Anda di halaman 1dari 8

PRO EMERGENCY

PREEKLAMPSIA DAN EKLAMPSIA

CHAPTER XII

PREEKLAMPSIA
Tujuan instruksional Umum Setelah mempelajari materi ini diharapkan peserta memahami dan
dapat menangani pasien serta dapat melakukan penyuluhan tentang
pencegahan Eklamsia.
Setelah mempelajari materi ini peserta mampu untuk :
Tujuan Instruksional Khusus
1. Melakukan penanganan pasien dengan Pre Eklamsi dan Eklamsia
2. Melakukan tindakan pencegahan Pre Eklamsia dan Eklamsia
Pendahuluan Tiga penyebab utama kematian ibu di Indonesia adalah
perdarahan (30%), eklampsia (25%), dan infeksi (12%). WHO
memperkirakan kasus pre eklampsia tujuh kali lebih tinggi di negara
berkembang daripada di negara maju. Prevalensi preeklampsia di
negara maju adalah 1.3-1.6%, sedangkan di negara berkembang
adalah 1.8-18%. Insiden preeklampsia di Indonesia sendiri adalah
128.273/tahun atau sekitar 5.3%. Kecenderungan yang ada dalam dua
dekade terakhir ini tidak memperlihatkan adanya penurunan yang
nyata terhadap insiden preeklampsia, berbeda dengan insiden infeksi
yang semakin menurun sesuai dengan perkembangan temuan
antibiotik. Preeklampsia merupakan masalah kedoteran yang serius
dan memiliki tingkat kompleksitas yang tinggi. Besarnya masalah ini
bukan hanya karena preeklampsia berdampak pada ibu saat ibu hamil
dan melahirkan, namun juga menimbulkan masalah pasca persalinan
akibat disfungsi endotel di berbagai organ, seperti risiko penyakit
kardiometabolik dan komplikasi lainnya.
Dampak jangka panjang juga dapat terjadi pada bayi yang
dilahirkan dari ibu dengan preeklampsia, seperti berat badan lahir
rendah (BBLR) akibat persalinan prematur atau mengalami
pertumbuhan janin terhambat, turut serta menyumbangkan besarnya
angka morbiditas dan mortalitas perinatal. Penyakit hipertensi dalam
kehamilan merupakan penyebab tersering kedua morbiditas dan
mortalitas perinatal. Bayi dengan BBLR atau mengalami pertumbuhan
janin terhambat juga memiliki risiko penyakit metobolik pada saat
dewasa.
Pengertian Preeklampsia merupakan kondisi spesifik pada kehamilan yang
ditandai dengan adanya disfungsi palsenta dan respon maternal
terhadap adanya inflamasi sistemik dengan aktivasi endotel dan
koagulasi. Diagnosis preeklampsia ditegakkan berdasarkan adanya
hipertensi dan proteinuria pada usia kehamilan diatas 20 minggu.
PRO EMERGENCY
PREEKLAMPSIA DAN EKLAMPSIA

Oedema tidak lagi dipakai sebagai kriteria diagnostik karena sangat


banyak ditemukan pada wanita dengan kehamilan normal.
Penegakkan diagnosa Hipertensi adalah tekanan darah sekurang-kurangnya 140 mmHg

hipertensi sistolik atau 90 mmHg diastolik pada dua kali pemeriksaan berjarak 4-
6 jam pada wanita yang sebelumnya normotensi. Derajat hipertensi
Mengurangi kesalahan pemeriksaan
tekanan darah : berdasarkan tekanan darah diastolik pada saat datang, dibagi menjadi

 Pemeriksaan dimulai ketika ringan (90-99 mmHg), sedang (100-109 mmHg), dan berat (≥ 110

pasien dalam keadaan tenang mmHg). Definisi hipertensi berat adalah peningkatan tekanan darah

 Gunakan tensimeter yang sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik atau 110 mmHg diastolik.
sudah divalidasi Gunakan alat tensimeter yang sudah divalidasi. Berdasarkan American
 Posisi duduk/terlentang miring Society of Hypertension ibu diberi kesempatan duduk tenang selama
kiri, kepala ditinggikan 30⁰ 15 menit sebelum dilakukan pengukuran tekanan darah pemeriksaan.
sehingga manset sesuai level Pengukuran dilakukan pada posisi duduk atau terlentang, posisi lateral
jantung kiri, kepala ditinggikan 30 derajat, posisi manset setingkat dengan
 Gunakan ukuran manset yang jantung, dan tekanan diastolik diukur dengan mendengar bunyi
sesuai korotkof V (hilangnya bunyi). Ukuran manset yang sesuai dan kalibrasi
 Gunakan bunyi korotkoff V alat juga senantiasa diperlukan agar tercapai pengukuran tekanan
pada pengukuran TD diastolik darah yang tepat. Pemeriksaan tekanan darah pada wanita dengan
hipertensi kronik harus dilakukan pada kedua tangan, dengan
menggunakan hasil pemeriksaan yang tertinggi.

