rendah. Akan tetapi, kalau
keadaan keuangan cukup kuat, mereka juga akan lebih berani dalam
mempertahankan harga.
Pertemuan antara permintaan dan penawran yang menentukan harga yang
terbentuk di pasar. Kalau harga yang terbentuk di pasar lebih besar dari biaya-
biaya yang dibutuhkan untuk menghasilkan barang, berarti perusahaan dalam
jangka pendek memperoleh keuntungan. Akan tetapi, dalam jangka panjang
keadaan akan kembali normal. Hal itu karena, keuntungan yang dinikmati
perusahaan tersebut akan menarik perusahaan-perusahaan lain masuk pasar.
Makin banyak perusahaan masuk pasar, berarti semakin banyak pula produksi dan
penawaran. Kelebihan penawaran atas permintaan akan memaksa harga-harga
turun dan keadaan kembali pada situasi semula.
Jika banyak pembeli dan penjual dan tidak ada halangan masuk atau keluar
(free entry and exit), dalam jangka panjang harga yang terbentuk di pasar pasar
hanya cukup untuk menutup biaya-biaya saja (di dalamnya sudah termasuk biaya-
biaya buruh atau jasa para manajer perusahaan). Jadi, dalam jangka panjang
perusahaan tidak memperoleh laba ekonomi yang tinggi sebagaimana
dikhawatirkan para penentang aliran klasik. Sebaliknya, kaum neo-klasik percaya
bahwa bentuk pasar persaingan sempurna merupakan bentuk pasar yang paling
efisien yang akan menguntungkan semua pihak. Perusahaan-perusahaan
memperoleh laba normal (normal profit), yang besarnya laba hanya cukup untuk
dapat bertahan di pasar. Para konsumen dapat membeli barang dalam jumlah
cukup dengan harga rendah. Sumber-sumber daya dimanfaatkan secara optimum
dan dialokasikan secara efisien.

B. Neoklasik Generasi II: Persaingan Monopolistis dan Pasar Tidak


Sempurna
Pada tahun 1930-an sejumlah pakar ekonomi melakukan revisi terhadap
pemikiran-pemikiran neo-klasik, terutama yang menyangkut teori pembentukan
harga dan keseimbangan pasar.

7
Sebelum memasuki abad ke-XX pada umumnya tokoh-tokoh klasik maupun
neo-klasik generasi pertama tidak pernah mempersoalkan apakah pasar dalam
kenyataan sehari-hari betul-betul mencerminkan pasar persaingan sempurna atau
tidak. Hal ini tidak dapat disesalkan sebab pada periode sebelum memasuki abad
ke-XX kegiatan produksi pada umumnya bersifat kecil-kecilan.
Dalam situasi seperti ini asumsi pasar persaingan sempurna tidak pernah
dipersoalkan. Asumsi-asumsi tersebut misalnya: 1. Terdapat banyak pembeli dan
pejual, 2. Barang-barang yang dijual dipasar relatif sama dalam jenis, sifat dan
mutu, 3. Tiap perusahaan bebas keluar masuk pasar, 4. Tidak ada pembeli maupun
penjual yang mampu mengubah harga yang ditentukan di pasar, 5. Setiap pembeli
dan penjual bertindak sebagai penerima harga (price takers), 6. Setiap pembeli
dan penjual mempunyai informasi yang lengkap tentang pasar, 7. Tidak ada
perbedaan biaya transpor diantara para penjual.
Akan tetapi, setelah abad ke-XX Sraffa mengamati bahwa dalam kenyataan
asumsi pasar persaingan sempurna yang dianut tokoh-tokoh klasik maupun neo-
klasik tidak dapat diterima begitu saja. Setiap perusahaan megetahui bahwa kalau
seandainya mereka mengubah keputusan output atau penawaran, harga-harga
dapat berubah. Hal ini diungkapkan Sraffa dalam artikelnya: the laws of Retuns
under Competitive Conditions tahun 1926.
Kemudian Chamberlin memusatkan perhatiannya pada pasar monopolistik
dalam bukunya, The Theory of Monopolistic Competition, 1933. Ia menyebutkan
bahwa banyak asumsi yang digunakan dalam pasar persaingan sempurna,
terutama dalam produk yang homogen, yang tidak realistis. Karena tidak mungkin
suatu pasar hanya memproduksi satu jenis barang saja (homogen).
Oleh karena itu, masih menurut Chamberlin, perusahaan-perusahaan pasti
berusaha untuk melakukan diferensiasi pada produk-produknya guna
mempertahankan perusahaannya supaya bertahan di pasar tersebut. Jika usaha itu
(diferensiasi produk) berhasil maka perusahaan itu dapat memengaruhi harga-
harga di pasar, dan dia dapat bertindak sebagai penentu harga (price setter), bukan
sebagai penerima harga (price taker).
Dengan demikian, pasar ini sudah tidak sempurna lagi karena ciri utama
dalam pasar monopolistik adalah adanya diferensiasi produk dan perusahaan

