Telah ada sejarah panjang penelitian dan teori tentang kepemimpinan, dan sekarang
kepemimpinan adalah salah satu area studi paling luas pada psikologi industry organisasi
dan managemen. Teori-teori kepemimpinan cenderung untuk berdasar pada satu sama
lain, dengan teori-teori yang menggunakan contoh-contoh komponen-komponen yang
lebih awal dan mengembangkan atau menggunakannya dalam cara yang baru.
Pembicaraan akan dimulai dengan teori-teori yang lebih awal, yang dikenal sebagai
universal theories karena mereka berusaha untuk membongkar/menemukan
karakteristik-karakteristik universal dari effective leaders. Kategori kedua terdiri dari
behavioral theories, yang memfokuskan pada perilaku-perilaku pemimpin efektif.
Kategori terluas berisi teori-teori contingency yang lebih kompleks, yang menguji
interaksi antara karakteristik-karakteristik pemimpin dan elemen-elemen dari situasi
kerja. Akhirnya, kita akan menguji teori-teori yang memusatkan pada pemimpin-
pemimpin sebagai individu-individu karismatik dan transformational yang
mempengaruhi followers dan organisasi dalam cara-cara yang sangat besar. Seluruh
diskusi, penelitian relevan dan aplikasi-aplikasi dari teori-teori juga akan di tampilkan.
Khususnya, kita akan membandingkan dan membedakan teori-teori yang berbeda. Di
akhir bab, kita akan mendiskusikan bagaimana teori-teori kepemimpinan dapat
digunakan untuk memperbaiki keefektifan kepemimpinan dalam organisasi kerja.
The great man/woman theory, yang sangat lebih tua dibanding banyak disiplin ilmu
sosial formal, mencerminkan pepatah bahwa “pemimpin hebat dilahirkan, tidak dibuat”
(“the great leaders are born, not made”). Dibanding menjadi suatu teori formal, teori ini
adalah suatu kepercayaan bahwa kualitas-kualitas dan kemampuan-kemampuan
personal tertentu menciptakan seorang pemimpin alami yang hebat. Pendukung great
man/woman theory akan menyatakan bahwa bila pemimpin-pemimpin dalam sejarah
penting seperti Julius Caesar, Alexander the Great, atau Joan of Arc hidup di zaman
sekarang, mereka akan menaiki lagi posisi-posisi pemimpin karena kemampuan-
kemampuan alaminya. Tentu saja, ini hanya spekulasi belaka, dan hanya ada bukti kecil
untuk mendukung teori, tapi ini bukan berarti bahwa orang-orang tidak lagi
mempercayai ini. Faktanya bahwa dalam beberapa negara, sanak keluarga dari
pemimpin yang hebat ditempatkan pada posisi-posisi kekuatan yang dapat
menunjukkan bahwa ada beberapa kepercayaan umum di negara ini terhadap
kemampuan kepemimpinan yang merupakan bawaan sejak lahir.
Trait Theory
Pada awal abad ini, psikolog membuat banyak percobaan untuk memisahkan sifat-sifat
spesifik, atau fisik yang konsisten dan kronis dan sifat-sifat kepribadian yang
dihubungkan dengan keberhasilan pemimpin. The trait theory of leadership mengacu
pada beberapa penelitian ini. Banyak dari penelitian ini menyangkut mengidentifikasi
karakteristik-karakteristik fisik, termasuk tinggi, penampilan, dan level energy;
karakteristik-karakteristik lainnya, seperti inteligensi, dan karakteristik kepribadian,
seperti ekstroversi, dominansi, atau prestasi yang dihubungkan dengan pemimpin
efektif (Hollander, 1985; Yukl 1981). Ini diperkirakan, contohnya, bahwa orang yang
lebih cerdas, ekstrovert, atau dominan sepertinya akan lebih baik sebagai pemimpin.
Sialnya, hasil dari studi awal ini tidak meyakinkan dan menampilkan fakta-fakta yang
kuat terhadap beberapa karakter tunggal lazim/umum pada semua pemimpin efektif.
