Anda di halaman 1dari 18

DEFINISI KEPEMIMPINAN?

Ada banyak pengertian dari kepemimpinan, tapi sebagian besar pengertian-pengertian


ini menyangkut pemimpin menggunakan pengaruhnya untuk membantu kelompok
dalam mencapai tujuan (Yukl & Van Fleet, 1992). Oleh karena itu, untuk tujuan kita, kita
akan mendefinisikan kepemimpinan sebagai kemampuan untuk mengatur sebuah
kelompok ke arah tercapainya tujuan. Sering kali, pemimpin dari suatu kelompok kerja
adalah seseorang yang memegang posisi atau gelar khusus, seperti supervisor, manager,
vice president, atau leaderperson. Tetapi ada seperti pemimpin informal. Sehingga,
pemimpin suatu kelompok kerja bisa jadi seseorang yang tidak mempunyai title jabatan
atau status. Pemimpin informal ini muncul karena mereka mempunyai beberapa
karakteristik-karakteristik yang anggota kelompok hargai

Tanpa menghiraukan apakah seorang pemimpin memegang peran kepemimpinan


formal atau muncul secara informal, seorang pemimpin yang sesungguhnya harus
menggerakkan pengikutnya ke arah tercapainya tujuan. Dengan konsekuensi, kenyataan
bahwa seorang manager atau supervisor memegang suatu posisi atau tanggungjawab
yang tidak perlu membuat orang tersebut menjadi seorang pemimpin yang sebenarnya.
Tentu, didalam organisasi kerja, suatu posisi yang sangat kuat atau title bisa
memberikan suatu titik awal yang kuat untuk seseorang menjadi seorang pemimpin
yang efektif, namun suatu posisi atau title sendiri tidak akan membuat seseorang
menjadi pemimpin yang efektif. Oleh karena itu, definisi kita berhubungan dengan
pemimpin yang efektif. Kita semua bisa tahu manager yang bukan pemimpin efektif.
Mereka bisa saja benar-benar tidak melakukan apapun untuk membantu kelompok
mencapai tujuan pekerjaan, atau mereka bisa saja pernah menghalangi kerja kelompok.
Pemimpin seperti itu adalah “pemimpin” hanya dalam nama saja. Bab ini akan
memusatkan pada teori-teori dari effective leaders.

Telah ada sejarah panjang penelitian dan teori tentang kepemimpinan, dan sekarang
kepemimpinan adalah salah satu area studi paling luas pada psikologi industry organisasi
dan managemen. Teori-teori kepemimpinan cenderung untuk berdasar pada satu sama
lain, dengan teori-teori yang menggunakan contoh-contoh komponen-komponen yang
lebih awal dan mengembangkan atau menggunakannya dalam cara yang baru.
Pembicaraan akan dimulai dengan teori-teori yang lebih awal, yang dikenal sebagai
universal theories karena mereka berusaha untuk membongkar/menemukan
karakteristik-karakteristik universal dari effective leaders. Kategori kedua terdiri dari
behavioral theories, yang memfokuskan pada perilaku-perilaku pemimpin efektif.
Kategori terluas berisi teori-teori contingency yang lebih kompleks, yang menguji
interaksi antara karakteristik-karakteristik pemimpin dan elemen-elemen dari situasi
kerja. Akhirnya, kita akan menguji teori-teori yang memusatkan pada pemimpin-
pemimpin sebagai individu-individu karismatik dan transformational yang
mempengaruhi followers dan organisasi dalam cara-cara yang sangat besar. Seluruh
diskusi, penelitian relevan dan aplikasi-aplikasi dari teori-teori juga akan di tampilkan.
Khususnya, kita akan membandingkan dan membedakan teori-teori yang berbeda. Di
akhir bab, kita akan mendiskusikan bagaimana teori-teori kepemimpinan dapat
digunakan untuk memperbaiki keefektifan kepemimpinan dalam organisasi kerja.

UNIVERSAL THEORIES OF LEADERSHIP

Teori-teori kepemimpinan universalist menyelidiki satu karakteristik kunci atau


sekelompok karakteristik-karakteristik kunci yang dipegang oleh pemimpin efektif,
memperdebatkan bahwa pemimpin dengan sifat-sifat itu akan berhasil tanpa
memperhatikan situasi. Universalist theories menggambarkan pendekatan-pendekatan
paling awal dan paling sederhana untuk mempelajari kepemimpinan. Kita akan
mendiskusikan dua dari teori ini secara singkat, the great man/woman theory, dan the
trait theory.

Great Man/Woman Theory

The great man/woman theory, yang sangat lebih tua dibanding banyak disiplin ilmu
sosial formal, mencerminkan pepatah bahwa “pemimpin hebat dilahirkan, tidak dibuat”
(“the great leaders are born, not made”). Dibanding menjadi suatu teori formal, teori ini
adalah suatu kepercayaan bahwa kualitas-kualitas dan kemampuan-kemampuan
personal tertentu menciptakan seorang pemimpin alami yang hebat. Pendukung great
man/woman theory akan menyatakan bahwa bila pemimpin-pemimpin dalam sejarah
penting seperti Julius Caesar, Alexander the Great, atau Joan of Arc hidup di zaman
sekarang, mereka akan menaiki lagi posisi-posisi pemimpin karena kemampuan-
kemampuan alaminya. Tentu saja, ini hanya spekulasi belaka, dan hanya ada bukti kecil
untuk mendukung teori, tapi ini bukan berarti bahwa orang-orang tidak lagi
mempercayai ini. Faktanya bahwa dalam beberapa negara, sanak keluarga dari
pemimpin yang hebat ditempatkan pada posisi-posisi kekuatan yang dapat
menunjukkan bahwa ada beberapa kepercayaan umum di negara ini terhadap
kemampuan kepemimpinan yang merupakan bawaan sejak lahir.

