Anda di halaman 1dari 88

TUGAS TERSTRUKTUR

KEPEMIMPINAN E2

Dosen Pengampu :
Dr. Made Surya Putra, S.E., M.Si.

Oleh :
I Kadek Agus Budi Mahendra 2007521089

PROGRAM STUDI SARJANA MANAJEMEN


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS UDAYANA
2023
RPS 1
KONSEP DASAR KEPEMIMPINAN

1.1 Pengertian Kepemimpinan

Banyak ahli manajemen yang merumuskan tentang definisi-definisi


kepemimpinan. Seperti Kepemimpinan menurut Gareth Jones and Jennifer George
(2003:440). Menurutnya, Kepemimpinan adalah proses dimana seorang individu
mempunyaipengaruh terhadap orang lain dan mengilhami, memberi semangat,
memotivasi danmengarahkan kegiatan-kegiatan mereka guna membantu tercapai
tujuan kelompok atau organisasi. Menurut Stephen P. Robbins (2003:40),
Kepemimpinan adalah Kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok ke arah
tercapainya tujuan.Sedangkan definisi Kepemimpinan menurut Richard L. Daft
(2003:50) adalah Kemampuan mempengaruhi orang yang mengarah kepada
pencapaian tujuan. Dari beberapa definisi tersebut, sangat jelas dikatakan bahwa
kepemimpinan adalah fungsi manajemen yang erat keterkaitannya dengan
pencapaian tujuan organisasi.
Dari beberapa pendapat para ahli ,kepemimpinan dapat diartikan sebagai
kemampuan, proses , dan seni mempengaruhi orang dan kelompok orang agar
memiliki kemauan untuk mencapai tujuan organisasi. Definisi ini mengatakan
bahwa kepemimpinan merupakan kemampuan, proses dan seni. Hal ini mengacu
pada suatu kegiatan atau aktivitas yang harus dilakukan untuk mempengaruhi orang
lain supaya berperilaku tertentu. Seni berarti cara, metode, atau strategi
mempengaruhi untuk mendapatkan kepengikutan. Seorang pemimpin dapat
melakukan dengan cara membujuk , mendesak, memaksa atau dengan cara lain
sehingga orang lain menjadi mau melakukan. Secara implisit definisi ini memberi
arti bahwa kepemimpinan tidak selalu mengacu pada kedudukan, misalnya manajer
atau direktur, Dekan, Rektor. Kepemimpinan lebih terfokuskan pada kemampuan,
pengaruh, dan seni mempengaruhi. Sedangkan manajer lebih terfokus pada
kedudukan hirarki dalam suatu organisasi.

1.2 Teori munculnya/lahirnya pemimpin/kepemimpinan

Teori tentang asal mula pemimpin:


1. Teori Genetis menyatakan sebagai berikut :

1) Pemimpin itu tidak dibuat, akan tetapi lahir jadi pemimpin oleh bakat-bakat
alami yang luar biasa sejak lahirnya.

2) Dia ditakdirkan lahir menjadi pemimpin dalam situasi-kondisi

yang bagaimanapun juga, yang khusus.


3) Secara filsafi, teori tersebut menganut pandangan deterministis.

2. Teori Sosial

Pemimpin ada karena proses pembelajaran dan pelatihan sehingga


membentik pribadi yang pantas dijadikan sebagai pemimpin.
3. Teori Sosio Genetis

Teori gabungan antara teoro genetis dan teori social. Teori ini
adalah teori yang saling melengkapi. Menurit teori ini pemimpin yang baik
adalah seseorang yang memang telah ditakdirkan untuk menjadi seorang
pemimpin, kemudian semasa hidupnya dia dilatih dan didik, sehingga
watakkepemimpinannya bisa tumbuh dan perproses seiring berjalannya waktu

1.3 Teori-teori Kepemimpinan

1. Teori Sifat (Trait Theory)

Teori awal tentang sifat ini dapat ditelusuri kembali pada zaman Yunani
kuno dan zaman Roma. Pada waktu itu orang percaya bahwa pemimpin itu
dilahirkan, bukannya dibuat. Teori Great Man menyatakan bahwa seseorang
dilahirkan sebagai pemimpin akan menjadi pemimpin tanpa memperhatikan
apakah ia mempunyai sifat atau tidak mempunyai sifatsebagai pemimpin.
Teori great man barangkali dapat memberikan arti lebih realistis
terhadap pendekatan sifat dari pemimpin, setelah mendapat pengaruh dari aliran
perilaku pemikir psikologi adalah suatu kenyataan yang dapat diterima bahwa
sifat-sifat kepemimpinan itu tidak seluruhnya dilahirkan, tetapi dapat juga lewat
suatu pendidikan dan pengalaman
Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa untuk menjadi
seorang pemimpin dalam suatu organisasi dibutuhkan latar belakang
pendidikan dan pengalaman disuatu organisasi. Dengan pendidikan dan dan
pengalaman tersebut, pemimpin bisa menjalankan tugasnya sebagai pemimpin
yang berkompetensi dan mempunyai pengalaman yang tinggi intuk memimpin
organisasi yang menaunginya.

2. Teori Kelompok

Teori kelompok dalam kepemimpinan ini memiliki dasar perkembangan


yang berakar pada psikologi sosial. Teori kelompok ini beranggapan bahwa,
supaya kelompok bisa mencapai tujuan-tujuannya, harus terdapat suatu
pertukaran yang positif di antara pemimpin dan pengikut-pengikutnya. Hal
tersebut melibatkan pula konsep-konsep sosiologi tentang keinginan-keinginan
mengembangkan peranan. Penelitian psikologi sosial dapat digunakan untuk
mendukung konsep-konsep peranan dan pertukaran yang diterapkan dalam
kepemimpinan.
Hasil dari suatu penemuan, dalam penelitiannya ini menyatakan bahwa
para bawahan juga dapat mempengaruhi para pemimpinnya, seperti pemimpin
dapat memengaruhi pengikut-pengikutnya/para bawahannya. Suatu contoh
penemuan Greene menyatakan bahwa ketika para bawahan tidak melaksankana
pekerjaan secara baik, maka pemimpin akan memberikan penekanan struktur
pengambilan inisiatif (perilaku tugas). Tetapi ketika para bawahan dapat
melaksanakan pekerjaan secara baik, maka pemimpin akan menaikkan pada
penekanannya pada pemberian perhatian (perilaku tata hubungan). Barrow
dalam peneliatanna menemukan bahwa produktivitas kelompok mempunyai
pengaruh yang lebih besar terhadap gaya kepemimpinan dibandingkan dengan
pengaruh gaya kepemimpinan tehadap produktivitasnya.
Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa para bawahan dapat
memengaruhi pemimpinnya. Jika kinerja bawahannya baik maka akan dapat
memengaruhi produktivitas perusahaan, sehingga pemimpin akan merasa
untung dengan kinerja bawahannya. Hal tersebut dapat dibuktikan jika
pemimpin memberikan penghargaan pada bawahannya yang kinerjanya baik,
maka bawahan akan lebih meningkatkan kinerjanya, otomatis pemimpin
mendapatkan untung dan produktivitas perusahaan meningkat.

3. Teori Situasional dan Model Kontijensi

Pada sekitar tahun 1940 ahli-ahli psikologi sosial memulai meneliti


beberapa variabel situasional yang mempunyai pengaruh terhadap peranan
kepemimpinan, kecakapan, dan perilakunya, berikut pelaksanaan kerja dan
kepuasan para pengikutnya. Berbagai variabel situasional diidentifikasikan,
tetapi tidak semua ditarik oleh teori situasional ini. Kemudian sekitar tahun
1967, Fred Fiedler mengusulkan suatu model berdasrkan situasi untuk
efektivitas kepemimpinanaya. Konsep model ini dituangkan dalam bukunya
yang terkenal A Theory of Leadership Effectiveness.
Fiedler mengembangkan suatu teknik yang unik untuk mengukur gaya
kepemimpinan. Pengukuran ini diciptakan dengan memberikan suatu skor yang
dapat menunjukkan Dugaan Kesamaan diantara Keberlawanan (Assumed
Similarity between Opposites, ASO) dan Teman Kerja yang paling sedikit
disukai (Least Preferred Coworker, LPC). ASO memperhitungkan derajat
kesamaan di antara persepsi- persepsi pemimpin mengenai kesenangan yang
paling banyak dan paling sedikit tentang kawan-kawan kerjanya.
Dua pengukuran tersebut ada hubungannya dengan gaya kepemimpinan,
sebagai berikut:
1) Hubungan kemanusiaan dihubungkan pemimpin yang tidak melihat
perbedaan yang besar di antara teman kerja yang paling banyak dan
paling sedikit disukai (ASO) atau memberikan suatu gambaran yang
relatif menyenangkan kepada teman kerja yang paling sedikit disenangi
(LPC).
2) Gaya yang berorientasi tugas dihubungkan dengan pemimpin yang
melihat suatu perbedaan besar di antara teman kerja yang paling banyak
dan paling sedikit disenangi (ASO) dan memberikan suatu gambaran
yang paling sedikit diskusi (LPC).
Dari beberapa pernyataan di atas maka dapat disimpulkan bahwa gaya
kepemimpinan yang dikombinasikan dengan situasi akan mampu menentukan
keberhasilan pelaksanaan kerja.

4. Teori Jalan kecil – Tujuan (Path-Goal Theory)

Dalam teori ini menggunakan kerangka teori motivasi merupakan


pengembangkan yang sehat karena kepemimpinan di satu pihak sangat
berhubungan erat dengan motivasi kerja dan pihak lain berhubungan dengan
kekuasaan. Dalam terori ini memiliki empattipe gaya kepemimpinan :
1) Kepemimpinan direktif

Dalam model ini bawahan tahu dengan pasti apa yang diharapkan darinya dan
pengarahan yang khusus diberikan oleh pemimpin. Dalam model ini tidak ada
partisipasi bawahan.
2) Kepemimpinan yang mendukung

Model ini mempunyai kesediaan untuk menjelaskan sendiri, bersahabat,


mudah didekati, dan mempunyai perhatian kemanusiaan yang murni terhadap
para bawahannya.
3) Kepemimpinan partisipatif

Pada gaya kepemimpinan ini pemimpin berusaha meminta dan menggunakan


saran- saran dari para bawahannya. Namun pengambilan keputusan masih
tetap beradapadanya.

4) Kepemimpinan yang berorientasi pada prestasi

Gaya kepemimpinan ini menetapkan serangkaian tujuan yang menantang para


bawahannya untuk berpartisipasi. Pemimpin juga memberikan keyakinan
kepada para bawahannya bahwa mereka mampu melaksanakan tugas mencapai
tujuan yang secara baik.

1.4 Pemimpin vs Manager

Pimpinan (leader) yang memiliki sifat-sifat kepemimpinan personality atau


authority (berwibawa). Pimpinan dapat memimpin organisasi formal maupun
informal dan menjadi panutan bagi bawahannya. Sedangkan seorang manajer juga
seorang pimpinan yang dalam praktek kepemimpinannya hanya berlandaskan
“kekuasaan atau authority formalnya” saja dan hanya bisa memimpin secara
formal.
Berdasarkan sumber kekuasaan yang diperoleh, seorang pimpinan (leader)
kekuasaan yang dimiliki berdasarkan kontrak sosial dengan anggota atau bawahan.
Sedangkan manajer dipilih melalui jalur formal (dipilih oleh komisaris atau
direktur) dengan dasar yuridis yaitu adanya surat keputusan atau surat
pengangkatan.
Berkaitan dengan bawahan. Pemimpin memiliki bawahan yang biasanya
disebut sebagai pengikut. Bawahan atau pengikut menjalankan perintah dari
pimpinan atas dasar kewibawaan pimpinan terhadap bawahan karena kecapakan
dan kemampuan serta perlakuannya yang baik. Sedangkan manajer memiliki
bawahan yang disebut sebagai staf atau karyawan yang memiliki posisi formal
dan struktur hierarki organisasi. Bawahan atau karyawan menuruti perintah-
perintahnya, karena takut dikenakan hukuman olehmanajer.
Berkaitan dengan segi lingkungan, pimpinan dapat memimpin lingkungan kerja
organisasi secara formal maupun informal dan bertanggungjawab kepada anak
buahnya. Sedangkan manajer hanya dapat memimpin pada lingkungan kerja
organisasi formal saja dan bertanggungjawab kepada atasan.
Maka dari itu pimpinan (leader) memiliki fungsi dasar mengarahkan dan
menggerakan seluruh bawahan untuk bergerak pada arah yang sama yaitu tujuan.
Pimpinan lebih menekankan pengaruh atau karisma yang dimilikinya sehingga
bawahan secara sabar mengikuti arahan sang pimpinan. Pimpinan menstimulasi,
memfasilitasi dan berpartisipasi dalam setiap kegiatan yang menginginkan bawahan
untuk mengikutinya. Sedangkan fungsi manajer berkaitan dengan manajemen
seputar POAC. Dalam menjalankan fungsinya manajer lebih sering
memanfaatkan wewenang dan kekuasaan

jabatan secara struktual yang memiliki kekuatan mengikat dengan dapat melakukan
paksaan atau hukuman untuk mengarahkan bawahan.

1.5 Peran Pemimpin

1. Bersikap adil (Arbitrating) Dalam kehidupan organisasi apapun, rasa


kebersamaan diantara para anggotanya adalah mutlak. Sebab rasa kebersamaan
pada hakikatnya merupakan pencerminan dari kesepakatan antar sesama
bawahan, maupun antar pemimpin dengan bawahan, dalam mencapai tujuan
organisasi.Tetapi dalam hal-hal tertentu mungkin akan terjadi
ketidaksesuaian/timbul persoalan dalm hubungan diantara para bawahan.
Apabila diantara mereka tidak biasa memecahkan persoalan tersebut, pemimpin
perlu turun tangan untuk segera menyelesaikan. Dalam hal ini memecahkan
persoalan hubungan diantara bawahan, pemimpin harus bertindak adil dan tidak
memihak.
2. Memberikan sugesti (Suggesting) Sugesti bisa disebut sarana atau anjuran.
Dalam rangka kepemimpinan, sugesti merupakan kewibawaan atau pengaruh
yang seharusnya mampu menggerakan hati orang lain. Sugesti mempunyai
peranan yang sangat penting dalam memilihara dan membina rasa pengabdian,
partisipasi dan hargadiri, serta rasa kebersamaan diantara para bawahan.
3. Mendukung tercapainya tujuan (Supplying Objectives) Tercapainya tujuan
organisasi tidak terjadi secara otomatis, melainkan harus didukung oleh
berbagaisumber. Oleh sebab itu, agar setiap organisasi dapat efektif dalam
arti mencapai tujuan yang telah ditetapkan, serta pendayagunaan sumberdaya
manusianya secara optimal, perlu disiapkan sumber pendukungnya yang
memadai seperti : mekanisme dan tata kerja, sarana, serta sumber yang lain.
4. Pemimpin Adalah Katalisator (Catalyzing) Secara kimiawi, arti kata
“Katalis” atau “Katalisator” ialah saat yang tidak ikut bereaksi, tetapi
mempercepat reaksi (kimia). Dalam dunia kepemimpinan, seorang pemimpin
dikatakan berperan sebagai seorang katalisator apabila pemimpin tersebut
berperan selalu meningkatkan penggunaan segala sumberdaya manusia yang
ada, berusaha memberikan reaksi yang memberikan semangat dan daya kerja
cepat dan semaksimal mungkin, serta selalu tampil sebagai pelopor dan
pembawa perubahan.
5. Menciptakan rasa aman (Providing Security) Setiap pemimpin berkewajiban
menciptakan rasa aman bagi para bawahannya. Fungsi ini hanya dapat
dilaksanakan apabila setiap pemimpin selalu mampu memilihara hal-hal yang
positif, sikap optimisme dalam menghadapi setiap permasalahan, sehingga
dengan demikian dalam melaksanakan tugas-tugasnya, bawahan merasa aman,
bebas dari segala perasaan gelisah, kekhawatiran, dan merasa memperoleh
jaminan keamanan dari pimpinan.
6. Sebagai wakil organisasi (Representing) Setiap bawahan yang bekerja pada
unit organisasi apapun selalu memandang atasan atau pemimpinnya mempunyai
peranan dalam segala bidang kegiatan, lebih-lebih kepemimpnan yang
menganut prinsip “keteladanan atau panutan”. Seorang pemimpin adalah
segala-segalanya, oleh karenanya segala perilaku, perbuatan dan kata-katanya
akan selalu memberikan kesantertentu terhadap organisasinya.
7. Sumber inspirasi (Inspiring) Seorang pemimpin pada hakekatnya adalah
sumber semangat bagi para bawahannya. Oleh karena itu setiap pemimpin
harus selalu dapat membangkitkan semangat para bawahan, sehingga para
bawahan menerima dan memahami tujuan organisasi secara antusias, dan
bekerja secara efektif kea rah tercapainya tujuan organisasi.
8. Bersikap Menghargai (Praising) Setiap orang pada dasarnya
menghendaki adanya pengakuan dan penghargaan dari orang lain. Demikian
pula setiap bawahan dalam suatu organisasi memerlukan adanya pengakuan dan
penghargaan dari atasannya. Oleh karena itu, menjadi kewjiban pemimpin
harus mau memberikan penghargaan atau pengakuan dalam bentuk apapun
kepada bawahannya.
RPS 2
PERSPEKTIF PERILAKU KEPEMIMPINAN

