Kasus Tutorial Luka Bakar
Kasus Tutorial Luka Bakar
Seorang laki-laki usia sekitar 40 tahun dating ke UGD pukul 12.00 WIB
dengan diantar ambulance. Dari anamnesa diketahui bahwa pasien dikirim oleh
puskesmas. Pasien mengalami luka bakar di tubuhnya karena terkena ledakan
mesin pabrik tempat pasien bekerja pada pukul 08.00 WIB.
Pasien datang dalam keadaan tidak sadar, gelisah, nafas cepat, terdengar suara
melengking saat pasien bernafas. Didapatkan rambut terbakar, bulu mata terbakar,
alis terbakar, bulu hidung terbakar, dan ada jelaga di rongga mulut serta sputum
pasien.
Informasi tambahan:
Hb: 12 g%
Hct: 40%
Leukosit: 21000
Trombosit: 500000
Faal haemostasis:
PPT/APTT: normal
Albumin: 3,4
Natrium: 135
Kalium: 3,6
Chlorida: 100
Step 1
Kata Sulit
1. Obstruksi parsial:
2. Suara crawing:
Kata Kunci
Rumusan Masalah
1. Mengapa pasien datang dengan keadaan tidak sadar, gelisah, nafas cepat dan
terdengar suara melengking saat bernafas?
2. Mengapa urine keluar sedikit dan pekat bahkan tidak keluar sama sekali?
3. Mengapa ada infeksi?
4. Apa penyebab suara crawing?
Step 3
1. Karena pasien terkena luka bakar pada seluruh tubuhnya dengan derajat 3,
lalu terjadi syok dikarenakan dehidrasi berat.
2. Karena terjadi retensi natrium akibat dehidrasi berat.
3. Karena ada luka terbuka, dan lama berada di udara luar, sehingga terjadi
infeksi.
4. Terjadi edema pada jalan nafas dikarenakan luka bakar tersebut.
Hipotesis
Pasien laki-laki 40 tahun datang dengan keadaan tidak sadar, gelisah, nafas
cepat, serta ada suara melengking saat bernafas diduga pasien tersebut terkena
luka bakar derajat 3 dengan dehidrasi berat disertai infeksi yang mana
mengakibatkan syok hipovolemik.
Step 4
Mind Mapping
Step 5
Learning Objective
Step 6
Belajar Mandiri
Step 7
Luka bakar juga dapat dibagi berdasarkan luasnya luka yang terjadi. Untuk
menghitung luasnya luka bakar, ada tiga metode yang dapat digunakan, yaitu
penghitungan dengan menggunakan permukaan palmar, Rule of Nine atau Rule of
Wallace, dan Lund and Browder chart (Prasetyono, 2008).
Penghitungan dengan menggunakan permukaan palmar atau telapak tangan
dapat digunakan untuk menghitung luas luka bakar yang relatif kecil (< 15% luas
permukaan tubuh) atau yang sangat luas (> 85% luas permukaan tubuh, hitung
luas kulit yang tidak terbakar). Satu permukaan telapak tangan sama dengan
0,78% luas permukaan tubuh (LPT). Nilai ini lebih kecil dibandingkan dengan
estimasi satu permukaan telapak tangan sama dengan 1% LPT yang biasa diingat
banyak petugas kesehatan (Prasetyono, 2008).
Rule of Nine membagi tubuh menjadi sebelas regio yang masing-masing regio
seluas 9% ditambah dengan daerah kemaluan seluas 1% pada dewasa. Cara ini
dapat digunakan pula pada anak-anak dan bayi dengan penyesuaian tertentu. Cara
ini dapat digunakan untuk menghitung luka bakar yang sedang-luas dengan cepat.
Pada praktiknya, cara ini kurang akurat untuk mengestimasi luas luka bakar pada
pasien anak dan bayi. Persentase luas luka bakar berdasarkan rule of nine dapat
dilihat pada gambar 1 dan tabel 1 (Prasetyono, 2008).
Gambar 1 Persentase luas luka bakar berdasarkan rule of nine (Prasetyono,
2008)
Tabel 1 Persentase luas luka bakar berdasarkan rule of nine (Sjamsuhidajat,
2004).
Metode Lund and Browder chart merupakan cara yang paling tepat untuk
menghitung luas luka bakar karena dapat mengikuti perubahan permukaan tubuh
sesuai dengan usia sehingga dapat menghasilkan penghitungan yang akurat pada
anak-anak dan bayi (Prasetyono, 2008).
Sebagai bagian dari perawatan awal pasien yang terkena luka bakar,
Pemberian cairan intravena yang adekuat harus dilakukan, akses intravena yang
adekuat harus ada, terutama pada bagian ekstremitas yang tidak terkena luka
bakar. Adanya luka bakar diberikan cairan resusitasi karena adanya akumulasi
cairan edema tidak hanya pada jaringan yang terbakar, tetapi juga seluruh tubuh.
Telah diselidiki bahwa penyebab permeabilitas cairan ini adalah karena
keluarnya sitokin dan beberapa mediator, yang menyebabkan disfungsi dari sel,
kebocoran kapiler (Wim de Jong, 2005).
