Tetapi tidak semua pemimpin itu manajer; dan sebaliknya, tidak semua manajer itu
pemimpin. Hanya karena organisasi memberikan kepada manajernya hak formal tertentu
tidak menjadi jaminan bahwa mereka akan mampu memimpin secara efektif. Sering kita
menjumpai bahwa kepemimpinann yang tidak mengandung unsure sanksi-yakni, kemampuan
untuk mempengaruhi yang timbul diluar struktur formal organisasi itu- sering mempunyai
arti penting yang sama atau lebih penting daripada pengaruh formal.
Dengan kata lain, pemimpin dapat muncul dari dalam kelompok sekaligus melalui
pengangkatan formal untuk memimpin kelompok.
Karakteristik/ciri pemimpin adalah merupakan dasar dari kepemimpinan yang efektif.
Kepemimpinan yang efektif juga tergantung pada variabel-variabel situasional yang beraneka
ragam. Aspek-aspek situasi yang meningkatkan atau menghilangkan efek ciri atau dari
perilaku pemimpin tersebut disebut variabel-variabel situasional (Yukl , 2011). Variabelvariabel ini merupakan komponen penting dalam teori kepemimpinan kontingensi.
Pengertian yang senada juga dikemukakan oleh Gibson dkk (1996 ; 334) yang menjelaskan
bahwa kepemimpinan adalah upaya menggunakan berbagai jenis pengaruh yang bukan
paksaan untuk memotivasi anggota organisasi untuk mencapai tujuan tertentu.
Selanjutnya Fremont E. Kast dan James E. Rosenzwigh juga mengatakan bahwa
kepemimpinan adalah kesanggupan untuk membujuk orang lain dalam mencapai tujuan
secara antusias.
Greenberg & Bacon ( 2000) menyatakan bahwa kepemimpinan adalah suatu proses dimana
seorang pemimpin mempengaruhi anggotanya untuk mencapai tujuan kelompok.
Keseluruhan definisi kepemimpinan yang telah dikemukakan sebelumnya menunjukan bahwa
kepemimpinan berlangsung di dalam sebuah organisasi yang dalam arti statis merupakan
wadah dalam bentuk suatu struktur organisasi yang di dalamnya terdapat unit-unit kerja
sebagai hasil kegiatan pengorganisasian.
Setiap unit kerja dipimpin oleh seorang pemimpin (manajer) dengan sejumlah staf dan tenaga
pelaksana teknis. Pemimpin dalam konteks struktural adalah pemimpin formal yang terdiri
dari para manajer yang menjalankan kegiatan manajerial di dalam unit kerja atau
organisasinya. Oleh karena itu penting kiranya mengetahui perbedaan antara kepemimpinan
(leadership) dan pimpinan (management) untuk memahami secara jelas apa yang dimaksud
dengan kepemimpinan.
Kepemimpinan VS Pemimpin
Bernard Bass, seorang ahli kepemimpinan menyimpulkan bahwa mengatur pemimpin dan
peranan pemimpin adalah dua kegiatan yang berbeda. Namun keduanya, kepemimpinan dan
pimpinan merupakan dua hal yang saling melengkapi, dimana keduanya memiliki kegiatan
atau fungsi yang khas/unik. Para pemimpin mengilhami pemimpin-pemimpin lainnya,
memberikan dukungan emosional, dan mencoba untuk meperoleh karyawan dalam rangka
mencapai tujuan organisasi secara umum. Pemimpin juga memainkan peranan kunci dalam
menciptakan visi dan perencanaan strategis bagi organisasi. Tabel berikut menjelaskan
perbedaan antara pemimpin dan manajer.
Perbedaan antara pemimpin dan manajer lebih dari pada isu semantik untuk empat sebab
berikut :
Perbedaan ini penting karena pemimpin dan manajer melaksanakan suatu fungsi yang khas
untuk merekrut dan memilih karyawan yang memiliki tingkat kemampuan intelektual,
pengalaman, dan pengetahuan yang relevan dengan pekerjaan untuk melaksanakan
pekerjaannya.
Perbedaan tersebut dapat berpengaruh terhadap efektivitas kelompok. Kinerja kelompok kerja
dapat ditingkatkan melalui penempatan karyawan yang produktif oleh pemimpin dan
manajer.
Perubahan organisasi ke arah sukses sangat tergantung pada kepemimpinan yang efektif
dalam suatu organisasi.
Perbedaan antara memimpin dan mengatur pada kepemimpinan intinya adalah tidak dibatasi
pada posisi atau peran seseorang. Setiap orang dari tingkat bawah ke tingkat atas dalam suatu
organisasi dapat menjadi pemimpin.
