Anda di halaman 1dari 76

BAB III

GAMBARAN RADIOLOGI

3.1 Radioposisi

Pemeriksaan radiografi kepala dan leher dilakkan untuk menilai

kelainan di bagian kepala, seperti tumor atau cedera kepala, evaluasi sinus

paranasal, evaluasi diagnostic trauma wajah dan deteksi gangguan pada

maksila dan gigi. Pemeriksaan radiografi kepala dan leher sangat penting

untuk penilaian awal dan merupakan pelopor untuk pemeriksaan

berikutnya. Radiografi kepala dan leher dibaca dengan menempatkan sisi

kanan foto (marker R) di sisi kiri pemeriksa atau sisi kiri foto (marker L)

di sisi kanan pemeriksa. Pada radiografi kepala dan leher terlihat sebagai

bayangan opak (putih) menandakan kepadatan tulang yang tinggi dan

bayangan lusen (hitam) menandakan bahwa sinar-X dapat menembus

objek tersebut. Syarat layak baca Radiologi kepala dan leher, yaitu12:

1. Identitas

Foto yang akan dibaca harus mencantumkan identitas yang lengkap

sehingga jelas apakah foto yang dibaca memang milik pasien tersebut.

2. Marker

Foto yang akan dibaca harus mencantumkan marker R (Right / kanan)

atau L (Left / Kiri).

3. Sebutkan anatomi dasar foto X-ray skull dengan tepat

Tulang tengkorak : Os frontale, occipitale, ethmoidale, sphenoidale,

35
36

parietale, temporale, sutura lambdoidea, sutura coronaria, sutura

sagitalis. Tulang rangka muka (Maxillofacial bones) : os maxilla, os

zygomaticum, cavum orbita, os nasal, os mandibula

4. Perhatikan apakah ada fraktur. Bila ada fraktur sebutkan jenis dan

lokasi frakturnya. Perhatikan apakah ada tanda-tanda peningkatan

tekanan intracranial impressio digititae, diastasis sutura cranialis

5. Lakukan penilaian terhadap tulang–tulang os maxillofacial. Perhatikan

apakah ada fraktur maupun dislokasi. Bila ada sebutkan jenis dan

lokasinya

6. Lakukan penilaian terhadap sinus paranaslis. Perhatikan anatomi sinus

(sinus maxillaris, sinus sphenoidalis, sinus forntalis dan sinus

ethmoidalis) dan ada tidaknya perselubungan sinusitis DD/ hematosinus

7. Lakukan penilaian terhadap cellulae mastoidea. Perhatikan anatomi

mastoid dan ada tidaknya perselubungan mastoiditis

8. Lakukan penilaian terhadap soft tissue. Perhatikan apakah ada swelling,

lesi opasitas maupun lusensi patologik

9. Buat kesimpulan dari gambaran radiologi yang ada. 12

Menurut Bontrager (2018) patologi pemeriksaan radiografi

cranium diantaranya adalah Fraktur, luka tembak, metastase, tumor

(neoplasma), adenoma, osteitis, myeloma. Menurut frank (2012)

patologi umum dikepala sehingga dilakukan pemeriksaan cranium AP

dan Lateral diantaranya adalah untuk menampakkan Fraktur,

mestatase, osteomilitis, osteitis, tumor. Menurut Twaddle cit


37

Prabawani (2011) pemeriksaan radiologi berupa rontgen polos kepala

dengan indikasi bila nyeri kepala. Menurut Price (2006) Nyeri kepala

pasca-trauma memerlukan foto rontgen kepala polos. 12

Pemeriksaan radiologi pada kepala dan leher di antaranya

terdapat pemeriksaan Foto Rontgen kepala (X-Ray), Magnetic

Resonance Imaging (MRI) dan Computed Tomography (CT Scan)

kepala. 12

3.1.1 Radioposisi Foto Rontgen kepala dan leher (X-Ray)

Menurut Bontrager (2018), teknik radiografi cranium adalah

teknik penggambaran cranium dengan menggunakan sinar- X untuk

memperoleh radiograf guna membantu menegakkan diagnosa.

Patologi Pemeriksaan Radiografi Cranium Menurut Bontrager (2018)

patologi pemeriksaan radiografi craniun diantaranya adalah Fraktur,

luka tembak, metastase, tumor (neoplasma), adenoma, osteitis,

myeloma. Menurut frank (2012) patologi umum dikepala sehingga

dilakukan pemeriksaan cranium AP dan Lateral diantaranya adalah

untuk menampakkan Fraktur, mestatase, osteomilitis, osteitis, tumor.

Menurut Twaddle cit Prabawani (2011) pemeriksaan radiologi berupa

rontgen polos kepala dengan indikasi bila nyeri kepala. Menurut Price

(2006) Nyeri kepala pasca-trauma memerlukan foto rontgen kepala

polos. 13

Persiapan Alat Dan Bahan, Meliputi : Alat dan bahan yang


38

harus dipersiapkan adalah Pesawat sinar-X, kaset dan film ukuran 24

30 cm, marker R dan L dan plester, apron, ID camera, grid, alat

prossesing film. Penggunaan identitas pada radiograf dengan marker

meliputi informasi tanggal pemeriksaan, nama atau nomor pasien,

kanan atau kiri dan institusi. 13

Persiapan pasien sebelum dilakukan pemeriksaan radiografi

cranium antara lain melepaskan benda-benda logam, plastik atau

benda lain yang terdapat dikepala. Pengambilan radiograf dengan

pasien berdiri atau tiduran (Bontrager, 2018).12

X-ray adalah salah satu bentuk dari radiasi elektromagnetik

dengan panjang gelombang berkisar 10 nm – 100 pm dan memiliki

energy dalam rentang 100 eV – 100 keV. Densitas tiap organ atau

struktur tubuh berbeda-beda, ditentukan pada kemampuan substansi

menembus sinar X. Substansi yang mudah ditembus sinar X akan

memberikan bayangan hitam (radioolusen) sedangkan yang sulit

ditembus akan memberikan bayangan putih (radiopak). 13

Radiopaque Logam, kontras media


Moderately
Tulang, struktur yang mengalami kalsifikasi
Radiopaque
Jaringan lunak, cairan/darah, pembuluh
Intermediate darah, otot,
Kartilago
Moderately
Jaringan lemak
Radioluscent
39

Radioluscent Udara, gas

Tabel 1. Densitas foto X-ray13

Keuntungan Keterangan
- Terdapat efek paparan sinar radiasi
- Biaya lebih murah
- Hanya menampilkan gambar dalam
- Cepat
- Sederhana format 2 dimensi
- Banyak tersedia - Gambaran anatomi tampak overlap/

Tabel 2. Keuntungan dan kerugian menggunakan foto X-Ray14

A. Teknik Radiografi Cranium (Standar)

1. Proyeksi Anteroposterior (AP) Axial (Towne method)

Menurut Bontrager (2018), tujuan dilakukannya proyeksi

anterior posterior axial adalah untuk menampakan patologi fraktur,

neoplastic dan osteitis. Teknik pemeriksaan cranium proyeksi Antero

Posterior Axial adalah sebagai berikut :

a. Posisi Pasien: Atur pasien dalam posisi berdiri atau tidur di meja

pemeriksaan.

b. Posisi Objek:

1. Tekan dagu, hingga Orbitomeatal Line(OML) tegak lurus terhadap

meja pemeriksaan. Jika pasien tidak kooperatif tekan leher pasien

sehingga Infraorbitomeatal Line (IOML) tegak lurus dengan meja

pemeriksaan. Tambahkan alat bantu radiolusent dibawah kepala jika

diperlukan

2. Luruskan midsagital plane (MSP) terhadap sinar pusat sampai garis


40

tengah grid

3. Pastikan kepala tidak ada rotasi

4. Pastikan vertex tengkorak masuk luas lapangan sinar x

c. Sinar Pusat

1. Sudutkan 300 terhadap OML atau 370 terhadap(IOML), jika dagu

pasien tidak memungkinkan untuk ditekan sehingga OML tegak lurus

terhadap kaset bahkan dengan alat bantu yang diletakkan di kepala,

maka IOML dapat di tempatkan tegak lurus terhadap kaset dengan

sinar pusat disedutkan 370 caudad. Sudut 300 antara OML dan kaset

untuk menampakkan gambaran anatomi yang sama.

2. Titik bidik pada MSP 6,5 cm diatas glabella sampai melewati

foramen magnum

3. Minimum Source image receptor distance (SID) 100 cm.

d. Kolimasi

Kolimasi hingga bagian luar tengkorak

e. Pernafasan

Pasien menahan nafas selama eksposi berlangsung

f. Kriteria Radiograf

Tampak tulang oksipital, petrosum piramid dan foramen magnum


41

dengan dorsum sellae dan posterior clinoid di bayangan foramen

magnum. 7

.7
Gambar 5. Tengkorak proyeksi AP

2. Proyeksi Lateral

Menurut Bontrager (2018), tujuan dilakukannya proyeksi

lateral adalah untuk menampakkan patologi fraktur, neoplasma dan

osteitis, trauma rutine untuk menampakan tengkorak kanan dan kiri,

untuk mengambarkan udara pada sinus spenoid. Teknik pemeriksaan

cranium proyeksi lateral adalah sebagai berikut :

a. Posisi Pasien: Atur pasien dalam keadaan erect, recumbent semiprone

b. Posisi Objek

1. Luruskan MSP sejajar dengan meja pemeriksaan

2. Luruskan Interpupillary Line (IPL) tegak lurus dengan meja

pemeriksaan 12

3. Fleksikkan leher hingga IOML tegak lurus terhadap tepi depan


42

meja pemeriksaan

c. Sinar Pusat

1. Arahkan sinar pusat tegak lurus kaset

2. Titik bidik 5 cm superior EAM

3. Minimum SID 100 cm

d. Kolimasi : Kolimasi hingga bagian luar tengkorak

e. Pernafasan : Pasien tahan nafas selama ekposi berlangsung

f. Kriteria Radiograf : Tampak cranium secara lateral, bagian dalam

sella tursica termasuk anterior dan posterior clinoid dan tampak

dorsum sella. 7

.7
Gambar 6. Tengkorak proyeksi Lateral

3. Proyeksi Posteroanterior (PA) Axial (Caldwell Method)

Menurut Bontrager (2018), tujuan dilakukannya proyeksi PA


43

adalah untuk menampakkan patologi fraktur, neoplasma dan osteitis.

Teknik pemeriksaan cranium proyeksi PA Axial adalah sebagai

berikut :

a. Posisi Pasien: Atur pasien dalam posisi berdiri atau prone

b. Posisi Objek:

1. Letakkan hidung dan dahi pasien di atas meja pemeriksaan

2. Fleksikan leher hingga OML tegak lurus kaset

3. MSP tubuh diatur tepat dipertengahan meja pemeriksaan

c. Sinar Pusat

1. Arahkan sinar 15º caudad

2. Pilihan lain arah sinar pusat 25 0 terhadap kaset sampai 300 dan

titik bidik keluar dari nasion. Pilihan lainnya penyudutan 250

sampai 300 caudad akan lebih baik menampakkan superior orbital

fisura, foramen magnum dan inferior orbital rim.

