Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH STUDI KEAMANAN INTERNASIONAL

Dibuat untuk memenuhi tugas kelompok

Oleh:

Nabila Nurfadilah 202030130


Nada kamiliya 202030131
Ressy Nutricia 202030144
Auliya Eka Safitri 21323037
Nazila Alfayed 21323296

PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS PASUNDAN
BANDUNG
2023
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI……………………………………………………………………... 2
BAB 1
PENDAHULUAN………………………………………………………………...3
A. Latar Belakang.……………………………………………………...……..4
B. Teori Konsep………………………………………………………………..5
C. Rumusan Masala…………………………………………………………... 8
BAB 2
PEMBAHASAN…………………………………………………………………. 9
A. Pengertian Sekuritisasi…………………………………………………….. 9
B. Sekuritisasi dalam Hubungan Internasional……………………………... 10
C. Tindakan Sekuritisasi yang Dilakukan Suatu Negara……………………..11
D. Aktor Sekuritisasi………………………………………………………... 15
BAB 3
PENUTUP……………………………………………………………………….17
A. Kesimpulan……………………………………………………….…....... 17
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………... 18

2
BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Seiring dengan adanya globalisasi hubungan antar negara juga mengalami
perkembangan di berbagai aspek ekonomi, politik, dan sosial yang tentu saja
dapat berpotensi menimbulkan ancaman atau sebaliknya yang berpengaruh
terhadap pengartian atau pendefinisian dari suatu keamanan. Dari hal ini,
negara-negara tidak lagi hanya mendefinisikan keamanan berdasarkan cara
pandang keamanan tradisional yang hanya diindikasi melalui aspek yang high
politic yaitu kemiliteran atau konflik bersenjata (perang) dan berfokus pada state
sebagai satu-satunya subjek yang dapat menentukan respon terhadap tindakan
yang dianggap sebagai sebuah ancaman. Hal tersebut didukung oleh pandangan
Buzan, Waever, dan Wilde yang pada intinya menyatakan bahwa studi mengenai
suatu keamanan saat ini bukan lagi masalah sovernity, tetapi juga telah mencakup
ancaman yang dapat menurunkan kualitas taraf hidup baik masyarakat, kelompok,
maupun individu (community security) yang kemudian melibatkan berbagai pihak
non-state untuk ikut serta dalam melakukan upaya perlindungan diri dari ancaman
(non-traditional security) (Trihartono et al., 2020).
Berdasarkan ruang lingkup dari keamanan non-traditional yang berfokus
pada low politics yang diartikan sebagai hal-hal atau aspek yang dapat
mempengaruhi aktivitas kehidupan masyarakat sehari-hari, maka muncul-lah
suatu konsep keamanan yang disebut dengan human security (keamanan manusia)
yang dianggap sebagai pendekatan alternatif untuk memberikan penjelasan
terhadap masyarakat mengenai penentuan tentang apakah suatu hal menjadi
ancaman yang menempatkan mereka ke dalam situasi yang berbahaya atau tidak
dalam keberlangsungan hidupnya. Kemudian dalam pendefinisian keamanan
masyarakat yang berkaitan dengan human security ini, diartikan sebagai suatu hal
yang “safety from such as chronic threats as hunger, diseases and repression, as
well as protection from sudden and hurtful disruptions in the patterns of daily
life-weather in homes, in jobs or in communities” oleh UNDP (United Nations
Development Programme) yang mencakup (rasa bebas dari ketakutan), want
(terbebas dari kekurangan atau terbebas ketidakmampuan untuk dapat memiliki

