Anda di halaman 1dari 18

REFERAT

KEJADIAN IKUTAN PASCA IMUNISASI (KIPI)

Disusun untuk Melaksanakan Tugas Kepaniteraan Klinik


KSM Ilmu Kesehatan Anak RSD dr. Soebandi Jember

Disusun oleh:
Asyifa Hilda Hapsari
NIM 192011101022

Dokter Pembimbing:
dr. H. Ahmad Nuri, Sp.A
dr. B. Gebyar Tri Baskara, Sp.A
dr. M. Ali Shodikin, M.Kes, Sp.A

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER


KSM ILMU KESEHATAN ANAK
RSD DR. SOEBANDI JEMBER
2019
DAFTAR ISI

Halaman Sampul ............................................................................................. 1


Daftar Isi........................................................................................................... 2
Daftar Tabel ..................................................................................................... 3
I. Pendahuluan ............................................................................................ 4
II. Definisi KIPI........................................................................................... 5
III. Etiologi KIPI........................................................................................... 5
IV. Klasifikasi KIPI ...................................................................................... 5
V. Reaksi Vaksin.......................................................................................... 6
VI. Reaksi KIPI akibat Kesalahan Prosedur Imunisasi ................................ 10
VII. Reaksi KIPI akibat Kecemasan karena Takut Disuntik .......................... 11
VIII. Kejadian Koinsiden ................................................................................. 11
IX. Kelompok Resiko Tinggi KIPI ............................................................... 12
X. Kasus KIPI yang Harus Dilaporkan ....................................................... 14
XI. Pemantauan KIPI .................................................................................... 15
Daftar Pustaka ................................................................................................. 18

2
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Reaksi vaksin ringan .......................................................................... 8


Tabel 2. Reaksi vaksin berat, onset interval kejadian, frekuensi kejadian
untuk setiap jenis vaksin pada anak ........................................................ 9
Tabel 3. Kesalahan prosedur imunisasi dan kemungkinan KIPI...................... 10
Tabel 4. Angka perkiraan KIPI koinsiden pasca vaksinasi DTP di beberapa
negara ...................................................................................................... 12
Tabel 5. Rekomendasi imunisasi untuk pasien HIV anak ................................ 14
Tabel 6. Kasus KIPI yang harus dilaporkan ..................................................... 14
Tabel 7. Langkah-langkah pelacakan KIPI ...................................................... 16

3
I. Pendahuluan
Imunisasi telah diakui sebagai upaya pencegahan suatu penyakit infeksi
yang paling sempurna dan berdampak pada peningkatan kesehatan masyarakat.
Oleh karena itu, kebutuhan akan vaksin makin meningkat seiring dengan
keinginan dunia untuk mencegah berbagai penyakit yang dapat menimbulkan
kecacatan dan kematian. Peningkatan kebutuhan vaksin telah ditunjang dengan
upaya perbaikan dalam produksi vaksin guna meningkatkan efektifitas dan
keamanan. Faktor terpenting yang harus dipertimbangkan dalam pembuatan
vaksin adalah keseimbangan antara imunitas yang akan dicapai dengan reaksi
yang tidak diinginkan yang mungkin timbul. Untuk mencapai imunogenisitas
yang tinggi, vaksin harus berisi antigen yang efektif untuk merangsang respons
imun. Pada kenyataannya, tidak ada satu jenis vaksin pun yang sempurna. Namun
dengan kemajuan di bidang bioteknologi saat ini telah dapat dibuat vaksin yang
relatif efektif dan aman. Seiring dengan cakupan imunisasi yang tinggi, maka
penggunaan vaksin juga meningkat sehingga reaksi vaksinasi yang tidak
diinginkan juga meningkat. Hal yang penting dalam menghadapi reaksi vaksinasi
yang tidak diinginkan ialah: Apakah kejadian tersebut berhubungan dengan
vaksin yang diberikan? Ataukah bersamaan dengan penyakit lain yang telah
diderita sebelum pemberian vaksin (koinsidensi)? Seringkali hal ini tidak dapat
ditentukan dengan tepat sehingga oleh WHO digolongkan dalam kelompok
adverse events following immunisation (AEFI) atau kejadian ikutan pasca
imunisasi (KIPI).
Pada tahun 2012 diperoleh laporan sebanyak 190 kasus dari 19 provinsi
(57,5%), yang terdiri dari 100 kasus KIPI serius dan 90 kasus KIPI non-serius.
Dari data tersebut terlihat belum semua provinsi melaporkan. Diperkirakan kasus
KIPI lebih besar dari laporan yang ada. (Kemenkes RI, 2013) Sejak tahun 2012
sudah dilaksanakan upaya penguatan surveilens KIPI di 2 provinsi, yaitu Jawa
Barat dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dengan total laporan KIPI sebesar
10.052 kasus. Surveilens KIPI tersebut sangat membantu program imunisasi,
khususnya memperkuat keyakinan masyarakat akan pentingnya imunisasi sebagai
upaya pencegahan penyakit yang paling efektif. (Kemenkes RI, 2013)
4
II. Definisi KIPI
Menurut Menkes (2017), KIPI adalah kejadian medik yang diduga
berhubungan dengan imunisasi. Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI)
atau adverse events following immunization menurut WHO (2019) adalah setiap
kejadian medis yang tidak diinginkan, terjadi setelah pemberian imunisasi, dan
belum tentu memiliki hubungan kausalitas dengan vaksin. Kejadian ini dapat
merupakan reaksi vaksin ataupun bukan. Kejadian yang bukan reaksi vaksin dapat
merupakan peristiwa koinsidens (peristiwa yang kebetulan terjadi) bersamaan atau
setelah imunisasi

