Anda di halaman 1dari 10

A.

PENDAHULUAN
Kepemimpinan organisasi dalam birokrasi pemerintahan dapat didefinisikan
sebagai suatu proses mempengaruhi para pegawai/aparatur untuk menyelesaikan suatu
pekerjaan dan mengarahkan organisasi agar lebih kompak dan kondusif, dengan
menerapkan konsep, nilai, etika, karakter, pengetahuan dan keterampilan. Berdasarkan
pengertian ini, pimpinan belum dapat disebut pemimpin. Perbedaan pemimpin dengan
pimpinan yaitu bahwa pemimpin bisa mempengaruhi para pegawainya demi mencapai
tujuan yang diinginkan, akan tetapi untuk pimpinan hanya bisa mampu dalam
memberikan perintah saja terhadap bawahannya.
Hasibuan (2014:170), kepemimpinan (leadership) yang ditetapkan oleh seorang
manajer dalam organisasi dapat menciptakan integrasi yang serasi dan mendorong gairah
kerja karywan untuk mencapai sasaran yang maksimal. Kepemimpinan adalah kata benda
dari pemimpin (leader). Pemimpin (Leader) adalah seseorang yang mempergunakan
wewenang dan kepemimpinanya, mengarahkan bawahan untuk mengerjakan sebagian
pekerjaannya dalam mencapai tujauan organisasi. Menurut Robbins juga mengatakan
bahwa kepemimpinan merupakan kemampuan dalam mempengaruhi suatu kelompok
demi tercapainya suatu tujuan yang diharapkan. Kristiawan dkk juga mengatakan
kepemimpinan merupakan segala perlakukan yang dilakukan seseorang baik itu individu
maupun kelompok dalam melakukan koordinasi serta melaksanakan pengarahan kepada
individu maupun kelompok yang lain demi tercapai tujuan yang sudah ditetapkan
sebelumnya.
Pengertian gaya kepemimpinan yang demikian ini sesuai dengan pendapat yang
disampaikan oleh Keduanya menyatakan bahwa pola tindakan pemimpin secara
keseluruhan seperti yang dipersepsikan atau dipicu oleh bawahan tersebut dikenal sebagai
gaya kepemimpinan. Pemimpin di dalam organisasi mempunyai peran, setiap pekerjaan
membawa serta harapan bagaimana penanggung peran yang seiring pekerjaan tersebut
juga mengandung arti bahwa harapan mengenai peran penting dalam mengatur perilaku
bawahan. Selanjutnya peran kepemimpinan dapat diartikan sebagai seperangkat perilaku
yang diharapkan dilakukan oleh seorang sesuai dengan kedudukannya sebagai pemimpin
diinginkan yang berjalan dengan perilaku. Fakta bahwa organisasi mengidentifikasi
pekerjaan yang harus dilakukan dan perilaku peran yang diinginkan yang berjalan dengan
seiring pekerjaan tersebut, juga mengandung arti bahwa harapan mengenai peran penting
dalam mengatur perilaku bawahan. Maka, pendapat dari Stodgil peran kepemimpinan itu
ada beberapa diantaranya yaitu: Integration yang merupakan tindakan yang mengarah
akan peningkatan koordinasi, communication tindakan yang mengarah akan
meningkatnya saling pengertian serta penyebaran informasi, roduct emphasis tindakan
yang memiliki orientasi volume pekerjaan yang dilakukan, fronternization merupakan
tindakan yang dijadikan pemimpin untuk menjadi bagian dari kelompok, organization
merupaka tindakan yang mengarah pada perbedaan dan penyesuaian daripada tugas-
tugas, evaluation merupakan tindakan yang berkenaan untuk pendistribusian akan
ganjaran atau hukuman, initation merupakan tindakan yang menghasilkan perubahan
kegiatan organisasi, domination merupakan tindakan yang menolak pemikiran seseorang
ataupun anggota kelompoknya. Kepemimpinan tentu memiliki factor yang
mempengaruhi mereka dalam dunia kepemimpinan itu,
Faktor-faktor tersebut menurut Komang A. dan Ni Wayang diantaranya yaitu:
Faktor kemampuan personal atau Karakteristik pribadi pemimpin, Faktor kemampuan
personal adalah kombinasi antara potensi sejak pemimpin dilahirkan kedunia sebagai
manuasia dan faktor pendidikan yang ia dapatkan. Dengan demikain antara potensi
bawaan dan perlakuan edukatif adalah dua hal yang tidak dapat terpisahkan. Umumnya
pemimpin akan mempunyai taraf intelegensi yang lebih tinggi dari pada yang dipimpin.