3
hal yang diinginkan) , dan live in dignity (dapat menjalani hidup yang
bermartabat). Masalah untuk ketiga cakupan pengertian humanity security itu
dapat berasal dari beberapa aspek atau dimensi, seperti dimensi ekonomi yang
menyangkut masalah kemakmuran yang harus dapat dijamin sehingga dapat
terhindar dari kemiskinan dan pengangguran, dimensi politik yang berkaitan
dengan perlindungan masyarakat dari suatu kebijakan yang merenggut haknya
dan dari tindakan pelanggaran hak manusia seperti HAM, dimensi lingkungan
yang bersangkutan dengan kelayakan habitat yang harus didapatkan oleh
masyarakat sebagai tempat melangsungkan kehidupan yang meliputi kualitas
lingkungan (udara yang sehat dan bebas polusi, terjamin atau terlindungi dari
kelangkaan sumber daya yang mana termasuk di dalamnya kelangkaan bahan
pangan, climate crisis, dan bencana alam), dimensi pangan yang merujuk pada
masalah bahwa masyarakat harus terhindar dan terbebas dari ancaman kelaparan,
kemudian dari dimensi kesehatan yang harus dijamin untuk menjaga atau
melindungi masyarakat dari berbagai penyakit yang menular dan atau mematikan,
dimensi personal yang mengarah pada situasi bahwa masyarakat harus terlindungi
dan terbebas dari segala tindakan kekerasan baik di lingkup keluarga maupun di
luar rumah, dan tindak terorisme, dan terakhir dimensi komunitas atau
kemasyarakatan yang berkaitan dengan pemberian rasa aman terhadap
perseorangan ketika menjadi bagian dari suatu masyarakat minoritas (seseorang
sebagai masyarakat harus terlindungi haknya sebagai kelompok minoritas dalam
kehidupan bermasyarakat), (Trihartono et al., 2020).
Dari pendefinisian mengenai human security di atas yang terus
ter-modernisasi, maka untuk menyikapi hal tersebut berkembanglah suatu teori
yang dapat memberikan komponen-komponen dalam hubungan internasional
dalam menanggapi dan menghadapi suatu kondisi yang dianggap dapat
menempatkannya dalam situasi bahaya (ancaman) yang disebut teori Copenhagen
School / Copenhagen School of Securitization and Desecuritization Theory.

B. Teori Konsep
Konsep sekuritisasi diperkenalkan oleh “Copenhagen School” pada awal
tahun 1990an yang disebut Copenhagen School Of Securitization and

4
Desecuritization theory. Mazhab Copenhagen ini dapat dikatakan sebagai suatu
kritikan terhadap state-centric dalam melihat suatu ancaman. Rumusan pemikiran
Copenhagen ini berawal dari pemikiran Schmitt mengenai ‘konsep politik’
berdasarkan Williams (2003) menyatakan bahwa,
“Bagi Schmitt, sebuah "rakyat" hanya menjadi "politik yang benar" ketika
ditentukan oleh kapasitas untuk membuat keputusan, dan keputusan pada
akhirnya digarisbawahi oleh pembagian antara teman dan musuh, bersama
dengan ketakutan dan "kemungkinan nyata". ' dari konflik dan kematian yang
ditimbulkan oleh pertemuan ini”, (Williams, 2003).
Artinya, secara tidak langsung Schmitt memandang bahwa kelangsungan hidup
masyarakat suatu negara ditentukan oleh keputusan-keputusan yang diputuskan
oleh negara atas apa yang dapat mengancam keamanan sosial rakyatnya
(kapabilitas negara dalam mengabaikan aturan sebagaimana mestinya dalam
kondisi normal sebagai tindakan dasar dari kedaulatan yang berfungsi dalam
konteks ini berkaitan dengan penentuan status apakah keamanan ‘darurat atau
tidak’ dalam kehidupan sehari-hari masyarakat).
Mazhab Copenhagen berdasarkan aspek pemikiran dari Schmitt pada
konsep sekuritisasi sendiri merupakan produk dari pemikiran konstruktivisme.
Konstruktivisme adalah suatu teori dalam hubungan internasional yang
menyatakan bahwa suatu ideasional (kata yang memiliki konsep) adalah hal yang
signifikan dalam pembentukan suatu sistem internasional yang kemudian
diwujudkan dengan suatu kapasitas material sebagai implementasi.
Konstruktivisme ini meyakini bahwa segala hal yang terlihat dalam realita saat ini
adalah hal yang terbentuk akibat adanya sebuah gagasan (penyebaran dan
pemaknaan ide). Dalam hal ini khususnya negara sebagai pemegang kedaulatan
tertinggi akan mengikuti pola persebaran ide tersebut untuk bersikap dan
mengatur aktor non-state dalam berinteraksi dengan entitas internasional lainnya,
(Bilad, 2017). Ini dengan masalah sekuritisasi dalam teori konstruktivisme ini
bahwa isu keamanan merupakan hasil konstruksi (suatu hal yang sengaja dibuat
atau dibentuk) yang bukan hanya ditujukan pada keamanan state saja sebagai
aktor utama, melainkan aktor non-state dan ancaman non-militer (Buzan, Waever,
and Wilde 1998), yang mengancam keamanan masyarakat ataupun kelompok