III. Etiologi KIPI


Selama ini, persepsi awam dan juga kalangan petugas menganggap semua
kelainan dan kejadian yang dihubungkan dengan imunisasi sebagai reaksi alergi
terhadap vaksin. Akan tetapi, telaah laporan KIPI oleh Vaccine Safety Comittee,
Institute of Medicine (IOM) United State of America (USA), menyatakan bahwa
sebagian besar KIPI terjadi secara kebetulan saja (koinsidensi). Kejadian yang
memang akibat imunisasi tersering adalah akibat kesalahan prosedur dan teknik
pelaksanaan (programmatic errors). (Akib, 2011)

IV. Klasifikasi KIPI


KIPI menurut WHO (2019) dikelompokkan dalam 5 kategori, yaitu meliputi:
1. Reaksi yang terkait komponen vaksin
KIPI yang diakibatkan sebagai reaksi terhadap satu komponen atau lebih
yang terkandung di dalam vaksin. Contoh : Pembengkakan luas di paha
setelah imunisasi DTP.
2. Reaksi yang terkait dengan cacat mutu vaksin
KIPI yang disebabkan oleh karena ada cacat mutu yang dipersyaratkan
dalam produk vaksin, termasuk penggunaan alat untuk pemberian vaksin
yang disediakan oleh produsen. Contoh : Kelalaian atau kesalahan yang
dilakukan oleh produsen vaksin pada waktu melakukan inaktivasi virus
polio saat proses pembuatan vaksin IPV (inactivated polio vaccine).
5
Kelalaian dalam proses inaktivasi dapat menyebabkan kelumpuhan apabila
IPV tersebut disuntikkan kepada orang.
3. Reaksi terkait kekeliruan prosedur imunisasi
KIPI yang disebabkan oleh cara penanganan vaksin yang tidak memadai,
penulisan resep atau pemberian vaksin yang sebetulnya dapat dihindari.
Contoh : Penularan infeksi karena vial multidosis yang terkontaminasi.
4. Reaksi kecemasan terkait imunisasi
KIPI ini terjadi karena kecemasan pada waktu pemberian imunisasi.
Contoh : Terjadinya vasovagal syncope pada remaja saat / sesudah
imunisasi.
5. Kejadian Koinsiden
KIPI ini disebabkan oleh hal-hal di luar produk vaksin, kekeliruan
imunisasi atau kecemasan akibat imunisasi. Contoh : Demam yang timbul
bersamaan dengan pemberian imunisasi (asosiasi waktu) padahal
sebenarnya disebabkan oleh malaria. Kejadian koinsiden mencerminkan
peristiwa sehari-hari dari masalah kesehatan di masyarakat yang sering
dilaporkan.