Sejak 1980an, bagaimanapun, telah ada suatu kebangkitan terhadap minat karakteristik-
karakteristik kepemimpinan (Kenny & Zaccaro, 1983; Lord, DeVader, & Alliger, 1986;
Zaccaro, Foti, & Kenny, 1991). Pekerjaan lebih baru ini mengusulkan bahwa karakteristik
kepemimpinan sungguh penting. Contohnya, meta-analytic studies dengan apa yang
disebut the Big-5 core personality traits (the Big 5 yaitu ekstraversi/extraversion, sifat
berhati-hati/conscientiousness, keterbukaan terhadap pengalaman/openness to
experience, dapat disetuju/agreeableness, dan stabilitas emosional/emotional stability)
menunjukkan bahwa dalam kombinasi, kelima karakteristik ini berhubungan secara
wajar dengan kuat dengan ukuran kemunculan dan keefektifan kepemimpinan (Bono &
Judge, 2004; Judge, Bono, Ilies, & Gerhardt, 2002). Selanjutnya, penelitian pada
“kumpulan” karakteristik-karakteristik pemimpin yang lebih kompleks, seperti
fleksibilitas, karisma, atau social intelligence, juga mengusulkan kepemilikan dari
karakteristik-karakteristik kompleks ini penting unutk kepemimpinan. Contohnya, Kenny
dan Zaccaro (1983, p.678) menggambarkan fleksibilitas sebagai “kemampuan untuk
merasakan kebutuhan-kebutuhan dan tujuan-tujuan pemilih dan menyesuaikan
pendekatan personal seseorang pada tindakan kelompok secara sesuai.” Sebagai
contoh, fleksibilitas pemimpin mungkin tidak menjadi karakter tunggal tapi malahan
suatu set kemampuan yang sangat kompleks untuk merasakan dan memahami situasi
sosial, mengkomunikasikan secara efektif, dan untuk bertindak bijak dalam bermacam
seting sosial (Hall, Workman, & Marchioro, 1998; Riggio, 1986) yang bisa jadi lebih baik
dimasukkan “social intelligence” atau “social competence” (Hollander, 1978).
Karakteristik-karakteristik tertentu, seperti fleksibilitas pemimpin atau inteligensi sosial,
bisa menjadi penting dalam memprediksi keberhasilan pemimpin, meskipun kualitas-
kualitas kunci pemimpin ini mungkin lebih kompleks dari investigasi pada penelitian
kepemimpinan awal (Riggio, Murphy, & Pirozzolo, 2002).
Masalah utama dengan pendekatan karakter asli pada kepemimpinan adalah ini terlalu
umum. Tidak mungkin bahwa karakter semua orang akan dihubungkan dengan
kepemimpinan efektif di semua situasi, dengan segala macam tugas-tugas, dan diantara
semua pengikut-pengikut kelompok. Dunia kerja, dengan beraneka jenis pekerja dan
seting kerja, terlalu kompleks dan bermacam-macam untuk semua tipe kepemimpinan
menjadi sukses secara universal. Di sisi lain, konstelasi kompleks karakteristik-
karakteristik pemimpin, seperti “fleksibilitas” atau “karisma”, bisa dihubungkan ke
keefektifan pemimpin, namun, karakteristik pemimpin yang kompleks ini melibatkan
adaptasi tingkahlaku pemimpin pada situasi kepemimpinan. Kita akan menguji
pendekatan ini dalam mencari interaksi karakteristik pemimpin dan situasi kepemiminan
dalam pada teori-teori kepemimpinan yang selanjutnya.
Menggunakan laporan pribadi dan observasi detail pada perilaku pemimpin dari
pemimpin itu sendiri dan bawahannya, peneliti-peneliti di Ohio State University
mengumpulkan daftar dari ratusan tingkahlaku pemimpin. Menggunakan proses
statistika yang disebut analisis faktor, mereka menemukan keseratus tingkahlaku ini
semuanya bisa dibagi menjadi dua kategori umum: initiating structure dan consideration
(Halpin & Winer, 1957). Initiating structure terdiri dari aktifitas-aktifitas pemimpin yang
menegaskan dan mengatur, atau menyusun, situasi kerja, seperti
memberikan/menentukan tugas-tugas spesifik, menegaskan peran-peran kerja
kelompok, meeting deadlines, membuat keputusan-keputusan hubungan kerja, dan
memelihara standar-standar performa kerja. Consideration menggambarkan
tingkahlaku-tingkahlaku yang menampilkan suatu perhatian tehadap perasaan, sikap,
dan kebutuhan-kebutuhan bawahan dengan mengembangkan hubungan dengan
mereka dan menampilkan rasa saling menghormati dan saling percaya. Aktifitas-aktifitas
yang seperti itu termasuk meminta pendapat dan masukan dari bawahan, menunjukkan
perhatian terhadap perasaan para pekerja, mendukung komunikasi dari dan diantara
bawahan-bawahan, menyokong kepercayaan diri dan kepuasan pekerjaan para pekerja,
dan menerapkan saran-saran mereka.