5
maupun individu yang terdapat dalam suatu negara yang memiliki kedaulatan.
Sebagaimana ketika Amerika Serikat menempatkan armadanya di kawasan
Teluk. Dalam hal ini, negara-negara yang berada di kawasan tersebut memiliki
pandangan dan pengertian yang berbeda atas keberadaan armada AS tersebut, ada
yang mengartikan bahwa hal tersebut adalah suatu hal yang sangat
menguntungkan bagi negara-negara kawasan teluk yang memiliki sumber daya
minyak melimpah (Kuwait) karena dapat dijadikan sebagai perisai dari ancaman
sekutu, ada juga yang berpendapat bahwa hal tersebut adalah suatu ancaman bagi
keamanan nasionalnya (Iran), serta ada juga yang beranggapan bahwa hal tersebut
adalah suatu hal yang menjadi penghambat dalam mencapai nasional interestnya
(Irak). Kemudian dari perbedaan pendapat tersebut, maka masing-masing negara
melakukan sekuritisasi dengan membuat suatu kebijakan-kebijakan atau lainnya
yang berasal dari speech act aktor atas permasalahan yag tengah dihadapinya
sebagai bentuk penanganan, (Bilad, 2017).
Selain itu, teori konsep sekuritisasi ini ada dapat dilihat dari pandangan
teori liberalisme yang berkembanag sebelumnya yang berperan dalam membentuk
pola hubungan internasional yang multipolar dan berubah-ubah sebab adanya
intensifikasi kerjasama yang dijalankan oleh negara-negara untuk mencapai
nastional interest nya, dalam hal ini adalah terbentuknya model-model baru dalam
interaksi antar negara-negara. Dengan intensifikasi hubungan antar negara ini
dapat menjadi suatu ancaman yang datang dengan bentuk yang berbeda karena
semakin erat hubungan suatu negara dengan negara lain, maka semakin besar
peluang negara lain untuk mengetahui kekurangan atau kelemahan mitranya dan
ini yang menyebabkan semakin besar peluang ancaman yang akan diterima oleh
suatu negara. Berkaitan dengan sekuritisasi teori liberalisme ini memunculkan
berbagai kerjasama dalam bidang kehidupan, seperti ekonomi, politik, dan HAM,
lingkungan, dan lain-lain yang kemudian memiliki hambatan-hambatan dalam
prosesnya atau memiliki dampak setelah dibangun dan berujung pada
permasalahan atau isu yang bukan hanya menjadi isu biasa dalam aspek tersebut
tetapi menjadi isu yang menyangkut eksistensial dari keberlangsungan kehidupan
manusia dan melalui hal tersebutlah muncul sekuritisasi mengenai keamanan yang
bersifat non-militer. Sebagaimana ketika China menjalankan kebijakan BRI (Belt

6
Road Initiative) di kawasan Asia Pasifik yang bertujuan untuk mempercepat
pencapaian ekonominya dengan memberikan pengaruh (hegemoni) baik melalui
pembentuk kerjasama bilateral dengan negara-negara di kawasan Asia Pasifik
maupun melalui wadah organisasi ekonomi yang telah berdiri di Asia Pasifik yaitu
(APEC). Dengan berbagai kerjasama yang dijalin dengan baik maka pengaruh
China di kawasan ini semakin meluas dan kuat sehingga muncullah pandangan
yang menyatakan bahwa China telah tumbuh sebagai kekuatan baru di kawasan
Asia. Dengan demikian, hal tersebut dianggap atau diartikan sebagai suatu
ancaman oleh negara yang memiliki kapabilitas yang kuat juga seperti Amerika
Serikat yang sejak dahulu dinyatakan sebagai negara superpower di dunia
kemudian menerapkan kebijakan Pivot to Asia sebagai upaya rebalancing external
atas kebijakan BRI Chian, (Miska, 2017). Disisi lain, dengan
kerjasama-kerjasama yang dilakukan dengan negara di kawasan Asia Pasifik
seperti misalnya Indonesia yang mana ketergantungannya terhadap China yang
kian membesar dan hubungan yang semakin terlalu dekat dapat membahayakan
Indonesia sendiri dalam menentukan kebijakan-kebijakannya.

C. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan sekuritisasi?
2. Mengapa isu sekuritisasi dibahas dalam hubungan internasional?
3. Bagaimana suatu negara melakukan sekuritisasi?
4. Siapa aktor dalam sekuritisasi?

