Anda di halaman 1dari 37

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI STUNTING

PADA BALITA USIA 24-59 BULAN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS


SANGGARAN AGUNG
KECAMATAN DANAU KERINCI

PROPOSAL TESIS

OLEH :
NILA SARTIKA
221000414101015

FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS PRIMA NUSANTAR
BUKITTINGGI 2023
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Saat ini Indonesia masih menghadapi permasalahan gizi yang

berdampak serius terhadap kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Salah satu

masalah kekurangan gizi yang masih cukup tinggi di Indonesia adalah pendek

(stunting) dan kurus (wasting) pada balita serta masalah anemia dan kurang

energi kronik (KEK) pada ibu hamil. (Rahayu, 2018 : 1).

Stunting atau pendek didefinisikan sebagai kondisi gagal tumbuh pada

bayi (0-11 bulan) dan anak balita (12-59 bulan) akibat dari kekurangan gizi

kronis terutama dalam 1.000 hari pertama kehidupan sehingga anak terlalu

pendek untuk usianya (Ramayulis, dkk dalam Arnita,dkk 2018).

Seorang anak dikatakan stunting jika panjang badan atau tinggi

badannya terletak dibawah minus dua standar deviasi panjang atau tinggi anak

seumurnya. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor

2 tahun 2020 mengenai Standar Antropometri Anak, Stunting ialah balita yang

status gizinya didasarkan atas panjang atau tinggi badan pada golongan

usianya, jika nilai z- score di bawah -2 SD disebut pendek (stunted) serta

digolongkan sangat pendek (severely stunted) apabila z-score nya dibawah -3

SD Menkes RI (2020).

Terdapat dua kategori penyebab stunting, yaitu penyebab langsung dan

tidak langsung. Secara langsung karena masalah gizi yang disebabkan oleh

rendahnya asupan gizi dan masalah kesehatan, masalah tersebut merupakan

dua hal yang saling mempengaruhi. Adapun pengaruh tidak langsung adalah

ketersediaan makanan, pola asuh, ketersediaan air minum (bersih), sanitasi dan
pelayanan kesehatan (Kemenkes RI:Badan Litbangkes, 2013)

Menurut Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan

(TNP2K), stunting disebabkan oleh berbagai faktor seperti pola pengasuhan

yang kurang baik meliputi pemberian makan dalam 2 tahun pertama setelah

kelahiran, masih kurangnya akses terhadap pelayanan kesehatan selama hamil

dan setelah melahirkan, kurangnya akses keluarga ke makanan bergizi, serta

masih terbatasnya akses air bersih dan sanitasi (TNP2K, 2017).

Dalam upaya mewujudkan pertumbuhan dan perkembangan anak

secara optimal, khususnya pada masa balita diperlukan persiapan-persiapan

baik dari orang tua terutama ibu maupun petugas kesehatan, peran perawat

(petugas lapangan) sudah dimulai sejak anak dalam kandungan, yaitu dengan

melakukan pemeriksaan kehamilan secara berkala dan deteksi resiko tinggi

saat kehamilan kemudian menolong persalinan serta merawat bayi dan ibu

pasca persalinan (Ambarwati dkk, 2012).

Peran perawat komunitas pada tingkatan pencegahan penyakit salah

satunya adalah pencegahan primer/peningkatan kesehatan (health

promotion),yaitu peningkatan status kesehatan masyarakat melalui kegiatan,

diantaranya pendidikan kesehatan (health education), penyuluhan kesehatan

masyarakat (PKM) seperti penyuluhan tentang gizi, perbaikan status gizi

masyarakat dan pengamatan tumbuh kembang anak (growth and development

monitoring) dengan cara deteksi dini (Mubarak dkk, 2009). Upaya pencegahan

stunting harus dimulai oleh ibu dari masa kehamilan terutama pada 1.000

hari pertama kehidupan, salah satunya adalah dengan pengetahuan dan sikap

ibu tentang pencegahan stunting. Penguatan intervensi untuk meningkatkan

pengetahuan dan sikap ibu tentang kesehatan dan gizi perlunya paket gizi

(Pemberian Makanan Tambahan, Vit A. Tablet Tambah Darah) pada ibu


hamil dan balita, memahami pengasuhan dan pembinaan tumbuh kembang

anak (Kemenkeu, 2018).

Menurut data WHO ditunjukkan sejumlah masalah gizi golongan balita

salah satunya Indonesia adalah negara nomor tiga dalam prevalensi stunting

paling tinggi setelah negara Timor Leste serta India, angka prevalensi di tahun

2017 berkisar 36,4%, kemudian ditunjukkan jika stunting adalah permasalahan

gizi yang penting dan perlu dilakukan hal istimewa dimana nantinya

melibatkan berbagai sektor (Riskesdas, 2018).

Tabel 1.1 Estimasi Stunting Nasional


Tahun Prevalensi Stunting
2018 30,8
2019 27,7
2021 24,4

Sumber: Studi Status Gizi Indonesia (SSGI)

Berdasarkan Studi Status Gizi Indonesia prevalensi stunting Indonesia

tahun 2021 sebesar 24,4 %. Walaupun sudah turun dari tahun sebelumnya,

percepatan pencegahan stunting harus terus dilakukan agar dapat memenuhi

target penurunan prevalensi stunting 14 % pada tahun 2024.

Dalam Strategi Nasional Pencegahan Stunting, pemerintah

menetapkan 100 Kabupaten/Kota prioritas penanganan stunting tahun 2018,

bertambah di tahun 2019 menjadi 160 Kabupaten/Kota prioritas dan tahun

2020-2024 akan ditetapkan semua desa di semua Kabupaten/Kota prioritas

secara bertahap (TNP2K 2018). Salah satu dari 100 Kabupaten/Kota prioritas

tersebut yaitu Kabupaten Kerinci yang terletak di Provinsi Jambi.

Di Provinsi Jambi masih menjadi permasalahan tingginya prevalensi

stunting. Dari data Studi Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) 2019, prevalensi

stunting di kabupaten kerinci yaitu 34,3 %, dan angka ini masih diatas standar
prevalensi WHO yaitu 20%, dan ditahun 2021 prevalensi stunting berdasarkan

hasil dari data Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021, yaitu 26,70. Menurut

Keputusan bupati kerinci nomor 050/kep. 110, 2020 tentang penentuan desa

lokasi fokus penanganan stunting di kabupaten kerinci tahun 2023 menetapkan

49 desa lokus stunting dikabupaten kerinci tahun 2023 dan Kecamatan Danau

Kerinci terdapat 3 desa lokus stunting yaitu desa talang kemulun, tebing tinggi,

sanggaran agung.

Puskesmas Sanggaran Agung terletak di Kecamatan Danau Kerinci,

Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi dan menjadi satu-satunya puskesmas yang

ada dikecamatan tersebut. Pada tahun 2020 Puskesmas Sanggran Agung

mempunyai 19 wilayah kerja meliputi 19 Desa yang tersebar di dalam 2

Kecamatan yaitu Kecamatan Danau Kerinci dan Kecamatan Tanah Cogok.

Tabel 1.2
Persentase Data Stunting Puskesmas Sanggaran Agung Kecamatan Danau
Kerinci

No Desa Prevalensi
Stunting
1 Koto Baru Sanggaran 8,3
Agung
2 Seleman 7
3 Tebing Tinggi 4,2
4 Pendung Talang 3,5
Genting
5 Desa Baru Tanjung 3,3
Tanah
6 Koto Tengah 2,3
7 Pasar Sore 1,9
8 Tanjung Tanah 1,6

Sumber: Puskesmas Sanggaran Agung 2021

Menurut data Puskesmas Sanggaran Agung, Presentase angka stunting

tertinggi di Kecamatan Danau kerinci wilayah kerja puskesmas sanggaran

agung terdiri dari Desa Koto Baru Sanggaran Agung 8,3 %, Seleman 7%,
Tebing Tinggi 4,2 % , Pendung Talang Genting 3,5 %, dan Desa Baru Tanjung

Tanah 3,3.

Puskesmas Sanggaran Agung Kecamatan Danau Kerinci merupakan

salah satu lembaga pemerintah yang memberikan pelayanan kesehatan kepada

masyarakat dan tidak terlepas dari peraturan yang berlaku. Pemanfaatan sarana

pelayanan kesehatan berbasis masyarakat secara optimal oleh masyarakat

seperti Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) merupakan salah satu pendekatan

untuk menemukan dan mengatasi persoalan gizi balita.

Upaya yang dilakukan Puskesmas Sanggaran Agung di dalam

pencegahan stunting dengan mengadakan Posyandu. Dengan adanya

pelaksanaan posyandu di Puskesmas Sanggaran Agung merupakan wadah

untuk melakukan pencatatan kasus gizi buruk dengan cara melakukan

penimbangan berat badan balita dan pemberian makanan tambahan. Dinkes

Provinsi mendistribusikan pemberian makanan tambahan ke kabupaten/kota,

memberikan MPASI pada balita usia 6 sampai 24 bulan selama 90 hari,

sasarannya balita yang berat badannya atau kondisinya kurus, pemberian

vitamin A dan lainnya.

Berdasarkan observasi awal peneliti faktor-faktor yang mempengaruhi

stunting di Wilayah Kerja Puskesmas Sanggaran Agung adalah sebagai

berikut:

1. Masih kurangnya pengetahuan ibu-ibu tentang pentingnya mengikuti

kegiatan posyandu seperti imunisasi. Balita yang imunisasinya tidak

lengkap lebih banyak mengalami stunting dari pada balita yang

imunisasinya lengkap.

2. Pola pengasuhan ibu masih kurang baik menyebabkan asupan yang

diperoleh anak menjadi kurang baik sehingga mengakibatkan anak tumbuh


stunting.

3. Pendidikan orang tua yang rendah berpengaruh langsung terhadap pola

pengasuhan anak yang kemudian akan mempengaruhi asupan makanan

anak. Asupan makanan anak yang buruk akan mempengruhi stunting,

4. Masih rendahnya status ekonomi yang mengakibatkann ibu kekurangan

gizi selama kehamilan, minimnya pemeriksaan kesehatan bayi disaat

didalam kandungan, dan rendahnya daya beli untuk membeli makanan

sehingga tidak terpenuhinya kebutuhan zat gizi baik pada anak.

5. Sebagian masyarakat masih belum paham tentang masalah stunting atau

kurangnya penyuluhan tentang pentingnya pencegahan stunting.

Masih terbatasnya layanan kesehatan termasuk pelayanan kesehatan

untuk ibu selama masa kehamilan) dan tidak aktif nya KPM (Kader

Pembangunan Manusia dalam memonitoring dalam pencegahan stunting.

Berdasarkan fenomena diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian dengan judul “Analisis Faktor-Faktor yang mempengaruhi

Stunting pada Balita Usia 24-59 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas

Sanggaran Agung Kecamatan Danau Kerinci”.

1.2. Identifikasi Masalah

1. Masih Kurangnya pengetahuan ibu tentang pola asuh yang baik.

2. Kurangnya pengetahuan ibu tentang penting nya mengikuti kegiatan

posyandu seperti imunisasi.

3. Pendapatan orang tua yang rendah mengakibatkan kurang nya

asupan makanan yang lebih baik.

4. Kurangnya Sosialisasi dari Puskesmas tentang pemahaman Stunting.


1.3. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, penulis merumuskan masalah dalam

penelitian ini adalah Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi stunting pada

balita usia 24-59 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Sanggaran Agung?

1.4. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk

mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi stunting pada balita

usia 24-59 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Sanggaran Agung Kecamatan

Danau Kerinci.

1.5. Manfaat Penelitian

1.5.1. Manfaat Teoritis

1. Memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan terutama

yang berkaitan dengan stunting.

2. Diharapkan menjadi bahan acuan bagi peneliti selanjutnya tentang

faktor- faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya stunting, sehingga

dapat mengantisipasi terjadinya stunting.

1.5.2. Manfaat Praktis

Bagi penulis yaitu untuk dapat menambah wawasan tentang

Analisis Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Stunting Pada Balita Usia

24-59 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Sanggaran Agung Kecamatan

Danau Kerinci

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan terhadap

pihak terkait dalam hal stunting


BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1. Landasan Teori
2.1.1. Stunting
Stunting ialah permasalahan gizi buruk yang diakibatkan oleh

kekurangan gizi dalam kurun waktu yang lama, sehingga menyebabkan

terhambatnya pertumbuhan pada anak (Kemenkes RI, 2018).

Stunting atau pendek di definisikan sebagai kondisi gagal tumbuh

pada bayi (0 – 11 bulan) dan anak balita (12-59 bulan) akibat dari

kekurangan gizi kronis terutama dalam 1.000 hari pertama kehidupan

sehingga anak terlalu pendek pada untuk usianya (Ramayulis, dkk dalam

Arnita, dkk 2018).

Kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada

masa awal lahir, tetapi stunting baru nampak setelah anak berusia 2 tahun.

Berdampak pada tingkat kecerdasan, kerentanan, terhadap penyakit,

menurunkan produktifitas dan kemudian menghambat pertumbuhan

ekonomi, meningkatkan kemiskinan dan ketimpangan (Kemenkeu, 2018).

Stunting juga didefinisakan sebagai kondisi dimana balita

memiliki panjang atau tinggi badan yang kurang jika dibandingkan

dengan umur. Kondisi ini diukur dengan panjang atau tinggi badan yang

lebih dari minus dua standar deviasi median standar pertumbuhan anak

dari WHO. Balita stunting termasuk masala gizi kronik yang disebabkan

oleh banyak faktor seperti kondisi sosial ekonomi, gizi ibu saat hamil,

kesakitan pada bayi, dan kurangnya asupan gizi pada saat bayi. Balita

stunting dimasa yang akan datang akan mengalami kesulitan dalam


mencapai perkembangan fisik dan kognitif yang optimal (Buletin Jendela

dan Data Informasi Kesehatan, Kemenkes RI 2018).

Stunting yang terjadi pada anak ditandai dengan ukuran tubuh atau

tinggi badan anak terlalu pendek dari usianya (UNICEF 2020). Balita

stunting merupakan anak berusia 0-59 bulan dalam kategori status gizi

menurut indeks tinggi badan dibanding umur (TB/U) memiliki Z-score

kurang dari -2SD (Kementrian Kesehatan RI, 2020).

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2021

tentang Percepatan Penurunan Stunting, Stunting adalah gangguan

pertumbuhan dan perkembangan anak akibat kekurangan gizi kronis dan

infeksi berulang, yang ditandai dengan panjang atau tinggi badannya

berada di bawah standar yang ditetapkan oleh menteri yang

menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa anak yang mengalami

stunting karena kurang gizi pada masa balitanya cenderung memiliki IQ

yang rendah dibandingkan dengan anak normal. Mereka sering kali

mudah mengantuk dan kurang bergairah dalam menerima pelajaran

sehingga terdapat kesulitan dalam penyerapan materi. Akibatnya, anak

tersebut dapat mengalami penurunan nilai dan dicap sebagai anak yang

kurang pandai. Oleh karena itu, diperlukan upaya pencegahan dan

kesadaran kita supaya stunting tidak terjadi. Salah satu hal yang dapat

dilakukan yaitu dengan mengetahui beberapa faktor penyebab stunting

dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari sehingga masalah

ini tidak berlanjut dan jumlah balita pendek di Indonesia semakin

berkurang.
Dalam upaya percepatan penurunan stunting Perpes No. 72 tahun

2021 menetapkan Strategi Nasional Percepatan Penurunan Stunting,

bertujuan untuk menurunkan prevalensi stunting, meningkatkan kualitas

penyiapan kehidupan berkeluarga, menjamin pemenuhan asupan gizi,

memperbaiki pola asuh, meningkatkan akses dan mutu pelayanan

kesehatan dan meningkatkan akses air minum dan sanitasi.

2.1.2 Ciri-Ciri Anak Stunting

Ciri-ciri fisik yang tampak pada anak stunting adalah tinggi

dibawah rata- rata, terjadi gagal tumbuh, perhatian dan memori rendah,

menghindari kontak mata, dan lebih pendiam. Stunting juga diakibatkan

oleh kondisi kurang gizi di usia balita dan berat badan lahir rendah

(BBLR).

Secara umum anak stunting dapat dikenali dari tanda-tanda berikut ini:

1. Melambatnya pertumbuhan anak

2. Anak akan menjadi lebih pendiam pada usia 8-10 tahun

3. Kurang mempertahankan kontak mata

4. Wajah anak terlihat lebih muda dari usianya

5. Tanda-tanda pubertas tertunda

6. Peforma tes perhatian dan memori belajar buruk

(Kementerian Komunikasi dan Informatika, 2019)

Anak dengan stunting juga memiliki sistem kekebalan tubuh yang

rendah, sehingga lebih mudah sakit, terutama akibat penyakit infeksi.

Selain itu, anak yang mengalami stunting akan lebih sulit dan lebih lama

sembuh ketika sakit.

Stunting juga memberikan dampak jangka panjang terhadap

kesehatan anak. Setelah dewasa, anak akan rentan mengalami penyakit


diabetes, hipertensi, dan obesitas. Seluruh ciri-ciri anak stunting ini

sebenarnya adalah dampak dari kurangnya nutrisi, seringnya terkena

penyakit, dan salahnya pola asuh pada 1000 hari pertama kehidupan,

yang sebenarnya dapat dicegah namun tidak dapat diulang kembali .

2.1.3 Pengukuran Status Stunting dengan Antropometri TB/U atau PB/U

Antropometri adalah diartikan sebagai mengukur fisik dan

bagian tubuh manusia. Antropometri pengukuran tubuh atau bagian

tubuh manusia. Dalam menilai status gizi dengan metode antropometri

adalah menjadikan ukuran tubuh manusia sebagai metode untuk

menentukan status gizi. Konsep dasar yang harus dipahami dalam

menggunakan antropometri untuk mengukur status gizi adalah konsep

dasar pertumbuhan. Indikator tersebut tinggi badan menurut umur dalam

mengevaluasi kesehatan dan status gizi anak. Pengukuran tinggi badan

pada anak dapat dilakukan dengan alat pengukur tinggi mikrotoa

(microtoise) yang mempunyai ketelitian 0,1 cm (Thamaria, 2017).

Ada beberapa indeks antropometri :

1. Berat Badan Menurut Umur (BB/U)

Berat badan berkembang mengikuti pertambahan umur.

Sebaliknya, dalam keadaan yang abnormal terdapat 2 kemungkinan

perkembangan berat badan, yaitu dapat berkembang cepat atau lebih

lambat dari keadaan normal. Berat badan menurut umur digunakan

sebagai salah satu cara pengukuran status gizi.


2. Tinggi badan menurut umur (TB/U)

Indikator untuk mengetahui seorang anak stunting atau normal.

Tinggi badan bertambah sesuai dengan pertambahan umur, namun

kurang sensitif terhadap kekurangan zat gizi dalam jangka waktu

pendek.

3. Berat Badan menurut Tinggi badan (BB/TB)

Berat Badan memiliki hubungan linear dengan tinggi badan.

Dalam keadaan normal, perkembangan berat badan akan searah

dengan pertumbuhan tinggi badan dengan kecepatan tertentu. Indeks

BB/TB merupakan indikator yang baik untuk menilai status gizi saat

ini (sekarang). Indeks BB/TB adalah indeks yang independen terdapat

umur.

Pengukuran antropometri digunakan untuk mengukur status

stunting pada balita berdasarkan tinggi badan dibandingkan dengan

umur. Kondisi pertumbuhan skeletal dapat digambarkan melalui ukuran

antropometri berupa tinggi badan. Dalam kondisi yang normal, tinggi

badan akan bertambah seiring bertambahnya usia. Pertumbuhan tinggi

badan, tidak seperti berat badan yang kurang sensitif terhadap

permasalahan gizi dalam jangka pendek. Efek kurang gizi terhadap

tinggi badan akan terlihat dalam rentang waktu yang lama (Candra,

2020).

Stunting dapat diketahui bila seorang balita sudah ditimbang berat

badannya dan diukur panjang atau tinggi badannya, lalu dibandingkan

dengan standar, dan hasilnya berada dibawah normal. Jadi secara fisik

balita akan lebih pendek dibandingkan balita seumurnya. Penghitungan


ini menggunakan standar Z score dari WHO. Normal, pendek dan Sangat

Pendek adalah status gizi yang didasarkan pada indeks Panjang Badan

menurut Umur (PB/U) atau Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) yang

merupakan padanan istilah stunted (pendek) dan severely stunted (sangat

pendek).

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

No. 2 tahun 2020 terkait dengan standar antropometri anak menyatakan

bahwa indeks PB/U atau TB/U menggambarkan pertumbuhan tinggi

badan atau panjang badan anak menurut usianya. Indeks ini dijadikan

untuk bisa menetapkan seorang anak pendek (stunted) atau sangat

pendek (severely stunted).

Tabel 2.1
Klasifikasi Status Gizi berdasarkan Indeks Tinggi Badan menurut Umur

Indeks Status Gizi Simpang Baku (Z-score)


Tinggi Badan menurut Sangat Pendek <-3 SD
Umur (TB/U) Pendek -3 SD s/d <-2 SD
Normal -2 SD s/d + 3 SD
Tinggi > + 3 SD

Sumber: Permenkes RI 2020

Indikator TB/U memberikan indikasi malnutrisi kronik yang

menggambarkan riwayat kurang gizi anak dalam jangka waktu lama

sehingga stunting menujukkan bagaimana keadaan gizi sebelumnya.

Anak yang mengalami stunting dapat berdampak pada produktivitas

mereka di masa dewasa (Kurnia, 2017).

2.1.4 Dampak Stunting


Stunting dapat mengakibatkan peningkatan kematian dan

penyakit, pada perkembangan dapat berbentuk gangguan motorik,


kognitif, dan verbal pada balita, di bidang ekonomi bisa meningkatkan

biaya kesehatan. Dampak dalam jangka panjang pada bidang kesehatan

bisa berupa tubuh pendek, kesehatan reproduksi yang buruk, di bidang

perkembangan mengakibatkan menurunnya prestasi akademik,

kemampuan belajar yang buruk, dan kerugian finansial (Fikrina, 2017).

Balita yang mengalami stunting juga berisiko tinggi mengalami

gangguan intelektual, kurang produktif dan meningkatkan risiko penyakit

tidak menular dimasa yang akan datang seperti stroke, penyakit jantung

dan penyakit ginjal dan diabetes (KDPDTT, 2017)

Menurut Kementrian PPN/Bappenas, 2018 Ada dua dampak

yang ditimbulkan stunting yaitu dampak jangka pendek dan jangka

panjang

1. Dampak Jangka Pendek

Stunting menyebabkan gagal tumbuh, hambatan perkembangan

kognitif dan motorik, dan tidak optimalnya ukuran fisik tubuh serta

gangguan metabolisme.

2. Dampak Jangka Panjang

Stunting menyebabkan menurun nya kapasitas intelektual.

Gangguan struktur dan fungsi saraf dan sel-sel otak yang bersifat

permanen dan menyebabkan penurunan kemampuan menyerap

pelajaran di usia sekolah yang akan berpengaruh pada

produktivitasnya saat dewasa.

Selain itu, kekurangan gizi juga menyebabkan gangguan

pertumbuhan (pendek dan atau kurus) dan meningkatkan risiko penyakit

tidak menular seperti diabetes melitus, hipertensi, jantung kroner, dan


stroke.

Prevalensi stunting yang tinggi mempengaruhi kesehatan, tidak

hanya menurunkan resistensi terhadap penyakit infeksi seperti

pneumonia dan diare tetapi juga memicu untuk pemulihan kesehatan

anak yang jelek, rata-rata kematian anak yang meningkat dan beberapa

konsekuensi serius lainnya (Wang,dkk., 2009).

Adapun beberapa dampak stunting pada anak sebagai berikut

(Gibney,dkk., 2010; dalam Ramadhani 2019) :

1. Anak dengan stunting lebih awal yaitu sebelum usia 6 bulan, akan

mengalami stunting lebih berat menjelang usia dua tahun. Stunting

yang parah pada anak maka akan berpengaruh pada jangka panjang

seperti anak mengalami kesulitan belajar sehingga terjadi

penurunan prestasi di sekolah. Hal ini tentu akan mempengaruhi

keberhasilan anak di masa yang akan datang.

2. Anak dengan stunting akan menimbulkan kerugian negara di masa

yang akan datang karena akan berpotensi untuk tidak mendapatkan

pendidikan yang baik, miskin, serta lebih rentan terkena penyakit

tidak menular seperti obesitas berpotensi penyakit kardiovaskuler,

dsb.

3. Anak dengan stunting lebih banyak menderita penyakit infeksi

seperti ISPA dibandingkan dengan anak tidak stunting. Hampir

pada tiap umur prevalensi ISPA lebih banyak terjadi pada anak

yang pendek dibandingkan anak yang normal tinggi badannya.

2.1.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi Stunting

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi stunting terbagi atas

dua macam faktor yaitu faktor secara langsung yakni asupan makanan,
penyakit infeksi, berat badan lahir rendah dan genetik. Sedangkan faktor

secara tidak langsung yakni pengetahuan tentang gizi, pendidikan orang

tua, sosial ekonomi, pola asuh orang tua, distribusi makanan dan

besarnya keluarga/jumlah anggota keluarga (Supariasa dalam Lainua,

2016).

Banyak penelitian mengungkapkan bahwa prevalensi stunting

banyak ditemukan pada balita dari keluarga yang berstatus sosial

ekonomi rendah, penyakit infeksi, pendidikan yang rendah, jumlah

anggota keluarga, pekerjaan ibu dan sanitasi lingkungan (Fikadu, dkk

dalam Lainua 2016).

2.1.5.1 Faktor Pendidikan Orang Tua

Faktor pendidikan ibu memiliki dampak besar pada status gizi

anak. Hal ini ditunjukkan oleh hasil penelitian yang menyebutkan bahwa

ibu yang tidak sekolah beresiko 5 kali mempunyai anak dengan berat

badan kurang dari normal dibandingkan dengan ibu yang bersekolah

selama 12 tahun atau lebih (Yadaf, 2016). Pengetahuan ibu tentang gizi

sangat berpengaruh terhadap pemilihan bahan makanan yang akan

dikonsumsi oleh anak.

Tingkat pengetahuan ibu tentang gizi diterapkan pada

perencanaan makan keluarga berhubungan dengan sikap positif ibu

terhadap diri sendiri, kemampuan ibu dalam memecahkan masalah, dan

mengorganisasikan keluarga (Soekarti, 2011). Asupan makan kurang

pada kelompok kasus tersebut dipengaruhi oleh kurangnya pengetahuan

ibu tentang gizi, usia ibu yang masih muda, dan pendapatan keluarga

yang rendah.

Pengetahuan tentang kebutuhan tubuh akan gizi berpengaruh


terhadap jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi. Tingkat pengetahuan

ibu tentang gizi berpengaruh terhadap perilaku ibu dalam memilih

makanan meliputi jumlah dan jenis pangan yang akan dikonsumsi untuk

seluruh anggota keluarga khususnya anak balitanya yang berdampak

pada asupan gizinya (Supariasa, 2015).

Kecenderungan stunting pada balita lebih banyak terjadi pada ibu

yang berpendidikan rendah. ibu yang berpendidikan baik akan membuat

keputusan yang akan meningkatkan gizi dan kesehatan anak-anaknya dan

cenderung memiliki pengetahuan gizi yang baik pula. (Anisa dalam

Sholihatin,2019).

Rendahnya tingkat pendidikan orang tua terutama ibu, merupakan

faktor penyebab terjadinya KEP. Hal ini disebabkan adanya kaitan antara

peran ibu dalam mengurus rumah tangga terkhusus anak-anaknya.

Pengetahuan dan tingkat pendidikan ibu sangat berpengaruh pada tingkat

kemampuan ibu dalam mengelola sumber daya yang ada dalam keluarga,

untuk memperoleh bahan makanan yang berkualitas serta sejauh mana

sarana pelayanan kesehatan gizi yang ada dan sanitasi lingkungan yang

tersedia, harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh ibu untuk

kesehatan keluarga (Rahayu dkk, 2018).

Rendahnya pendidikan ibu bisa mengakibatkan rendahnya

pemahaman ibu mengenai apa saja yang dibutuhkan demi pertumbuhan

yang optimal pada anak, masyarakat dengan tingkat pendidikannya yang

rendah lebih mempertahankan nilai-nilai tradisi yang berhubungan

dengan makanan, sehingga sangat sulit menerima informasi baru bidang

gizi.
Tingkat pendidikan berperan dalam menentukan mudah tidaknya

seseorang menerima suatu pengetahuan yang baru, semakin tinggi

pendidikan yang diperoleh seseorang maka seseorang akan lebih mudah

untuk menerima informasi-informasi gizi. Dengan adanya pendidikan

gizi tersebut diharapkan tercipta pola makan yang baik dan sehat,

sehingga dapat mengetahui kandungan gizi, kebersihan dan pengetahuan

yang terkait pola makan lainnya (Rahayu dkk., 2018).

Tingkat pendidikan seorang ibu dapat berpengaruh pada status

kesehatan dan status gizi pada anak. Ibu dengan tingkat pendidikan tinggi

akan memiliki kesempatan yang lebih banyak dalam menyerap informasi

bila dibandingkan dengan ibu yang memiliki tingkat pendidikan yang

kurang. Pemahaman seorang ibu tentang pendidikan kesehatan yang

diberikan akan mudah diterima oleh ibu yang mempunyai tingkat

pendidikan tinggi dari pada ibu dengan tingkat pendidikan yang rendah

(Damisti, 2020).

2.1.5.2 Faktor Ekonomi

Salah satu faktor penyebab masalah gizi adalah kemiskinan.

Kemiskinan dinilai mempunyai peran penting yang bersifat timbal balik

sebagai sumber permasalahan gizi yakni kemiskinan menyebabkan

kekurangan gizi sebaliknya individu yang kurang gizi akan

memperlambat pertumbuhan ekonomi dan mendorong proses

kemiskinan.

Status ekonomi secara tidak langsung dapat mempengaruhi status

gizi anak. Sebagai contoh, keluarga dengan status ekonomi baik bisa

mendapatkan pelayanan umum yang lebih baik juga, yaitu pendidikan,

pelayanan kesehatan, aksesibilitas jalan, dan sebagainya. Melalui


fasilitas-fasilitas tersebut keluarga dengan status ekonomi baik akan

berdampak positif terhadap status gizi anak (Bishwakarma, 2011)

Faktor utama yang mepengaruhi status gizi anak balita adalah

perekonomian keluarga, Prevalensi malnutrisi pada anak dapat

disebabkan karena lingkungan dan status ekonomi keluarga. Kondisi

sosial ekonomi yang buruk seperti rendahnya gaji ayah mendorong gizi

buruk pada anak-anak. Ayah yang bekerja tetapi memiliki penghasilan

rendah atau memiliki pekerjaan yang tidak stabil cenderung kurang dapat

mencukupi nutrisi anak-anak mereka (Ayensu, dalam Pardede 2017).

Status ekonomi merupakan faktor risiko terjadinya stunting.

Berdasarkan penelitian di Aceh ditemukan hubungan antara pendapatan

keluarga dengan kejadian stunting. Keluarga yang memiliki pendapatan

rendah akan berisiko sebesar 8,5 kali untuk memiliki anak stunting

dibandingkan dengan pendapatan yang tinggi. Hal ini tentu berkaitan

dengan daya beli untuk peningkatan konsumsi energi keluarga serta

peningkatan status gizi juga rendah (Lestari, dkk., 2014).

Di Indonesia, terdapat kecenderungan semakin tinggi tingkat

pendidikan dan status ekonomi, semakin tinggi persentase pemberian

makanan prelakteal berupa susu. Sebaliknya semakin rendah tingkat

pendidikan dan status ekonomi, semakin tinggi persentase pemberian

makanan prelakteal non-susu (air putih, air gula, air tajin, air kelapa, sari

buah, teh manis, madu, pisang, nasi/bubur, dan lainnya). Masalah

pemberian makanan pre-lakteal ditemui pada rumah tangga dengan sosial

ekonomi rendah maupun tinggi (Nadiyah, 2014).

Status Ekonomi keluarga akan dapat mempengaruhi kemampuan


pemenuhan gizi keluarga maupun kemampuan mendapatkan pelayanan

kesehatan, anak pada keluarga dengan tingkat ekonomi rendah lebih

beresiko mengalami stunting karena kemampuan pemenuhan gizi yang

rendah, meningkatkan resiko terjadinya malnutrisi (Fikrina, 2017)

Pendapatan akan mempengaruhi pemenuhan zat gizi keluarga dan

kesempatan dalam mengikuti pendidikan formal. Rendahnya pendidikan

disertai dengan rendahnya pengetahuan gizi sering dihubungkan dengan

kejadian malnutrisi (Nashikhah R, 2012).

Pendapatan keluarga merupakan salah satu faktor dalam status

ekonomi. Jika dalam suatu rumah tangga, pendapatan yang didapatkan

minimal atau kurang dari normal dapat menyebabkan kebutuhan primer,

terutama pangan menjadi terhambat sehingga pemenuhan nutrisi tidak

optimal dan akan mengakibatkan masalah kekurangan gizi atau

malnutrisi (Repi, 2013).

Keluarga dengan status ekonomi rendah akan mempunyai

kesempatan untuk mencukupi kebutuhan pangan dan gizi keluarga yang

rendah, sehingga anak lebih rentan terjadi stunting. Keluarga dengan

status ekonomi tinggi memiliki kesempatan untuk memilih bahan

makanan yang lebih bervariatif serta kebutuhan zat gizi tercukupi,

sehingga risiko kejadian masalah gizi dapat ditekan.

Rendahnya status ekonomi keluarga dapat mengakibatkan

rendahnya daya beli untuk membeli bahan makanan yang berkulitas.

Kurangnya kuantitas dan kualitas makananan dapat mengakibatkan tidak

terpenuhinya kebutuhan zat gizi anak, padahal pada tahap pertumbuhan

dan perkembangannya anak sangat membutuhkan zat gizi yang baik.


2.1.5.3 Faktor Pola Asuh Balita

Stunting merupakan akibat dari akumulasi tidak tercukupinya

asupan makanan yang bergizi secara terus menerus baik disertai atau

tidak oleh kondisi kesehatan yang buruk dan pengasuhan yang kurang

dari orang tua. Asupan makanan merupakan penyebab langsung

terjadinya stunting.

Asupan zat gizi yang berpengaruh terhadap pertumbuhan linear

adalah zat gizi mikro yaitu zat gizi vitamin A, seng dan zat besi. Selain

itu asupan energi dan asupan protein juga di butuhkan balita untuk

pertumbuhan dan perkembangannya. Apabila zat gizi tidak terpenuhi

maka akan menderita malnutrisi. Asupan makanan yang kurang juga

dapat mengakibatkan lemahnya daya tahan tubuh yang dapat

menimbulkan penyakit infeksi (Fatimah dan Wirjatmadi, 2018).

Pola asuh orang tua juga dapat menyebabkan stunting pada anak.

Pola asuh ibu sangat erat kaitannya dengan bagaimana ibu memberikan

makanan, praktek kebersihan dan pengobatan terhadap anak. Sebagian

besar orang tua memiliki masalah dalam pola asuh yang kurang dalam

pemberian praktek makanan. (Lestari, dkk., 2014).

Ibu sangat berperan penting dalam praktik pola asuh pada anak,

karena perhatian dan dukungan terhadap anak akan memberikan dampak

positif bagi keadaan status gizi anak. Pola Asuh adalah salah satu dari

sekian banyak faktor yang tidak langsung terkait pada status gizi anak
misalnya stunting.

Pola asuh mempunyai kinerja spesifik pada perkembangan

optimal anak. Kuantitas serta kualitas asupan gizi dalam makanan anak

harus diperhatikan sebab dibutuhkan ialah karena makanan yang

dibagikan ibu untuk anaknya seringkali rendah akan zat gizi yang

diperlukan dalam menunjang pertumbuhan. Hal tersebut menunjukkan

kalau dalam mensuport asupan gizi yang baik dibutuhkan penunjangan

kemampuan ibu pada saat pemberian asuhan yang baik untuk anak dalam

hal praktek kebersihan diri dan lingkungan, pemberian makan serta

praktik pencarian pengobatan atau pelayanan kesehatan.

Menurut Husaini dalam Lusi, dkk (2020) menyatakan peran

keluarga terutama ibu dalam mengasuh anak akan menentukan tumbuh

kembang anak. Ibu dengan pola asuh yang baik tentu balita mendapatkan

asupan makanan yang baik.

Makanan adalah hal yang terpenting dalam kehidupan terutama

untuk pertumbuhan. Tanpa asupan makanan dan nutrisi yang cukup,

suatu organisme tidak bisa tumbuh dan berkembang secara normal

(Lupiana, 2010). Tingkat kesehatan biasanya dipengaruhi oleh asupan

makanan yang masuk kedalam tubuh seseorang, jika asupan gizi yang

masuk dalam komposisi yang baik maka gizi seseorang juga akan baik.

Namun jika yang terjadi adalah yang sebaliknya maka tubuh akan

kekurangan zat gizi atau biasa disebut malnutrition. Masalah tersebut

disebabkan oleh kekurangan atau ketidakseimbangan antara energi dan

protein yang masuk dalam tubuh (Notoatmodjo, 2007).

Adapun batasan minimal asupan energi per hari adalah 70% dari
AKG Kementrian Kesehatan, 2010). Kegagalan tumbuh (stunting)

dihasilkan dari kurangnya asupan gizi merupakan faktor risiko yang

paling besar dalam menentukan perkembangan anak (Wachs, 2008).

Kekurangan gizi mempengaruhi sejumlah besar anak-anak di negara

berkembang. Kekurangan gizi akibat dari berbagai faktor, sering terkait

buruknya kualitas makanan, asupan makanan tidak cukup dan penyakit

infeksi (El & Fattah, 2001).

Gizi yang baik sangat penting untuk pertumbuhan dan

perkembangan otak, terutama dalam dua tahun pertama anak, jadi pola

asuh balita sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan balita.

jika pola makan tidak sehat terjadi pada anak maka salah satu akibatnya

adalah pola asuh dari orangtua yang salah, maka dampak yang

ditimbulkan adalah gangguan atau penyakit seperti obesitas, penyakit

jantung, kerusakan gigi, penyakit hati dan lain sebagainya.

2.1.5.4 Akses Pelayanan Kesehatan

Akses terhadap layanan kesehatan juga menjadi penyebab anak

stunting. Hal ini terlihat bahwa cakupan pelayanan baik ketersediaan,

akses layanan, dan kualitas yang diberikan masih menjadi kendala.

Cakupan pelayanan yang masih rendah seperti imunisasi lengkap,

suplementasi tablet besi-folat pada ibu hamil, pemantauan KMS dan

SKDN, promosi IMD, ASI Eksklusif, cakupan garam beryodium dan

sebagainya (Damisti, 2020).

Berdasarkan penelitian perbaikan indeks pelayanan kesehatan

dengan memperhatikan kecukupan dokter, bidan, posyandu, persalinan

oleh nakes, dan jaminan pelayanan kesehatan di setiap kabupaten/kota

dapat mengurangi masalah pendek pada balita dan anak pendek (Trihono,
dkk dalam Ramhadani 2019).

Status Imunisasi pada anak adalah salah satu indikator

kontak dengan pelayanan kesehatan, karena diharapakan bahwa kontak

dengan pelayanan kesehatan akan membantu memperbaiki masalah gizi

baru, jadi status imunisasi juga diharapkan akan memberikan efek

positif terhadap status gizi jangka panjang. (Yimer dalam winasis,

2018).

Imunisasi adalah suatu upaya untuk mendapatkan kekebalan

tubuh terhadap suatu penyakit, dengan memasukkan kuman atau produk

kuman yang sudah dilemahkan atau dimatikan dengan memasukkan

kuman atau bibit penyakit tersebut diharapkan tubuh dapat mengahsilkan

Eat Anti yang pada akhirnya nanti digunakan tubuh untuk melawan

kuman atau bibit penyakit yang menyarang tubuh.

Imunisasi adalah suatu usaha memberikan kekebalan pada bayi

dan anak terhadap penyakit tertentu. Imunisasi adalah suatu cara untuk

meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap antigen

sehingga bila kelak terpajang pada antigen yang serupa tidak terjadi

penyakit (Ranuh, dalam winasis 2018).

Terbatasnya layanan kesehatan termasuk layanan ANC-Ante

Natal Care (pelayanan kesehatan untuk ibu selama masa kehamilan) Post

Natal Care dan pembelajaran dini yang berkualitas. Berdasarkan studi

kohor tumbuh kembang anak oleh Balitbangkes membuktikan bahwa

faktor ibu selama masa kehamilan menentukan panjang lahir bayi.

Kondisi ibu selama kehamilan sangat berpengaruh kepada pertumbuhan

janin di kandungan. Jika pertumbuhan bayi di dalam kandungan


terhambat maka akan berisiko pada panjang lahir bayi. Menurut

penelitian Fitrah Ernawati dalam Ramadhani 2019, di Bogor

membuktikan bahwa panjang bayi lahir akan berpengaruh kepada anak

dengan stunting.

Selama masa kehamilan layanan ANC mempengaruhi anak

menjadi stunting. Hal ini dibuktikan dari hasil penelitian Najahah

(2013) di Nusa Tenggara Barat bahwa kunjungan ANC pada ibu hamil

merupakan faktor dominan meningkatkan risiko stunting. Kunjungan

ANC yang tidak sesuai standar berperan terhadap kejadian stunting

sebesar 40% ANC yang sesuai dengan standar pada ibu hamil

berhubungan dengan anak yang stunting. Ibu yang melahirkan anak kecil

saat lahir atau BBLR signifikan memiliki anak dengan status stunting

(Pramod Singh, dkk., 2009).

Berdasarkan penelitian Torlesse,dkk. (2016) menyatakan bahwa

ibu mendapatkan layanan ANC minimal 4 kali selama kehamilan.

Prevalensi stunting juga signifikan rendah pada anak-anak dengan ibu

yang memiliki akses yang baik dengan fasilitas kesehatan. Hal ini

berkaitan dengan ibu yang mendapatkan layanan ANC yang layak baik

itu ke dokter, bidan maupun fasilitas kesehatan seperti puskesmas.

Bukan hanya itu, KPM (Kader Pembangunan Manusia) juga

sangat berperan aktif dalam penurunan pencegahan stunting. Dalam

Pelayanan kesahatan, KPM (Kader Pembangunan Manusia) juga ikut

berperan aktif dalam memonitoring dan memfasilitasi konevergensi

dalam penurunan stunting. KPM (Kader Pembangunan Manusia)

berperan juga mengajak partisipasi masyarakat dan lembaga dalam

proses perencanaan,pelaksanaan kegiatan dan pemantauan. KPM (Kader


Pembangunan Manusia) juga perlu untuk berkoordinasi dengan pelaku

program dan lembaga lainnya seperti bidan desa, petugas puskesmas

lainnya (ahli gizi, sanitarian) guru paut dan aparat lainnya atau lembaga

desa.

2.2 Hasil Penelitian yang Relevan

1. Penelitian yang dilakukan Sri Mulyant (2020) berjudul Faktor- Faktor

Yang Berhubungan Dengan Terjadinya Stunting Pada Balita Usia 24-59

Bulan Di Kelurahan Setiawargi Kota Tasikmalaya Tahun 2020. Hasil

penelitiannya faktor yang dapat menyebabkan stunting di Kelurahan

Setiawargi yaitu BBLR, Status Ekonomi Keluarga, Pendidikan Orang

Tua, Status Imunisasi dan ASI Ekslusif.

Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang penulis lakukan adalah

sama-sama menggunakan pradigma penelitian faktor-faktor yang

mempengaruhi stunting dan perbedaannya, peneliti ini menggunakan

metode pendekatan kuantitatif sedangkan peneliti menggunakan metode

kualitatif. Lokasi penelitian juga berbeda, dimana peneliti ini mengambil

lokasi di Kelurahan Setiawargi Kota Tasikmalaya sedangkan peneliti

mengambil lokasi di Wilayah Krja Puskesmas Sanggaran Agung.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Lusy Rustiyani dkk, (2020) berjudul

Analisis Faktor Yang Menyebabkan Stunting Di Wilayah Kerja Puskesmas

Kemangkon. Dengan menggunakan metode penelitian pendekatan

kualitatif yang berbentuk deskriptif kualitatif. Sampel dikumpulkan dengan

cara snowball sampling, sebanyak 7. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

Terdapat 5 faktor yang menyebabkan stunting seperti: karakteristik


informan yang mengalami stunting, faktor pendidikan ibu, faktor ekonomi,

faktor jumlah anggota keluarga dan faktor pola asuh balita dengan

kejadian stunting di Wilayah Kerja Puskesmas Kemangkon. Pola asuh

dan ekonomi pada informan sebagian besar dalam keadaan kurang yang

dapat menyebabkan kejadian stunting pada balita.

Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang penulis lakukan adalah

sama-sama menggunakan pradigma penelitian faktor-faktor yang

mempengaruhi stunting dan menggunakan metode kualitatif. Perbedaanya

Peneliti ini mengambil lokasi di Wilayah Kerja Puskesmas Kemangkon

sedangkan peneliti mengambil lokasi di Wilayah Kerja Puskesmas

Sanggaran Agung.

2.3 Operasional Konsep

Operasional Konsep merupakan konsep yang digunakan untuk

menjabarkan dalam bentuk nyata kerangka teoritis, karena kerangka teoritis

masih bersifat abstrak juga belum sepenuhnya dapat diukur dilapangan

untuk itu perlu di operasionalkan agar lebih terarah.

Berdasarkan konsep teori Analisis Faktor-faktor yang mempengaruhi

stunting pada balita usia 24-59 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Sanggaran

Agung Kecamatan Danau Kerinci, maka dapat dilihat dari faktor-faktor sebagai

berikut:

1. Faktor Pendidikan

Kecenderungan stunting pada balita lebih banyak terjadi pada ibu yang

berpendidikan rendah. ibu yang berpendidikan baik akan membuat

keputusan yang akan meningkatkan gizi dan kesehatan anak-anaknya dan

cenderung memiliki pengetahuan gizi yang baik pula. (Anisa dalam


Sholihatin,2019).

2. Faktor Ekonomi

Status Ekonomi keluarga akan dapat mempengaruhi kemampuan

pemenuhan gizi keluarga maupun kemampuan mendapatkan pelayanan

kesehatan, anak pada keluarga dengan tingkat ekonomi rendah lebih

beresiko mengalami stunting karena kemampuan pemenuhan gizi yang

rendah, meningkatkan resiko terjadinya malnutrisi (Fikrina, 2017)

3. Faktor Pola Asuh Balita

Stunting merupakan akibat dari akumulasi tidak tercukupinya asupan

makanan yang bergizi secara terus menerus baik disertai atau tidak oleh

kondisi kesehatan yang buruk dan pengasuhan yang kurang dari orang tua

(Fatimah dan Wirjatmadi, 2018).

4. Akses Pelayanan Kesehatan

Akses terhadap layanan kesehatan juga menjadi penyebab anak stunting.

Hal ini terlihat bahwa cakupan pelayanan baik ketersediaan, akses layanan,

dan kualitas yang diberikan masih menjadi kendala (Damisti, 2020).

2.4 Kerangka Berpikir

Agar penelitian ini lebih terarah dan untuk menghindari kesalahan

penafsiran istilah dalam penelitian, maka penulis menjelaskan dalam bentuk

kerangka berpikir.

Gambar 2.1.
Kerangka Berpikir

1. Faktor Pendidikan Orang


Faktor yang tua
mempengaruhi Stunting 2. Faktor Ekonomi
3. Faktor Pola Asuh Balita
4. Faktor Akses Pelayanan
Sumber: Rahayu 2018, Fikrina 2017, Wirjatmadi, 2018, Damisti 2020

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Pendekatan Penelitian

Penelitian merupakan usaha untuk menemukan, mengembangkan, dan menguji

kebenaran suatu pengetahuan, usaha yang digunakan untuk metode ilmiah.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan

kualitatif adalah penelitian ilmah yang bertujuan untuk memahami suatu

fenomena dalam konteks sosial secara alamiah dengan mengedepankan

interaksi komunikasi yang mendalam antara peneliti dengan fenomena yang

akan diteliti. (Sugiyono, 2019:18).