3. Minimum SID 100 cm

d. Kolimasi: Kolimasi hingga bagian luar tengkorak

e. Pernafasan: Pasien tahan nafas selama ekposi berlangsung

f. Kriteria Radiograf: Tampak tulang Frontal, Besar dan kecil sayap

spenoid, tampak superior orbital, anterior sinus etmoid jarak superior


44

orbital. 7

4. Proyeksi PA (Postero Anterior)

Menurut Bontrager (2018).Tujuan dilakukannya proyeksi PA

adalah untuk menampakkan patologi fraktur, neoplasma dan osteitis.

Teknik pemeriksaan cranium proyeksi PA adalah sebagai berikut :

a. Posisi Pasien: Atur pasien dalam posisi berdiri atau prone

b. Posisi Objek:

1. Letakkan hidung pasien dan dahi pada meja pemeriksaan

2. Fleksikan leher sehingga OML tegak lurus terhadap kaset

3. MSP tubuh diatur tepat dipertengahan kaset

c. Sinar Pusat:

1. Pusat sinar tegak lurus kaset/sejajar OML keluar pada glabela

2. Minimum SID 100 cm

d. Kolimasi: Kolimasi hingga bagian luar tengkorak

e. Pernafasan: Pasien tahan nafas selama ekposi berlangsung

f. Kriteria Radiograf: Tampak tulang frontal , crita galli, internal

auditory canal, frontal dan anterior sinus etmoid, petrous ridge, greter
45

dan sayap spenoid dan dorsum sella. 7

B. PEMERIKSAAN RADIOGRAF ORBITA DAN FORAMEN

OPTICUM

Patologi Pemeriksaan Radiografi orbita dan foramen opticum

Menurut Bontrager (2018) patologi pemeriksaan radiografi craniun

diantaranya adalah Fraktur, metastase, tumor (neoplasma) dan corpus

alienum. 8

Persiapan Alat Dan Bahan, Meliputi : Alat dan bahan yang

harus dipersiapkan adalah Pesawat sinar-X, kaset dan film ukuran 24 x

30 cm, marker R dan L dan plester, apron, ID camera, grid, alat

prossesing film. Penggunaan identitas pada radiograf dengan marker

meliputi informasi tanggal pemeriksaan, nama atau nomor pasien,

kanan atau kiri dan institusi. 8

Persiapan pasien sebelum dilakukan pemeriksaan radiografi

orbita dan foramen opticum antara lain melepaskan benda-benda

logam, plastik atau benda lain yang terdapat dikepala. Pengambilan

radiograf dengan pasien berdiri atau tiduran (Bontrager, 2018). 8

1. Proyeksi Parieto Orbital Oblique (Rhese Method)

a. Posisi Pasien:
46

1. pasien dalam posisi semi prone pada meja pemeriksaan.

2. Meletakkan lengan pasien pada posisi yang nyaman, dimana

lengan pasien difleksikan, serta kaki yang dekat dengan meja

pemeriksaan diluruskan dan kaki yang lainnya ditekuk untuk

fiksasi.

b. Posisi Objek :

1. Meletakkan orbita yang akan difoto pada pertengahan kaset.

2. Memfleksikan kepala pasien agar Achantio Meatal Line (AML)

tegak lurus terhadap kaset.

3. Merotasikan kepala pasien agar MSP kepala membentuk sudut

530 terhadap kaset.

4. Os zygomaticum, hidung, dagu menempel pada kaset.

5. Usahakan kepala pasien tidak ada rotasi saat eksposi. Gambar

2.4.Proyeksi Parieto Orbital Oblique (Rhese Method)(Bontrager,

2018)

c. Central Ray: Vertikal tegak lurus kaset.

d. Central Point: Pada pertengahan orbita yang dekat dengan film.

e. Respirasi: Tahan nafas selama eksposi.

f. FFD: 100 cm
47

g. Kriteria Radiograf

1. Foramen dan canal opticus terlihat dengan jelas.

2. Keseluruhan lingkar orbita terlihat.

3. Supra orbital margin terletak pada satu garis horizontal.

4. Tampak os petrosum di bawah orbita. 7

C. TEKNIK PEMERIKSAAN RADIOGRAFI FACIAL BONE

Patologi pemeriksaan radiografi facial bone diantaranya fraktur

atau tumor. Persiapan Alat Dan Bahan, Meliputi : Alat dan bahan yang

harus dipersiapkan adalah Pesawat sinar-X, kaset dan film ukuran 18 x

24 cm, marker R dan L dan plester, apron, ID camera, grid, alat

prossesing film. Penggunaan identitas pada radiograf dengan marker

meliputi informasi tanggal pemeriksaan, nama atau nomor pasien, kanan

atau kiri dan instiusi. Persiapan pasien sebelum dilakukan pemeriksaan

radiografi facial bone antara lain melepaskan benda-benda logam, plastik

atau benda lain yang terdapat dikepala. Pengambilan radiograf dengan

pasien berdiri atau tiduran (Bontrager, 2018). 8

1. Proyeksi Lateral Facial Bone

a. Posisi Pasien:

1. Pasien prone atau erect


48

2. MSP tubuh diletakkan pada pertengahan grid, pastikan kepala true

lateral dengan IR

b. Posisi Obyek:

1. Mid Sagittal Plane Kepala tegak lurus dengan bidang film

2. IPL sejajar bidang film

3. Perintahkan pasien untuk tahan nafas selama ekspose. Gambar

3.3.Proyeksi Lateral Facial Bone (Bontrager, 2018)

c. Central Ray: Vertikal tegak lurus.

d. Central Point: Pertengahan outer canthus dengan EAM 21

e. Respirasi: Tahan nafas selama eksposi.

f. FFD: 100 cm

g. Kriteria Radiograf: Superimposed Facial bones. Greater wings of

sphenoid, orbital roofs, sella turcica, zygomaticum, dan mandibula

tervisualisasi dengan baik. 8


49

8
Gambar 7. Proyeksi Lateral Facial bone.

2. Proyeksi Parietoacanthial (Waters Method)

a. Posisi Pasien:

1. Pasien Prone di atas meja pemeriksaan

2. MSP di pertengahan meja pemeriksan

b. Posisi Objek :

1. Ekstensikan kepala hingga dagu menempel meja pemeriksaan

2. Pastikan MML tegak lurus dengan IR

3. IOML membentuk sudut 37 dengan IR Gambar 3.5.Proyeksi

Parietoacanthial (Waters Method) (Bontrager, 2018)

c. Central Ray: Vertikal tegak lurus IR

d. Central Point: Os parietal menuju acanthion 22

e. FFD: 100 cm

f. Kriteria Radiograf Os. Maksilaris, nasal septum, os. zygomaticum, arcus

zygomaticum, dan anterior nasal spine. extensi kepala yang benar akan

memperlihatkan petrosum di inferior sinus maxillaris. 8

3. Proyeksi PA Axial (Caldwell Method)

a. Posisi Pasien: Atur pasien dalam posisi berdiri atau prone


50

b. Posisi Objek:

1. Letakkan hidung dan dahi pasien di atas meja pemeriksaan

2. Fleksikan leher hingga OML tegak lurus kaset

3. MSP tubuh diatur tepat dipertengahan meja pemeriksaan

c. Sinar Pusat:

1. Arahkan sinar 15º caudad

2. Pilihan lain arah sinar pusat 250 terhadap kaset sampai 300 dan titik

bidik keluar dari nasion. Pilihan lainnya penyudutan 250 sampai 30 0

caudal akan lebih baik menampakkan superior orbital fisura, foramen

magnum dan inferior orbital rim.

d. FFD 100 cm

e. Kolimasi: Seluas lapangan facial bone

f. Pernafasan: Pasien tahan nafas selama ekposi berlangsung

g. Kriteria Radiograf: Orbital rima, maxillae, nasal septum,

zygomaticum, dan anterior nasal spine tervisualisasi dengan baik. 7

D. TEKNIK PEMERIKSAAN RADIOGRAFI TEMPORAL

MANDIBULAR JOINT

Patologi Pemeriksaan Radiografi Temporo Mandibular Joint

Menurut Bontrager (2018) patologi pemeriksaan radiografi TMJ


51

diantaranya adalah dislokasi pada sendi temporo madibular. Persiapan

Alat Dan Bahan, Meliputi : Alat dan bahan yang harus dipersiapkan

adalah Pesawat sinar-X, kaset dan film ukuran 18 x 24 cm, marker R

dan L dan plester, apron, ID camera, grid, alat prossesing film.

Penggunaan identitas pada radiograf dengan marker meliputi

informasi tanggal pemeriksaan, nama atau nomor pasien, kanan atau

kiri dan institusi. 8

Tujuan Pemeriksaan : Pemeriksaan temporal mandibula joint

(TMJ) adalah suatu pemeriksaan secara radiologis dari persendian

antara temporal dan mandibula, yang dilakukan dengan proyeksi AP

Axial atau Inferosuperior Transfacial. 7

Persiapan pasien sebelum dilakukan pemeriksaan radiografi

TMJ antara lain melepaskan benda-benda logam, plastik atau benda

lain yang terdapat kepala dan sekitar leher. 7

1. Proyeksi Modified Towne Method

a. Posisi Pasien: Posisikan pasien diposisi supine atau erect

b. Posisi Objek:

1. MSP (Mid Sagital Plane) pada pertengahan kaset

2. Lengan diposisi yang nyaman

3. Atur bahu agar posisinya sama


52

4. Ekstensikan dagu hingga OML tegak lurus film 26 Gambar 4.4.

Modified Towne Method (Bontrager,2018)

c. Central Ray: 37º Caudal

d. Central Point: 3 inchi atau 7,5 cm diatas nasion

e. Kolimasi : Atur sesuai lapangan penyinaran.

f. FFD 100 cm

g. Kriteria Radiograf :

1. Kepala tidak mengalami rotasi.

2. Tampak gambaran axial dari procesus condyloid dan mandibula

fossae.

3. Condilus dan TMJ terlihat pada pemeriksaan open mouth.

4. Terjadi sedikit superposisi oleh condilus pada pemeriksaan closed

mouth. 8

2. Proyeksi Modified Law Method

a. Posisi Pasien: Semi prone atau berdiri PA oblique.

b. Posisi Objek:

1. Kepala true lateral. Letakkan sisi yang diperiksa menempel pada

kaset. Akan terjadi sedikit tilt, jadi interpupilary line membentuk


53

sudut 10º-15 º dari posisi tegak lurus. Kepala juga akan mengalami

putaran dari posisi lateral, jadi MSP membentuk sudut 15 º

terhadap bidang kaset.

2. Hal ini mencegah superposisi daerah yang akan difoto dengan

vertebra cervicalis. Gambar 4.6 Proyeksi Modified Law Method

(Bontrager,2018)

c. CentralRay : 25º caudad

d. Sinar Pusat Pertengahan kaset

e. Kolimasi : Kolimasi hingga bagian luar tengkorak

f. Kriteria Radiograf :

1. Tampak gambaran lateral oblique dari TMJ pada posisi open

mouth dan closed mouth.

