Anda di halaman 1dari 2

Belajar Guyub di Wonocolo

Sabtu (29/7) sore itu, ada yang berbeda di Wonocolo, dusun kecil di Desa Prembun, Kecamatan
Prembun, Kebumen. Para petani pulang lebih awal dari sawah dan kebun. Hamparan padi yang dijemur
sepanjang jalan pun dikemas sebelum sore datang. Dua ruas jalan dusun, di sisi Selatan dan Utara
tampak dibersihkan, pagar dirapikan. Kedua ruas jalan ini akan digunakan untuk kenduri desa yang
diadakan setiap awal bulan Sura.

Jam 4 sore penduduk menuju kea rah Selatan. Tujuannya ruas jalan yang membatasi Wonocolo dengan
Desa Ngaben di Selatan. Ada yang membawa bungkusan, ada yang berlenggang tangan. Yang membawa
bungkusan adalah warga Wonocolo yang tinggal di wilayah Selatan, sedang yang tak membawa adalah
warga Utara. Ya, setiap kali awal Sura, seakan Wonocolo terbelah antara wilayah Utara dan Selatan.

Kenduri diakhiri dengan penyerahan bingkisan dari tuan rumah ke tamunya, saudara sedusun yang
datang dari Utara. Ada pula bingkisan yang diserahkan untuk para tamu dari luar dusun seperti Pak
Kepala Desa dan perangkat lainnya.

Ritual belum berakhir. Kenduri sesi dua diadakan gantian di ruas jalan Utara. Kali ini warga sisi Selatan
yang menjadi tamu dan akan menerima bingkisan dari tuan rumah, warga Wonocolo sisi Utara. Isinya
standar : nasi sayur dengan aneka lauk, kadang ditambahkan hasil ladang seperti singkong dan kacang
tanah.

Salah satu warga Wonocolo, Yatin Siswomihardjo (74) atau akrab disapa Mbah Sis mengungkapan
bahwa tradisi ini sudah berjalan sebelum dirinya lahir. Menurutnya, tradisi ini hanya ditemukan di Dusun
Wonocolo. Sayangnya tak banyak yang bisa dia sampaikan terkait sejarah dan latar belakangnya. Yang
dia tahu justru tentang hilangnya berbagai tradisi dan budaya di Wonocolo.

Perangkat desa Prembun yang juga peminat sejarah budaya, Fajar Ellyas mengungkapkan adanya kisah
lisan yang menjadi dasar ‘terbelah’nya Dusun Wonocolo. Daerah yang semula merupakan hutan (wono)
ini diubah menjadi pemukiman oleh seorang bangsawan dari Kraton Solo sehingga disebut Wonosolo
dan kemudian berubah menjadi Wonocolo. Sementara yang sisi Selatan tokohnya bangsawan dari
Yogyakarta sehingga sempat muncul istilah Wonoyogya meski saat ini nama itu sudah banyak dilupakan.

Pengamat sejarah dari Purworejo, Agung Pranoto sempat mengungkapkan adanya desa-desa di era
Mataram yang memiliki patron politik beragam sebagai akibat pecahnya Mataram lewat Perjanjian
Giyanti. Ada kepala wilayah (desa, dusun) yang menyatakan bagian dari Kraton Surakarta ada juga yang
berorientasi ke Yogyakarta. Akibatnya di daerah Bagelen Selatan (Purworejo dan Kebumen) banyak desa
yang secara geografis bersebelahan namun secara politis berseberangan. Berdasar penjelasan ini sangat
mungkin Wonocolo juga terbelah sebagai akibat dari Perjanjian Giyanti.

Bahwa keterbelahan itu secara simbolik diturunkan hingga sekarang namun dibingkai dalam kenduri
bergantian tampaknya merupakan cara leluhur Wonocolo untuk memelihara kerekatan sosial warganya.
Ada pesan tersirat bahwa perbedaan dan arus politik janganlah memecah Wonocolo.

Dalam perjalanan sejarah, Dusun Wonocolo memang kerap diterjang badai sosial maupun politik.
Malangnya badai ini justru bersumber pada kentalnya aspek budaya dan spiritual Jawa dalam hidup
sehari-hari.
Peminat sejarah Teguh Hindarto mencatat bahwa di masa kolonial tercatat dua kasus besar terjadi di
sini. Dua tokoh spiritual lokal, Joyosuwito dan Ronodiwirjo diseret ke pengadilan,masing-masing di
tahun 1939 dan 1940. Tuduhannya sama, yaitu melakukan gerakan yang merongrong sistem pemerintah
Kolonial. Gerakan yang diberi label Ratu Adil atau Mesianis oleh penjajah.

Di era kemerdekaan, kemelut politik 1965 juga berimbas ke wilayah itu, khususnya terhadap para pelaku
seni budaya. Bisa jadi hal ini yang meredupkan berbagai bentuk seni dan budaya Wonocolo, selain
tingginya minat generasi muda meninggalkan kampungnya.

“Dulu Wonocolo punya banyak kelompol seni, mulai kethoprak, wayang orang sampai karawitan. Semua
pelakunya adalah warga Wonocolo. Saat ini sudah sangat sedikit warga kami yang masih mendalami
seni,” kata Mbah Sis.

Bagaimanapun, setiap awal bulan Sura, warga Wonocolo masih memelihara harta tersisa warisan
leluhur : nilai kerukunan, keguyuban, kerelaan menolong kepada sesama, siapapun mereka, apapun
pilihan politiknya. ***

Sigit Tri Prabowo (Peminat Budaya, tinggal di Prembun, Kebumen)

Anda mungkin juga menyukai