Anda di halaman 1dari 7

Kisah Ulama Sumut: Syekh Musthafa Husein Pendiri Pesantren Purbabaru

Oleh Ahmady
---

Musthafa Husein lahir pada tahun 1886 M . bertepatan dengan 1303 Hijriah di Pasar Tanobato Kayu
Laut, Panyabungan. Ayahnya bernama H. Husein Nasution dikenal warga setempat sebagai pedagang
dan ulama yang cukup terpandang. Tidak heran jika Husein Nasution sangat memberi perhatian bagi
pendidikan anaknya. Husein tidak hanya mendidik Musthafa dengan ilmu agama, tapi juga ilmu
pengetahuan umum lainnya.

Setelah pendidikan dasar di Sekolah Gouvernement di Panyabungan, H Husein Nasution sempat


menyarankan anaknya itu melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Guru (Kwek-School) di Bukit Tinggi.
Namun rupanya Musthafa lebih tertarik memperdalam ilmu agama. Ia justru pergi ke Hutapungkut
untuk berguru kepada salah seorang ulama terkemuka di sana bernama Syekh Abdul Hamid.

Musthafa Husein belajar kepada ulama itu selama dua tahun. Atas anjuran gurunya itu pula, Musthafa
kemudian melanjutkan pendidikan agama ke Mekkah. Ia menetap di negeri itu selama 12 tahun.

Selama berada di Mekkah, Musthafa Husein belajar kepada banyak guru, antara lain, Syekh Abd al-Qadir
al-Mandiliy, Syekh Mukhtar al-Boghoriy, Syekh Ahmad Sumbawa, Syekh Shalih Bafadhil, Syekh Ali
Maliki, Syekh UmarBajuneid, Syekh Ahmad Khathib, Syekh Abdul Rahman, yang kesemuanya adalah
ulama terpandang Kota Mekkah pada masa itu. Ia juga secara khusus belajar tentang ilmu zikir dan
awraad dari dua guru lainnya, itu Syekh Umar Sato dan Syekh Muhammad Amin Madinah.

Dalam kurun waktu yang relatif singkat, yakni sekitar tujuh tahun, Musthafa telah menguasai banyak
ilmu. Ia bahkan sempat diminta mengajar di Masjidil Haram dengan tanpa mengurangi waktu belajar di
sekolah. Secara khusus, kemahiran Musthafa Husein terfokus pada bidang Ilmu Fikih atau ilmu hukum
Islam.

Sebenarnya ia sangat berkeinginan terus meningkatkan ilmu agama dan menetap di Mekkah. Apalagi ia
sudah banyak mengenal guru-guru agama yang sohor di sana. Musthafa Husein juga mulai dikenal
sebagai salah satu pelajar yang cerdas. Ia pun kerap diminta menjadi guru bagi murid-murid baru.

Namun pada 1911 terkabar kalau orangtuanya H Husein Nasution meninggal dunia di kampung
halaman. Tidak ada pilihan lain, Musthafa akhirnya terpaksa kembali ke Tanobato, Kayu Laut. Sejak 1912
setelah berada di kampung halamannya, Musthafa banyak mengisi waktu dengan mengajar agama di
surau dan masjid yang ada di sekitar pasar Tanobato.

Tanpa terasa, selama dua tahun berjalan, murid-muridnya terus bertambah. Para murid itu tidak hanya
berasal dari Tanobato, tapi juga dari desa lain di sekitarnya. Karena murid semakin banyak, Musthafa
Husein lantas membangun pondok kecil sebagai tempat pengajian bagi para muridnya itu.
Pada 28 November 1915 terjadi banjir besar yang menghanyutkan Pasar Tanobato, sehingga gubuk
pengajian yang dibangun Musthafa lenyap di telan gelombang banjir. Ia pun terpaksa pindah ke desa
yang lebih aman, yaitu Purbabaru. Sejak itu Musthafa mengajar di sana dengan dibantu sejumlah
muridnya. Beberapa muridnya menjuluki Syekh Musthafa Husein dengan sebutan Tuan na Bonang, atau
guru yang dituakan.

