Anda di halaman 1dari 22

SKENARIO 2

KASUS TUTORIAL GELS

Seorang laki-laki usia sekitar 40 tahun dating ke UGD pukul 12.00 WIB
dengan diantar ambulance. Dari anamnesa diketahui bahwa pasien dikirim oleh
puskesmas. Pasien mengalami luka bakar di tubuhnya karena terkena ledakan
mesin pabrik tempat pasien bekerja pada pukul 08.00 WIB.

Pasien datang dalam keadaan tidak sadar, gelisah, nafas cepat, terdengar suara
melengking saat pasien bernafas. Didapatkan rambut terbakar, bulu mata terbakar,
alis terbakar, bulu hidung terbakar, dan ada jelaga di rongga mulut serta sputum
pasien.

Sebelum ke UGD, pasien sempat dibawa ke puskesmas pada pukul 10.00


WIB dan mendapat terapi infus RL 1000cc dan oksigen nasal 3 lpm. Namun
kesadaran dan tekanan darah tidak membaik, akhirnya diputuskan untuk dirujuk
ke rumah sakit.

Pada pemeriksaan fisik di UGD didapatkan: jalan nafas obstruksi parsial


terdengar suara crawing, RR 30x/menit, retraksi otot intercostal +/+, Rhonki -/-.
Perfusi akral dingin, basah, pucat. TD 80/50 mmHg, ND 120x/menit cepat, lemah.
Kesadaran respon to pain, pupil bulat isokor 3/3 mm. Setelah dipasang urine
catheter hanya keluar 100cc pekat kemudian tidak keluar urine sama sekali.
Didapatkan luka bakar di seluruh wajah, leher, dada bagian depan, kedua lengan
kanan dan kiri.

Informasi tambahan:

EKG: Irama sinus takikardi 120x/menit

Rontgen thorax: Cor normal, pulmo normal

Rontgen bof: normal

USG fast (-)


CT scan abdomen: normal

Hb: 12 g%

Hct: 40%

Leukosit: 21000

Trombosit: 500000

Faal haemostasis:

PPT/APTT: normal

Albumin: 3,4

Natrium: 135

Kalium: 3,6

Chlorida: 100

Step 1

Kata Sulit

1. Obstruksi parsial:
2. Suara crawing:

Kata Kunci

1. Pasien laki-laki 40 tahun datang ke UGD jam 12.00 WIB


2. Kebakaran pada pukuyl 08.00 WIB, ke puskesmas pukul 10.00 WIB
3. Luka bakar karena ledakan mesin pabrik
4. Urine hanya keluar 100cc pekat kemudian tidak keluar urine sama sekali
5. Luka bakar di seluruh wajah, leher, dada bagian depan, kedua lengan dan kiri
6. Pasien dating dalam keadaan tidak sadar, gelisah, nafas cepat, terdengar suara
melengking saat nafas
7. Suara crawing
Step 2

Rumusan Masalah

1. Mengapa pasien datang dengan keadaan tidak sadar, gelisah, nafas cepat dan
terdengar suara melengking saat bernafas?
2. Mengapa urine keluar sedikit dan pekat bahkan tidak keluar sama sekali?
3. Mengapa ada infeksi?
4. Apa penyebab suara crawing?

Step 3

Jawaban Rumusan Masalah

1. Karena pasien terkena luka bakar pada seluruh tubuhnya dengan derajat 3,
lalu terjadi syok dikarenakan dehidrasi berat.
2. Karena terjadi retensi natrium akibat dehidrasi berat.
3. Karena ada luka terbuka, dan lama berada di udara luar, sehingga terjadi
infeksi.
4. Terjadi edema pada jalan nafas dikarenakan luka bakar tersebut.

Hipotesis

Pasien laki-laki 40 tahun datang dengan keadaan tidak sadar, gelisah, nafas
cepat, serta ada suara melengking saat bernafas diduga pasien tersebut terkena
luka bakar derajat 3 dengan dehidrasi berat disertai infeksi yang mana
mengakibatkan syok hipovolemik.
Step 4

Mind Mapping
Step 5

Learning Objective

1. Mengetahui dan menjelaskan diagnosis luka bakar berdasarkan rule of nine


2. Mengetahui dan menjelaskan klasifikasi derajat luka bakar
3. Mengetahui dan menjelaskan resusitasi cairan pada luka bakar (baxter)
4. Mengetahui dan menjelaskan komplikasi luka bakar
5. Mengetahui dan menjelaskan patofisiologi hipotermia pada luka bakar
6. Mengetahui dan menjelaskan pergeseran cairan intraseluler, interstisial, dan
intravascular pada luka bakar
7. Mengetahui dan menjelaskan tatalaksana dari scenario

