Anda di halaman 1dari 18

DISCUSSION REPORT

PERMASALAHAN DAN UPAYA KOSERVASI PERTANIAN KENTANG


DI DATARAN TINGGI WONOSOBO
Kelompok 5:
1_Rosmita Wati_21/489535/PPN/04811
2_Lugito_21/490042/PPN/04819
3_Azizah_21/490315/PPN/04833
Dosen Pengampu : Siti Nurul Rofiqo Irwan, S.P., M.Agr., Ph.D.

PENDAHULUAN
Peningkatan jumlah penduduk, berkurangnya lahan pertanian dan
penurunan produktivitas lahan dapat menyebabkan terjadinya kerawanan pangan.
Kentang (Solanum tuberosum L.) merupakan komoditas hortikultura penting di
Indonesia yang saat ini menjadi bahan pangan alternatif sebagai sumber
karbohidrat yang kaya protein untuk menunjang program diversifikasi pangan.
Disamping itu, semakin berkembangnya industry makanan ringan dan restoran
cepat saji yang salah satu bahan bakunya adalah kentang akan meningkatkan
permintaan kentang baik dalam jumlah maupun mutunya (Direktorat Perbenihan,
2003). Kentang termasuk tanaman yang dapat tumbuh di daerah tropis dan
subtropis dan dapat tumbuh baik bila ditanam di dataran tinggi dengan ketinggian
1.500 – 3.000 m dpl (Cahyono, 1996).
Jawa Tengah merupakan produsen kentang nasional terbesar kedua setelah
Jawa Barat, dengan sentra pertanaman di wilayah dataran tinggi Dieng di
Kabupaten Banjarnegara dan Wonosobo (Subhan dan Asandhi, 1998). Kabupaten
Wonosobo adalah salah satu daerah penghasil kentang di Jawa Tengah. Daerah ini
memiliki topografi berbukit dan bergunung, terletak pada ketinggian antara 200-
2.250 m dpl, dengan suhu sekitar 12,58 oC – 24,62 oC (Dispertan, 2008). Kondisi
ini merupakan faktor pendukung yang menyebabkan banyaknya petani di
Kabupaten Wonosobo melakukan usahatani kentang. Usahatani kentang di
Kabupaten Wonosobo merupakan salah satu pilihan petani untuk dapat
meningkatkan pendapatannya sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan
keluarga. Desakan ekonomi dan pertumbuhan penduduk menyebabkan lahan-
lahan di Dataran Tinggi Dieng semakin berkurang. Dalam usaha taninya, petani
berusaha untuk mendapat produksi yang maksimal sehingga penerimaan yang
diterima dapat menutupi biaya yang dikeluarkan untuk usahatani kentangnya.
Salah satu yang dilakukan petani untuk mendapatkan hasil produksi yang
maksimal adalah bertani kentang secara intensif. Usaha tani kentang yang
dilakukan mayoritas petani di Dataran Tinggi Dieng adalah dengan pola tanam
kentang (musim 1)-kentang (musim 2)-kentang (musim 3) dalam satu tahun
musim tanam.
Kegiatan budidaya kentang yang dilakukan secara intensif dan juga luas
areal pertanaman kentang terus meningkat yang bahkan saat ini kondisinya
semakin menghawatirkan bagi kelestarian lingkungan kawasan Dieng. Sebagai
salah satu akibatnya adalah resiko terjadinya erosi pada lahan kentang yang sangat
tinggi, tanah longsor yang juga berakibat pada meningkatnya laju sedimentasi
pada hilir Sungai Serayu yaitu meningkatnya sedimentasi/pendangkalan pada
Waduk Panglima Sudirman/Waduk Mrica. Semakin tinggi wilayah usahatani,
semakin besar risiko terjadinya erosi tanah dan air. Apabila ditinjau dari usahatani
kentang di lahan berlereng, maka usahatani kentang dimungkinkan mempunyai
risiko produksi dan risiko pendapatan. Hal ini karena dengan terjadinya erosi,
akan menyebabkan kesuburan tanah menurun, mengakibatan produktivitas lahan
menurun.
Kentang tumbuh sebagian besar di dataran tinggi saja, meliputi Kecamatan
Kejajar, Garung dan Kertek. Sentra kentang terdapat di Kecamatan Kejajar,
dengan produksi 47.711 ton/tahun, dengan luas lahan yang dimanfaatkan untuk
tanaman kentang adalah 3.013 ha dan sekarang sudah bertambah menjadi kurang
lebih 3.500 hektare (BPS, 2012). Sebagian besar wilayah Kejajar merupakan
lahan dengan kemiringan yang tinggi yaitu antara 25-40% yang sangat rentan
terhadap erosi. Ditinjau dari penutupan vegetasi secara umum dapat dikatan Dieng
kini telah gundul. Sebagian besar lahan kini telah dikonversi menjadi lahan
pertanian kentang. Areal yang semestinya merupakan kawasan lindung seperti
sekitar mataair, danau, dan lereng-lereng yang cukup curam pun kini telah
ditanami kentang (Sudibyakto, 2002). Selain masalah erosi dan kesuburan tanah
akibat penanaman monoculture kentang, masalah lain yang juga dihadapi adalah
masalah social budaya, kerusakan lingkungan, dan terjadinya pencemaran
lingkungan. Oleh karena itu makalah ini disusun sebagai hasil diskusi mengenai
permasalahan apa saja yang saat ini terjadi di pertanian kentang di Kabupaten
Wonosobo dan merumuskan upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi
masalah tersebut.