Di antara muridnya yang cukup senior adalah Syekh Abdul Halim Khatib yang kemudian dikenal dengan
sebutan “Tuan Na Poso” atau tuan guru muda. Kelak Syekh Abdul Halim Khatib juga menjadi salah
seorang menantunya dan menjadi pemimpin di pesantren Purbabaru yang didirikannya.

Awalnya murid-murid yang turut menyertai Musthafa Husein pindah dari Tanobato ke Purbabaru
berjumlah 20 orang. Tak lama kemudian jumlah muridnya itu terus bertambah hingga mencapai 60
orang. Mereka belajar dengan sistem halaqah ala masjidil Haram di masjid yang baru dibangun di
Purbabaru itu. Sistem halaqah lebih banyak menggunakan metode ceramah di mana para murid duduk
bersila mengelilingi gurunya yang menyampaikan materi ajaran.

Seiring perkembangan waktu, jumlah murid itu terus bertambah. Dengan dibantu warga sekitar,
Musthafa lantas mendirikan sejumlah pondok di sekitar pengajian yang ia dirikan sebagai tempat tinggal
para muridnya. Di saat bersamaan, kegiatan dakwahnya di berbagai desa juga semakin berkembang.

Atas anjuran masyarakat setempat, digagaslah pendirian pusat pendidikan Islam di sekitar rumah
Musthafa di Purbabaru. Ia menyebut pusat pendidikan itu dengan nama Madrasah atau Pesantren
Musthafawiyah, mengambil penggalan dari namanya sendiri. Sejak itu murid yang belajar semakin
membludak, sehingga ruang belajar di masjid tidak mampu lagi menampung jumlah murid tersebut.

Pada 1927, Musthafa Husein kemudian mendirikan lagi satu unit gedung di samping rumahnya sebagai
tempat belajar. Awalnya hanya santri laki-laki yang diterima di madrasah itu. Tapi belakangan santri
perempuan pun ikut belajar. Penerimaan santri perempuan di Madrasah Musthafawiyah dimulai pada
tahun 1959, setelah dibangunnya sebuah asrama khusus Wanita.

Seiring dengan berdirinya gedung sekolah tersebut, proses pembelajaran pun lebih tertata sesuai
perkembangan zaman. Terkait tentang tingkatan pendidikan misalnya, ada tahap-tahap tertentu yang
harus dilalui para santri. Untuk tingkatan Tajhiziyah masa belajarnya selama 3 tahun, tingkatasn
Ibtida’iyah selama 4 tahun, Tsanawiyah selama 3 tahun dan tingkatan ’Aliyah selama 2 tahun.

Seiring perkembangan waktu, Pesantren di Purbabaru itu semakin maju. Santri yang mendaftar tidak
hanya dari sekitar Panyabungan dan sekitarnya, tapi juga dari provinsi lain. Mau tidak mau, bangunan
fisik pesantren harus diperluas lagi. Sesuai tuntutan itu, pada 1959 didirikan gedung tambahan
sebanyak 20 lokal, sehingga murid pun makin banyak yang bisa ditampung setiap tahunnya.

Awalnya kurikulum yang diajarkan di Madrasah Musthafawiyah adalah pelajaran agama semata. Namun,
setelah masa kemerdekaan, apalagi setelah terbitnya Peraturan Menteri Agama RI Nomor 7 tahun 1952
yang mengatur tentang sistem kependidikan di sekolah agama, Pesantren Musthafawiyah juga
mengajarkan para santrinya mata pelajaran umum. Dengan begitu pesantren tersebut dianggap setara
dengan lembaga pendidikan lainnya.