3.2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di Wilayah Kerja Puskesmas

Sanggaran Agung Kecamatan Danau Kerinci Kabupaten Kerinci. Lokasi ini

penulis pilih sebagai penelitian karena pertimbangan lokasi tersebut sesuai

dengan topik yang akan diteliti dan juga karena sebelumnya di wilayah Kerja

Puskesmas Sanggaran Agung Kecamatan Danau Kerinci.

3.3. Jenis dan Sumber Data

3.3.1. Jenis Data

Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian kualitatif,

karena data yang diperoleh berbentuk kata-kata atau verbal. Cara memperoleh

data kualitatif dapat dilakukan melalui wawancara mendalam.


3.3.2. Sumber Data

Untuk keperluan penelitian ini, adapun sumber data yang penulis


ambil adalah:

1. Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari objek

penelitian secara individual atau kelompok, ataupun melalui hasil

observasi terhadap suatu tempat kejadian atau kegiatan, dan hasil

pengujian.

2. Data sekunder yaitu data yang diperoleh melalui pengkajian berbagai

sumber- sumber tertulis, baik berupa buku-buku literatur, dokumen,

maupun data tertulis lainnya yang diterbitkan instansi terkait dengan

objek penelitian.

3.4. Teknik Pemilihan Informan

Menurut Sugiyono (2017: 85) dalam penelitian kualitatif teknik

pemilihan informan yang sering digunakan adalah teknik purposive sampling.

Purposive sampling adalah teknik penentuan informan kunci (key informan)

dan informasi pendukung. Dimana informan kunci merupakan informan yang

mengetahui secara mendalam permasalahan yang sedang diteliti, sedangkan

informan pendukung merupakan orang yang dapat memberikan informasi

tambahan sebagai pelengkap analisis dan pembahasan dalam penelitian

kualitatif.

Penentuan Informan kunci (key informan) dilakukan dengan teknik

purposive sampling dimana informan dipilih secara sengaja berdasarkan

kriteria yang telah ditentukan dan ditetapkan berdasarkan tujuan penelitian.


3.5. Teknik dan Alat Pengumpulan Data

3.5.1. Teknik Pengumpulan Data

1. Penelitian Perpustakaan (Library Research)

Penelitian ini untuk mendapatkan data sekunder yaitu data

yang diperoleh dilapangan melalui literatur-literatur ataupun

referensi-referensi, untuk mencari landasan teori yang

berhubungan dengan masalah yang dibahas, serta buku-buku yang

menunjang proposal penelitian ini.

2. Penelitian Lapangan (Field Research)

Penelitian ini merupakan pengumpulan data yang

dilakukan dengan cara turun langsung ke objek yang di teliti

untuk mendapatkan data primer dengan cara:

a) Wawancara (interview)

Menurut Sugiyono, (2019:304) wawancara merupakan

pertemuan dua orang untuk saling bertukar informasi dan ide

melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna

dalam suatu topik tertentu.

Dalam Objek penelitian ini digunakan teknik

wawancara tak berstruktur, yakni wawancara yang bebas

dimana peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara

yang telah tersusun secara sistematis dan lengkap untuk

pengumpulan data. Pedoman wawancara yang digunakan

hanya berupa garis- garis besar permasalahan yang akan

ditanyakan.
b) Dokumen

Dokumen dan sumber datanya berupa catatan atau

dokumen yang tersedia, serta buku-buku lainnya yang

berhubungan dengan objek penelitian.

Menurut Arikunto, ( 2007:231 ) dokumentasi adalah

mencari data mengenai hal-hal yang berupa foto, catatan,

buku, dan sebagainya.

3.5.2. Alat Pengumpulan Data

Alat yang dgunakan dalam penelitian ini yaitu:

1. Pedoman wawancara

2. Pena/pensil

3. Buku/kertas

4. Kamera/HP

3.6. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara

sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan juga

dokumentasi kemudian membuat kesimpulan yang mudah dipahami oleh diri

sendiri maupun orang lain.

Dalam buku Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D

mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara

interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas sehingga

datanya sudah jenuh. (Miles dkk dalam Sugiyono, 2019:321)

1. Data Collection/Pengumpulan
Data Dalam penelitian kualitatif pengumpulan datanya dengan

melakukan observasi, wawancara mendalam, dan dokumentasi, atau

gabungan ketiganya (triangulasi). (Sugiyono, 2019:322)

2. Data Reduction (Reduksi Data)

Mereduksi data berarti merangkum, memilih dan memilah

hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema

dan polanya. Dengan demikian data yang telah direduksi akan

memeberikan gambaran yang jelas dan mempermudah peneliti.

(Sugiyono, 2019:323)

3. Data Display (Penyajian Data)

Dalam penelitian kualitatif, penyajian data bisa dilakukan

dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart

dan sejenisnya. Namun, (1984) mengemukakan bahwa yang paling sering

digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian kualitatif adalah

dengan teks yang bersifat naratif. (Miles dkk dalam Sugiyono, 2019:325)

4. Kesimpulan (Conclusion Drawing/Verification)

Kesimpulan dalam penelitian kualitatif adalah merupakan temuan

baru yang sebelumnya belum pernah ada. Temuan dapat berupa deskripsi

atau gambaran suatu obyek yang sebelumnya masih remang-remang atau

gelap sehingga setelah diteliti menjadi jelas, dapat berupa hubungan kausal

atau interaktif, hipotesis atau teori.

3.7. Teknik Keabsahan Data

Teknik keabsahan data yang digunakan dengan mengambil data dilokasi

penelitian yang kemudian data yang diperoleh dilakukan kroscek dengan teknik
trianggulasi data, sehingga data yang diperoleh selama penelitian betul-betul

dapat dipercaya keabsahannya. Untuk menjaga keabsahan data maka dilakukan

triangulasi baik terhadap data, sumber maupun metode yaitu Triangulasi sumber

Triangulasi sumber yaitu Pengecekan data dan membandingkan

fakta dengan sumber lain, sumber tersebut berupa informan yang

berbeda, membandingkan data dengan memasukkan kategori informan

yang berbeda.

1. Triangulasi Teknik

Triangulasi teknik dilakukan untuk menguji kredibilitas data

yang dilakukan dengan cara mengecek data kepada sumber yang sama

dengan teknik yang berbeda.

3.8. Unit Analisis

Unit analisis adalah satuan yang akan diteliti berupa individu dan

kelompok. Adapun unit analisis dalam penelitian ini adalah Wilayah Kerja

Puskesmas Sanggaran Agung Kecamatan Danau Kerinci.

3.9. Jadwal Penelitian

Untuk memperoleh hasil penelitian sesuai dengan tujuan yang

ditetapkan.

Anda mungkin juga menyukai