Tujuan utama dari resusitasi cairan adalah untuk menjaga dan
mengembalikan perfusi jaringan tanpa menimbulkan edema. Kehilangan cairan
terbesar adalah pada 4 jam pertama terjadinya luka dan akumulasi maksimum
edema adalah pada 24 jam pertama setelah luka bakar. Prinsip dari pemberian
cairan pertama kali adalah pemberian garam ekstraseluler dan air yang hilang
pada jaringan yang terbakar, dan sel-sel tubuh. Pemberian cairan paling popular
adalah dengan Ringer laktat untuk 48 jam setelah terkena luka bakar. Output
urin yang adekuat adalah 0.5 sampai 1.5mL/kgBB/jam (Wim de Jong, 2005).
(no 1 dan 2 pengganti cairan yang hilang akibat oedem. Plasma untuk
mengganti plasma yang keluar dari pembuluh dan meninggikan tekanan osmosis
hingga mengurangi perembesan keluar dan menarik kembali cairan yang telah
keluar) 3. 2000 cc Dextrose 5% / 24 jam (untuk mengganti cairan yang hilang
akibat penguapan).
Separuh dari jumlah cairan 1+2+3 diberikan dalam 8 jam pertama, sisanya
diberikan dalam 16 jam berikutnya. Pada hari kedua diberikan setengah jumlah
cairan pada hari pertama. Dan hari ketiga diberikan setengah jumlah cairan hari
kedua (Wim de Jong, 2005).
Cara lain yang banyak dipakai dan lebih sederhana adalah menggunakan
rumus Baxter yaitu :
% x BB x 4 cc
Separuh dari jumlah cairan ini diberikan dalam 8 jam pertama, sisanya
diberikan dalam 16 jam berikutnya. Hari pertama terutama diberikan elektrolit
yaitu larutan RL karena terjadi deficit ion Na. Hari kedua diberikan setengah
cairan hari pertama. Contoh: seorang dewasa dengan BB 50 kg dan luka bakar
seluas 20 % permukaan kulit akan diberikan 50 x 20 % x 4 cc = 4000 cc yang
diberikan hari pertama dan 2000 cc pada hari kedua (Wim de Jong, 2005).
Luka bakar umumnya tidak steril. Kontaminasi pada kulit mati yang
merupakan medium yang baik untuk pertumbuhan kuman, akan
mempermudah infeksi. Infeki ini sulit diatasi karena daerahnya tidak tercapai
oleh pembuluh kapiler yang mengalami thrombosis. Padahal, pembuluh ini
membawa sistem pertahanan tubuh atau antibiotic, kuman penyebab infeksi
pada luka bakar, selain berasal dari kulit penderita sendiri, juga dari
kontaminasi kuman saluran nafas atas dan kontaminasi kuman di lingkungan
rumah sakit. Infeksi nosokomial biasannya sangat berbahaya karena kumannya
banyak yang sudah resisten terhadap berbagai antibiotik.
Pada awalnya infeksi biasanyadisebabkan oleh kokus gram positif yang
berasal dari kulit sendiri atau dari saluran nafas, tetapi kemudian dapat terjadi
invasi kuman gram negatif. Infeksi ringan dan non infasif ditandai dengan
keropeng yang mudah terlepas dengan nanah yang banyak. Inveksi yang invasif
ditandai dengan keropeng yang kering dengan perubahan jaringan di tepi
keropeng yang mula-mula sehat menjadi nekrotik, akibatnya luka bakar yang
mula-mula derajat dua menjadi derajat tiga.Infeksi kuman menimbulkan
vaskulitis pada pembuluh kapiler di jaringan yang yang terbakar dan
menimbulkan thrombosis (Sjamsuhidajat, 2010).
Luka bakar disebabkan oleh perpindahan energi dari sumber panas ke tubuh.
Panas dapat dipindahkan melalui konduksi atau radiasi elektromagnetik. Kulit
akan mengalami kerusakan pada epidermis, dermis, maupun jaringan subkutan
tergantung faktor penyebab dan lamanya kulit kontak dengan sumber panas
(Smeltzer & Bare, 2002). Kedalaman luka bakar mempengaruhi kerusakan
integritas kulit dan kematian sel. Semakin dalam dan luas jaringan yang rusak,
semakin berat kondisi luka bakar dan semakin jelek prognosisnya (Moenadjat,
2009). Agen cedera akan menyebabkan denaturasi protein sel. Sebagian sel
akan mengalami nekrosis traumatik. Kehilangan ikatan kolagen juga terjadi
bersama proses denaturasi sehingga timbul gradien tekanan osmotik dan
hidrostatik yang abnormal. Hal ini akan menyebabkan perpindahan cairan
intravaskuler ke unit intersitisial. Cedera sel memicu pelepasan mediator
inflamasi yang turut menimbulkan peningkatan permeabilitas kapiler secara
lokal. Namun pada luka bakar yang berat, mediator inflamasi akan menyebabkan
peningkatan permeabilitas kapiler secara sistemik (Kowalak, 2011).