Tabel 2.1
Perbedaan antara Pemimpin dan Manajer
Pemimpin
Manajer
Inovasi
Mengelola
Membangun
Memelihara
Mengilhami/memberi inspirasi
Mengendalikan
Memprakarsai
Sedangkan Manns mereview hal yang serupa untuk teori tentang sifat, yang membaginya
dalam 7 kategori sifat seseorang dan menyimpulkan bahwa intelegensia adalah merupakan
prediktor yang paling baik. Sementara itu, Kreitner & Kinicki (2011) menjelaskan tentang
profil teori kepemimpinan sifat yang modern adalah dengan menggunakan Emotional
Inteligence yaitu kemampuan untuk memonitor dan mengontrol emosi dan perilaku yang
kompleks dari suatu lingkungan sosial.
Empat hal yang dihubungkan dengan teori kepemimpinan sifat modern dengan
menggunakan Emotional Inteligence adalah :
Kesadaran diri
Pengaturan diri
Kesadaran sosial
Manajemen hubungan
Hal lain yang berhubungan dengan teori tentang sifat ini adalah menyangkut gender. Hasil
analisis tentang gender ini menyangkut isu yang berkembang antara lain :
Asumsi tentang bervariasinya tugas kepemimpinan kelompok kerja.
Penggunaan gaya kepemimpinan yang berbeda.
Kisi managerial ini merupakan pandangan grafis dari dua dimensi terhadap perilaku
pemimpin yang berdasarkan pada Kepedulian akan karyawan dan kepedulian akan produksi.
Dalam teori grid ini, Blake dan Mouton berhasil memplot adanya lima gaya kepemimpinan
berdasarkan pada perhatian pimpinan terhadap orang (people) atau produksi, yaitu :
Impoverished : kepedulian terhadap orang dan produksi rendah.
Country-club : kepedulian terhadap orang tinggi.
Produce or perish : kepedulian terhadap produksi tinggi.
Middle of the road : kepedulian terhadap orang dan produksi sedang.
Team style : kepedulian terhadap orang dan produksi tinggi.
Kinerja paling baik dalam teori grid iniditunjukkan oleh gaya 9,9 , jika dibandingkan dengan
gaya lainnya. Hal ini didukung oleh hasil penelitian mereka terhadap para manajer
berpengalaman yang sebagian besar memilih gaya 9.9 sebagai yang terbaik. Namun dalam
kenyataanya, tidak ada bukti substantif yang menyatakan bahwa gaya 9.9 adalah gaya yang
terbaik untuk segala situasi.
Dari berbagai penjelasan mengenai teori perilaku diatas, dapat disimpulkan bahwa
berdasarkan teori perilaku, segala sesuatu yang berkaitan dengan perilaku pemimpin adalah
hal yang dipelajari dan gaya perilaku tesebut menjelaskan pula bahwa pemimpin itu adalah
diciptakan serta efektifnya suatu gaya kepemimpinan adalah bergantung pada situasi.
Nilai Nilai Kepemimpinan
Nilai-nilai kepemimpinan adalah sejumlah sifat-sifat utama yang harus dimiliki seorang
pemimpin agar kepemimpinannya dapat efektif dan efisien untuk mencapai tujuan yang telah
ditentukan. Sifat-sifat utama tersebut ibarat roh nya pemimpin yang membuat seseorang
mampu menjalankan kepemimpinannya dengan berhasil guna. Tanpa roh kepemimpinan
maka posisi atau jabatan seseorang sebagai pemimpin tidak ada artinya.
Beberapa nilai kepemimpinan yang perlu dimiliki seorang pemimpin antara lain adalah
sebagai berikut :
Integritas menyangkut mutu, sifat dan keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh
sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan dan kejujuran.
Moralitas menyangkut ahlak, budi pekerti, susila, ajaran tentang baik dan buruk, segala
sesuatu yang berhubungan dengan etiket, adat sopan santun. Persyaratan integritas dan
moralitas penting untuk menjamin kepemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa. Dalam
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (termasuk perubahanperubahannya) pada Bab V Pasal 133 disebutkan : Pengembangan karier Pegawai Negeri
Sipil Daerah (PNSD) mempertimbangkan integritas dan moralitas, pendidikan dan pelatihan,
pangkat, mutasi jabatan, mutasi antar daerah, kompetensi. Di tengah sorotan publik tentang
kinerja sebagian pemimpin aparatur pemerintah yang kurang memuaskan dengan terjadinya
kasus-kasus korupsi dan berbagai penyimpangan, maka nilai-nilai integritas dan moralitas
pemimpin perlu mendapat perhatian utama.