Step 6

Belajar Mandiri
Step 7

Hasil Belajar Mandiri

LO 1. Menjelaskan Rule Of Nine

Luka bakar juga dapat dibagi berdasarkan luasnya luka yang terjadi. Untuk
menghitung luasnya luka bakar, ada tiga metode yang dapat digunakan, yaitu
penghitungan dengan menggunakan permukaan palmar, Rule of Nine atau Rule of
Wallace, dan Lund and Browder chart (Prasetyono, 2008).
Penghitungan dengan menggunakan permukaan palmar atau telapak tangan
dapat digunakan untuk menghitung luas luka bakar yang relatif kecil (< 15% luas
permukaan tubuh) atau yang sangat luas (> 85% luas permukaan tubuh, hitung
luas kulit yang tidak terbakar). Satu permukaan telapak tangan sama dengan
0,78% luas permukaan tubuh (LPT). Nilai ini lebih kecil dibandingkan dengan
estimasi satu permukaan telapak tangan sama dengan 1% LPT yang biasa diingat
banyak petugas kesehatan (Prasetyono, 2008).
Rule of Nine membagi tubuh menjadi sebelas regio yang masing-masing regio
seluas 9% ditambah dengan daerah kemaluan seluas 1% pada dewasa. Cara ini
dapat digunakan pula pada anak-anak dan bayi dengan penyesuaian tertentu. Cara
ini dapat digunakan untuk menghitung luka bakar yang sedang-luas dengan cepat.
Pada praktiknya, cara ini kurang akurat untuk mengestimasi luas luka bakar pada
pasien anak dan bayi. Persentase luas luka bakar berdasarkan rule of nine dapat
dilihat pada gambar 1 dan tabel 1 (Prasetyono, 2008).
Gambar 1 Persentase luas luka bakar berdasarkan rule of nine (Prasetyono,
2008)
Tabel 1 Persentase luas luka bakar berdasarkan rule of nine (Sjamsuhidajat,
2004).

Bagian tubuh Persentase (%)


Kepala dan leher 9%
Toraks anterior 9%
Toraks posterior 9%
Abdominal anterior 9%
Abdominal posterior 9%
Lengan dan tangan kanan 9%
Lengan dan tangan kiri 9%
Tungkai atas kanan 9%
Tungkai bawah kanan 9%
Tungkai atas kiri 9%
Tungkai bawah kiri 9%
Genital 1%
TOTAL 100%

Metode Lund and Browder chart merupakan cara yang paling tepat untuk
menghitung luas luka bakar karena dapat mengikuti perubahan permukaan tubuh
sesuai dengan usia sehingga dapat menghasilkan penghitungan yang akurat pada
anak-anak dan bayi (Prasetyono, 2008).

LO 2. Menjelaskan Klasifikasi Derajat Luka Bakar

a. . Luka bakar derajat I


Kerusakan terbatas pada lapisan epidermis superfisial, kulit kering
hiperemik, berupa eritema, tidak dijumpai pula nyeri karena ujung –ujung
syaraf sensorik teriritasi, penyembuhannya terjadi secara spontan dalam
waktu 5 -10 hari (Brunicardi et al., 2005).
b. Luka bakar derajat II
Kerusakan terjadi pada seluruh lapisan epidermis dan sebagai lapisan
dermis, berupa reaksi inflamasi disertai proses eksudasi. Dijumpai pula,
pembentukan scar, dan nyeri karena ujung –ujung syaraf sensorik teriritasi.
Dasar luka berwarna merah atau pucat. Sering terletak lebih tinggi diatas kulit
normal (Brunicardi et al., 2005).
Luka bakar derajat II dibagi menjadi 2 jenis yang tercantum dalam tabel
berikut ini (Brunicardi et al., 2005) :

Derajat II Dangkal (Superficial) Derajat II Dalam (Deep)

a) Kerusakan mengenai bagian a) Kerusakan mengenai hampir seluruh


superficial dari dermis. bagian dermis

b) Organ-organ kulit seperti folikel b) Organ-organ kulit seperti folikel-


rambut, kelenjar keringat, kelenjar folikel rambut, kelenjar
sebasea masih utuh. keringat,kelenjar sebasea sebagian
besar masih utuh.
c) Bula mungkin tidak terbentuk
beberapa jam setelah cedera, dan luka c) Penyembuhan terjadi lebih lama
bakar pada mulanya tampak seperti tergantung biji epitel yang tersisa.
luka bakar derajat I dan mungkin
terdiagnosa sebagai derajat II d) Juga dijumpai bula, akan tetapi
superficial setelah 12-24 jam. permukaan luka biasanya tanpak
berwarna merah muda dan putih
d) Ketika bula dihilangkan, luka tampak segera setelah terjadi cedera karena
berwarna merah muda dan basah. variasi suplay darah dermis (daerah
yang berwarna putih
e) Jarang menyebabkan hypertrophic mengindikasikan aliran darah yang
scar. sedikit atau tidak ada sama sekali,
daerah yg berwarna merah muda
f) Jika infeksi dicegah maka
mengindikasikan masih ada beberapa
penyembuhan akan terjadi secara
spontan kurang dari 3 minggu. aliran darah )

e) Jika infeksi dicegah, luka bakar akan


sembuh dalam 3 -9 minggu.

