NIM : 2130604174
MATA KULIAH : HUKUM PERIKATAN ISLAM
Pengadilan Negeri (PN) Sigli menggelar sidang perdata kasus sengketa tanah di
Kemukiman Tungue, Kecamatan Simpang Tiga, Pidie, di Ruang Sidang Cakra PN setempat
Rabu, 2 Februari 2022 kemarin. Dalam sidang dengan agenda pemeriksaan saksi penggugat dan
tergugat, ketua majelis hakim Daniel Saputra SH MH dan hakim anggota Erwin Susilo SH serta
Adji Abdillah SH, mendengar kesaksian satu saksi penggugat dan lima saksi tergugat. Sidang
Rabu, 2 Februari 2022 ini dimulai pada pukul 10.45 WIB. Mula-mula majelis hakim mendengar
kesaksian Munawar Abdussalam, 61 tahun, saksi yang dihadirkan penggugat. Dia memaparkan
bahwa ayahnya, Abdussalam Ibrahim, membeli tambak ikan seluas kurang lebih 12 hektare pada
Abdullah Ubit pada 1985 silam. Setelah dibeli, tambak tersebut dikelola oleh Syakubat,
pengelola tambak Abdussalam. "Saya terakhir ke lokasi pada tahun 1986,” kata dia. Tambak
ikan tersebut, kata dia lagi, dijual pada Budiman pada 1987 karena lokasi tambak itu jauh dari
jalan raya. “Keluarga kami juga memiliki tambak ikan yang lain. Pada saat jual-beli tambak
tersebut, tidak ada masalah. Baru-baru ini saya tahu ada permasalahan,” katanya. Kesaksian
Munawar dipatahkan oleh lima kesaksian saksi yang dihadirkan para penggugat.
Emi Surya, 58 tahun, warga Gampong Siren, Kecamatan Bandar Baru, Pidie jaya, adalah
putra M Thahir Hamzah, mantan Danramil Simpang Tiga, yang dalam kesaksiannya yang
berlangsung selama 32 menit di hadapan majelis hakim, menjelaskan bahwa tanah yang pernah
digarap ayahnya, M Thahir Hamzah, merupakan tanah milik masyarakat Kemukiman Tungue,
Kecamatan Simpang Tiga, Pidie.
“Almarhum ayah secara lisan diizinkan menggarap tanah hutan mangrove, yang terdiri
dari Tumpok Nam dan Lhok Lapan pada tahun 1977. Tapi dikarenakan Lhok Lapan terlalu luas,
ayah saya hanya menjadikan Tumpok Nam menjadi tambak ikan dengan cara membuat
pematang
di sana mewakafkan tanah tersebut untuk masjid agar tanah tersebut tidak jatuh ke tangan
orang yang salah,” katanya. Menurutnya, ganti rugi tambak ikan di tanah wakaf yang tambak,”
kata Emi Surya. Tambak ikan tersebut, kata dia lagi, saat itu dikelola oleh Hamid, penjaga
tambak M Thahir Hamzah. Sebagian penghasilan dibagikan ke Masjid Teungku Syiek di Pasi.
“Namun pada tahun 1984, karena ayah saya pindah tugas ke Koramil Geumpang,
tambak di Tumpok Nam seluas 3,7 hektare tersebut digantirugi oleh Abdullah Ubit senilai Rp 2,5
juta. "Bukan jual beli, tapi ganti rugi biaya buka lahan atau pengalihan hak usaha,” katanya,
menjelaskan. Saksi kedua yang dihadirkan tergugat adalah Muhammad, 55 tahun, warga
Gampong Ujong Gampong, Kecamatan Simpang Tiga. Ia adalah Ketua Panitia Masjid Teungku
Syiek di Pasi. Di Kemukiman Tungue, sebut Muhammad, tanah wakaf Masjid Teungku Syiek di
Pasi bukan hanya tambak ikan melainkan juga sawah. "Banyak tanah wakaf di sana tidak ada
surat. Surat keterangan baru dibuat pada tahun 2020 lalu,” katanya. Tanah wakaf di Tumpok
Nam, Tumpok Teungoh, dan Lhok Lapan (tambak ikan), kata dia lagi, saat ini sepenuhnya
dikuasai oleh Masjid Teungku Syiek di Pasi. “Saat ini nazirnya (pengelola wakaf) adalah
Teungku Iskandar, khatib masjid,” kata Muhammad. Kata Muhammad lagi, enam keuchik di
Kecamatan Simpang Tiga— Keuchik Gampong Blang Leue, Keuchik Gampong Mesjid Tungue,
Keuchik Gampong Ulee Barat, Keuchik Gampong Ujong Gampong, Keuchik Gampong Lheue,
dan Keuchik Gampong Cot Jaja— dan Sayed A. Gee tidak pernah menguasai tambak ikan
tersebut.“Jadi, para keuchik yang menjadi tergugat dalam perkara ini tidak memiliki hubungan
dengan tanah wakaf masjid,” kata Muhammad. Hakim menskor sidang selama sepuluh menit
sebelum saksi ketiga yang dihadirkan tergugat, Drs H Abdullah Puteh, 84 tahun, warga
Gampong Lheeu, Kecamatan Simpang Tiga, memamparkan kesaksiannya. Mantan Dosen di
Fakultas Tarbiyah UIN Ar-Raniry ini secara rinci menjelaskan asal-asul Lancang Tumpok Nam
atau tambak garam yang kelak berubah menjadi tambak ikan. Saat dirinya masih berumur 10
tahun pada 1958, ia masih menemukan bekas petak-petak tambak garam para petani garam di
Tumpok Nam. Tambak garam di Tumpok Nam, kata dosen PNS yang pensiun pada Januari 2014
lalu itu, ditinggalkan oleh para petani garam saat masuknya Jepang ke Aceh pada 1942. Ia
mendengar kisah tersebut dari ayahnya, Teungku Puteh dan ibunya, Ainsyah. Setelah tidak
digarap dalam waktu yang lama, hutan mangrove tumbuh mengelilingi lokasi lancang garam
tersebut. "Kemudian anak cucu dari para petani garam digarap M Thahir Hamzah pada Abdullah
Ubit sah-sah saja dilakukan. “Namun Abdulah Ubit
menjualnya pada Abdussalam itu sudah tidak wajar. Bagaimana bisa tanah milik orang banyak
dijual oleh beberapa orang, itu tidak sah menurut hukum syariah, karena pada dasarnya Abdullah
Ubit melakukan ganti rugi hak garap, bukan jual-beli. Di situlah letak permasalahannya,” kata
Abdullah Puteh. "Tidak sah suatu jual beli, kecuali hak milik sendiri; tidak sah menceraikan istri,
kecuali istri kita sendiri.” Sidang sempat memanas kala kuasa hukum penggugat, Teuku Safrizal
SH, menanyakan “dari mana saksi mengetahui tanah tersebut telah diwakafkan padahal saksi
baru kembali ke Simpang Tiga (Gampong Lheue) pada tahun 2014 karena sejak 1965 saksi
tinggal di Banda Aceh?” pada Abdullah Puteh. Masyarakat Kemukiman Tungue yang hadir
dalam sidang tersebut sempat tersulut emosi meski akhirnya hakim bisa menenangkan mereka.