Tanggung jawab.
Seorang pemimpin harus memikul tanggung jawab untuk menjalankan misi dan mandat yang
dipercayakan kepadanya. Pemimpin harus bertanggungjawab atas apa yang dilakukan dan
tidak dilakukannya untuk mencegah terjadinya penyimpangan-penyimpangan dalam
organisasi. Ia harus memiliki keberanian untuk mempertanggungjawabkan tindakan yang
telah dilakukan dan mengambil risiko atau pengorbanan untuk kepentingan organisasi dan
orang-orang yang dipimpinnya. Tanggung jawab dan pengorbanan adalah dua hal yang saling
berhubungan erat. Pemimpin harus mengutamakan kepentingan organisasi daripada
kepentingan pribadi atau keluarga termasuk pengorbanan waktu. Di sisi lain, pemimpin harus
melatih bawahan untuk menerima tanggung jawab serta mengawasi pelaksanaan tugasnya.
Visi Pemimpin.
Kebijaksanaan.
Keteladanan. Keteladanan seorang pemimpin adalah sikap dan tingkah laku yang dapat
menjadi contoh bagi orang-orang yang dipimpinnya. Keteladanan berkaitan erat dengan
kehormatan, integritas dan moralitas pemimpin. Keteladanan yang dibuat-buat atau semu
dan direkayasa tidak akan langgeng. Pemimpin sejati melakukan hal-hal baik dengan wajar
tanpa pamrih, bukan sekedar untuk mendapat pujian manusia. Sifat-sifat baiknya dirasakan
orang lain sehingga dapat mempengaruhi lingkungan dan masyarakat luas sebagai suatu
teladan yang hidup.
Menjaga Kehormatan. Seorang pemimpin harus menjaga kehormatan dengan tidak
melakukan perbuatan tercela karena semua perbuatannya menjadi contoh bagi bawahan dan
orang-orang yang dipimpinnya. Ia tidak boleh mudah terjebak dalam godaan Tiga Ta yaitu
harta (memperoleh materi atau uang secara tidak sah/ melanggar hukum), tahta
(mendapatkan kekuasaan dengan menghalalkan sebagal cara) dan wanita ( perselingkuhan,
hubungan seks di luar pernikahan) yang sering menjatuhkan kehormatan sebagai pemimpin.
Budaya lokal (Jawa) juga mengajarkan pemimpin harus menghindari 5 M (Mo Limo ) yaitu
maling (mencuri/ korupsi), madat (narkoba), madon (main perempuan), main (berjudi) dan
minum (mabuk alkohol). Setiap daerah atau suku bangsa memiliki rambu-rambu kehormatan
yang tidak boleh dilanggar oleh seorang pemimpin. Mahatma Gandhi mengatakan ada 7 dosa
sosial yang mematikan yaitu : kekayaan tanpa kerja, kenikmatan tanpa nurani, ilmu
tanpa kemanusiaan, pengetahuan tanpa karakter, politik tanpa prinsip, bisnis tanpa
moralitas dan ibadah tanpa pengorbanan. Semua itu merupakan rambu-rambu peringatan
bagi pemimpin untuk menjaga kehormatannya.
Beriman. Beriman kepada Tuhan Yang Mahaesa sangat penting karena pemimpin adalah
manusia biasa dengan semua keterbatasannya secara fisik, pikiran dan akal budi sehingga
banyak masalah yang tidak akan mampu dipecahkan dengan kemampuannya sendiri. Iman
dapat menjembatani antara keterbatasan manusia dengan kesempurnaan yang dimiliki Tuhan,
agar kekurangan itu dapat diatasi. Iman juga merupakan perisai untuk meredam keinginan
dan nafsu-nafsu duniawi serta godaan untuk melakukan penyimpangan-penyimpangan dalam
menjalankan kepemimpinannya. Penting bagi seorang pemimpin untuk selalu menyadari
bahwa Tuhan itu Mahakuasa, Mahamengetahui dan Mahahadir. Mahakuasa berarti tidak
ada satu pun yang bisa terjadi tanpa perkenan dan pengendalian-Nya. Mahamengetahui
berarti tidak ada satu pun bisa terjadi tanpa pengetahuan dan keterlibatan-Nya. Mahahadir
berarti tidak ada satu pun bisa terjadi tanpa Ia ada di sana. Implikasi pemahaman seperti itu
bagi pemimpin adalah sesgala sesuatu yang terjadi, termasuk kepemimpinan yang
dijalankannya, bukan sekedar kebetulan atau by chance belaka. Pemimpin yang beriman
menyadari bahwa semua perbuatannya diketahui dan diawasi Tuhan yang hadir di manamana sehingga ia takut mengkhianati amanat sebagai pemimpin. Apabila mengalami
kesulitan dan masalah yang berat, ia harus bersandar kepada Tuhan karena tidak ada satu pun
kejadian tanpa perkenan dan pengendalian-Nya. Tuhan itu Pemilik kehidupan, Penyelenggara
dan Pemberi apa yang kita butuhkan.