7
BAB 2 PEMBAHASAN

A. Pengertian Sekuritisasi
Berkaitan dengan sekuritisasi sebagai pergeseran pendefinisian keamanan
dari makna yang sempit (tradisional) ke pemaknaan yang lebih luas
(non-tradisional) tentu saja tidak terlepas dari perubahan isu yang awalnya tidak
dihiraukan menjadi isu yang diperbincangkan. Sebelum masuk ke pengertian
sekuritisasi, Penulis ingin menjawab pertanyaan bagaimana dan kapan masalah
menjadi sebuah ancaman? Dalam proses perubahan ruang lingkup masalah/isu
menjadi sebuah ancaman dimulai dari tahap yang mana pada awalnya para elite
pemerintah mempermasalahkan isu ini, kemudian sampai ke publik dan
menimbulkan perdebatan dengan publik yang setelahnya akan menghasilkan
sebuah kesepakatan bahwa isu tersebut disetujui sebagai isu yang berdampak luas
dan dapat membahayakan kelangsungan hidup banyak orang secara signifikan,
selanjutnya keberadaan diskusi tersebut dipublikasikan melalui media yang
membentuk frame-frame berbagai peneliti, epistemic community, atau para
kelompok profesional lainnya untuk melakukan penelitian atau kajian mengenai
isu tersebut, yang selanjutnya isu tersebut berakhir masuk menjadi agenda-agenda
keamanan oleh suatu negara. Sederhanya suatu isu akan menjadi sebuah ancaman
tergantung pada pelaku yang membicarakan isu tersebut yang kemudian
melakukan kampanye (tindakan mempengaruhi) agar isu yang diperbincangkan
dapat diterima atau ditolak oleh publik dan keputusan ada pada masyarakat.,
sehingga dikatakan bahwa masalah akan menjadi suatu ancaman tergantung
persepsi atau penilaian intersubjektif pelaku keamanan (negara atau non-negara),
(Stritzel, 2007). Sekuritisasi berdasarkan mazhab Copenhagen School menurut
Ole Waever, Barry Buzan dan Jaap de Wilde adalah upaya pengidentifikasian
sebuah isu baik itu merupakan isu politik ataupun isu non politik, untuk dijadikan
sebagai sebuah agenda keamanan, adapun aktor yang memiliki peran utama dalam
jalannya sekuritisasi didominasi oleh negara, meskipun tidak selalu negara yang
menjadi aktor utama, (Lipschutz, 1995) dan (Weaver, 2015). Adapun konsep
utama dari sekuritisasi yang menjadi bagian dari pemikiran konstruktivisme yang
sangat erat kaitannya mengenai identitas kolektif dalam artian sekuritisasi tidak

8
hanya menjelaskan aktor negara saja namun juga mengikutsertakan peran
masyarakat didalamnya.Dalam sebuah proses Sekuritisasi sangat erat kaitannya
dengan sebuah terminologi ancaman yang bersifat lintas sektoral yaitu sektor
ekonomi, sektor militer, sektor lingkungan dan juga sektor sosial dalam ancaman
pada sektor ekonomi misalnya terjadinya ketidakstabilan ekonomi termasuk
bagian dari permasalahan yang harus diidentifikasi oleh negara dalam mengambil
tindakan - tindakan sebagai bentuk dari antisipasinya, (Taureck, 2006).
Dalam mazhab Copenhagen adanya dua hal utama yang dilakukan oleh
aktor sekuritisasi, mengenai bagaimana dan kapan sebuah masalah dapat
diidentifikasikan sebagai suatu ancaman dalam mazhab ini dijelaskan bahwa bukti
dari keberhasilan sekuritisasi dilihat dari masyarakat sebagai objek yang terancam
dan menyadari akan adanya ancaman yang menghampiri dari sebuah
permasalahan. secara umum teori sekuritisasi dapat menjelaskan beberapa
pertanyaan penting mengenai proses sekuritisasi, yaitu sebagai berikut:
a. Mengenai siapa dan apa yang menjadi objek sekuritisasi? untuk menjawab
pertanyaan ini dapat berupa individu atau kelompok dalam masyarakat dan
juga hal-hal Mengenai keamanan nasional ekonomi lingkungan dan aspek
lain yang sangat erat kaitannya dengan keberlangsungan hidup masyarakat
b. Bagaimana jalannya proses sekuritisasi agar dapat terlaksana? Jawaban
dari pertanyaan ini berfokus pada Bagaimana upaya penyampaian bahasa
sebagai Alat penunjang utama dalam menyampaikan jawaban yang oleh
para aktor sekuritisasi agar dapat Meyakinkan objek akan adanya sebuah
ancaman dari masalah yang terjadi,
( (Trihartono et al., 2020).
Dengan kata lain, sekuritisasi adalah upaya yang dilakukan oleh suatu
negara dalam menghadapi, menangani, dan mewaspadai suatu hal yang dapat
membahayakan baik kedaulatannya maupun keberlangsungan kehidupan
masyarakat, (Taureck, 2006).