Peneliti-peneliti dari Ohio State menyimpulkan bahwa dua dimensi ini, initiating
structure dan consideration, berdiri masing-masing. Maka, skor seorang pemimipin pada
satu dimensi tidak berhubungan dengan skor pada dimensi yang lainnya. Ini berarti
bahwa kedua kategori dari perilaku pemimpin berhubungan dengan kepemimpinan
efektif namun tidak perlu keduanya ada. Dengan kata lain, beberapa pemimpin efektif
tinggi hanya pada initiating structure saja, yang lainnya hanya menampilkan tingkahlaku-
tingkahlaku consideration, dan yang lainnya menampilkan keduanya.
Pada waktu yang hampir sama denga studi-studi di Ohio State diadakan, peneliti-peneliti
di University of Michigan juga memusatkan pada karakteritik perilaku pemimpin efektif
dan tampil dengan hasil-hasil yang sangat mirip. Mempelajari pemimpin-pemimpin
dalam sejumlah organisasi industrial yang besar, peneliti-peneliti Michigan menemukan
bahwa pemimpin sukses menunjukkan pola-pola perilaku yang dilabeli task-oriented,
kadang-kadang juga disebut production-oriented, dan relationship-oriented, yang juga
menunjuk pada orientasi pekerja (Kahn & Katz, 1960). Task-oriented behaviors
berkonsentrasi pada penampilan kerja yang kelompok kerja hadapi dan ini mirip dengan
initiating structure factor. Pemimpin dikaitkan dengan standar-standar seting kerja,
pengawasan pekerjaan, dan menemukan tujuan produksi. Relationship-oriented
behaviors termasuk memperlihatkan perhatian pada kesejahteraan para pekerja dan
menyertakan mereka dalam proses pengambilan keputusan. Perbedaan utama antara
penelitian Ohio State dan University of Michigan adalah bahwa hasil Michigan
cenderung untuk menganggap perilaku pemimpin relationship-oriented lebih efektif
dibanding perilaku task-oriented (Likert, 1967). Salah satu yang paling terkenal dari studi
Michigan adalah menguji perilaku pemimpin di suatu perusahaan asuransi yang besar.
Penemuan-penemuan menunjukkan bahwa baik pola perilaku pemimpin task-oriented
maupun relationship-oriented secara positif berhubungan dengan performa kelompok
kerja. Bagaimanapun, bawahan-bawahan dari pemimpin yang relationship-oriented
cenderung menjadi lebih puas dan mempunyai angka turnover lebih rendah
dibandingkan dengan para pekerja yang di-manage dengan pemimpin task-oriented
(Morse & Reimer, 1956)
Teori kepemimpinan yang diusulkan oleh seorang psikolog yaitu Fred Fiedler
(1967) yang sangat terkenal disebut sebagai contingency model (model
kontingensi). Tapi, seperti diuraikan, istilah contingency model sebenarnya
menetapkan sebuah kategori tertentu. Contingency model dari Fiedler model
berpendapat bahwa kepemimpinan yang efektif bergantung pada kecocokan
antara gaya perilaku pemimpin dan sejauh mana situasi kerja memberikan kendali
dan pengaruh terhadap pemimpin. Dengan kata lain, gaya perilaku pemimpin
harus sesuai dengan jumlah kontrol dan kekuasaan yang akan dimiliki pemimpin
dalam situasi kerja.