Kemampuan Berkomunikasi. Suatu proses kepemimpinan pada hakikatnya mengandung
beberapa komponen yaitu : pemimpin, yang dipimpin, komunikasi dan interkasi antara
pemimpin dan yang dipimpin, serta lingkungan dari proses komunikasi tersebut. Peter
Koestenbaum, seorang pakar kepemimpinan, melalui bukunya berjudul : Leadership, The
Inner Side of Greatness (1991) mengatakan bahwa : Kepemimpinan yang bermoral adalah
suatu proses moralitas untuk mencapai suatu tingkat atau keadaan dimana para pemimpin
mampu mengikat (dalam arti berkomunikasi dan berinteraksi) dengan yang dipimpinnya
berdasarkan kebersamaan motif, nilai dan tujuan yaitu berdasarkan kebutuhan-kebutuhan
hakiki para pengikut maupun pemimpin itu sendiri. Di sini tampak bahwa antara pemimpin
dan yang dipimpin terdapat suatu ikatan kuat sebagai satu keutuhan dan memiliki
ketergantungan satu sama lain. Untuk mencapai hal tersebut maka seorang pemimpin harus
mampu membangun komunikasi dengan orang-orang yang dipimpinnya sehingga
kepemimpinannya dapat efektif dan efisien. Sebaliknya, kegagalan dalam menjalankan
komunikasi dapat menimbulkan keadaan yang kurang harmonis dalam organisasi bahkan
dapat menjurus kepada situasi konflik yang mengganggu pelaksanaan tugas. Kemampuan
berkomunikasi juga diperlukan untuk menggalang para tokoh masyarakat (tomas), tokoh
agama (toga) dan tokoh adat (todat) karena mereka memiliki pengaruh dan pengikut di
masyarakat.
Komitmen Meningkatkan Kualitas SDM. Sumber daya manusia (SDM) adalah faktor
strategis dan penentu dalam kemajuan organisasi, dan pemimpin harus memiliki komitmen
kuat untuk meningkatkan kualitas SDM. Ada pepatah kuno yang kurang lebih berbunyi
sebagai berikut : Kalau Anda ingin memetik hasil jangka pendek, tanamlah jagung atau padi.
Kalau ingin memetik hasil jangka panjang, tanamlah pohon kelapa. Tetapi kalau ingin
memetik hasil sepanjang masa, didiklah manusia ! Dari semua sumber daya yang tersedia
bagi manajemen uang, bahan, peralatan dan manusia maka sumber terpenting adalah
manusia. SDM merupakan faktor strategis yang menentukan suatu proses produksi atau
pembangunan ekonomi, tetapi ironisnya ada kecenderungan umum untuk lebih
memperhatikan investasi aset modal atau finansial, material, dan pembangunan fisik
ketimbang aset manusia atau SDM. Dari 16 bab dan 240 pasal dalam Undang-Undang No 32
Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (termasuk perubahan-perubahannya) hanya ada 1 bab
dan 7 pasal yang berkaitan dengan sumber daya manusia yaitu Bab V tentang Kepegawaian
Daerah.
Selain nilai-nilai tersebut di atas ada azas-azas kepemimpinan yang dipakai oleh
kepemimpinan TNI dan bisa dipakai juga dalam kepemimpinan aparatur pemerintah. Azas
tersebut adalah Takwa (beriman kepada Tuhan Yang Mahaesa), Ing Ngarsa Sung Tulada
(memberi teladan kapada anak buah), Ing Madya Mangun Karsa (menggugah semangat di
tengah anak buah), Tut Wuri Handayani (mendorong dari belakang), Waspada Purbawisesa
(selalu waspada dan sanggup beri koreksi), Ambeg Parama Arta (memilih yang harus
didahulukan), Prasaja (sederhana), Satya (sikap loyal), Gemi Nastiti (membatas pengeluaran
pada yang benar-benar diperlukan), Belaka (berani mempertanggungjawabkan tindakannya),
Legawa (keikhlasan menyerahkan tanggung jawab dan kedudukan kepada generasi
berikutnya). Azas Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa dan Tut Wuri
Handayani bisa disebut sebagai nilai keluwesan seorang pemimpin menghadapi situasi dan
pengikut yang berbeda-beda.