8
bertindak sebagai price setter bukan sebagai price taker. Juga biasanya harga
yang terbentuk dalam pasar monopolistik lebih tinggi daripada harga yang
terbentuk dalam pasar sempurna.
Begitu juga dengan Joan Robinson, yang mempunyai analisis hampir mirip
dengan Chamberlin. Namun, Joan Robinson, analisisnya lebih fokus pada
pembahasan “pasar persaingan tidak sempurna (Imperfect Competition)”.
Menurutnya, tiap perusahaan dalam pasar tidak sempurna memegang posisi
monopoli, dimana posisi ini didapatkan dari barang-barang yang dibeli
berdasarkan preferensi konsumen (Customer Preference) walaupun ada barang
substitusi yang dihasilkan oleh perusahaan lain.
Dalam kenyataannya bahwa persaingan dunia pasar tidak sempurna dan
membawa pada implikasi yang cukup serius terhadap kesejahteraan masyarakat.
Hal ini disebabkan karena dalam pasar persaingan tidak sempurna efisiensinya,
sebagaimana diungkapkan Pareto, tidak bisa dicapai.
Kesimpulannya, pandangan ketiga tokoh ini bagi pengembangan teori
ekonomi adalah (bagi mereka) model pasar persaingan sempurna yang
dikembangkan oleh kaum klasik dan neo-klasik terdahulu hanya merupakan suatu
konstruksi pemikiran yang diharapkan belaka (secara teoritis) yang kenyataannya
mempunyai keterbatasan dalam kehidupan sehari-hari.
Apa implikasi dari kenyataan bahwa pasar tidak berperilaku sesuai asumsi
pasar persaingan sempurna tersebut ? Bagi pemikir-pemikir Neoklasik, hal ini
membuka peluang bagi tindakan politik, dimana pemerinta perlu ikut campur
“mengoreksi” ketidaksempurnaan yang terjadi dipasar. Dalam hal ini, perlu
dicatat bahwa walaupun pakar-pakar ekonomi Neokalasik menganggap perlunya
campur tangan pemerintah, pada awalnya mereka tidak membahas tentang peran
redistribusi, kemiskinan, kesenjangan sosial, pendidikan, kesehatan, atau isu-isu
tentang lingkungan, melainkan hanya berupaya untuk membawa perekonomian
kearah ideal seperti yang mungkin dicapai dalam kondisi pasar yang berfungsi
sempurna. Tegasnya campur tangan pemerintah hanya dalam proses dan
keputusan politik untuk memperbaiki pasar.
Jadi, walau banyak faktor yang menyebabkan pasar tidak bsa menjalankan
fungsinya dengan sempurna, para pemikir Neoklasik lebih banyak membahas