2. Mandibula pada sisi yang tidak menepel pada kaset tidak

mengalami overlapping dengan daerah TMJ.

3. TMJ bebas dari superposisi dengan vertebra cervicalis.

4. Pada pemeriksaan closed mouth, condyle akan terletak pada

mandibular fossa

5. Pada pemeriksaan open mouth, condyle akan terletak pada

articular tubercle apabila pasien membuka mulutnya dengan lebar.


54

E. TEKNIK PEMERIKSAAN RADIOGRAFI MANDIBULA.

Patologi Pemeriksaan Radiografi orbita dan foramen opticum

Menurut Bontrager (2018) patologi pemeriksaan radiografi craniun

diantaranya adalah Fraktur, metastase, tumor (neoplasma) dan corpus

alienum. Persiapan Alat Dan Bahan, Meliputi : Alat dan bahan yang

harus dipersiapkan adalah Pesawat sinar-X, kaset dan film ukuran 18 x

24 cm, marker R dan L dan plester, apron, ID camera, grid, alat

prossesing film. Penggunaan identitas pada radiograf dengan marker

meliputi informasi tanggal pemeriksaan, nama atau nomor pasien,

kanan atau kiri dan institusi. 8

Tujuan Pemeriksaan : Pemeriksaan Mandibula adalah suatu

pemeriksaan secara radiologi dari os. mandibula, yang dilakukan

dengan proyeksi Axiolateral, PA/PA Axial, AP Axial (Towne

Method) dan SMV D. Persiapan Pasien Persiapan pasien sebelum

dilakukan pemeriksaan radiografi mandibula antara lain melepaskan

benda-benda logam, plastik atau benda lain yang terdapat dikepala &

leher. 8

1. Proyeksi AP AXIAL

a. Posisi Pasien:
55

1. Pasien supine diatas meja pemeriksaan

2. Letakkan ke dua lengan tangan disamping tubuh

b. Posisi Obyek:

1. Mengatur MSP kepala pada pertengahan kaset dan meja

pemeriksaan

2. Mengatur IPL pada pertengahan CR

3. Kepala flexi agar IOML tegak lurus tehadap IR (AP) / OML tegak

lurus terhadap IR

4. (AP Axial)

5. Mengatur kepala agar tidak terjadi rotasi 31 Gambar 5.4. Proyeksi

AP Axial (Bontrager,2018)

c. Centrar Ray:

1. Vertikal tegak lurus IR (AP)

2. Sudut sinar 35 – 40 caudal (AP Axial)

d. Central Point:

1. Pada achantion: menampakkan ramus (AP)

2. Pada center lips: menampakkan general survey (AP)

3. Pada sympisis menti: menampakkan corpus (AP)


56

4. Pada glabella (AP Axial)

e. FFD :100 cm

f. Kriteria Radiograf : Proyeksi AP :Kedua sisi dari body mandibula dan

ramus simetris. Tampak keseluruhan mandibula. 7

2. Proyeksi PA dan PA AXIAL

a. Posisi Pasien:

1. Pasien diposisikan erect membelakangi sinar

2. Tempatkan lengan di samping badan

b. Posisi Obyek:

1. Metakkan pasien dimana dahi dan hidung pasien menempel pada

bidang kaset.

2. Mengatur OML tegak lurus dengan kaset

3. Mengatur kepala agar MSP tegak lurus pada bidang kaset.

4. Memastikan agar tidak ada rotasi pada kepala.

c. Central Ray:

1. Horizontal tegak lurus film (PA)

2. 20-25 º cephalad (PA Axial)

d. Centrar Point:
57

1. Melalui occipital, keluar pada center lips (PA)

2. Melalui occipital, keluar pada accanthion (PA Axial)

e. FFD:100 cm

f. Ekspose:Tahan napas

g. Hasil Radiograf: Proyeksi PA

1. Kedua sisi dari body mandibula dan ramus simetris

2. Tampak keseluruhan mandibula. 7

.7
Gambar 8. Mandibula Proyeksi PA

2. Proyeksi AXIO LATERAL

a. Posisi pasien: Posisi erect/ supine

b. Posisi obyek:

1. mengatur kepala pasien dalam posisi lateral dengan IPL tegak lurus

dengan kaset.
58

2. Leher pasien di ekstensikan agar axis mandibula paralel dengan

kaset untuk mencegah superimposisi dari V.C.

3. Rotasikan kepala pasien pada keadaan obliq; (a) Rotasikan MSP 0 º

untuk pemeriksa ramus (b) Rotasikan MSP 10-15 º untuk

pemeriksaan general (c) Rotasikan MSP 30 º untuk pemeriksaan

corpus 34 (d) Rotasikan MSP 40 º untuk pemeriksaan mentum

Gambar 5.9.Proyeksi Axiolateral (Bontrager,2018)

c. Central Ray: 25 º chepalad

d. Central Point: Pada angulus mandibula (1.7 cm anterior dan 5 cm

inferior MAE)

e. FFD :100 cm

f. Hasil Radiograf: RAMUS dan CORPUS

1. Tidak overlap antara kedua ramus

2. Ramus dan corpus tidak magnifikasi

3. Tidak superposisi antara ramus dan V Cervikal. 7


59

.7
Gambar 9. Mandibula Proyeksi Lateral

3. Proyeksi Submentovertical (SMV)

a. Posisi Pasien: Posisikan pasien berdiri di depan bucky stand

mengahadap tabung sinar-x

b. Posisi Obyek:

1. Mengatur MSP tubuh berada dipertengahan kaset 35

2. Mengatur leher full ekstensi, sehingga bagian vertex kepala

menempel dengan bucky stand dan MSP kepala vertikal dengan

kaset

3. Mengatur IOML agar sebisa mungkan paralel dengan kaset

4. Memastikan tidak ada rotasi pada kepala Gambar 5.9.Proyeksi

SMV Mandibula (Bontrager,2018)

c. Central Ray: Tegak lurus dengan IOML

d. Central Point: Pada MSP berada di pertengahan antara kedua angulus

mandibula

e. FFD :100 cm

f. Hasil Radiograf:

1. Jarak antara bagian lateral kepala dengan mandibula sama.


60

2. Condylus mandibula berada di anterior dari pars. Petrosa. 8

F. TEKNIK PEMERIKSAAN RADIOGRAFI OS NASAL

Patologi Pemeriksaan Radiografi Nasal Menurut Bontrager

(2018) patologi pemeriksaan radiografi nasal diantaranya adalah

Fraktur, metastase, tumor (neoplasma) dan corpus alienum. 8

Persiapan Alat Dan Bahan, Meliputi : Alat dan bahan yang

harus dipersiapkan adalah Pesawat sinar-X, kaset dan film ukuran 18 x

24 cm, marker R dan L dan plester, apron, ID camera, grid, alat

prossesing film. Penggunaan identitas pada radiograf dengan marker

meliputi informasi tanggal pemeriksaan, nama atau nomor pasien,

kanan atau kiri dan institusi.8.

Tujuan Pemeriksaan : Pemeriksaan Mandibula adalah suatu

pemeriksaan secara radiologi dari os. nasal, yang dilakukan dengan

proyeksi lateral dan tangensial. Persiapan pasien sebelum dilakukan

pemeriksaan radiografi nasal antara lain melepaskan benda-benda

logam, plastik atau benda lain yang terdapat dikepala & leher. D.

Anatomi Fisiologi Os. Nasal Gambar 6.1. Inferior nasal conchae

(Bontrager,2018) 37 Gambar 6.2. Bony nasal septum and vomer

(Bontrager,2018). 8

1. Proyeksi Lateral Nasal


61

a. Posisi Pasien: Pasien semiprone di atas meja pemeriksaan

b. Posisi Objek:

1. MSP (Mid Sagittal Plane) sejajar kaset

2. IPL (Interpupillary Line) tegak lurus dengan kaset

3. Leher difleksikan sehingga IOML (Infra Orbito Meatal Line)

sejajar dengan kaset

4. Kaset diatur dalam posisi melintang dan dibagi dua untuk dua kali

ekspose (Bontrager, 2018)

c. Central Ray: Arah sinar vertikal tegak lurus kaset

d. Central Point: Titik bidik yaitu 1.3 cm distal nasion menuju tengah film

38

e. FFD:100 cm

f. Kriteria Radiograf: Tampak gambaran lateral tulang hidung dan

jaringan lunak, tampak sutura frontonasal, tampak acanthion. 7


62

7
Gambar 10. Proyeksi lateral nasal.

2. Proyeksi Tangensial

a. Posisi Pasien: Pasien telentang atau tengkurap di atas meja

pemeriksaan

b. Posisi Objek:

1. Kepala dengan posisi dagu full ekstensi diletakkan pada

pertengahan kaset

2. MSP (Mid Sagittal Plane) kepala tegak lurus kaset

3. GAL (Glabelloalveolar Line) sejajar dengan kaset, dalam satu

garis horizontal.

c. Central Ray: Arah sinar ditujukan pada nasion dengan sudut yang

tepat agar sejajar dengan GAL (Glabelloalveolar Line)

d. Central Point: Titik bidik yaitu pada GAL (Glabelloalveolar Line)

menuju tengah film 250 caudad

e. FFD: 100 cm

f. Kriteria Radiograf: Tampak gambaran tulang hidung dan jaringan

lunak. Dapat memperlihatkan fraktur pada bagian medial dan lateral. 8

G. TEKNIK PEMERIKSAAN RADIOGRAFI ARCUS

ZYGOMATICUM
63

Patologi Pemeriksaan Radiografi Menurut Bontrager (2018)

patologi pemeriksaan radiografi arcus zygomaticum diantaranya adalah

Fraktur, metastase, tumor (neoplasma) dan corpus alienum. Persiapan

Alat Dan Bahan, Meliputi : Alat dan bahan yang harus dipersiapkan

adalah Pesawat sinar-X, kaset dan film ukuran 18 x 24 cm, marker R dan

L dan plester, apron, ID camera, grid, alat prossesing film. Penggunaan

identitas pada radiograf dengan marker meliputi informasi tanggal

pemeriksaan, nama atau nomor pasien, kanan atau kiri dan instiusi. 8

Tujuan Pemeriksaan : Pemeriksaan arcus zygomaticum adalah

suatu pemeriksaan secara radiologi dari arcus zygomaticum, yang

dilakukan dengan proyeksi SMV dan Tangensial. Persiapan pasien

sebelum dilakukan pemeriksaan radiografi arcus zygomaticum antara lain

melepaskan benda-benda logam, plastik atau benda lain yang terdapat

dikepala & leher. 8

1. Proyeksi Submentovertical

a. Posisi Pasien: Posisikan pasien berdiri di depan bucky stand

mengahadap tabung sinar-x

b. Posisi Obyek:

1. Mengatur MSP tubuh berada dipertengahan kaset

2. Mengatur leher full ekstensi, sehingga bagian vertex kepala

menempel dengan bucky stand dan MSP kepala vertikal dengan


64

kaset 41

3. Mengatur IOML agar sebisa mungkan paralel dengan kaset

4. Memastikan tidak ada rotasi pada kepala.

c. Central Ray: Tegak lurus dengan IOML

d. Central Point: Pada MSP berada di pertengahan antara kedua angulus

mandibula

e. FFD :100 cm

f. Hasil Radiograf:

1. Jarak antara bagian lateral kepala dengan mandibula sama.

2. Condylus mandibula berada di anterior dari pars. Petrosa . 8

.8
Gambar 11. Proyeksi Submentovertical

2. Proyeksi Tangensial

a. Posisi Pasien: Posisikan pasien berdiri di depan bucky stand

mengahadap tabung sinar-x


65

b. Posisi Obyek:

1. Rotasikan kepala 15 kearah objek yang akan diperiksa 42

2. Mengatur leher full ekstensi.

3. Mengatur ML agar sebisa mungkan paralel dengan kaset

4. IOML tegak lurus CR Gambar 7.4. Proyeksi Tangensial

c. Central Ray: Tegak lurus dengan IOML

d. Central Point: Pertengahan Arcus Zygomaticum

e. FFD :100 cm

f. Hasil Radiograf: Arcus Zygomaticum tervisualisasi kanan atau kiri tanpa

adanya superposisi. 8

H. TEKNIK PEMERIKSAAN RADIOGRAFI SINUS PARA NASAL

(SPN)

Patologi Pemeriksaan Radiografi Menurut Bontrager (2018)

patologi pemeriksaan radiografi arcus zygomaticum diantaranya adalah

sinusitis, metastase, dan tumor (neoplasma). Persiapan Alat Dan Bahan,

Meliputi : Alat dan bahan yang harus dipersiapkan adalah Pesawat sinar-

X, kaset dan film ukuran 18 x 24 cm, marker R dan L dan plester, apron,

ID camera, grid, alat prossesing film. Penggunaan identitas pada

radiograf dengan marker meliputi informasi tanggal pemeriksaan, nama


66

atau nomor pasien, kanan atau kiri dan institusi. 8

Tujuan Pemeriksaan : Pemeriksaan SPN adalah suatu

pemeriksaan secara radiologi dari SPN, yang dilakukan dengan proyeksi

Lateral, Caldwell dan Waters. Persiapan pasien sebelum dilakukan

pemeriksaan radiografi SPN antara lain melepaskan benda-benda logam,

plastik atau benda lain yang terdapat dikepala & leher. 8

1. Proyeksi Water’s

a. Posisi pasien: Pasien erect dengan dagu dan menempel pada grid/bucky

stand.MSP pasien berada di tengah- tengah grid.

b. Posisi obyek: MSP kepala di atur di tengah kaset dan diatur tegak lurus

meja pemeriksaan, Atur dagu menempel pada kaset atau kepala

diekstensikan hingga OML membentuk sudut 37 terhadap kaset.

c. Central Point: Masuk occiptal keluar acantion menuju tengah kaset

d. Centrar Ray: Horizontal tegak lurus kaset

e. FFD:100 cm

f. Hasil radiograf:

1. Tampak os zygomatikum, septum nasi, cavum, os nasal,

conchanasal.

2. Tampak os petrosum di bawah sinus maksila.


67

3. Tampak vomer palatum lakrimale. Tampak os mandibula dan air cell

mastoid.

4. Tampak sinus ethmoid, frontal dan maksila. 7

.7
Gambar 12. Proyeksi Water’s

2. Proyeksi PA Axial Caldwell

a. Posisi pasien: Pasien berdiri menghadap grid. MSP kepala pasien berada

di tengah grid.

b. Posisi obyek: Atur dahi dan hidung menempel kaset. Pusatkan nassion di

tengah kaset Atur OML tegak lurus kaset. Jika grid dipasang vertikal

dan tidak dapat sudutkan maka yang menempel grid hanya hidung dan

dahi diberi pengganjal setebal 15 0 . Jika grid dapat disudutkan 150 tidak

perlu diberi pengganjal.

c. Central Ray: Horizontal tegak lurus kaset


68

d. Central Point: Occipitall dan keluar melalui nasion menuju tengah film.

e. FFD:100 cm

f. Hasil Radiograf: 47 Sinus frontalis terletak di atas sutura frontanasal dan

bagian anterior dari sinus ethmoidalis terletak di atas petrous ridge.

Petrous ridge terlihat simetris dan terletak di sepertiga inferior orbita. 7

.7
Gambar 13. Proyeksi Pa caldwell

3. Proyeksi water’s open mouth

a. Posisi pasien: Pasien berdiri menghadap bucky stand

b. Posisi obyek: Atur MSP tegak lurus menuju tengah kaset/grid. Leher

ekstensi, tempatkan dagu dan hidungberlawanan dengan permukaan

kaset/grid. Pastikan tidak ada rotasi kepala. Atur OML membentuk sudut

37° terhadap kaset. Instruksikan pada pasien untuk membuka mulut.

Atur acantion di tengah kaset.

c. Central ray: Horizontal tegak lurus kaset


69

d. Central point: Masuk occipital keluar melelui acantion menuju tengah

kaset

e. FFD: 100 cm

f. Kriteria radiograf: Kedua orbita dan sinus maxilarys simetris.Tampak

sinus frontal, maksilari dan sphenoid. Tidak adanya rotasi, ditandai

dengan jarak antara kedua tepi lateral dari dari orbit sama. 7

I. Teknik pemeriksaan Laring dan Faring

1. Posisi AP Laring dan Faring

a. Posisi pasien : Supine atau erect

b. Posisi objek

1. Tempatkan MSP tubuh pada pertengahan garis grid

2. Atur tepi atas kaset setinggi auricle ( batas atas)

3. Apabila pasien berdiri berat tubuh dibebankan pada kedua kaki

4. Atur kedua bahu simetris

5. Letakkan pertengahan kaset setinggi C4 atau jakun

6. Kepala hiperekstensi dan pandangan lurus kedepan

c. Central ray : 10 derajat kearah cephalad

d. Central point : pada jakun (C4) / cartilago thyroid


70

e. Ukuran kaset : 18x24 cm

f. Ekspose : pada saat pasien melalukan ponasi ‘’I’’

g. Soft tissue teknik

h. Faktor eksposisi : 50-52 kVp, 10-12 mAs

i. FFD : 100 cm. 10

Gambar 14. Posisi AP Laring dan Faring. 10

2. Posisi Lateral Laring dan Faring

a. Posisi pasien : Erect/ duduk menyamping pada salah satu sisi dan atur

bagian anterior temporomandibular joint tepat ditengah grid.

b. Posisi objek

1. Atur kedua bahu simetris

2. MSP dipertengahan kaset

3. Atur daerah laring dan faring di pertengahan kaset


71

4. Tepi atas kaset setinggi auricle

5. Tekan bahu dan letakkan tangan pada posterior tubuh

6. Pandangan lurus kedepan

c. Central ray : horizontal tegak lurus terhadap kaset

d. Central point : pada jakun (C4) dibawah proc. Mastoideus diatas

kartilago tiroid melalui vertebrae cervikal 4

e. Ukuran kaset : 18x24 cm

f. Ekspose : pada saat pasien melalukan ponasi ‘’I’’

g. Soft tissue teknik

h. Faktor eksposisi : 50-12 kVp, 10-12 mAs

i. FFD : 100 cm. 10

Gambar 15. Posisi Lateral laring dan faring. 10

3.1.2 Computed Tomography (CT Scan)


72

Computed Tomography (CT) adalah salah satu alat pencitraan

diagnostik yang paling umum tersedia di rumah sakit pada saat sisi ini. CT

mempunyai keunggulan dalam hal efisiensi pencitraan dan biaya. CT

belum dianggap sebagai modalitas pencitraan molekuler karena tidak

memiliki senyawa pengontrasan terarah spesifik (specific targeted

contrast agent). Padahal CT sangat berpotensi untuk dikembangkan

menjadi modalitas pencitraan yang berbasis molekuler sehingga di masa

depan akan dimungkinkan untuk mendeteksii kanker pada tingkat

molekuler.18

Dibandingkan degan radiografi konvensional, CT dapat lebih baik

menentukan atenuasi tersebut digambarkan dalam Hounfield Unit (HU).

Hounsfield Unit tersebut juga mengarah kepada CT numbers atau densitas.

Zat kontras yang palng banyak digunakan adalah barium sulfat yang dapat

memperlihatkan bentuk saluran pencernaan, dan sediaan iodin organic,

yang banyak digunkan digunakan secara intravena pada CT-Scan untuk

memperjelas gambaran vaskular dan berbagai organ.18

A. Kegunaan

1) Setiap bagian tubuh dapat dipindai.

2) Staging tumor primer untuk mengetahui adanya penyebaran

sekunder, menentukan kelayakan operasi atau dasar kemoterapi.

3) Perencanaan radioterapi.

4) Mendapatkan detail anatomis yang tepat jika tidak berhasil

dengan ultrasonography.19
73

B. Keuntungan

1) Memiliki resolusi kontras yang baik.

2) Meberikan detail anatomis yang tepat.

3) Suatu teknik pemeriksaan yang cepat, sehingga baik untuk pasien

yang sakit. 19

C. Teknik Pemeriksaan CT-Scan Thorax

1. Posisi Pasien

Pasien supine diatas meja pemeriksaan dengan posisi kepala pada

arah gantry. Kedua lengan di atas dada, kedua kaki lurus. MSP

tubuh berada pada pertengahan meja pemeriksaan.

2. Posisi Objek

a). Kepala diletakkan diatas head holder dan hiperfleksi

b). MSP kepala dipertengahan head holder dan sejajar lampu

indikator longitudinal.

c). Lampu indikator transversal berada pada ketinggian

pertengahan kepala.

d). Lampu indikator axial berada pada 1 cm diatas vertex

e). Tangan di fiksasi dengan menggunakan body strap

f). Pasien diberi selimut.18


74

Gambar 16. Posisi pasien CT-Scan Thorax. 10

3. Scan Parameter Pemeriksaan CT-Scan Head and Neck

Scanogram Head and Neck

Slice Thickness 3-3,75 mm

Pitch 1,5

Scanning time 30s

mA / kVp 220 mA dan 120 kVp

Matrix 512 x 512

FOV 20-30 cm

Tabel 3. Scan Parameter CT-Scan18

3.1.3 Magnetic Resonance Imaging (MRI)

MRI merupakan metode pemeriksaan diagnostikyang

menghasilkan gambaran potongan tubuh manusia dengan

menggunakan medan magnet tanpa menggunakan sinar X. Prinsip

darah pemeriksaan ini adalah inti atom yang bergetar dalam medan

magnet. Proton merupakan inti ataom hydrogen yang memiliki daya

magnet yang apabila ditembakan dan berada medan magnet

berfrekuensi tinggi maka proton tersebut akan bergetar dan bergerak

searah secara berulang-ulang. Gerakan itulah yang ditangkap dan


75

diproses komputer. MRI pada kepala dan leher biasanya digunakan

untuk penilaian struktur tumor, cedera,stroke , dan lainnya. Yang juga

perlu diketahui adalah pemeriksaan MRI tidak dapat dilakukan pada

semua orang. Prinsip pemeriksaan ini adalah inti atom yang bergetar

dalam medan magnet.19

Prosedur pemerksaan MRI, sebagai berikut:

1) Persiapkan pasien yang perlu dilakukan sebelum pemeriksaan:

a. Sebelum pemeriksaan pasien diminta untuk buang air kecil

dahulu.

b. Informed consent, dimana pasien atau penderita diberikan

penjelasan mengenai jalannya pemeriksaan yang akan

dilakukan.

c. Pemeriksa dapat meminta kepada pasien atau penderita

untuk mengganti baju menggunakan baju pasien yang telah

disediakan.

d. Pemeriksa meminta pasien untuk melepaska semua benda

logam yang digunakan atau yang terdapat di tubuh

(contohnya seperti alat bantu dengar, perhiasan, dan lain

sebagainya).

e. Diposisikan pada meja pemeriksaan yang dapat

dipindahkan. Selanjutnya dipasang strap pada tubuh


76

sebagai pengaman agar membantu pasien tetap diam saat

sebagai pengaman agar membantu pasien tetap diam saat

bagian tertentu sedang diperiksa. Pasien harus

diinformasikan mungkin akan diberikan cairan kontras

dengan suntik / infus pada tangan / lengan.20

Magnetic resonance Imaging (MRI) adalah pemeriksaan yang

memanfaatkan medan magnet dan energi gelombang radio untuk

menampilkan gambar struktur dan organ dalam tubuh. MRI kepala

dan leher memberikan detail struktur bagian kepala untuk mendeteksi

cedera kepala, tumor , storke dan kerusakan pembuluh darah, dari

hampis disetiap sudut. MRI tidak menggunakan radiasi pengion (X-

Ray).19

Pemeriksaan MRI memakai medan magnet yang kuat. Medan

magnet ini begitu kuat hingga mampu mempengaruhi benda apapun

yang terbuat dari logam di sekitarnya. MRI sering dilakukan sebagai

pemeriksaan sebelum memutuskan suatu tindakan.19

Pada MRI kepala dan leher , dimana pasien berbaring supine

diatas meja pemriksaan dengan posisi badan dekat dengan gantry.

Dari pencitraan ini difokuskan pada organ kepala dan leher saja

dengan cara menganalisis citra dari organ tersebut. Dari segementasi

pencitraan ini ditampilkan agar mudah mengevaluasi. Perlu diketahui

adalah pemeriksaan MRI tidak dapat dilakukan pada semua orang.19


77

3.2 Radioanatomi

3.2.1 Radioanatomi Foto Rontgen (X-Ray)

1. Foto X-ray kepala

Pemeriksaan radiologi kepala atau skull merupakan

pemeriksaan yang sangat penting. Suatu penilaian yang tepat dan teliti

terhadap kepala memerlukan pengetahuan yang mendalam mengenai

anatomi kepala. Dalam keadaan normalpun anatomi seseorang itu

mungkin sangat berbeda satu sama lainnya, sedangkan batas – batas

antara yang sehat dan yang sakit kadang – kadang sangat samar –

samar. Oleh karena itu, untuk dapat mengetahui apa yang sakit, maka

terlebih dahulu memiliki pengetahuan – pengetahuan dasar tentang

apa yang masih termasuk dalam batas – batas yang normal.21

Foto rontgen kepala menampilkan tulang – tulang tengkorak

kepala, tulang rangka muka, dan jaringan lunak di kepala.Tulang

kranial terdiri atas 8 tulang terbagi menjadi 2 bagian yaitu tulang

calvarium dan tulang lantai. Tulang calvarium Terdiri atas tulang

frontalis , parietalis kanan dan kiri , occipitalis dan temporal kanan

kiri. Bagian dasar yang terdiri dari lantai rongga tengkorak ( basis

kranii). Tulang yang membentuknya yaitu tulang sphenoid, temporal

dan occipital. 14

Bagian anterior bawah (Viscerocranium). Tulang yang

membentuknya yaitu tulang hidung, palatine, lacrimal, zygomatic,


78

maxillae, konka nasal inferior dan vomer. Pada dasar tengkorak

memiliki banyak lubang yang dilalui oleh saraf dan pembuluh darah. 14

A B

Gambar 17. (a) (b) gambar rontgen kepala normal AP dan lateral.21

2. Foto X-Ray Faring

Faring (tekak) adalah pipa berotot yang berjalan dari dasar

tengkorak hingga esophagus, pada ketinggian tulang rawan

krikoid/sebuah susunan jalan kecil yang penting ke system pernafasan

yang sesuai. 18

Faring dibagi menjadi 3 yaitu nasofaring (belakang hidung),

orofaring (belakang mulut), dan laringofaring (belakang laring).

Laringofaring berada diatas dan posterior ke laring dan meluas dari

bagian batas atas epiglottis dimana laringofaring sedikit bergabung

dengan eshopagus. 18
79

Gambar 18. (a) Foto X-ray AP laring dan faring Normal. 7

(b) Foto X-ray Lateral laring dan faring Normal.7

3.2.2 Radioanatomi CT-Scan

1. CT-Scan Kepala

Secara umum pemeriksaan CT-Scan kepala membutuhkan 6-

10 irisan. Namun ukuran tersebut dapat bervariasi teragantung

keperluan diagnosa. Untuk kasus seperti tumor maka jumlah irisan

akan mencapai dua kalinya karna harus dibuat foto sebelum dan

sesudah pemasukan media kontras. Tujuan dibuat foto sebelum dan

sesudah pemasukan media kontras adalah agar dapat membedakan

dengan jelas apakah organ tersebut mengalami kelainan atau tidak.13

CT-Scan kepala dengan kontras sangat berguna untuk

penilaian kraniofaringioma. Gambaran dari hasil pemeriksaan CT-

Scan dapat memberikan informasi yang lebih rinci dan akurat

daripada foto rontgen biasa. Prosedur medis ini juga biasanya tidak

memakan waktu lama dan tidak menimbulkan rasa sakit. 13


80

A B

Gambar 19. (A) Potongan axial CT-Scan kepala normal, (B)


Potongan Coronal CT-Scan kepala normal.10

Gambar 20. Potongan irisan axial CT-Scan kepala normal.4

2. CT-Scan Nasofaring

CT-Scan nasofaring aksial yang normal menunjukkan anatomi

yang relevan, yang terdiri dari torus tubarius (bintang putih) dan fossa

rosenmuler (panah putih) di belakangnya. Penipisan lemak di wilayah

ini dengan pengisian asimetris terlihat pada karsinoma nasofaring

awal.21
81

Gambar 21. (A) Potongan axial CT-Scan Nasofaring normal. 21

3.2.3 Radioanatomi MRI

Pencitraan Resonansi Magnetik (MRI) merupakan salah satu

cara pemeriksaan diagnostik dalam ilmu kedokteran, khususnya

radiologi, yang menghasilkan gambaran potongan tubuh manusia

dengan menggunakan medan magnit tanpa menggunakan sinar X.

Prinsip dasar MR adalah inti atom yang bergetar dalam medan

magnet.21

Terdapat Istilah – istilah pada MRI. Waktu relaxasi T1 dan T2

adalah waktu dimana kembalinya proton yang bergetar dalam medan

magnitke posisi semula.21

TR : repetition time (di ukur antara 2 pulsa RF berturut - turut)

TE : echo delay time (di ukur dari pertengahan pulsa sampai waktu gradi-

entecho)

T1 : Longitudinal relaxation time (TR pen-dek, TE pendek).

T2 : Transversal relaxation time (TR pan-jang dan TE panjang).


82

Proton density : Bagian dari T2 dimana TR panjang, tetapi TE pendek

IR : Inversion Recovery (fat suppression).

Tesla : satuan fisika untuk magnit (1 Tesla = 10.000 Gauss).

Th : thick tebalnya potongan dalam mm. 13

Pemeriksaan pada CT diperlukan zat kontras untuk dapat

membedakan dengan jaringan sekitarnya. MRI dimanfaatkan untuk

mendiagnosa atau mendeteksi tumor dan anomaly lainnya kepala.

Tindakan ini juga dapat menemukan masalah pada pembuluh darah

seperti pembuluh darah melemah yang dapat menyebabkan aneurisma.

Tes lainnya yang dapat digunakan yaitu MRI dan CT pada bagian leher,

dada dan perut. 21

Gambar 22. (A) MRI potongan axial otak normal, (B) MRI potongan sagittal
otak normal (C) MRI potongan coronal otak normal 21
83

3.3 Radiopatologi

3.3.1 Radiopatologi Foto Rontgen (X-Ray)

1. Foto X-Ray kepala

Pada foto sinar X kepala dengan kraniofaringioma dapat

dijumpai gambaran patognomonik kalsifikasi di regio suprasella.

Lebih dari 80% pasien anak dan 40% pasien dewasa menunjukkan

kalsifikasi pada foto sinar X kepala. Sekitar 66% dari pasien dewasa

dan lebih dari 90% pasien anak-anak menunjukkan gambaran

abnormalitas foto sinar-X kepala seperti pembesaran dari sella, erosi

pada klinoid dan dorsum sella.22

Gambaran sinar-X kepala tidak spesifik, kalsifikasi yang kecil

dapat tidak teridentifikasi. Sinar-X kepala juga tidak dapat

memberikan gambaran jaringan lunak dengan baik, sehingga

diferensiasi dari tipe tumor tidak dapat dilakukan hanya dengan sinar-

X kepala. Penggunaan foto sinar-X kepala untuk diagnosis

kraniofaringioma sudah banyak digantikan dengan CT Scan maupun

MRI. 13
84

Gambar 23. X-Ray Kepala memberi gambaran kalsifikasi suprasella (tanda

panah) pada pasien kraniofaringioma.17

Dimana pada gambar 23 menujukkan tampilan radiologis yang

menonjol di sini adalah perubahan sella, adanya kalsifikasi

suprasellar, pelebaran sella dengan erosi dari clinoid anterior dan

dorsum sellae 1,4. Kalsifikasi dapat terlihat sekitar 85% pada anak-

anak dan 40% pada dewasa. Diagnosis diferensial dari gambaran

pencitraan pada pasien anak dengan kraniofaringioma adalah suatu

glioma, yang mungkin juga memiliki komponen kistik.17

3.3.2 Computed Tomography (CT-scan)

CT Scan dengan kontras intravena sangat berguna untuk

penilaian kraniofaringioma. CT Scan dengan kontras dapat

menunjukkan komponen kistik dan solid dari kraniofaringioma.

Kalsifikasi dapat lebih jelas terlihat pada CT Scan, sekitar 93% pada

pasien anak-anak dan 40% pada pasien dewasa. Deposit kalsium

tampak lebih banyak pada tipe adamantinomatosa. Gambaran

kalsifikasi menyerupai cangkang telur (eggshell-like calcification) dari

dinding tumor kistik kadang terlihat pada keseluruhan.11


85

Cairan di dalam kista tampak dengan densitas rendah namun

sedikit lebih tinggi dari densitas cairan serebrospinal. Bagian isi dari

kista juga dapat tampak solid dengan densitas lebih tinggi jika di

dalam kista terdapat garam kalsium. Pada pemberian kontras, jaringan

tumor solid dan dinding kista tampak menyangat kontras. Kista dapat

tampak berlobulasi dan sangat ekstensif, terkadang dapat dijumpai

komponen perdarahan.11

Gambar 24. CT-Scan kepala dengan kontras kraniofaringioma12

Paga gambar 24, merupakan gambaran CT (Computer

Tomography) scan dengan kontras menunjukkan kraniofaringioma

suprasella dengan kombinasi komponen kistik, padat dan kalsifikasi.