Kepemimpinan Dan Power
Sumber Kekuasaan
Budiradjo (1984) memberikan penjelasan tentang kekuasaan memiliki tiga sumber. Adapun
sumber kekuasaan itu berasal dari aktor (orang yang kerkuasa), karakteristik orang yang
dipengaruhi dan situasi organisasi. Dari ketiga sumber diatas yang kemudian memunculkan
seseorang memiliki kuasa.
1. Kekuasaan yang Bersumber dari Aktor atau Orang yang Berkuasa.
Sejarah sumber kekuasaan (dalam Thoha, 2009:332)dapat ditelusuri dari pernyataan
Machiavelli yang dikemukakan pada abad ke-16, dimana dikemukakan hubungan yang baik
tercipta jika didasarkan atas cinta (kekuasaan pribadi) dan ketakutan (kekuasaan jabatan).
Berangkat dari pernyataan tersebut selanjutnya Amitai Etziomi membahas sumber kekuasaan
ada dua yaitu kekuasaan jabatan (position power) dan kekuasaan pribadi (personal power).
Yulk (2001:175) mengklarifikasikan kedua sumber kekuasaan ini dengan komponennya yaitu
kekuasaan posisi (kekuasaan yang memiliki legitimasi, kekuasaan memberikan penghargaan,
kekuasaan memaksa, kekuasaan akan informasi, kekuasaan secara ekologis) dan kekuasaan
personal (kekuasaan berdasarkan keahlian). Selanjutnya Peabody (dalam Thoha, 2009:333)
membagi sumber kekuasaan menjadi empat kategori, yaitu: kekuasaan legitimasi (undangundang, peraturan, dan kebijakan), kekuasaan jabatan, kekuasaan kompetensi (keahlian teknis
dan professional), dan kekuasaan pribadi.
Disisi lain kekuasaan tetap merupakan kualitas abstrak yang memampukan kapasitas. Tokoh
pelopor sumber kekuasaan sehingga hasil temuannya sampai meluas dan digunakan oleh para
peneliti lanjutan adalah John R. P. French dan Bertram H. Raven (dalam Owens, 1995:118;
Hoy dan Miskel, 2007: 208; Yulk, 2001:175; Luthans, 1989:430; Tyson dan Jackson,
2000:106-107) yang mengidentifikasi lima sumber kekuasaan, yaitu:
(1) Reward power: controlling reward that will induce other to comply with the powerwielders wishes; (2) Coercive power: having control of potentially punishing resources that
will induce other to avoid them; (3) Expert power: having knowledge that others want to
themselves so much that they will be induced to comply with the power-wielder so as to
acquire the knowledge or benefit from it; (4) Legitimate power: having authority conferred
by holding a position in organization that is recognized by others as having a legitimate right
to obedience; (5) Referent power: when a power holder has personal charisma, or ideas and
beliefs so admired by others that they are induced by the opportunity to be not only
associated with the power holder but, insofar as possible, to become more like him or her.
Thoha (2009:332-333) mengemukan tentang perkembangan sumber kekuasaan dari
pandangan French dan Raven. Dimana dalam penelitian lanjutan Raven bekerja sama dengan
Kruglanski menambahkan kekuasaan keenam yaitu kekuasaan informasi (information
power). Berikutnya pada tahun 1979, Hersey dan Goldsmith mengusulkan kekuasaan yang
ketujuh yaitu kekuasaan hubungan (connection power).
Dibawah ini dijelaskan masing-masing sumber kekuasaan baik dari French dan Raven, dan
penambahan dari beberapa ahli seperti Hersey dan Goldsmith yang berjumlah tujuh seumber
kekuasaan sebagai berikut.
a) Kekuasaan Penghargaan (Reward Power)
Kekuasaan penghargaan merupakan kekuasaan yang berasal dari kemampuan seorang
pemimpin untuk memberikan penghargaan, yang merupakan sesuatu yang berarti dan
dibutuhkan, kepada mereka yang membutuhkan.Dengan kata lain, kekuasaan penghargaan
berkaitan dengan kemampuan seorang pemimpin untuk memepengaruhi bawahan dengan
memberikan ganjaran atas perilaku mereka yang positif atau perilaku yang sesuai dengan
yang dikehendaki pemimpin.