DISKUSI
1. Lokasi Geografis
Kabupaten Wonosobo berjarak 120 km dari ibu kota Jawa Tengah
(Semarang) dan 520 km dari Ibu kota Negara (Jakarta), berada pada rentang 250
dpl - 2.250 dpl dengan dominasi pada rentang 500 dpl - 1.000 dpl sebesar 50%
(persen) dari seluruh areal, menjadikan ciri dataran tinggi sebagai wilayah
Kabupaten Wonosobo dengan posisi pasial berada di tengah-tengah Pulau Jawa
dan berada diantara jalur pantai utara dan jalur pantai selatan.

Gambar 1 Peta Administrasi Kabupaten Wonosobo


Sumber: wonosobokab.go.id
1. Klimatologi
Wonosobo beriklim tropis dengan dua musim dalam setahun yaitu musim
kemarau dan musim penghujan. Rata-rata suhu udara di Wonosobo antara 14,3 -
26,5 derajat Celcius dengan curah hujan rata-rata per tahun berkisar antara 1713 -
4255 mm/tahun. Dengan kondisi tersebut Kabupaten Wonosobo sangat baik untuk
pertanian sehingga sektor pertanian merupakan sektor dominan dalam
perekonomian. Jenis tanah yang terdapat di Kabupaten Wonosobo terdiri dari
jenis tanah Andosol (25%), terdapat di Kecamatan Kejajar, sebagian Garung,
Mojotengah, Watumalang, Kertek dan Kalikajar; tanah Regosol (40%), tedapat di
Kecamatan Kertek, Sapuran, Kalikajar, Selomerto, watumalang dan Garung; dan
tanah Podsolik (35%), terdapat di Kecamatan Selomerto, Leksono dan Sapuran
(Buku Promosi Potensi Investasi, 1997). 
2. Topografi
Topografi wilayah Kabupaten Wonosobo memiliki ciri yang berbukit dan
bergunung, terletak pada ketinggian antara 200 sampai 2.250 m di atas permukaan
laut. Kabupaten Wonosobo ditinjau dari struktur geologi termasuk dalam jenis
pegunungan muda dan terletak di bebatuan prakwater yang sering mengalami
bencana alam terutama pada musim penghujan seperti tanah longsor (land slide),
gerakan tanah runtuh dan gerakan tanah merayap. Kelerengan merupakan suatu
kemiringan tanah dimana sudut kemiringan dibentuk oleh permukaan tanah
dengan bidang horizontal dan dinyatakan dalam persen. Kabupaten Wonosobo
dibagi menjadi 6 wilayah kemiringan, yaitu :
a. Wilayah dengan kemiringan antara 0,00 - 2,00% seluas 1052,263 ha atau
1,04% dari seluruh luas wilayah, banyak dijumpai di Kecamatan Selomerto dan
Kecamatan Kertek;
b. Wilayah dengan kemiringan antara 2,00 - 5,00% seluas 22969,5 ha atau
22,89% dari luas seluruh wilayah, banyak terdapat di 13 Kecamatan selain
Kecamatan Watumalang dan Kecamatan Kalibawang;
c. Wilayah dengan kemiringan antara 5,00 - 8,00% seluas 8143,769 ha atau
8,11% dari luas wilayah total, tersebar merata di 14 Kecamatan selain
Kecamatan Watumalang;
d. Wilayah dengan kemiringan antara 8,00 - 15,00% seluas 55434,85 ha atau
55,2% dari seluruh luas wilayah yang tersebar secara merata di semua
Kecamatan;
e. Wilayah dengan kemiringan antara 15,00 - 25,00% seluas 11101,6 ha atau
11,06% dari seluruh luas wilayah terdapat di semua kecamatan kecuali
Kecamatan Wonosobo;
f. Wilayah dengan kemiringan antara 25,00 - 40,00% seluas 1479,631 ha atau
1,47% dari luas wilayah total, terdapat di Kecamatan Kejajar, Garung, dan
Kalikajar; dan
g. Wilayah dengan kemiringan lebih dari 40,00% seluas 142,362 ha atau 0,14%
dari luas wilayah total, terdapat di Kecamatan Kejajar.
Daerah tersebut merupakan wilayah yang harus dilindungi agar dapat
berfungsi sebagai pelindung hidrologis dan menjaga keseimbangan dan
lingkungan hiup. Jenis penggunaan saat ini adalah hutan, tegalan, perkebunan.
Bentuk penggunaan lahan di Kabupaten Wonosobo pada tahun 2012 secara umum
di Kabupaten Wonosobo dapat dibedakan dalam 13 kategori, yakni lahan sawah
pengairan teknis, sawah pengairan setengah teknis, sawah pengairan sederhana,
sawah tadah hujan, bangunan pekarangan, tegalan/ kebun, padang rumput, kolam,
waduk, hutan negara, hutan rakyat, perkebunan, dan penggunaan lain.
Variasi bentuk dan luas penggunaan lahan di daerah penelitian pada
tahun 2012 cukup besar. Lahan terluas di Kabupaten Wonosobo digunakan untuk
tegalan/ kebun sebesar 42,952 ha. Tegalan di Kabupaten Wonosobo digunakan
untuk usaha budidaya tanaman kentang, sayuran dan tembakau yang telah menjadi
tradisi masyarakat. Sementara itu luas lahan urutan kedua di Kabupaten
Wonosobo adalah lahan untuk hutan negara yaitu seluas 35,00 ha. Penggunaan
lahan berupa hutan negara tersebar di 15 Kecamatan. Variasi dan luas penggunaan
lahan tersebut di atas berkaitan dengan aktivitas manusia, dimana semakin
keterogen aktivitas manusia maka semakin bervariasi juga penggunaan lahan yang
ada. Kecamatan Kejajar salah satu sentra lokasi budidaya kentang dengan luas
pertanaman kurang lebih 3.500 hektare (DJHKP, 2020)