Tipe Perilaku Kepemimpinan

Berikut ini merupakan tipe-tipe perilaku kepemimpinan:

1. Kepemimpinan Otoriter (Otokratis)

Seorang pemimpin yang mengadopsi gaya otoriter mendikte kebijakan dan


prosedur serta mengarahkan pekerjaan yang dilakukan oleh kelompoknya
tanpa mencari masukan yang berarti dari mereka. Kelompok yang dipimpin
oleh seorang otoriter diharapkan dapat menyelesaikan tugas mereka di
bawah pengawasan ketat. Meskipun kepemimpinan otoriter terdengar
menyesakkan, Tipe ini paling baik diterapkan pada situasi di mana hanya
ada sedikit waktu untuk pengambilan keputusan kelompok, atau ketika
pemimpin memiliki keahlian yang tidak dimiliki anggota kelompok lainnya.
2. Kepemimpinan Demokratis

Pemimpin dalam tipe ini biasanya banyak melibatkan kontribusi bawahan


dalam mengambil keputusan. Tipe kepemimpinan demokratis juga
menawarkan komunikasi aktif antara atasan dan bawahan, dan dalam proses
memimpinnya banyak mendelegasikan wewenangnya kepada bawahan
untuk menyelesaikan beberapa proyek kerja.
3. Kepemimpinan Delegatif (Laissez-Faire)

Para pemimpin yang mempraktikkan gaya kepemimpinan delegatif sangat


lepas tangan. Mereka menawarkan sedikit atau tidak sama sekali bimbingan
kepada kelompok mereka dan menyerahkan pengambilan keputusan kepada
kelompok. Seorang pemimpin delegasi akan memberikan alat dan sumber
daya yang diperlukan untuk menyelesaikan sebuah proyek dan akan
bertanggung jawab atas keputusan dan tindakan kelompok, tetapi kekuasaan
diserahkan kepada kelompok.

4. Kepemimpinan visioner

Kepemimpinan visioner adalah tentang menciptakan visi yang jelas untuk


organisasi dan memastikan semua orang dalam organisasi mengikutinya.
Gaya kepemimpinan visioner Goleman sering disebut sebagai gaya
otoritatif, karena melibatkan panduan yang jelas tentang apa yang perlu
dilakukan.
5. Kepemimpinan Pembinaan

Tipe kepemimpinan ini selalu berusaha mengajari dan mengawasi


anggotanya secara penuh. Pemimpin dengan tipe ini selalu mengatur hasil
yang akan dicapai dan apa saja yang memerlukan perbaikan. Terhadap
kelompoknya, pemimpin senantiasa memberikan pembinaan dengan
meningkatkan keterampilan mereka, dan juga memberikan motivasi untuk
mendorong bawahannya mencapai tujuan perusahaan.
6. Kepemimpinan afiliasi

Tujuan dari kepemimpinan afiliasi adalah membawa keharmonisan ke


tempat kerja dan menciptakan organisasi berdasarkan hubungan yang
sehat. Gaya afiliasi terlibat dengan resolusi konflik dan gaya tersebut
efektif dalam mengatasi perselisihan, mengalihkan fokus kembali pada
tugas.
7. Kepemimpinan Transaksional

Pemimpin tipe ini ibarat seorang pembeli, sedangkan anggotanya adalah


penjual. Pemimpin yang transaksional akan menginstruksikan tugas pada
anggota. “Imbalannya”, ketika tugas-tugas tersebut selesai dilaksanakan.
Tidak ada ikatan emosional yang positif antara pemimpin dengan anggota,
dalam tipe kepemimpinan ini.
8. Kepemimpinan karismatik

Kepemimpinan karismatik memiliki fondasinya dalam karya sosiolog


Jerman Max Weber. Weber menulis dalam bukunya The Protestant Ethic
and the Spirit of Capitalism bahwa kepemimpinan karismatik adalah
"karakteristik kepribadian khusus yang memberi seseorang kekuatan
luar biasa yang mengakibatkan orang tersebut diperlakukan sebagai
pemimpin". Kepemimpinan karismatik pada dasarnya adalah metode
untuk mendorong perilaku tertentu pada orang lain melalui komunikasi
yang fasih, persuasi, dan kekuatan kepribadian.
9. Kepemimpinan Transformasional

Kepemimpinan transformasional berkaitan erta dengan memulai


perubahan baik dalam diri sendiri, orang lain, kelompok maupun
organisasi. Pemimpin yang transformasional mampu memotivasi orang
lain untuk melakukan sesuatu melebihi apa yang diharapkan. Oleh karena
itu kepemimpinan ini selalu memiliki anggota yang berkomitmen dan
merasa puas. Itu karena Sang Pimpinan sangat memberdayakan pengikut
dengan visi-misi yang sama.
10. Commanding leadership

Pendekatan gaya yang mendekati militer terhadap kepemimpinan juga bisa


disebut sebagai gaya paternalistik. Pesan inti dari gaya ini adalah bahwa
pemimpin paling tahu dan peran bawahan adalah untuk mematuhinya.
Meskipun memberikan panduan dan instruksi yang jelas tentang
bagaimana mencapai tujuan organisasi, pemimpin mungkin tampil sebagai
'tahu-segalanya'. Minimnya masukan dari bawahan dan unsur koersif di
belakangnya dapat menyebabkan kurangnya semangat kerja dan
produktivitas yang rendah.
11. Kepemimpinan birokrasi

Gaya kepemimpinan birokrasi pertama kali diciptakan oleh Max Weber.


Dia mengidentifikasi gaya birokrasi sebagai sistem berbasis aturan, di
mana penekanannya pada pencapaian tugas. Gaya ini didasarkan pada
memastikan pengaturan pedoman dan prosedur kerja yang jelas dan
memastikan bawahan mengikuti pedoman ini sedekat mungkin. Ini adalah
gaya yang ditujukan untuk organisasi yang menghadapi peningkatan risiko
keselamatan atau tugas rutin. Tetapi masalah muncul dari kurangnya
fleksibilitas dan inovasi.
12. Servant leadership

Filosofi kepemimpinan di mana tujuan utama seorang pemimpin adalah


untuk mengabdi. Ini berbeda dari kepemimpinan tradisional di mana fokus
utama pemimpin adalah berkembangnya perusahaan atau organisasinya.
RPS 3
PERAN KEPEMIMPINAN DALAM PERUBAHAN ORGANISASI

 Proses Perubahan dalam Organisasi


Upaya untuk menerapkan perubahan dalam suatu organisasi lebih mungkin
berhasil jika: seorang pemimpin memahami alasan mengapa orang menerima atau
menolak perubahan, fase berurutan dalam proses perubahan, berbagai jenis perubahan,
dan pentingnya menggunakan model yang tepat untuk memahami masalah organisasi.
 Alasan Berbeda untuk Menerima Perubahan
Reaksi awal terhadap perubahan yang diusulkan mungkin penerimaan dan ada alasan
berbeda mengapa seseorang mungkin mau menerima perubahan daripada menolaknya.
Kepatuhan terhadap perubahan mungkin terjadi jika orang percaya bahwa itu adalah
pelaksanaan otoritas pemimpin yang sah (kekuasaan yang sah), atau jika mereka takut
akan hukuman karena menolak perubahan (kekuatan koersif). Komitmen adalah hasil
yang lebih mungkin dari inisiatif perubahan ketika orang mempercayai pemimpin
mereka dan percaya bahwa perubahan itu perlu dan kemungkinan akan efektif
(referensi kuat dan kekuatan ahli).
 Bertahan untuk tidak berubah
Resistensi terhadap perubahan adalah fenomena umum bagi individu dan
organisasi. Ada sejumlah alasan berbeda mengapa orang menolak perubahan besar atau
perubahanorganisasi (Connor, 1995), dan mereka tidak eksklusif satu sama lain.

1. Kurangnya kepercayaan. Alasan dasar penolakan terhadap perubahan adalah


ketidakpercayaan terhadap orang-orang yang mengusulkan itu. Ketidakpercayaan
dapat memperbesar efek dari sumber perlawanan lainnya.
2. Keyakinan bahwa perubahan tidak diperlukan. Perlawanan lebih mungkin terjadi jika
cara saat ini untuk melakukan sesuatu telah terbukti berhasil di masa lalu dan tidak
ada bukti yang jelas tentang masalah serius yang memerlukan perubahan besar.
3. Keyakinan bahwa perubahan itu tidak mungkin dilakukan. Bahkan ketika masalah
diakui, perubahan yang diusulkan mungkin ditolak karena tampaknya tidak mungkin
berhasil. Kegagalan program perubahan sebelumnya menciptakan sinisme dan
membuat orang ragu yang berikutnya akan lebih baik.
4. Ancaman ekonomi. Bahkan jika perubahan akan menguntungkan organisasi, itu
mungkin ditentang oleh orang-orang yang akan menderita kehilangan pendapatan
pribadi, tunjangan, atau keamanan kerja. Kekhawatiran terakhir sangat relevan ketika
perubahan melibatkan penggantian orang dengan teknologi atau meningkatkan proses
untuk membuatnya lebih efisien.
5. Biaya relatif tinggi. Bahkan ketika perubahan memiliki manfaat yang jelas bagi
organisasi, itu selalu memerlukan beberapa biaya, yang mungkin lebih tinggi
daripada manfaatnya.
6. Takut akan kegagalan pribadi. Perubahan membuat beberapa keahlian menjadi usang
dan membutuhkan mempelajari cara-cara baru dalam melakukan pekerjaan. Orang
yang kurang percaya diri akan menjadi enggan meninggalkan keahlian yang telah
mereka kuasai untuk sebuah cara baru yang mungkin juga sulit untuk dikuasai.
7. Kehilangan status dan kekuasaan. Perubahan besar dalam organisasi selalu
menghasilkan beberapa pergeseran kekuatan dan status relatif untuk individu dan sub
unit. Strategi baru seringkali membutuhkan keahlian yang tidak dimiliki oleh
sebagian orang yang sedang menikmati status tingginya sebagai pemecah masalah.
8. Ancaman terhadap nilai dan cita-cita. Perubahan yang muncul dengan
ketidakkonsistenan nilai dan cita-cita yang kuat berpeluang besar ditolak.
9. Kebencian terhadap interupsi. Beberapa orang menolak perubahan karena mereka
tidak ingin diatur oleh orang lain bahkan upaya untuk memanipulasi atau
memaksakan perubahan kepada mereka akan menimbulkan kebencian dan
permusuhan.

 Tahapan dalam Proses Perubahan

Teori proses perubahan menggambarkan pola khas peristiwa yang terjadi dari
awal perubahan hingga akhir. Salah satu teori proses paling awal adalah Lewin (1951)
model medan gaya. Dia mengusulkan bahwa proses perubahan dapat dibagi menjadi
tiga fase: unfreezing, change, dan refreezing. Pada fase unfreezing, orang menjadi
sadar bahwa cara lama dalam melakukan sesuatu tidak lagi memadai. Pengakuan ini
mungkin terjadi sebagai akibat dari krisis yang nyata, atau mungkin akibat dari upaya
untuk menggambarkan ancaman atau peluang yang tidak terlihat oleh kebanyakan
orang dalam organisasi. Dalam fase change, orang-orang mencari cara baru dalam
melakukan sesuatu dan memilih pendekatan yang menjanjikan. Dalam fase refreezing,
pendekatan baru diimplementasikan, dan itu menjadi mapan.

Menurut Lewin, perubahan dapat dicapai dengan dua jenis tindakan. Salah satu
pendekatannya adalah meningkatkan kekuatan pendorong menuju perubahan
(misalnya, meningkatkan insentif, penggunaan kekuatan posisi untuk memaksa
perubahan). Pendekatan lainnya adalah dengan mengurangi kekuatan penahan yang
menciptakan penolakan terhadap perubahan (misalnya, mengurangi ketakutan akan
kegagalan atau kerugian ekonomi, mengkooptasi atau singkirkan lawan).
 Tahapan dalam Reaksi terhadap Perubahan
Teori proses lain menjelaskan bagaimana orang-orang dalam organisasi bereaksi
terhadap perubahan dikenakan pada mereka. Pola reaksi memiliki empat tahap:
penyangkalan, kemarahan, berkabung, dan adaptasi. Reaksi awal adalah menyangkal
bahwa perubahan akan diperlukan (“Ini tidak terjadi” atau “Itu hanya kemunduran
sementara”). Tahap selanjutnya adalah marah dan mencari seseorang untuk disalahkan
Pada saat yang sama, orang-orang dengan keras kepala menolak melepaskan cara-cara
sebelumnya. Pada tahap ketiga, orang berhenti menyangkal bahwa perubahan tidak
dapat dihindari, mengetahui apa yang telah hilang, dan meratapinya. Tahap terakhir
adalah menerima kebutuhan untuk melibatkan perubahan sikap dan nilai dengan daya
tarik persuasif, program pelatihan, kegiatan membangun tim, atau program perubahan
budaya. Memahami tahapan ini penting bagi pemimpin perubahan, yang harus belajar
bersabar dan membantu. Banyak orang membutuhkan bantuan untuk mengatasi
penyangkalan, menyalurkan amarahnya secara konstruktif, berduka tanpa menjadi
depresi berat, dan memiliki optimisme untuk berhasil menyesuaikan diri.
 Berbagai Jenis Perubahan Organisasi
Keberhasilan perubahan besar sebagian tergantung pada apa yang diubah.
Banyak upaya untuk memperkenalkan perubahan dalam suatu organisasi menekankan
perubahan baik sikap atau peran tetapi tidak keduanya (Beer, Eisenstat, & Spector,
1990). Pendekatan yang berpusat pada sikap melibatkan perubahan sikap dan nilai-nilai
dengan daya tarik persuasif, program pelatihan, kegiatan membangun tim, atau
program perubahan budaya. Selain itu, keterampilan teknis atau antar pribadi dapat
ditingkatkan dengan program pelatihan.
 Menerapkan Perubahan
Sarjana organisasi telah tertarik untuk menentukan bagaimana
pendekatannyadigunakan untuk melaksanakan perubahan mempengaruhi keberhasilan
usaha. Sangat mungkin bahwa keberhasilan Upaya untuk mengubah organisasi
sebagian bergantung pada kapan, di mana, dan bagaimana berbagai aspek perubahan
diimplementasikan, dan siapayang berpartisipasi dalam proses tersebut.
 Aplikasi: Pedoman untuk Memimpin Perubahan
Implementasi perubahan yang berhasil dalam organisasi membutuhkan berbagai
perilaku kepemimpinan. Beberapa perilaku melibatkan aspek politik dan administrasi,
dan lainnya melibatkan memotivasi, mendukung, dan membimbing orang. Bahkan
orang-orang yang awalnya mendukung perubahan akan membutuhkan dukungan dan
bantuan untuk mempertahankan antusiasme mereka dan optimisme ketika kesulitan
dan kemunduran yang tak terhindarkan terjadi. Perubahan besar selalu menimbulkan
stres dan menyakitkan bagi orang-orang, terutama ketika melibatkan masa transisi yang
berkepanjangan dari penyesuaian, gangguan, dan dislokasi. Pedoman berikut
menjelaskan arus memikirkan cara terbaik untuk menerapkan perubahan besar dalam
suatu organisasi .

