Anda di halaman 1dari 20

FILASAFAT ARSITEKTUR

(RUMAH ADAT WOLOTOPO)

AGUSTINUS A. CARVALLO (2012 320974)

PATRISIUS BAPA LAGA MUNI (2012 321 862)

YOHANES BLAMA (2012 321357)

FALERIANUS NGELLA (2012 321 875)

EMANUEL LAGA (2012 321

GUAREDINI KARLOS PASO PANDE (2012 321 857)

YOHANES L. LANGOBELEN(2012 321430)

PROGRAM STUDI ARSITEKTUR

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS FLORES

ENDE

2014
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat tuhan yang Maha Esa yang atas
perkenaanya penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul perkampungan adat
wolotopo
Adapun tujuan makala dari penulisan ini adalah untuk dijadikan bahan pertimbangan
akademik dalam mata kuliah filsafat arsitektur. Adapun tujuan lain dari penulisan makalah
ini adalah memberikan pengetahuan tersendiri kepada penulis dan kepada si pembaca
tentang perkampungan adat Wolotopo.
penulis menyadari bahwa tulisan dari isi makala ini masih jauh dari senpurna. Oleh
karena itu, segala bentuk kritik dan saran konstruktif demi penyempurnaan akan penulis
terima dengan senang hati.

Ende, Juli 2014

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang


Indonesia adalah salah satu Negara yang memiliki beragam kebudayaan mulai dari
bahasa, pakaian adat, budaya, hingga perkampungan adat. Keberagaman inilah yang
menjadikan Indonesia banyak didatangi Wisatawan asing.
Ende adalah salah satu kabupaten yang ada di Indonesia. Selain terkenal sebagai kota
sejarah ende juga terkenal dengan keberagaman kampong adatnya salah satunnya adalah
kampong adat Wolotopo.
Kampung adat Wolotopo sendiri adalah sebuah kampong adat yang terletak di
bagian timur dari kota Ende. 10 km dari kota Ende dan 6 km dari Ndona.perjalan
menuju kampung adat Wolotopo ini memakan waktu sekitar jam. menurut Bahasa
daerah setempat sama dengan Bukit Parang, Wolo =Bukit; Topo = Parang) tidak ada
yang mengungkapkannya, namun nama Wolotopo yang diabadikan oleh nenek moyang
diawal pembangunannya sebagai tempat bermukim tetap menjadi kampung adat bagi
turunannya dengan sebutan Wolotopo.
1.2. Tujuan
- Adapun Tujuan dari tugas ini adalah agar mahasiswa dapat mengerti dan
memahami keseluruhan dari kampung adat wolotopo
- Memenuhi Tugas mata kuliah Filsafat Arsitektur
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Keadaaan geografis kampung adat Wolotopo


2.1.1 Letak
Kampung tradisional Wolotopo yang dahulunya ada dalam Desa Wolotopo
Kec. Ndona, sekarang telah menjadi dua desa yaitu Desa Wolotopo dan
Wolotopo Timur berbatasan dengan Desa/ Kelurahan Onelako, Desa
Manulando dan Nanganesa. Secara geografis, Wolotopo sebagai kampung
adat terletak disuatu area perbukitan dan lembah dimana Nua PuU
(Kampung utama) terletak di atas bukit menjulur ke tepi Pantai Selatan
Laut Sawu. Letaknya yang strategis diapit bukit-bukit terjal dibelakang dan
kiri kanannya merupakan pilihan nenek moyang dan menjadi ciri khas
kampung-kampung tradisional dalam kedudukan dan upaya
mempertahankan diri dari berbagai ancaman dan musuh.

Kampung adat Wolotopo

2.1.2 Luas
Kampung Wolotopo yang didalamnya dibangun rumah-rumah adat secara
berundak dan terstruktur mengikuti keadaan geografis perbukitan seluas
1.051 Ha terbagi atas Nua PuU (Kampung Utama), Kopo Ria (kampung
besar) dan Kopo Kasa (Kampung kecil) di pinggir kampung utama.
Gambar kampung adat nua puu