V. Reaksi Vaksin
Reaksi terhadap suatu vaksin bersifat sangat individual, walaupun
pembuatan, penyimpanan dan cara pemberiannya sudah sesuai dengan SOP. Dari
5 klasifikasi KIPI yang telah disebutkan sebelumnya, reaksi vaksin dibagi menjadi
reaksi akibat komponen vaksin dan reaksi akibat cacat mutu vaksin.

6
Reaksi Ringan Reaksi Berat

Biasanya terjadi beberapa jam Biasanya tidak menimbulkan


setelah pemberian imunisasi masalah jangka panjang

Biasanya reaksi hilang dalam Dapat menimbulkan kecacatan


waktu singkat dan tidak
berbahaya
Jarang mengancam jiwa
Reaksi Lokal (termasuk
nyeri, bengkak, atau
kemerahan di lokasi
suntikan) Termasuk kejang dan reaksi
alergi yang timbul sebagai
reaksi tubuh terhadap
Reaksi sistemik (seperti komponen tertentu yang ada di
demam nyeri otot seluruh dalam vaksin.
tubuh badan lemah, pusing
nafsu makan turun)

1. Reaksi Ringan
Idealnya vaksin tidak menimbulkan efek simpang, kalau pun ada sangat
ringan. Pemberian vaksin akan merangsang pembentukan kekebalan dengan
cara sistem kekebalan penerima imunisasi bereaksi terhadap antigen yang ada
didalam vaksin. Reaksi lokal dan sistemik seperti rasa sakit dan demam bisa
muncul setelah imunisasi sebagai bagian dari proses reaksi kekebalan. Sebagai
tambahan, komponen lain yang ada didalam vaksin seperti ajuvan, stabilizer,
dan preservative dapat menimbulkan reaksi vaksin. Vaksin yang baik telah
dibuat sedemikian rupa sehingga reaksi efek simpang ringannya sangat
sedikit, sedangkan manfaatnya untuk mencegah PD3I sangat besar.
*Ajuvan = substansi farmakologi (garam alumunium, emulsi minyak
dalam air) yang dapat mengubah efek dari substansi lain seperti obat atau
vaksin yang apabila diberikan sendiri yang hanya sedikit memberikan efek
langsung. Ajuvan seringkali berada di dalam vaksin dengan tujuan untuk
memperkuat respon imun dari resipien terhadap antigen, untuk
meminimalisasi materi asing.
7
*Stabilizer = komponen yang dipergunakan untuk menjagaefektivitas
vaksin selama masa penyimpanan. Stabilitas vaksin sangat penting,
terutama apabila sistem rantai dingin tidak baik. Faktor yang
mempengaruhi stabilitas adalah suhu dan pH.
* Preservatif = Sesuatu bahan yang ditambahkan pada vaksin dengan
kemasan multidosis untuk mencegah pertumbuhan bakteri dan jamur. Pada
umumnya yang digunakan adalah thiomersal yaitu bahan yang
mengandung merkuri.
Frekuensi reaksi vaksin yang sering terjadi pada pemberian vaksin
yang umum digunakan, dan tata laksananya, disajikan dalam tabel 1 di bawah
ini ini. Reaksi vaksin ini biasanya muncul sehari atau dua hari setelah
imunisasi (kecuali ruam setelah imunisasi campak muncul pada hari ke 6 – 12
pasca imunisasi) dan berlangsung selama satu sampai beberapa hari.
Tabel 1. Reaksi Vaksin Ringan
Reaksi Lokal Reaksi Sistemik
Rewel, malaise,
Vaksin (sakit, bengkak, dan
Demam > 38 ℃ dan gejala
obat kemerahan)
sistemik lainnya
BCG 90 - 95% - -
Orang dewasa terjadi
sampai 15%
Hepatitis B 1-6 % -
Anak-anak terjadi
sampai 5%
HIb 5 – 15 % 2- 10 % -
Campak/MR/
~ 10% 5 -15% 5% (ruam)
MMR
Polio (OPV) Tidak ada <1% < 1%
Pertusis Kejadian sampai
Kejadian sampai 50% Kejadian sampai 50%
(DTwP) 50%

Pneumokok ~ 20% ~ 20%


~ 20%
konjugasi
Tetanus/DT/aT
~ 10% ~ 10% ~ 25%
d

Tata Laksana - Kompres - Berikan - Berikan


dingin pada minum yang minum

8
lokasi suntikan banyak yang
banyak
- Parasetamol - Berikan
dengan dosis pakaian yang
15 mg/kgBB sejuk dan
tiap 6-8 jam. nyaman

- Berikan spons
hangat

- Parasetamol
dengan dosis
15 mg/kgBB
tiap 6-8 jam.