 Ciptakan rasa urgensi tentang perlunya perubahan.

Ketika perubahan lingkungan terjadi secara bertahap dan tidak ada krisis yang
jelas terjadi, banyak orang gagal mengenali ancaman (atau peluang) yang muncul.
Peran penting pemimpin adalah untuk membujuk orang-orang penting lainnya
dalam organisasi bahwa perlu adanya perubahan besar daripada penyesuaian
tambahan.

 Komunikasikan visi yang jelas tentang manfaat yang akan diperoleh dari perubahan.

Ketika perlu untuk membuat perubahan besar dalam suatu organisasi, visi
tentang apa perubahan yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan dan nilai
bersama sangat membantu dalam memperoleh komitmen untuk perubahan.

 Identifikasi orang-orang yang dukungannya sangat penting dan kemungkinan adanya


penolakan.

Untuk mengevaluasi kelayakan berbagai strategi untuk mencapai perubahan


besar dalam organisasi, seorang pemimpin harus memahami proses politik, distribusi
kekuasaan, dan identitas orang-orang yang dukungannya diperlukan untuk membuat
perubahan itu terjadi. Sebelum memulai upaya perubahan besar, penting untuk
mengidentifikasi pendukung yang mungkin dan lawan. Waktu harus disisihkan
untuk mengeksplorasi setiap pertanyaan berikut. Orang-orang kunci mana yang akan
menentukan apakah suatu proposal akan berhasil diimplementasikan? Siapa yang
kemungkinan akan mendukung proposal tersebut? Seberapa besar kemungkinan
resistensi dan dari yang? Apa yang diperlukan untuk mengatasi resistensi?
Bagaimana mungkin skeptis? diubah menjadi pendukung? Berapa lama waktu yang
dibutuhkan untuk mendapatkan persetujuan dari semua kunci? Para Pihak?
 Membangun koalisi yang luas untuk mendukung perubahan.

Tugas membujuk orang untuk mendukung perubahan besar tidaklah mudah,


dan juga pekerjaan besar yang harus dilakukan seorang pemimpin sendirian.
Perubahan yang berhasil dalam sebuah organisasi membutuhkan upaya kooperatif
oleh orang-orang yang memiliki kekuatan untuk memfasilitasi atau menghalangi
mengubah. Sangat penting untuk membangun koalisi pendukung, baik di dalam
maupun di luar organisasi. Koalisi yang mendukung mungkin bahkan lebih penting
dalam organisasi pluralistik yang memiliki kepemimpinan kolektif (misalnya, rumah
sakit, universitas, asosiasi profesional) daripada di organisasi bisnis hierarkis di mana
tim manajemen puncak mungkin memiliki kekuatan yang cukup untuk mengotorisasi
perubahan besar.

 Memberdayakan orang-orang yang kompeten untuk membantu merencanakan dan


mengimplementasikan perubahan.

Perubahan besar cenderung tidak berhasil jika manajemen puncak mencoba


mendikte merinci bagaimana hal itu akan diterapkan di setiap bagian organisasi.
Kapan pun memungkinkan, wewenang untuk membuat keputusan dan menangani
masalah harus didelegasikan kepada individu atau tim yang bertanggung jawab untuk
mengimplementasikan perubahan. Pendukung yang kompeten adalah kuncinya posisi
harus diberdayakan untuk menentukan cara terbaik untuk menerapkan strategi baru
atau mendukung program baru, daripada memberi tahu mereka secara rinci apa yang
harus dilakukan. Memberdayakan orang juga berarti mengurangi kendala birokrasi
yang akan menghambat upaya mereka dan menyediakan sumber daya yang
diperlukan bagi mereka untuk mengimplementasikan perubahan dengan sukses.
RPS 4
PEMBERDAYAAN DALAM KEPEMIMPINAN

 Kepemimpinan Partisipatif

Membuat keputusan adalah salah satu fungsi terpenting yang dilakukan oleh
pemimpin. Banyak aktivitas manajer dan administrator melibatkan pengambilan dan
implementasi keputusan. Kepemimpinan partisipatif melibatkan upaya seorang pemimpin
untuk meminta bantuan orang lain dalam membuat keputusan penting. Masyarakat
demokratis menjunjung hak orang untuk mempengaruhi keputusan yang akan
mempengaruhi mereka dengan cara-cara penting. Melibatkan orang lain dalam
pengambilan keputusan sering kali merupakan bagian penting dari proses politik untuk
mendapatkan keputusan yang disetujui dan diterapkan dalam organisasi. Delegasi adalah
jenis proses pembagian kekuasaan yang berbeda yang terjadi ketika bawahan diberi
tanggung jawab dan wewenang untuk membuat beberapa jenis keputusan yang
sebelumnya dibuat oleh seorang manajer.

Pemberdayaan melibatkan persepsi oleh anggota organisasi bahwa mereka memiliki


kesempatan untuk menentukan peran pekerjaan mereka, menyelesaikan pekerjaan yang
bermakna, dan mempengaruhi peristiwa penting. Kepemimpinan partisipatif,
pendelegasian, dan pemberdayaan adalah subjek yang menjembatani pendekatan
kekuasaan dan perilaku untuk kepemimpinan. Penelitian tentang kepemimpinan partisipatif
dan delegasi menekankan perspektif pemimpin tentang pembagian kekuasaan. Penelitian
tentang pemberdayaan menekankan pada perspektif pengikut. Secara keseluruhan, dua
perspektif berbeda memberikan pemahaman yang lebih baik tentang kepemimpinan yang
efektif dalam organisasi.

 Sifat Kepemimpinan Partisipatif


Kepemimpinan partisipatif melibatkan penggunaan berbagai prosedur keputusan
yang memungkinkan orang lain mempengaruhi keputusan pemimpin. Istilah lain yang
biasa digunakan untuk merujuk pada aspek kepemimpinan partisipatif termasuk
konsultasi, pengambilan keputusan bersama, pembagian kekuasaan, desentralisasi,
pemberdayaan, dan manajemen demokratis. Kepemimpinan partisipatif dapat
mengambil banyak bentuk dan mencakup beberapa prosedur keputusan khusus.
Meskipun pada dasarnya merupakan perilaku yang berorientasi pada hubungan,
kepemimpinan partisipatif juga memiliki implikasi untuk mencapai tujuan tugas dan
melaksanakan perubahan.
 Prosedur Pengambilan Keputusan
Kepemimpinan partisipatif dapat mengambil berbagai bentuk. prosedur
pengamnbilan keputusan dapat digunakanan dengan mengikutsertakan orang lain
dalam pengambilan keputusan. Sejumlah ahli teori kepemimpinan telah mengajukan
berbagai macam taksnomi mengenai prosedur pengambilan kepututsan, dan hingga kini
tidak ada kesepakatan mengenai jumlah prosedur pengambilan keputusan yang optimal
atau cara terbaik untuk mengidentifikasinya (Heller & Yulk, 1969, Strauss, 1977;
Tennenbaum & Schmidt, 1958, Vroom & Yetton, 1973). Namun demikian,
kebanyakan ahli teori tersebut ingin mengakui empat buah prosedur pengambilan
keputusan berikut.
1. Autocratic Decision. Manajer membuat keputusan sendiri tanpa meminta
pendapat atau saran dari orang lain, dan orang-orang ini tidak memiliki
pengaruh langsung terhadap keputusan tersebut;tidak ada partisipasi.
2. Consultation. Manajer meminta pendapat dan gagasan orang lain dan
kemudian membuat keputusan sendiri setelah secara serius
mempertimbangkan saran dan kekhawatiran mereka.
3. Joint Decision. Manajer bertemu dengan orang lain untuk membahas
masalah keputusan dan membuat keputusan bersama; manajer tidak
memiliki pengaruh lebih atas keputusan akhir daripada peserta lainnya.

4. Delegation. Manajer memberikan wewenang dan tanggung jawab kepada


individu atau kelompok untuk membuat keputusan; manajer biasanya
menentukan batasan di mana pilihan akhir harus jatuh, dan persetujuan
sebelumnya mungkin atau mungkin tidak diperlukan sebelum keputusan
dapat diimplementasikan.

 Manfaat Potensial Kepemimpinan Partisipatif


Kepemimpinan partisipatif menawarkan berbagai potensi manfaat, tetapi apakah
manfaat yang dicapai tergantung pada siapa pesertanya, seberapa besar pengaruh yang
mereka miliki, dan aspek lain dari situasi pengambilan keputusan. Empat manfaat
potensial termasuk kualitas keputusan yang lebih tinggi, penerimaan keputusan yang
lebih tinggi oleh peserta, lebih banyak kepuasan dengan proses keputusan, dan lebih
banyak pengembangan keterampilan pengambilan keputusan. Beberapa penjelasan
telah diajukan untuk efek positif dari partisipasi (Anthony, 1978; Cooper & Wood,
1974; Likert, 1967; Maier, 1963; Mitchell, 1973; Strauss, 1963; Vroom & Yetton,
1973).

1. Decision Quality. Melibatkan orang lain dalam pengambilan keputusan


kemungkinan akan meningkatkan kualitas keputusan ketika peserta
memiliki informasi dan pengetahuan yang kurang dari pemimpin dan
bersedia bekerja sama dalam mencari solusi yang baik untuk masalah
keputusan. Kerja sama dan berbagi pengetahuan akan bergantung pada
sejauh mana peserta mempercayai pemimpin dan memandang proses
sebagai sah dan bermanfaat. Jika peserta dan pemimpin memiliki tujuan
yang tidak sesuai, kerjasama tidak mungkin terjadi.

2. Decision Acceptance. Orang yang memiliki pengaruh besar dalam


membuat keputusan cenderung mengidentifikasikannya dan
menganggapnya sebagai keputusan mereka. Rasa memiliki ini
meningkatkan motivasi mereka untuk mengimplementasikannya dengan
sukses. Partisipasi juga memberikan pemahaman yang lebih baik tentang
sifat masalah keputusan dan alasan mengapa alternatif tertentu diterima
dan alternatif lain ditolak
3. Satisfaction with the Decision Process. Penelitian tentang keadilan
prosedural (misalnya, Earley & Lind, 1987; Lind & Tyler, 1988)
menemukan bahwa kesempatan untuk mengungkapkan pendapat dan
preferensi sebelum keputusan dibuat (disebut "suara") dapat memiliki efek
menguntungkan terlepas dari jumlah pengaruh yang sebenarnya peserta
memiliki keputusan akhir (disebut "pilihan"). Orang-orang lebih cenderung
merasa bahwa mereka diperlakukan dengan bermartabat dan hormat ketika
mereka memiliki kesempatan untuk mengungkapkan pendapat dan
preferensi tentang keputusan yang akan memengaruhi mereka.
4. Development of Participant Skills. Pengalaman membantu membuat
keputusan yang kompleks dapat menghasilkan pengembangan lebih banyak
keterampilan dan kepercayaan diri peserta. Apakah manfaat potensial dapat
direalisasikan tergantung pada seberapa banyak keterlibatan yang
sebenarnya dimiliki para peserta dalam proses mendiagnosis penyebab
masalah, menghasilkan solusi yang layak, mengevaluasi solusi untuk
mengidentifikasi yang terbaik, dan merencanakan bagaimana
menerapkannya. Peserta yang dilibatkan dalam semua aspek proses
keputusan belajar lebih banyak daripada peserta yang hanya berkontribusi
pada satu aspek.

3.2 Delegasi dan Pedoman PendelegasianDelegasi


Delegasi adalah kemampuan seorang pemimpin memberikan wewenang dan
tanggung jawab atas kegiatan khusus kepada seseorang atau kelompok sehingga
kinerjanya sama dengan yang lainnya, secara sederhananya dapat berarti memecah proyek
pekerjaan besar menjadi bagian-bagian yang lebih kecil dan membaginya di antara
berbagai individu. Pemimpin bertindak sebagai pengawas sementara bawahan juga
mendapatkan beberapa otoritas. Pendelegasian adalah proses khusus yang terjadi sewaktu
manajer meminta salah satu atau beberapa orang bawahan untuk mengambil alih tanggung
jawab dalam membuat keputusan yang sebelumnya dibuat oleh manajer tersebut. Delegasi
menyangkut penugasan tanggung jawab baru kepada bawahan dan otoritas tambahan untuk
melaksanakannya. Namun delegasi juga sering dianggap sebagai bentuk kepemimpinan
yang pastisipatif, terdapat cukup banyak alasan untuk memperlakukannya sebagai kategori
perilaku manajerial tersendiri. Delegasi dalam beberapa hal secara kualitatif berbeda dari
bentuk lain kepemimpinan partisipatif, seperti konsultasi dan pembuatan keputusan
bersama.

 Keragaman Delegasi

Istilah delegasi umumnya digunakan untuk menjelaskan berbagai bentuk dan


tingkatan berbeda mengenai pembagian kekuasaan dengan tiap- tiap bawahan.
Aspek utama pendelegasian mencakup keragaman dan besarnya tanggung jawab,
besarnya tanggung jawab atau rentang pilihan yang diperkenankan dalam
memutuskan bagaimana melaksanakan tanggung jawab, otoritas untuk mengambil
tindakan dan melaksankan keputusan tanpa persetujuan terlebih dahulu, frekuensi
dan sifat persyaratan pelaporan, serta arus informasi tentang kinerja. Dalam bentuk
paling umum, pendelegasian menyangkut pemberian tugas atau tanggung jawab
yang baru dan berbeda kepada bawahan. Misalnya, seseorang yang bertanggung
jawab memproduksi sesuatu juga diberi tanggung jawab memeriksa hasil produksi
tersebut dan melakukan perbaikan terhadap kesalahan apapun yang ditemukannya,
bila diberikan tugas yang baru, maka kewenangan tambahan yang diperlukan untuk
menyelesaikan tugas tersebut biasanya didelegasi juga.
Terkadang, pendelegasian hanya mencakup spesifikasi wewenang dan
tanggung jawab tambahan untuk pekerjaan dan penugasan yang sama serta telah
dilakukan oleh bawahan tersebut. Misalnya, penjualan diizinkan melakukan
negosiasi penjualan dalam kisaran harga, kuantitas dan waktu pengiriman tertentu,
namum ia tidak dapat melewati batas tersebut tanpa persetujuan terlebih dahulu dari
manajer bagian penjualan. Pendelegasian ditingkatkan dengan memberikan
kebebasan kepada penjualan tersebut untuk menerapkan harga dan waktu
pengiriman. Sejauh mana bawahanharus meminta izin terlebih dahulu dari atasannya
sebelum bertindak ini merupakan aspek lain dari pendelegasian. Tingkat paling
rendah dari pendelegasian adalah bila seseorang harus meminta kepada atasannya
apa yang harus dilakukannya. Tingkat pendelegasian lebih besar ketika seorang
bawahan diizinkan untuk menentukan apa yang harus dilakukan. Namun harus
mendapatkan persetujuan terlebih dahulu sebelum melaksanakan keputusan tersebut.
Pendelegasian yang paling banyak terjadi ketika bawahan tersebut diizinkan untuk
membuat keputusan dan melaksanakannya tanpa mendapatkan persetujuan terlebih
dahulu.