Melalui pendekatan perilaku yang dibangun oleh OHIO State dan University of
Michigan, teori Fiedler membagi pemimpin berdasarkan motivasi utama mereka
(task-oriented atau relationship-oriented ) yang ia lihat sebagai relatif tetap dan
stabil. Menurut Fiedler, pemimpin tertentu mungkin akan lebih memberikan
perhatiannya pada penyelesaian tugas (task-oriented), meskipun mereka juga
peduli dengan memelihara hubungan baik kelompok. Pemimpin lainnya berfokus
utama pada hubungan dan memberikan kepeduliannya yang "kedua" terhadap
tugas. Dengan kata lain, para pemimpin berbeda dalam hal motivasi mana yang
diutamakan dalam kebanyakan situasi. Seorang pemimpin yang berorientasi pada
task-oriented akan jarang hadir ke dalam grup, dan pemimpin yang berorientasi
pada relationship-oriented akan cenderung untuk fokus pada kelompok dalam hal
beban tugas.
Dimensi kedua, tsk structure, menilai seberapa baik pekerjaan disusun dengan
mempertimbangkan beberapa faktor seperti apakah output kelompok dapat
dengan mudah dievaluasi, apakah kelompok telah memiliki tujuan yang
didefinisikan dengan baik, dan apakah prosedur yang jelas untuk mencapai tujuan
tersebut ada. Tugas dapat dibagi menjadi dua yaitu “terstruktur” dan “tidak
terstruktur”.
Dimensi ketiga yang Fiedler gunakan untuk menetapkan situasi adalah position
power (posisi kekuasaan), atau otoritas pemimpin atas bawahan, yang biasanya
didefinisikan sebagai kemampuan pemimpin untuk menyewa, memecat, disiplin,
dan penghargaan. Position power dinilai sebagai kuat atau lemah. Hal ini biasanya
mudah untuk menentukan posisi kekuasaan, karena jelas diuraikan dalam
kebijakan perusahaan.
Menurut Fiedler, pemimpin yang task-oriented dengan skor LPC rendah berhasil
dalam situasi yang sangat kurang baik karena mereka mengambil gaya
pengawasan dengan menempatkan beberapa stuktur kedalam keadaan dan bisa
mendukung kelompok untuk melakukan pekerjaan. Dengan kata lain, dalam
situasi yang sangat tidak menguntungkan, pemimpin task-oriented tetap nothing
to lose. Mengambil ketegasan dan fokus pada kinerja tugas dan tujuan tugas
terkait (task-related ) bisa memberikan hasil, yang adalah apa yang diperlukan
dalam krisis seperti itu. Pada situasi seperti ini pengikut mungkin akan mengikuti
pemimpin yang relationship-oriented. Dalam situasi yang sangat menguntungkan,
kelompok sudah cenderung menjadi produktif karena tugas yang mudah dan
terstruktur, hubungan antara pemimpin dan anggota yang baik, dan pemimpin
memiliki wewenang untuk memberikan hadiah pada kinerja yang baik.
Kritik telah berfokus utama pada penggunaan ukuran LPC, dengan alasan bahwa
tidak jelas apa yang diukur karena hanya menyimpulkan orientasi seorang
pemimpin dari perasaan tentang rekan kerja daripada langsung menilai tugas dan
orientasi hubungan (relationship orientation). Disamping kritik terhadap Fiedler,
model kontingensi Fiedler juga penting karena berbagai alasan. Pertama, itu
adalah teori kepemimpinan pertama yang mengenalkan pendekatan kontingensi.
Kedua, teori tersebut memberikan perhatian rinci terhadap situasi yang
menekankan pada pentingnya baik karakteristik situasi dan pemimpin dalam
menentukan efektifitas pemimpin. Ketiga, Fiedler mensimulasikan hal-hal penting
dalam penelitian, termasuk uji prediksi dan upaya untuk memperbaiki model, dan
terinspirasi perumusan alternative teori-teori kontingensi. Dikenal sebagai Leader
Match, program Fiedler dan rekan-rekannya terdiri dari buku kerja yang berisi
pengukuran LPC, masalah kepemimpinan yang pemimpin harus analisis dan
pecahkan, petunjuk tentang bagaimana menilai elemen situasi pemimpin,
pedoman untuk mengubah elemen situasi, dan saran untuk membantu bawahan
meningkatkan kinerja. Pada dasarnya, Leader Match mengajarkan manajer untuk
mengenali orientasi kepemimpinan mereka sendiri dengan menggunakan LPC dan
kemudian melatih mereka untuk mengenali situasi-situasi mana yang paling
memungkinkan mereka untuk berhasil. Jika ditemukan ketidakcocokan antara
orientasi pemimpin dan situasi kerja, disarankan untuk mengubah satu atau lebih
dari tiga variabel situasional guna mendapatkan solusi yang lebih cocok dan tepat.
situasi, atau sesuai jenis tertentu pemimpin untuk situasi yang tepat, daripada
mencoba mengubah gaya perilaku pemimpin.