2.1.3 iklim dan cuaca


Sebagai sebuah kampung yang terletak di pinggir pantai, Wolotopo juga
mengalami dua musim yaitu musin hujan dan musim kemarau dimana pada
musim hujan dimulai Bulan November sampai Maret dan musin kemarau
pada Bulan April sampai November, namun keadaan tersebut sering
berubah sesuai dengan keadaan alam, temperatur siang hari panas dan
malam hari dingin.
2.1.4 penduduk dan mata pencaharian
Jumlah penduduk dan mata pencaharian bagi masyarakat Wolotopo (Ata
Wolotopo gabungan dari dua desa) yaitu sebanyak 1908 jiwa tidak
termasuk warga Wolotopo yang tinggal dan tersebar diluar Wolotopo-
sebagai pekerja jasa, dan mata pencaharian penduduknya sebagian besar
adalah petani, peternak dan pengrajin tenun ikat. Usaha tani /berkebun
diladang/ dilereng bukit jenis tanaman yang ditanam adalah jagung, ubi,
kacang-kacangan, ketela, singkong; dan yang cukup terkenal tanaman
rakyat yaitu Bengkuang (Uju Mbojo) yaitu sejenis tanaman umbian yang
berair dan manis dan tumbuh sekitar Bulan Juli- Agustus. Selain itu ada
tanaman/ buah pisang Beranga yang cukup lezat serta gurih yang walaupun
pisang itu hanya tumbuh baik di wilayah Kab. Ende dan tidak dapat tumbuh
baik di daerah lain, untuk Pisang Beranga produk Wolotopo mempunyai
aroma dan kekhasannya sendiri dibanding pisang beranga dari wilayah lain
dalam Kab. Ende. Usaha lain yang telah dikembangkan masyarakat di
bidang pertanian/ perkebunan adalah tanaman komoditi eksport berupa
kelapa, jambu mete, kakao dan kemiri. Bagi kaum wanita, kerajinan tenun
ikat membuat Sarung (Zawo/Lawo, Zuka/ Luka) dan Selendang (semba)
merupakan pekerjaan sehari-hari sedangkan sebagai nelayan hampir tidak
ada, walau kampungnya berada di tepi pantai.
2.2 Kampung adat wolotopo
2.2.1 Sejarah dan perkembangan kampung adat Wolotopo
Sebagaimana cerita tentang keberadaan dan perkembangan kampung-
kampung adat tradisional lain yang ada dan tersebar di wilayah Kab. Ende,
cerita tentang kampung tradisional Wolotopo hampir sama yaitu dimulai
dari awal kedatangan nenek moyang atau leluhur masyarakat adat
Wolotopo dari Ende-Lio. Konon cerita dibangunnya Kampung Adat
Wolotopo dan berkembang hingga sekarang, diawali oleh kedatangan
nenek moyang yang bermigrasi atau berpindah (Nggoro) dari utara dan tiba
di Wolotopo lalu membangun Kampung Adat (Nua PuU/ Kampung utama)
dan juga yang datang dari laut.
Menurut cerita, nenek moyang orang Wolotopo sebagaimana juga
masyarakat Ethnis Ende-Lio lainnya merupakan imigran yang datang dari
jauh yaitu seberang lautan Benua Asia yaitu Daerah Indocina-Yunan,
melintas Samudra ke Malaka, Jawa lalu menuju ke wilayah timur. Salah
satu kelompok imigran yang menjadi leluhur orang Ende-Lio sekarang, tiba
di pesisir pantai utara Pulau Flores Tengah yaitu di Pantai Wewaria-
Mautenda. Selanjutnya nenek moyang tersebut menuju ke Keli Kima dan
menetap di tempat tersebut. Perkembangan selanjutnya, terjadi bencana
alam (hujan dan angin ribut) mereka kemudian berpindah ke gunung
Lepembusu. Setelah keadaan aman dan tenang, para leluhur/ nenek moyang
tersebut turun gunung dan mulai berpindah tersebar dalam kelompok-
kelompok di berbagai tempat dan mulai bermukim dan melanjutkan
hidupnya. Tempat dimana para leluhur tersebut berpencar dan berpisah ke
utara, ke selatan, ke timur dan ke barat disebut Wolo Wia. Bagi leluhur,
Wolotopo juga termasuk kelompok imigran yang berpisah tersebut menuju
selatan-timur (Wolotopo) setelah berhenti dibeberapa tempat singgahan,
seperti menetap di Wolokota selanjutnya dari kelompok imigran yang
terdiri dari Ata Wolo, Ata Mewu, Ata Robo, Sepu Kele Ata Bapu Loo
masing-masing menyebar; Ata Wolo ke arah timur Kampung Wolotopo,
Ata Mewu dan Ata Bapu Loo ke barat di Mbou Nggile, Ata Robo, Sepu
Kele kembali ke arah timur bagian utara yaitu ke Woloria. Cerita
selanjutnya setibanya leluhur Wolotopo diperbukitan, dimana sekarang
menjadi Kampung Wolotopo, para leluhur tersebut mulai membangun Keda
(pendopo agung), Kanga, Tubu Musu/ Musu Mase dan Sao Nggua (Rumah
adat) secara bersama-sama dan bergotong royong oleh para mosalaki dan
Faiwalu Anakalo dan melakukan upacara/ sesembahan menurut
kepercayaan kepada leluhur daan nenek moyangnya dan mengadakan acara
ritual sebagai penghormatan kepada pencipta alam semesta (DuA
Nggae).Sebagai gambaran, bahwa kedatangan leluhur leluhur tersebut dari
jauh atau dari tanah seberang terungkap dalam Bahasa Adat yang biasa
disebut-sebut pada setiap acara adat : Sele Leu Pane Wata Pate Susu
Nggua Ria Nawu Bapu Bewa Kami Eo Nggoro Noo F Jo Wau Noo
Mangu Au yang berarti mereka yang pindah dan berlayar datang dengan
perahu (jung). Perkampungan Adat Wolotopo awalnya hanya tiga buah