Selain itu ada karakterristik lain seperti kecerdasan dan motoivasi; Faktor Jabatan atau
kelompok yang dipimpin, Pengertian Jabatan adalah struktur kekuasaan yang dimiliki
dalam organisasi. Dalam hal ini digunkaan sebagai alat untuk menginterpretasi tujuan
yang harus dicapai olehnya; Faktor Situasi dan kondisi, Pengertian situasi adaah kondisi
yang melingkupi perilaku kepemimpinan. Setiap pemimpin akan berfungsi pada situasi,
yang berupa situasi manuasia, fisik, dan waktu. Tiap-tiap perubahan situasi membutuhkan
perubahan seperti kemampuan memimpin. Dengan pengertian bahwa setiap situasi adalah
unik, maka untuk tiap situasi dibutuhkan pemimpin yang spesifik dan fleksibel dalam
mengahadapi situasi yang tidak menentu. Menurut Davis, faktor-faktor yang
mempengaruhi kepemimpinan ada empat faktor yang mempengaruhi kepemimpinan
dalam organisasi, yaitu : Kecerdasan : seseorang pemimpin harus mempunyai kecerdasan
yang melebihi para angotanya. Kematangan dan keuasan social (Social manutary and
breadth) yang artinya seseorang pemimpian biasanya memiliki emosi yang stabi, matang,
memiliki aktivitas dan pandangan yang cukup matang; Motivasi dalam dan dorongan
prestasi (Inner motivasi and achievement drives) yang berarti dalam diri seseorang
pemimpin harus mempunyai motivasi dan dorongan untuk mencapai suatu tujuan;
Hubungan manusiawi : pemimpin harus biasa mengenai dan menghargai para
anggotanya.
Birokrasi sendiri menurut Weber bahwa system administrasi rutin dilakukan oleh
seseorang dengan keseragaman, dilaksanakan dengan melalui cara tertentu, berdasarkan
atas aturan tertulis dari orang-orang yang memiliki kompeten didalam bidang tersebut.
Dengan adanya hal itu, essai ini akan membahas lebih mendalam mengenai kebutuhan
yang dibutuhkan untuk seseorang dapat menjadi pemimpin yang efektif dalam birokrasi.
B. PEMBAHASAN
Urgensi reformasi birokrasi semakin terasa apabila diingat bahwa iklim birokrasi
kita saat ini masih diwarnai berbagai malpraktik yang berkembang dan membudaya
selama 32 tahun era Orde Baru. Kita tahu, kelembagaan birokrasi pada masa itu
berorientasi pada kekuasaan yang sentralistik, monopolistik, power driven, dengan
akuntabilitas yang rendah. Tidak menherankan jika stigma yang melekat pada birokrasi
selama ini selalu identik dengan pelayanan publik berkualitas rendah yang penuh korupsi,
kolusi, dan nepotisme. Tidak aneh pula kalau hasil-hasil survei dari the Political and
Economic Risk Consultancy dan The World Competitiveness terbitan Institute for
Management Development (IMD) selalu menempatkan kinerja birokrasi Indonesia pada
posisi juru kunci.
Reformasi birokrasi semakin perlu dilakukan apabila dilihat bahwa budaya
korupsi yang tumbuh subur selama era Orde Baru ternyata belum berakhir. Bahkan
sebaliknya, dengan mulai diterapkannya kebijakan otonomi daerah, dimulai pula
desentralisasi korupsi di seantero negeri. Korupsi kini tidak lagi didominasi birokrasi
pusat, seperti yang terjadi pada era Orde Baru, tetapi sudah merambah ke lingkungan
pemerintah daerah. Menurut laporan Indonesia Corruption Watch, kasus korupsi
sepanjang tahun 2004 saja mencapai 125 orang di tubuh DPRD, Kepala Daerah 84,
aparat Pemda 57, pimpinan proyek 36, direktur BUMD/BUMN 36, Kepala Dinas 25,
aparat Departemen 15, Aparat Kejaksaan 13, Pengusaha 12, Sekretaris Daerah 7, Aparat
Desa 6, Polisi 5, Pengelola Pendidikan 5, dan dari sektor lainnya sebanyak 25 orang.