9
persoalan eksternalitas, barang public, dan pasar persaingan tidak sempurna secara
umum. Soal perlunya campur tangan untuk mengatasi masalah-masalah sosial lain
seperti pemberantasan kemiskinan, redistribusi pendapatan, mengatasi
kesenjangan sosial, memajukan pendidikan, serta memperbaiki tingkat kesehatan
masyarakat dan sejenisnya sama sekali tidak dibahas.
Untuk menghadapi masalah eksternalitas, proses politik dapat digunakan
dalam mengoreksi defisiensi pasar dengan mengupayakan agar biaya-biaya dan
penerimaan privat (privat cost and revenues) mendekati biaya-biaya dan
penerimaan sosial (social cost and revenues). Cara yang dapat ditempuh oleh
pemerintah, antara lain melarang aktivitas yang menimbulkan eksternalitas itu
sendiri, atau menetapkan pajak (untuk aktivitas yang menimbulkan eksternalitas
negatif).
Begitu juga untuk menghadapi masalah barang publik, yaitu barang yang
sekali diproduksi tidak bisa dibatasi pengonsumsiannya pada seseorang atas
sekelompok orang tertentu (seperti jalan, mercusuar), pemerintah terpaksa
mengambil alih pengadaannya sebab pihak swasta tidak tertarik untuk
memproduksinya karena orang cenderung bertindak sebagain “pembonceng”
(free-rider).
Tujuan utama perusahaan adalah laba maksimum. Makin besar keuntungan
perusahaan untuk mempengaruhi harga-harga dan output, makin tinggi laba
ekonomi yang dicapai. Perusahaan akan menggunakan berbagai macam cara
untuk memperoleh laba, seperti berupaya memonopoli sumber bahan mentah
strategis ; menguasai teknologi (produksi, desain, pemasaran), atau menguasai
sumber modal dan financial untuk kelompok sendiri.

C. Focus Perhatian
Focus perhatian perspektif ekonomi politik Neoklasik lebih ditekankan pada
perilaku para penyelenggara negara (state actors) dan aktor dari kalangan
masyarakat (society actors) baik dalam proses pengambilan keputusan
kebijaksanaan public, maupun implementasi kebijaksanaan itu sendiri. Menurut
Grindle (1989), teori-teori ekonomi politik Neoklasik dapat dibedakan menjadi
dua kelompok:

10
1. Pendekatan Terpusat ke Masyarakat
Model analisis ini terpusat ke masyarakat yang lebih focus pada
penggunaan pasar-pasar politik oleh agen-agen ekonomi. salah satu diantaranya
yang paling popular adalah model masyarakat pemburu rente (rent seeking society
model). Yang menjadi basis ataupun objek utama analisis adalah individu pribadi.
Individu diasumsikan sebagai makhluk rasional yang berusaha memaksimumkan
berbagai sumber daya guna menghimpun kekayaan.
Konsekuensi dari model ini ialah bahwa sulit membatasi individu
memanfaatkan interaksi ekonomi untuk mencapai kepentingan pribadi, bahkan
sulit juga membatasi individu memanfaatkan pemerintah guna meningkatkan atau
melindungi kepentingan pribadi mereka.
Dalam model ini, politik dilihat sebagai alat untuk memperjuangkan
kepentingan pribadi. Bisa dilakukan melalui pemberian suara pada pemilu
maupun berbagai lobi untuk mencapai tujuannya tersebut. Tetapi, konsep lobi
oleh kelompok kepentingan tidak mungkin diperoleh melalui mekanisme pasar.
Konsekuensinya, makin banyak lobi dilakukan, makin tinggi campur tangan
pemerintah dalam pembangunan ekonomi.
Melalui model ini, sumber-sumber ekonomi hanya dimiliki dan dinikmati
oleh pelaku-pelaku ekonomi yang dekat dengan kekuasaan. Karena, kepentingan
ekonomi dan kepentingan politik telah menyatu dalam format kolusi ekonomi, di
mana kekuasaan menjadi medium yang subur sebagai alat “bagi-bagi rejeki” oleh
segelintir orang.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam model masyarakat
pemburu rente karakteristik utama kehidupan politik adalah persaingan antar
kelompok kepentingan untuk mendapatkan akses terhadap perolehan keuntungan
dan sumber daya yang dikuasai dan dialokasikan oleh pemerintah.