rumah adat dengan Tubu Musu, Kanga di Nua Ruti (Wolotopo Barat).
Rumah-rumah adat tersebut: Sao Ata Robo, Sao Ata Wolo, Sao Sepu Kele/
Tuga Lero. Dalam perkembangan selanjutnya dimana Da Seko (Leluhur)
orang Wolotopo sekarang dalam bentuk Laki/ Zakki dengan Tubu
Kanganya dan anaknya Sanggo membangun Keda di Wolotopo Timur,
rumah adat berkembang menjadi 15 buah
1. Sao Ata Robo
2. Sao Ata Wolo
3. Sao Sepu Kele/ Tuga Lero
4. Sao Atalaki
5. Sao Sue
6. Sao Leke Bewa
7. Sao Bhisu Koja
8. Sao Ria
9. Sao Bhisu Ndola
10. Sao Wololele
11. Sao Ata Toba
12. Sao Ata Ringi
13. Sao Jala Ria
14. Sao Jira Bara
15. Sao Ata Ndona
Selain itu dibangunya Keda, Tubu Kanga dan Mbaku Da Seko (rumah
tempat menyimpan tulang belulang leluhurnya orang Wolotopo Da Seko).
2.2.2 pola dan struktur perkampungan adat
2.2.2.1 Pembuatan rumah adat Wolotopo
Melakukan pemindahan barang sementara ke rumah pondok
Melakukan pembuatan tali sipat ( Ndolu ) yang berfungsi untuk
menarik balok kayu,.
Melakukan upacara pintal tali benang (TAI TALI)
Dalam melakukan pembuatan rumah,. Membutuhkan biaya yang
cukup mahal.
Dengan hari yg sama melakukan pengambilan kelapa tua ,.
Setelah itu di masak lalu minyaknya di ambil,. Digunakan sebagai
obat untuk para pekerja apa bila terjadi kecelakaan saat proses
pembuatan berjalan,
Lama pengerjaan, pembuatabn rumah sangata tergantung dengan
ketentuan yang ada biasanya berkisar dengan 1 atau 2 tahun
Melakukan upacara LEA LAKO( upacara pembebasan kepada roh
jahat dalam pengambilan bahan pembuatan.)
Melakukan penebangan,. Kayu untuk pengumpulan bahan yang
masih baku,..
Jika ada yng meninggal,. Pengerjaan tidak bias di lanjut kan,. Dan
ada pantangan tertentu,.yng dinamakan PIRE
Melakukan upacara SENDA SAO ( upacara persiapan untuk
membangun rumah yang diawali dengan bermain tandak ( gawi,.
Dengan iringan Nggo lamba
Lalu melakukan pemasangan tiang induk atau tiang kolong
(LEKE PERA ) sebagai symbol untuk menahan angin,. Badai dan
gempa, dan berbagai serangan penyakit lalu pada hari ke empat
kegiatan di berhentikan dan disakral kan selama empat hari lagi
dan tidak boleh melakukan aktifitas dan diskeliling rumah di
pagari dengan daun kayu TAU,. Kayu KETA,. Dan Kayu AE
kayu KETA merupakan penyejuk rumah,. Kayu TAU untuk
mengusir penyakit,. KAyu AE untuk pemberi air,..kehidupan.
melakukan pemasangan kosen pintu masuk (TOKO PENE)
dengan pemotongan 2 ayam jantan yang segar tanpa cacat,
(TEKA KOLO MANU )
membuat pemasangan Paku Rajo,. Pada tengah2 pintu masuk,.
Setelah itu pemasangan MANGU SAO/WAKE MANGU
(pemasangan tiang nok dan di awali dengan upacara TEKA
KOLO MANU lagi
Melakukan pengerjaan atap dengan bubungan penutup alang2,.
Dengan lama pengerjaan satu hari penuh
Setelah itu melakukkan upacara peresmian (NAI SAO) sebelum
melakukan peresmian dilakukan upacara memberi sesaji kepada
empat penjuru mata angin ( PAA LOKA WISU SUTU ) untuk
pngusiran roh jahat,. Di empat sudut pojok kampung diilanjutkan
dengan upacara POKE MUKU dan GOLA NIO ( mengguling
kelapa ),. Ada dua jenis pisang untuk di bakar MUKU MA DAN
MUKU LELA ( Pisang kapok dan pisang Beranga) lalu
melakukan makan bersama dan setelah itu melakuan pelemparan
pisang antar sesama dan setelah itu juga melakukan GAWI KEA
atau tarian tandak,. Dan setelah pagi harinya,. Melakukan
pemasangan batu tungku di dalam rumah tungku yg merupakan
tungku anak sulung dari Tua adat., dan diikuti dengan
pemasangan tungku2 lain di sudut dapur,.
Di daerah sekitar terdapat areal kecil yaitu KEDA KANGA (
rumah tempat untuk pemuja berhala para nenek moyang dahulu
yang pertama menempati kampung, ini terdapat patung dewa
setelah sekian lama patung itu di curi dan sampai sekarang belum
di ketehui kabaradaan nya.,. dan terdapat kubur para nenek
moyang.
2.2.2.2 struktur pola perkampungan adat
Nua Puu ( Kampung Asal )
Kopo ria ( Kampung besar )
Kopo Kasa (Kampung Kecil)
Sao Ria
Keda
Kanga
Tubu Musu
Kubur
Sao-Sao (nggua)
Kota (Pagar)
Rumah di Kopo ria
Rumah di Kopo Kasa
2.2.2.3 Bangunan rumah adat dan pendukungnya
Sebagaimana pola dan struktur perkampungan adat, bangunan rumah
adat dan bangunan lainnya dalam Kampung asal (Nua Puu), Kopo Ria
dan Kopo Kasa, dibangun berdasarkan pandangan hidup yang terkait
dengan hubungan alam dan penguasa tertinggi (Dua Nggae). Bentuk
rumah adat seperti rumah Joglo di Jawa dibangun secara vertikal dan
horisontal berbentuk perahu (jung) melambangkan kedatangan nenek
moyang (pendiri rumah tersebut) dari laut atau tanah seberang dimana
atap rumah berbentuk layar dan lantai rumah berbentuk badan perahu
(jung), sedangkan dinding dan tiang rumah adalah tiang perahu. Jadi
bentuk rumah secara utuh ibarat sebuah perahu berlayar menandakan
budaya perahu.
2.2.3 Rumah adat dan fungsinya