CT Scan dengan kontras dapat menunjukkan komponen kistik dan solid

dari kraniofaringioma. Kalsifikasi dapat lebih jelas terlihat pada CT

Scan, sekitar 93% pada pasien anak-anak dan 40% pada pasien dewasa.
13
86

Gambar 25. CT-Scan Kepala potongan axial kraniofaringioma.13

Pada gambar 25 menunjukkan adanya gambaran

kraniofaringioma dengan kalsifikasi yang luas dengan potongan

axial.13

Gambar 26. Gambar CT-Scan kepala dengan potongan coronal.13

Pada gambar 26, CT Scan kepala potongan koronal,

memberikan gambaran eggshell-like calcification dari kapsul

kraniofaringioma. Deposit kalsium tampak lebih banyak pada tipe

adamantinomatosa. Gambaran kalsifikasi menyerupai cangkang telur

(eggshell-like calcification) dari dinding tumor kistik kadang terlihat


87

pada keseluruhan lesi. 13

Gambar 27. Gambar CT-Scan kepala Seorang laki-laki berusia 20 tahun


dengan diagnosis SOL at regio suprasellar ec suspect
craniopharyngioma.3

Pada gambar 27, CT Scan kepala Seorang laki-laki berusia 20

tahun dengan diagnosis SOL at regio suprasellar ec suspect

craniopharyngioma dan direncanakan untuk menjalani pengangkatan

tumor kraniotomi dan penempatan shunt omaya dikonsulkan ke

Bagian Anestesi pada tanggal 26 Maret 2010. Pasien ini memiliki

riwayat sakit kepala sejak 13 tahun yang lalu disertai dengan

gangguan penglihatan yang dimulai dari mata kiri kemudian berlanjut

ke mata kanan dan dia sudah buta pada saat datang ke rumah sakit.

Dia juga mengalami kegagalan pertumbuhan dan pubertas yang

terlambat. Dia memiliki kondisi fisik seperti anak laki-laki pada saat

berusia 20 tahun dengan tinggi badan 140 cm dan berat badan 40 kg.3
88

Gambar 28. Gambar CT-Scan kepala Post operatif Kraniofaringioma


Frontotemporal.3

Pada gambar 28, CT Scan kepala post operatif

craniopharyngioma frontotemporal dan direncanakan untuk menjalani

pengangkatan tumor kraniotomi. Bentuk kistik dapat berkembang

menjadi sangat besar dan mangandung cairan yang kaya kolesterol

yang akan berbahaya jika kontak dengan jaringan otak normal. Tumor

solid terdiri atas lapisan sel columnar pallisading tanpa epitelial stelata

dan sel deskuamasi yang disebut “wet keratin” Kraniofaringioma tipe

adamantinomatous terjadi oleh karena perubahan sel epitelial

neoplastik berasal dari stomodeum yang terjebak pada duktus

kraniofaringeal saat perkembangan pituitari yang dikenal sebagai teori

embriogenetik.3

Berbeda halnya dengan tipe adamantinomatous,

kraniofaringioma tipe papillari merupakan tumor primer yang terjadi

pada usia dewasa, yang mana secara histologi terdiri atas “wet

keratin”, namun dengan epitel squamous yang berdiferensiasi dengan

baik serta tumor lebih solid dan uniformis. Kraniofaringioma tipe ini
89

terjadi secara sekunder akibat metaplasia sel adenohipofisis pada pars

tuberalis yang kemudian disebut sebagai teori metaplastik. 3

Komplikasi yang dapat ditimbulkan akibat proses pembedahan

adalah berupa diabetes insipidus, hipopituitarisme, cedera arteri

karotis internal, cedera nervus optikus dan kiasma optikus serta

vasospasme yang terjadi hingga 4 minggu pasca pembedahan. Pada

kasus ini, komplikasi yang timbul pasca tidakan pembedahan adalah

diabetes insipidus. Diabetes insipidus merupakan salah satu

komplikasi yang umum terjadi pasca tindakan pembedahan

kraniofaringioma, dimana dilaporkan insidensi post operatif mencapai

100% kasus. 3

Insidensi terjadinya diabetes insipidus dengan prosedur

pembedahan transspenoid lebih rendah (36%) dibandingkan dengan

prosedur operasi transkranial (69%). Diabetes insipidus terjadi akibat

manipulasi bedah pada pituitary stalk. Jika pituitary stalk rusak atau

terpotong, maka pasien akan mengalami diabetes insipidus secara

permanen. Namun, pada beberapa kasus dilaporkan diabetes insipidus

terjadi pada pituitary stalk yang intak yang mana hal tersebut terjadi

akibat disfungsi hipotalamus. Prosedur pembedahan kraniofaringioma

merupakan tantang besar dimana prosesnya melibatkan berbagai

struktur penting seperti nervus optikus, sirkulus willisi, hipotalamus

dan batang otak yang membutuhkan tehnik khusus dan pengalaman.

Dengan tehnik dan teknologi yang baik, angka kematian dan kesakitan
90

jauh menurun setiap tahunnya. Selain itu juga diperlukan kerjasama

berbagai multidisiplin ilmu untuk menurunkan resiko bahaya dan

memperbaiki hasil saat pembedahan.3

Gambar 29. Gambar CT-Scan non-kontras menunjukkan massa dengan


kalsifikasi belang-belang perifer di daerah suprasellar.9

Pada gambar 29, CT Scan kepala non-kontras pada

craniopharyngioma yang menunjukkan massa dengan kalsifikasi

belang-belang di daerah suprasellar. Seorang pasien wanita berusia 32

tahun telah dirawat di klinik rawat jalan neurologi dengan keluhan

gangguan penglihatan dan sakit kepala yang menetap selama satu

bulan. Hemianopsia bitemporal terdeteksi pada pemeriksaan visual. 9

CT menunjukkan massa hipodens dengan kalsifikasi perifer

belang-belang di daerah suprasellar. MRI mengungkapkan bahwa

massa itu berasal dari infindubulum hipofisis dan mengandung area

kistik dan padat, berukuran sekitar 20x20 mm. Lesi menekan kiasma

optikus secara posterior dan berdekatan dengan struktur vaskular.

Kelenjar hipofisis memiliki penampilan normal. Keterlibatan


91

infundibular dapat terlihat pada banyak kondisi serta pada

kraniofaringioma. membuat Penting untuk diagnosis banding penyakit

infundibular agar dapat diobati dengan tepat. Lesi infundibular

umumnya diklasifikasikan menjadi tiga kategori sebagai neoplastik,

infeksi inflamasi dan perkembangan kongenital. 9

Lesi neoplastik termasuk astrocytoma, ependymoma,

germinoma, xanthoastrocytoma pleomorphic, limfoma, prolaktinoma,

metastasis dan craniopharyngioma. Diagnosis pertama yang

dipertimbangkan dengan tidak adanya tumor primer pada massa

tangkai yang terisolasi adalah craniopharyngioma. Ukuran

infundibulum biasanya harus lebih kecil dari arteri basilar pada tingkat

clivus. Lebih dari ukuran ini mungkin merupakan titik yang luar biasa

untuk lesi infundibular. Dalam banyak kasus, hipotalamus terlibat

bersama dengan infundibulum. Lesi yang melibatkan tangkai hipofisis

dan hipotalamus dapat menyebabkan diabetes insipidus. 9

Gambar 30. (a) koronal (b) sagittal , gambaran CT scan sinus paranasal
dengan kontras .15

Gambar 30, Menunjukan gambaran koronal (A) dan sagital


92

(B) dari CT scan sinus paranasal dengan kontras menunjukkan

peningkatan massa yang heterogen dengan kalsifikasi menempati

nasofaring dan sinus sfenoid kiri. Dari laporan yang diterbitkan, usia

pada saat diagnosis berkisar dari satu bulan sampai 59 tahun, dengan

perempuan terdiri dari 57% kasus. Lokasi infrasellar yang paling

umum adalah nasofaring. Mayoritas mengalami sumbatan hidung dan

epistaksis, yang merupakan gejala yang sama dengan yang dialami

pasien ini. Pemeriksaan diagnostik untuk craniopharyngiomas

biasanya melibatkan pemeriksaan fisik dan neurologis lengkap dengan

penekanan pada pengujian bidang visual. Nasal endoskopi harus

disertakan untuk mengevaluasi dan mendokumentasikan rongga

hidung dan nasofaring. 15

CT scan sinus paranasal dengan kontras dan MRI kranial

memberikan nilai diagnostik. CT scan PNS dapat mengungkapkan

keterlibatan tulang atau kalsifikasi dari craniopharyngioma.

pendekatan yang dilakukan adalah operasi endoskopi transnasal,

rhinotomy lateral, maxillectomy medial Denker transpalatal dan

sublabial, dan noethmoidectomy sphe. Ukuran, lokasi, dan luasnya

massa menentukan jenis pendekatan bedah dan kebutuhan akan

radiasi pasca operasi. Penulis menjamin bahwa semua informasi

pasien dalam laporan ini akan tetap dirahasiakan. Persetujuan pasien

untuk melaporkan kasus diperoleh secara bebas. MRI terbaik dapat

menggambarkan massa jaringan lunak dan mendeteksi intrakranial. 15


93

Laporan ini menyoroti bahwa craniopharyngioma infrasellar

dapat hadir sebagai massa nasofaring, yang menyebabkan sumbatan

hidung dan epistaksis, dengan tidak adanya defisit neurologis.

Pemeriksaan harus mencakup biopsi, CT scan dengan kontras dan

MRI untuk mengevaluasi keterlibatan trakranial, dan studi endokrin

sesuai indikasi. Eksisi lengkap adalah pengobatan yang diterima saat

ini. Pendekatan bedah ditentukan oleh lokasi dan luasnya tumor.