3. Pendekatan Terpusat ke Negara


Pendekatan terpusat ke negara dilandaskan pada asumsi bahwa negara
punya agenda sendiri dalam hubungannya dengan masyarakat.dalam analisi
ekonomi politik Neoklasik, ekonomi tidak beroperasi secara bebas dalam ruang
hampa, tetapi ada keseimbangan antara pasar dan negara, dimana negara ikut

11
menetukan bagaimana ekonomi beroperasi. Artinya, dalam perspektif ini, negara
berperan lebih aktif.
Negara punya kemampuan untuk mengejar dan menentukan agenda yang
tidak ditentukan oleh kepentingan privat. Ini yang disebut otonomi negara, yaitu
adanya kemampuan negara untuk bertindak bebas dan tidak ditentukan atau
dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan sosial lainnya.
Konsep otonomi negara berarti bahwa negara bisa bertindak independent
dengan tidak ditentukan atau dipengaruhi unsur lain. Sehubung dengan otonomi
negara ini, terdapat tiga pandangan yaitu:
a. Bahwa negara berhasil menghadapi tekanan dari masyarakat dan
mentranslasikan keinginan sendiri ke dalam kebijakan public.
b. Bahwa tindalan negara tidak didikte atau dikontrol oleh kelompok
manapun.
c. Bahwa negara memiliki kapasitas untuk menolak tekanan dari pihak luar.

Dalam pendekatan ini, focus perhatian dititikberatkan pada mekanisme


penyelenggaraan negara. Adapun yang menjadi objek analisis adalah para
politikus, birokrat, dan negara itu sendiri. Sesuai objek tersebut maka ada tiga
jenis model analisis, yaitu:
a. Power Seeking Politicians
Perlu dijelaskan bahwa semua konsep tentang kekuasaan ada
hubungannya dengan tujuan dan kepentingan.Jika kepentingan bisa dilihat
secara jelas oleh agen (artinya si agen atau politikus tadi secara sadar
menegejar kepentingannya),maka ia disebut keinginan (wants),kesukaan
atau preferensi (preference) atau tujuan (interest).
Selain dalam neara,kekuasaan juga bisa muncul dalam perusahaan,di
antara perusahaan,dalam rumah tangga,di sekolah atau dalam kelompok-
kelompok keagamaan.Bedanya,penggunaan kekuasaan oleh selain Negara
adalah untuk mengejar kepentingan privat,sedangkan penggunaan
kekuasaan oleh Negara adalah untuk kepentingan public.Penggunaan
kekuasaan oleh selain Negara tidak mesti (secara langsung) melibatkan

12
perjuangan politik atas instrument-instrumen dalam institusi-institusi
kekuasaan (pemerintah).
Penggunaan kekuasaan untuk mencapai yang diinginkan,mungkin ada
resistensi atau perlawanan,baik dari alam,orang-orang atau dai institusi-
institusi social.Bahkan secara psikologis mungkin juga ada resistensi dari
diri sendiri.Elemen resistensi ini sangat penting dalam mendefinisikan
kekuasaan.Dalam economy dan society (1978),Max Weber mendefinisikan
kekuasaan sebagai: “The Probability that an actor in a social relationship
will be in a position to carry out his own will despite resistance,regardless of
the basis on which this probability rests”.Bagaimanapun,seorang politikus
bisa saja memanipulasi kekuasaan untuk menyingkirkan resistensi atau
perlawanan dari pihak lain.
Kekuasaan bisa diinterprestasikan sebagai kemampuan untuk
memperoleh keinginan.Untuk memperoleh keinginan,harus dilakukan
sesuatu untuk mempengaruhi,dan dengan demikian juga,mengubah
keadaan.Rayuan (persuation) dan bujukan (inducement) juga dapat
dikualifikasikan sebagai kekuasaan.
Menurut Caporaso dan Levine (1993),ada tiga jenis kekuasaan,yaitu
kekuasaan untuk menjamin pencapaian hasil atas alam melalui
pengembangan energy fisik atau teknologi canggih agar lebih cepat/efisien
dalam mencapai tujuan;kekuasaan atas orang lain,yang bisa dilakukan
dengan menaikan insentif (membujuk) atau dengan mengancam;kekuasaan
bersama-sama dengan orang lain.
Orang sering tidak berhasil mencapai keinginannya jika ia bekerja
secara sendiri-sendiri. Untuk itu ia mungkin perlu melakukan kerja sama
atau kolaborasi dengan pihak lain.Kolaborasi mungkin sifatnya sementara
atau bisa dilembagakan.Tanpa kehadiran institusi bisa menyebabkan
terhalangnya pencapaian tujuan.Dalam hal ini kemampuan untuk
membentuk institusi yang lebih berdaya untuk mencapai apa yang
diinginkan inilah yang tergolong ke dalam komponen kekuasaan dengan
orang yang lainnya.

