8 RFDH
8 RFDH
Disusun oleh:
Asyifa Hilda Hapsari
NIM 192011101022
Dokter Pembimbing:
dr. H. Ahmad Nuri, Sp.A
dr. B. Gebyar Tri Baskara, Sp.A
dr. M. Ali Shodikin, M.Kes, Sp.A
2
DAFTAR TABEL
3
I. Pendahuluan
Imunisasi telah diakui sebagai upaya pencegahan suatu penyakit infeksi
yang paling sempurna dan berdampak pada peningkatan kesehatan masyarakat.
Oleh karena itu, kebutuhan akan vaksin makin meningkat seiring dengan
keinginan dunia untuk mencegah berbagai penyakit yang dapat menimbulkan
kecacatan dan kematian. Peningkatan kebutuhan vaksin telah ditunjang dengan
upaya perbaikan dalam produksi vaksin guna meningkatkan efektifitas dan
keamanan. Faktor terpenting yang harus dipertimbangkan dalam pembuatan
vaksin adalah keseimbangan antara imunitas yang akan dicapai dengan reaksi
yang tidak diinginkan yang mungkin timbul. Untuk mencapai imunogenisitas
yang tinggi, vaksin harus berisi antigen yang efektif untuk merangsang respons
imun. Pada kenyataannya, tidak ada satu jenis vaksin pun yang sempurna. Namun
dengan kemajuan di bidang bioteknologi saat ini telah dapat dibuat vaksin yang
relatif efektif dan aman. Seiring dengan cakupan imunisasi yang tinggi, maka
penggunaan vaksin juga meningkat sehingga reaksi vaksinasi yang tidak
diinginkan juga meningkat. Hal yang penting dalam menghadapi reaksi vaksinasi
yang tidak diinginkan ialah: Apakah kejadian tersebut berhubungan dengan
vaksin yang diberikan? Ataukah bersamaan dengan penyakit lain yang telah
diderita sebelum pemberian vaksin (koinsidensi)? Seringkali hal ini tidak dapat
ditentukan dengan tepat sehingga oleh WHO digolongkan dalam kelompok
adverse events following immunisation (AEFI) atau kejadian ikutan pasca
imunisasi (KIPI).
Pada tahun 2012 diperoleh laporan sebanyak 190 kasus dari 19 provinsi
(57,5%), yang terdiri dari 100 kasus KIPI serius dan 90 kasus KIPI non-serius.
Dari data tersebut terlihat belum semua provinsi melaporkan. Diperkirakan kasus
KIPI lebih besar dari laporan yang ada. (Kemenkes RI, 2013) Sejak tahun 2012
sudah dilaksanakan upaya penguatan surveilens KIPI di 2 provinsi, yaitu Jawa
Barat dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dengan total laporan KIPI sebesar
10.052 kasus. Surveilens KIPI tersebut sangat membantu program imunisasi,
khususnya memperkuat keyakinan masyarakat akan pentingnya imunisasi sebagai
upaya pencegahan penyakit yang paling efektif. (Kemenkes RI, 2013)
4
II. Definisi KIPI
Menurut Menkes (2017), KIPI adalah kejadian medik yang diduga
berhubungan dengan imunisasi. Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI)
atau adverse events following immunization menurut WHO (2019) adalah setiap
kejadian medis yang tidak diinginkan, terjadi setelah pemberian imunisasi, dan
belum tentu memiliki hubungan kausalitas dengan vaksin. Kejadian ini dapat
merupakan reaksi vaksin ataupun bukan. Kejadian yang bukan reaksi vaksin dapat
merupakan peristiwa koinsidens (peristiwa yang kebetulan terjadi) bersamaan atau
setelah imunisasi
V. Reaksi Vaksin
Reaksi terhadap suatu vaksin bersifat sangat individual, walaupun
pembuatan, penyimpanan dan cara pemberiannya sudah sesuai dengan SOP. Dari
5 klasifikasi KIPI yang telah disebutkan sebelumnya, reaksi vaksin dibagi menjadi
reaksi akibat komponen vaksin dan reaksi akibat cacat mutu vaksin.
6
Reaksi Ringan Reaksi Berat
1. Reaksi Ringan
Idealnya vaksin tidak menimbulkan efek simpang, kalau pun ada sangat
ringan. Pemberian vaksin akan merangsang pembentukan kekebalan dengan
cara sistem kekebalan penerima imunisasi bereaksi terhadap antigen yang ada
didalam vaksin. Reaksi lokal dan sistemik seperti rasa sakit dan demam bisa
muncul setelah imunisasi sebagai bagian dari proses reaksi kekebalan. Sebagai
tambahan, komponen lain yang ada didalam vaksin seperti ajuvan, stabilizer,
dan preservative dapat menimbulkan reaksi vaksin. Vaksin yang baik telah
dibuat sedemikian rupa sehingga reaksi efek simpang ringannya sangat
sedikit, sedangkan manfaatnya untuk mencegah PD3I sangat besar.