Tutup pengawasan pasca operasi dengan pemantauan gejala,

endoskopi hidung dan studi pencitraan diperlukan karena

kemungkinan kekambuhan. 15

Pentingnya tindak lanjut untuk tumor yang sangat langka

tersebut harus ditekankan karena perilaku dan kemungkinan

kekambuhan belum ditetapkan karena kurangnya kasus. Pasca operasi,

pasien harus dilihat setidaknya setiap 3 bulan pada tahun pertama,

setiap 6 bulan pada tahun kedua dan ketiga, dan setiap tahun

sesudahnya. 15

3.3.4 Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Magnetic resonance imaging (MRI) menggunakan magnet

yang kuat dan gelombang radio untuk membuat gambar penampang

bagian dalam tubuh secara mendetail. Pemindaian MRI menggunakan

medan magnet untuk membangun gambaran detail bagian dalam

tubuh.18

Bagian tubuh terdiri dari jumlah air yang berbeda. MRI


94

menarik air di dalam tubuh dan mengirimkan gelombang radio yang

memantul dari air magnet. Detektor merekam gelombang radio ini,

yang dapat digunakan untuk membangun gambaran detail bagian

dalam tubuh. Massa yang heterogen pada kraniofaringioma dapat

digambarkan dengan baik menggunakan MRI. 18

Ekstensi massa dan batas massa terhadap jaringan lunak

sekitar dapat terlihat lebih jelas dengan MRI. Komponen kistik dapat

dijumpai sampai 99% pada pasien anak. Isi komponen kistik dari

tumor menunjukkan karakteristik intensitas sinyal sedikit lebih tinggi

dari cairan serebrospinal pada T1-weighted dan hiperintens pada T2-

weighted. Namun, isi dari kista dapat juga sedikit hiperintens pada T1-

weighted akibat kandungan protein tinggi. Walaupun komponen kistik

dan padat dari tumor hiperintens pada T2- weighted, komponen padat

relatif hipointens dibandingkan dengan komponen kistik. Pada 25%

dari kasus pada anak-anak, komponen kistik dapat terlihat sangat

besar, memiliki ekstensi sampai ke fosa kranial anterior, media dan

posterior.

Komponen padat dari tumor tampak isointens pada T1-

weighted dan biasanya tampak menyangat paska pemberian kontras.

Jika kraniofaringioma menempati ventrikel dan mengakibatkan

sumbatan maka akan terjadi hidrosefalus obstruktif. 13


95

Gambar 31. (a) dan (b) T1-weighted dengan kontras, menunjukkan


tumor dengan komponen kistik dan padat (c) T2-weighted
menunjukkan gambaran intensitas yang heterogen pada
komponen padat.4

Gambar 31, Menunjukan Isi komponen kistik dari tumor yang

menunjukkan karakteristik intensitas sinyal sedikit lebih tinggi dari

cairan serebrospinal pada T1-weighted dan hiperintens pada T2-

weighted. Namun, isi dari kista dapat juga sedikit hiperintens pada

T1-weighted akibat kandungan protein tinggi. Walaupun komponen

kistik dan padat dari tumor hiperintens pada T2- weighted, komponen

padat relatif hipointens dibandingkan dengan komponen kistik. Pada

25% dari kasus pada anak-anak, komponen kistik dapat terlihat sangat

besar, memiliki ekstensi sampai ke fosa kranial anterior, media dan

posterior.4
96

Gambar 32. Gambaran T1-weighted MRI dengan kontras (a) potongan sagital (b)
potongan aksial, menunjukkan kraniofaringioma dengan komponen kistik yang besar
mengisi penuh ventrikel tiga.3

Pada gambar 32, menunjukan Komponen padat dari tumor

tampak isointens pada T1- weighted dan biasanya tampak menyangat

paska pemberian kontras. Jika kraniofaringioma menempati ventrikel

dan mengakibatkan sumbatan maka akan terjadi hidrosefalus

obstruktif.3

Gambar 33. Anak laki-laki usia 2 tahun dengan craniopharyngioma (tipe


adamantinomatous). A : Gambar pembobotan T1 sagital menunjukkan intensitas
sinyal terang difus (panah) pada massa sellar dan suprasellar. B : Pemindaian CT
aksial non-kontras menunjukkan densitas tinggi lengkung (kepala panah) di bagian
perifer massa, mengindikasikan kalsifikasi.17
Gambar 33 menunjukkan Anak laki-laki usia 2 tahun dengan
97

craniopharyngioma. Dari 30 tumor adamantinomatous, pasien anak

menunjukkan fitur pencitraan kalsifikasi yang seragam pada CT

(13/13, 100%) dan intensitas sinyal terang T1 (12/13, 92,3%)

sementara pasien dewasa menunjukkan fitur kalsifikasi yang lebih

bervariasi pada CT (12/ 17, 70,6%) dan intensitas sinyal terang T1

(17/10, 58,8%) bahkan ketika hanya melihat varietas

adamantinomatous. 17

Gambar 34. Anak laki-laki 10 tahun dengan craniopharyngioma (tipe

adamantinomatous). A : Gambar bobot T1 sagital menunjukkan intensitas

sinyal terang (baris panah) di bagian bawah massa sellar dan suprasellar.

B : CT scan aksial non-kontras menunjukkan densitas tinggi lengkung

(panah) di bagian tepi massa, mengindikasikan kalsifikasi.20

Pada gambar 34, Anak laki-laki 10 tahun dengan

craniopharyngioma (tipe adamantinomatous). menunjukan massa

massa sellar dan suprasellar. CT scan aksial non-kontras menunjukkan

densitas tinggi lengkung (panah) di bagian tepi massa,

mengindikasikan kalsifikasi. Kalsifikasi adalah temuan umum di

craniopharyngiomas dengan insiden dari 65,3% menjadi 74,8%16,28).


98

Kalsifikasi lebih sering terjadi pada anak-anak (90%) dibandingkan

dewasa (70%) dan pada tipe adaman tinomatous dibandingkan tipe

papiler. 20

Gambar 35. Wanita 54 tahun dengan craniopharyngioma (tipe papiler). A : Gambar

bobot T1 sagital tidak menunjukkan intensitas sinyal terang (panah) pada massa

sellar dan suprasellar. B : CT scan aksial non-kontras tidak menunjukkan kepadatan

massa yang tinggi, menunjukkan kalsifikasi.16

Pada gambar 35, Wanita 54 tahun dengan craniopharyngioma

(tipe papiler). T1 sagital tidak menunjukkan intensitas sinyal terang

(panah) pada massa sellar dan suprasellar. CT scan aksial non-kontras

tidak menunjukkan kepadatan massa yang tinggi, menunjukkan

kalsifikasi .16

Intensitas sinyal terang T1 dari craniopharyngiomas bisa

menjadi sekunder karena kandungan protein yang tinggi, kolesterol,

kalsifikasi ringan atau perdarahan2,5). Dalam penelitian kami, tipe

papiler menunjukkan intensitas sinyal terang T1 hanya 25% (2/8)

sedangkan sebagian besar tipe mantinomatous ada (73,3%, 22/30)


99

menunjukkan intensitas sinyal terang T1 terlepas dari jumlah dan

lokasi. Sekali lagi kami menemukan perbedaan usia. Varietas

adamantinomatous pediatrik cerah pada gambar berbobot T1 pada

12/13 (92,3%) tetapi hanya pada 10/17 (58,8%) varietas

adamantinomatous dewasa. Meskipun prevalensi intensitas sinyal

terang T1 dan kalsifikasi pada CT scan pada berbagai jenis

kraniofaringioma serupa dengan yang dilaporkan dalam penelitian

sebelumnya13,16,20 ), perbedaan usia ini merupakan aspek baru dari

deskripsi. 16

MRI seluruh tubuh lebih unggul daripada CT dengan kontras

untuk menentukan stadium penyakit, juga kurang bergantung pada

histologi jika dibandingkan dengan 18F-FDG-PET/CT. Selain itu,

tidak memerlukan paparan radiasi pengion dan dapat digunakan untuk

pengawasan limfoma. Peran MRI seluruh tubuh saat ini dalam

pemeriksaan diagnostik limfoma diperiksa dalam ulasan ini bersama

dengan kinerja diagnostik dalam penentuan stadium, penilaian

respons, dan pengawasan subtipe limfoma yang berbeda.16

Peran MRI seluruh tubuh saat ini dalam pemeriksaan

diagnostik limfoma diperiksa dalam ulasan ini bersama dengan

kinerja diagnostik dalam penentuan stadium, penilaian respons, dan

pengawasan subtipe limfoma yang berbeda.16


100

Gambar 36. Gambar MRI tampak massa berukuran 5,12cm x 2,63 cm


menonjol dari sella tursica dengan batas tegas, massa
tampak terisi kontras.3

Pada gambar 36, MRI kepala tampak massa berukuran

5,12cm x 2,63 cm menonjol dari sella tursica dengan batas tegas,

massa tampak terisi kontras. Tindakan operasi yang dilakukan adalah

dengan tehnik pembedahan kombinasi subfrontal dan pterional. Pasien

dalam keadaan supine dilakukan tindakan asepsis pada lapangan

operasi. Penyempitan lapangan operasi dengan pemasangan dook

steril. Dilakukan insisi frontotemporal sisi kanan lapis demi lapis.

Tulang calvaria dibuka secara bertahap, diawali tahap pertama dengan

kraniotomi tulang frontal dan temporal dan drilling pada tulang

sphenoid sampai tampak fissure otbitalis superior. Tahap kedua

dilakukan pemotongan rima orbitalis superior. 3

Duramater dibuka semilunar. Untuk mencapai jaringan tumor

dilakukan diseksi arachnoid subfrontal dan transilvian. Tahap awal

penting untuk menemukan sisterna prechiasma sehingga dapat segera

dilakukan pengaliran CSF yang akan sangat membantu relaksasi otak.

Sebagai landmark anatomi adalah identifikasi clinoid anterior, arteri


101

karotis interna dan saraf optikus. 3

Didapatkan tumor kistik berkapsul lobutated yang diselimuti

lapisan membran arachnoid. Secara perlahan tumor dipisahkan dari

jaringan sekitar dengan tetap mempertahankan batas membran

arachnoid normal. Bagian kistik tumor dialirkan dan selanjutnya

kapsul tumor diangkat piece meal dan contoh jaringan dikirim untuk

dilakukan pemeriksaan Patologi Anatomi. Kapsul tumor yang

menempel pada saraf optikus dan internal carotis dapat dipisahkan

dengan baik. Kapsul tumor sisi posterior melekat erat pada pituitary

stalk sehingga terpaksa sebagian kapsul yang melekat ditinggalkan.3

Kami melakukan identifikasi dan kontrol pada pendarahan.

Intraoperasi otak tidak tampak edema, selanjutnya dilakukan

penutupan area operasi. Dura mater ditutup kedap air. Tulang calvaria

dan rima orbitalis dikembalikan dengan fiksasi miniplate. Setelah

tumor berhasil diangkat, spesimen tumor dikirim ke laboratorium

patologi anatomi untuk diidentifikasi tipe kraniofaringioma. Hasil

pemeriksaan patologi anatomi menunjukkan suatu kraniofaringioma

tipe adamantinomatous.3
102

Gambar 37. Gambar MRI penampang coronal pada craniopharyngioma


sebelum diberikan kontras. (A) T1- weighted image (B) T2-
weighted image. Terdapat sinyal tinggi pada kedua gambar
tersebut.5

Pada gambar MRI kepala dengan penampang coronal pada

craniopharyngioma sebelum diberikan kontras. Pada kasus ini terjadi

ketika ruang subarachnoid meluas kedalam sela tursika, setengahnya

terisi cairan cerebrospinal. Hal tersebut yang menyebakannya

terjadinya perubahan bentuk dan pembesaran sela tursika dan

mendatarkan kelenjar pituitari. Pada penampang CT scan secara

umum menunjukkan daerah fossa yang terisi dengan CSF. Jika hasil

gambaran tipis, diperoleh infundibulum yang dapat dilihat mengalir

melaui suatu ruangan. 5

Pada MRI juga ditemukan adanya cairan di sella dan

infundibulum juga dapat dilihat melintasi suatu ruangan, sehingga

tidak termasuk massa kistik. Hal ini dinamakan tanda infundibulum.