Daftar ini akan semakin panjang bila disertakan pula kondisi sepnajang tahun 2005.
Menganalisis kondisi di atas semakin terasa urgensi reformasi birokrasi di
Indonesia. Namun, sayang sekali, sampai sekarang pemerintah belum merumuskan suatu
grand strategy terhadap reformasi birokrasi. Kita belum tahu langkah-langkah apa yang
hendak ditempuh, bagaimana model birokrasi yang diharapkan, dan kapan program ini
akan diselesaikan. Beberapa program parsialseperti Standar Kompetensi Jabatan dan
Diklat berbasis kompetensi, Undang-undang Pelayanan Publik, paradigma Good
Governance memang telah dicanangkan. Akan tetapi masih saja belum ada kejelasan
tentang scenario yang akan dimainkan pemerintah dalam melaksanakan reformasi
birokrasi. Tidak heran jika berbagai ahli dan praktisi menggagas berbagai konsep
pembaharuan birokrasi.
Dengan adanya sedikit penjelasan mengenai reformasi birokrasi tentu akan
diperbincangkan lagi lebih mendalam selanjutnya mengenai adanya kepemimpinan yang
harus ada dalam birokrasi. Model kepemimpinan dalam birokrasi yang sebenarnya harus
dikaji sehingga akan mengetahui kepemimpinan yang seperti apa yang dibutuhkan dalam
birokrasi.
Kepemimpinan birokrasi barangkali dapat didefinisikan sebagai suatu proses
mempengaruhi para pegawai untuk menyelesaikan suatu pekerjaan, dan mengarahkan
organisasi agar lebih kompak dan kondusif, dengan cara menerapkan konsep, nilai, etika,
karakter, pengetahuan, dan ketrampilan melalui kewenangan yang dimilikinya.
Legitimasi kewenangan ini pula yang digunakan Weber ketika menyusun model
kepemimpinan birokrasi (Weberian). Model kepemimpinan birokrasi Weberian,
sebagaimana karakteristik kelembagaan birokrasi Weber, cenderung berorientasi pada
kekuasaan secara rasional, legal dan hierarkis, serta pengawasan yang kaku.
Di samping itu, James McGregor Burns pada tahun 1978 dan selanjutnya Bernard
M. Bass (1985), menambahkan bahwa kepemimpinan birokrasi seperti transaksi antara
kekuasaan dan loyalitas pegawai. Seperti juga dikritik oleh Mark Homrig (2005),
mekanisme kepemimpinan birokrasi Weberian seperti jual-beli saja, pekerjaan ditukar
dengan gaji, jabatan dengan loyalitas, sumbangan dengan tender, dsb. Berdasarkan inilah
selanjutnya Burns dan Bass mengembangkan model kepemimpinan transformasional
yang berfokus pada kemampuan seorang pemimpin dalam membangun sinergi dalam
organisasi melalui pengaruh dan kewenangan sehingga mampu mencapai visi dan misi
organisasinya.
Tentunya banyak model kepemimpinan dalam birokrasi diantaranya yaitu :
1. Model kepemimpinan birokrasi transaksional (Weberian)
Pada waktu mendiskusikan masalah organisasi, penggagas birokrasi Max Weber
(1864- 1920) sebenarnya mengemukakan tiga model kepemimpinan, yaitu (1)
kepemimpinan birokrasi, (2) kepemimpinan karismatik, dan (3) kepemimpinan
tradisional. Pembagian model kepemimpinan ini didasarkan pada legitimasi pada
implementasi kekuasaan dalam organisasi. Menurut Weber (1947), setiap pemimpin
tentu memiliki salah satu di antara ketiga karakteristik kepemimpinan tersebut.