c. Luka bakar derajat III (Full Thickness burn)


Kerusakan meliputi seluruh tebal dermis dermis dan lapisan lebih dalam,
tidak dijumpai bula, apendises kulit rusak, kulit yang terbakar berwarna putih
dan pucat. Karena kering, letak nya lebih rendah dibandingkan kulit sekitar.
Terjadi koagulasi protein pada epidermis yang dikenal sebagai scar, tidak
dijumpai rasa nyeri dan hilang sensasi, oleh karena ujung –ujung syaraf
sensorik mengalami kerusakan atau kematian. Penyembuhanterjadi lama
karena tidak ada proses epitelisasi spontan dari dasar luka (Brunicardi et al.,
2005).
d. Luka bakar derajat IV
Luka full thickness yang telah mencapai lapisan otot, tendon dan tulang
dengan adanya kerusakan yang luas. Kerusakan meliputi seluruh dermis,
organ-organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar sebasea dan kelenjar keringat
mengalami kerusakan, tidak dijumpai bula, kulit yang terbakar berwarna abu-
abu dan pucat, terletak lebih rendah dibandingkan kulit sekitar, terjadi
koagulasi protein pada epidemis dan dermis yang dikenal scar, tidak dijumpai
rasa nyeri dan hilang sensori karena ujung-ujung syaraf sensorik mengalami
kerusakan dan kematian. penyembuhannya terjadi lebih lama karena ada proses
epitelisasi spontan dan rasa luka (Brunicardi et al., 2005).

LO 3. Menjelaskan Resusistasi Cairan pada Luka Bakar

Sebagai bagian dari perawatan awal pasien yang terkena luka bakar,
Pemberian cairan intravena yang adekuat harus dilakukan, akses intravena yang
adekuat harus ada, terutama pada bagian ekstremitas yang tidak terkena luka
bakar. Adanya luka bakar diberikan cairan resusitasi karena adanya akumulasi
cairan edema tidak hanya pada jaringan yang terbakar, tetapi juga seluruh tubuh.
Telah diselidiki bahwa penyebab permeabilitas cairan ini adalah karena
keluarnya sitokin dan beberapa mediator, yang menyebabkan disfungsi dari sel,
kebocoran kapiler (Wim de Jong, 2005).
Tujuan utama dari resusitasi cairan adalah untuk menjaga dan
mengembalikan perfusi jaringan tanpa menimbulkan edema. Kehilangan cairan
terbesar adalah pada 4 jam pertama terjadinya luka dan akumulasi maksimum
edema adalah pada 24 jam pertama setelah luka bakar. Prinsip dari pemberian
cairan pertama kali adalah pemberian garam ekstraseluler dan air yang hilang
pada jaringan yang terbakar, dan sel-sel tubuh. Pemberian cairan paling popular
adalah dengan Ringer laktat untuk 48 jam setelah terkena luka bakar. Output
urin yang adekuat adalah 0.5 sampai 1.5mL/kgBB/jam (Wim de Jong, 2005).

Formula yang terkenal untuk resusitasi cairan adalah formula Parkland :


24 jam pertama.Cairan Ringer laktat : 4ml/kgBB/%luka bakar
 contohnya pria dengan berat 80 kg dengan luas luka bakar 25 %
 membutuhkan cairan : (25) X (80 kg) X (4 ml) = 8000 ml dalam 24 jam
pertama
o ½ jumlah cairan 4000 ml diberikan dalam 8 jam
o ½ jumlah cairan sisanya 4000 ml diberikan dalam 16 jam berikutnya.
Cara lain adalah cara Evans :
1. Luas luka bakar dalam % x berat badan dalam kg = jumlah NaCl / 24 jam
2. Luas luka bakar dalam % x berat badan dalam kg =jumah plasma / 24 jam

(no 1 dan 2 pengganti cairan yang hilang akibat oedem. Plasma untuk
mengganti plasma yang keluar dari pembuluh dan meninggikan tekanan osmosis
hingga mengurangi perembesan keluar dan menarik kembali cairan yang telah
keluar) 3. 2000 cc Dextrose 5% / 24 jam (untuk mengganti cairan yang hilang
akibat penguapan).
Separuh dari jumlah cairan 1+2+3 diberikan dalam 8 jam pertama, sisanya
diberikan dalam 16 jam berikutnya. Pada hari kedua diberikan setengah jumlah
cairan pada hari pertama. Dan hari ketiga diberikan setengah jumlah cairan hari
kedua (Wim de Jong, 2005).
Cara lain yang banyak dipakai dan lebih sederhana adalah menggunakan
rumus Baxter yaitu :
% x BB x 4 cc
Separuh dari jumlah cairan ini diberikan dalam 8 jam pertama, sisanya
diberikan dalam 16 jam berikutnya. Hari pertama terutama diberikan elektrolit
yaitu larutan RL karena terjadi deficit ion Na. Hari kedua diberikan setengah
cairan hari pertama. Contoh: seorang dewasa dengan BB 50 kg dan luka bakar
seluas 20 % permukaan kulit akan diberikan 50 x 20 % x 4 cc = 4000 cc yang
diberikan hari pertama dan 2000 cc pada hari kedua (Wim de Jong, 2005).