Syok hipovolemik dapat terlihat pada pasien dengan luas luka bakar lebih
dari 25% LPTT. Hal tersebut disebabkan oleh meningkatnya permeabilitas
pembuluh darah yang berlangsung secara kontinyu setidaknya dalam 36 jam
pertama setelah trauma luka bakar. Berbagai protein termasuk albumin keluar
menuju ruang interstitial dengan menarik cairan, sehingga menyebabkan edema
dan dehidrasi. Selain itu, tubuh juga telah kehilangan cairan melalui area luka,
sehingga untuk mengkompensasinya, pembuluh darah perifer dan visera
berkonstriksi yang pada akhirnya akan menyebabkan hipoperfusi. Pada fase
awal, curah jantung menurun akibat melemahnya kontraktilitas miokardium,
meningkatnya afterload dan berkurangnya volume plasma. Tumour necrosis
factor-α yang dilepaskan sebagai respon inflamasi juga berperan dalam
penurunan kontraktilitas miokardium (Rudall & Green, 2010).
Suhu tubuh akan menurun secara besar dengan luka bakar berat, hal ini
disebabkan akibat evaporasi cairan pada kulit karena suhu tinggi luka bakar dan
syok hipovolemik. Uji kimia darah menunjukkan tingginya kalium (akibat
kerusakan pada sel) dan rendahnya kalsium (akibat hipoalbuminemia). Setelah
48 jam setelah trauma luka, pasien dengan luka bakar berat akan menjadi
hipermetabolik (laju metabolik dapat meningkat hingga 3 kali lipat). Suhu basal
tubuh akan meningkat mencapai 38,5 0C akibat adanya respon inflamasi sistemik
terhadap luka bakar. Respon imun pasien juga akan menurun karena adanya
down regulation pada reseptor sehingga meningkatkan resiko infeksi dan juga
hilangnya barier utama pertahanan tubuh yaitu kulit (Rudall & Green, 2010).
c. Tindak bedah
1) Pemotongan eskar atau eskarotomi dilakukan pada luka bakar derajat 3
yang melingkar pada ekstremitas atau tubuh karena pengerutan
keropeng dan pembengkakan yang terus berlangsung yang
mengakibatkan terjadi penjepitan pada sirkulasi. Tanda dininya ialah
nyeri.
2) Debrideman diusahakan sedini mungkin untuk membuang jaringan mati
dengan jalan eksisi tangensial. Tindakan sesegera mungkin setelah
keadaan penderita menjadi stabil karena eksisi tangensial juga
menyebabkan pendarahan.
3) Eksisi dini dilakukan pada hari ke-3 sampai ke-7, dan pasti boleh
dilakukan pada hari ke-10.
4) Eksisi tangensial lebih baik tidak dilakukan lebih dari 10% luas
permukaan tubuh, karena dapat terjadi pendarahan.
5) Luka bakar yang telah dibersihkan atau luka granulasi ditutup dengan
skin graft yang umumnya diambil dari kulit pasien. Hal tersebut dapat
dilakukan jika kondisi kulit pasien terlalu buruk.
6) Pemakaian skin graft pada luka bakar derajat 2 dan 3 disarankan agar
tidak terjadi keloid dan jaringan parut yang hipertropik (De Jong, 2010).
d. Penanganan lokal
1) Luka bakar derajat 1 dan 2 perlu diadakan pencegahan infeksi.
2) Pada luka yang lebih dalam diusahakan secepat mungkin membuang
jaringan kulit yang mati dan memberikan obat topikal.
3) Obat yang dianjurkan ialah golongan silver sulfadiazine dan yang
terbaru MEBO (Moist Exposure Burn Ointment).
4) Obat topikal yang dipakai dalam bentuk larutan, salep, atau krim
Antibiotic yang diberikan dalam bentuk kasa (tulle).
5) Antiseptic yang dipakai ialah yodium povidone atau nitras-argenti 0,5%.
Kompres nitras-argenti yang selalu dibasahi tiap 2 jam efektif sebagai
bakteriostatik untuk semua kuman (De Jong, 2010).
DAFTAR PUSTAKA
Brunicardi FC, et al.,. 2005. Schwartz’s Principles Of Surgery. 8 Edition. New York:
McGraw-Hill Medical Publishing.
Moenadjat Y. 2009. Luka Bakar Masalah Dan Tata Laksana. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI
Prasetyono TOH, Rendy L. 2008. Merujuk pasien luka bakar: pertimbangan praktis.
Maj Kedokt Indon; 58(6):216-24.
Rudall N & Green A. 2010. Burns Clinical Features And Prognosis. Clinical
Pharmacist
Sjamsuhidajat R, Jong WD. 2004. Buku ajar ilmu bedah edisi 2. Jakarta: EGC;
h.734.
Smeltzer, Suzanne C. dan Bare, Brenda G, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah Brunner dan Suddarth (Ed.8, Vol. 1,2), Alih bahasa oleh Agung
Waluyo…(dkk). Jakarta: EGC
Wim de Jong. 2005. Bab 3 : Luka, Luka Bakar : Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2.
EGC. Jakarta.