Anda di halaman 1dari 6

PENGENDALIAN HAMA TANAMAN HUTAN SECARA

BIOLOGIS

Disusun oleh :

1. Arysta Jossa Salvasita (H1021010)

2. Fatasya Aulia (H1021025)

3. Julia Aura Zakia (H1021049)

4. Mieke Yolanda (H1021054)

5. Puput Novytasari (H1021062)

PROGRAM STUDI PENGELOLAAN HUTAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

2023
Pengertian Pengendalian Hama Secara Biologis

Pengendalian hama secara biologis yaitu pengendalian yang memanfaatkan agen pengendali
hayati (musuh alaminya) seperti predator, parasitoid, dan patogen yang melimpah di alam.
Pengendalian secara biologis ini menggunakan suatu teknik pengelolaan hama dengan sengaja
dengan memanfaatkan/memanipulasikan musuh alami untuk kepentingan pengendalian, seringkali
pengendalian biologis ini memerlukan perbanyakan musuh alami yang dilakukan dilaboratorium
(Sunarno, 2012). Pengendalian secara biologis ini memiliki kelebihan dan juga kekurangan.
Kelebihannya yaitu relatif aman bagi lingkungan, tidak menimbulkan keracunan bagi manusia atau
ternak, tidak menyebabkan hama sasaran menjadi resisten, agen pengendali hayati hanya bekerja
terhadap inangnya, lebih murah dan juga dapat digunakan dalam waktu yang relatif panjang.
Sedangkan kekurangannya yaitu teknik aplikasi belum banyak dikuasai dan juga waktu pengendalian
yang dibutuhkan jauh lebih lama jika dibandingkan dengan penggunaan pestisida (Nuraeni et al.,
2016).

Dilihat dari fungsinya musuh alami dapat dibagi menjadi tiga yaitu parasitoid, predator dan
patogen. Parasitoid dapat digolongkan berdasarkan fase tubuh inang yang diserang: Parasitoid telur,
Parasitoid telur – larva, Parasitoid larva, Parasitoid larva – pupa, Parasitoid pupa, Parasitoid imago.
Predator adalah makhluk hidup yang memakan, membunuh, atau memangsa serangga lain untuk
bertahan hidup. Sedangkan patogen adalah golongan mikroorganisme atau jasad renik yang
menyebabkan serangga sakit dan akhirnya mati. Virus, bakteri, protozoa, jamur, riketzia dan nenatoda
adalah beberapa contoh mikroorganisme yang dapat berkembang menjadi patogen (Sunarno, 2012).
Studi Kasus Khasiat Beauveria Bassiana Terhadap Helopeltis Sp. Di Kakao
(Theobroma cacao) Oleh Dyah Rini Indriyanti, Siti Nur Faizah, Muji Slamet.

Pendahuluan

Kakao termasuk dalam lima besar komodas perkebunan utama di Indonesia. Namun
produksi kakao di desa Karanggending mengalami penurunan pada tahun 2010-2014
mencapai 22.596 ton. Salah satu penyebabnya karena terserang hama Helopeltis sp. Hama
tersebut ditemukan hampir di semua pohon kakao berbuah. Buah yang terinfeksi ditandai
dengan perubahan warna menjadi bercak-bercak hitam, buah mengecil dan buah hugur
sebelum masak. Serangan dapat dilakukan oleh imago (serangga dewasa) dan nimfa (serangga
belum dewasa). Biasanya petani menggunakan pestisida, namun saat ini telah terjadi resistensi
serangga, sehingga dosis yang digunakan harus tinggi.

Ditemukan pengendalian hayati lainnya yakni dengan menggunakan Biological


Control Agent (BCA). Biological Control Agent (BCA) adalah mikroorganisme atau
organisme yang memiliki kemampuan untuk menekan, menghalangi, atau membunuh
organisme target melalui mekanisme tertentu dan berpotensi untuk digunakan dalam
pengendalian populasi target. BCA dapat berupa parasit, predator atau patogen. BCA sebagai
jamur entomopatogen telah banyak digunakan oleh petani sebagai pengendalian hama yang
efektif, aman dan ramah lingkungan.