13
Dalam model analisis Power Seeking Politicians,diasumsikan bahwa
para politikus adalah makhluk rasional yang memperhitungkan laba rugi
dalam setiap keputusan atau kebijakan yang diambilnya.Kepentingan utama
para politikus pada umumnya adalah untuk mempertahankan,dan kalau
dapat meningkatkan kekuasaan yang ada di tangannya.Untuk memperoleh
kekuasaan,biasanya para politikus menggunakan sumber daya milik
pemerintah yang ada dalam kekuasaannya untuk “dihadiahkan” kepada para
pendukungnya,dan menghukum mereka yang mengganggu dan
menginginkan ia turun dari kursi kekuasaannya.
Maka politikus pada umumnya kurang reaktif terhadap tekanan
kelompok kepentingan dan sebaliknya lebih aktif berusaha
memaksimumkan kesempatannya untuk tetap memegang kekuasaan dengan
menggabung koalisi-koalisi pendukung dan menggunakan sumber daya
milik public untuk “membeli” dukungan.
b. Rent Seeking Bureaucrats
Model terpusat ke Negara berikutnya adalah model birokrat pemburu
rente (Rent Seeking Bureucrates),yang focus perhatiannya adalah perilaku
para birokrat dalam kapasitasnya sebagai perangkat pelaksana administrasi
Negara.Seperti yang sudah disinggung waktu menjelaskan teori perilaku
birokrat,para birokrat adalah manusia biasa yang memiliki emosi dan tata
nilai serta mempunyai seperangkat tujuan pribadi yang tidak selamanya
sesuai dengan tujuan birokrasi (organisasi).Ini berarti bahwa campur tangan
pemerintah tidak selamanya didorong untuk melayani kepentingan
public,tetapi di sana sini bisa saja diarahkan untuk kepentingan
individu,perusahaan atau golongan tertentu.
Menurut Bates (1994),jika institusi politik relative otonom dari
ekonomi,mereka cenderung akan menciptakan insentif bagi diri mereka
sendiri.Ini menjelaskan mengapa politikus yang rasional lebih menyukai
kebijakan-kebijakan yang mendistorsi pasar.Jika pemerintah mampu
menggeser harga-harga menjauh dari posisi harga keseimbangan,maka aka
nada kesenjangan antara permintaan dengan penawaran,dan dalam situasi