Penentuan proteinuria Proteinuria ditetapkan bila eksresi protein di urin melebihi 300 mg
dalam 24 jam atau tes urin dipstik ≥ positif 1, dalam 2 kali pemeriksaan
berjarak 4-6 jam. Proteinuria berat adalah adanya protein dalam urine
Mengurangi kesalahan penilaian
proteinuria : ≥ 5g/24 jam. Konsentrasi protein pada sampel urin sewaktu

Konfirmasi hasi tes positif 1 dengan bergantung pada beberapa faktor, termasuk jumlah urin. Konsensus

menggunakan urine tampung 24 jam Australian Society for the Study of Hypertension in Pregnancy
atau menggunakan rasio protein (ASSHP) dan panduan yang dikeluarkan oleh Royal College of
kreatinin Obstetrics and Gynecology (RCOG) menetapkan bahwa pemeriksaan
proteinuria dipstik hanya dapat digunakan sebagai tes skrining dengan
angka positif palsu yang sangat tinggi, dan harus dikonfirmasi dengan
pemeriksaan urine tampung 24 jam atau rasio protein banding
krreatinin.
Penegakkan diagnosa Diagnosis preeklampsia berat ditegakkan bila ditemukan keadaan

preeklampsia hipertensi berat/hipertensi urgensi (TD ≥ 160/110 mmHg) dengan


proteinuria berat (≥ 5g/hr atau tes urin dipstik ≥ positif 2), atau disertai
dengan keterlibatan organ lain. Kriteria lain preeklampsia berat yaitu
bila ditemukan gejala dan tanda disfungsi organ seperti kejang,
PRO EMERGENCY
PREEKLAMPSIA DAN EKLAMPSIA

oedema paru, oliguria, tromositopenia, peningkatan enzim hati, nyeri


perut epigastrik atau kuadran kanan atas dengan mual dan muntah,
serta gejala serebal menetap (sakit kepala, pandangan kabur,
penurunan visus atau kebutaan kortikal dan penurunan kesadaran).
Kriteria minimal preeklampsia:
 TD ≥ 140/90 mmHg setelah kehamilan 20 minggu
 Eksresi protein dalam urine ≥ 300mg/24 jam atau ≥ +1 dipstik,
rasio protein : kreatinin ≥ 30 mg/mmol
Kriteria preeklampsia berat (preeklampsia dengan minimal satu gejala
dibawah ini)
 TD ≥ 160/110 mmHg
 Protein dalam urine ≥ 5g/24 jam atau ≥ +2 dipstik
 Ada keterlibatan organ lain :
 Hematologi : trombositopenia (<100.000/ul), hemolisis
mikroangiopati
 Hepar : peningkatan SGOT dan SGPT, nyeri epigastrik atau
kuadran kanan atas
 Neurologis : sakit kepala persisten. Skotoma penglihatan
 Janin : pertumbuhan janin terhambat, oligohidramnion
 Paru : oedema paru dan gagal jantung kongestif
 Ginjal : oliguria (≤500 ml/24 jam), kreatinin ≥ 1.2 mg/dL

PENCEGAHAN Pencegahan primer artinya menghindari terjadinya penyakit. Faktor


 Primer risiko yang dapat dinilai pada antenatal care kunjungan pertama :
 Sekunder  Riwayat preeklampsia pada kehamilan sebelumnya

 Tersier  Kehamilan multipel


 Penyakit yang menyertai kehamilan (hipertensi kronik, DM,
penyakit ginjal kronis, sindroma antifosfolipid)
 Indeks masa tubuh ≥ 35
 Penyakit vaskular dan pembuluh darah
 Usia ibu ≥ 40
 Nulipara/kehamilan pertama pada pasangan baru/kehamilan
sebelumnya telah berjarak ≥ 10 tahun
 Tekanan darah diastolik ≥ 80 mmHg
 Proteinuria (dipstik ≥ +1 pada 2 kali pemeriksaan berjarak 6
jam atau secara kuantitatif 300mg/24 jam)
Pencegahan sekunder adalah memutus proses terjadinya penyakit
yang sedang berlangsung sebelum timbul gejala atau kedaruratan
klinis karena penyakit tersebut. Tindakan yang dilakukan diantaranya :
 Istirahat  4 jam/hari
 Restriksi garam  pembatasan garam untuk mencegah
PRO EMERGENCY
PREEKLAMPSIA DAN EKLAMPSIA