Kebutuhan kalori pasien dewasa dengan menggunakan formula Curreri,


25 kcal/kgBB/hari ditambah denga 40 kcal/% luka bakar/hari (Wim de Jong,
2005).
 Petunjuk perubahan cairan
 Pemantauan urin output tiap jam
 Tanda-tanda vital, tekanan vena sentral
 Kecukupan sirkulasi perifer
 Tidak adanya asidosis laktat, hipotermi
 Hematokrit, kadar elektrolit serum, pH dan kadar glukosa

LO 4. Menjelaskan komplikasi Luka Bakar


Komplikasi luka bakar dapat berasal dari luka itu sendiri atau dari
ketidakmampuan tubuh saat proses penyembuhan luka (Burninjury, 2013).

1. Infeksi luka bakar


Infeksi pada luka bakar merupakan komplikasi yang paling sering terjadi.
Sistem integumen memiliki peranan sebagai pelindung utama dalam
melawan infeksi. Kulit yang rusak atau nekrosis menyebabkan tubuh lebih
rentan terhadap patogen di udara seperti bakteri dan jamur. Infeksi juga
dapat terjadi akibat penggunaan tabung atau kateter. Kateter urin dapat
menyebabkan infeksi traktus urinarius, sedangkan tabung pernapasan dapat
memicu infeksi traktus respirasi seperti pneumonia (Burninjury,2013).
2. Terganggunya suplai darah atau sirkulasi
Penderita dengan kerusakan pembuluh darah yang berat dapat
menyebabkan kondisi hipovolemik atau rendahnya volume darah. Selain
itu, trauma luka bakar berat lebih rentan mengalami sumbatan darah
(blood clot) pada ekstremitas. Hal ini terjadi akibat lamanya waktu tirah
baring pada pasien luka bakar. Tirah baring mampu menganggu sirkulasi
darah normal, sehingga mengakibatkan akumulasi darah di vena yang
kemudian akan membentuk sumbatan darah (Burninjury, 2013).
3. Komplikasi jangka panjang
Komplikasi jangka panjang terdiri dari komplikasi fisik dan psikologis.
Pada luka bakar derajat III, pembentukan jaringan sikatriks terjadi secara
berat dan menetap seumur hidup. Pada kasus dimana luka bakar terjadi di
area sendi, pasien mungkin akan mengalami gangguan pergerakan sendi.
Hal ini terjadi ketika kulit yang mengalami penyembuhan berkontraksi
atau tertarik bersama. Akibatnya, pasien memiliki gerak terbatas pada area
luka. Selain itu, pasien dengan trauma luka bakar berat dapat mengalami
tekanan stress pasca trauma atau post traumatic stress disorder (PTSD).
Depresi dan ansietas merupakan gejala yang sering ditemukan pada
penderita (Burninjury, 2013).

LO 5. Menjelaskan Patofisiologi Hipotermia pada Luka Bakar


Kulit adalah organ terluar tubuh manusia dengan luas 0,025 m2 pada anak
baru lahir sampai 1 m2 pada orang dewasa. Apabila kulit terbakar atau terpajan
suhu tinggi, pembuluh kapiler di bawahnya, area sekitarnya dan area yang jauh
sekali pun akan rusak dan menyebabkan permeabilitasnya meningkat. Terjadilah
kebocoran cairan intrakapiler ke interstitial sehingga terjadi udem dan bula yang
mengandung banyak elektrolit. Rusaknya kulit akibat luka bakar akan
mengakibatkan hilangnya fungsi kulit sebagai barier dan penahan penguapan
(Sjamsuhidajat, 2010).

Kedua penyebab diatas dengan cepat menyebabkan berkurangnya cairan


intravascular. Pada luka bakar yang luasnya kurang dari 20%, mekanisme
kompensasi tubuh masih bisa mengatasinya. Bila kulit yang terbakar luas lebih
dari 20%, dapat terjadi syok hipovolemik disertai gejala yang khas, seperti
gelisah, pucat, dingin, berkeringat, nadi kecil dan cepat, tekanan darah menurun,
dan produksi urin berkurang. Pembengkakan terjadi perlahan, maksimal terjadi
setelah delapan jam (Sjamsuhidajat, 2010).