Terobosan ini ternyata semakin membangkitkan keinginan masyarakat untuk menyekolahkan anaknya
di lembaga pendidikan itu. Sejak tahun 1970, nama Pesantren Musthafawiyah semakin popular di
Indonesia. Santro yang belajar di sana bukan hanya dari Sumatera Utara, tapi juga dari provinsi lain,
seperti Sumatera Barat, Aceh, Riau dan dari Pulau Jawa. Bahkan tidak sedikit pula para santri itu yang
berasal dari mancanegara, seperti negara tetangga, Malaysia dan Brunai Darussalam.

Selain perannya sebagai ulama, Musthafa Husein termasuk seorang yang giat dalam urusan dagang dan
pertanian. Dia berhasil membuka beberapa hektar lahan perkebunan, seperti lahan karet di Desa Purba
Lama dan Desa Jembatan Merah, serta kebun buah rambutan yang cukup luas di sekitar daerah Aek
Godang. Musthafa Husein termasuk salah seorang yang pertama sekali membuka usaha kebun secara
modern di daerah Mandailing.

Tentunya hal itu tidak lepas dari pola pikirnya yang visioner sehingga mampu melihat peluang ke depan.
Lagipula, Musthafa tidak mau membebankan para muridnya dengan biaya pendidikan yang mahal.
Mau tidak mau ia harus mencari penghasilan lain untuk bisa menjalankan misinya menyebarkan ilmu
Islam kepada masyarakat. Hasil dari pertanian merupakan modal utamanya untuk terus
mengembangkan pendidikan di Pesantren Musthafawiyah.

Seiring perjalanan waktu, nama Syekh Musthafa Husein semakin terkenal sehingga ia pun diminta aktif
memimpin sejumlah organisasi masyarakat. Dalam bidang politik misalnya, Musthafa Husein pernah
menjabat sebagai Ketua Syarikat Islam cabang Tanobato pada 1915. Selanjutnya dia mengembangkan
organisasi Persatuan Islam di Tapanuli Selatan.

Dalam kurun waktu 15 tahun kemudian, atas anjurannya, berdirilah Persatuan Muslim Tapanuli (PMT),
tepatnya pada 1930 berkantor pusat di Padangsidimpuan, di mana Musthafa Husein dipercaya
menjabat sebagai Ketua Majelis Syar’i.

Selain mendirikan Peratuan Muslim Tapanuli, Musthafa juga mendirikan “Al-Ittihadiyah al-Islamiyyah”
yang bertujuan untuk menyatukan gerakan ulama di wilayah Tapanuli. Keberadaan Al-Ittihadiyah al-
Islamiyyah juga sangat berperan memperkuat sistem pembelajaran di sekolah-sekolah agama agar
lebih tertata dan terpadu.

Organisasi ini berpusat di Purbabaru dan kemudian tersebar hingga memiliki beberapa cabang, seperti di
Mandailing, Angkola, Sipirok, dan PadangLawas. Syekh Musthafa adalah pendiri sekaligus ketua
organisasi ini.

Ketika tersiar kabar para ulama di Jawa mendeklarasikan kehadiran Nahdlatul Ulama (NU), Syekh
Musthafa adalah orang yang diminta untuk mengembangkan organisasi itu di Sumatera Timur dan
Mandailing. Para ulama tanah Jawa menghubungi Musthafa karena mereka tahu betapa kuatnya
pengaruh ulama ini di Sumatera. Lagi pula jaringan alumni Mekkah sudah terbangun pada masa itu. dan
Musthafa adalah salah satu alumni Mekkah yang cukup disegani.
Tentu saja tidak sulit bagi Musthafa untuk mengembangkan NU di Tapanuli melalui jaringan ulama yang
telah didirikannya telah berkembang cukup luas. Melalui “Al-Ittihadiyah al-Islamiyyah” Ia lantas
mengundang para ulama Tapanuli untuk bermusyawarah di Padangsidempuan pada 1947, sehingga
tercetuslah deklarasi untuk menghadirkan cabang NU pertama di wilayah Tapanuli dan Sumatera Timur.