Letak kekuatan dari kekuasaan ini bergantung pada daya pikat dan tingkat kepastian akan
kontrol seorang pemimpin atas ganjaran tersebut. Yulk (2010:178) mengemukakan salah satu
bentuk kekuasaan memberikan penghargaan terhadap bawahan adalah wewenang
memberikan kenaikan gaji, bonus atau insentif ekonomi yang pantas bagi bawahan.
b) Kekuasaan Paksaan (Coercive Power)
Luthans (1989:431) mengemukakan source of coercive power depends on fear. Kekuasaan
paksaan merupakan kekuasaan yang berasal dari ketakutan pihak lain akan hukuman yang
diberikan pimpinan kepada mereka yang tidak patuh terhadap apa yang dikehendakinya.
Dengan kata lain, kekuasaan paksaan merupakan kemampuan pemimpin untuk
memepengaruhi perilaku bawahan dengan memberikan sanksi atas tindakan mereka yang
tidak sesuai dengan kehendak pemimpin. Kekuatan kekuasaan ini terletak pada beratnya
hukuman dan kemungkinan untuk menghindari hukuman itu.
c) Kekuasaan Legitimasi (Legitimate Power)
Kekuasaan legitimasi adalah kekuasaan yang lahir dari kedudukan formal seseorang dalam
organisasi. Dengan jabatan formal tersebutlah seorang pemimpin dapat mempengaruhi
bawahannya dan bawahan akan patuh kepadanya. Bawahan mengetahui bahwa pimpinan
memiliki hak untuk memberikan perintah dan mereka memiliki kewajiban untuk
mentaatinya. Kekuasaan legitimasi ini merupakan sumber otoritas (Hoy, 2007: 203).
d) Kekuasaan Referen (Reverent Power)
French dan Raven (dalam Yulk, 2010:181) menjelaskan kekuasaan berdasarkan referensi
diperoleh dari keinginan orang lain untuk menyenangkan seorang agen yang kepadanya
mereka memiliki perasaan kasih, penghormatan, dan kesetiaan yang kuat. Kekuasaan
referen/referensi merupakan kekuasaan yang lahir karena seseorang memiliki daya tarik atau
kharisma tertentu.Dengan kata lain, kekuasaan referen merupakan kemampuan pimpinan
untuk mempengaruhi perilaku bawahan berdasarkan kegemaran dan identifikasi diri bawahan
dengan pimpinannya. Orang yang memiliki kekuasaan referen akan dikagumi, dihormati dan
dijadikan model untuk diteladani. Sumber kekuasaan referen adalah kepribadian dan
kecerdasan interpersonal yang luar biasa yang dimiliki seorang individu.
e) Kekuasaan Ahli (Expert Power)
Kekuasaan ahli merupakan kekuasaan yang muncul karena seseorang memiliki keahlian atau
kemampuan khusus (Hoy dan Miskel, 2005:210). Setiap pengikutnya akan patuh pada apa
yang dikatakannya karena merasa bahwa ia memiliki pengetahun dan keterampilan yang
lebih dari yang mereka miliki dan bahwa apa yang dimiliki tersebut akan bermakna dan
membantu mereka. Yulk (2010:183) mengidentifikasi bukti dari keahlian seseorang dapat
terlihat dari ijasah, lisensi, dan piagam penghargaan. Akan tetapi, cara yang paling
menyakinkan dalam memperlihatkan keahlian dengan menyelesaikan masalah penting,
membuat keputusan yang tepat, memberikan petunjuk yang bagus, dan berhasil
menyelesaikan tantangan dari proyek yang sangat sulit.
f) Kekuasaan Informasi (Information Power)
Kekuasaan informasi berkaitan dengan kendali informasi. Tipe kekuasaan ini melibatkan
akses terhadap informasi vital dan kendali atas distribusi informasi kepada orang lain
(Pettigrew dalam Yulk, 2010:184). Beberapa akses informasi merupakan hasil dari
kedudukan seseorang dalam jaringan komunikasi dalam organisasi. Pemimpin yang
mengendalikan arus informasi vital mengenai peristiwa di luar organisasi memiliki
kesempatan untuk menginterpretasikan peristiwa ini untuk bawahan dan mempengaruhi
persepsi dan sikap mereka (Kuhn dalam Yulk 2010:184). Sebagai contoh seorang wakil
kepala sekolah bidang sarana dan prasarana mempengaruhi kepala sekolah dalam pemilihan
computer baru dengan memberikan informasi yang mendukung salah satu pilihan dan
menganggap yang lain tidak baik.
g) Kekuasaan Hubungan (Connection Power)
Kekuasaan hubungan merupakan kekuasaan yang muncul karena seseorang memiliki
hubungan yang kuat dengan atasan/pimpinan. Kekuasaan ini dapat muncul karena adanya
kedekatan emosional yang akan memudahkan dalam berkomunikasi antara bawahan dan
atasan. Selanjutnya Hoy dan Miskel (2005:210) dan Robbins (2005:137) mengelompokkan
yang tergolong lima tipe kekuasaan menurut French dan Raven menjadi dua kategori, yaitu
organisasi dan pribadi. Reward, coercive, dan legitimate power merupakan kategori
organisasi, sedangkan expert dan referent power bergantung pada tingkat kedudukan
personal/pribadi dalam organisasi seperti kepribadian, gaya kepemimpinan, pengetahuan, dan
keterampilan diri individu.