2. Reaksi Berat
Reaksi vaksin berat seperti kejang, trombositopenia, Hypotonic
Hyporensponsive Episode (HHE) dan menangis terus menerus, harus selalu
dilaporkan. Banyak reaksi vaksin berat yang tidak menimbulkan masalah
jangka panjang. Syok anafilaktik, walaupun bisa fatal, apabila tertangani
dengan baik maka tidak menimbulkan dampak jangka panjang.
Tabel 2. Reaksi vaksin berat, onset interval kejadian, frekuensi kejadian untuk
setiap jenis vaksin pada anak (WHO, 2019)

9
VI. Reaksi KIPI akibat Kesalahan Prosedur Imunisasi
Kesalahan prosedur imunisasi meliputi kesalahan dalam penyiapan,
penanganan, penyimpanan dan cara pemberian vaksin. Semestinya kesalahan ini
dapat dicegah agar manfaat program imunisasi terhadap masyarakat dapat
dirasakan. Menemukan dan melakukan koreksi segera terhadap kesalahan
prosedur imunisasi ini sangatlah penting. (WHO, 2019)
Tabel 3. Kesalahan Prosedur Imunisasi dan Kemungkinan KIPI
Kesalahan Prosedur Imunisasi Kemungkinan KIPI
Penyuntikan tidak steril
- Penggunaan ulang spuit atau jarum - Reaksi local (abses, bengkak,
sekali pakai menimbulkan selulitis, indurasi)
kontaminasi vaksin, terutama pada - Sepsis
vaktin multidosis. - Toxic shock syndrome (TSS)
- Sterilisasi spuit dan jarum yang - Infeksi melalui darah (Blood-
tidak sesuai SOP boorne), misalnya infeksi Hep. B
- Vaksin atau pelarut yang dan infeksi virus HIV.
terkontaminasi - Kematian
Kesalahan waktu melarutkan vaksin
- Pengocokan vaksin yang tidak - Abses local
sempurna - Vaksin tidak efektif
- Penggunaan pelarut yang salah - Efek obat terhadap tubuh,
- Penggunaan obat sebagai vaksin contohnya insulin, oksitosin muscle
atau pelarut relaxants
- Pemakaian ulang vaksin yang - Toxic shock syndrome (TSS)
sudah dilarukan sebelumnya, - Kematian
setelah melewati masa pakai vaksin
Suntikan pada lokasi yang salah
- BCG diberikan subkutan, vaksin - Reaksi local, abses, atau reaksi
DTP/DT/TT disuntikkan kurang lokal lainnya
dalam - Kerusakan Nervus ischiadicus
- Suntikan pada bokong
Transportasi dan penyimpanan vaksin - Meningkatnya jumlah kejadian
yang tidak sesuai SOP reaksi local karena vaksin yang
beku
- Vaksin tidak efektif
Mengabaikan kontra indikasi Reaksi berat yang seharusnya dapat
dihindari

10
VII. Reaksi KIPI akibat Kecemasan karena Takut Disuntik
Seseorang dapat bereaksi sebelum atau sesudah disuntik. Reaksi ini tidak
ada kaitannya dengan vaksin, tetapi lebih kepada rasa takut disuntik. Ada 4 jenis
reaksi KIPI akibat kecemasan karena takut disuntik.

VIII. Kejadian Koinsiden


Kejadian koinsiden terjadi setelah imunisasi tetapi tidak disebabkan oleh
vaksin atau cara pemberian imunisasi.
Imunisasi umumnya dijadwalkan pada bayi dan anak-anak usia muda.
Pada usia ini berbagai penyakit, kelainan kongenital, kelainan neurologis umum
terjadi. Kejadian koinsiden tidak dapat dihindari bila memberikan imunisasi pada
kelompok usia ini, terutama pada saat kampanye. Dengan mengetahui insiden
angka morbiditas dan mortalitas pada kelompok usia ini, sejalan dengan jadwal
dan cakupan imunisasi yang diberikan dapat diketahui estimasi kejadian koinsiden
setelah imunisasi.
WHO Regional Office untuk Western Pacific menyajikan angka-angka
estimasi KIPI. Misalnya di Australia, terjadi 11 kematian koinsiden sehari setelah