2. Produksi Tanaman Kentang di Wonosobo


Jawa Tengah merupakan produsen kentang nasional terbesar kedua
setelah Jawa Barat, dengan sentra pertanaman di wilayah dataran tinggi Dieng di
Kabupaten Banjarnegara dan Wonosobo (Subhan dan Asandhi, 1998).
Prabaningrum et al., (2014) melaporkan bahwa dataran tinggi di daerah Dieng
memiliki iklim sejuk dan tanah berdrainase bagus sehingga sesuai untuk budidaya
tanaman kentang. Wilayah tersebut memenuhi kriteria penting yaitu dari aspek
suhu udara yang rendah antara 10 – 25˚C dan kondisi tanah yang gembur.
Hamdani (2009) bahwa dataran tinggi yang optimal bagi pertumbuhan dan
perkembangan tanaman kentang yaitu antara 1000 – 2000 m dpl. Selanjutnya
Londhe (2016) juga melaporkan bahwa karakteristik tanah yang dibutuhkan
tanaman kentang agar dapat tumbuh dengan baik yaitu tanah yang mempunyai
solum dalam, mempunyai kandungan bahan organik cukup tinggi, dengan
drainase baik. Tekstur tanah yang sesuai yaitu tanah liat yang gembur atau debu
berpasir dengan pH berkisar antara 5 sampai 6,5.

Tabel 1. Produksi dan luas Panen kentang di Kabupaten Wonosobo

Luas panen (ha) Produksi (Ton)


Kecamatan
2017 2018 2019 2017 2018 2019
Kalikajar 118 166 131 17.681 23.922 19.683
Garung 485 455 464 77.034 72.629 74.240
Kejajar 2.858 2.890 2.908 462.340 446.098 447.060
(Sumber: BPS Kabupaten Wonosobo)
3. Pola Tanam Petani Di Wonosobo
Petani di Wonosobo lebih intensif dalam menanam komoditas kentang
karena kentang merupakan komoditas utama bagi petani disamping jenis sayuran
lainnya. Hal ini karena nilai ekonomi kentang lebih tinggi dan lebih stabil
dibanding jenis sayuran lainnya. Dalam satu tahun, petani bisa menanam kentang
sebanyak dua kali atau bahkan sepanjang tahun. Varietas kentang yang selalu
ditanam oleh petani sebagian besar adalah Granola, dengan kata lain sangat jarang
dilakukan rotasi varietas (Pertiwi dan Cempaka, 2020). Menurut van Loon and
Hammink (2020), penanaman kentang di lahan yang sama berturut turut tanpa ada
jeda dengan tanaman lain, menyebabkan hasil dan kualitas hasil umbi yang
dihasilkan akan menurun. Hal ini disebabkan karena siklus hama dan penyakit
tidak terputus dan hampir semua hama dan penyakit menular melalui tanah.
Varietas kentang yang umum dikembangkan dan diminati oleh petani di
Wonosobo adalah varietas Granola L. Varietas ini mudah dibudidayakan, tahan
penyakit dan produktivitasnya tinggi. Adhiguna Farm merupakan salah satu
kelompok tani penangkar benih kentang yang sudah mengembangkan benih
kentang Granola L. Budidayanya mulai dari kelas benih Go sampai G2 atau benih
sebar dengan luas lahan 4,5 hektare dan saat ini hamper seluruh desa di
Kecamatan Kejajar sudah memiliki screenhouse untuk pengembangan benih
kentang. (Direktorat Jenderal Hortikultura, 2021).