Sudah dikatakan sebelumnya bahwa orang adalah sumberdaya yang paling utama dan paling
berharga dalam setiap organisasi. Oleh karena itu SDM harus selalu mendapat perhatian yang
besar dari pimpinan Manajemen dalam arti selalu diupa-yakan untuk lebih diberdayakan agar
kemampuan-kemampuannya selalu meningkat dari waktu ke waktu. Dengan kemampuan
yang meningkat itulah SDM itu dapat diharapkan untuk mening-katkan mutu kinerjanya.
Program-program pelatihan, pendidikan dan lain-lain kegiatan yang bersifat memberdayakan
SDM harus dilembagakan dalam arti selalu direncanakan dan dilaksa-nakan bagi setiap orang
secara bergiliran sesuai keperluan dan situasi
Bila berbicara tentang mutu tentu akan terlintas adanya mutu yang tinggi dan mutu yang
rendah. Bila dikatakan bahwa kinerja suatu organisasi itu tinggi tentu karena dibandingkan
dengan mutu organisasi lain yang kenyataannya lebih rendah. Artinya mutu tentang segala
sesuatu itu sifatnya relatif, bukan absolut. Setidaknya begitulah pengertian mutu menurut
Manajemen. Pimpinan dalam Manajemen dianjurkan melakukan pem-bandingan dengan
organisasi lain, membandingkan mutu organisasinya dengan mutu organisasi lain yang
sejenis. Kegiatan ini disebut benchmarking.
Pimpinan Manajemen selalu berusaha menya-mai mutu kinerja organisasi lain dan kalau bisa
bahkan berusaha melampaui mutu organisasi lain. Bila pimpinan berbicara tentang mutu
organisasi lain dan kemudian ingin menyamai atau melebihi mutu organisasi lain itu, berarti
pmpinan itu berbicara tentang persaingan. Setiap organisasi berusaha mendapatkan pelanggan
yang lebih banyak dan yang berciri lebih baik. Usaha ini hanya akan berhasil kalau organisasi
itu mampu berkinerja yang mutunya lebih tinggi dari organisasi lain. Ini persaingan.
Manajemen dikembangkan untuk memenangkan persaingan. Oleh karena itu pimpinan
Manajemen selalu harus menyadari adanya persaingan dan berbicara tentang itu dengan
orang-orang dalam organisasinya.
Karakter suatu organisasi tercermin dari pola sikap dan perilaku orang-orangnya. Sikap dan
perilaku organsasi yang cenderung menim-bulkan rasa senang dan puas pada fihak
pelanggan-pelanggannya perlu dibina oleh pimpinan. Demikian pula budaya organisasi yang
menjunjung tinggi nilai-nilai tertentu yang relevan dengan mutu yang diinginkan oleh
organisasi itu juga perlu dibina. Misalnya dalam lembaga pendidikan perlu dikembangkan
budaya yang menjunjung tinggi nilai-nilai belajar, kejujuran, kepelayanan, dan sebagainya.
Nilai-nilai yang merupakan bagian dari budaya organisasi itu harus menjadi pedoman dalam
bersikap dan berperilaku dalam organisasi. Namun demikian ka-rakter dan budaya organisasi
itu hanya akan tumbuh dan berkembang bila iklim organisasi itu menunjang. Olah karena itu
pimpinan juga harus selalu membina iklim organisasinya agar kon-dusif bagi tumbuh dan
berkembangnya karakter dan budaya organisasi tadi. Misalnya dengan menciptakan dan
melaksanakan sistem penghargaan yang mendorong orang untuk bekerja dan berprestasi lebih
baik. Atau pimpinan yang selalu berusaha berperilaku sedemikian rupa hingga dapat menjadi
model yang selalu dicontoh oleh orang-orang lain.