Kepemimpinan birokrasi didasarkan pada keyakinan terhadap ‘legalitas’ pola-pola
aturan normatif, dan hak yang diberikan kepada penguasa berdasarkan aturan tersebut
untuk melakukan perintah. Kepemimpinan tradisional didasarkan pada keyakinan
kuat terhadap kebenaran tradisi-tradisi yang berlaku di lingkungannya, dan legitimasi
status kepemimpinan tradisional. Sementara kepemimpinan karismatik didasarkan
pada kepribadian seseorang yang berbeda dengan orang lain, yang diwarnai oleh
sikap kepahlawanan atau keteladanan sehingga pola-pola aturan atau perintah tunduk
terhadap kepemimpinannya.
Model kepemimpinan birokrasi dianggap sesuai dengan lingkungan lembaga yang
penuh dengan peraturan, baik normatif maupun teknis. Pedoman administrasi,
kontrak kerja, keputusan, dan petunjuk teknis semuanya rapi didokumentasikan
secara tertulis. Pegawai dididik untuk mentaati aturan, loyal kepada perintah atasan
dalam kapasitasnya sebagai karyawan. Hubungan pimpinan-pegawai bersifat formal,
terbatas pada pelaksanaan pekerjaan saja. Ruang gerak pegawai pun sangat terbatas.
Penghasilan dan pensiun sudah diatur secara tetap, dan jumlahnya tergantung pada
pangkat dan golongan pegawai dalam hierarki kepegawaian. Ambisi adalah tabu.
Pegawai tidak berhak atas jabatan karena sistem promosi umumnya berdasarkan pada
senioritas dalam kepegawaian dan kepangkatan. Model kepemimpinan birokrasi,
menurut Weber (1947), banyak diterapkan di organisasi keagamaan, rumah sakit,
perusahaan bisnis, militer, dan tentu saja instansi pemerintah.
Sisi positif dari model kepemimpinan birokrasi traksasional ini terletak pada
efisiensi di dalam pelaksanaan kerja, karena kejelasan pembagian kerja sesuai dengan
tugas pokok dan fungsi masing-masing staf dalam organisasi, standarisasi pedoman
dan aturan kerja, dan konsistensi terhadap tata aturan yang telah ditetapkan. Di
samping itu, kepemimpinan birokrasi juga menjamin pencapaian tujuan jangka
pendek dan kemudahan dalam pengawasan dan pengelolaan pegawai. Sementara sisi
negatifnya adalah kepemimpinan yang berorientasi pada kekuasaan yang hierarkis,
tiadanya pemberdayaan pegawai dan pembagian kewenangan dalam pengambilan
keputusan, kondisi yang kurang kondusif karena penerapa komunikasi top-down dan
formalitas hubungan atasan-bawahan, dan loyalitas berlebihan pada atasan.
2. Model kepemimpinan birokrasi transformasional
Konsep kepemimpinan transformasional pertamakali dikemukakan oleh James
McGregor Burns pada tahun 1978, dan selanjutnya dikembangkan oleh Bernard Bass
dan para behaviourists lainnya. Bass (1085) mendefinisikan kepemimpinan
transformasional sebagai ‘kemampuan yang dimiliki seorang pemimpin untuk
mempengaruhi anak buahnya, sehingga mereka akan percaya, meneladani, dan
menghormatinya.’
Kompetensi transformasi seorang pemimpin mungkin dapat diukur dari
kemampuannya dalam membangun sinergi dari seluruh pegawai melalui pengaruh
dan kewenangannya sehingga lebih berhasil dalam mencapai visi dan misi
organisasinya. Proses perubahan yang dilakukan pemimpin transformasional, menurut
Bass, dapat dilakukan dengan cara: (1) meningkatkan kesadaran pegawai terhadap
nilai dan pentingnya tugas dan pekerjaan; (2) mengarahkan mereka untuk fokus pada
tujuan kelompok dan organisasi, bukan pada kepentingan pribadi; dan (3)
mengembangkan potensi mereka seoptimal mungkin.