4. Permasalahan dan Dampak Budidaya Kentang di Wonosobo


Keuntungan yang diperoleh dari usahatani kentang, menjadikan petani
kurang mempedulikan keadaan lingkungan dalam menjalankan usahataninya.
Petani menanam kentang di lahan marginal dengan kondisi kemiringan yang
curam dan kondisi geo-fisik lahan yang bergunung-gunung. Tanaman kentang
tumbuh baik jika ditanam di dataran tinggi dengan ketinggian tempat 1.000 m pdl
suhu 18-210C (Duaja, 2012; Gonzales, Kiswa, dan Bautista, 2016; Handayani,
Sofiari, dan Kusmana, 2016), hal tersebut yang membuat petani membuka lahan
besar-besaran di lereng gunung yang merupakan lahan konservasi. Lahan
konservasi yang seharusnya ditanami tanaman tahunan, beralih fungsi menjadi
lahan pertanian tanaman semusim. Kondisi ini menyebabkan lahan pada daerah
tersebut rentan terhadap erosi tanah. Petani tidak mau membuat guludan searah
garis kontur dengan alasan bahwa air larian (run off) dari lereng atas tidak lancar
dan menyebabkan lengas tanah atau kelembaban tanahnya tinggi, sehingga
mengakibatkan umbi kentang mudah busuk.
Dataran tinggi Dieng mempunyai usahatani kentang secara finansial
memiliki ketinggian antara 1.200 sampai 2.100 meter di atas permukaan laut (dpl)
dengan frekuensi tanam kentang dua sampai tiga kali dalam satu tahun. Tanaman
kentang dibudidayakan secara monokultur, sehingga sering menyebabkan
terjadinya erosi di daerah tersebut. Pertiwi et al. (2017) menyebutkan dengan
bertanam kentang sepanjang tahun akan menyebabkan degradasi lahan, selain itu
pertanaman kentang di Dataran Tinggi Dieng pada lahan dengan kemiringan
tajam memperbesar kemungkinan terjadinya tanah longsor dan menyebabkan
kesuburan lahan berkurang karena humus yang ada di permukaan tanah akan
hanyut terbawa air hujan. Hal ini dikuatkan oleh penelitian yang dilakukan Rusiah
et al. (2005) bahwa aktivitas pertanian kentang yang meningkat tanpa
memperhatikan kaidah konservasi lahan di sekitar obyek wisata dataran tinggi
Dieng menimbulkan kerusakan hutan, tanah, air, dan lingkungan. Degradasi lahan
dan kerusakan lingkungan lambat laun akan mengakibatkan penurunan
produktivitas kentang di Wonosobo.

5. Kelayakan Usahatani Kentang Di Wonosobo


Permasalahan lingkungan yang dipicu oleh penerapan pola tanam
kentang secara monokultur, penggunaan pestisida secara intensif, penanaman
searah kontur, dan beberapa bentukan teras bangku yang diintroduksikan belum
disertai penguat teras yang baik menyebabkan usaha tani kentang di dataran tinggi
Dieng menguntungkan secara finansial. Namun tidak layak diusahakan secara
ekonomi (sosial) dan ekologis (Bondansari et al, 2011). Menurut Pratiwi dan
Hardyastuti (2018), usahatani kentang menjadi tumpuhan penghidupan petani di
Kabupaten Wonosobo, karena sebagian besar pendapatan petani berasal darinya.
Walaupun saat ini kesuburan lahan menurun karena adanya degradasi lahan,
namun petani tetap mengusahakan tanaman kentang karena dirasakan masih lebih
menguntungkan dibandingkan tanaman lainya. Usahatani kentang akan
mengalami keberlanjutan apabila dari aspek ekonomi menguntungkan bagi petani
(Saida et al., 2011).
Tabel 2. Kelayakan usahatani kentang yang dibudidayakan petani di Kabupaten
Wonosobo
Kelayakan Usaha Tani Kentang
Keterangan Rerata Penerimaan Rerata Biaya (Rp) R/C Ratio
(Rp)
Rata-rata 113.306.970 62.635.020 1,81
Standar deviasi 107.874.000 64.761.900 0,85
Minimum 2.750.000 1.690.000 0,43
Maximum 381.000.000 272.000.000 3,21
Usahatani kentang di Kabupaten Wonosobo sampai pada saat ini masih
layak untuk diusahakan dilihat dari nilai rata-rata R/C ratio (1,81) > 1, artinya
penerimaan yang diterima petani dari usahatani kentang lebih tinggi dibandingkan
biaya usahataninya. Terdapat ketimpangan kelayakan usahatani kentang antar
petani yang terlihat dari nilai standar deviasi R/C ratio yang sangat tinggi (0,85).
Ternyata terdapat petani yang hasil usahatani kentangnya tidak layak untuk
diusahakan, terlihat dari nilai minimum R/C ratio yaitu 0,43 (penerimaan
usahatani kentang hanya dapat menutup separuh biaya usahataninya). Namun
terdapat pula petani yang usahataninya sangat menguntungkan, terlihat dari nilai
maksimum R/C ratio yaitu 3,21 (penerimaan yang diperoleh dari usahatani
kentang mampu menutup biaya usahatani tiga kali lipatnya). Usahatani kentang
yang tidak layak diusahakan disebabkan kegagalan panen akibat longsor dan
embun es di pagi hari yang membuat umbi kentang menjadi lembab dan busuk.
Selain itu produktivitas kentang di daerah di Kabupaten Wonosobo menurun
akibat berkurangnya kesuburan tanah karena degradasi lahan. Penggunaan
pestisida dan pengolahan lahan yang tidak ramah lingkungan dan secara terus
menerus menjadikan komponen lahan mengalami kejenuhan dan mematikan
mikroba dalam tanah (Pratiwi dan Hardyastuti, 2018).