Trait Theory

Pada awal abad ini, psikolog membuat banyak percobaan untuk memisahkan sifat-sifat
spesifik, atau fisik yang konsisten dan kronis dan sifat-sifat kepribadian yang
dihubungkan dengan keberhasilan pemimpin. The trait theory of leadership mengacu
pada beberapa penelitian ini. Banyak dari penelitian ini menyangkut mengidentifikasi
karakteristik-karakteristik fisik, termasuk tinggi, penampilan, dan level energy;
karakteristik-karakteristik lainnya, seperti inteligensi, dan karakteristik kepribadian,
seperti ekstroversi, dominansi, atau prestasi yang dihubungkan dengan pemimpin
efektif (Hollander, 1985; Yukl 1981). Ini diperkirakan, contohnya, bahwa orang yang
lebih cerdas, ekstrovert, atau dominan sepertinya akan lebih baik sebagai pemimpin.
Sialnya, hasil dari studi awal ini tidak meyakinkan dan menampilkan fakta-fakta yang
kuat terhadap beberapa karakter tunggal lazim/umum pada semua pemimpin efektif.

Sejak 1980an, bagaimanapun, telah ada suatu kebangkitan terhadap minat karakteristik-
karakteristik kepemimpinan (Kenny & Zaccaro, 1983; Lord, DeVader, & Alliger, 1986;
Zaccaro, Foti, & Kenny, 1991). Pekerjaan lebih baru ini mengusulkan bahwa karakteristik
kepemimpinan sungguh penting. Contohnya, meta-analytic studies dengan apa yang
disebut the Big-5 core personality traits (the Big 5 yaitu ekstraversi/extraversion, sifat
berhati-hati/conscientiousness, keterbukaan terhadap pengalaman/openness to
experience, dapat disetuju/agreeableness, dan stabilitas emosional/emotional stability)
menunjukkan bahwa dalam kombinasi, kelima karakteristik ini berhubungan secara
wajar dengan kuat dengan ukuran kemunculan dan keefektifan kepemimpinan (Bono &
Judge, 2004; Judge, Bono, Ilies, & Gerhardt, 2002). Selanjutnya, penelitian pada
“kumpulan” karakteristik-karakteristik pemimpin yang lebih kompleks, seperti
fleksibilitas, karisma, atau social intelligence, juga mengusulkan kepemilikan dari
karakteristik-karakteristik kompleks ini penting unutk kepemimpinan. Contohnya, Kenny
dan Zaccaro (1983, p.678) menggambarkan fleksibilitas sebagai “kemampuan untuk
merasakan kebutuhan-kebutuhan dan tujuan-tujuan pemilih dan menyesuaikan
pendekatan personal seseorang pada tindakan kelompok secara sesuai.” Sebagai
contoh, fleksibilitas pemimpin mungkin tidak menjadi karakter tunggal tapi malahan
suatu set kemampuan yang sangat kompleks untuk merasakan dan memahami situasi
sosial, mengkomunikasikan secara efektif, dan untuk bertindak bijak dalam bermacam
seting sosial (Hall, Workman, & Marchioro, 1998; Riggio, 1986) yang bisa jadi lebih baik
dimasukkan “social intelligence” atau “social competence” (Hollander, 1978).
Karakteristik-karakteristik tertentu, seperti fleksibilitas pemimpin atau inteligensi sosial,
bisa menjadi penting dalam memprediksi keberhasilan pemimpin, meskipun kualitas-
kualitas kunci pemimpin ini mungkin lebih kompleks dari investigasi pada penelitian
kepemimpinan awal (Riggio, Murphy, & Pirozzolo, 2002).

Masalah utama dengan pendekatan karakter asli pada kepemimpinan adalah ini terlalu
umum. Tidak mungkin bahwa karakter semua orang akan dihubungkan dengan
kepemimpinan efektif di semua situasi, dengan segala macam tugas-tugas, dan diantara
semua pengikut-pengikut kelompok. Dunia kerja, dengan beraneka jenis pekerja dan
seting kerja, terlalu kompleks dan bermacam-macam untuk semua tipe kepemimpinan
menjadi sukses secara universal. Di sisi lain, konstelasi kompleks karakteristik-
karakteristik pemimpin, seperti “fleksibilitas” atau “karisma”, bisa dihubungkan ke
keefektifan pemimpin, namun, karakteristik pemimpin yang kompleks ini melibatkan
adaptasi tingkahlaku pemimpin pada situasi kepemimpinan. Kita akan menguji
pendekatan ini dalam mencari interaksi karakteristik pemimpin dan situasi kepemiminan
dalam pada teori-teori kepemimpinan yang selanjutnya.

BEHAVIORAL THEORIES OF LEADERSHIP

Kegagalan umum teori universalis untuk memisahkan karakteristik-karakteristik yang


berhubungan dengan keefektifan pemimpin mendorong ke arah sebuah perubahan.
Dibanding dengan mencoba untuk mengukur karakteristik-karakteristik pada orientasi
atau kepribadian pemimpin, peneliti-peneliti memulai untuk meguji tingkah laku aktual
pada pemimpin efektif untuk menentukan macam-macam tingkah laku yang membawa
menuju kesuksesan. Pada akhir 1940an dan sepanjang 1950an, dua proyek penelitian,
satu diadakan di Ohio State University dan yang lainnya di University of Michigan,
menyelidiki tingkahlaku-tingkahlaku yang diperlihatkan oleh pemimpin yang efektif.
Kedua proyek sampai pada beberapa kesimpulan yang sangat mirip mengenai
pemimpin, tingkahlakunya, dan kepemimpinan efektif. Teori-teori yang berdasarkan
studi-studi ini dan memfokuskan pada tingkahlaku-tingkahlaku khusus yang
dihubungkan pada kepemimpinan efektif disebut behavioral theories of leadership.