Pembuluh kapiler yang terpajan suhu tinggi rusak dan permeabilitas


meninggi. Sel darah yang ada di dalamnya ikut rusak sehingga dapat terjadi
anemia. Pada kebakaran ruang tertutup atau bila luka terjadi di wajah, dapat
terjadi kerusakan mukosa jalan nafas karena gas, asap, atau uap panas yang
terhirup. Udem laring yang ditimbulkannya dapat menyebabkan hambatan jalan
nafas dengan gejala sesak nafas, takipnea, stridor, suara parau, dan dahak
berwarna gelap akibat jelaga (Sjamsuhidajat, 2010).

Dapat juga terjadi keracunan gas CO atau gas beracun lainnya.


Karbonmonoksida sangat kuat terikat dengan hemoglobin sehingga hemoglobin
tidak mampu lagi mengikat oksigen. Tanda keracunan ringan yaitu lemas,
binggung, pusing, mual dan muntah. Pada keracunan berat terjadi koma. Bila
lebih dari 60% hemoglobin terikat CO, penderita dapat meninggal
(Sjamsuhidajat, 2010).

Setelah 12-24 jam, permeabilitas kapiler mulai membaik dan terjadi


mobilisasi serta penyerapan kembali cairan dari ruang interstitial ke pembuluh
darah yang ditandai dengan meningkatnya dieresis (Sjamsuhidajat, 2010).

Luka bakar umumnya tidak steril. Kontaminasi pada kulit mati yang
merupakan medium yang baik untuk pertumbuhan kuman, akan
mempermudah infeksi. Infeki ini sulit diatasi karena daerahnya tidak tercapai
oleh pembuluh kapiler yang mengalami thrombosis. Padahal, pembuluh ini
membawa sistem pertahanan tubuh atau antibiotic, kuman penyebab infeksi
pada luka bakar, selain berasal dari kulit penderita sendiri, juga dari
kontaminasi kuman saluran nafas atas dan kontaminasi kuman di lingkungan
rumah sakit. Infeksi nosokomial biasannya sangat berbahaya karena kumannya
banyak yang sudah resisten terhadap berbagai antibiotik.
Pada awalnya infeksi biasanyadisebabkan oleh kokus gram positif yang
berasal dari kulit sendiri atau dari saluran nafas, tetapi kemudian dapat terjadi
invasi kuman gram negatif. Infeksi ringan dan non infasif ditandai dengan
keropeng yang mudah terlepas dengan nanah yang banyak. Inveksi yang invasif
ditandai dengan keropeng yang kering dengan perubahan jaringan di tepi
keropeng yang mula-mula sehat menjadi nekrotik, akibatnya luka bakar yang
mula-mula derajat dua menjadi derajat tiga.Infeksi kuman menimbulkan
vaskulitis pada pembuluh kapiler di jaringan yang yang terbakar dan
menimbulkan thrombosis (Sjamsuhidajat, 2010).

LO 6. Menjelaskan Pergeseran Cairan Intraseluler, Interstisial dan


Intravaskular pada Skenario

Luka bakar disebabkan oleh perpindahan energi dari sumber panas ke tubuh.
Panas dapat dipindahkan melalui konduksi atau radiasi elektromagnetik. Kulit
akan mengalami kerusakan pada epidermis, dermis, maupun jaringan subkutan
tergantung faktor penyebab dan lamanya kulit kontak dengan sumber panas
(Smeltzer & Bare, 2002). Kedalaman luka bakar mempengaruhi kerusakan
integritas kulit dan kematian sel. Semakin dalam dan luas jaringan yang rusak,
semakin berat kondisi luka bakar dan semakin jelek prognosisnya (Moenadjat,
2009). Agen cedera akan menyebabkan denaturasi protein sel. Sebagian sel
akan mengalami nekrosis traumatik. Kehilangan ikatan kolagen juga terjadi
bersama proses denaturasi sehingga timbul gradien tekanan osmotik dan
hidrostatik yang abnormal. Hal ini akan menyebabkan perpindahan cairan
intravaskuler ke unit intersitisial. Cedera sel memicu pelepasan mediator
inflamasi yang turut menimbulkan peningkatan permeabilitas kapiler secara
lokal. Namun pada luka bakar yang berat, mediator inflamasi akan menyebabkan
peningkatan permeabilitas kapiler secara sistemik (Kowalak, 2011).

Hipovolemia yang timbul berbeda dengan hipovolemia yang disebabkan


oleh perdarahan. Sel darah merah dan sel lainnya tetap di dalam intravaskuler.
Hanya cairan yang meninggalkan unit intravaskuler sehingga terjadi
hemokonsentrasi. Hemokonsentrasi dan hipovolemia menyebabkan sirkulasi
terganggu. Perfusi sel tidak terselenggara dengan baik. Kondisi ini dikenal
dengan syok hipovolemia (Moenadjat, 2009).

Respon tubuh akibat gangguan perfusi meliputi respon sistemik.