B. Sekuritisasi dalam Hubungan Internasional


Pembahasan mengenai sekuritisasi tentu saja selalu dikaitkan dengan
mazhab Copenhagen sebagai suatu pendekatan konsep yang memiliki pokok

9
pikiran yang kritis tentang keamanan. Mazhab ini menitikberatkan fokusnya pada
dua hal yaitu political power dan simbolisme kata keamanan (retorika oleh pelaku
keamanan)
Dalam studi Hubungan Internasional sebagian besar membahas mengenai
masalah keamanan karena merupakan hal yang utama harus dicapai oleh suatu
negara dalam politik internasional. Sejak hubungan internasional menjadi sebuah
kajian, hal yang pertama menjadi fokusnya adalah tentang national security in
international politics sebab dipelopori oleh negara-negara Barat yang telah
melalui Perang Dunia (PD) yaitu PD I dan PD II yang sangat dahsyat. Melalui hal
inilah awal mulanya pendekatan militer sebagai suatu cara untuk menjaga
keamanan nasional setiap negara. Namun, setelah PD II berakhir, maka terjadi
Perang Dingin yang merupakan perang untuk memperbesar hegemoni
negara-negara pemenang perang seperti Amerika Serikat dan Uni Soviet melalui
ideologi yang menjadi awal terjadinya evolusi paradigma masyarakat
internasional bahwa masalah keamanan dapat berbentuk selain militer dan aktor
serta aspek yang mempengaruhi adanya suatu ancaman dapat berupa aktor
non-negara dan aspek sosial masyarakat yang diartikan sebagai hal-hal yang
mempengaruhi keamanan manusia yang kemudian memunculkan konsep
sekuritisasi oleh para Copenhagen, (Situmorang, 2015). Dengan kata lain, dunia
mulai memperhatikan keamanan setiap individu (masyarakat) dalam suatu negara
yang mana individu ditempatkan sebagai suatu kajian analisis dalam pembuatan
suatu kebijakan keamanan sebab mencakup prinsip nilai seperti martabat,
kesetaraan, dan solidaritas, yang diperkuat oleh mazhab Copenhagen sebagai
pelopor konsep keamanan non-tradisional sehingga melahirkan konsep
sekuritisasi, (Sudiar, 2019).
Pada intinya Sekuritisasi dibahas dalam HI disebabkan dalam menjalin
interaksi antar negara tidak hanya memandang ancaman secara sempit
(tradisional), tetapi juga luas yang artinya bahwa sosial keamanan dalam tingkat
kehidupan di tatanan internasional diutamakan sebab menyangkut habitat, dan
penyokong lain dari kehidupan berbangsa dan bernegara.

10
C. Tindakan Sekuritisasi yang Dilakukan Suatu Negara
Suatu negara akan melakukan tindakan sekuritisasi apabila aktor di dalam
negara tersebut mendeteksi adanya ancaman eksternal. Menurut Copenhagen
School, substansi ancaman oleh seorang aktor akan berbeda-beda tergantung
bagaimana aktor tersebut mendefinisikan ancaman itu sendiri. Oleh karena itu,
definisi ancaman dapat dikelompokkan menjadi 3 bentuk, diantaranya:
1. Ancaman aktual, yaitu ancaman yang jelas adanya dan dapat benar-benar
membahayakan keamanan.
2. Ancaman potensial, yaitu ancaman yang berpotensi melemahkan
keamanan.
3. Ancaman fiktif, yaitu suatu kondisi terancam tanpa adanya wujud
ancaman yang nyata.
Berbicara tentang isu sekuritisasi, maka kita akan membahas tentang
bagaimana suatu negara mengklaim sebuah isu internasional sebagai isu
keamanan dan sekuritisasi bagi negaranya. Menurut mazhab Kopenhagen, suatu
isu akan diklaim menjadi ancaman oleh suatu negara melalui peran bahasa.
Bahasa dapat menempatkan aktor isu tertentu sebagai sebuah ancaman
eksistensial bagi aktor politik lainnya, sehingga mendorong aktor politik tersebut
untuk melakukan sekuritisasi. Waever mengungkapkan bahwa “aktor akan
mengimplementasikan bahasa menggunakan sebuah kata. Kata yang diucapkan
akan menghasilkan sebuah tindakan, dimana ketika seorang aktor mengucapkan
kata ‘ancaman’ maka sebagai responnya, perkataan tersebut akan menghasilkan
sebuah tindakan mengamankan” (A. Djatmiko, 2023: 3-4).
Menurut Copenhagen School for Security Studies, ada 5 terminologi kunci
dalam memahami proses sekuritisasi yang dilakukan suatu negara, diantaranya
security, securitizing actors, speech act, specific audience, dan referent objects.
1. Security (keamanan), merupakan skema yang dibentuk melalui pendekatan
sosial tentang keberlangsungan hidup, dimana suatu isu dikonotasikan
sebagai sebuah ancaman eksistensial untuk suatu objek tertentu. Isu
tersebut akan menjadi sebuah ancaman apabila adanya artikulasi isu oleh
aktor sekuritisasi.