Ohio State Leadership Studies

Menggunakan laporan pribadi dan observasi detail pada perilaku pemimpin dari
pemimpin itu sendiri dan bawahannya, peneliti-peneliti di Ohio State University
mengumpulkan daftar dari ratusan tingkahlaku pemimpin. Menggunakan proses
statistika yang disebut analisis faktor, mereka menemukan keseratus tingkahlaku ini
semuanya bisa dibagi menjadi dua kategori umum: initiating structure dan consideration
(Halpin & Winer, 1957). Initiating structure terdiri dari aktifitas-aktifitas pemimpin yang
menegaskan dan mengatur, atau menyusun, situasi kerja, seperti
memberikan/menentukan tugas-tugas spesifik, menegaskan peran-peran kerja
kelompok, meeting deadlines, membuat keputusan-keputusan hubungan kerja, dan
memelihara standar-standar performa kerja. Consideration menggambarkan
tingkahlaku-tingkahlaku yang menampilkan suatu perhatian tehadap perasaan, sikap,
dan kebutuhan-kebutuhan bawahan dengan mengembangkan hubungan dengan
mereka dan menampilkan rasa saling menghormati dan saling percaya. Aktifitas-aktifitas
yang seperti itu termasuk meminta pendapat dan masukan dari bawahan, menunjukkan
perhatian terhadap perasaan para pekerja, mendukung komunikasi dari dan diantara
bawahan-bawahan, menyokong kepercayaan diri dan kepuasan pekerjaan para pekerja,
dan menerapkan saran-saran mereka.

Peneliti-peneliti dari Ohio State menyimpulkan bahwa dua dimensi ini, initiating
structure dan consideration, berdiri masing-masing. Maka, skor seorang pemimipin pada
satu dimensi tidak berhubungan dengan skor pada dimensi yang lainnya. Ini berarti
bahwa kedua kategori dari perilaku pemimpin berhubungan dengan kepemimpinan
efektif namun tidak perlu keduanya ada. Dengan kata lain, beberapa pemimpin efektif
tinggi hanya pada initiating structure saja, yang lainnya hanya menampilkan tingkahlaku-
tingkahlaku consideration, dan yang lainnya menampilkan keduanya.

Penelitian-penelitian telah diadakan untuk menguji kekuatan dimensi initiating structure


dan consideration. Secara umum, hasilnya menampilkan kebanyakan tingkahlaku
pemimpin memang bisa dikelompokkan kedalam satu dari dua kategori (Bass, 1981,
1990; Fleishman & Harris, 1962; Schriesheim & Kerr, 1974; Stogdill & Coons, 1957).
Studi-studi tambahan melihat pada bagaimana kedua kategori dihubungkan pada
variable-variabel pengeluaran yang penting dari performa kerja dan kepuasan pekerjaan
(Kerr & Schriesheim, 1974; Yukl, 1971). Initiating structure telah ditemukan menjadi
korelasi tidak hanya dengan performa kerja yang efektif tetapi juga dengan kepuasan
kerja anggota kelompok yang lebih rendah dan yang berhubungan dengan peningkatan
dalam turnover. Di sisi lain, tingkahlaku pemimpin consideration cenderung pada
berhubungan positif pada kepuasan kerja tetapi mungkin tidak berhubungan pada atau
berhubungan negatif dengan produktifitas kerja (Bass, 1981; Locke & Schweiger, 1979).
Bagaimanapun, suatu meta-analysis dari banyak studi-studi sepanjang periode
mengusulkan bahwa initiating structure dan consideration keduanya dihubungkan pada
performa dan kepuasan anggota kelompok dalam hubungan yang diharapkan.
Consideration lebih kuat dihubungankan pada kepuasan, dan initiating structure lebih
kuat dihubungkan pada performa.

Meskipun pendekatan tingkahlaku Ohio State merangsang penelitian pada perilaku


pemimpin efektif, ini, seperti teori-teori universalist, terlalu sederhana. Investigasi-
investigasi di Ohio State mewariskan kita dua kategori perilaku pemimpin, keduanya
mungkin atau tidak mungkin dihubungkan pada indikator-indikator keefektifan
pemimpin. Meskipun hasil-hasilnya mempunyai efek positif pada perangsangan
penelitian pada perilaku-perilaku pemimpin, jelas bahwa studi-studi di Ohio State gagal
ketika sampai untuk membuat prediksi-prediksi kuat tentang hubungan antara perilaku-
perilaku pemimpin dan outcome kerja spesifik didalam semua tipe situasi kerja.