Pemimpin Manajemen tidak berusaha memusatkan kepemimpinan pada dirinya, tetapi akan
menyebarkan kepemimpinan itu pada orang-orang lain, dan hanya me-nyisakan pada dirinya
yang memang harus dipegang oleh seorang pimpinan. Kepemimpinan yang dimaksudkan
adalah pengambilan keputusan dan pengaruh pada orang lain. Pengambilan tentang
kebijaksanaan organisasi tetap ditangan pimpinan-atas, dan lainnya yang bersifat operasional
atau bersifat teknis disebarkan kepada orang-orang lain sesuai dengan kedudukan dan
tugasnya. Dalam banyak hal bahkan pengambilan keputusan itu diserahkan kepada tim atau
kelompok kerja tertentu.
Dengan demikian ketergantungan organisasi pada pimpinan akan sangat kecil, tetapi sebagian
besar dari orang-orang dalam organisasi itu memiliki kemandirian yang tinggi. Kondisi
semacam ini tentu saja akan tercapai melalui penerapan Manajemen yang baik dan benar, dan
setelah melalui proses pembinaan yang panjang. Makin banyak dari kesepuluh ciri itu yang
diterapkan oleh pimpinan Manajemen semakin baiklah mutu kepemimpinannya, dalam arti
makin baiklah suasana kerja yang kondusif untuk terciptanya mutu, dan makin kuatlah
dorongan yang diberikan kepada orang-orang dalam orga- nisasinya untuk meningkatkan
mutu kinerjanya. Kesepuluh hal tersebut perlu dihayati dan di-praktekkan oleh semua
pimpinan , dari yang tertinggi sampai yang terrendah, sehingga akhirnya akan menjelma
menjadi pola tindak yang normatif dari semua unsur pimpinan.
Tipe Pemimpin Dan Manajemen
Dalam setiap realitasnya bahwa pemimpin dalam melaksanakan proses kepemimpinannya
terjadi adanya suatu permbedaan antara pemimpin yang satu dengan yang lainnya, hal
sebagaimana menurut G. R. Terry yang dikutif Maman Ukas, bahwa pendapatnya membagi
tipe-tipe kepemimpinan menjadi 6, yaitu :
1. Tipe kepemimpinan pribadi (personal leadership). Dalam system kepemimpinan ini, segala
sesuatu tindakan itu dilakukan dengan mengadakan kontak pribadi. Petunjuk itu dilakukan
secara lisan atau langsung dilakukan secara pribadi oleh pemimpin yang bersangkutan.
2. Tipe kepemimpinan non pribadi (non personal leadership). Segala sesuatu kebijaksanaan
yang dilaksanakan melalui bawahan-bawahan atau media non pribadi baik rencana atau
perintah juga pengawasan.
3. TIpe kepemimpinan otoriter (autoritotian leadership). Pemimpin otoriter biasanya bekerja
keras, sungguh-sungguh, teliti dan tertib. Ia bekerja menurut peraturan-peraturan yang
berlaku secara ketat dan instruksi-instruksinya harus ditaati.
4. Tipe kepemimpinan demokratis (democratis leadership). Pemimpin yang demokratis
menganggap dirinya sebagai bagian dari kelompoknya dan bersama-sama dengan
kelompoknya berusaha bertanggung jawab tentang terlaksananya tujuan bersama. Agar setiap
anggota turut bertanggung jawab, maka seluruh anggota ikut serta dalam segala kegiatan,
perencanaan, penyelenggaraan, pengawasan, dan penilaian. Setiap anggota dianggap sebagai
potensi yang berharga dalam usahan pencapaian tujuan.
5. Tipe kepemimpinan paternalistis (paternalistis leadership). Kepemimpinan ini dicirikan
oleh suatu pengaruh yang bersifat kebapakan dalam hubungan pemimpin dan kelompok.
Tujuannya adalah untuk melindungi dan untuk memberikan arah seperti halnya seorang
bapak kepada anaknya.
6. Tipe kepemimpinan menurut bakat (indogenious leadership). Biasanya timbul dari
kelompok orang-orang yang informal di mana mungkin mereka berlatih dengan adanya
system kompetisi, sehingga bisa menimbulkan klik-klik dari kelompok yang bersangkutan
dan biasanya akan muncul pemimpin yang mempunyai kelemahan di antara yang ada dalam
kelempok tersebut menurut bidang keahliannya di mana ia ikur berkecimpung.
Terdapat tiga teori munculnya pemimpin, yaitu teori genetis, teori sosial dan teori ekologis.
Teori Genetis menyatakan sebagai berikut :
1. Pemimpin itu tidak dibuat, akan tetapi lahir jadi pemimpin oleh bakat-bakat alami yang
luar biasa sejak lahirnya.
2. Dia ditakdirkan lahir menjadi pemimpin dalam situasi-kondisi yang bagaimanapun juga,
yang khusus.
3. Secara filsafi, teori tersebut menganut pandangan deterministis.