ResponKardiovaskuler; curah jantung akan menurun sebelum perubahan yang
signifikan pada volume darah terjadi. Curah jantung menurun maka tekanan
darah menurun. Sebagai respon, sistem saraf simpatik akan melepaskan
katekolamin yang meningkatkan resistensi perifer dan frekuensi denyut nadi.
Selanjutnya vasokontriksi pembuluh darah perifer menurunkan curah jantung.
Resusitasi cairan yang segera dilakukan memungkinkan dipertahankannya
tekanan darah dalam kisaran normal yang rendah sehingga curah jantung
membaik (Smeltzer & Bare, 2002).

Syok hipovolemik dapat terlihat pada pasien dengan luas luka bakar lebih
dari 25% LPTT. Hal tersebut disebabkan oleh meningkatnya permeabilitas
pembuluh darah yang berlangsung secara kontinyu setidaknya dalam 36 jam
pertama setelah trauma luka bakar. Berbagai protein termasuk albumin keluar
menuju ruang interstitial dengan menarik cairan, sehingga menyebabkan edema
dan dehidrasi. Selain itu, tubuh juga telah kehilangan cairan melalui area luka,
sehingga untuk mengkompensasinya, pembuluh darah perifer dan visera
berkonstriksi yang pada akhirnya akan menyebabkan hipoperfusi. Pada fase
awal, curah jantung menurun akibat melemahnya kontraktilitas miokardium,
meningkatnya afterload dan berkurangnya volume plasma. Tumour necrosis
factor-α yang dilepaskan sebagai respon inflamasi juga berperan dalam
penurunan kontraktilitas miokardium (Rudall & Green, 2010).

Suhu tubuh akan menurun secara besar dengan luka bakar berat, hal ini
disebabkan akibat evaporasi cairan pada kulit karena suhu tinggi luka bakar dan
syok hipovolemik. Uji kimia darah menunjukkan tingginya kalium (akibat
kerusakan pada sel) dan rendahnya kalsium (akibat hipoalbuminemia). Setelah
48 jam setelah trauma luka, pasien dengan luka bakar berat akan menjadi
hipermetabolik (laju metabolik dapat meningkat hingga 3 kali lipat). Suhu basal
tubuh akan meningkat mencapai 38,5 0C akibat adanya respon inflamasi sistemik
terhadap luka bakar. Respon imun pasien juga akan menurun karena adanya
down regulation pada reseptor sehingga meningkatkan resiko infeksi dan juga
hilangnya barier utama pertahanan tubuh yaitu kulit (Rudall & Green, 2010).

Respon pulmonal, paru yang merupakan organ sistem pernafasan yang


menyelenggarakan pertukaran karbondioksida dengan oksigen mengadakan
kompensasi dengan peningkatan frekuensi pernafasan. Dengan mekanisme
kompensasi ini, timbul hiperventilasi yang memiliki dampak terhadap
keseimbangan asam-basa dan metabolisme secara keseluruhan (Moenadjat,
2009).

Respon renalis, penurunan sirkulasi renal menyebabkan iskemia ginjal.


Manifestasi awal yang tampak akibat kondisi iskemia ini adalah penurunan
ekskresi urin mulai dari oliguria sampai dengan anuria. Hipoksia parenkim ginjal
merupakan stimulasi dilepaskannya renin dan angiotensin oleh sel-sel
juxtaglomerulusrenalis yang merangsang Anti Diuretic Hormone (ADH) dan
kelenjar anak ginjal memproduksi hormon kortisol dan glukagon. Rangkaian
selanjutnya adalah rangsangan pada hipofisis posterior untuk melepaskan Adeno
Cortico Tropic Hormone (ACTH) yang merupakan stimulan bagi sistem saraf
parasimpatik dan ortosimpatik dalam teori berkembangnya stres metabolisme.
Bila tidak segera ditangani, terjadi akut tubular nekrosis dan berlanjut dengan
acute renal failure (Moenadjat, 2009).

Respon gastrointestinal, terganggunya sirkulasi splangnikus, terjadi


perubahan degeneratif bersifat akut pada organ-organ yang diperdarahi antara
lain saluran cerna bagian atas. Gangguan perfusi menyebabkan terjadinya
iskemia mukosa saluran cerna yang mengakibatkan integritasnya terganggu
(disrupsimukosa). Dengan terjadinya disrupsi mukosa, lamina muskularis
mukosa dan kapiler submukosa terpapar pada lumen. Kerapuhan dinding
pembuluh kapiler menyebabkan pecahnya kapiler lambung. Perdarahan dapat
terjadi sedemikian masif dan menyebabkan penderita jatuh kedalam syok
(Moenadjat, 2009).