University of Michigan Leadership Studies

Pada waktu yang hampir sama denga studi-studi di Ohio State diadakan, peneliti-peneliti
di University of Michigan juga memusatkan pada karakteritik perilaku pemimpin efektif
dan tampil dengan hasil-hasil yang sangat mirip. Mempelajari pemimpin-pemimpin
dalam sejumlah organisasi industrial yang besar, peneliti-peneliti Michigan menemukan
bahwa pemimpin sukses menunjukkan pola-pola perilaku yang dilabeli task-oriented,
kadang-kadang juga disebut production-oriented, dan relationship-oriented, yang juga
menunjuk pada orientasi pekerja (Kahn & Katz, 1960). Task-oriented behaviors
berkonsentrasi pada penampilan kerja yang kelompok kerja hadapi dan ini mirip dengan
initiating structure factor. Pemimpin dikaitkan dengan standar-standar seting kerja,
pengawasan pekerjaan, dan menemukan tujuan produksi. Relationship-oriented
behaviors termasuk memperlihatkan perhatian pada kesejahteraan para pekerja dan
menyertakan mereka dalam proses pengambilan keputusan. Perbedaan utama antara
penelitian Ohio State dan University of Michigan adalah bahwa hasil Michigan
cenderung untuk menganggap perilaku pemimpin relationship-oriented lebih efektif
dibanding perilaku task-oriented (Likert, 1967). Salah satu yang paling terkenal dari studi
Michigan adalah menguji perilaku pemimpin di suatu perusahaan asuransi yang besar.
Penemuan-penemuan menunjukkan bahwa baik pola perilaku pemimpin task-oriented
maupun relationship-oriented secara positif berhubungan dengan performa kelompok
kerja. Bagaimanapun, bawahan-bawahan dari pemimpin yang relationship-oriented
cenderung menjadi lebih puas dan mempunyai angka turnover lebih rendah
dibandingkan dengan para pekerja yang di-manage dengan pemimpin task-oriented
(Morse & Reimer, 1956)

Evaluasi Teori-teori kepemimpinan Behavioral

Meskipun initiating structure (task-orientation) dan consideration (relationship-


orientation) tampak menjadi dimensi-dimensi yang dapat dipercaya menggambarkan
tingkahlaku pemimpin, pendekatan behavioral mempunyai satu kekurangan utama:
Kedua dimensi menggambarkan tipe-tipe perilaku pemimpin yang sangat berbeda, telah
dihubungkan pada managemen yang efektif (Bass, 1981; Morse & Reimer, 1956). Jika
kita mempercayai anggapan universalist bahwa ada seperangkat karakteristik pemimpin
efektif atau satu gaya kepemimpinan terbaik, seperti perilaku-perilkau pemimpin yang
berbeda secara sederhana tidak bisa menggambarkan seorang pemimpin efektif.
Penjelasan yang paling mungkin adalah bahwa variabel-variabel lain, secara khusus
berhubungan pada tipe-tipe tugas-tugas atau karakteristik-karakteristik dari kelompok
kerja, menentukan apakah perilaku pemimpin tertentu bisa efektif. Dengan kata lain,
seorang pemimpin task-oriented bisa efektif di situasi tertentu dibawah keadaan
tertentu, sedangkan seorang pemimpin relationship-oriented bisa efektif di situasi yang
lain.
TEORI KONTINGENSI KEPEMIMPINAN

Tahap berikutnya dalam evolusi teori kepemimpinan mengahasilkan teori


kontingensi, yang menguji interaksi dari karakteristik pemimpin dan situasi,
menyatakan bahwa kepemimpinan yang efektif bergantung pada kecocokan antara
interaksi karakteristik pemimpin dan situasi . Banyak teori kontingensi yang
melakukanhal tersebut, namun, dibangun dari teori-teori behavioral,
menggunakan dikotomi pemimpin perilaku - task-oriented/initiating structure dan
relationship oriented / consideration - sebagai titik awal. Bagaimanapun teori
kontingensi mengakui tidak ada satu pun teori leadership behavior yang paling
baik. Sebaliknya, efektivitas pemimpin tergantung, atau bergantung pada interaksi
antara perilaku pemimpin dan situasi. Kami akan menguji empat teori-teori
kontingensi yang lebih populer dari kepemimpinan: Fiedler's Contingency Model,
path-goal theory, the decision-making model, and the leader-member exchange model.

Fiedler's Contingency Model

Teori kepemimpinan yang diusulkan oleh seorang psikolog yaitu Fred Fiedler
(1967) yang sangat terkenal disebut sebagai contingency model (model
kontingensi). Tapi, seperti diuraikan, istilah contingency model sebenarnya
menetapkan sebuah kategori tertentu. Contingency model dari Fiedler model
berpendapat bahwa kepemimpinan yang efektif bergantung pada kecocokan
antara gaya perilaku pemimpin dan sejauh mana situasi kerja memberikan kendali
dan pengaruh terhadap pemimpin. Dengan kata lain, gaya perilaku pemimpin
harus sesuai dengan jumlah kontrol dan kekuasaan yang akan dimiliki pemimpin
dalam situasi kerja.

Melalui pendekatan perilaku yang dibangun oleh OHIO State dan University of
Michigan, teori Fiedler membagi pemimpin berdasarkan motivasi utama mereka
(task-oriented atau relationship-oriented ) yang ia lihat sebagai relatif tetap dan
stabil. Menurut Fiedler, pemimpin tertentu mungkin akan lebih memberikan
perhatiannya pada penyelesaian tugas (task-oriented), meskipun mereka juga
peduli dengan memelihara hubungan baik kelompok. Pemimpin lainnya berfokus
utama pada hubungan dan memberikan kepeduliannya yang "kedua" terhadap
tugas. Dengan kata lain, para pemimpin berbeda dalam hal motivasi mana yang
diutamakan dalam kebanyakan situasi. Seorang pemimpin yang berorientasi pada
task-oriented akan jarang hadir ke dalam grup, dan pemimpin yang berorientasi
pada relationship-oriented akan cenderung untuk fokus pada kelompok dalam hal
beban tugas.