11
2. Securitizing actors (pelaku sekuritisasi), terdiri dari pemerintah, organisasi
non pemerintah, organisasi internasional, maupun masyarakat sipil yang
menyorot suatu isu dan mengklaim adanya potensi ancaman yang bisa
ditimbulkan oleh isu tersebut, yang akan membahayakan keberlangsungan
hidup objek tertentu dalam suatu negara.
3. Speech act (tindak tutur), merupakan teori yang menjadi gagasan utama
dalam konsep sekuritisasi. Teori ini menjelaskan tentang bagaimana
seseorang dapat melakukan tindakan karena adanya dorongan dari tutur
kata yang terucap. Ketika seorang aktor telah mengatakan bahwa suatu isu
telah menjadi ancaman eksistensial bagi objek referensi, maka isu yang
dimaksud telah masuk ke dalam ranah keamanan. Dalam kasus ini, negara
merupakan aktor utama, serta tidak ada aturan yang mengikat tentang
bagaimana suatu negara seharusnya melakukan tindakan sekuritisasi,
karena ancaman dalam hal ini bersifat eksistensial (wacana). Menurut
Weaver, speech act bertindak untuk merekonstruksi sebuah isu menjadi
masalah keamanan. Melalui speech act, pemerintah suatu negara dapat
mengklaim hak negaranya untuk melakukan segala bentuk tindakan yang
dibutuhkan dalam meregulasi ancaman keamanan yang dirasakan.
4. Specific audience (khalayak khusus), merupakan kelompok orang tertentu
yang menjadi sasaran aktor dalam mengklaim tindakan sekuritisasinya,
karena implementasi sekuritisasi akan berhasil ketika aktor sekuritisasi
mpu mempengaruhi kelompok tersebut dengan menggunakan bahasa
keamanan sebagai bentuk speech act untuk meyakinkan specific audience
tadi. Specific audience sendiri bisa berasal dari kelompok politisi, opini
publik, kelompok militer, dan kelompok kepentingan lainnya.
5. Referent objects (objek referensi), merupakan individu maupun kelompok
yang menjadi objek dalam tindakan sekuritisasi yang dilakukan oleh suatu
aktor, atau bisa disebut sebagai objek dalam sekuritisasi. Contoh referent
objek seperti korban pelanggaran HAM, kelompok pengungsi, maupun
objek keamanan lainnya seperti kedaulatan dan ideologi bangsa yang
dapat menjadi isu keamanan politik, negara yang dapat menjadi isu
keamanan militer, identitas kebangsaan yang dapat menjadi isu keamanan

12
sosial, sumber daya alam berupa habitat dan spesies yang dapat menjadi
isu keamanan lingkungan, sampai perekonomian negara yang dapat
menjadi isu keamanan ekonomi. Semua objek tersebut memiliki hak untuk
bertahan hidup, sehingga apabila objek-objek tersebut terancam
keamanannya, maka aktor sekuritisasi berhak mengklaim sekuritisasi
(2023: 4-6).
Salah satu studi kasus yang dapat dianalisis menggunakan ke 5
terminologi kunci diatas adalah proses sekuritisasi berupa kebijakan Travel Ban
yang dicanangkan oleh mantan presiden Amerika Serikat Donald Trump pada
tahun 2017 tentang pelarangan masuknya imigran muslim yang berasal dari 7
negara, diantaranya Libya, Yaman, Somalia, Iran, Suriah, Irak, dan Sudan.
Tindakan sekuritisasi dilakukan karena negara-negara tersebut dianggap sebagai
negara yang berafiliasi dengan jaringan terorisme, seperti ISIS dan Al-Qaeda.
Kebijakan yang dibentuk presiden Donald Trump ini disebut juga oleh media
dengan istilah “Muslim Ban”. Presiden Trump memanfaatkan isu keamanan ini
sebagai alat kampanyenya saat pemilu tahun 2016 silam, dimana isu terorisme
yang mengatasnamakan Islam sedang marak-maraknya terjadi di Amerika Serikat
pada saat itu, ditambah dengan buruknya persepsi masyarakat kala itu. Tentu ini
menjadi batu loncatan bagi Trump untuk memenangkan pemilu Amerika Serikat
pada tahun 2016.
Dalam studi kasus tersebut, maka dapat dianalisis bahwa: Pertama, isu
tersebut berawal dari isu terorisme yang kemudian digaungkan sebagai isu
sekuritisasi oleh aktor karena dianggap dapat mengancam keamanan masyarakat
(civil society). Kedua, securitizing actors dalam kebijakan sekuritisasi terhadap
isu tersebut adalah Donald Trump yang merupakan elite politik Amerika Serikat.
Ketiga, dalam isu ini, Donald Trump berasumsi bahwa kehadiran imigran muslim
merupakan ancaman yang dapat membahayakan keberlangsungan hidup
masyarakat karena mereka memiliki keterkaitan yang erat dengan aksi terorisme
yang sedang marak terjadi di Amerika Serikat saat itu. Dalam hal ini, asumsi
Trump tersebut merupakan bentuk speech act. Keempat, specific audience yang
menjadi sasaran aktor dalam hal ini adalah opini publik Amerika, khususnya
mereka yang menyikapi aksi teror tersebut secara emosional. Penyebaran stigma