Pertahanan imunologik tubuh sangat berubah akibat luka bakar. Semua


tingkat respon imun akan dipengaruhi secara merugikan. Kehilangan integritas
kulit diperburuk dengan pelepasan faktor-faktor inflamasi yang abnormal.
Perubahan kadar imunoglobulin serta komplemen serum, gangguan fungsi
neutrofil, dan penurunan jumlah limfosit (limfositopenia). Imunosupresi
membuat pasien luka bakar berisiko tinggi untuk mengalami sepsis (Smeltzer &
Bare, 2002)

Hilangnya kulit juga menyebabkan ketidakmampuan tubuh untuk mengatur


suhu. Karena itu pasien-pasien luka bakar dapat memperlihatkan suhu tubuh
yang rendah dalam beberapa jam pertama pasca luka bakar. Namun setelah
keadaan hipermetabolisme akan mengatur kembali suhu tubuh. Pasien luka
bakar akan mengalami hipertermi selama sebagian besar periode pasca luka
bakar meskipun tidak terdapat infeksi (Smeltzer & Bare, 2002).

LO 7. Menjelaskan Tatalaksana Kasus pada Skenario

a. Tatalaksana saat kulit terbakar


1) Upaya pertama saat terbakar adalah emmatikan api pada tubuh,
misalnya menyelimuti dan menutup bagian yang terbakar untuk
menghentikan pasokan oksigen pada api menyala, contohnya: korban
dapat berguling agar pakaian atau tubuh yang terbakar tidak meluas,
menceburkan diri ke air, melepaskan baju (jika tersiram air panas).
2) Merendam daerah luka bakar dalam air atau menyiramnya dengan air
mengalir kurang lebih 15 menit. Hal tersebut untuk menurunkan suhu
suhu jaringan agar proses koagulasi protein sel di jaringan yang terpajan
suhu tinggi terhenti.
3) Untuk luka ringan, cukup didinginkan dengan air, mencegah infeksi, dan
memberikan kesempatan sisa-sisa sel epitel untuk berproliferasi, dan
menutup permukaan luka.
4) Untuk luka bakar luas dan dalam, pasien dibawa ke rumah sakit untuk
penanganan gawat darurat luka terbakar. Dalam perjalanan sudah
terinfus dan memakai kain bersih sebagai penutup luka dalam keadaan
telentang (Tabel 1).
5) Pasien distabilkan lebih dahulu di trauma center, lalu di unit luka bakar.
Tabel 1.
Luka bakar derajat 2 > 10% LPT
Luka bakar yang mengenai wajah, tangan, kaki, genitalia,
perineum, persendian utama
Luka bakar derajat 3 pada kelompok usia berapapun
Luka bakar listrik (termasuk tersambar petir)
Luka bakar akibat zat kimia
Terdapat cedera inhalasi
Terdapat masalah medis sebelumnya (pre-existing medical
conditions)/kondisi morbiditas

6) Pada luka bakar berat, selain penanganan umum, diperlukan resusitasi


segera bila penderita menunjukkan gejala syok.
7) Jika pasien menunjukkan gejala terbakarnya jalan nafas, diberikan
campuran udara lembab dan oksigen.
8) Jika pasien terjadi edema laring, dipasang pipa endotrakea atau dibuat
trakeostomi (fungsinya: untuk membebaskan jalan nafas, mengurangi
ruang mati, memudahkan pembersihan jalan nafas dari kotoran ataupun
lendir).
9) Luka akibat asam hidrofluorida perlu dilavase (cuci bilas) sebanyak-
banyaknya dan diberi gel kalsium glukonat topikal, serta kalsium
sistemik karena asam hidrofluorida mengendapkan kalsium pada luka
bakar.
10) Perawatan lokal yakni mengoleskan luka dengan antiseptic dan
membiarkannya terbuka untuk perawatan terbuka atau menutupnya
dengan balutan steril untuk perawatan tertutup, pasien dimandikan
terlebih dahulu jika perlu (De Jong, 2010).
b. Penanganan lain:
a) Pemberian cairan intravena
Pada luka bakar berat, diberikan cairan infus. Dengan syarat luas dan
dalamnya luka bakar harus dihitung secara teliti, serta jumlah cairan
infus yang diebrikan harus dihitung. Pemberian cairan infus dapat
ditambah (jika perlu), bila penderita dalam keadaan syok, atau jika
diuresis kurang. Untuk itu pemantauan harus ketat.
b) Obat-obatan
1) Antibiotik sistemik spektrum luas diberikan untuk mencegah
infeksi. Yang banyak dipakai ialah golongan aminoglikosida yang
efektif terhadap pseudomonas. Bila ada infeksi, antibiotik diberikan
berdasarkan hasil biakan dan uji kepekaan kuman.
2) Untuk mengatasi nyeri diberikan opiate melalui intravena dalam
dosis serendah mungkin yang bias menghasilkan analgesik yang
adekuat tetapi tanpa adanya hipotensi.
3) Untuk pencegahan tetanus diberikan ATS dan/atau toksoid.
c) Nutrisi
Nutrisi diberikan secara cukup untuk menutupi kebutuhan kalori dan
keseimbangan nitrogen yang negatif pada fase katabolisme, yaitu
sebanyak 2500-3000 kalori sehari dengan kadar protein yang tinggi.
Masa sekarang pemberian nutrisi melalui enteral dengan menggunakan
selang nasogastrik untuk dekompresi lambung dan mencegah
terjadinya ulkus Curling serta memenuhi kebutuhan status
hipermetabolisme yang terjadi pada fase akut luka bakar.
Pasien yang sudah mulai stabil, memerlukan fisioterapi untuk
memperlancar peredaran darah dan mencegah kekakuan sendi (De
Jong, 2010).