6. Manajemen Konservasi Pertanaman Kentang di Wonosobo


1. Tahapan penerapan teknik konservasi tanah dan air:
Pada tahap awal, dalam penerapan teknik konservasi tanah tahapan yang
harus dilalui adalah:
a. Persiapan dan tahapan penentuan garis kontur;
Kemiringan lahan merupakan faktor utama yang harus diperhatikan
dalam menerapkan teknologi konservasi tanah dan air, karena teknik konservasi
sipil teknis maupun Teknik konservasi vegetatif harus dipilih sesuai dengan
kemiringan tanah dan dilakukan searah dengan garis kontur. Garis kontur adalah
garis yang menghubungkan titik-titik dengan ketinggian yang sama untuk
membuat bedengan dan teras pengendali erosi tanah. Pada lahan yang sudah
diteras, tidak harus merombak dan membongkar teras yang sudah ada, tetapi teras
diperkuat dengan tanaman penguat teras dari jenis rumput pakan ternak (Setaria
splendida., Brachiaria brizanta, Penissetum purpureum), jenis legum
semak/perdu sebagai sumber bahan organik dan pakan ternak (Flemingia
congesta., Gliricideae sp, Calliandra sp.) serta tanaman buah-buahan (pisang,
mangga, rambutan dan lain-lain).
b. Pengukuran kemiringan lahan
Satuan yang digunakan untuk mengukur kemiringan lahan di lapangan
adalah derajat (o) atau persen (%). Apabila panjang garis horizontal (HI) dan garis
tegak (VI) sama, maka sudut atau kemiringan lahan tersebut adalah 45 o atau
100%. Kemiringan lahan dapat diukur dengan menggunakan alat busur derajat
atau Abney Level maupun clinometer.
2. Alternatif teknik konservasi tanah dan air
Teknik konservasi tanah dan air pada pertanaman kentang di dataran
tinggi dapat dibedakan menjadi 3 bagian utama yaitu sebagai berikut:
a. Teknik konservasi tanah dan air sipil teknis/mekanik;
Teknik konservasi tanah dan air sipil teknis atau mekanik adalah teknik
konservasi yang pembuatannya melibatkan perlakuan fisik mekanik terhadap
tanah dan pembuatan bangunan untuk mengurangi aliran permukaan dan erosi.
Teknik ini dapat meningkatkan kemampuan tanah menopang pertumbuhan
tanaman. Teknik konservasi tanah secara mekanik pada pertanaman kentang
adalah sebagai berikut:

 Teras gulud
Teras gulud adalah barisan guludan yang dibuat memotong lereng (searah
kontur) dengan jarak tertentu (sesuai dengan vertical interval yang diinginkan)
dan dilengkapi dengan saluran pembuangan air (SPA) (Gambar 1):

Gambar 1. Ilustrasi teras gulud dan dimensinya pada kemiringan lahan <15%
Teras gulud berfungsi untuk:
 Memperpendek panjang lereng.
 Mengurangi erosi permukaan dan erosi alur.
 Mencegah erosi parit (gully erosion)
 Menurunkan laju aliran permukaan, terutama pada daerah dengan curah hujan
tinggi.
 Memperbesar infiltrasi air, sehingga kandungan air tanah meningkat.
Teras gulud cocok diterapkan pada kemiringan lahan < 15% dengan
solum tanah dangkal dan pada lahan dengan kemiringan lahan 15 % - 25 %
dengan solum tanah dalam. Teras gulud tidak cocok diterapkan pada lahan dengan
kemiringan lahan > 45 % dengan solum tanah dangkal.
 Rorak (jebakan lumpur dan aliran permukaan)
Rorak adalah parit kecil dengan lebar dan dalam masing-masing 20 cm
dan 25 cm yang dibuat memotong lereng (Gambar 2) untuk menjebak aliran air
permukaan dan tanah tererosi agar tidak hanyut ke areal yang lebih jauh di
bawahnya.
Gambar 2. Ilustrasi rorak dan dimensinya
b. Teknik konservasi tanah dan air non sipil teknis (vegetatif);
Teknik konservasi tanah dan air vegetatif adalah Teknik konservasi tanah
yang menggunakan tanaman dan tumbuhan atau sisa-sisanya. Konservasi tanah
vegetatif mempunyai fungsi melindungi tanah terhadap daya rusak butir-butir
hujan yang jatuh, melindungi tanah terhadap daya rusak aliran permukaan,
memperbaiki kapasitas infiltrasi tanah dan sebagai penahan air yang langsung
mempengaruhi besarnya aliran permukaan. Beberapa teknik konservasi tanah dan
air vegetatif diantaranya adalah:
1. Pergiliran tanaman, yaitu sistem pengelolaan tanaman dimana beberapa jenis
tanaman ditanam berurutan pada lahan yang sama.
2. Penggunaan mulsa, yaitu memanfaatkan atau memberikan sisasisa tanaman
atau bahan lain (misalnya plastik) pada permukaan tanah (Gambar 3).
3. Penanaman searah kontur, yaitu sistem pengelolaan tanaman dengan cara
menanam sejajar garis kontur (Gambar 4).