 Pedoman Pendelegasian

Pendelegasian tidak akan pernah mutlak karena manajer selalu bertanggung


jawab atas kinerja bawahannya. Untuk menghindari risiko kesalahan, seorang
manajer dapat mendelegasikan tugas-tugas yang sensitif hanya kepada beberapa
orang bawahan yang tidak percaya atau tidak sama sekali.Kurangnya pendelegasian
merupakan sebuah masalah pada para manajer yang merasa tidak mantap atau yang
merupakan seorang perfeksionis. Beberapa pedoman tentang apa tugas yang harus
didelegasi sebagai berikut :
1. Delegasikan tugas apa yang harus dilakukan oleh bawahan

2. Delegasi tugas yang mendesak tetapi bukan yang mempunyai


prioritas tinggi
3. Delegasikan tugas yang relevan bagi karyawan

4. Delegasikan tugas dengan kesulitan yang sesuai

5. Delegasikan tugas yang menyenangkan maupun yang tidak


menyenangkan
RPS 5
CIRI (TRAIT) DAN KETERAMPILAN PEMIMPIN

Kepribadian Kepemimpinan Efektif

Kepemimpinan efektif dapat diartikan seorang pemimpin itu mampu mengerjakan


tugas secara baik dan efisien terkait tugas-tugasnya dengan cara mampu mengarahkan dan
mengajak dan memberi intruksi sehingga para bawahannya mampu menurut dan mengikuti
intrusi serta tercapainya hasil kerja yang sesuai dengan tujuan organisasi.Adapun aspek
kepribadian yang tercermin dari kepemimpinan yang efektif yaitu:

1. Tingkat Energi dan Toleransi Stress .


Pekerjaan manajerial sering kali memiliki tingkat stres yang tinggi karena
tekanan untuk membuat keputusan penting tanpa informasi yang memadai dan kebutuhan
untuk menyelesaikan konflik peran dan memenuhi tuntutan yang tidak sesuai yang dibuat
oleh berbagai pihak. Toleransi terhadap stres sangat penting bagi para eksekutif yang harus
menghadapi situasi buruk di mana reputasi dan karier pemimpin, atau kehidupan dan
pekerjaan bawahan, mungkin tergantung pada keseimbangan. Penelitian sifat menemukan
bahwa tingkat energi, stamina fisik, dan toleransi stres berhubungan dengan efektivitas
manajerial.
Tingkat energi yang tinggi dan toleransi stres membantu para manajer
mengatasi kesibukan, jam kerja yang panjang, dan tuntutan yang tak henti-hentinya dari
sebagian besar pekerjaan manajerial. Vitalitas fisik dan ketahanan emosional membuatnya
lebih mudah untuk mengatasi situasi interpersonal yang membuat stres, seperti bos yang
menghukum, bawahan yang bermasalah, rekan yang tidak kooperatif, atau klien yang
bermusuhan. Pemecahan masalah yang efektif membutuhkan kemampuan untuk tetap
tenang dan tetap fokus pada masalah daripada panik, menyangkal masalah itu ada, atau
mencoba mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain. Selain membuat keputusan yang
lebih baik, seorang pemimpin dengan toleransi stres tinggi dan ketenangan lebih
cenderung untuk tetap tenang dan memberikan kepercayaan diri

2. Percaya diri
Hubungan kepercayaan diri sangat mempengaruhi keefektifan perilaku
seorang pemimpin dengan memeriksa bagaimana sifat ini dapat mempengaruhi perilaku
seorang pemimpin.Pemimpin yang tidak memiliki kepercayaan diri yang kuat maka
pemimpin terseut kecil kemungkinan untuk mempengaruhi seseorang bawahannya, dan
jika usaha mempengaruhi dilakukan, kecil kemungkinannya untuk berhasil karena seorng
pemimpin tersebut tidak yakin terhadap dirinya bagaimana dengan orng lain. Pemimpin
dengan kepercayaan diri tinggi lebih cenderung mencoba tugas-tugas sulit dan menetapkan
tujuan yang menantang untuk diri mereka sendiri. Pemimpin yang percaya diri mengambil
lebih banyak inisiatif untuk memecahkan masalah dan memperkenalkan perubahan yang
diinginkan .Pemimpin yang memiliki ekspektasi tinggi terhadap dirinya sendiri cenderung
memiliki ekspektasi yang tinggi terhadap bawahannya juga .Para pemimpin ini lebih gigih
dalam mengejar tujuan yang sulit, meskipun ada masalah dan kemunduran awal.
Optimisme dan kegigihan mereka dalam menyelesaikan tugas atau misi cenderung
meningkatkan komitmen bawahan, rekan kerja, dan atasan untuk mendukung upaya
tersebut.
Dampak positif dan negative dari kepercayaan diri , Kepercayaan diri yang
berlebihan dapat membuat seorang pemimpin terlalu optimis tentang kemungkinan
keberhasilan usaha yang berisiko, dan itu dapat mengakibatkan keputusan yang terburu-
buru dan penolakan bukti bahwa suatu rencana cacat. Seorang manajer dengan
kepercayaan diri yang sangat tinggi cenderung menjadi sombong, otokratis, dan tidak
toleran terhadap sudut pandang yang berbeda pendapat, terutama jika manajer tersebut
tidak dewasa secara emosional. Karena manajer tidak responsif terhadap ide dan
kekhawatiran yang diungkapkan oleh orang lain, manfaat kepemimpinan partisipatif tidak
mungkin terwujud. Jadi, dalam situasi di mana pemimpin tidak memiliki keahlian yang
jauh lebih unggul daripada bawahan sedangkan dampak positifnya seorng pemimpin bisa
menggerakan bawahanya karena bawahan yakin terhadapa pemimpinnya dan pemimpin
yakin terhadap dirinya
3. Lokus Kontrol Internal
Ciri lain yang tampaknya relevan dengan efektivitas manajerial disebut lokus
orientasi kontrol, yang diukur dengan skala kepribadian yang dikembangkan oleh. Orang
dengan orientasi lokus kontrol internal yang kuat (disebut "internal") percaya bahwa
peristiwa dalam hidup lebih ditentukan oleh tindakan mereka sendiri daripada oleh
kebetulan atau kekuatan yang tidak terkendali. Karena kepemimpinan yang efektif
melakukan lokus control internal dengan cara mengambil lebih banyak tanggung jawab
atas tindakan mereka sendiri dan untuk kinerja organisasi mereka. Orang internal memiliki
perspektif yang lebih berorientasi masa depan, dan lebih cenderung secara proaktif
merencanakan cara mencapai tujuan
4. Stabilitas Emosional dan Kekuasaan
Syarat kematangan emosional dapat didefinisikan secara luas untuk mencakup
beberapa motif, sifat, dan nilai yang saling terkait. Seseorang yang mengalami
ketidakmatangan emosi dapat menyesuaikan diri dengan baik dan tidak menderita
gangguan psikologis yang parah. Orang yang dewasa secara emosional memiliki lebih
banyak kesadaran diri Akibatnya, pemimpin dengan kematangan emosi yang tinggi lebih
memelihara hubungan kooperatif dengan bawahan, rekan kerja, dan atasan.

5. Motivasi Kekuatan
Kebutuhan yang kuat akan kekuasaan relevan dengan persyaratan peran
manajerial yang melibatkan penggunaan kekuasaan dan pengaruh. Pemimpin dalam
organisasi besar harus menggunakan kekuasaan untuk mempengaruhi bawahan, rekan
kerja, dan atasan. Orang-orang yang kurang membutuhkan kekuasaan biasanya tidak
memiliki keinginan dan ketegasan yang diperlukan untuk mengatur dan mengarahkan
kegiatan kelompok, untuk menegosiasikan kesepakatan yang menguntungkan, untuk
melobi sumber daya yang diperlukan, untuk mengadvokasi dan mempromosikan
perubahan yang diinginkan, dan untuk memaksakan disiplin yang diperlukan.Pemimpin
yang dikatakn evektif mampu memberi semangat kerja dan mempengaruhi seseorng
bawahan dengan memberi motivasi dan semangat kerja.

6. Integritas Pribadi
Integritas adalah penentu utama kepercayaan antarpribadi, berarti bahwa
perilaku seseorang konsisten dengan nilai-nilai yang dianut, dan orang tersebut jujur, etis,
dan dapat dipercaya. Salah satu indikator penting dari integritas adalah sejauh mana
seseorang kejujuran,sehingga pemimpin yang menjujunjung tinggi kejujuran akan
mempengaruhi presepsi bawahannya bahwa pemimpin tersebut dapat dipercaya.

7. Narsisme
Narsisme adalah sindrom kepribadian yang mencakup beberapa ciri yang
relevan dengan kepemimpinan yang efektif, seperti kebutuhan yang kuat untuk harga diri
(misalnya, prestise, status, perhatian, kekaguman, sanjungan), kebutuhan pribadi yang kuat
akan kekuasaan, kematangan emosi yang rendah, dan rendah integritas. Sindrom
kepribadian ini dapat diukur dengan skala laporan diri yang disebut Narcissistic
Personality Inventory. Keyakinan diri yang kuat dan optimisme pemimpin narsistik
memfasilitasi upaya mereka untuk mempengaruhi orang lain untuk mengejar tujuan yang
berani dan inovatif, yang mungkin terbukti atau mungkin tidak layak dan berharga.
Terlepas dari motif yang dipertanyakan untuk mengusulkan inisiatif baru yang berisiko,
orang narsistik terkadang berhasil memimpin tanggapan organisasi terhadap ancaman
serius atau peluang yang tidak biasa.

8. Berorintasi pada pencapaian


Pemimpin dengan orientasi pencapaian yang kuat cenderung memiliki
perhatian yang kuat terhadap tujuan tugas dengan lebih bersedia memikul tanggung jawab
untuk memecahkan masalah terkait tugas lebih cenderung mengambil inisiatif untuk
menemukan masalah ini dan bertindak tegas untuk menyelesaikannya; dan lebih memilih
solusi yang melibatkan tingkat risiko sedang daripada solusi yang sangat berisiko atau
sangat konservatif. Pemimpin ini cenderung terlibat dalam perilaku tugas seperti
menetapkan tujuan dan tenggat waktu yang menantang tetapi realistis, mengembangkan
rencana tindakan khusus, menentukan cara untuk mengatasi hambatan, mengatur
pekerjaan secara efisien, dan menekankan kinerja ketika berbicara dengan orang lain

9. Kebutuhan Afiliasi
Orang dengan yang kuat kebutuhan afiliasi menerima kepuasan yang besar
karena disukai dan diterima oleh orang lain, dan mereka menikmati bekerja dengan orang-
orang yang ramah dan kooperatif.Maka pemimpin cendrung menghindari hal-hal yang
negative yang mampu membuat citra pemimpin tersebut tercoreng

Keterampilan Kepemimpinan Yang Efektif


Kepemimpinan adalah sesuatu yang sangat multitafsir, karena cara pandang setiap orang
terhadap kepemimpinan seseorang sangat dipengaruhi latar belakang dari setiap sudut
pandangnya, misalnya melihat dari unsur subyek, gaya, perilaku, hasil, dampak dan lain-lain.
Namun hal terpenting perlu kita pahami bahwa seorang pemimpin dalam kepemimpinannya
adalah bagaimana yang bersangkutan memiliki kemampuan membangun hubungan antar
manusia yang merupakan inti menumbuh kembangkan semangat motivasi, inonvasi,
kreatiftias,inspirasi, dinamisasi ,saling menghargai, support dan bertanggungjawab.
Dalam menjalankan kepemimpinan seorang pemimpin yang menjadi ukuran adalah
keputusannya, apakah memegang prinsip-prinsip profesionalitas dan proporsinalitas Karena
kepemimpinan yang efektif salah satunya adalah “keputusan yang diambilnya” dilksanakan
atau tidak oleh bawahannya dan memilki komitmen yang kuat tidak dari keputusan yang
diambilnya, sudah barang tentu dalam pengambilan keputusan sangat dipengaruhi berbagai
faktor antara lain :
a. Knowledge (Pengetahuan) : Persyaratan paling penting untuk membuat
keputusan yang baik. Kesehatan keputusan tergantung pada seberapa
informasi pembuat keputusan itu
b. Skill (keterampilan) : Bagaimana seorang pemimpin di dalam mengelola
berbagai opsi yang ada, sehingga nantinya bisa menghasilkan keputusan
yang tepat/ membuat pilihan yang terbaik
c. Attitude (Sikap) : Seorang pemimpin haruslah memiliki sikap yang tenang
dan tidak gegabah di dalam mengambil sebuah keputusan dan harus selalu
mempertimbangkan segala resiko yang ada.
d. Motivation serta Experience (pengalaman terhadap keputusan yang pernah
diambil) : mengingat setiap keputusan yang pernah diambil, dan
mempertimbangkan mana keputusan yang terbaik, tidak mengambil
keputusan yang salah untuk kedua kali nya.

Namun juga suatu hal yang tidak boleh diabaikan bahwa dalam sebuah kepemimpinan
juga tidak terlepas “BAKAT” seseorang yang dimiliki dalam kepemimpinan yang efektif.
Bakat (atitude) pada umumnya di artikan sebagai, kemampuan bawaan, sebagai potensi yang
masih perlu dikembangkan dan dilatih agar dapat terwujud untuk melakukan suatu tindakan
sebagai hasil dari suatu pembawaan dan latihan. Setiap orangmempunyai bakat yang berbeda-
beda, baik dalam jenis maupun dalam derajat atau tingkat kepemilikan suatu bakat. Kenyataan
ini kiranya tidak merupakan sesuatu yang asing bagi kebanyakan orang, bahkan termasuk
orang tua dan lingkungan masing-masing, karena setiap orang berbeda, tidak hanya dalam
penampilan tetapi juga dalam bakat, kemampuan dan minat. Semua hal ini mempunyai
dampak terhadap kepemimpinan dan prestasi yang dicapai, sudah barang tentu dengan tanpa
mengabaikan faktor penting lainnya yaitu tentang budaya dan kebudayaan. Karena
keberhasilan pemimpin diantaranya diukur dan tercermin dari tingkat rata-rat keberhasilan
bawahannya, dan itupun dipengaruhi juga oleh budaya kerja organisasi disamping
kepemimpinan.
Dalam kenyataannya bahwa seorang pemimpin seringkali dihadapkan pada kondisi
harus memilih terutama dalam saat pengambilan keputusan yang seringkali dilematis, karena
dipengaruhi beberapa hal seperti: emosi, canggung, tenggang rasa, ragu-ragu,
kedekatan,orang berpengaruh dll yang sudah barang tentu sangat berpengaruh pada gaya
kepemimpinannya termasuk pengambilan kepusan yang dibuat. Padahal sesungguhnya
seorang pemimpin dikatakan efektif atau tidak diantaranya adalah apakah keputusannya
diikuti/dipatuhi apa tidak oleh anggota organisasi yang dipimpinnya. Bahwa disadari atau
tidak dalam sebuah kepemimpinan ternyata juga sangat dipengaruhi oleh bakat yang dimiliki
yang bersangkutan, ini juga bisa nampak bagaimana seseorang itu memilki gaya
kepemimpinan atau seni memimpinnya. Beberapa hal yang perlu untuk mematangkan bakat
kepemimpinan diantaranya pemimpin agar memiliki kemampuan atau keterampilan untuk
mempengaruhi atau menggerakkanperilaku orang lain untuk bekerja secara efektif dan efisien,
melalui :
1. Kompetensi teknis, bersifat keterampilan dan kemampuan khusus/tehnis yang harus
dimiliki sesuai bidang pengelolaanya.
2. Kompetensi manajerial, bersifat mulai dari perencanaan, pengorganisasian,
Penggerakan dan pengawasan, pengendalian dan kemampuan mengevaluasi serta
tindak lanjut.
3. Kompetensi sosial, kemampuan untuk berintekrasi dengan orang lain (membangun
hubungan antar manusia sebagai hakekat manajemen dan kepemimpinan)
4. Kompetensi strategi, kemampuan memprediksi untuk melihat jauh kedepan dan
merumuskan.Masalah dan strategi penyelesaian masalahnya
5. Kompetensi Etika, merupakan bagian yang sangat penting diera sekarang ini dalam
melaksanakan tugas dan tanggung jawab.
6. Kompetensi memotivasi diri, hal ini menjadi pengaruh yang sangat besar dalam
kehidupan berorganisasi, karena memilki pengaruh terhadap gaya kepemimpinan.
RPS 6