13
negatif mengenai imigran muslim juga dibantu dengan adanya media yang
tentunya pro terhadap rezim yang ada. Kelima, referent object dalam kasus ini
tentunya adalah masyarakat Amerika Serikat itu sendiri yang menjadi objek dan
alasan dilakukannya sekuritisasi oleh aktor, sehingga isu ini termasuk ke dalam
isu keamanan sosial.

D. Aktor Sekuritisasi
Dalam hubungan internasional, aktor disebut sebagai seseorang atau suatu
entitas yang memiliki peran penting dalam menjamin keamanan dan
keberlangsungan hidup masyarakat. Definisi tersebut ada karena aktor memiliki
kemampuan untuk memilah mana yang merupakan ancaman dan mana yang
bukan ancaman dalam dunia internasional. Aktor juga berkuasa untuk mengklaim
hak atas suatu masalah dengan cara apapun untuk memberikan jaminan terhadap
keberlangsungan hidup objek rujukannya (A. Djatmiko, 2023: 62).
Berbicara tentang sekuritisasi, satu-satunya aktor dalam isu ini sering
dikaitkan dengan peran negara sebagai suatu entitas. Dalam praktiknya,
sekuritisasi memang kerap dilakukan oleh pemangku pemerintahan, kelompok
oposisi, birokrasi, dan elit politik lainnya. Namun, Barry Buzan menyangkal hal
tersebut dengan mengeluarkan pernyataan bahwa siapapun dapat menjadi tokoh
dalam sekuritisasi, termasuk individu dari kalangan masyarakat. Sehingga pada
dasarnya, tindakan sekuritisasi dalam dilakukan oleh siapapun (2023: 62).
Aktor-aktor dalam sekuritisasi atau yang dikenal dengan istilah
securitizing actors adalah seseorang atau suatu kelompok yang melakukan tindak
speech act (B. Buzan, O. Waever, J.D. Wilde, 1998: 40), yaitu ucapan seorang
aktor yang berfungsi sebagai sarana penindak. Speech act juga didefinisikan
sebagai perkataan yang tidak hanya sekedar diucapkan akan tetapi mengandung
makna implikatur (P.C. Suryain, dll, 2022: 37). Securitizing actors terbagi
kedalam empat kategori, diantaranya:
a. Lead Actors
Lead actors adalah aktor yang mempunyai kemampuan besar
untuk melakukan sekuritisasi. Oleh karenanya, lead actors sering disebut
sebagai pelaku utama (A. Putri, 2019: 21), dimana lead actors bisa berasal