Gambar 3. Penggunaan mulsa plastik pada bedengan tanaman

Gambar 4. Penanaman/bedengan searah kontur


c. Kombinasi teknik konservasi sipil teknis dan vegetative
Teknik ini merupakan kombinasi antara teknik konservasi mekanik atau
sipil teknis berupa guludan dan rorak dengan teknik konservasi vegetatif berupa
penanaman penguat teras seperti rumput Paspalum notatum, bebe (Brachiaria
brizanta), bede (Brachiaria decumbens), dan akar wangi (Vetiveria zizanoides).
Tanaman penguat teras ditanam pada guludan, agar guludan tidak mudah rusak,
dan dipanen secara berkala untuk pakan ternak. Tanaman penguat teras dapat
menggunakan tanaman lain seperti kacang hiris, kacang merah atau jenis sayuran
lainnya yang hasilnya bukan dalam bentuk umbi (Gambar 5).

Gambar 5. Ilustrasi teras gulud, rorak, dan tanaman penguat teras


3. Pemilihan alternatif teknik konservasi tanah dan air
Teknik konservasi tanah dan air bersifat spesifik lokasi. Tidak semua
teknik konservasi tanah dan air dapat diterapkan pada semua kondisi tanah/lokasi.
Beberapa hal teknis yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan teknik
konservasi tanah dan air adalah: (1) kemiringan lahan, (2) kedalaman solum tanah,
dan (3) kepekaan tanah terhadap erosi (Tabel 3). Hal teknis yang harus
dipertimbangkan tersebut berlaku juga untuk areal budi daya hortikultura dalam
hal ini kentang. Dengan melihat kondisi fisik (kemiringan lahan, kedalaman
solum, kepekaan tanah terhadap erosi) di areal budi daya kentang di dataran
tinggi, maka alternatif teknik konservasi yang bisa dipilih adalah teras bangku (B)
dan teras gulud (G) (Tabel 3). Apabila belum dilakukan penterasan, teras gulud
lebih disarankan, sedangkan apabila teras bangku sudah terlanjur dibuat, maka
diperlukan penanaman tanaman penguat teras berupa rumput pakan ternak dan
atau tanaman leguminosa semak yang bisa digunakan untuk pupuk hijau dan atau
pupuk ternak. Selain ketiga hal tersebut di atas, produktivitas tanaman, efektifitas
mengendalikan erosi, kehilangan hara, preferensi dan kemampuan petani baik
teknis maupun finansial menjadi factor penting lainnya. Setiap teknik konservasi
memerlukan biaya dan tenaga kerja yang berbeda tergantung faktor kemudahan
atau kesulitan implementasinya di lapangan.

Tabel 3. Alternatif teknik konservasi tanah dan air menurut kemiringan lahan, kedalaman
solum (D), dan kepekaan tanah terhadap erosi (E)

4. Manfaat penerapan teknik konservasi tanah dan air


a. Menghambat erosi dan aliran permukaan
Usaha tani sayuran di dataran tinggi dengan lereng curam memiliki risiko
tinggi terhadap erosi tanah dan longsor. Erosi dan longsor akan terjadi apabila
cara pengelolaan lahan tidak menerapkan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air
yang pada gilirannya akan mengakibatkan turunnya kualitas lahan atau degradasi
lahan dan akhirnya menurunkan produksi tanaman. Hasil penelitian di dataran
tinggi Kerinci, Jambi menunjukkan bahwa penerapan teknologi konservasi tanah
pada tanaman kentang dapat menurunkan erosi dan aliran permukaan masing-
masing 14 - 26% dan 7 - 22% (Tabel 4). Penggunaan teknik konservasi tersebut,
erosi yang terjadi sudah berada di bawah erosi yang ditoleransi (Tolerable Soil
Loss) menurut metode Thompson (1975).
Tabel 4. Pengaruh teknologi konservasi tanah terhadap erosi tanah dan aliran permukaan
pada tanaman kentang di dataran tinggi Kerinci, Jambi
b. Mengurangi hara yang hilang
Penerapan teknik konservasi tanah dan air pada pertanaman kentang di
dataran tinggi sangat berguna untuk memelihara dan meningkatkan kualitas lahan.
Menurut Banuwa (1994) unsur hara N yang hilang dari lahan budi daya sayuran
mencapai 333 kg/ha/tahun yang setara dengan 740 kg urea serta kehilangan
Corganik sebanyak 3.120 kg/ha/tahun atau 5.304 kg/ha/tahun bahan organik.
Teknik konservasi tanah dan air menyebabkan jumlahtanah tererosi dan aliran
permukaan dari lahan usaha tani berkurang sehingga jumlah hara yang hilangpun
berkurang (Tabel 5).
Tabel 5. Kehilangan hara pada berbagai teknik konservasi tanah di lahan sayuran

c. Meningkatkan efisiensi pemupukan


Budidaya sayuran intensif di dataran tinggi tanpa disertai dengan
penerapan teknik konservasi tanah dan air yang memadai akan meningkatkan
jumlah unsur hara yang hilang. Secara perlahanlahan tetapi pasti, unsur hara di
dalam tanah akan terus terkuras. sehingga untuk mendapatkan hasil kentang dalam
jumlah tertentu diperlukan pupuk buatan yang semakin tinggi. Sebaliknya,
penggunaan pupuk akan semakin efisien apabila Teknik konservasi tanah dan air
serta pemberian pupuk kendang dilakukan dengan baik pada lahan tersebut.
Pupuk yang diberikan akan lebih hemat dan tersedia bagi tanaman karena pupuk
yang terbawa oleh aliran permukaan dan erosi berkurang.
d. Menyeimbangkan kehilangan dan laju pembentukan tanah
Penerapan teknik konservasi tanah dan air, akan menyebabkan jumlah
tanah tererosi dan aliran permukaan berkurang sehingga proses pengendapan
(sedimentasi) pada badan air (sungai) juga berkurang. Disamping itu, aliran
permukaan yang terjadi dapat ditekan sampai < 15 % dari curah hujan efektif,
sehingga aliran air tersebut tidak berpotensi menggerus tanah. Mencegah tanah
dari kejadian erosi melalui tindakan konservasi tanah dan air juga ditujukan agar
kehilangan tanah tidak melebihi batas erosi yang diperkenankan (tolerable soil
loss), dalam arti bahwa laju erosi tanah tidak melebihi laju atau kecepatan
pembentukan tanah sehingga tanah dapat digunakan secara lestari dan
berkelanjutan.
e. Meningkatkan hasil tanaman
Penerapan teknik konservasi tanah dapat meningkatkan hasil tanaman,
karena pupuk yang diberikan tidak banyak yang hilang dan tanaman mempunyai
waktu lebih lama untuk menyerap unsur hara yang diperlukan. Hasil tanaman
dengan penerapan beberapa teknik konservasi tanah disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Hasil tanaman kentang dengan penerapan beberapa teknik konservasi tanah

5. Analisis Finansial Usahatani Kentang


Salah satu pertimbangan petani untuk menerapkan teknologi budi daya
kentang dan konservasi tanah dan air adalah keuntungan usaha tani. Para petani
akan mengadopsi teknologi konservasi tanah hanya jika terdapat manfaat ekonomi
(keuntungan), tingkat keberhasilannya tinggi dan ketersediaan modal. Petani juga
tidak akan mengadopsi teknologi konservasi tanah jika hasil usaha tani itu tidak
terpengaruh oleh proses degradasi lahan. Analisis finansial diperlukan untuk
mengetahui tingkat keuntungan penerapan teknik konservasi tanah pada usaha tani
kentang di dataran tinggi. Analisis kelayakan finansial penerapan teknik
konservasi tanah dan air dapat dilakukan dengan menghitung rasio B/C (Benefit
Cost ratio), BEP (Break Even Point), NPV (Net Present Value), dan IRR (Internal
Rate of Return).
Biaya penerapan teknik konservasi tanah dan air yang manfaatnya
berlangsung lebih dari satu musim tanam, dihitung penyusutannya. Biaya
penyusutan adalah nilai perolehan dibagi dengan umur ekonomi penggunaannya.
Sebagai contoh, jika biaya pembuatan guludan searah kontur dan rorak sebesar Rp
X, umur ekonomi guludan dan rorak tersebut selama 6 musim tanam, maka biaya
penyusutan per musim tanamnya adalah Rp X/6. Perhitungan yang sama dapat
dilakukan terhadap peralatan pertanian (sprayer, cangkul, dan lain-lain) dan sewa
lahan.
Tabel 5. Contoh tabel analisis rasio B/C dan BEP penerapan teknologi konservasi tanah
dan air pada usaha tani kentang di dataran tinggi

(*) analisis ini menjadi tidak relevan jika L< K atau N<M, artinya secara cepat
dapat diketahui bahwa penerapan teknologi KTA merugikan petani, kecuali jika
nilai E dan F adalah berupa bantuan atau subsidi.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil diskusi yang dilakukan oleh kelompok maka dapat
disimpulkan bahwa:
1. Permasalahan lingkungan yang terjadi pada pertanian kentang di Kabupaten
Wonosobo meliputi praktek budidaya kentang pada lahan yang memiliki
kemiringan tajam sehingga memperbesar kemungkinan terjadinya erosi dan
tanah longsor, kesuburan tanah berkurang karena pertanian yang dilakukan
secara monokultur, penggunaan pestisida secara intensif, tidak ada pergiliran
tanaman dan degradasi lahan.
2. Teknik konservasi perlu dilakukan untuk mengurangi erosi menggunakan
konservasi tanah dan air dengan penentuan garis kontur atau dengan
Alternatif teknik konservasi tanah dan air seperti Teknik konservasi tanah dan
air sipil teknis/mekanik dengan pembuatan rorak atau teras gulus, non sipil
teknis seperti penanaman penguat teras dan teknik konservasi dengan
gabungan antar keduanya.