KEKUASAAN DAN PENGARUH DALAM KEPEMIMPINAN

Kekuasaan dan Pengaruh

Kekuasaan adalah kewenangan yang didapatkan oleh seseorang atau kelompok guna
menjalankan kewenangan tersebut sesuai dengan kewenangan yang diberikan, kewenangan
tidak boleh dijalankan melebihi kewenangan yang diperoleh atau kemampuan seseorang atau
kelompok untuk memengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan
dari pelaku (Miriam Budiardjo,2002). Hubungan Kekuasaan dan Kepemimpinan dapat di
ibaratkan seperti gula dengan manisnya tak terpisahkan atau bisa juga di ibaratkan seperti gula
dan semut dimana ada gula disitu ada semut. Seorang pemimpin yang efektif merupakan
pemimpin yang dapat mengelola kekuasaannya, sehingga pemimpin dapat menggunakan
kekuasaannya dengan benar untuk meningkatkan kinerja para bawahannya. Jika kepemimpinan
tanpa kekuasaan tidak ada artinya dan tidak dan hal tersebut menyebabkan tidak dapat untuk
mengambil keputusan karena pemimpin yang tidak mempunyai kekuasaan. Jika sebaliknya,
kepemimpinan dengan kekuasaan organisasi akan berjalan dengan efektif.
Banyak atau hampir semua orang membutuhkan kekuasaan. Karena dengan
kekuasaan seseorang dapat mengatur kepatuhan orang lain serta memberikan perintah atas
kemauannya. Serta dengan kekuasaaan dapat memberikan perubahan dan menciptakan
perubahan yang akan mewujudkan visi dan misi yang telah dibuat. Menjadi pemimpin yang
berhasil tidak hanya dengan menggunakan aspek yang semata-mata saja melainkan
keberhasilan tersebut berasal dari perpaduan antara sikap, sifat, serta kekuasaan dan
pengaruh yang dapat saling menentukan sesuai dengan situasi yang mendukungnya. Karena
kekuasaan dan pengaruh dapat menjadi energi pendorong atau daya dorong seorang
pemimpin untuk mempengaruhi, menggerakkan, dan mengubah perilaku para bawahannya
untuk meningkatkan kinerja serta pencapaian tujuan organisasi tersebut.

 Wewenang

Otoritas melibatkan hak, hak prerogatif, kewajiban, dan tugas yang terkait dengan
posisi tertentu dalam suatu organisasi atau sistem sosial. Wewenang seorang pemimpin
biasanya mencakup hak untuk membuat jenis keputusan tertentu untuk organisasi. Seorang
pemimpin dengan otoritas langsung atas orang target memiliki hak untuk membuat
permintaan sesuai dengan otoritas ini, dan orang target memiliki kewajiban untuk
mematuhinya. Misalnya, seorang manajer biasanya memiliki hak yang sah untuk
menetapkan aturan kerja dan memberikan penugasan kerja kepada bawahan. Otoritas juga
melibatkan hak agen untuk melakukan kontrol atas hal-hal, seperti uang, sumber daya,
peralatan, dan material, dan kontrol ini merupakan sumber kekuatan lain. Ruang lingkup
wewenang untuk penghuni posisi manajerial adalah kisaran permintaan yang dapat dibuat
dengan baik dan berbagai tindakan yang dapat diambil dengan baik. Lingkup otoritas jauh
lebih besar untuk beberapa manajer daripada untuk yang lain, dan itu tergantung sebagian
besar pada pengaruh yang dibutuhkan untuk mencapai persyaratan peran dan tujuan
organisasi (Barnard, 1952).

 Proses Pengaruh

Penjelasan psikologis untuk pengaruh interpersonal melibatkan motif dan persepsi orang
sasaran tentang tindakan agen dan konteks di mana interaksi terjadi. Kelman (1958)
mengusulkan tiga jenis proses pengaruh, yang disebut instrumental compliance,
internalization, and personal identification. Proses pengaruh secara kualitatif berbeda satu
sama lain, tetapi lebih dari satu proses dapat terjadi pada waktu yang sama.

1. Instrumental Compliance

Orang yang menjadi target melakukan tindakan yang diminta untuk


mendapatkan hadiah yang nyata atau menghindari hukuman yang
dikendalikan oleh agen. Motivasi untuk berperilaku sangat penting; satu-
satunya alasan kepatuhan adalah untuk mendapatkan keuntungan nyata dari
agen. Tingkat usaha kemungkinan menjadi jumlah minimum yang diperlukan
untuk mendapatkan imbalan atau menghindari hukuman.

2. Internalization

Orang sasaran menjadi berkomitmen untuk mendukung dan melaksanakan


proposal yang didukung oleh agen karena secara intrinsik tampak diinginkan
dan benar tentang nilai, keyakinan, dan citra diri target. Akibatnya, proposal
agen (misalnya, tujuan, rencana, strategi, kebijakan, prosedur) menjadi terkait
dengan nilai dan keyakinan yang mendasari orang target. Komitmen terjadi
terlepas dari apakah ada manfaat nyata yang diharapkan, dan loyalitas target
adalah pada ide itu sendiri, bukan pada agen yang mengkomunikasikannya.
3. Personal Identification
Orang target meniru perilaku agen atau mengadopsi sikap yang sama untuk
menyenangkan agen dan menjadi seperti agen. Motivasi untuktarget mungkin
melibatkan kebutuhan orang target akan penerimaan dan penghargaan.
Dengan melakukan hal-hal untuk mendapatkan persetujuan dari agen, target
dapat mempertahankan hubungan yang memenuhi kebutuhan untuk diterima.
Mempertahankan hubungan dekat dengan agen yang menarik dapat
membantu memenuhi kebutuhan orang target akan penghargaan dari orang
lain, dan menjadi lebih seperti agen yang menarik membantu orang target
mempertahankan citra diri yang lebih disukai.

Sumber-sumber Kekuasaan
Upaya untuk mengklasifikasikan jenis kekuasaan biasanya melibatkan perbedaan dalam
sumber atau dasar potensi pengaruh terhadap orang lain atau peristiwa. Taksonomi awal yang
diusulkan oleh French dan Raven (1959) terus mempengaruhi teori dan penelitian saat ini
tentang kekuasaan. Lima jenis kekuasaan dalam taksonomi mereka termasuk kekuasaan ahli,
kekuasaan referensi, kekuasaan sah, kekuasaan imbalan, dan kekuasaan paksa. Taksonomi itu
kemudian diperluas untuk mencakup beberapa jenis kekuasaan lainnya. Cara yang paling
berguna untuk mengklasifikasikan sumber kekuasaan dijelaskan dalam bagian ini.
1. Legitimate Power
Kekuasaan yang berasal dari otoritas formal atas kegiatan kerja kadang-kadang
disebut sebagai kekuasaan sah (French & Raven, 1959). Proses pengaruh yang terkait
dengan kekuasaan sah kompleks. Beberapa teoretikus menekankan aliran otoritas dari
pemilik dan manajemen puncak, tetapi pengaruh potensial yang diperoleh dari otoritas
sangat bergantung pada persetujuan yang diberikan oleh yang diperintah serta
kepemilikan dan pengendalian properti (Jacobs, 1970). Anggota organisasi biasanya
setuju untuk mematuhi aturan dan petunjuk dari para pemimpin sebagai imbalan atas
manfaat keanggotaan. Namun, persetujuan ini biasanya merupakan pengertian timbal
balik yang tersirat daripada kontrak formal yang eksplisit.
2. Reward Power
Reward Power adalah persepsi oleh orang target bahwa seorang agen
mengendalikan sumber daya penting dan imbalan yang diinginkan oleh orang target.
Kekuasaan imbalan sebagian berasal dari otoritas formal untuk mengalokasikan sumber
daya dan imbalan. Otoritas ini sangat bervariasi antara organisasi dan dari satu jenis
posisi manajemen ke posisi lain dalam organisasi yang sama. Biasanya, eksekutif
tingkat atas memiliki lebih banyak kendali atas sumber daya yang langka daripada
manajer tingkat rendah. Eksekutif memiliki otoritas untuk membuat keputusan tentang
alokasi sumber daya ke berbagai unit dan aktivitas, dan mereka memiliki hak untuk
meninjau dan mengubah keputusan alokasi sumber daya yang dibuat pada tingkat yang
lebih rendah.
3. Coercive Power
Coercive power seorang pemimpin atas bawahannya didasarkan pada otoritas
atas hukuman, yang sangat bervariasi antara jenis organisasi yang berbeda. Kekuasaan
paksa pemimpin militer dan politik biasanya lebih besar daripada kekuasaan manajer
korporasi. Selama dua abad terakhir, telah terjadi penurunan umum dalam penggunaan
pemaksaan yang sah oleh semua jenis pemimpin. Sebagai contoh, sebagian besar
manajer pada suatu saat memiliki hak untuk memberhentikan karyawan atas alasan apa
pun yang mereka anggap sah. Kapten kapal bisa memukul pelaut yang tidak patuh atau
yang tidak menjalankan tugas mereka dengan tekun. Perwira militer bisa menjatuhkan
hukuman mati pada seorang prajurit karena desersi atau ketidakpatuhan pada perintah
selama pertempuran. Saat ini, bentuk-bentuk kekuasaan paksa seperti itu dilarang atau
dibatasi dengan tegas di banyak negara.
4. Referent Power
Referent Power berasal dari keinginan orang lain untuk menyenangkan seorang
agen yang sangat mereka cintai, kagumi, dan cintai. Orang biasanya bersedia melakukan
usaha khusus untuk seorang teman, dan mereka lebih cenderung menjalankan
permintaan yang dibuat oleh seseorang yang sangat mereka kagumi. Bentuk kekuasaan
referent yang paling kuat melibatkan proses pengaruh yang disebut identifikasi pribadi.
Untuk mendapatkan persetujuan dan penerimaan agen, orang target cenderung patuh
terhadap permintaan agen, meniru perilaku agen, dan memiliki sikap yang serupa.
5. Expert Power
Pengetahuan dan keterampilan yang relevan dengan tugas merupakan sumber
daya kekuasaan pribadi yang utama di dalam organisasi. Pengetahuan unik tentang cara
terbaik untuk melakukan suatu tugas atau menyelesaikan masalah penting memberikan
potensi pengaruh terhadap bawahan, rekan sebaya, dan atasan. Namun, keahlian hanya
menjadi sumber kekuasaan jika orang lain bergantung pada agen untuk saran. Semakin
penting suatu masalah bagi orang yang menjadi target, semakin besar kekuasaan yang
diperoleh oleh agen dari kepemilikan keahlian yang diperlukan untuk memecahkannya.
Ketergantungan meningkat ketika orang yang menjadi target tidak dapat dengan mudah
menemukan sumber saran selain agen (Hickson et al., 1971; Patchen, 1974).
6. Information Power
Sumber kekuasaan penting lainnya adalah kontrol atas informasi (Raven, 1965).
Jenis kekuasaan ini melibatkan akses ke informasi penting dan kontrol atas distribusinya
kepada orang lain. Posisi manajerial seringkali memberikan kesempatan untuk
mendapatkan informasi yang tidak secara langsung tersedia untuk bawahan atau rekan
sebaya. Posisi peran batas (misalnya, pemasaran, pembelian, hubungan masyarakat)
memberikan akses yang lebih mudah ke informasi penting tentang peristiwa di
lingkungan eksternal suatu organisasi. Namun, terlepas dari jenis posisi tersebut,
informasi yang berguna tidak muncul seperti sulap, dan seseorang harus secara aktif
membangun jaringan sumber untuk menyediakannya (Kotter, 1982).
7. Ecological Power
Kendali atas lingkungan fisik, teknologi, dan organisasi kerja memberikan
peluang untuk pengaruh tidak langsung terhadap orang lain. Karena perilaku ditentukan
sebagian oleh persepsi tentang peluang dan kendala, itu dapat diubah dengan cara halus
dengan merombak situasi. Bentuk pengaruh ini terkadang disebut rekayasa situasional
atau kendali ekologis (Cartwright, 1965).
8. Position and Personal Power
Cara paling umum untuk mengklasifikasikan sumber kekuasaan adalah
perbedaan antara kekuasaan berdasarkan posisi dan kekuasaan personal (Bass, 1960;
Etzioni, 1961; Rahim, 1988; Yukl & Falbe, 1991). Jenis-jenis kekuasaan tertentu dapat
dikelompokkan ke dalam dua kategori umum ini tergantung pada apakah mereka berasal
terutama dari peluang yang melekat dalam posisi seseorang dalam organisasi, atau dari
atribut dari agen dan hubungan agen-target. Berbagai jenis kekuasaan berdasarkan
posisi dan personal tercantum dalam Tabel 8-1. Kekuasaan berdasarkan posisi
mencakup pengaruh potensial yang berasal dari wewenang yang sah, kendali atas
sumber daya dan imbalan, kendali atas hukuman, kendali atas informasi, dan kendali
atas lingkungan kerja fisik. Kekuasaan personal mencakup pengaruh potensial yang
berasal dari keahlian tugas, dan pengaruh potensial berdasarkan persahabatan dan
loyalitas. Penentu kekuasaan berdasarkan posisi dan personal berinteraksi dengan cara
yang kompleks, dan kadang-kadang sulit untuk membedakan di antara keduanya.
RPS 7

TEORI KONTINGENSI KEPEMIMPINAN

Teori kontingensi kepemimpinan efektif memiliki setidaknya satu variabel prediktor,


setidaknya satu variabel terikat, dan satu atau lebih variabel situasional. Atribut kepemimpinan
yang digunakan sebagai variabel independen biasanya dijelaskan dalam meta-kategori yang
luas (misalnya, perilaku tugas dan hubungan). Variabel terikat dalam sebagian besar teori
adalah kepuasan atau kinerja bawahan, dan dalam beberapa kasus adalah kinerja kelompok.
Sebagian besar variabel situasional merupakan kondisi yang tidak dapat diubah oleh pemimpin
dalam jangka pendek, termasuk karakteristik pekerjaan (misalnya struktur tugas, saling
ketergantungan peran), karakteristik bawahan (misalnya kebutuhan, nilai), karakteristik
pemimpin (keahlian, tekanan interpersonal), dan karakteristik posisi kepemimpinan (otoritas
pemimpin, kebijakan formal).
Beberapa teori kontingensi juga memasukkan variabel mediasi (terkadang disebut
“variabel intervening”) untuk menjelaskan pengaruh perilaku pemimpin dan variabel
situasional terhadap hasil kinerja. Mediator biasanya merupakan karakteristik bawahan yang
menentukan kinerja individu (misalnya, kejelasan peran, keterampilan tugas, efikasi diri, tujuan
tugas), namun mediator juga dapat mencakup karakteristik tingkat kelompok yang menentukan
kinerja tim (misalnya, efikasi kolektif, kerja sama, koordinasi kegiatan, sumber daya). Sebuah
teori akan lebih kompleks dan sulit untuk diuji jika teori tersebut mencakup banyak perilaku
spesifik, variabel mediasi, dan variabel situasional.