Singkatnya, model kontingensi Fiedler adalah salah satu teori kepemimpinan yang
rinci. Contingency model membuat prediksi tertentu tentang situasi di mana
beberapa jenis pemimpin akan efektif dan telah menjadi intervensi yang jelas dan
banyak digunakan untuk meningkatkan efektivitas pemimpin. (Ayman, Chemers,
& Fiedler, 1995)
Pemilihan perilaku pemimpin adalah bergantung pada jenis tugas kerja dan
karakteristik pengikut. Misalnya, jika suatu tugas rutin dan mudah untuk
memahami dan jika kelompok kerja terdiri dari berpengalaman, individu motivasi
diri, gaya kepemimpinan direktif mungkin tidak akan diperlukan karena pengikut
dapat melakukan pekerjaan tanpa pengawasan banyak. Sebaliknya, perilaku
mendukung bisa disebut untuk untuk mempertahankan lingkungan kerja yang
harmonis, atau perilaku partisipatif mungkin diperlukan untuk mendorong
karyawan untuk menyarankan cara-cara untuk meningkatkan prosedur kerja dan
lingkungan kerja. Di sisi lain jika tugas yang cukup rumit, dan para pekerja yang
agak berpengalaman, gaya direktif mungkin cocok.
a. Ya, ada kebutuhan untuk kualitas - sebuah sistem yang akan bekerja
terbaik di departemen kami.
b. Tidak, pemimpin tidak memiliki informasi yang cukup untuk membuat
keputusan yang berkualitas saja.
c. Tidak, masalah tidak terstruktur, karena tidak ada cara yang jelas untuk
memutuskan antara berbagai sistem.
d. Ya, bawahan akan menggunakan sistem dan harus menerimanya.
e. Tidak, jika bawahan tidak seperti sistem mereka mungkin menghindari
penggunaan itu.
f. Ya, pekerja melakukan tujuan organisasi saham (mereka menginginkan
sistem yang akan melakukan pekerjaan).
g. Tidak berlaku.
Kerangka kerja ini menunjukkan bahwa pemimpin harus menggunakan strategi
kelompok untuk mencapai konsensus. Karena departemen kecil dan para pekerja
yang terlibat dalam pekerjaan mereka, mereka dapat berkontribusi banyak
terhadap proses pengambilan keputusan, dan ini penting bahwa mereka menerima
keputusan tersebut.
Penelitian telah sangat didukung model keputusan-keputusan. Sebagai contoh,
sebuah studi menemukan bahwa strategi yang efektif digunakan oleh para manajer
aktual untuk menyelesaikan pekerjaan penting keputusan yang terkait konsisten
dengan resep teori itu. Karena sifat normatif model, juga merupakan kombinasi
unik dari teori dan aplikasi. Selain itu, memberikan definisi yang sangat rinci
tentang situasi, sebagaimana digariskan oleh keputusan-pertanyaan terkait.
Masalah utama dengan model yang kompleksitas, yang mungkin akan sulit bagi
manajer untuk memahami dan belajar untuk digunakan. (Bahkan, revisi teori
pengambilan keputusan telah lebih halus, dan membuatnya bahkan lebih
kompleks dan tepat dari apa yang disajikan pada Gambar 12.4 (Vroom & Jago,
1995)). Hal ini terjadi untuk teori secara umum: Ketika mereka lebih dekat
dengan kompleksitas model dunia nyata, mereka juga bisa menjadi sulit untuk
diterapkan. Ada kecenderungan umum bagi orang untuk mencari solusi yang
relatif sederhana untuk masalah. Jadi, meskipun model kontingensi kompleks,
seperti model pengambilan keputusan, mungkin suara dan akurat, mereka
mungkin tidak secara luas digunakan untuk diterima di pengaturan kerja aktual
karena sifat mereka yang kompleks.