*Ajuvan = substansi farmakologi (garam alumunium, emulsi minyak
dalam air) yang dapat mengubah efek dari substansi lain seperti obat atau
vaksin yang apabila diberikan sendiri yang hanya sedikit memberikan efek
langsung. Ajuvan seringkali berada di dalam vaksin dengan tujuan untuk
memperkuat respon imun dari resipien terhadap antigen, untuk
meminimalisasi materi asing.
7
*Stabilizer = komponen yang dipergunakan untuk menjagaefektivitas
vaksin selama masa penyimpanan. Stabilitas vaksin sangat penting,
terutama apabila sistem rantai dingin tidak baik. Faktor yang
mempengaruhi stabilitas adalah suhu dan pH.
* Preservatif = Sesuatu bahan yang ditambahkan pada vaksin dengan
kemasan multidosis untuk mencegah pertumbuhan bakteri dan jamur. Pada
umumnya yang digunakan adalah thiomersal yaitu bahan yang
mengandung merkuri.
Frekuensi reaksi vaksin yang sering terjadi pada pemberian vaksin
yang umum digunakan, dan tata laksananya, disajikan dalam tabel 1 di bawah
ini ini. Reaksi vaksin ini biasanya muncul sehari atau dua hari setelah
imunisasi (kecuali ruam setelah imunisasi campak muncul pada hari ke 6 – 12
pasca imunisasi) dan berlangsung selama satu sampai beberapa hari.
Tabel 1. Reaksi Vaksin Ringan
Reaksi Lokal Reaksi Sistemik
Rewel, malaise,
Vaksin (sakit, bengkak, dan
Demam > 38 ℃ dan gejala
obat kemerahan)
sistemik lainnya
BCG 90 - 95% - -
Orang dewasa terjadi
sampai 15%
Hepatitis B 1-6 % -
Anak-anak terjadi
sampai 5%
HIb 5 – 15 % 2- 10 % -
Campak/MR/
~ 10% 5 -15% 5% (ruam)
MMR
Polio (OPV) Tidak ada <1% < 1%
Pertusis Kejadian sampai
Kejadian sampai 50% Kejadian sampai 50%
(DTwP) 50%
8
lokasi suntikan banyak yang
banyak
- Parasetamol - Berikan
dengan dosis pakaian yang
15 mg/kgBB sejuk dan
tiap 6-8 jam. nyaman
- Berikan spons
hangat
- Parasetamol
dengan dosis
15 mg/kgBB
tiap 6-8 jam.
2. Reaksi Berat
Reaksi vaksin berat seperti kejang, trombositopenia, Hypotonic
Hyporensponsive Episode (HHE) dan menangis terus menerus, harus selalu
dilaporkan. Banyak reaksi vaksin berat yang tidak menimbulkan masalah
jangka panjang. Syok anafilaktik, walaupun bisa fatal, apabila tertangani
dengan baik maka tidak menimbulkan dampak jangka panjang.
Tabel 2. Reaksi vaksin berat, onset interval kejadian, frekuensi kejadian untuk
setiap jenis vaksin pada anak (WHO, 2019)
9
VI. Reaksi KIPI akibat Kesalahan Prosedur Imunisasi
Kesalahan prosedur imunisasi meliputi kesalahan dalam penyiapan,
penanganan, penyimpanan dan cara pemberian vaksin. Semestinya kesalahan ini
dapat dicegah agar manfaat program imunisasi terhadap masyarakat dapat
dirasakan. Menemukan dan melakukan koreksi segera terhadap kesalahan
prosedur imunisasi ini sangatlah penting. (WHO, 2019)
Tabel 3. Kesalahan Prosedur Imunisasi dan Kemungkinan KIPI
Kesalahan Prosedur Imunisasi Kemungkinan KIPI
Penyuntikan tidak steril
- Penggunaan ulang spuit atau jarum - Reaksi local (abses, bengkak,
sekali pakai menimbulkan selulitis, indurasi)
kontaminasi vaksin, terutama pada - Sepsis
vaktin multidosis. - Toxic shock syndrome (TSS)
- Sterilisasi spuit dan jarum yang - Infeksi melalui darah (Blood-
tidak sesuai SOP boorne), misalnya infeksi Hep. B
- Vaksin atau pelarut yang dan infeksi virus HIV.