Efek Kausal Variabel Situasional


Variabel situasional yang digunakan dalam teori kontingensi dapat memiliki jenis efek
kausal yang berbeda, dan lebih dari satu jenis efek dapat terjadi untuk variabel situasional yang
sama (Howell, Dorfman, & Kerr, 1986; James & Brett, 1984; Yukl, 2009).
1. Situasi secara lansung mempengaruhi hasil atau mediator.
Variabel situasional dapat secara langsung mempengaruhi hasil seperti kepuasan
atau kinerja bawahan, atau variabel mediasi yang merupakan penentu hasil. Ketika
variabel situasional dapat membuat variabel mediasi atau hasil lebih disukai, kadang-
kadang disebut "pengganti" untuk kepemimpinan. Contohnya adalah ketika bawahan
memiliki pelatihan dan pengalaman ekstensif sebelumnya. Kebutuhan klarifikasi dan
pembinaan oleh pemimpin berkurang karena bawahan sudah tahu apa yang harus
dilakukan dan bagaimana melakukannya. Seorang pengganti dapat secara tidak
langsung mempengaruhi perilaku pemimpin jika pemimpin menjadi jelas bahwa
beberapa jenis perilaku berlebihan dan tidak perlu. Variabel situasional juga dapat
mempengaruhi kepentingan relatif dari variabel mediasi sebagai penentu hasil kinerja.
Misalnya, keterampilan karyawan adalah penentu kinerja yang lebih penting ketika
tugas sangat kompleks dan bervariasi daripada ketika tugas itu sederhana dan berulang.
Di sini sekali lagi, variabel situasional dapat secara tidak langsung mempengaruhi
perilaku pemimpin jika jelas bagi pemimpin bahwa beberapa jenis perilaku lebih
relevan daripada yang lain untuk meningkatkan kinerja tim atau unit kerja pemimpin.
2. Situasi secara lansung mempengaruhi pemimpin
Variabel situasional dapat secara langsung mempengaruhi perilaku pemimpin
tetapi hanya berpengaruh secara tidak langsung mempengaruhi variabel terikat. Aspek-
aspek situasi seperti aturan formal, kebijakan, ekspektasi peran, dan nilai-nilai
organisasi dapat mendorong atau membatasi perilaku seorang pemimpin, dan kadang-
kadang disebut tuntutan dan kendala (lihat Bab 2). Selain pengaruh langsung dari situasi
pada perilaku pemimpin, mungkin ada pengaruh tidak langsung pada variabel terikat.
Misalnya, sebuah perusahaan menetapkan kebijakan baru yang mewajibkan manajer
penjualan untuk memberikan bonus kepada perwakilan penjualan mana pun dengan
penjualan melebihi standar minimum; manajer penjualan mulai memberikan bonus, dan
kinerja serta kepuasan perwakilan penjualan meningkat.
3. Situasi memoderasi pengaruhi perilaku pemimpin
Variabel situasional disebut peningkat jika meningkatkan efek perilaku
pemimpin pada variabel dependen tetapi tidak secara langsung mempengaruhi variabel
dependen. Misalnya, memberikan coaching akan berdampak lebih kuat pada kinerja
bawahan jika pemimpinnya memiliki keahlian yang relevan. Keahlian ini
memungkinkan pemimpin untuk memberikan pembinaan yang lebih baik, dan bawahan
lebih cenderung mengikuti nasihat dari seorang pemimpin yang dianggap ahli. Seorang
enhancer secara tidak langsung dapat mempengaruhi perilaku pemimpin jika seorang
pemimpin lebih cenderung menggunakan perilaku karena dianggap relevan dan efektif.
Variabel moderator situasional disebut penetral ketika ia mengurangi pengaruh perilaku
pemimpin pada variabel terikat atau mencegah terjadinya efek apa pun. Misalnya,
menawarkan kenaikan gaji kepada seorang karyawan untuk bekerja ekstra hari mungkin
gagal jika karyawan tersebut kaya dan tidak membutuhkan uang. Ketidakpedulian
karyawan untuk membayar hadiah adalah penetral untuk jenis taktik pengaruh ini.
Awal Teori Kontingensi
Enam teori kontingensi dijelaskan dalam Pembahasan kali ini Termasuk path- goal
theory, leadership substitutes theory, situational leadership theory, the LPC contingency model,
cognitive resources theory, and the multiple-linkage model.
1. Teori Path Goal
Versi awal teori jalur-tujuan menggambarkan bagaimana perilaku berorientasi
tugas seorang pemimpin (“kepemimpinan instrumental”) dan perilaku berorientasi
hubungan (“kepemimpinan suportif”) mempengaruhi kepuasan dan kinerja bawahan
dalam situasi yang berbeda (Evans, 1970; House, 1971). Teori ini kemudian diperluas
untuk mencakup kepemimpinan partisipatif dan kepemimpinan yang berorientasi pada
prestasi (, Evans, 1974; House, 1996; House & Mitchell, 1974).
2. Teori Pengganti Kepemimpinan
Pengganti untuk kepemimpinan instrumental mencakup tugas yang sangat
terstruktur dan berulang, aturan dan prosedur standar yang ekstensif, serta pemimpin
melakukan pelatihan dan pengalaman ekstensif terlebih dahulu untuk bawahan.
Sehingga memiliki pengalaman atau pelatihan sebelumnya yang ekstensif, dan mereka
sudah memiliki keterampilan dan pengetahuan untuk mengetahui apa yang harus
dilakukan dan bagaimana melakukannya.
3. Teori Kepemimpinan Situasional
Hersey dan Blanchard (1977) mengajukan teori kontingensi yang disebut Teori
Kepemimpinan Situasional. Ini menentukan jenis perilaku kepemimpinan yang sesuai
untuk bawahan dalam berbagai situasi. Perilaku didefinisikan dalam istilah
kepemimpinan yang direktif dan suportif, dan versi teori yang direvisi juga mencakup
prosedur pengambilan keputusan (Graef, 1997).
4. Model Kontingensi LPC
Model Kontingensi LPC (least Preferred Coworker) Fiedler (1967; 1978)
menggambarkan bagaimana situasi memoderasi efek pada kinerja kelompok dari sifat
pemimpin yang disebut skor rekan kerja yang paling tidak disukai (LPC). Interpretasi
skor LPC telah berubah beberapa kali selama bertahun-tahun, dan apa arti sebenarnya
dari ukuran tersebut masih dipertanyakan.
5. Teori Sumber Daya Kognitif
Teori sumber daya kognitif (Fiedler, 1986; Fiedler & Garcia, 1987)
menggambarkan kondisi di mana sumber daya kognitif seperti kecerdasan dan
pengalaman dikaitkan dengan kinerja kelompok. Menurut teori tersebut, kinerja
kelompok pemimpin ditentukan oleh interaksi yang kompleks antara dua sifat pemimpin
(kecerdasan dan pengalaman), satu jenis perilaku pemimpin (kepemimpinan direktif),
dan dua aspek situasi kepemimpinan (tekanan interpersonal dan distribusi). pengetahuan
tentang tugas tersebut).
6. Model Multiple Linkage
Model hubungan ganda (Yukl, 1981, 1989) dikembangkan setelah teori
kontingensi awal lainnya, dan mencakup gagasan dari beberapa teori tersebut. Namun,
perilaku kepemimpinan yang didefinisikan secara luas dalam sebagian besar teori
sebelumnya digantikan oleh jenis perilaku yang lebih spesifik.

Tindakan Pemimpin Untuk Mengatasi Kekurangan Dalam Kinerja Kelompok


Tindakan jangka pendek untuk mengatasi defisiensi pada variabel mediasi. Pemimpin
dapat mempengaruhi anggota kelompok untuk bekerja lebih cepat atau melakukan kualitas
yang lebih baik:
1. Bawahan bersikap apatis atau putus asa terhadap pekerjaan.
a. Tetapkan tujuan yang menantang dan nyatakan keyakinan bahwa bawahan dapat
mencapainya.
b. Mengartikulasikan visi yang menarik tentang apa yang dapat dicapai atau dicapai
oleh kelompok.
c. Gunakan persuasi rasional dan daya tarik inspiratif untuk mempengaruhi komitmen.
d. Gunakan konsultasi dan delegasi.
e. Memberikan pengakuan hadiah perilaku yang efektif.
2. Bawahan bingung harus melakukan apa atau bagaimana melakukan pekerjaannya.
a. Buatlah tugas yang jelas.
b. Tetapkan tujuan spesifik dan berikan umpan balik mengenai kinerja.
c. Memberikan lebih banyak arahan terhadap aktivitas yang sedang berjalan.
d. Memberikan instruksi atau pembinaan bila diperlukan.
e. Mengidentifikasi kekurangan keterampilan dan mengatur pelatihan keterampilan
yang diperlukan.
f. Merekrut dan mempekerjakan orang-orang terampil untuk bekerja di unit
3. Kelompok tidak terorganisir dan/atau menggunakan strategi kinerja yang lemah.
a. Mengembangkan rencana untuk mencapai tujuan.
b. Mengidentifikasi dan memperbaiki masalah koordinasi.
c. Mengatur ulang kegiatan untuk memanfaatkan orang, sumber daya, dan peralatan
dengan lebih baik.
d. Mengidentifikasi dan menghilangkan kegiatan-kegiatan yang tidak efisien dan tidak
diperlukan.
e. Memberikan arahan yang lebih tegas terhadap aktivitas yang sedang berjalan dalam
suatu krisis.
4. Ada sedikit kerjasama dan kerja tim di antara anggota kelompok.
a. Menekankan kepentingan bersama dan mendorong kerja sama.
b. Mendorong resolusi konflik yang konstruktif dan membantu memediasi konflik.
c. Meningkatkan insentif kelompok dan mengurangi persaingan.
d. Menggunakan simbol dan ritual untuk membangun identifikasi dengan unit kerja
e. Gunakan aktivitas membangun tim.
5. Kelompok ini mempunyai sumber daya yang tidak memadai untuk melakukan
pekerjaan tersebut.
a. Meminta atau meminjam sumber daya tertentu yang diperlukan segera untuk
pekerjaan tersebut.
b. Temukan sumber pasokan yang lebih dapat diandalkan atau alternatif
c. Jatah sumber daya yang tersedia jika diperlukan.
d. Memulai proyek perbaikan untuk meningkatkan peralatan dan fasilitas
e. Melobi dengan otoritas yang lebih tinggi untuk mendapatkan anggaran yang lebih
besar
6. Koordinasi eksternal dengan subunit lain atau pihak luar lemah.
a. Membangun jaringan dengan rekan kerja dan pihak luar untuk mengembangkan
hubungan yang lebih kooperatif.
b. Berkonsultasi lebih banyak dengan rekan kerja dan pihak luar ketika membuat
rencana.
c. Memberikan informasi kepada rekan-rekan dan pihak luar tentang perubahan.
d. Pantau secara ketat untuk mendeteksi masalah koordinasi dengan cepat.
e. Bertemu dengan rekan kerja dan pihak luar untuk menyelesaikan masalah
koordinasi.
f. Menegosiasikan kesepakatan yang menguntungkan dengan rekan-rekan dan pihak
luar untuk keluaran kelompok.
Dalam jangka panjang waktu yang lebih lama, para pemimpin dapat melakukan
perbaikan yang lebih besar dalam kinerja kelompok dengan memodifikasi situasi agar lebih
menguntungkan. Beberapa contoh tindakan yang mungkin dilakukan seorang pemimpin untuk
memperbaiki situasi adalah sebagai berikut:
1. Dapatkan lebih banyak akses terhadap sumber daya yang diperlukan untuk pekerjaan
dengan membina hubungan yang lebih baik dengan pemasok, mencari sumber alternatif,
dan mengurangi ketergantungan pada sumber yang tidak dapat diandalkan.
2. Dapatkan kontrol lebih besar atas permintaan produk dan layanan unit dengan mencari
pelanggan barumembuka pasar baru, lebih banyak mengiklankan, dan memodifikasi
produk atau layanan agar lebih dapat diterima oleh klien dan pelanggan.
3. Memulai kegiatan baru yang lebih menguntungkan bagi unit kerja yang akan
memanfaatkan personel, peralatandan fasilitas dengan lebih baik.
4. Memulai program perbaikan jangka panjang untuk meningkatkan peralatan, dan fasilitas
di unit kerja (misalnya mengganti peralatan lama, menerapkan teknologi baru).
5. Memperbaiki prosedur seleksi untuk meningkatkan tingkat keterampilan dan komitmen
karyawan.
6. Memodifikasi struktur formal unit kerja untuk memecahkan masalah kronis dan
mengurangi tuntutan pada pemimpin untuk penyelesaian masalah jangka pendek.
RPS 9

TEORI DYADIC DAN FOLLOWERSHIP

9.1 Evolusi Teori Dyadic

Sebagian besar teori dan penelitian awal tentang kepemimpinan berfokus pada
pemimpin dan tidak terlalu memperhatikan pengikut. Namun, terbukti bahwa
kepemimpinan yang baik atau efektif sebagian disebabkan oleh hubungan yang baik
antara pemimpin dan pengikut. Diadik mengacu pada hubungan individual antara seorang
pemimpin dan setiap pengikut dalam unit kerja. Teori diadik fokus pada pengembangan
dan efek hubungan diadik yang terpisah antara para pemimpin dan pengikut. Teori diadik
adalah pendekatan kepemimpinan yang mencoba menjelaskan mengapa pemimpin
memvariasikan perilaku mereka dengan pengikut yang berbeda. Pendekatan diadik
berkonsentrasi pada heterogenitas hubungan diadik, berargumen bahwa seorang
pemimpin tunggal akan membentuk hubungan yang berbeda dengan pengikut yang
berbeda.Tema sentral dalam kepemimpinan diadik adalah gagasan "dukungan untuk harga
diri" yang pemimpin berikan kepada pengikut, dan kinerja pengembalian yang diberikan
pengikut kepada para pemimpin. Dukungan untuk harga diri didefinisikan sebagai
dukungan pemimpin untuk pengikut tindakan dan ide; membangun kepercayaan pengikut
dalam kemampuan, integritas, dan motivasi; dan memperhatikan perasaan dan kebutuhan
pengikut.
9.2 Empat tahap perkembangan pendekatan Dyadic

a. Vertical Dyadic Linkage (VDL) Theory

Pendekatan dyadic vertikal adalah fase evolusi dari penelitian kepemimpinan


individualized. Penelitian awal tentang kepemimpinan individual berfokus pada
pendekatan traditional average leadership style (ALS). VDL menggambarkan situasi
di mana seorang pemimpin membentuk hubungan kelompok dyadic dengan beberapa
pengikut dan hubungan kelompok dyadic dengan pengikut lainnya. Oleh karena itu,
teori vertical dyadic linkage (VDL) mengkaji bagaimana pemimpin membentuk satu
lawan satu hubungan dengan pengikut, dan bagaimana hal ini sering menciptakan in-
group dan out-group di dalam unit kerja pimpinan.
Inti dari teori VDL adalah gagasan tentang "dukungan untuk harga diri" yang
diberikan satu individu untuk yang lain. Seorang pemimpin memberikan dukungan
perasaan terhadap harga diri pengikut. Misalnya, seorang pemimpin dapat
memberikan perhatian, bimbingan, umpan balik, dan pertimbangan untuk pengikut.
Pengikut pada gilirannya memberikan kinerja yang luar biasa kepada pemimpin.
Misalnya, seorang pengikut berkinerja di atas standar dan selalu bersedia bekerja
ekstra untuk pemimpin. Studi telah mengungkapkan bahwa hubungan kapal yang
dikembangkan di dua pihak ini dapat terjadi pada tingkat formal atau informal, di
mana beberapa dyadic terkait dengan kelompok kerja yang ditugaskan dan yang
lainnya tidak bergantung pada kelompok kerja formal. Juga, seorang pemimpin dapat
menghubungkan (satu lawan satu) dengan banyak individu, atau hanya beberapa
individu, dan bukan yang lain.
b. Leader-Member Exchange (LMX) Theory