14
seperti ini pejabat yang mempunyai wewenang mengontrol pasar bisa
“bermain” untuk memperoleh kepentingannya sendiri.
Selain untuk mengejar kepentingan pribadi,campur tangan pemerintah
di pasar juga dapat digunakan untuk menciptakan kemampuan untuk
membentuk jaringan patron-klien atau menciptakan apa yang disebut
“political machine”.Lewat control pasar,pejabat pemerintah dapat
mengorganisir kelompok-kelompok pendukung fanatic yang memiliki
komoditas-komoditas berharga yang sekarang menjadi langka karena
kebijakan pemerintah.Inilah sebabnya mengapa politikus lebih memilih
strategi intervensi pasar ketimbang memilih strategi pasar bebas.Walau
masyarakat lebih sejahtera dalam pasar bebas,tetapi potensi ini terhalang
karena tidak banyak tuntutan politik agar pemerintah enyah dari pasar.
Dalam ekonomi politik neoklasik,individu-individu termasuk politikus
diasumsikan rasional.Melalui asumsi ini,kita juga bisa menjelaskan
mengapa politikus tidak mendukung strategi ekonomi pasar bebas.
Permasalahanya,kebanyakan politikus yang rasional cenderung enggan
menghadapi resiko.Apalagi karena gaji mereka pada umumnya rendah maka
mereka lebih menyukai adanya “penghasilan sampingan” yang lebih pasti
dari pasar yang diregulasi dibandingkan penghasilan yang mungkin lebih
besar namun kurang pasti jika pasar dideregulasi. Jadi, walaupun para
pejabat itu menyadari bahwa kondisi mereka akan lebih baik di bawah
sistem pasar bebas, tetapi rasionalitas jangka pendek mereka akan
mendorong untuk tidak memaksa pemerintah keluar dari pasar. Karena
pasar bebas adalah semacam barang-barang public, tiap politikus yang
rasional lebih memilih sebagai pembonceng gratis dan membiarkan orang
lain yang menanggung biaya-biaya tindakan politisi,sementara ia sendiri
tetap bisa menikmati keuntungan ekonomi jangka pendek untuk diri sendiri
(Bates,1994).
Secara umum, bentuk kepentingan pribadi birokrat adalah akumulasi
keuntungan ekonomi jangka pendek, walau dalam banyak kasus birokrat
juga berkepentingan mempertahankan dan meningkatkan jabatan,atau
tujuan-tujuan lainnya. Birokrat akan memanfaatkan sumber daya (berupa

15
kebijaksanaan) untuk memkasimumkan kepentingan pribadi baik dengan
“menjual” kebijaksanaan tersebut pada penawar dengan harga tertinggi, atau
menagalokasikan sumber daya tersebut pada pihak-pihak yang disukainya.
Jadi, apa yang kita kenal dengan istilah KKN (Korupsi kolusi dan
Nepotisme) dapat dipahami sebagai hasil dari pasar nonekonomi yang
berfungsi lewat alokasi sumber daya birokratis.
Model birokrat pemburu rente ini sudah biasa diterapkan oleh para
birokrat dalam berbagai kebijakan public di tanah air.Di tingkat
pusat,penggunaan model birokrat pemburu rente ini sangat menonjol
digunakan pada tahun-tahun terakhir pemerintahan soeharto.Orang banyak
yang bingung apakah berbagai kebijakan yang dilakukannya bersifat politis
atau dilatabelakangi oleh motif untuk mengeruk keuntungan pribadi,anak
dan keluarganya.
c. Predatory State
Varian ketiga dari pendekatan terpusat ke Negara adalah model
analisis Negara pemangsa (predatory state). Yang menjadi focus perhatian
dalam analisis pendekatan Negara pemangsa ini adalah Negara itu sendiri.
Jelasnya, dalam model analisis ini Negara dianggap sebagai actor rasional
yang berusaha memaksimumkan penerimaan jangka pendek.
Dalam upaya memaksimumkan penerimaan Negara jangka pendek,
Negara akan mencari bentuk-bentuk kebijaksanaan perpajakan yang akan
meningkatkan penerimaan Negara. Selain itu, Negara juga dapat
mengenakan bea ekspor-impor,mendevaluasi nilai tukar uang dalam negeri,
bahkan juga mempertahankan birokrasi yang tidak efisien. Pendeknya,
segala macam cara akan dilakukan untuk meningkatkan penerimaan Negara
dalam jangka pendek, walau hal ini dapat merugikan pembangunan ekonomi
secara keseluruhan dalam jangka panjang. Seperti yang diungkapkan oleh
Killick (1988), Negara predator yang bertindak rasional untuk
mempertahankan kekuasaannya mau menjalankan strategi-strategi
pembangunan yang secara ekonomi sebetulnya adalah tidak rasional.