Para ulama itu sepakat memilih Syekh Musthafa Husein sebagai Rois Syuriah atau dewan Pembina,
sedangkan ketuanya ditunjuk Syekh Bahruddin Thalib Lubis, ulama yang aktif mengembangkan Islam di
Sibolga dan Tapanuli Tengah. Dari fakta sejarah ini, bisa dipastikan bahwa Syekh Musthafa merupakan
salah satu ulama yang sangat berperan mengembangkan NU di Sumatera.

Selain aktif mengajar di pesantren yang didirikannya, Musthafa Husein kerap diundang memberikan
ceramah di berbagai daerah. Dengan semua kesibukan itu, Musthafa Husein nyaris tidak punya cukup
waktu untuk mengajar dan berkumpul dengan keluarga.

Untuk membantunya mengembangkan pendidikan Islam. sesekali ia meminta murid senior untuk
menggantikan dirinya. Mulanya hanya menggantikan di dalam kelas, tapi kemudian para murid itu juga
dilatih untuk bisa menyampaikan dakwah ke desa-desa.

Di saat bersamaan, kegiatan belajar di Pesantren Musthafawiyah semakih berkembang. Terhitung sejak
tahun 1920-an, pesantren itu telah menghasilkan sejumlah alumni yang kemudian banyak dikenal
sebagai tokoh agama di berbagai daerah. Beberapa di antara alumni itu kemudian mendirikan
pesantren baru dengan nama yang berbeda-beda.

Tidak heran jika hampir setiap pelosok muncul pesantren atau sekolah yang guru-gurunya merupakan
tamatan Musthfawiyah. Sekolah-sekolah ini menyebar tidak saja di daerah Tapanuli Selatan,
tapi juga di SumateraTimur, Aceh dan berbagai tempat lain di Indonesia. Dengan kehadiran pesantren
baru itu, nama besar Pesantren Musthafawiyah semakin mencuat. Tak terbantahkan lagi, Pesantren
Musthafawiyah adalah satu pusat pendidikan yang berperan besar menyebarkan aqidah bagi umat
Islam.

Sebagai seorang Faqîh (ahli Hukum Islam), sebagaimana dijelaskan di atas, tidak jarang Musthafa Husein
Nasution didatangi masyarakat yang ingin meminta fatwa, terutama penentuan awal ramadhan dan
Syawwal. Berkah fatwa itu, masyarakat merasa aman dan tenang mengikuti fatwa yang dia berikan.

Ketika persoalan khilafiyah meruncing di Tapanuli Selatan pada tahun 30-an yang dipelopori oleh orang-
orang yang menamakan diri sebagai “Kaum muda”, berkat kepiawaian seorang Musthafa Husein,
persoalan ini dapat diredam. Selain itu, Musthafa juga mengeluarkan fatwa yang hukumnya wajib atas
setiap muslim (fardhu ‘ain) untuk mukallaf melawan agresi yang dilancarkan oleh Belanda. Setiap orang
orang yang gugur dalam berperang melawan penjajah dianggap mati syahîd.

Selain aktif dalam bidang pendidikan dan organisasi, Musthafa juga bergelut dalam bidang keuangan,
seperti mendirikan koperasi untuk menopang operasional pembiayaan madrasah. Semua itu mendapat
sambutan positif dari masyarakat luas, apalagi pengelolaan keuangan koperasi itu sangat transparan dan
hasilnya banyak disumbangkan untuk amal. Pemerintah pun tidak ketinggalan memberikan apresiasi
dengan memberikan hadiah “Bintang Perak” sebagai penghargaan kepada Musthafa Husein.

Pada masa penjajahan Jepang, Musthafa Husein diangkat menjadi anggota Tapanuli Syu Syangi Ko Kai
dan Kookai. Pada tahun 1945, dia diangkat pula sebagai Penasehat Majelis IslamTinggi Sumatera utara
dan sekaligus menjabat sebagai Anggota Komite Nasional Pusat di Sipaholon.