Tahap evolusi berikutnya dalam pendekatan dyadic adalah teori LMX. Tatap
muka interaksi pemimpin-anggota memainkan peran penting dalam kehidupan
organisasi. Yang mendasari asumsi teori LMX adalah bahwa pemimpin atau atasan
memiliki jumlah terbatas sumber daya sosial, pribadi, dan organisasi (seperti energi,
waktu, perhatian, dan kebijaksanaan), dan sebagai hasilnya cenderung
mendistribusikannya di antara pengikut secara selektif Pemimpin tidak berinteraksi
dengan semua pengikut secara setara, yang pada akhirnya menghasilkan pembentukan
LMX yang bervariasi kualitasnya.
Dalam hubungan LMX berkualitas tinggi, pengikut cenderung menerima
dukungan sosial yang lebih baik, lebih banyak sumber daya, dan lebih banyak
bimbingan untuk pengembangan karir. Hubungan ditandai dengan masukan pengikut
yang lebih besar dalam pengambilan keputusan dan keleluasaan negosiasi yang lebih
besar. Hubungan LMX berkualitas rendah ditandai dengan lebih sedikit dukungan,
lebih banyak pengawasan formal, dan sedikit atau tidak ada keterlibatan dalam
pengambilan keputusan. Oleh karena itu, pertukaran pemimpin-anggota (LMX)
didefinisikan sebagai kualitas hubungan pertukaran antara seorang karyawan dan
atasannya. Teori dan penelitian LMX menawarkan cara alternatif untuk memeriksa
kepemimpinan organisasi, dengan alasan bahwa kualitas pertukaran sosial antara
seorang pemimpin dan seorang pengikut akan lebih memprediksi kinerja yang lebih
rendah daripada sifat atau perilaku atasan.
c. Team Building

Mengingat lingkungan yang semakin kompleks dan tidak pasti di mana


organisasi menemukan diri mereka, banyak yang merespons dengan menggunakan
tim sebagai fundamental mereka unit desain organisasi dalam upaya desentralisasi
pengambilan keputusan dan merespon secara lebih efektif terhadap peluang dan
ancaman eksternal. Tidak diragukan lagi bahwa dinamika tim memang memengaruhi

kinerja tugas dan kualitas hubungan interpersonal. Oleh karena itu, kepemimpinan tim
melibatkan perhatian utama untuk memotivasi sekelompok individu untuk bekerja
sama untuk mencapai tujuan bersama, sambil mengurangi konflik atau hambatan apa
pun yang mungkin timbul saat berjuang untuk itu objektif. Penekanannya adalah pada
pembentukan hubungan dengan semua anggota kelompok, bukan hanya dengan
beberapa individu khusus. Para pemimpin yang efektif tahu bahwa meskipun itu tidak
mungkin untuk memperlakukan semua pengikut dengan cara yang persis sama,
penting bahwa setiap orang menganggap bahwa dia adalah anggota tim yang penting
dan dihormati daripada non-entitas. Misalnya, tidak setiap karyawan mungkin
menginginkan tanggung jawab yang lebih besar, tetapi masing-masing harus merasa
bahwa ada kesempatan yang sama berdasarkan kompetensi daripada menjadi bagian
dari beberapa kelompok dalam organisasi.
Studi telah menunjukkan bahwa ketika para pemimpin dilatih untuk
mengembangkan dan memelihara hubungan berkualitas tinggi dengan semua pengikut
mereka, hasil kinerja pengikut sangat dramatis. Pengikut yang merasa telah
mengembangkan hubungan satu lawan satu yang positif dengan pemimpin cenderung
menunjukkan produktivitas dan peningkatan kinerja yang lebih tinggi. Saat hubungan
ini matang, seluruh kelompok kerja menjadi lebih kohesif, dan hasilnya terlihat jelas
bagi semua peserta. Dalam beberapa hal, membangun kemitraan memungkinkan
seorang pemimpin untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan yang berhubungan dengan
pekerjaan dari masing-masing kelompok anggota, satu per satu. Melalui dukungan,
dorongan, dan pelatihan pemimpin, para pengikut merasakan harga diri, penghargaan,
dan nilai untuk pekerjaan mereka, dan mereka merespons dengan kinerja tinggi.
d. Systems and Networks

Para pendukung pandangan sistem dan jaringan berpendapat bahwa hubungan


pemimpin tidak terbatas pada pengikut, tetapi mencakup rekan sejawat, pelanggan,
pemasok, dan pemangku kepentingan terkait lainnya dalam kelompok kelompok kerja
dan jaringan di seluruh organisasi. Organisasi dipandang sebagai suatu sistem dari
bagian-bagian yang saling berhubungan. Agar efektif, kelompok perlu mengelola
hubungan “batas-batas” dengan kelompok lain dan anggota eksternal dalam organisasi
mereka untuk mendapatkan akses ke informasi dan sumber daya politik. Mencapai
hasil ini membutuhkan kepemimpinan yang efektif.
Saat ini, organisasi disusun menurut garis fungsional, divisi, produk,
pelanggan, dan geografis. Penelitian tentang dinamika dan budaya kelompok memang

mengungkapkan bahwa struktur organisasi semacam itu juga memengaruhi struktur


kognitif karyawan. Dengan kata lain, struktur-struktur ini membentuk batas-batas
departemen yang menciptakan ikatan sosial yang lebih kuat di dalam kelompok serta
bias antarkelompok antarkelompok. Individu dan kelompok terhubung dengan orang-
orang tertentu (dan bukan dengan orang lain), dan pola koneksi ini menciptakan
jaringan pertukaran sosial yang saling bergantung di mana orang-orang tertentu
menjadi mitra pertukaran tepercaya yang dapat dipanggil untuk mendapatkan sumber
daya dan dukungan. Akibatnya, individu akan lebih cenderung untuk menyelaraskan
atau bergaul dengan anggota kelompok fungsionalnya sendiri (in-group)
dibandingkan dengan anggota kelompok fungsional lainnya (out-groups). Jaringan
aliansi tersebut dapat memberikan anggota manfaat seperti akses ke pengetahuan,
informasi, rujukan, dan peluang karir.
9.3 Followership

Followership mengacu pada perilaku pengikut yang dihasilkan dari hubungan


pengaruh pemimpin-pengikut. Jauh lebih sedikit yang telah dilakukan untuk memajukan
pemahaman tentang komponen pengikut dan proses serta mekanisme psikologis yang
menghubungkan pemimpin dan pengikut. Sebagian besar, pandangan masyarakat tentang
pengikut telah berkontribusi pada pemahaman kita yang terbatas tentang pengikut. Sejak
dini kita diajarkan untuk fokus menjadi pemimpin, bukan pengikut.
Webster mendefinisikan pengikut sebagai "orang yang mengikuti pendapat atau ajaran
orang lain." Definisi ini menyiratkan bahwa pengikut adalah mitra pasif dari pasangan
pemimpin-pengikut sampai mereka menerima instruksi eksplisit dari seorang pemimpin
dan kemudian melanjutkan untuk mengikuti instruksi tersebut dengan cara yang tidak
diragukan lagi. Ada peningkatan pengakuan bahwa pemimpin hanyalah salah satu bagian
dari dualitas, karena tidak ada pemimpin tanpa pengikut. Kepemimpinan yang efektif
membutuhkan pengikut yang efektif, karena tanpa pengikut, tidak ada pemimpin. Tidak
ada unit kerja atau upaya terorganisir yang dapat berhasil dan dipertahankan tanpa
pengikut.
Pengikut yang efektif melakukan lebih dari sekadar memenuhi visi yang ditetapkan
oleh pemimpin mereka; mereka adalah mitra dalam menciptakan visi. Mereka
bertanggung jawab untuk menyelesaikan pekerjaan mereka, mengambil inisiatif dalam
memperbaiki masalah, dan menanyai para pemimpin ketika mereka pikir mereka salah.
Jenis pengikut ini menunjukkan apa yang disebut beberapa orang sebagai kepemimpinan
diri dan tampil di tingkat tinggi dalam tim mereka. Mereka memiliki kebutuhan yang

tinggi akan otonomi dan menyambut kepemimpinan yang memberdayakan dari para
pemimpin mereka.
a. The Effective Follower, and Follower Types

Keberhasilan dan kegagalan organisasi sering dikaitkan dengan pemimpin


yang efektif atau tidak efektif tanpa sepenuhnya mengakui kontribusi pengikut.
Sayangnya, karena penelitian terbatas yang berfokus pada peran pengikut, tampaknya
tidak ada banyak bukti yang mendukung korelasi kuat antara pengikut yang efektif
dan kepemimpinan yang efektif. Namun, ketika memeriksa pertanyaan tentang apa
yang membedakan organisasi berkinerja tinggi dari organisasi rata-rata, sebagian
besar sarjana dan praktisi setuju bahwa organisasi berkinerja tinggi memiliki
pemimpin dan pengikut yang baik. Pengikut yang kompeten, percaya diri, dan
termotivasi adalah kunci keberhasilan kinerja kelompok kerja atau tim pemimpin
mana pun. Alih-alih peran sesuai dan pasif di mana pengikut telah dilemparkan,
pengikut yang efektif digambarkan sebagai berani, bertanggung jawab, dan proaktif.
Seperti pemimpin, ada berbagai jenis pengikut. Berdasarkan karakteristik
individu, motivasi, dan perilaku, beberapa pengikut mungkin lebih aktif dan terlibat
daripada yang lain. Beberapa nama yang telah digunakan untuk menggambarkan
berbagai jenis pengikut termasuk isolat, pengamat, peserta, aktivis, dan diehards.
Konseptualisasi terbaik dari tipe pengikut adalah model Kelley. Menggunakan
kombinasi dua jenis perilaku, pemikiran kritis dan tingkat keterlibatan dalam urusan
organisasi. Kelley mengelompokkan pengikut ke dalam lima kategori berdasarkan
bauran perilaku spesifik mereka.
Menurut Kelley, sejauh mana seorang pengikut aktif atau pasif — dan
merupakan pemikir independen, kritis atau tergantung, pemikir nonkritis —
menentukan apakah dia adalah pengikut yang terasing, pengikut pasif, pengikut
konformis, pengikut pragmatis. , atau pengikut yang efektif. :
1. Pengikut yang terasingkan adalah seseorang yang rendah keterlibatannya tetapi
tinggi dalam berpikir kritis. Pengikut yang terasingkan adalah seseorang yang
merasa dicurangi, atau tidak dihargai, oleh organisasinya untuk pekerjaan yang
patut dicontoh.
2. Pengikut konformis adalah seseorang yang tinggi dalam keterlibatan tetapi
rendah dalam berpikir kritis. Dengan kata lain, konformis adalah "orang-orang ya"
dari organisasi. Mereka menjalankan semua perintah tanpa mempertimbangkan konsekuensi
dari perintah tersebut. Seorang konformis akan melakukan apa saja untuk menghindari
konflik. Pemimpin otoriter lebih memilih pengikut yang konformis.
3. Pengikut pasif adalah seseorang yang tidak memiliki pemikiran kritis atau
keterlibatan yang tinggi. Pengikut pasif melihat ke pemimpin atau orang lain
untuk melakukan semua pemikiran dan tidak terlibat.
4. Pengikut yang efektif adalah seseorang yang memiliki pemikiran kritis dan
keterlibatan yang tinggi. Pengikut yang efektif tidak menghindari risiko dan juga
tidak menghindar dari konflik.
5. Pengikut pragmatis menunjukkan sedikit dari keempat gaya—bergantung pada
gaya mana yang cocok dengan situasi yang ada. Pengikut pragmatis "terjebak di
tengah" sebagian besar waktu.
b. Panduan Menjadi Follower yang Efektif

Penelitian yang berfokus pada pengikut telah mengidentifikasi perilaku


tertentu yang berhasil dan yang lainnya tidak. Hal ini telah menyebabkan perumusan
pedoman tentang bagaimana menjadi pengikut yang efektif. Pedoman tersebut,
dikatakan, membedakan pengikut di tim berkinerja terbaik dari rekan-rekan mereka di
tim berkinerja marginal. Isu-isu seperti bagaimana meningkatkan hubungan
pemimpin-pengikut, bagaimana menolak pengaruh yang tidak tepat, dan bagaimana
menentang rencana dan tindakan yang cacat ditangani melalui pedoman ini. Berikut
adalah sembilan pedoman untuk pengikut yang efektif.
1. Menawarkan Dukungan kepada Pemimpin

Seorang pengikut yang baik mencari cara untuk mengekspresikan dukungan


dan dorongan kepada seorang pemimpin yang menghadapi perlawanan dalam
mencoba untuk memperkenalkan perubahan yang diperlukan dalam
organisasinya. Organisasi yang sukses dicirikan oleh pengikut yang etos kerja dan
filosofinya sesuai dengan pemimpin.
2. Mengambil inisiatif

Pengikut yang efektif mengambil inisiatif untuk melakukan apa yang


diperlukan tanpa disuruh, termasuk bekerja di luar tugas yang biasanya diberikan
kepada mereka. Mereka mencari peluang untuk membuat dampak positif pada
tujuan organisasi.
3. Nasihat dan Latih Pemimpin
Berlawanan dengan mitos bahwa pemimpin memiliki semua jawaban,
kebanyakan orang sekarang menyadari bahwa pengikut juga memiliki
kesempatan untuk melatih dan menasihati para pemimpin, terutama ketika
seorang pemimpin baru dan belum berpengalaman.
4. Ajukan Masalah dan Kekhawatiran Jika Diperlukan

Ketika ada potensi masalah atau kekurangan dengan rencana dan usulan
pemimpin, kemampuan pengikut untuk membawa masalah atau kekhawatiran ini
menjadi sangat penting. Bagaimana pengikut mengangkat masalah ini sangat
penting, karena para pemimpin sering bersikap defensif dalam menanggapi
umpan balik negatif. Pengikut dapat meminimalkan sikap bertahan seperti itu
dengan mengakui status superior pemimpin dan mengomunikasikan keinginan
tulus untuk membantu dalam mencapai tujuan organisasi, daripada tujuan pribadi.
Ketika menantang rencana dan proposal pemimpin yang cacat, penting bagi
pengikut untuk menunjukkan secara spesifik daripada generalisasi yang kabur,
dan untuk menghindari personalisasi kritik. Pedoman ini sesuai dengan
pandangan yang muncul dari karyawan proaktif sebagai pengikut yang sangat
terlibat dan sangat pemikir independen dengan inisiatif dan rasa tanggung jawab
yang berkembang dengan baik.
5. Mencari dan Mendorong Umpan Balik Jujur dari Pemimpin

Pengikut dapat memainkan peran konstruktif dalam bagaimana pemimpin


mereka mengevaluasi mereka. Beberapa pemimpin merasa tidak nyaman dengan
mengungkapkan kekhawatiran negatif tentang kinerja pengikut, sehingga mereka
cenderung hanya fokus pada kekuatan pengikut. Salah satu cara untuk
membangun rasa saling percaya dan hormat dengan pemimpin adalah dengan
mendorong umpan balik yang jujur dalam evaluasinya atas kinerja Anda. Dorong
pemimpin untuk menunjukkan aspek terkuat dan terlemah dari pekerjaan Anda.
Untuk memastikan bahwa Anda memiliki evaluasi yang komprehensif,
konsultasikan dengan pemimpin untuk masukannya tentang hal-hal lain yang
dapat Anda lakukan agar lebih efektif, dan cari tahu apakah dia memiliki
kekhawatiran tentang aspek lain.kinerja pekerjaan Anda
6. Perjelas Peran dan Harapan Anda

Dimana ada beberapa pertanyaan tentang ambiguitas peran atau ketidakpastian


tentang harapan pekerjaan, ini harus diklarifikasi dengan pemimpin. Tanggung
jawab pemimpin untuk mengomunikasikan harapan peran dengan jelas kepada

pengikut. Namun demikian, beberapa pemimpin gagal mengomunikasikan


harapan pekerjaan yang jelas, lingkup wewenang dan tanggung jawab pengikut,
target kinerja yang harus dicapai, dan tenggat waktu.
7. Tunjukkan Apresiasi

Semua orang, termasuk pemimpin, senang dihargai ketika melakukan


perbuatan baik yang bermanfaat bagi orang lain. Ketika seorang pemimpin
melakukan upaya khusus untuk membantu pengikut, seperti membantu
melindungi kepentingan pengikut, atau memelihara dan mempromosikan karir
pengikut, sudah sepatutnya pengikut menunjukkan penghargaan. Bahkan jika
tindakan pemimpin tidak secara langsung menguntungkan pengikut tertentu tetapi
mewakili pencapaian yang signifikan bagi organisasi.
8. Beri tahu Pemimpin