Untuk mengukur orientasi seorang pemimpin, Fiedler mengembangkan ukuran


laporan diri yang disebut sebagai ukuran LPC, yang merupakan singkatan dari
“Least Preferred Coworker” atau dengan kata lain yaitu rekan kerja kurang
disukai. LPC memerlukan pemimpin untuk menilai dengan siapa seseorang dapat
bekerja paling baik atau dengan siapa seseorang memiliki kesulitan terbesar dalam
meyelesaikan tugas. Ini dilakukan dengan menggunakan skala peringkat kata sifat
bipolar, seperti menyenangkan / tidak menyenangkan dan bersahabat / tidak
bersahabat. LPC dinilai dengan menjumlahkan peringkat pada skala-skala. Jadi
total skor menunjukkan apakah seseorang termasuk kepada tipe pemimpin task-
oriented atau relationship-oriented. Skor orang yang relatif rendah pada ukuran
LPC, memberikan penilaian yang kasar kepada pekerja yang kurang disukai
adalah tipe pemimpin task-oriented. Individu yang menilai pekerja yang kurang
disukainya dengan sedikit lunak, mengarah ke nilai LPC yang relatif tinggi, dan
menunjukkan tipe pemimpin relationship-oriented. Alasan di balik ini sistem
penilaian ini adalah bahwa pemimpin yang task-oriented akan sangat kritis
terhadap pekerja yang lemah karena nilai keberhasilan tugas mereka. Seorang
pemimpin yang relationship-oriented, di sisi lain, menilai hubungan interpersonal
dan kemungkinan untuk menilai rekan kerja yang kurang disukai dengan lebih
lunak. Menurut Fiedler, pemimpin yang task-oriented dengan skor LPC rendah
akan mengaitkan pekerja yang performanya lemah dengan karakteristik
kepribadian yang tidak diinginkan, sedangkan pemimpin yang relationship-
oriented dengan skor LPC tinggi dapat memisahkan kepribadian rekan kerja
kurang disukai dari kinerja individu (Fiedler, 1967).
Menentukan tugas seorang pemimpin atau orientasi hubungan dengan LPC hanya
bagian pertama dari model kontingensi Fiedler. Langkah selanjutnya adalah
menentukan karakteristik situasi kerja untuk menemukan kecocokan yang yang
tepat antara gaya kepemimpinan dan situasi. Karakteristik situasi kerja
didefinisikan dengan menggunakan tiga variabel, yaitu leader-member relations,
task-stricture, dan position power, yang digabungkan untuk membuat keadaan
yang sangat menguntungkan, sangat tidak menguntungkan, atau tidak
menguntungkan untuk pemimpin.

Leader-member relations adalah hubungan antara pemimpin dan para pengikut,


dengan kata lain, seberapa disukai, dihormati, dan dipercayai si pemimpin oleh
bawahan. Menurut Fiedler, dimensi ini dapat diukur pada skala yang melibatkan
penilaian baik dan buruk dengan memiliki anggota kelompok yang menunjukkan
loyalitas mereka dan penerimaan dari pemimpin.

Dimensi kedua, tsk structure, menilai seberapa baik pekerjaan disusun dengan
mempertimbangkan beberapa faktor seperti apakah output kelompok dapat
dengan mudah dievaluasi, apakah kelompok telah memiliki tujuan yang
didefinisikan dengan baik, dan apakah prosedur yang jelas untuk mencapai tujuan
tersebut ada. Tugas dapat dibagi menjadi dua yaitu “terstruktur” dan “tidak
terstruktur”.

Dimensi ketiga yang Fiedler gunakan untuk menetapkan situasi adalah position
power (posisi kekuasaan), atau otoritas pemimpin atas bawahan, yang biasanya
didefinisikan sebagai kemampuan pemimpin untuk menyewa, memecat, disiplin,
dan penghargaan. Position power dinilai sebagai kuat atau lemah. Hal ini biasanya
mudah untuk menentukan posisi kekuasaan, karena jelas diuraikan dalam
kebijakan perusahaan.

Sesuai dengan model kontingensi Fiedler, kunci kepemimpinan yang efektif


adalah kontrol pemimpin dan pengaruh dalam situasi tertentu. Jelas, situasi yang
akan paling menguntungkan bagi pemimpin adalah sistuasi dimana leader-
member relations baik, tugas terstruktur, dan pemimpin memiliki position power
yang kuat. Situasi yang paling tidak menguntungkan bagi pemimpin adalah
apabila leader-member relations lemah, tugas tidak terstruktur, dan pemimpin
memiliki position power yang lemah. Penelitian menunjukkan bahwa pemimpin
yang task-oriented dengan nilai LPC yang rendah akan sangat efektif pada situasi
yang sangat menguntungkan atau sangat tidak menguntungkan bagi pemimpin.
Pemimpin yang relationship-oriented akan lebih efektif dalam “situasi tengah-
tengah” dimana control dan pengaruh pemimpin yang tidak rendah juga tidak
tinggi.