Selain itu, pada MRI juga didapatkan bahwa kelenjar pituitari ditekan

oleh sela tursika dan membentuk cekungan atau “half moon” dalam

berbagai derajat.5
103

Gambar 38. Gambar MRI yang menunjukkan massa cystic


craniopharyngioma pasca pemasangan Omaya reservoir
(panah kuning).4

Pada Gambar 38, Kraniofaringioma memiliki angka rekurensi

yang tinggi dan beberapa sekuele dari terapi yang berupa gangguan

endokrin, gangguan penglihatan, komplikasi metabolik, defisit

kognitif dan psikososial yang pada akhirnya menurunkan kualitas

hidup bagi pasien. 4

Pilihan terapi untuk melakukan reseksi ulang sering

menjadipertimbanganuntukmemilihterapilain yang lebih tidak invasif,

karena itu dikombinasi dengan terapi radiasi, seperti GKRS. Gamma

knife stereotactic radiosurgery dicetus pada tahun 1950, Borje Larsson

dan Lars Leksell memulai investigasi untuk mengkombinasi proton

beams dan alat stereotaktik yang mampu untuk mencapai target

spesifik dalam otak. Cobalt 60 adalah radioaktif yang digunakan

sebagai sumber radiasi. Cobalt 60 akan terurai menjadi elektron dan

sinar gamma, sinar Gamma inilah yang kemudian digunakan untuk

terapi radiasi. Dengan menggunakan GKRS, sinar Gamma akan

diarahkan secara spesifik terhadap lesi dengan dosis tertentu. Sinar


104

Gamma bekerja menyebabkan apoptosis sel tumor dengan merusak

kromosom dan cairan intrasel dari sel tumor. 4

Prosedur GKRS dapat dilakukan dalam satu sesi atau beberapa

sesi, tergantung jenis, ukuran, dan lokasi tumor. Satu sesi GKRS dapat

berlangsung 6–10 jam dikarenakan terdiri dari berbagai tahapan;

dimulai dari pemasangan frame, pemeriksaan radiologi seperti

Magnetic Resonance Imaging (MRI), Computed Tomography (CT)

scan, atau Digital Substraction Angiography (DSA), planning

treatment treatment, dan terapi radiasi.3 Pada umumnya, orang

dewasa yang kooperatif menjalani GKRS dengan anestesi lokal pada

saat pemasangan frame stereotaktik. Akan tetapi pada beberapa

populasi pasien, seperti pasien anak, pasien klaustrofobia, atau pasien

dengan penyulit lainnya, diperlukan pendampingan dokter anestesi. 4

Gambar 39. Gambar MRI yang menunjukkan Massa yang tersisa


ditunjukkan pada gambar MRI dengan peningkatan
kontras post-op yang diambil dua tahun setelah operasi.11

Pada gambar 39, Gambar MRI Kraniofaringioma dengan

peningkatan kontras post op yang menunjukkan Kasus Seorang wanita


105

61 tahun menderita gangguan penglihatan selama 2 bulan dirawat di

rumah sakit. Pemeriksaan visual pasien mengungkapkan hemianopsia

bitemporal. Massa infundibular ditunjukkan sebagai intensitas sinyal

menengah pada gambar MR berbobot T1 dan intensitas sinyal tinggi

mirip dengan CSF yang sesuai dengan perubahan kistik pada gambar

berbobot T2. Itu menunjukkan pola peningkatan perifer dan nodular

pada gambar T1- weighted postcontrast. Tidak ada batasan difusi yang

dicatat pada gambar berbobot difusi. Tumor meluas dari infundibulum

hipofisis ke hipotalamus dan mengompresi kiasma optik. 11

Berdasarkan temuan ini, diagnosis radiologis dianggap sebagai

craniopharangioma infindubular. Craniopharyngioma Infundibular

dikonfirmasi secara histopatologis. Pada follow up MRI tahun ke-2,

terdapat lesi massa berukuran 15 x 10 mm yang konsisten dengan

residual atau rekuren. Diagnosis radiologis awal lesi adalah

craniopharyngioma, dan kemudian lesi diputuskan untuk dioperasi.

Hasil histopatologi logis mengkonfirmasi infundibular cranio

pharyngioma. Tindak lanjut gambar MRI dua bulan setelah operasi

menunjukkan tidak ada kekambuhan atau sisa tumor. 11


106

Gambar 40. Gambar (a,b,c) MRI sagital non-kontras T1-weighted


menunjukkan lesi massa suprasellar heterogen.11

Pada gambar 40, Gambar MRI yaitu MRI sagital non-kontras

T1-weighted menunjukkan lesi massa suprasellar heterogen (a).

Kontras peningkatan lesi padat pada tangkai dengan komponen kistik-

nekrotik superior menunjukkan pada gambar sagital (b) dan koronal

(c) berbobot T1 yang ditingkatkan kontras. 11

Massa infundibular ditunjukkan sebagai intensitas sinyal

menengah pada gambar MR berbobot T1 dan intensitas sinyal tinggi

mirip dengan CSF yang sesuai dengan perubahan kistik pada gambar

berbobot T2. Itu menunjukkan pola peningkatan perifer dan nodular

pada gambar T1- weighted postcontrast. Tidak ada batasan difusi yang

dicatat pada gambar berbobot difusi. Tumor meluas dari infundibulum

hipofisis ke hipotalamus dan mengompresi kiasma optik. 11

CT scan PNS dapat mengungkapkan keterlibatan tulang atau

kalsifikasi dari craniopharyngioma. pendekatan yang dilakukan adalah

operasi endoskopi transnasal, rhinotomy lateral, maxillectomy medial

Denker transpalatal dan sublabial, dan noethmoidectomy sphe.

Ukuran, lokasi, dan luasnya massa menentukan jenis pendekatan

bedah dan kebutuhan akan radiasi pasca operasi. 11


107

Gambar 41.Gambar MRI kranial dengan kontras. (A) koronal (B)


sagittal.13

Pada gambar 41, MRI kepala Pemandangan koronal (A) dan

sagital (B) dari MRI kranial dengan kontras menunjukkan peningkatan

massa berlobus yang tidak teratur di nasofaring dan di aspek ferior

sinus sfenoid. Tidak ada massa yang divisualisasikan di daerah sella

dan parasellar. Pemeriksaan diagnostik untuk craniopharyngiomas

biasanya melibatkan pemeriksaan fisik dan neurologis lengkap dengan

penekanan pada pengujian bidang visual. Nasal endoskopi harus

disertakan untuk mengevaluasi dan mendokumentasikan rongga

hidung dan nasofaring. CT scan sinus paranasal dengan kontras dan

MRI kranial memberikan nilai diagnostik. 13

CT scan PNS dapat mengungkapkan keterlibatan tulang atau

kalsifikasi dari craniopharyngioma. pendekatan yang dilakukan adalah

operasi endoskopi transnasal, rhinotomy lateral, maxillectomy medial

Denker transpalatal dan sublabial, dan noethmoidectomy sphe.

Ukuran, lokasi, dan luasnya massa menentukan jenis pendekatan

bedah dan kebutuhan akan radiasi pasca operasi. Penulis menjamin


108

bahwa semua informasi pasien dalam laporan ini akan tetap

dirahasiakan. Persetujuan pasien untuk melaporkan kasus diperoleh

secara bebas. MRI terbaik dapat menggambarkan massa jaringan

lunak dan mendeteksi intrakranial perpanjangan. 13

Dari laporan yang diterbitkan, usia pada saat diagnosis berkisar

dari satu bulan sampai 59 tahun, dengan perempuan terdiri dari 57%

kasus. Lokasi infrasellar yang paling umum adalah nasofaring.

Mayoritas mengalami sumbatan hidung dan epistaksis, yang

merupakan gejala yang sama dengan yang dialami pasien ini. 13

Gambar 42. Gambar (A,B,D,H): Saggital T2W, POST CONTRAST


(E,G): Coronal T2W dan POST CONTRAST (C,F,):
ditunjukkan oleh panah. Gambar Axial dengan jelas
menunjukkan area berbunga..13

Pada gambar 42, hasil MRI (AH) Seorang wanita berusia 18

tahun yang mengalami sakit kepala dan muntah selama 5 bulan.

Gambar MRI menunjukkan massa kistik padat multilokulasi di daerah

suprasellar yang melenyapkan ventrikel ke-3 dan menyebabkan

penonjolan ventrikel lateral seperti yang terlihat pada aksial T2W,


109

T1W, GRE, post contrast (AD): Saggital T2W, post contrast (E,G):

Coronal T2W dan post contrast (F,H): ditunjukkan oleh panah. 13

Gambar Axial GRE dengan jelas menunjukkan area berbunga.

Pada gambar pasca kontras itu menunjukkan peningkatan komponen

padat. sakit kepala, muntah dan gangguan penglihatan berupa

hemianopsia. Gambar MRI menunjukkan massa supra-sellar

multilokulat multilokulat yang terdefinisi dengan baik dengan

peningkatan komponen padat dan dinding pada gambar post

gadolinium.13

Gambar 43. Gambar MRI anak perempuan usia 12 tahun.13

Pada gambar 43, MRI kepala (AI): Seorang anak perempuan 12

tahun yang mengalami sakit kepala, muntah dan gangguan

penglihatan Gambar MRI menunjukkan massa supra-sellar

multiloculated multiloculated dengan peningkatan komponen padat

dan dinding pada gambar post gadolinium. Aksial T1W, flair, post

contrast (AC): Coronal T1W, T2W dan post contrast (DF): Saggital
110

T1W, T2W dan post contrast (GI): dan dinding pada gambar post

gadolinium. 13

Intensitas sinyal terang T1 dari craniopharyngiomas bisa

menjadi sekunder karena kandungan protein yang tinggi, kolesterol,

kalsifikasi ringan atau perdarahan. Gambar gradien menggambarkan

kalsifikasi lebih jelas saat mekar. Ada prevalensi intensitas sinyal

terang T1 dan kalsifikasi pada CT scan di berbagai jenis

craniopharyngioma serupa dengan yang dilaporkan dalam penelitian

sebelumnya. Perubahan kistik pada gambar T2 yang ditimbang adalah

temuan umum pada tipe adamantinomatous dan tipe papiler. 13

Berbeda dengan intensitas sinyal terang T1 dan kalsifikasi pada

CT scan, perubahan kistik pada gambar T2 tidak membantu untuk

diagnosis banding antara dua jenis. Ini adalah tumor epitel jinak yang

timbul dari sisa sel skuamosa di daerah suprasellar yang timbul dari

duktus Rathke-hypophyseal yang tidak disengaja. Ini memiliki

karakteristik fitur pencitraan MR yaitu suprasellar, kistik, padat. 13

Anda mungkin juga menyukai