Dalam kampung adat terdapat sederetan bangunan rumah adat (Sao


Nggua) dengan jenis dan ukuran yang berbeda sesuai kedudukan dan
fungsinya dalam persekutuan adat. Ada bangunan rumah adat disebut
Sao Nggua Sao Ata Laki/Zakki, ada Sao Nggua Iwa Ata Laki/Zakki
tapi mereka juga berperan dalam mendukung peran Sao Nggua/ ata
Laki/Zakki dalam pemerintah dan upacara adat (sebagai Poa Paso)

Untuk Kampung Adat Wolotopo, berdasarkan kedudukan dan peran


mosalaki dalam persekutuan adat baik sebagai Mosalaki PuU
maupun sebagai Mosalaki Tuke Sani, memiliki rumah adat (Sao
Nggua) masing-masing yaitu:
SaO Atalaki :

Tempat untuk Mosa/ Atalaki dan pendukungnya Tau Duri Dui


Fodi Kedo, Bou Tou Mondo Tebo ( tempat musyawarah atau
tempat berkumpul disaat upacara adat).

SaO Ria:
Tempat pengadilan adat; Biku Tau Ngilo Bara Tau Tina, Leka
Nopo Leka Kara

SaO Sue :
Tempat menyimpan benda adat dan sue (gading).