Tabel 2. Kebutuhan nutrisi yang diperlukan pasien luka bakar.


Minuman diberikan pada pasien luka bakar
- Segera setelah peristalsis menjadi normal
- Sebanyak 25 mL/kgBB/hari
- Sampai diuresis sekurang-kurangnya mencapai 30
mL/jam
Makanan diberikan oral pada penderita luka bakar
- Segera setelah dapat minum tanpa kesulitan
- Sedapat mungkin 2500 kalori/hari
- Sedapat mungkin mengandung 100-150 gr/hari protein
Sebagai tambahan diberikan setiap hari:
- Vitamin A, B, dan D
- Vitamin C 500 mg
- Fe sulfat 500 mg
- Mukoprotektor

c. Tindak bedah
1) Pemotongan eskar atau eskarotomi dilakukan pada luka bakar derajat 3
yang melingkar pada ekstremitas atau tubuh karena pengerutan
keropeng dan pembengkakan yang terus berlangsung yang
mengakibatkan terjadi penjepitan pada sirkulasi. Tanda dininya ialah
nyeri.
2) Debrideman diusahakan sedini mungkin untuk membuang jaringan mati
dengan jalan eksisi tangensial. Tindakan sesegera mungkin setelah
keadaan penderita menjadi stabil karena eksisi tangensial juga
menyebabkan pendarahan.
3) Eksisi dini dilakukan pada hari ke-3 sampai ke-7, dan pasti boleh
dilakukan pada hari ke-10.
4) Eksisi tangensial lebih baik tidak dilakukan lebih dari 10% luas
permukaan tubuh, karena dapat terjadi pendarahan.
5) Luka bakar yang telah dibersihkan atau luka granulasi ditutup dengan
skin graft yang umumnya diambil dari kulit pasien. Hal tersebut dapat
dilakukan jika kondisi kulit pasien terlalu buruk.
6) Pemakaian skin graft pada luka bakar derajat 2 dan 3 disarankan agar
tidak terjadi keloid dan jaringan parut yang hipertropik (De Jong, 2010).
d. Penanganan lokal
1) Luka bakar derajat 1 dan 2 perlu diadakan pencegahan infeksi.
2) Pada luka yang lebih dalam diusahakan secepat mungkin membuang
jaringan kulit yang mati dan memberikan obat topikal.
3) Obat yang dianjurkan ialah golongan silver sulfadiazine dan yang
terbaru MEBO (Moist Exposure Burn Ointment).
4) Obat topikal yang dipakai dalam bentuk larutan, salep, atau krim
Antibiotic yang diberikan dalam bentuk kasa (tulle).
5) Antiseptic yang dipakai ialah yodium povidone atau nitras-argenti 0,5%.
Kompres nitras-argenti yang selalu dibasahi tiap 2 jam efektif sebagai
bakteriostatik untuk semua kuman (De Jong, 2010).
DAFTAR PUSTAKA

Brunicardi FC, et al.,. 2005. Schwartz’s Principles Of Surgery. 8 Edition. New York:
McGraw-Hill Medical Publishing.

Burninjury.2013.Burn complication. Diakses tanggal 30 maret 2018. Tersedia dari :


http://burninjuryguide.com/burn-recovery/burn-complications/

Kowalak, Welsh. 2002. Buku Ajar Patofisioogi. Jakarta: EGC

Moenadjat Y. 2009. Luka Bakar Masalah Dan Tata Laksana. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI

Prasetyono TOH, Rendy L. 2008. Merujuk pasien luka bakar: pertimbangan praktis.
Maj Kedokt Indon; 58(6):216-24.

Rudall N & Green A. 2010. Burns Clinical Features And Prognosis. Clinical
Pharmacist

Sjamsuhidajat R, Jong WD. 2004. Buku ajar ilmu bedah edisi 2. Jakarta: EGC;
h.734.

Sjamsuhidajat, de jong. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC

Smeltzer, Suzanne C. dan Bare, Brenda G, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah Brunner dan Suddarth (Ed.8, Vol. 1,2), Alih bahasa oleh Agung
Waluyo…(dkk). Jakarta: EGC

Wim de Jong. 2005. Bab 3 : Luka, Luka Bakar : Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2.
EGC. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai