Anda di halaman 1dari 6

NAMA : NUR IKHSANIYAH LUBIS

NIM : 12210121385
MATKUL : PROFESI dan ETIKA KEGURUAN
DOSEN PEMBINGBING : NASRUL

FAVORITE TICHER

Sebelum saya menceritakan tentang guru favorite saya, terlebih dahulu saya akan
menceritakan ataupun memperkenalkan sekolah saya dan cerita kehidupan saya waktu
dipondok. Nama sekolah saya itu bernama pondok pesantren musthafawiyah ataupun lebih
dikenal dengan pesantren purba baru didirikan oleh seorang ulama besar yang bernama
syekh musthafa husein nasution bin umar nasution al-mandily yang berdiri pada 12
November 1912 yang terletak di kawasan jalan lintas medan padang desa purba baru,
kecamatan lembah sorik merapi kabupaten mandailing natal provinsi sumatera utara dan
merupakan salah satu pesantren tertua di pulau sumatera dengan usia lebih dari 1 abad
( seratus tahun ) dan telah banyak mencetak ulama di Indonesia.

Awal mulanya pesantren ini dimulai dengan kegiatan- kegiatan pengajian agama yang
berebentuk halaqah yang dirintis dan dibina oleh syekh musthafa husein pada sebuah masjid
di tano bato. Usaha beliau dalam merintis dan membina pengajian agama ini dilaksanakan
setelah kembalinya ia belajar dari Makkah selama 12 tahun ( 1900- 1912 ).

Seiring dengan itu, beliau melaksanaka kegiatan dakwah islamiyah dari surau ke
surau dan dari masjid ke masjid. Kehadiran beliau memberikan pengajaran agama ternyata
tidak hanya mendapat sambutan yang baik dari masyarakat tano bato, akan tetapi menarik
perhatian masyarakat yang berada di luar desa tersebut, seperti desa maga lombang,
hutanamale, sibanggor, dan lain- lain. Bahkan ada juga yang datang dari tempat jauh seperti
dari kampung hasatan wilayah sibuhuan.

Sungguh sangat disayangkan pengajaran di tano bato ini tidak bearlangsung lama
hanya sekitar selama 4 tahun. Hal ini disebabkan pada tanggal 28 november 1915 desa tano
bato mengalami kebanjiran. Maka dengan itu syekh musthafa husein nasution
memindahkannya ke desa purba baru sampe sekarang masih bertempat di purba baru. Di desa
inilah syekh musthafa husein melanjutkan aktifitas mengajarnya dan pada saat itu jumlah
murid beliau masih sekitar 20 orang.

Dalam kegiatan belajar mengajar sehari-hari, murid-murid yang menerima pelajaran


dari gurunya yang duduk di tengah-tengah sedangkan mereka duduk disekelilinginya sambil
mendengar dan mencatat pelajaran yang disampaikan guru. Pada waktu itu kegiatan belajar
masih dilaksanakan di masjid.seiring dengan berjalannya waktu aktifitas mengajar beliau
semakin di kenal masyarakat. Murid- muridnya pun sudah banyak yang berasal dari luar
daerah. Suasana kegiatan belajar mengajar di pesantren ini berjalan secara berkesinambungan
sampai pada tahun 1926, pada tahun tersebut jumlah murid yang belajar bertambah secara
drastis, sehingga ruang masjid yang dibuat sebagai tempat belajar tidak bisa lagi menampung
banyaknya murid yang berkeinginan menuntut ilmu.

Untuk mengatasi itu pada tahun yang sama syekh musthafa husein mendirikan satu
gedung madrasah disamping rumah kediaman beliau yang daya tampungnya diperkirakan
dapat menampung murid yang saat itu berjumlah 250 orang. Usaha beliau dalam
mengembangkan pendidikan dimasyarakat mengalami kemajuan. Hal ini dibuktikan dengan
semakin banyaknya murid yang berdatangan dari wilayah yang jauh. Dengan banyaknya
murid yang berdatangan, pada tahun 1930 syekh musthafa husein berencana untuk
mendirikan gedung permanen yang terdiri dari tiga lokal sebagai tempat belajar tambahan
bagi para santri.

Walaupun pada mulanya di rencanakan mendirikan tiga lokal saja tetapi sesudah
rencana ini berjalan kira- kira dua tahun, ternyata belum mencukupi, sehingga terpaksa
didirikan gedung tambahan sebanyak tiga lokal lagi. Hal ini dikarenakan dalam dua tahun itu
perkembangan jumlah santri semakin banyak bertambah yang berdatangan dari daerah-
daerah yang lebih jauh, seperti aceh, sumatera barat, bahkan sampai luar negeri seperti
malaysa.

Berkat usaha dan bantuan kaum muslimin pembangunan gedung yang terdiri dari
enam lokal dengan ukuran masing- masing 8X6 meter. Setelah berdirinya gedung tersebut,
pada tahun itu juga syekh musthafa husein mulai merubah sistem belajar yang sebelumnya
halaqah menjadi sistem klasikal, yang sebelumnya para santri dalam halaqah bebas mengikuti
pelajaran tanpa ada pemisahan berdasarkan usia dan tingkat kemampuan, maka setelah itu
berlaku sistem klasikal, yaitu para santri yang belajar di bagi menjadi 3 tingkatan, pertama
tingkat tsanawiyah selama tiga tahun. Kedua tingkat Aliyah Selama 3 tahun dan satu tahun
lagi tingkat musthafawiyah. Jadi santri yang menuntut ilmu disitu lamanya sampe tujuh ( 7 )
tahun. Dan santri disini di pokuskan memperdalam ilmu agama dan ilmu umum hanya
sampingan saja.

Pesantren yang dikelola syekh musthafa husein pada waktu itu berbentuk madrasah.
Musthafa husein mendapat sambutan yang begitu luar biasa dari masyarakat, dengan
bertambahnya santri pada saat itu mencapai 500 orang. Sejak awal berdirinya hingga sampai
abad ke 1950 an pesantren ini hanya melaksanakan pendidikan khusus untuk santri putra saja.
Penerimaan santri putri terlaksana pada tahun 1959, ketika pemimpin pesantern ( mudir ) di
pimpin oleh H. Abdullah Musthafa Nasution, putra dari Syekh Musthafa Husein sendiri. Dan
sekarang di pimpin oleh Syekh Musthafa Bakri Nasution cucu dari Syekh Musthafa Husein
sendiri.

Keterbelakangan penerimaan santri putri ini bukan di sebabkan faktor diskriminatif


( perbedaan ), akan tetapi dikarenakan kondisi sebelum tahun 1959 belum ada asrama khusus
bagi santri putri, setelah itu barulah dibangun asrama untuk santri putri. Selain didirikan
asrama untuk putri, pada tahun itu juga turut dibangun pula gedung belajar sebanyak 20 lokal
sebagai tambahan ruang belajar santri yang terus bertambah jumlahnya.

Setelah itu pada tahun 1978 pesantern ini mendapat bantuan biaya pembangunan dari
Marahalim Harahap ( gubernur sumatera utara pada waktu itu ). Kemudian pada tahun 1982
datang pula bantuan dari Saudi arabia, dan dari bantuan itu dibangun 10 lokal tambahn pada
lantau ke dua dari bangunan sebelumnya. Dan sekarang jumlah santri kurang lebih dari
13.877 santri, yang terdiri dari kurang lebih 9 ribu santri putra dan 4 ribu santri putri. Karena
fasilitas yang serba keterbatasan maka santri dibagi menjadi dua kali masuk dalam satu hari,
kelas 1- 3 tsanawiyah masuk sore dan kelas 1-4 musthafawiyah masuk pagi.

Di pesantren ini para santri laki-laki di sebut dengan pokir dan perempuan disebut
dengan patayat. Para santri ( pokir ) menempati di gubuk-gubuk kecil ataupun disebut dengan
pondok yang ditata secara sederhana yang berukuran 3 meter X 3 yang terlihat berjejer
sepanjang jalan lintas sumatera, gubuk itu ( pondok ) santri menggunakannya sebagai tempat
tinggal sekaligus tempat melatih diri untuk mandiri dan menuntut ilmu agama islam. Satu
pondok itu di isi oleh sekitar 4 orang santri, di dalamnya terdapat tikar, lemari, beberapa
buku tersusun rapi. Dan didalam pondok itulah santri memasak nasi bagi santri yang masak
sendiri, kalua untuk santri yang tidak masak mereka bayar makan ( cetring )di kantin yang
telah di sediakan.

Gubuk- gubuk ( pondok ) tempat tinggal santri terbagi menjadi beberapa kelompok
yang dinamai dengan banjar. Setiap banjar dipimpin oleh seorang ketua dengan staf-stafnya
yang dilengkapi dengan program tahunan, baik itu yang bersifat program penunjang aktifitas
keorganisasian bagi setiap daerah, penunjang pendidikan formal seperti diskusi ( musyawarah
), kreasi tulis menulis maupun pengembangan baca diperpustakaan dan sebagainya. Dengan
tujuan untuk pengembangan kepribadian, karakter dan kemampuan dibidang kemasyrakatan.
Dan tempat pemanian santri bertempat di aek singolot. Disitulah santri mengambil air wudhu,
gosok gigi dan lain- lain sebagainya.

Sedangkan santriyati ( patayat ) semuanya tinggal di asrama putri terkecuali untuk


santriyati yang menetap di desa purba baru mereka berulang ( tinggal di rumah masing-
masing ), setiap kamar di pimpin oleh seorang ketua dengan staf- stafnya jadi ketika ada dari
anggota kamar tersebut yang membuat masalah maka ketua dan para staf yang di panggil
untuk menghadap kepada para pengasuh asrama putri tujuannya supaya memberikan arahan
kepada adik-adiknya ( anggotanya ), dan melatih menjadi pemimpin yang bertanggung
jawab, di asrama putri lah mereka di ajari hidup mandiri, dan menuntut ilmu agama islam
mulai dari shalat berjamaah, sholat Sunnah, puasa hari senin dan kamis, keorganisasian bagi
setiap daerah, pendidikan formal seperti muzakaroh, belajar malam dan lain- lain sebagainya.