16
BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
1. Kelompok ekonomi Neoklasik generasi pertama bisa dibedakan lagi atas
dua kelompok, yaitu: (1) Kelompok ekonomi Austria (The Classical
Liberal Perspectives), (2) Kelompok ekonomi Cambridge ( The Modern
Liberal Perspective). Kelompok pertama disebut kelompok Ekonomi
Austria karena hampir semua pendukungnya seperti Carl Manger,
Friedlich von Wieser, dan Eugen von Bohm Bawer berasal dari Austria.
Pakar-pakar Neoklasik yang tergabung dalam kelompok ekonomi Austria
ini sangat berjasa mengembangkan teknik-teknik matematika, terutama
kalkulus. Dari tangan merekalah lahir konsep-konsep marginal utility,
marginal revenue, the law of diminishing return, dan sebagainya yang
sarat dengan hitungan-hitungan matematis. Sejak munculnya teori
“marginal revolution” yang dikembangkan oleh pakar-pakar Neoklasik
dari mazhab Austria tersebut, pembahasan ekonomi lebih bersifat mikro.
Karena ilmu ekonomi ditangan pakar-pakar Neoklasik mengalami
perkembangan yang pesat melebihi perkembangan legislasi, hal ini
memeksa diceraikannya politik dari ilmu yang semula disebut ekonomi
politik. Lebih tepat, oleh pakar-pakar ekonomi Neoklasik istilah
“political” dihilangkan dari “political economy”, dan yang tinggal hanya
“ilmu ekonomi” ( “economics”) sebagai suatu disiplin ilmu yang mandiri.
Adapun kelompok kedua digolongkan didalam Ekonomi Cambridge
karena para pendirinya seperti Alfred Marshall dan kebanyakan
pendukungnya kebanyakan berasal dari university of Cambridge.
Walaupun Marshall memiliki peran besar dalam perkembangan ilmu
ekonomi, pendekatan yang digunakan Marshall sedikit berbeda dari
pendekatan pakar-pakar ekonomi lain. Perbedaan yang mencolok antara
Marshall dengan ekonomi-ekonomi lain dari mazhab Austria yang pada
umumnya “tegar” ialah Marshall lebih memperhatikan nasib kaum papa.
Bagi Marshall, ilmu ekonomi politik adalah sarana untuk memperbaiki
kesejahteraan masyarakat dan bahkan juga sebagai motor untuk

17
mengungkap kebenaran (an engine for the discovery of truth) dengan
mengatasi kemiskinan dan kemelaratan.
2. Pada tahun 30-an, muncul pakar-pakar ekonomi Neoklasik generasi kedua,
di antaranya Piero Srafa, Joan Violet Robinson, dan Edward Chamberlin.
Kalau pakar-pakar ekonomi Klasik mengansumsikan pasar persaingan
sempurna, pakar-pakar ekonomi Neoklasik generasi kedua justru
mengansumsikan pasar persaingan tidak sempurna, bisa berbentuk
kompetisi monopoli, oligopoly, atau monopoli. Bagi pemikir-pemikir
Neoklasik, hal ini membuka peluang bagi tindakan politik, dimana
pemerinta perlu ikut campur “mengoreksi” ketidaksempurnaan yang
terjadi dipasar. Dalam hal ini, perlu dicatat bahwa walaupun pakar-pakar
ekonomi Neokalasik menganggap perlunya campur tangan pemerintah,
pada awalnya mereka tidak membahas tentang peran redistribusi,
kemiskinan, kesenjangan sosial, pendidikan, kesehatan, atau isu-isu
tentang lingkungan, melainkan hanya berupaya untuk membawa
perekonomian kearah ideal seperti yang mungkin dicapai dalam kondisi
pasar yang berfungsi sempurna. Tegasnya campur tangan pemerintah
hanya dalam proses dan keputusan politik untuk memperbaiki pasar.

18
DAFTAR PUSTAKA
http://lailatulfajriyah11.blogspot.com/2013/11/mazhab-neo-klasik.html?m=1
http://imasarahnabila.blogspot.com/2013/08/pendekatan-neoklasik.html

19

Anda mungkin juga menyukai