14
entitas manapun, baik negara, NGOs (Non Governmental Organizations),
kelompok epistemik, sampai masyarakat sipil. Namun lebih spesifiknya,
lead actors banyak diperankan oleh swasta dan aktor birokrasi.
b. Veto Actors
Veto actors adalah aktor yang dapat melakukan lobi untuk
memperlemah isu sekuritisasi. Veto actors sering kali diperankan oleh
NGOs (Non Governmental Organizations) dan masyarakat sipil.
c. Veto Coalition
Veto coalition adalah aktor yang dapat memperkuat atau
melemahkan isu sekuritisasi (2019: 21). Veto coalition terdiri dari
sekelompok negara yang membuat perjanjian mengenai isu tertentu yang
nanti akan digunakan untuk melawan rezim apabila diperlukan (A.
Djatmiko, 2023: 62).
d. Functional actors
Functional actors adalah aktor yang mempengaruhi dinamika
suatu sektor dalam isu sekuritisasi tanpa menjadi aktor maupun objek
referensi dalam sekuritisasi, namun aktor ini dapat secara signifikan
mempengaruhi kebijakan di bidang keamanan. Sebagai contoh, sebuah
pabrik yang menimbulkan pencemaran lingkungan. Pabrik dalam hal ini
dapat menjadi aktor sentral dalam bidang lingkungan, serta bukan
merupakan objek rujukan dan dia tidak bertindak untuk mengamankan isu
lingkungan (atau sebaliknya) (B. Buzan, O. Waever, J.D. Wilde, 1998: 36).

15
BAB 3 PENUTUP

A. Kesimpulan
Sekuritisasi adalah suatu cara yang dilakukan oleh para pelaku keamanan
dalam menangani atau menghadapi suatu ancaman. Sekuritisasi ini lahir dari
adanya gangguan terhadap aspek yang mendukung hak dan keberlangsungan
hidup masyarakat yang dikonsepkan dalam sebuah human security setelah adanya
pergeseran makna keamanan dari sempit ke makna yang lebih luas yang
diperkenalkan oleh mazhab Copenhagen. Sekuritisasi ini dapat dipandang dari
teori konstruktivis yang memandang isu yang menjadi ancaman adalah hasil dari
interaksi sosial dalam kehidupan sehari-hari yang juga berkaitan dengan
pandangan liberalis mengenai jalinan hubungan antar negara yang kian semakin
intens. Oleh karena itu sekuritisasi dibicarakan dalam Hubungan Internasional.

16
DAFTAR PUSTAKA

Bilad, C. Z. E. (2017, Januari). Konstruktivisme Hubungan Internasional: Meretas


Jalan Damai Perdebatan Antar Paradigma.
Buzan, B., Weaver, O., & Wilde, J. D. (1998). Security: A New Framework for
Analysis. Lynne Rienner Publisher, Inc.
Djamitko, A. (2023). SEKURITISASI dalam HUBUNGAN INTERNASIONAL:
Implementasi Teori Sekuritisasi dalam Kasus Narkoba Global. CV Andi
Offset.
Lipschutz, R. D. (1995). On Security. Columbia University Press.
https://www.libraryofsocialscience.com/assets/pdf/Waever-Securitization.p
df
Miska, U. N. (2017). External Balancing Terhadap Pivot To Asia Amerika
Serikat: Alasan Tiongkok Menerima India Sebagai Anggota Shanghai
Cooperation Organization Tahun 2015.
https://repository.unair.ac.id/69716/3/JURNAL_Fis.HI.14%2018%20Mis
%20e.pdf
Putri, A. (2019). Pengagendaan Isu Pangan Sebagai Isu Pangan pada
Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY): Studi Pada Kebijakan
Food Estate. Jurnal PIR: Power in International Relations, Volume 4 No.
1.
Situmorang, G. K. (2015). Sekuritisasi.
Stritzel, H. (2007). Towards a Theory of HSecuritization, Copenhagen and
Beyond. European Journal of International Relations.
Sudiar, S. (2019). Pendekatan Keamanan Manusia dalam Studi Perbatasan
Negara. Jurnal Hubungan Internasional, Volume 7 No.2.
https://doi.org/10.18196/hi.72139
Suryawin, P. C., Wijaya, M., & Isnaini, H. (2022). Tindak Tutur (Speech Act) dan
Implikatur dalam Penggunaan Bahasa. Jurnal Riset Sosial Humaniora dan
Ilmu Pendidikan, Volume 1 No. 3.
Taureck, R. (2006). Securitization theory and securitization studies. WRAP:
Warwick. Retrieved March 3, 2023, from
https://core.ac.uk/download/pdf/48444.pdf

17
Trihartono, A., Indriastuti, S., & Nisya, C. (2020). Keamanan dan Sekuritisasi
dalam Hubungan Internasional (Cetakan Pertama ed.). Melvana
Publishing.
Weaver, O. (2015). The theory act: Responsibility and exactitude as seen from
securitization. International Relations. Journal.sagepub. Retrieved March
3, 2023, from
https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/0047117814526606d?journa
lCode=ireb
Williams, M. C. (2003). Words, Images, Enemies: Securitization and International
Politics. International Studies Quarterly, Volume 47 No.4.

18

Anda mungkin juga menyukai