preeklampsia dan komplikasinya selama kehamilan tidak


direkomendasikan
 Penggunaan aspirin dosis rendah untuk pencegahan primer
berhubungan dengan penurunan risiko preeklampsia, persalinan
preterm, kematian janin atau neonatus dan bayi kecil masa
kehamilan, sedangkan untuk pencegahan sekunder berhubungan
dengan penurunan risiko preeklampsia, persalinan preterm < 37
minggu dan berat badan lahir < 2500 gr.
 Pemberian kalsium dapat diberikan pada wanita yang memiliki
risiko tinggi preeklampsia dan rendah asupan kalsium untuk
mencegah terjadinya preeklampsia.
 Pemberian vitamin c dan e dosis tinggi tidak menurunkan risiko
hipertensi dalam kehamilan, preeklampsia dan eklampsia, serta
berat lahir bayi rendah, bayi kecil masa kehamilan atau kematian
perinatal.
Penatalaksanaan Pertimbangan persalinan/terminasi kehamilan

1. Manajemen ekspektatif 1. Pada ibu dengan eklampsa, bayi harus segera dilahirkan dalam
12 jam sejak terjadinya kejang
atau konservatif
2. Induksi persalinan dianjurkan bagi ibu dengan preeklampsia berat
dengan janin yang belum viabel atau tidak akan viable dalam 1-2
minggu
3. Pada ibu dengan preeklampsia berat, dimana janin sudah viabel
namun usia kehamilan belum mencapai 34 minggu, manajemen
ekspektatif dianjurkan, asalkan tidak terdapat kontraindikasi.
Lakukan pengawasan ketat.
4. Pada ibu dengan preeklampsia berat, dimana usia kehamilan
antara 34-37 minggu, manajemen ekspektatif boleh dianjurkan,
asalkan tidak terdapat hipertensi yang tidak terkontrol, disfungsi
organ ibu dan gawat janin.
2. Tatalaksana umum Ibu hamil dengan preeklampsia harus segera dirujuk ke RS
1. Bila terjadi kejang, perhatikan jalan napas, pernapasan (oksigen),
dan sirkulasi (cairan intravena)
2. MgSO4 diberikan secara intravena kepada ibu dengan eklampsia
(sebagai tatalaksana kejang) dan preeklampsia berat (sebagai
pencegahan kejang).
3. Pada kondisi dimana MgSO4 tidak dapat diberikan seluruhnya,
berikan dosis awal (loading dose) lalu rujuk ibu segera ke fasilias
kesehatan yang memadai.
4. Lakukan intubasi jika terjadi kejang berulang dan segera kirim ibu
ke ruang ICU (bila tersedia) yang sudah siap dengan fasilitas
PRO EMERGENCY
PREEKLAMPSIA DAN EKLAMPSIA

ventilator tekanan positif.


Pemberian MgSO4 1. Pemberian MgSO4 pada preeklampsia berat berguna untuk
mencegah terjadinya kejang/eklampsia atau kejang berulang
2. Rute administrasi magnesium sulfat yang dianjurkan adalah
intravena untuk mengurangi nyeri pada lokasi suntikan
MgSO4 40% = 25ml=10gr
3. Magnesium sulfat merupakan pilihan utama pada pasien
1gr = 2.5 ml
preeklampsia berat dibandingkan diazepam atau fenitoin, untuk
mencegah terjadinya kejang/eklampsia atau kejang berulang
4. Waktu, durasi, dosis dan rute administrasi  pedoman RCOG
MgSO4 20%= 25ml=5 gr
untuk tatalaksana preeklampsia berat merekomendasikan dosis
1 gr = 5 ml
loading MgSO4 4gram selama 5-10 menit, dilanjutkan dengan
dosis pemeliharaan 1-2 gr/jam selama 24 jam postpartum atau
Lakukan pengawasan terhadap setelah kejang terakhir, kecuali terdapat alasan tertentu untuk
pasien selama pemberian MgSO4 melanjutkan pemberian MgSO4. Pemantauan produksi urin, refleks
patella, frekuensi napas dan saturasi oksigen penting dilakukan
saat memberikan MgSO4. Pemberian ulang 2 gr bolus dapat
dilakukan apabila terjadi kejang berulang.
5. Lakukan pemeriksaan fisik tiap jam meliputi tekanan darah,
frekuensi nadi, pernafasan, refleks patela dan produksi urine
6. Bila frekuensi nafas < 16x/menit, dan atau tidak didapatkan reflek
patela dan atau oliguria (produksi urine < 30ml/jam) segera
hentikan pemberian MgSO4. Suntikkan calsium glukonas 1 gr
intravena (10 ml larutan 10%) bolus dalam 10 menit.
7. Selama ibu dengan preeklampsia dan eklampsia dirujuk, pantau
dan nilai adanya perburukan preeklampsia. Apabila terjadi
eklampsia lakukan penilaian awal dan tatalaksana
kegawatdaruratan. Berikan kembali MgSO4 2gr iv perlahan (15-20
menit). Bila setelah pemberian MgSO4 ulangan masih terdapat
kejang, dapat dipertimbangkan pemberian diazepam 10 mg iv
selama 2 menit.
Pemberian antihipertensi Keuntungan dan risiko pemberian antihipertensi pada hipertensi
ringan-sedang (tekanan darah 140-169 mmHg/90-190 mmHg) masih
kontroversial. Nifedipin sebagai penghambat kanal kalsium digunakan
untuk mencegah persalinan preterm (tokolisis) dan sebagai
antihipertensi. Regimen yang direkomendasikan adalah 10 mg kapsul
oral, diulang tiap 15-30 menit, dengan dosis maksimum 30 mg.
Penggunaan berlebihan penghambat kanal kalsium dilaporkan dapat
menyebabkan hipoksia janin dan asidosis. Hal ini disebabkan akibat
hipotensi relatif setelah pemberian penghambat kanal kalsium.
Nikardipin merupakan penghambat kanal kalsium parenteral, yang
PRO EMERGENCY
PREEKLAMPSIA DAN EKLAMPSIA