Metode

Uji khasiat B. bassiana dilakukan pada bulan Oktober sampai November 2016, di salah
satu perkebunan Kakao Temanggung Lokasi penelitian memiliki luas lahan 7,44 ha,
ketinggian 1000 m dpl, suhu 25-34,9° C, kelembaban udara 66-99%, dan hujan yang turun
hampir setiap hari selama proses pengambilan data. Jamur B. bassiana diperoleh dari
BPTBUN Salatiga dalam bentuk formulasi serbuk kaolin. Pengujian dilakukan di
Laboratorium Hama BPTBUN Salatiga. Langkah-langkah pengujian kerapatan dan viabilitas
menggunakan metode dari Direktorat Perlindungan Perkebunan.

a. Uji kepadatan spora B.bassiana

b. Uji viabilitas spora B.bassiana

c. Tes adaptasi - Uji Efikasi


Hasil dan Pembahasan

Hasil perhitungan densitas spora didapatkan formulasi yaitu 4,2 x 108spora/g dimana
termasuk dalam kategori baik,artinya formulasi kaolin yang digunakan memiliki kualitas yang
baik.Spora B.bassiana dengan perbesaran 400x terlihat berbentuk lonjong agak bulat karena
B.bassiana yang tumbuh pada media PDA memiliki ciri warna putih Spora berbentuk oval
agak bulat sampai bulat telur dengan struktur seperti anggur. Viabilitas rata-rata B.bassiana
pada media kaolin yang digunakan termasuk dalam kategori kurang karena viabilitasnya
setelah inkubasi 8 jam hanya 67,2%.Selain itu syarat suatu patogen dilihat seperti
kemampuannya menghasilkan enzim dan metabolit sekunder yang berfungsi sebagai senyawa
degradasi kutikula dan kitin serta dapat menghancurkan sistem saraf serangga.

Helopeltis sp mati karena Infeksi B.bassiana yang diamati selama 4 minggu.Hal ini
menunjukkan bahwa B. bassiana dapat beradaptasi dan menginfeksi Helopeltis sp pada
ketinggian 1000(mdpl).Suhu optimum yang mendukung perkembangan B.bassiana adalah
20-30 °C,sedangkan jamur ini mampu berkembang pada kisaran suhu 15-35 °C dan
kelembaban di bawah 95,5% . Suhu udara di lokasi berkisar antara 25- 34.9°C dengan
kelembaban udara 66-99%,sehingga B.bassiana dapat berkembang dengan baik. Pada minggu
pertama setelah aplikasi B.bassiana, menginfeksi Helopeltis sp. pada perlakuan B kematian
tertinggi (51,3%) dibandingkan dengan perlakuan A (19,5%) dan C (22,9%). Hal ini
dikarenakan pada aplikasi pertama perlakuan B, hujan deras turun setengah jam setelah
penyemprotan sehingga terjadi pengulangan perlakuan keesokan harinya. Tindakan ini dipilih
karena dikhawatirkan B.bassiana akan larut karena hujan. Namun hasil penelitian
menunjukkan bahwa perlakuan B menghasilkan infeksi B. bassiana paling tinggi
dibandingkan perlakuan A dan C. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun hujan deras, masih
terdapat spora yang menempel pada tubuh serangga sehingga banyak serangga yang terinfeksi
B. bassiana. Pada perlakuan A, jumlah Helopeltis sp yang terinfeksi lebih sedikit
dibandingkan perlakuan C karena jumlah spora pada perlakuan C lebih banyak dibandingkan
perlakuan A.Pada perlakuan kontrol, beberapa Helopeltis sp. juga terserang jamur. Hal ini
disebabkan kontaminasi pada saat proses penyemprotan karena jarak lokasi yang tidak terlalu
jauh (kurang lebih 500 m). Namun pada minggu kedua hingga keempat hanya jumlah
Helopeltis sp yang terinfeksi. pada perlakuan A, B dan C mengalami peningkatan.
Berdasarkan hasil uji khasiat,disarankan penyemprotan kedua dapat dilakukan sehari setelah
penyemprotan pertama. Penyemprotan selanjutnya dapat dilakukan satu minggu kemudian
dengan interval seminggu sekali. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kemungkinan kontak
spora yang lebih banyak dengan serangga yang lebih banyak pada awal pengobatan. Sifat
jamur ini tidak seperti insektisida yang mematikan karena butuh waktu untuk kontak dengan
tubuh serangga, berkecambah, kemudian menginfeksi tubuh serangga. Semakin banyak spora
yang menempel pada tubuh serangga mengakibatkan semakin cepat terjadinya infeksi
sehingga semakin cepat pula serangga mati.