Implementasi kepemimpinan transformasional ini bukan hanya tepat dilakukan di
lingkungan birokrasi, tetapi juga di berbagai organisasi yang memiliki banyak tenaga
potensial dan berpendidikan. Secara organisasional, Leithwood dan Jantzi (1990)
menulis bahwa penerapan model kepemimpinan ini sangat bermanfaat untuk: (1)
membangun budaya kerjasama dan profesionalitas di antara para pegawai, (2)
memotivasi pimpinan untuk mengembangkan diri, dan (3) membantu pimpinan
memecahkan masalah secara efektif.
Budaya kerjasama dan profesionalitas dapat dibangun karena pemimpin
transformasional akan memfasilitasi pegawainya untuk berdialog, berdiskusi, dan
merencanakan pekerjaan bersama. Kerjasama yang terbentuk dari kegiatan ini akan
memudahkan mereka untuk saling mengingatkan dalam melaksanakan tugas dan
pekerjaan. Kebersamaan juga dilakukan dalam merumuskan visi dan misi organisasi,
sehingga komitmen lebih mudah dibangun. Seorang pemimpin transformasional juga
akan membagi kewenangannya melalui pemberdayaan pegawai, secara aktif
mengkomunikasikan norma-norma dan nilai-nilai organisasi. Untuk mendukung
perubahan budaya, Bass menyarankan untuk memanfaatkan mekanisme birokrasi
yang selama ini telah dijalankan.
Di samping itu, budaya yang dikembangkan tersebut, secara tidak langsung, juga
akan memotivasi pemimpin untuk lebih mengembangkan diri. Dengan melibatkan
staf dalam penyelesaian masalah-masalah strategis, pemimpin transformasional harus
mampu meyakinkan mereka bahwa tujuannya jelas, rasional, dan visioner. Berbagai
kelebihan yang dimiliki atasan akan membantu para staf untuk bekerja secara lebih
cerdas, bukan lebih keras. Di samping itu, keterlibatan staf dalam pemecahan
permasalahan strategis juga akan meningkatkan pemahan bersama, bahwa
permasalahan organisasi yang dipecahkan secara bersama akan lebih berhasil
dibanding bila dipecahkan sendiri oleh pimpinan. Dengan demikian, jelaslah bahwa
kepemimpinan transformasional dapat memberikan berbagai pengaruh positif
terhadap pegawai, pemimpin, dan organisasi. Dalam era globalisasi seperti sekarang
ini, yang membutuhkan kerjasama dari seluruh komponen organisasi untuk
memecahkan berbagai masalah strategis, model kepemimpinan semacam itu
tampaknya tepat untuk diterapkan dalam lingkungan birokrasi. Budaya kerjasama
yang terbentuk dapat merubah sikap mereka terhadap perkembangan organisasi dan
peningkatan kinerja, dan perhatian yang ditunjukkan oleh pimpinan juga akan
menciptakan iklim yang kondusif dalam organisasi. Pada akhirnya, seperti
diasumsikan Erik Rees (2006), model kepemimpinan ini akan bermuara pada
peningkatan kondisi ekonomi, sosial, budaya kerja, dan spiritual seluruh komponen
organisasi.
Dengan mengetahu kedua model kepemimpinan birokrasi tersebut tentu yang
tepat untuk dijadikan model kepemimpinan birokrasi yang ideal di zaman yang
sekarang ini serta yang dibutuhkan sesuai keadaan di zaman sekarang ini tentunya
adalah model kedua yaitu model kepemimpinan birokrasi transformasional yang
dimana dari ciri-ciri bentuk kepemimpinan birokrasi transformasional ini mengikuti
perkembangan zaman milenial ini. Karena denga napa yang dibutuhkan dalam zaman
milenial ini ada pada jenis kepemimpinan birokrasi transformasional tersebut.
Sehingga dengan yang dibutuhkan adalah jenis yang seperti itu maka terciptanya
keseimbangan dari segala sisi, baik itu politik, social, ekonomi dan budaya juga
tentunya.