Sao Atawolo :
Menyiapkan dan memakai pakaian kebesaran adat
Mosalaki dan Atalaki disaat Wakelaki atau pelantikan
Tempat menyimpan rembi nduku dan Kilindoka juga
sebagai wunu koli
BNB : Keempat rumah adat tersebut diatas merupakan tempat tinggal
para mosalaki sesuai kedudukan dan fungsinya dalam persekutuan
adat di Wolotopo. Selain bangunan rumah adat dalam Nua PuU, pada
Kopo Ria dan Kopo Kasa dibangun pula rumah-rumah pendukung
(Poa Paso) dan rumah anggota suku (Fai Walu Anakalo).

Gambar rumah adat sao sue dan sao ria


2.2.4 pola dan bentuk rumah adat
Dilihat dari pola dan bentuk rumah adat, dari segi teknik arsitektur yang
dibangun secara vertikal dan horisontal dapat dilihat dari komponen-
komponen atau bagian-bagian bangunan rumah adat seperti salah satu
contoh pada bangunan Sao Ria antara lain :
a. Secara Vertikal :
- Lake/ Zakke atau soko boko bangunan yaitu: Tiang yang berfungsi
sebagai penyangga/ tumpuan bangunan berjumlah 12 buah tiang. Setiap
tiang berdiri diatas batu ceper. Ke dua belas tiang tersebut membentuk
empat barisan; dua buah tiang (Lakke/zakke) paling tengah dinamakan
Lakke/ zakke perra (tiang utama) berfungsi sebagai tiang tumpu untuk
Mangu (tiang utama pendukung bubungan/ atap). Mengingat fungsinya
sangat fital, dalam bangunan rumah adat tersebut biasanya waktu
membangun rumah adat Sao Ria di bawah tiang alas disimpan kepingan
emas atau kepala manusia (anak kecil) sebagai simbol penguat/ kekuatan
magis.

Gambar tiang penyangga bangunan


- Isi Gadha ine
Balok induk besar (Dalo/ Dazo) yang melintang diatas barisan Lake
paling belakang berfungsi sebagai balok penguat tiang-tiang dan
penopang, juga berfungsi sebagai bantal kepala. Isi gadha Ine dan balok
lainnya membujur berlawanan arah jarum jam dimana semua ujungnya
terletak disebelah kanan.
- Lata Joja
Sebuah balok melintang diantara Waja dan One, juga berfungsi sebagai tempat
sandar.

- Bhenga Toko/ Benga Bei


Sebuah balok berukir terletak disebelah kanan pintu masuk kamar belakang untuk
tempat sandar Atalaki Puu.

- Lani Kadho/ Lani holo


Balok yang melintang diatas Lekke pera yang berfungsi juga sebagai alas kepala.

- Tenda/ Ndawa
Alas rumah dari papan atau bambu belah yang terletak diatas balok yang
melintang diatas tumpuan tiang sebagai pemisah ruang bawah / kolong (Lewu/
zewu) dengan ruang atau tempat tinggal.

tenda

- Kebi/ Kembi
Dinding yang memisahkan dinding dalam rumah dan luar rumah.

kembi

- Lote
Ruang diatas One untuk menyimpan barang-barang rumah tangga / pusaka.

- Pere/ Pene
Pintu yang menghubungkan luar rumah dengan ruang dalam rumah (One Sao).

pere

- Rate
Jendela rumah untuk cahaya dan sirkulasi udara.

- Mangga
Balok yang dilintang di empat sudut untuk tumpuan balok atap (Nggoza/ Nggela).

- Nggola/ Nggoza
Balok yang menghubungkan badan rumah dengan bubungan/ atap juga sebagai
landasan susunan atap.

- Leke Puu/ Leke Raja


Tiang utama penyangga bubungan rumah

- Ate/ Ghumbu
Atap dari bahan daun alang-alang, ijuk atau sirap bambu yang digunakan untuk
menutup bangunan tersebut.

Atap dari
alang-alang

b. Secara horizontal

Dilihat secara horisontal, bangunan rumah adat secara tata letak dapat diuraikan
atas komponen bagian sebagai berikut :
- Wewa
Halaman depan rumah adat berupa sebuah pelataran terbuka.

wewa

- Tangi
Tangga naik pertama, biasanya dibawah tangga/ tangi diletakkan batu ceper (watu
lata) untuk alas/ cuci kaki sebelum masuk rumah adat.