Saksi keempat yang dihadirkan tergugat adalah M Adam, 65 tahun. Kesaksiannya hampir senada
dengan apa yang disampaikan saksi-saksi tergugat sebelumnya. Saksi kelima adalah mantan
Keuchik Gampong Lheeu, Iskandar Harun, 40 tahun. Dalam kesaksiannya yang berlangsung
selama 24 menit, dia mengatakan pada 2018, dirinya pernah didatangi Eddy (ahli waris
Budiman), putra Eddy, petugas pada BPN Pidie, dan anggota Polsek Simpang Tiga. Eddy
memintanya untuk menandatangi surat kepemilikan tambak ikan seluas 3,7 hektare di Tumpok
Nam. "Namun saya menolak menandatangani itu. Harus ada saksi dari masyarakat,” katanya,
"Karena saya tahu itu tanah wakaf masjid.” Beberapa waktu kemudian, Eddy kembali datang dan
meminta masyarakat Kemukiman Tungue untuk memfasilitasi masalah tersebut. “Masyarakat,
karena orang tua Eddy (Budiman) pernah membayar ganti rugi tambak tersebut pada
Abdussalam, menyetujui 1/2 tambak seluas 3,7 hektare tersebut menjadi milik Eddy,” kata
Iskandar Harun. "Namun saat pengukuran dilakukan, bukan Eddy yang datang, melainkan H
Ridwan. Dan yang diukur bukanlah Tumpok Nam, melainkan Lhok Lapan.”
SURAT PERMOHONAN FASILITAS MEDIASI
Kepada YTH :
Kepala Kantor :
Di
Palembang
Dengan hormat,
1. Nama : Nadia
2. Alamat : Jalan panca usaha
3. No telepon : 08954042255748
Dengan ini saya mengajukan permohonan fasilitas mediasi untuk menyelesaikan sengketa tanah
antara saya dengan pihak termohon sebagai berikut :
Dalam gugatan tiga penggugat ini, para tergugat juga digugat secara tanggung renteng
untuk membayar denda keterlambatan (dwangsom) dalam menyerahkan objek sengketa kepada
penggugat masing-masing sebesar Rp 1 juta untuk setiap hari keterlambatan nantinya, terhitung
sejak putusan dalam perkara ini telah mempunyai kekuatan hukum tetap sampai dengan para
tergugat menyerahkan objek sengketa.Tanah wakaf Masjid Teungku Syiek di Pasi semula
dikelola oleh mantan Danramil Simpang Tiga, M Thahir Hamzah atau Let Thahir, pada 1977.
Oleh Let Thahir, tanah wakaf tersebut dikembalikan ke masjid karena ia telah berpindah tugas ke
Koramil Geumpang. Pengelola selanjutnya, Abdullah Ubiet, membayar ganti rugi atas tambak
dan pematang tambak ikan, yang telah dibangun, pada Let Thahir senilai Rp 2,5 juta pada 1984.
Abdullah Ubiet diduga memalsukan surat-surat keuchik Gampong Lheue lalu diduga
menjual tanah wakaf (akta jual beli tanpa peta bidang tanah) pada Abdussalam Ibrahim senilai
Rp 7,5 juta pada 1985. Pada 1987, Abdussalam Ibrahim menjual tanah wakaf tersebut pada
Budiman, warga Gampong Kramat Dalam, Kecamatan Kota Sigli, senilai Rp 10 juta. Di tengah
operasi militer dan kosongnya Gampong Lheue, Budiman diduga semakin leluasa menyerobot
tanah wakaf dan memperluas tambak ikannya di Gampong Lheue.Pada 2017, ahli waris
Budiman—Eddy dan Junaidi— menjual tambak ikan tersebut pada H Ridwan senilai Rp 170
juta.Pada Selasa, 8 Februari 2022 mendatang, sidang tersebut dilanjutkan dengan agenda bukti
tambahan dan pemeriksaan saksi lanjutan.
Dengan ini saya menyatakan akan memenuhi /atau mematuhi ketentuan dan tata cara prosedur
penyelesaian sengketa yang di tetapkan oleh kantor badan pertahanan kota aceh besar.
Hormat kami
( ) ( )