terkontaminasi - Kematian
Kesalahan waktu melarutkan vaksin
- Pengocokan vaksin yang tidak - Abses local
sempurna - Vaksin tidak efektif
- Penggunaan pelarut yang salah - Efek obat terhadap tubuh,
- Penggunaan obat sebagai vaksin contohnya insulin, oksitosin muscle
atau pelarut relaxants
- Pemakaian ulang vaksin yang - Toxic shock syndrome (TSS)
sudah dilarukan sebelumnya, - Kematian
setelah melewati masa pakai vaksin
Suntikan pada lokasi yang salah
- BCG diberikan subkutan, vaksin - Reaksi local, abses, atau reaksi
DTP/DT/TT disuntikkan kurang lokal lainnya
dalam - Kerusakan Nervus ischiadicus
- Suntikan pada bokong
Transportasi dan penyimpanan vaksin - Meningkatnya jumlah kejadian
yang tidak sesuai SOP reaksi local karena vaksin yang
beku
- Vaksin tidak efektif
Mengabaikan kontra indikasi Reaksi berat yang seharusnya dapat
dihindari
10
VII. Reaksi KIPI akibat Kecemasan karena Takut Disuntik
Seseorang dapat bereaksi sebelum atau sesudah disuntik. Reaksi ini tidak
ada kaitannya dengan vaksin, tetapi lebih kepada rasa takut disuntik. Ada 4 jenis
reaksi KIPI akibat kecemasan karena takut disuntik.
11
imunisasi. Kalau terjadi KIPI yang serius maka harus segera dilakukan investigasi
untuk mengetahui apakah KIPI tersebut terkait, atau tidak terkait langsung dengan
vaksin. Hal ini penting untuk :
- Menanggapi kekhawatiran masyarakat akan keamanan vaksin,
- Mempertahankan kepercayaan masyarakat terhadap program imunisasi
tetap tinggi.
Melakukan kalkulasi terhadap angka perkiraan KIPI penting dilakukan selama
melakukan investigasi. Dengan adanya angka pembanding KIPI, investigator akan
mempunyai gambaran dan membandingkan angka estimasi KIPI dan angka KIPI
pasca imunisasi. Dari perbandingan ini kita akan tahu apakah ada kecenderungan
peningkatan KIPI ataukah tidak, dan ada kaitannya langsung dengan vaksinasi
atau tidak. Angka dasar kematian KIPI sebagai peristiwa koinsidensi pasca
imunisasi merupakan hal yang sangat penting dalam proses pelaporan KIPI.
Tabel 4. Angka perkiraan KIPI koinsiden pasca vaksinasi DTP di beberapa negara
14
Untuk kasus KIPI dengan reaksi yang ringan, seperti reaksi lokal, demam,
dan gejala-gejala sistemis yang dapat sembuh sendiri, tidak perlu dilaporkan.
Reaksi lokal yang berat (seperti pembengkakan hingga ke sendi yang paling
dekat; nyeri; kemerahan pembengkakan lebih dari 3 hari; atau membutuhkan
perawatan di rumah sakit), terutama jika ditemukan kasus berkelompok sebaiknya
dilaporkan. Kejadian reaksi lokal yang mengalami peningkatan frekuensi,
walaupun tidak berat, juga sebaiknya dilaporkan. Kasus ini bisa menjadi pertanda
kesalahan program atau menjadi masalah untuk batch vaksin tertentu.
(Pusdiknakes, 2014).
15
Tabel 7. Langkah-langkah pelacakan KIPI
16
Pada pelacakan KIPI berkelompok yang harus dilakukan adalah menetapkan
definisi untuk kasus tersebut, lacak orang lain di daerah tersebut yang mempunyai
gejala penyakit yang serupa dengan definisi tersebut, dapatkan riwayat imunisasi
(kapan, di mana, jenis, dan batch vaksin yang diberikan), tentukan persamaan di
antara kasus-kasus tersebut (Pusdiknakes, 2014).
17
DAFTAR PUSTAKA
Akib P.A., Purwanti A. 2011. Kejadian Ikutan pasca Imunisasi (KIPI) Adverse
Events Following Imumunization (AEFI). Dalam Pedoman Imunisasi di
Indonesia. Edisi keempat. Penyunting: Ranuh Gde, Suyitno H, Hadinegoro
S.R.S, Kartasasmita C.B, Ismoedijanto dkk. Jakarta: IDAI.
Kementerian Kesehatan RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013. Jakarta:
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2017. PERMENKES No. 12 Tahun 2017
Tentang Penyelenggaraan Imunisasi.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2005. Pedoman Pemantauan dan
Penanggulangan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi. Jakarta: Depkes RI.
Pusat Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kesehatan (Pusdiknakes). 2014. Buku
Ajar Imunisasi. Jakarta: Pusat Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kesehatan
Kementerian Kesehatan RI.
World Health Organization (WHO). 2019. Dasar-dasar Keamanan Vaksin.
http://in.vaccine-safety-training.org/home.html (Diakses pada tanggal 5
Oktober 2019).
18