Watu lata

- Tenda Loo
Tenda kecil yaitu pelataran tempat duduk pertama.

- Tenda Ria
Tenda besar yaitu pelataran tempat duduk tingkat kedua untuk musyawarah dan
menjamu tamu.

- Pane/ Pere
yaitu pintu masuk ke ruang dalam

- Kawa/ Tiga
Kamar yang dibagi menurut kebutuhan penghuni terdiri dari kamar bujang/ laki
kamar ibu-bapak, kamar gadis.
- One Soo yaitu ruang tengah.
- Lapu/ Zappu yaitu dapur tempat memasak dan diatas bagian dapur terdapat
Ghara sebagai tempat menyimpan alat dapur.

- Wisu yaitu bagian sudut rumah.


- Lulu/ Zuzu yaitu bagian belakang rumah.
rate

lulu

- Noki yaitu ruang belakang tempat menyimpan kayu bakar.


Selain komponen bangunan secara vertikal, komponen lain pengisi bangunan
yang ada dalam ruang (One Soo) adalah :
- Mbola Kadho yaitu :
Sebuah peti kayu berbentuk perahu yang didalamnya disimpan pusaka
peninggalan nenek moyang berupa emas dalam bentuk perahu (rajo) berbentuk
bulan (gabhe) dan berbentuk Valva disebut Ome, sejumlah benda pusaka seperti
Watu Pire Jaji (batu perjanjian), Watu Nitu Pai (tempat menaruh sesajian untuk
leluhur), Roe Kiwi (piring pusaka), Sundu (kelewang), piring tanah liat serta
peralatan masak untuk upacara adat.

- Ola Teo yaitu :


Seutas tali yang digantung pada tiang bubungan rumah diukur kebawah
tengah ruang (One Sao) digantung dengan sebuah keranjang kecil (Timbi Teo)
yaitu tempat menyimpan peralatan rumah tangga untuk upacara adat. Timbi Teo
sebagai lambang kesuburan dan juga disebut Pusu Ate (hati atau Pusat rumah).

- Ana Wula Leja yaitu :


Sebatang bambu yang ditaruh diatas Isi Tubhu, sebelah kanan dipasang
sebuah batu ceper untuk acara sesembahan.

Selain komponen bangunan, pada dinding dan pintu masuk biasa dipasang ukiran
sepasang Susu sebagai lambang kesuburan pada dinding dan senapan (Mbendi)
pada pintu masuk selain ukiran/ ornamen pada alas pintu pintu dan bilah pintu.
2.3 Wilayah adat Wolotopo

Sebagai suatu persekutuan adat, Wolotopo memiliki suatu wilayah adat/ ulayat yang
disebut Ulu Eko (batas wilayah). Wilayah Adat Wolotopo meliputi :

Tana Wara Mena yaitu tanah warisan turun temurun (Tana Nggaro)
Tana Wara Ghale yaitu tanah hasil menang perang jadi milik bersama (Tana Gado
Bhondo Watu Kapa).
Semua kegiatan / usaha masyarakat adat dalam wilayah adat/ persekutuan adat tersebut
selalu diatur secara adat misalnya dalam mengolah tanah, membuka kebun dan setiap
pemimpin dan anak suku wajib menjaga dan melindungi serta mempertahankan wilayah
adatnya dari gangguan dan ancaman luar.
BAB III

PENUTUP

3.1 kesimpulan

Demikian beberapa uraian tentang keberadaan Wolotopo sebagai Kampung Adat/


Tradisional bagi wisatawan yang berminat di bidang seni budaya dan sejarah/ kepurbakalaan
dapat mengunjungi Wolotopo. Dan juga penjelasan tentang Adat-istiadat dan Arsitektur dari
rumah adat Ende khususnya rumah adat Wolotopo.

Pada akhir kata, kami menyampaikan permohonan maaf kepada dosen pengasuh mata kuliah
filsafat arsitektur bila tugas yang kami kerjakan belum terlalu sempuna dan belum sesuai
dengan keinginan ibu dosen, pada kesempatan ini kami mohon maaf. Pada kesempatan yang
terakhir kami mengharapkan kepada pembaca dan khususnya kepada dosen pengasuh mata
kuliah filsafat arssitektur guna memberikan saran serta kritikan yang membangun tentang
tugas ini agar dapat disempurnakan pada kesempatan yang akan datang.

Anda mungkin juga menyukai