Menurut Fiedler, pemimpin yang task-oriented dengan skor LPC rendah berhasil
dalam situasi yang sangat kurang baik karena mereka mengambil gaya
pengawasan dengan menempatkan beberapa stuktur kedalam keadaan dan bisa
mendukung kelompok untuk melakukan pekerjaan. Dengan kata lain, dalam
situasi yang sangat tidak menguntungkan, pemimpin task-oriented tetap nothing
to lose. Mengambil ketegasan dan fokus pada kinerja tugas dan tujuan tugas
terkait (task-related ) bisa memberikan hasil, yang adalah apa yang diperlukan
dalam krisis seperti itu. Pada situasi seperti ini pengikut mungkin akan mengikuti
pemimpin yang relationship-oriented. Dalam situasi yang sangat menguntungkan,
kelompok sudah cenderung menjadi produktif karena tugas yang mudah dan
terstruktur, hubungan antara pemimpin dan anggota yang baik, dan pemimpin
memiliki wewenang untuk memberikan hadiah pada kinerja yang baik.

Pemimpin yang relationship-oriented akan lebih berhasil ketika kontrol situasi


mereka dan pengaruh yang tidak tinggi juga tidak rendah. Dalam keadaan
"tengah-tengah" seperti ini, penting bahwa para pemimpin diperlengkapi dengan
baik untuk menyelesaikan berbagai konflik interpersonal yang pasti muncul. Ini
adalah khusus para pemimpin yang relationship-oriented. Karena situasi seperti
itu mungkin kurang satu dari tiga variabel situasional, pemimpin yang
menunjukkan peningkatan kepedulian untuk pekerja dan mengijinkan mereka
untuk menyuarakan pendapatnya dapat meningkatkan tingkat kepuasan anggota
kelompok dan bahkan performa kerja. Sebaliknya, pemimpin yang task-oriented
dalam situasi ini mungkin menjadi kontraproduktif, mengasingkan anggota dan
menurunkan tingkat kepuasan, karena pemimpin hanya peduli pada tugas. Fiedler
juga berpendapat bahwa para pemimpin dengan LPC tinggi, akan lebih mampu
berhadapan dengan situsi yang rumit.

Kritik telah berfokus utama pada penggunaan ukuran LPC, dengan alasan bahwa
tidak jelas apa yang diukur karena hanya menyimpulkan orientasi seorang
pemimpin dari perasaan tentang rekan kerja daripada langsung menilai tugas dan
orientasi hubungan (relationship orientation). Disamping kritik terhadap Fiedler,
model kontingensi Fiedler juga penting karena berbagai alasan. Pertama, itu
adalah teori kepemimpinan pertama yang mengenalkan pendekatan kontingensi.
Kedua, teori tersebut memberikan perhatian rinci terhadap situasi yang
menekankan pada pentingnya baik karakteristik situasi dan pemimpin dalam
menentukan efektifitas pemimpin. Ketiga, Fiedler mensimulasikan hal-hal penting
dalam penelitian, termasuk uji prediksi dan upaya untuk memperbaiki model, dan
terinspirasi perumusan alternative teori-teori kontingensi. Dikenal sebagai Leader
Match, program Fiedler dan rekan-rekannya terdiri dari buku kerja yang berisi
pengukuran LPC, masalah kepemimpinan yang pemimpin harus analisis dan
pecahkan, petunjuk tentang bagaimana menilai elemen situasi pemimpin,
pedoman untuk mengubah elemen situasi, dan saran untuk membantu bawahan
meningkatkan kinerja. Pada dasarnya, Leader Match mengajarkan manajer untuk
mengenali orientasi kepemimpinan mereka sendiri dengan menggunakan LPC dan
kemudian melatih mereka untuk mengenali situasi-situasi mana yang paling
memungkinkan mereka untuk berhasil. Jika ditemukan ketidakcocokan antara
orientasi pemimpin dan situasi kerja, disarankan untuk mengubah satu atau lebih
dari tiga variabel situasional guna mendapatkan solusi yang lebih cocok dan tepat.
situasi, atau sesuai jenis tertentu pemimpin untuk situasi yang tepat, daripada
mencoba mengubah gaya perilaku pemimpin.

Singkatnya, model kontingensi Fiedler adalah salah satu teori kepemimpinan yang
rinci. Contingency model membuat prediksi tertentu tentang situasi di mana
beberapa jenis pemimpin akan efektif dan telah menjadi intervensi yang jelas dan
banyak digunakan untuk meningkatkan efektivitas pemimpin. (Ayman, Chemers,
& Fiedler, 1995)

TEORI PATH TUJUAN (path-goal theory)


Memperluas definisi kepemimpinan yang disajikan pada awal bab ini, negara-
negara jalur-tujuan teori bahwa pekerjaan leade adalah untuk membantu
kelompok kerja mencapai tujuan yang mereka inginkan (House, 1971; Huse dan
Mitchell, 1974). Pemimpin ini sesuai dilihat sebagai fasilitator, atau panduan,
yang membantu kelompok mengatasi berbagai hambatan dan hambatan yang
mungkin mereka hadapi dalam perjalanan untuk mencapai tujuan mereka.
Biasanya ini melibatkan tujuan meningkatkan motivasi pekerja untuk melakukan
pekerjaan dan mencoba untuk meningkatkan gandum di kepuasan karyawan.
Seperti tercermin dan penekanannya pada motivasi pekerja, teori harapan motivasi
digunakan pada landasan bagi teori tujuan jalan (Yukl, 1998).