Selain berdasarkan jenis kepemimpinan itu yang dijadikan model yang
dibutuhkan hal lainnya yang perlu diperhatikan adalah mengenai perkembangan
orientasi birokrasi. Perkembangan-perkembang tersebut berbagai macam tentunya
yang diantaranya adalah perubahan orientasi kinerja birokrasi yang dimana meilihat
pada hubungan kelembagaan, kepemimpinan impersonal serta pedoman kerja yang
jelas. Hal itu tentu perlu diperhatikan. Dengan memperhatikan hal itu tentu
harapannya lembaga birokrasi yang berjalan akan sesuai dengan perkembangan
zaman terlebih sekarang zaman sudah menjadi zaman milenial tentunya. Setelah itu
dengan melihat perubahan orientasi kelembagaan birokrasi. Hal ini juga perlu
diperhatikan karena dengan melihat selama ini orientasi kelembagaan birokrasi yang
dirasa sempit ruang geraknya sehingga hal itu menjadi terbatas maka perlu
diperhatikan. Tujuannya agar kedepannya orientasi dari kelembagaan birokrasi ini
menjadi lebih baik dan lebih dapat untuk memajukan dunia birokrasi tentunya
termasuk dijadikan acuan pemimpin dalam memimpin birokrasi.
C. KESIMPULAN
Dapat disimpulkan bahwa yang di model kepemimpinan birokrasi terdapat dua
macam. Pertama model kepemimpinan birokrasi transaksional dan yang kedua
kepemimpinan birokrasi transformasional. Dari kedua hal itu sebenar-benarnya sama-
sama berdampak positif dalam pemimpin dapat memimpin birokrasi. Namun, jika dilihat
dari sisi kebutuhan zaman sekarang yang milenial yang semakin canggih dari segala
bidang kehidupan maka, model kepemimpinan birokrasi transformasional yang lebih
efektif untuk digunakan, agar tujuan yang dicapai sesuai dengan keadaan zaman sekarang
menjadi lebih efektif untuk diterapkan. Namun dalam penerapannya tetap dengan
memperhatikan perubahan baik itu perubahan orientasi kinerja birokrasi maupun
perubahan orientasi kelembagaan birokrasi.
D. REFERENSI
file:///C:/Users/LENOVO%20IDEAPAD3/Downloads/admin,+1.+Artikel+Awang+
(Revisi)+97-114.pdf
file:///C:/Users/LENOVO%20IDEAPAD3/Downloads/2642-Article%20Text-10149-
1-10-20220718.pdf
https://menpan.go.id/site/berita-terkini/dua-karakter-pemimpin-yang-dibutuhkan-
pemerintahan-saat-ini
https://media.neliti.com/media/publications/256953-membangun-kompetensi-
pemimpin-dalam-meng-5dba3ed6.pdf
https://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/publikasi/artikel/menjadi-pemimpin-
yang-adaptif-dan-efektif
https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kanwil-balinusra/baca-artikel/15571/ANALISA-
GAYA-KEPEMIMPINAN-OTOKRATIS-DEMOKRATIS-DAN-LAISSEZ-FAIRE-
DALAM-BIROKRASI-PEMERINTAHAN.html
file:///C:/Users/LENOVO%20IDEAPAD3/Downloads/admin,+1.+Artikel+Awang+
(Revisi)+97-114%20(1).pdf
https://digilibadmin.unismuh.ac.id/upload/18687-Full_Text.pdf
file:///C:/Users/LENOVO%20IDEAPAD3/Downloads/247-349-1-PB.pdf
https://mudabicara.com/apa-itu-gaya-kepemimpinan-birokrasi-pengertian-ciri-dan-
manfaatnya/
https://digilibadmin.unismuh.ac.id/upload/19706-Full_Text.pdf
http://repository.stiedewantara.ac.id/1965/4/BAB%20II.pdf
https://repository.unibos.ac.id/xmlui/bitstream/handle/123456789/347/GAYA
%20KEPEMIMPINAN%20DAN%20PENINGKATAN%20KINERJA%20-
%20hasnawati%20%28Buku%29.pdf?sequence=1&isAllowed=y
https://jurnal.unpand.ac.id/index.php/dinsain/article/viewFile/65/62
http://www.ojs.unanda.ac.id/index.php/jemma/article/view/247/0

Anda mungkin juga menyukai