Referensi
Bondansari, Sularso K. E dan Dewanto E. 2011. Studi tentang budidaya tanaman
kentang Solzum Tuberosum L di dataran tinggi Dieng kajian dari aspek
ekonomi dan lingkungan. J Pemb Ped. 11(1):17-28.
Bambang Tri Cahyono. 1996. Manajemen Produksi. IPWI. Jakarta.
BPS. (2012). Produksi Kentang Menurut Provinsi 2008 - 2012
BPS Kabupaten Wonosobo. BPS Kabupaten Wonosobo
Dinas Pertanian Subdin Hortikultura Kabupaten Wonosobo. 2008. Deskripsi
Usulan Flora Carica (Carica candamarcensis) Kabupaten Wonosobo.
Wonosobo: Distan Kabupaten Wonosobo.
Direktorat Jenderal Hortikultura. Menjadi Pemasok Kentang, Kabupaten
Wonosobo Terus Kembangkan Benih Bermutu – Direktorat Jenderal
Hortikultura (pertanian.go.id).
Pertiwi, M.D dan Cempaka. I.G. 2020. Pengaruh Pola Tanam Terhadap
Pertumbuhan dan Hasil Kentang di wilayah dataran tinggi dieng jawa
tengah. Jurnal Ilmu Pertanian Polbangtan. 27(01): 22-29.
Pratiwi L. F dan Hardyastuti S. 2018. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi
pendapatan usahatani kentang pada lahan marginal di Kecamatan Kejajar
Kabupaten Wonosobo. Berkala Ilmiah Agri Agridevina. 7(1):14-26.
Saida, Sabiham, S., Widiatmaka, dan Sutjahjo, S. (2011). Analisis keberlanjutan
usahatani hortikultura sayuran pada lahan berlereng di hulu DAS
Jeneberang, Sulawesi Selatan. Jurnal Matematika Sains Dan Teknologi,
12(2), 101–112.
Arsyad, S. 2010. Konservasi Tanah dan Air. Edisi Kedua Cetakan Kedua. IPB
Press.
Gunarto, A. 2003. Pengaruh Penggunaan Ukuran Bibit Terhadap Pertumbuhan,
Produksi dan Mutu Umbi Kentang Bibit G4 (Solanum tuberosum L.).
Jurnal Sains.5:173-179.
Haryati, U dan U. Kurnia. 2001. Pengaruh teknik konservasi tanah terhadap erosi
dan hasil kentang (solanum tuberosum) pada lahan budi daya sayuran di
dataran tinggi Dieng. Hlm. 439-460 dalam Prosiding Seminar Nasional
Reorientasi Pendayagunaan Sumberdaya Tanah, Iklim dan pupuk. Buku
I. Cipayung- Bogor. Pusat penelitian dan Pengembangan tanah dan
Agroklimat, Bogor.
Haryati, U., D. Erfandi, dan Y. Soelaeman. 2012. Alternatif teknik konservasi
tanah untuk pengendalian erosi dan kehilangan hara pada pertanaman
kentang di Dataran Tinggi Kerinci. Prosiding Seminar Nasional
Percepatan Pengembangan Inovasi Pertanian Lahan Kering Beriklim
Kering Menghadapi Perubahan Iklim. Kupang, NTT. Balai Besar
Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan Litbang
Pertanian.
Soelaeman, Y., W. Hartatik, dan D. Erfandi. 2011. Aplication of Soil
Conservation and Fertilizers Rates in the Highlands Potato Farming in
Kerinci Regency, Jambi. Jurnal Agritek Edisi Hardiknas Mei 2011.
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat Institut Pertanian
Malang.
Sudibyakto., Yunianto, T., Suripto, B.A., dan Kurniawan, A. 2002. Pemetaan
kondisi Sumberdaya Alam Kawasan Dataran Tinggi Dieng. Prosiding
Seminar Hasil-hasil Penelitian Fakultas Geografi UGM Tahun 2002.
Suganda, H., S. Abujamin, A. Dariah, dan S. Sukmana. 1994. Pengkajian teknik
konservasi tanah dalam usahatani tanaman sayuran di Batulawang, Pacet.
Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk 12:47-57.
Sukmana, S., M Syam, dan A Adimihardja. 1990. Petunjuk Teknis Usahatani
Konservasi Daerah Aliran Sungai. Proyek Penelitian Penyelamatan
Hutan Tanah dan Air (P3HTA). Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Departemen Pertanian.
Wonosobo. 2014. Geografis Kabupaten Wonosobo. Wonosobo The Soul of Java.
https://website.wonosobokab.go.id/category/detail/geografis-kabupaten-
wonosobo

Anda mungkin juga menyukai