Setelah Majelis Islam Tinggi dilebur menjadi Masyarakat Umat Muslim Indonesia (Masyumi), Musthafa
diangkat sebagai Penasehat Majelis Syuro Masyumi untuk wilayah Sumatera. Tatkala NU menarik diri
dari keanggotaan Masyumi pada tahun 1952, Musthafa pun didapuk sebagai anggota Syuriyah NU Pusat.

Pada tahun1955, dia terpilih sebagai anggota parlemen/ Konstituante dari NU. Sayangnya, jabatan
tersebut belum sempat dia duduki sebab pada tahun 1955 dia berpulang ke rahmatullah dan digantikan
oleh Haji Muda Siregar. Musthafa Husein wafat pada 16 November 1955 saat usia sekitar 70 tahun.

Seluruh nusantara berduka manakala tersiar kabar meninggalkan pendiri Pesantren Musthafawiyah ini.
Saat jenazah Musthafa Husein dibawa dari rumah sakit Padangsidempuan menuju Purbabaru, ratusan
iringan kenderaan mengiringi dari belakang. Kampung Purbabaru penuh sesak oleh ribuan orang pelayat
sebagai tanda rasa ikut berduka yang mendalam atas kepergiannya. Mereka berlomba-lomba
menyolatkan jezanah ulama ini. Rombogan manusia mengular saat mengiringi jenazahnya hingga
pemakaman terakhir.

Tentang Pesantren Musthafawiyah


Pesantren ini masih tergolong pesantren salafi, tetapi muatan Khalafi tetap memasuki pesantren ini.
Perkembangan pesantren Musthafawiyah sejak berdiri tahun 1912 d Purbabaru terus mengalami
perubahan secara fisik, tetapi keilmuan yang dipelajari masih memakai rujukan-rujukan lama
sebagaimana yang ditanamkan pendirinya Syekh Musthafa Husein Nasution.

Tanah pertapakan pesantren ini dibeli oleh Syekh Musthafa dari warga setempat, dan Beliau kemudian
tinggal di atas tanah itu, sekaligus membuka pengajian di bantu masyarakat lokal.

Dengan ketekunan dan kegigihan Syekh Musthafa Husein beserta tenaga pengajar (tuan guru) yang ada
pada waktu itu, akhirnya keberadaan Pesantren Musthafawiyah terus berkembang. Lembaga pendidikan
ini merupakan pesantren tertua dan terbesar di Sumatera Utara.

Salah satu yang perlu dicatat saat Syekh Musthafa Husein membangun lembaga pendidikan Islam ini
adalah ia sangat aktif mengirim para alumni untuk belajar ke Mekkah atau pusat-pusat pendidikan Islam
di Timur Tengah dan India. Usai menuntut ilmu di negeri itu, mereka diharapkan pulang ke kampung
halamannya di Mandailing untuk menjadi tenaga pengajar di Madrasah/ Pesantren. Ada dari para murid
itu yang kembali mengajar di Pesatren Musthafawiyah, ada yang kemudian mendirikan pesantren baru.

Selain aktif dalam kegiatan agama, Musthafa juga kerap sekali mengajak masyarakat untuk bersatu
mengembangkan usaha ekonomi bersama. Ia berpendapat, untuk majunya sebuah agama haruslah
ditopang ekonomi yang kuat. Oleh sebab itu, bersama dengan dibukanya Pesantren Musthawiyah,
Syeikh Musthafa juga mengembangkan usaha perkebunan karet bersama warga setempat. Usaha itu
juga untuk mendukung aktivitas pendidikan agama yang dikelolanya.

Di samping aktif dalam kegiatan pendidikan agama, Syekh Musthafa juga aktif dalam kegiatan
ekonomi. Di sela-sela mengajar, ia melakoni bisnis perdagangan yang terpusat di Pasar Kayu Laut.
Pekan di Kayu Laut ini adalah sebagai pusat transaksi perekonomian masyarakat sekitar.