11
imunisasi. Kalau terjadi KIPI yang serius maka harus segera dilakukan investigasi
untuk mengetahui apakah KIPI tersebut terkait, atau tidak terkait langsung dengan
vaksin. Hal ini penting untuk :
- Menanggapi kekhawatiran masyarakat akan keamanan vaksin,
- Mempertahankan kepercayaan masyarakat terhadap program imunisasi
tetap tinggi.
Melakukan kalkulasi terhadap angka perkiraan KIPI penting dilakukan selama
melakukan investigasi. Dengan adanya angka pembanding KIPI, investigator akan
mempunyai gambaran dan membandingkan angka estimasi KIPI dan angka KIPI
pasca imunisasi. Dari perbandingan ini kita akan tahu apakah ada kecenderungan
peningkatan KIPI ataukah tidak, dan ada kaitannya langsung dengan vaksinasi
atau tidak. Angka dasar kematian KIPI sebagai peristiwa koinsidensi pasca
imunisasi merupakan hal yang sangat penting dalam proses pelaporan KIPI.
Tabel 4. Angka perkiraan KIPI koinsiden pasca vaksinasi DTP di beberapa negara

IX. Kelompok Resiko Tinggi KIPI


Untuk mengurangi risiko timbulnya KIPI maka harus diperhatikan apakah
resipien termasuk dalam kelompok risiko. Yang dimaksud dengan kelompok
risiko adalah:
1. Anak yang mendapat reaksi simpang pada imunisasi terdahulu.
12
2. Bayi berat lahir rendah.
Pada dasarnya jadwal Imunisasi bayi kurang bulan sama dengan bayi cukup
bulan. Hal-hal yang perlu diperhatikan pada bayi kurang bulan adalah:
1. Titer imunitas pasif melalui transmisi maternal lebih rendah daripada bayi
cukup bulan
2. Apabila berat badan bayi sangat kecil (< 1000 gram) Imunisasi ditunda
dulu dan diberikan setelah bayi mencapai berat 2000 gram atau berumur 2
bulan, kecuali untuk Imunisasi hepatitis B pada bayi dengan ibu yang HBs
Ag positif.
Apabila bayi masih dirawat setelah umur 2 bulan, maka vaksin polio yang
diberikan adalah suntikan IPV bila vaksin tersedia, sehingga tidak menyebabkan
penyebaran virus vaksin polio melalui tinja.
1. Pasien imunokompromais
Keadaan imunokompromais dapat terjadi sebagai akibat penyakit dasar
atau pengobatan imunosupresan (kemoterapi, kortikosteroid jangka
panjang). Jenis vaksin hidup merupakan indikasi kontra untuk pasien
imunokompromais, untuk polio dapat diberikan IPV bila vaksin tersedia.
Imunisasi tetap diberikan pada pengobatan kortikosteroid dosis kecil dan
pemberian dalam waktu pendek. Tetapi Imunisasi harus ditunda pada anak
dengan pengobatan kortikosteroid sistemik dosis 2 mg/kg berat badan/hari
atau prednison 20 mg/hari selama 14 hari. Imunisasi dapat diberikan
setelah satu bulan pengobatan kortikosteroid dihentikan atau tiga bulan
setelah pemberian kemoterapi selesai.
2. Pada resipien yang mendapatkan human immunoglobulin
Imunisasi virus hidup diberikan setelah tiga bulan pengobatan untuk
menghindarkan hambatan pembentukan respons imun.
3. Pasien HIV mempunyai risiko lebih besar untuk mendapatkan infeksi
Walaupun responnya terhadap Imunisasi tidak optimal atau kurang,
penderita HIV memerlukan Imunisasi. Pasien HIV dapat diImunisasi
dengan mikroorganisme yang dilemahkan atau yang mati sesuai dengan
rekomendasi yang tercantum pada tabel 5 berikut ini.
13
Tabel 5. Rekomendasi imunisasi untuk pasien HIV anak (Menkes, 2017)