Pondok pesantren ini telah banyak mengeluarkan Para alumni dan kebanyakan
bertebaran di seluruh Indonesia, khususnya di sumatera utara, sumatera barat. Aceh, riau,
jambi, bahkan di antara mereka ada juga yang melanjutkan ke daerah timur seperti
mesir,suriah, yordania, yaman, india, maroko, sudan, dan negara-negara lainnya.

Syekh musthafa husein nasution lahir di tano bato pada tahun 1886 dan beliau
merupakan anak ke tiga dari Sembilan bersaudara, ayahnya bernama umar nasution dan
ibunya bernama halimah lubis. Beliau adalah sosok seorang ulama terkemuka di sumatera
utara yang meninggalkan karya bangunan keislaman berupa pondok pesantren. Dan sekarang
nama syekh musthafa husein di abadikan pada salah satu gedung di uin sumatera utara
( UINSU ).

Beliau terkenal di masyarakat dikarenakan kegiatan pengajian berdakwah yang beliau


lakukan dari suatu tempat ke tempat lain di mandailing natal, dibidang kemasyarakatan yang
membuat beliau aktif di berbagai organisasi masyarakat sampai ke organisasi politik serta
berbagai usaha yang beliau lakukan terhadap masyarakat maupun terhadap pemerintahan
yaitu mendirikan pondok pesantren. Pada tahun 1915 beliau telah menjadi ketua syarikat
islam cabang tano bato, pada tahun 1945 beliau diangkat menjadi penasehat majelis islam
tinggi sumatera utara dan menjadi anggota komite nasional pusat di sipaholan. Dan pada
tahun 1952 juga beliau diangkat menjadi anggota syuriah NU pusat. Pondok pesantren
musthafawiyah sebagai asal sejarah tumbuhnya nahdhatul ulama di sumatera utara yang di
bawa oleh syekh mustahfa husein pada tahun 1945 dan diresmikan pada tahun 1947 di
padang sidimpuan. Jadi lebih kurangnya begitulah perjuangan syekh mustahafa husein
membangun sekolah saya hingga pada saat ini masih berdiri, mudah- mudahan semakin jaya
dan banyak mengeluarkan alumni yang beriman yang bisa mengamalkan ilmunya. Aamiin ya
robbal alamin.

Berbicara tentang guru pavorite, menurut saya kita mengatakan seorang guru itu
menjadi guru pavorit itu dikarenakan ada karakteristik seorang guru itu yang menjolok
ataupun sedikit berbeda dari guru yang lain seperti sifat, perbuatan bahkan kebaikan seorang
guru itu yang membuat kita kagum bahkan menjadikan dia sebagai guru yang menonjol
diantara guru-guru yang lain, ketika dia yang mengisi mata pelajaran di local kita itu merasa
sangat senang dan bahkan membuat kita rajin masuk sekolah.

Dan ketika saya di pondok dulu saya menemukan sosok seorang guru yang luar biasa
dan sedikit berbeda dari guru yang lain, dan menurut saya menarik untuk di ceritakan ataupun
bisa dikatakan sebagai guru pavorite saya. Namanya adalah K.H Mahmudin Pasaribu, kami
biasa memanggilnya dengan sebutan ayahanda pasaribu, kami di pondok memanggil guru
laki- laki itu dengan sebutan ayah ( ayahnda ) sedangkan guru- guru perempuan kami
memanggilnya dengan sebutan ibu ( ibunda ).

Awal saya memasuki pesantren sosok ayah itu saya tidak tahu bahkan namanya saja
saya tidak tahu. Saya mulai tahu nama ayahanda itu mulai dari saya kelas 1 stnawiyah,
akan tetapi muka ayah itu belum kenal sama sekali, saya tahu nama ayah itu dari kakak kelas
7 yang bembingbing kami waktu itu, itupun karena kakak tingkat sering membicarakan ayah
tersebut, karena setiap ayahanda itu masuk di kelas orang kakak itu pasti orang kakak itu
merasa senang, dan selalu buru-buru pergi sekolah. Mulai saat itulah saya penasaran dengan
ayahanda itu, bahkan ingin lebih kenal dengan ayahanda itu.

Hingga tibalah saya waktu itu kelas 3 tsanawiyah ada pengajian dengan ayahanda itu
di asrama putri, ayah itu setiap hari kamis setelah sholat ashar santriyati perempuan
( patayat ) kelas 4 sampai kelas 7 mengaji irsyadul ibat, dan saya waktu itu baru pulang dari
sekolah bertepatan waktu istirahat dan saya kembali ke asrama untuk menunaikan shalat
ashar, dan di tengah perjalan menuju pengambilan air wudhu saya melihat ayah itu sedang
melangsungkan pengajian bersama para santriyati ( patayat ) dari situlah saya mulai kenal
dengan ayahanda itu.

Anda mungkin juga menyukai