Hari pekan pada masa itu berlangsung pada setiap Selasa. Pada hari itupula Musthafa kerap menjual
hasil perkebunannya di pekan Kayu Laut. Ia juga memberi kesempatan kepada murid-muridnya untuk
berbelanja pada hari pekan itu, sehingga kegiatan pesantren diliburkan. Tradisi ini terus berlangsung
sampai saat ini, sehingga Pesantren Musthafawiyah hanya libur di hari Selasa. Sementara pada hari-hari
lainnya kegiatan belajar tetap berjalan.

Peralihan kepemimpinan di pesantren itu terjadi setelah Syekh Musthafa Husien wafat. Pengelolaan
pesantren kemudian diteruskan oleh anak Haji Abdullah Musthafa pada tahun 1955 sebagai mudir atau
pimpinan yang bertanggungjawab di bidang manajemen. Sedangkan Raisul Mu’allimin yang
bertanggunjawab di bidang pendidikan dijabat oleh Syekh Abdul Halim Khatib yang merupakan murid
senior Syekh Musthafa Husein.

Sejak itu Pesantren Musthafawiyah terus berkembang dengan murid yang semakin banyak. Berbagai
bangunan fisik untuk kepentingan pendidikan semakin dipebesar dan diperluas.

Kegiatan belajar di pesantren itu lebih berkembang sejak diterimanya santri perempuan pada 1959.
Pada awalnya hanya tiga santri perempuan yang belajar di sana. Seiring perkembangan waktu, sekarang
justru santri perempuan lebih mendominasi.

Setelah Haji Abdullah Musthafa wafat tahun 1995, kepemimpinan mudir pesantren sempat dipegang
oleh adiknya Drs. H. Abdul Khalik dari tahun 1996 sampai tahun 2003. Selama Beliau memimpin
pesantren, sempat terjadi konflik internal dalam keluarga dan selama kemimpinannya ini berpengaruh
juga terhadap jalannya sistem pendidikan di pesantren itu.

Pada tahun 2003, akhirnya dilakukan perdamaian antara Drs.H.Abdul Khalik dengan pihak keluarga
almarhum H.Abdullah Musthafa, yang kesepakatan damainya berlangsung dihadapan “Notaris”. Intinya
kesepakatan itu, bahwa Drs H.Abdul Khalik menyerahkan sepenuhnya kepemimpinan Pesantren
Musthafawiyah kepada Haji Musthafa Bakri Nasution yang merupakan anak dari Haji Abdullah
Musthafa.

Haji Musthafa Bakri Nasution menjadi Mudir Musthafawiyah dari tahun 2004 sampai sekarang.
Sedangkan jabatan Raisul Mu’allimin sejak Syekh Abdul Halim Khatib wafat pada 1991 terus mengalami
pergantian ke Syekh Syamsuddin al- Hafiz al-Mandili dan selanjutnya berpindah ke tangan guru yang
lebih senior sesuai ketetapan dari mudir Musthafawiyah.

Sejak tahun 2004 sampai sekarang Pesantren Musthafawiyah dapat dikatakan merupakan salah satu
pesantren terbesar di Sumatera. Jumlah Santrinya mencapai 13.000-an. Keberadaan pesantren ini di
Desa Purbabaru Panyabungan berperan besar menghadirkan perputaran perekonomian yang sangat
dinamis di desa itu.

Kalau sebelum tahun 1980-an, gubuk-gubuk tempat tinggal para santri banyak berada di sepanjang jalan
besar mengikuti alur Aek singolot, terpisah dengan masyarakat Desa Purbabaru, sejak tahun 2000-an
gubuk itu telah membaur dengan masyarakat desa. Sedangkan santriwati tinggal di asrama santri dekat
dengan bangunan tempat belajar. ***

Sumber:
 Wawancara Muhammad Faisal, Kepala Satuan Pendidikan Muadalah Tsanawiyah Pesantren
Musthafawiyah
 Prof.Dr.H.Abbas Pulungan, Pesantren Musthafawiyah, Perdana Publising cetakan kedua 2021

Anda mungkin juga menyukai