X. Kasus KIPI yang Harus Dilaporkan


Risiko KIPI selalu ada pada setiap tindakan imunisasi. Komda KIPI
dibentuk di provinsi guna menjalin kerja sama antara pakar terkait, instansi
kesehatan, dan pemerintah daerah setempat, sesuai dengan otonomi daerah.
Apabila tidak ditemukan kasus KIPI, maka setiap 6 bulan (Juli dan Desember)
Dinas kesehatan kabupaten/kota harus melapor nihil (zero report). (Kemenkes,
2005). Daftar KIPI yang dilaporkan terdapat pada tabel di bawah ini. Pelaporan
KIPI juga harus meliputi setiap kasus dirawat, meninggal atau KIPI berita yang
diyakini masyarakat atau tenaga kesehatan yang disebabkan oleh imunisasi.
Tabel 6. Kasus KIPI yang harus dilaporkan

14
Untuk kasus KIPI dengan reaksi yang ringan, seperti reaksi lokal, demam,
dan gejala-gejala sistemis yang dapat sembuh sendiri, tidak perlu dilaporkan.
Reaksi lokal yang berat (seperti pembengkakan hingga ke sendi yang paling
dekat; nyeri; kemerahan pembengkakan lebih dari 3 hari; atau membutuhkan
perawatan di rumah sakit), terutama jika ditemukan kasus berkelompok sebaiknya
dilaporkan. Kejadian reaksi lokal yang mengalami peningkatan frekuensi,
walaupun tidak berat, juga sebaiknya dilaporkan. Kasus ini bisa menjadi pertanda
kesalahan program atau menjadi masalah untuk batch vaksin tertentu.
(Pusdiknakes, 2014).

XI. Pemantauan KIPI


Penemuan kasus KIPI merupakan kegiatan penemuan kasus KIPI atau
diduga kasus baik yang dilaporkan orangtua/pasien, masyarakat ataupun petugas
kesehatan. Pemantauan KIPI merupakan suatu kegiatan yang terdiri dari
penemuan, pelacakan, analisis kejadian, tindak lanjut, pelaporan dan evaluasi.
Tujuan utama pemantauan KIPI adalah untuk mendeteksi dini, merespons KIPI
dengan cepat dan tepat, mengurangi dampak negatif imunisasi terhadap kesehatan
individu dan terhadap imunisasi. Bagian terpenting dalam pemantauan KIPI
adalah menyediakan informasi KIPI secara lengkap agar dapat cepat dinilai dan
dianalisis untuk mengidentifikasi dan merespons suatu masalah. Respons
merupakan tindak lanjut yang penting dalam pemantauan KIPI. (Pusdiknakes,
2014)

15
Tabel 7. Langkah-langkah pelacakan KIPI

Alur Pelaporan dan Pelacakan Kasus KIPI (Menkes, 2017)

16
Pada pelacakan KIPI berkelompok yang harus dilakukan adalah menetapkan
definisi untuk kasus tersebut, lacak orang lain di daerah tersebut yang mempunyai
gejala penyakit yang serupa dengan definisi tersebut, dapatkan riwayat imunisasi
(kapan, di mana, jenis, dan batch vaksin yang diberikan), tentukan persamaan di
antara kasus-kasus tersebut (Pusdiknakes, 2014).

17
DAFTAR PUSTAKA

Akib P.A., Purwanti A. 2011. Kejadian Ikutan pasca Imunisasi (KIPI) Adverse
Events Following Imumunization (AEFI). Dalam Pedoman Imunisasi di
Indonesia. Edisi keempat. Penyunting: Ranuh Gde, Suyitno H, Hadinegoro
S.R.S, Kartasasmita C.B, Ismoedijanto dkk. Jakarta: IDAI.
Kementerian Kesehatan RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013. Jakarta:
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2017. PERMENKES No. 12 Tahun 2017
Tentang Penyelenggaraan Imunisasi.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2005. Pedoman Pemantauan dan
Penanggulangan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi. Jakarta: Depkes RI.
Pusat Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kesehatan (Pusdiknakes). 2014. Buku
Ajar Imunisasi. Jakarta: Pusat Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kesehatan
Kementerian Kesehatan RI.
World Health Organization (WHO). 2019. Dasar-dasar Keamanan Vaksin.
http://in.vaccine-safety-training.org/home.html (Diakses pada tanggal 5
Oktober 2019).

18

Anda mungkin juga menyukai