B.bassiana tidak menyebabkan infeksi yang berarti pada serangga non hama.
Virulensi cendawan patogen membutuhkan waktu untuk menginfeksi hingga membunuh
serangga, infeksi dimulai dengan penempelan konidia, perkecambahan dan penetrasi.
Semakin banyak konidia yang menempel pada inang target maka semakin cepat serangga
inang terinfeksi dengan dipengaruhi oleh enzim yang dihasilkan dari sistem metabolisme yang
berperan penting dalam mekanisme jamur patogen dalam menginfeksi serangga. Aplikasi
B.bassiana sebaiknya dilakukan pada saat tanaman kakao mulai berbuah muda, sehingga
populasi hama serangga dapat dikendalikan lebih awal dengan menutupi buah kakao dengan
kaolin yang mengandung B.bassiana hal ini mampu menahan serangga untuk mendekati buah
kakao. Jika populasi hama tinggi maka diperlukan penyemprotan dan pembungkusan buah
yang lebih sering,sehingga kerusakan buah yang lebih banyak dapat diminimalkan.Dosis
aplikasi yang dianjurkan 150 g L-1 harus diulang sehari setelah aplikasi dan penyemprotan
selanjutnya dapat dilakukan satu minggu kemudian.

Kesimpulan

Beauveria bassiana yang digunakan dalam penelitian memiliki kepadatan spora 4,2 x
108spora/g dengan viabilitas 67,2%. Hasil uji adaptasi dan efikasi B. bassiana pada Helopeltis
sp. menunjukkan bahwa, B. bassiana dapat beradaptasi dengan baik pada ketinggian 1000
mdpl dengan dosis 150 gram per liter air pada suhu siang hari antara 25-34,9 °C, dengan
kelembaban udara antara 66-99%, serta intensitas hujan hampir setiap hari pada saat
penelitian.

Berdasarkan penelitian, dibutuhkan waktu lebih dari empat minggu untuk membunuh
semua Helopeltis sp. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa B. bassiana dapat
mengendalikan Helopeltis sp. Sehingga B. bassiana disebut sebagai musuh alami Helopeltis
sp. Pada tanaman kakao.
Daftar Pustaka

Indriyanti, D. R., Faizah, S. N., & Slamet, M. 2017. Efficacy of Beauveria bassiana against
Helopeltis sp. on cacao (Theobroma cacao). International Journal of Scientific &
Technology Research, 6(10), 14-17.

Nuraeni, Y., Anggraeni, I., & Darwiati, W. (2016). Keanekaragaman serangga parasitoid
untuk pengendalian hama pada tanaman kehutanan. In Seminar Nasional PBI 2016.

Sunarno. 2012. Pengendalian hayati (biological control) sabagai salah satu komponen
pengendalian hama terpadu (PHT). (On-line).
http://journal.uniera.ac.id/abst/31/pengendalian-hayati-(biologi-control)- sebagai-
salah-satu-komponen-pengendalian-hama-terpadu-(pht) diakses 30 September 2012.

Anda mungkin juga menyukai