Untuk membantu kelompok mencapai tujuan, pemimpin bisa mengadopsi salah


satu dari empat kategori perilaku - direktif, berorientasi prestasi, mendukung, dan
partisipatif pemilihan yang tergantung pada karakteristik situasi. perilaku
Directive menyediakan petunjuk dan saran untuk mendapatkan pekerjaan.
Contohnya termasuk memberikan pekerja pedoman dan prosedur tertentu,
pengaturan jadwal dan aturan kerja, dan mengkoordinasikan kegiatan kerja
kelompok. Prestasi perilaku berorientasi berfokus pada hasil kerja spesicific dan
bisa melibatkan menetapkan tujuan yang menantang untuk grup dan pengukuran
dan mendorong peningkatan kinerja. Mendukung perilaku berkonsentrasi pada
hubungan interpersonal antara anggota kelompok dengan menunjukkan
kepedulian terhadap pekerja kesejahteraan dan menyediakan lingkungan kerja
yang ramah. Akhirnya perilaku partisipatif mendorong anggotanya untuk
mengambil peran aktif dalam perencanaan kerja-kelompok dan pengambilan
keputusan melalui tindakan seperti meminta informasi dari para pekerja tentang
bagaimana melakukan pekerjaan dan meminta pendapat dan saran. Keempat jenis
perilaku pemimpin yang digariskan dalam teori path-tujuan menawarkan rincian
yang lebih rinci tentang struktur memulai (tugas-oriented) dan pertimbangan
(berorientasi pada hubungan) perilaku: perilaku Directive dan berorientasi prestasi
dua jenis perilaku struktur memulai, sementara perilaku mendukung dan
partisipatif dua jenis perilaku pertimbangan.

Pemilihan perilaku pemimpin adalah bergantung pada jenis tugas kerja dan
karakteristik pengikut. Misalnya, jika suatu tugas rutin dan mudah untuk
memahami dan jika kelompok kerja terdiri dari berpengalaman, individu motivasi
diri, gaya kepemimpinan direktif mungkin tidak akan diperlukan karena pengikut
dapat melakukan pekerjaan tanpa pengawasan banyak. Sebaliknya, perilaku
mendukung bisa disebut untuk untuk mempertahankan lingkungan kerja yang
harmonis, atau perilaku partisipatif mungkin diperlukan untuk mendorong
karyawan untuk menyarankan cara-cara untuk meningkatkan prosedur kerja dan
lingkungan kerja. Di sisi lain jika tugas yang cukup rumit, dan para pekerja yang
agak berpengalaman, gaya direktif mungkin cocok.

Hasil penelitian tentang teori jalan-tujuan telah dicampur (House, 1996).


Meskipun telah ada beberapa dukungan untuk model, pendekatan umum dan
ketidakmampuan untuk membuat prediksi spesifik dan tepat dalam pengaturan
pekerjaan yang sebenarnya telah dikritik. Teori ini memang menawarkan
beberapa gagasan tentang bagaimana para pemimpin harus mengubah perilaku
mereka agar sesuai dengan situasi, tapi kekecewaan terbesar adalah bahwa hal itu
tidak menyebabkan jenis intervensi yang spesifik untuk digunakan pada
pekerjaan. Di sisi positif, seperti model kontingensi Fedler's, teori jalan tujuan
menawarkan penilaian yang lebih rinci situasi dalam upaya untuk berhubungan
perilaku pemimpin dengan karakteristik dari suatu situasi tertentu. Ia juga sebuah
langkah luar dikotomi sederhana orientasi tugas dan orientasi hubungan dalam
mendefinisikan perilaku pemimpin.

PROSES PENGAMBILAN KEPUTUSAN


Seperti yang terlihat pada Bab 11, salah satu tugas utama dari pemimpin
kelompok yang lemah adalah untuk memimpin di atas keputusan yang terkait
dengan pekerjaan penting. Vroom dan rekan-rekannya telah mengembangkan
teori kontingensi kepemimpinan yang disebut model pengambilan keputusan yang
didasarkan pada premis bahwa para pemimpin pada dasarnya pengambil
keputusan Teori ini agak unik karena tidak hanya membuat prediksi tentang
perilaku pemimpin yang tepat dalam membuat keputusan tetapi juga benar-benar
memberikan "resep" bagi pengambil keputusan untuk mengikuti. Teori
pengambilan keputusan menyatakan bahwa seorang pemimpin dapat membuat
keputusan bekerja menggunakan beberapa strategi, mulai dari bertindak sendiri
(murni keputusan otokratis keputusan) untuk sampai pada suatu keputusan atas
dasar konsensus kelompok (sepenuhnya partisipatif pengambilan keputusan).
Pada jenis terakhir pengambilan keputusan pemimpin hanyalah anggota
kelompok. Keputusan lima gaya pengambilan yang digunakan dalam model
pengambilan keputusan disajikan dalam tabel 12.1.

Proses pengambilan keputusan strategi


1. keputusan Otokratis Saya Pemimpin membuat keputusan sendiri, dengan
menggunakan informasi yang tersedia hanya untuk pemimpin
2. Keputusan Otokratis I pemimpin memperoleh informasi dari bawahan dan
kemudian membuat keputusan sendiri
3. Keputusan Otokratis I saham pemimpin masalah dengan bawahan yang relevan
dan mendapat ide dan masukan individual, tetapi membuat keputusan sendiri
4. Keputusan Otokratis I saham pemimpin masalah dengan bawahan sebagai suatu
kelompok, mendapatkan masukan kolektif mereka, tetapi membuat keputusan
sendiri
5. Keputusan Otokratis I saham pemimpin masalah dengan bawahan sebagai suatu
kelompok dan bersama-sama mereka membuat keputusan konsensus.
Untuk menentukan situasi pengambilan keputusan, teori menyediakan
serangkaian ya-tidak, bekerja pertanyaan yang terkait bahwa seorang pemimpin
harus bertanya sebelum mengadopsi strategi tertentu. Misalnya pertanyaan
pertama adalah apakah atau tidak suatu keputusan yang berkualitas tinggi
diperlukan. Jika pemimpin menjawab "ya", kemungkinan bahwa gaya yang lebih
partisipatif diperlukan, jika jawabannya "tidak", kemungkinan bahwa gaya yang
lebih otokratis adalah tepat. Tentu saja, gaya pengambilan keputusan yang dipilih
adalah gabungan dari semua pertanyaan. Model pengambilan keputusan
menyajikan kerangka pohon keputusan untuk pemimpin untuk mengikuti, dengan
masing-masing pertanyaan yang mewakili tujuh titik pilihan yang yang akhirnya
mengarah pada perilaku yang benar untuk keputusan yang harus dibuat
Perhatikan, misalnya, para manajer departemen bagian dari suatu dealer mobil
yang harus membeli perangkat lunak sistem komputer persediaan untuk
departemen. Sejumlah sistem yang tersedia, masing-masing adalah kelebihan dan
kekurangan. Pemimpin jawaban setiap pertanyaan pada pohon keputusan sebagai
berikut:

a. Ya, ada kebutuhan untuk kualitas - sebuah sistem yang akan bekerja
terbaik di departemen kami.
b. Tidak, pemimpin tidak memiliki informasi yang cukup untuk membuat
keputusan yang berkualitas saja.
c. Tidak, masalah tidak terstruktur, karena tidak ada cara yang jelas untuk
memutuskan antara berbagai sistem.
d. Ya, bawahan akan menggunakan sistem dan harus menerimanya.
e. Tidak, jika bawahan tidak seperti sistem mereka mungkin menghindari
penggunaan itu.
f. Ya, pekerja melakukan tujuan organisasi saham (mereka menginginkan
sistem yang akan melakukan pekerjaan).
g. Tidak berlaku.
Kerangka kerja ini menunjukkan bahwa pemimpin harus menggunakan strategi
kelompok untuk mencapai konsensus. Karena departemen kecil dan para pekerja
yang terlibat dalam pekerjaan mereka, mereka dapat berkontribusi banyak
terhadap proses pengambilan keputusan, dan ini penting bahwa mereka menerima
keputusan tersebut.
Penelitian telah sangat didukung model keputusan-keputusan. Sebagai contoh,
sebuah studi menemukan bahwa strategi yang efektif digunakan oleh para manajer
aktual untuk menyelesaikan pekerjaan penting keputusan yang terkait konsisten
dengan resep teori itu. Karena sifat normatif model, juga merupakan kombinasi
unik dari teori dan aplikasi. Selain itu, memberikan definisi yang sangat rinci
tentang situasi, sebagaimana digariskan oleh keputusan-pertanyaan terkait.
Masalah utama dengan model yang kompleksitas, yang mungkin akan sulit bagi
manajer untuk memahami dan belajar untuk digunakan. (Bahkan, revisi teori
pengambilan keputusan telah lebih halus, dan membuatnya bahkan lebih
kompleks dan tepat dari apa yang disajikan pada Gambar 12.4 (Vroom & Jago,
1995)). Hal ini terjadi untuk teori secara umum: Ketika mereka lebih dekat
dengan kompleksitas model dunia nyata, mereka juga bisa menjadi sulit untuk
diterapkan. Ada kecenderungan umum bagi orang untuk mencari solusi yang
relatif sederhana untuk masalah. Jadi, meskipun model kontingensi kompleks,
seperti model pengambilan keputusan, mungkin suara dan akurat, mereka
mungkin tidak secara luas digunakan untuk diterima di pengaturan kerja aktual
karena sifat mereka yang kompleks.

MODEL PERTUKARAN PEMIMPIN-ANGGOTA

Model kepemimpinan kontingensi sebelumnya, termasuk model Fiedler dan


tujuan teori jalan, cocok perilaku pemimpin untuk berbagai karakteristik situasi
kerja. Model Fiedler juga mempertimbangkan jumlah daya pemimpin memiliki
dalam situasi tertentu, sedangkan teori pengambilan keputusan berat karakteristik
varietas yang terkait dengan situasi. Model pertukaran pemimpin-anggota (LMX)
mengambil pendekatan yang berbeda dan menganggap bahwa kepemimpinan
yang efektif ditentukan oleh kualitas interaksi antara pemimpin ab anggota
kelompok kerja tertentu. Mengacu pada teori ini, pekerja adalah situasinya. Secara
mendasar,model (yang pada awalnya disebut vertical dyad loinkage model)
menyatakan bahwa tipe one-on-one, atau dyadic, hubungan yang berkembang
diantara pemimpin dan setiap anggota akan sedikit berbeda. Di banyak kelompok
kerja, pemimpin cenderung untuk mengembangkan hubungan yang lebih baik
dengan sedikit bawahan (in group), sedangkan sisanya menerima sedikit perhatian
dari pemimpin (out group). Karakter dari leader -member exchange bisa
direntangkan dari kualitas rendah, dimana pemimpin memiliki image negative
terhadap bawahan dan bawahan tidak menghormati atau percaya terhadap
pemimpin, sampai kualitas tinggi, dimana pemimpin memiliki dipandangan
positif terhadap pekerja. Dan pekerja merasa bahwa pemimpin memberikan
dukungan dan memberikan dorongan. Tentu saja, perbedaan mempengaruhi hasil-
hasil penting seperti performa kerja, kesetiaan pekerja, kehadiran, dan kepuasan
kerja. Satu hal yang mungkin diharapkan dalam hubungan high-kuality leader-
member, adalah

Anda mungkin juga menyukai