mulai bekerja setelah 10 menit pemberian dan menurunkan tekanan


darah dengan efektif dalam 20 menit (lama kerja 4-6jam).
Antihipertensi diberikan pada tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg atau
diastolik ≥ 90 mmHg.
Pemberian kortikosteroid  Pemberian kortikosteroid pada sindrom HELLP dapat memperbaiki
kadar trombosit, SGOT, SGPT, LDH, tekanan darah arteri rata-rata
dan produksi urin
 Pemberian kortikosteroid post partum tidak berpengaruh pada
kadar trombosit
 Deksametason lebih cepat meningkatkan kadar trombosit
dibandingkan betametason
 Kortikosteroid diberikan pada usia kehamilan 28-36 minggu untuk
menurunkan risiko RDS dan mortalitas janin serta neonatal,
dengan interval waktu pemberian hingga persalinan 48 jam-7 hari.
 Pemberian ulangan kortikosteroid dapat dipertimbangkan, jika
kortikosteroid diberikan minimal 7 hari sebelumnya.
Pemeriksaan penunjang  Hitung darah perifer lengkap (DPL)

tambahan  Golongan darah ABO, Rh dan uji pencocokkan silang


 Fungsi hati (LDH, SGOT, SGPT)
 Fungsi ginjal (ureum, kreatinin serum)
 Profil koagulasi (PT, APTT, fibrinogen)
 USG (terutama jika ada indikasi gawat janin/pertumbuhan janin
terhambat).
PRO EMERGENCY
PREEKLAMPSIA DAN EKLAMPSIA

ALGORITMA
MANAJEME

Observasi dan manajemen inisial kamar bersalin

 Evaluasi ibu : gejala, temuan klinis, pemeriksaan laboratorium


 Monitor denyut jantung janin dan kontraksi
 USG : pertumbuhan janin dan jumlah cairan ketuban
 Pertimbangkan pemberian MgSO4 dan antihipertensi

Kontraindikasi manajemen ekspektatif

 Gejala preeklampsia berat persisten


 Eklampsia
 Oedema paru
 Hipertensi berat persisten
 Sindrom HELLP
 Disfungsi renal yang nyata
 Solusio plasenta
 Koagulasi intravaskular diseminata (Disseminated Intravascular Coagulation)
 Pertumbuhan janin terhambat, oligohidramnion, gawat janin

Ada
Terminasi kehamilan
Pertimbangkan kortikosteroid Tidak ada

 Beri kortikosteroid
 Kumpulkan dan periksa urine 24 jam
 Nilai gejala maternal, tekanan darah, produksi urine
 Evaluasi laboratorium per hari untuk fungsi ginjal dan sindrom
HELLP
 Observasi dapat dilakukan di ruang rawat setelah evaluasi
awal

Terminasi kehamilan
Hipertensi berat
Kontraindikasi manajemen ekspektatif
PRO EMERGENCY
PREEKLAMPSIA DAN EKLAMPSIA

Referensi

Wibowo Noroyono, Irwinda, Frsidiantiny, 2015, Diagnosis dan Tata laksana Pre Eklampsia, Pedoman
Nasional Pelayanan Kedokteran, Kemenkes RI

WHO, 2011, WHO recommendations for Prevention and Treatment of Pre Eclampsia and Eclampsia,
www.who.int/reproduvtivehealth/puublications/maternal_perinatal
health/9789241548335/en/index.html

Anda mungkin juga menyukai