Para pemimpin mengandalkan pengikut mereka untuk menyampaikan


informasi penting tentang tindakan dan keputusan mereka. Informasi yang akurat
dan tepat waktu memungkinkan seorang pemimpin untuk membuat keputusan
yang baik dan memiliki gambaran yang lengkap tentang posisi organisasi. Para
pemimpin yang tampaknya tidak tahu apa yang sedang terjadi dalam organisasi
mereka merasa dan terlihat tidak kompeten di depan rekan-rekan dan atasan
mereka. Sangat memalukan bagi seorang pemimpin untuk mendengar tentang
peristiwa atau perubahan yang terjadi di dalam unitnya dari orang lain. Tanggung
jawab menyampaikan informasi kepada pemimpin ini mencakup informasi positif
dan negatif. Beberapa pengikut cenderung menahan berita buruk dari pemimpin
mereka; ini sama merugikannya dengan tidak memberikan informasi sama sekali.
9. Menolak Pengaruh Pemimpin yang Tidak Pantas

Seorang pemimpin mungkin tergoda untuk menggunakan kekuatannya untuk


mempengaruhi pengikut dengan cara yang tidak pantas (secara hukum atau etis).
Terlepas dari kesenjangan kekuasaan antara pemimpin dan pengikut, pengikut
tidak diharuskan untuk mematuhi upaya pengaruh yang tidak pantas, atau untuk
dieksploitasi oleh pemimpin yang kasar. Pengikut yang efektif menantang
pemimpin dengan cara yang tegas, bijaksana, dan diplomatis. Mengingatkan
pemimpin akan tanggung jawab etisnya, menuntut hak Anda, dan menunjukkan
konsekuensi negatif dari kepatuhan adalah berbagai cara di mana seorang
pengikut dapat menolak upaya pengaruh yang tidak pantas oleh seorang
pemimpin. Penting untuk menantang perilaku seperti itu sejak dini, sebelum
menjadi kebiasaan, dan melakukannya tanpa permusuhan pribadi.
RSP 10
KEPEMIMPINAN TIM DAN KELOMPOK

10.1 Penggunaan Tim dalam Organisasi

Kerja tim adalah cara hidup dalam organisasi postmodern. Tim telah menjadi
struktur dasar di mana pekerjaan dilakukan dalam organisasi. Premis dasar kerja tim
adalah bahwa tim menawarkan peluang terbaik untuk kinerja organisasi yang lebih
baik dalam bentuk peningkatan produktivitas dan keuntungan. Dengan kata lain,
manfaat sinergis dari kerja tim adalah bahwa anggota tim yang bekerja secara
kooperatif satu sama lain dapat mencapai lebih dari bekerja secara mandiri. Dengan
demikian, tim telah menjadi unit dasar pemberdayaan—cukup besar untuk kekuatan
kolektif dan sinergi berbagai talenta dan cukup kecil untuk partisipasi dan ikatan yang
efektif.

10.1 Perbedaan Grup dan Tim

Semua tim adalah grup, tetapi tidak semua grup adalah tim. Seorang manajer
dapat mengumpulkan sekelompok orang dan tidak pernah membangun tim. Tim adalah
unit individu yang saling bergantung dengan keterampilan yang saling melengkapi
yang berkomitmen untuk tujuan bersama dan serangkaian tujuan kinerja dan harapan
bersama, di mana mereka menganggap diri mereka bertanggung jawab. Penelitian
ekstensif di tempat kerja telah mengkonfirmasi bahwa beberapa perbedaan memang
ada antara tim dan kelompok. Konsep tim menyiratkan rasa misi bersama dan
tanggung jawab kolektif. Sedangkan kelompok fokus pada kinerja dan tujuan individu,
dan ketergantungan pada kemampuan individu, tim memiliki mentalitas kolektif yang
berfokus pada, berbagi informasi, wawasan, dan perspektif, membuat keputusan yang
mendukung setiap individu untuk melakukan pekerjaannya sendiri dengan lebih baik
dan saling memperkuat standar kinerja individu.
Anggota tim cenderung memiliki tanggung jawab bersama, sedangkan anggota
kelompok terkadang bekerja sedikit lebih mandiri dengan motivasi yang lebih besar
untuk mencapai tujuan pribadi. Gaya kepemimpinan dalam kelompok cenderung
sangat hierarkis, sedangkan dalam tim lebih cenderung partisipatif atau berorientasi
pada pemberdayaan. Dalam sebuah tim, ukuran kinerja menciptakan akuntabilitas
langsung untuk tim dan insentif berbasis tim; sebaliknya, sebuah kelompok dicirikan
oleh kepentingan pribadi individu.
10.2 Keuntungan dan Kerugian Kerjasama Tim

Kerja tim adalah pemahaman dan komitmen terhadap tujuan kelompok dari
semua anggota tim. Meningkatnya penerimaan dan penggunaan tim menunjukkan
bahwa penggunaannya menawarkan banyak keuntungan. Namun, tim juga
menghadirkan banyak tantangan bagi organisasi.
1. Keuntungan Kerjasama Tim

Ada beberapa keuntungan kerjasama tim:

• Pertama, dalam situasi tim adalah mungkin untuk mencapai sinergi, di mana
total output tim melebihi jumlah kontribusi berbagai anggota. Sinergi
melibatkan kerjasama kreatif dari orang-orang yang bekerja bersama untuk
mencapai sesuatu di luar kapasitas individu yang bekerja sendiri.
• Kedua, anggota tim sering mengevaluasi pemikiran satu sama lain, sehingga
tim cenderung menghindari kesalahan besar. Kecenderungan saling
mendukung dan tinjauan sejawat terhadap gagasan ini membantu tim membuat
keputusan yang lebih baik dan dapat memberikan kekebalan bagi organisasi
terhadap kejutan yang mengganggu.
• Ketiga, tim dapat dan memang berkontribusi dengan baik untuk perbaikan dan
inovasi yang berkelanjutan. Selain mempercepat pengambilan keputusan dan
inovasi, anggota tim melaporkan kepuasan yang lebih besar dengan pekerjaan
mereka.
• Keempat, tim menciptakan lingkungan kerja yang mendorong orang untuk
menjadi termotivasi, berdaya, dan puas dengan pekerjaan mereka. Kepuasan
kerja penting karena, pada gilirannya, telah dikaitkan dengan hasil organisasi
positif lainnya. Misalnya, karyawan yang puas dengan pekerjaan mereka
cenderung tidak berhenti, lebih sedikit absen, dan lebih cenderung
menampilkan perilaku kewargaan organisasi.
• Kelima, menjadi anggota tim memungkinkan untuk memenuhi lebih banyak
kebutuhan daripada jika seseorang bekerja sendiri; di antaranya adalah
kebutuhan akan afiliasi, keamanan, harga diri, dan pemenuhan diri. Anggota
tim mengembangkan kepercayaan satu sama lain dan melihat tim sebagai unit
sosial yang memenuhi kebutuhan lain.
2. Kekurangan Kerjasama Tim
Kerja tim memiliki beberapa potensi kerugian bagi organisasi dan individu:

• Masalah umum mungkin bahwa anggota menghadapi tekanan untuk


menyesuaikan diri dengan standar kinerja dan perilaku kelompok. Misalnya,
seorang anggota tim mungkin dikucilkan karena jauh lebih produktif daripada
rekan kerjanya.
• Ada situasi di mana bekerja dalam tim dianggap oleh beberapa individu
melanggar otonomi mereka, sehingga menciptakan resistensi terhadap upaya
tim.
• Kelemahan lain yang terkenal terkait dengan kelompok atau tim yang sangat
kohesif adalah groupthink. Pemikiran kelompok adalah ketika anggota
kelompok yang kohesif cenderung menyepakati suatu keputusan bukan
berdasarkan prestasinya tetapi karena mereka kurang bersedia mengambil
risiko penolakan karena mempertanyakan sudut pandang mayoritas atau
menyajikan pendapat yang berbeda.
• Meskipun kekompakan adalah kualitas tim yang diinginkan, tim yang sangat
kohesif juga dapat menjadi, paling buruk, sumber konflik dengan tim lain.
Mereka mungkin menjadi begitu kohesif sehingga mereka menyerupai
kelompok dengan bagian luar yang minimal interaksi atau pengaruh, sehingga
menciptakan potensi konflik antarkelompok yang signifikan. Ada tekanan bagi
pekerja untuk mendukung rekan satu tim mereka dan untuk mencapai tujuan
tim. Tekanan tingkat tinggi dapat berkontribusi pada tingkat stres yang tinggi,
yang pada akhirnya memengaruhi kinerja tim jika dibiarkan tidak dikelola.
10.3 Karakteristik Tim yang Efektif

Tim yang efisien memungkinkan organisasi untuk mencapai tujuan dengan


sumber daya yang lebih sedikit. Kualitas berkaitan dengan kemampuan tim untuk
mencapai hasil yang unggul dengan sumber daya yang lebih sedikit dan melebihi
harapan pelanggan.
a. Norma Tim

Norma tim merupakan karakteristik penting dari tim yang efektif karena
norma memandu perilaku anggota tim. Norma menentukan perilaku apa yang
dapat diterima dan tidak dapat diterima.Norma tim adalah standar perilaku yang
dapat diterima yang dimiliki bersama oleh anggota tim. Norma mempengaruhi
bagaimana anggota tim memandang dan berinteraksi satu sama lain, mendekati
keputusan, dan memecahkan masalah. Sebuah tim yang efektif harus memiliki
seperangkat norma yang sesuai yang mengatur perilaku semua anggota. Misalnya,
norma tim mungkin menentukan perilaku kooperatif daripada kompetitif.
b. Kepemimpinan Tim

Tim yang efektif biasanya memiliki pemimpin tim yang efektif yang
menggunakan beberapa taktik yang mempengaruhi untuk mengontrol dan
mengarahkan tindakan anggota tim menuju pencapaian tujuan organisasi.
Pemimpin tim yang efektif mendorong norma-norma yang secara positif
mempengaruhi tujuan tim dan mengubah yang negatif. Untuk mendorong
pengembangan semangat tim, para pemimpin harus mengamati dengan cermat
apa yang terjadi dalam tim, memberikan kontribusi bila diperlukan, mendorong
iklim dialog, mengubah hambatan menjadi peluang, dan melihat diri mereka
sendiri dan orang lain sebagai bagian dari tim. kumpulan pengetahuan,
keterampilan, dan ide. Seorang pemimpin tim yang efektif harus adaptif,
mengetahui kapan harus memainkan peran yang berbeda manajer, fasilitator, atau
pelatih.

c. Kekompakan Tim dan Saling Ketergantungan

Tim yang efektif biasanya memiliki tingkat kohesi, saling ketergantungan, dan
otonomi yang tinggi. Kohesi tim adalah sejauh mana anggota tim bersatu dan
tetap berkomitmen untuk mencapai tujuan tim. Faktor yang ditemukan untuk
meningkatkan kohesi tim termasuk tujuan dan sasaran bersama, reputasi tim untuk
sukses, kompetisi antar tim, dan ketertarikan pribadi pada tim. Kekompakan tim
meningkat ketika :

• Anggota tim menyepakati tujuan dan arah yang sama;

• Pihak eksternal memberikan pujian dan pengakuan yang tinggi atas


keberhasilan tim;
• Organisasi mendorong dan memotivasi tim untuk bersaing satu
sama lain untuk mendapatkan penghargaan;
• Anggota menemukan bahwa mereka memiliki kesamaan dan sikap serta nilai
yang sama dan menikmati berada di tim.
d. Komposisi Tim
Komposisi tim berfokus pada keragaman pengetahuan, latar belakang, dan
pengalaman anggota tim. Memutuskan siapa yang akan dimasukkan ke dalam tim
adalah salah satunya tantangan terberat yang dihadapi seorang pemimpin dan tidak
boleh dianggap enteng. Keragaman tim membawa beragam sudut pandang untuk
menanggung masalah. Manfaat lain dari keragaman adalah berkurangnya
kemungkinan pemikiran kelompok karena peluang yang lebih besar untuk sudut
pandang yang berbeda.
e. Struktur Tim

Struktur tim mengacu pada keterkaitan yang menentukan penugasan tugas,


tanggung jawab, dan wewenang. Tim yang memiliki otonomi tinggi, partisipasi
yang luas dalam keputusan tim, dan variasi dalam tugas yang dilakukan oleh
anggota individu, dikatakan memiliki karakteristik desain pekerjaan yang
memotivasi. Ketika tim menganggap tugas mereka sebagai memotivasi, mereka
umumnya lebih efektif.
10.4 Dukungan Organisasi

Tim yang efektif adalah mereka yang memiliki dukungan kuat dari puncak
organisasi. Menilai efektivitas tim yang berkaitan dengan kinerja keseluruhan
organisasi harus menjadi bagian penting dari tanggung jawab manajemen puncak.

10.5 Didorong oleh Kreativitas

Tim yang efektif juga ditandai dengan tingkat kreativitas yang lebih tinggi.
Kreativitas memberi makan inovasi, yang menjadi semakin berharga bagi organisasi,
terutama di masa yang bergejolak dan tidak pasti. Kreativitas tim adalah penciptaan
produk, layanan, ide, prosedur, atau proses yang berharga, berguna, dan baru yang
dilakukan melalui penemuan daripada prosedur langkah demi langkah yang telah
ditentukan sebelumnya, oleh individu yang bekerja bersama dalam sistem sosial
yang kompleks. Empat petunjuk sederhana untuk mengembangkan kreativitas tim:
1. Menyediakan sumber daya yang memadai dan berkualitas.

2. Memberikan pengakuan dan penghargaan yang sesuai.

3. Memberikan fleksibilitas dan jumlah struktur minimum.

4. Menyediakan iklim dan budaya yang mendukung


10.6 Jenis-Jenis Tim

a. Tim Fungsional

Tim fungsional sebagian besar terdiri dari manajer fungsional dan sekelompok
kecil karyawan garis depan dalam departemen itu. Tim fungsional adalah

sekelompok karyawan yang tergabung dalam departemen fungsional yang


sama, seperti pemasaran, R&D, produksi, sumber daya manusia, atau sistem
informasi, yang memiliki tujuan yang sama.
b. Tim Lintas Fungsional

Tim lintas fungsi terdiri dari berbagai anggota dengan latar belakang,
pengetahuan, pengalaman, dan keahlian yang berbeda, yang dapat memecahkan
masalah dan juga membantu dalam pengambilan keputusan. Nama lain dari tim
jenis ini adalah tim lintas fungsi. Tim lintas fungsi terdiri dari anggota dari
departemen fungsional yang berbeda dari suatu organisasi yang dibawa bersama
untuk melakukan tugas-tugas unik untuk menciptakan produk atau layanan baru
dan tidak rutin. Anggota tim juga dapat mencakup perwakilan dari organisasi luar,
seperti pemasok, klien, dan mitra usaha patungan. Premis di balik konsep tim
lintas fungsi adalah bahwa interaksi, kerja sama, koordinasi, berbagi informasi,
dan fertilisasi silang ide di antara orang-orang dari area fungsional yang berbeda
(produksi, pemasaran, R&D, dan sebagainya) menghasilkan produk/layanan
berkualitas lebih baik dengan siklus perkembangan yang lebih pendek.
c. Tim Virtual

Dengan teknologi komunikasi modern telah datang tim virtual. Secara khusus,
teknologi baru dan canggih menyediakan sarana untuk pekerjaan yang tersebar
(dilakukan di lokasi yang berbeda) dan asinkron (dilakukan pada waktu yang
berbeda) untuk tetap dilakukan dalam pengaturan tim. Struktur kerja ini disebut
tim virtual dan dapat diatur sepanjang garis fungsional atau lintas fungsi. Tim
virtual adalah orang yang anggotanya tersebar secara geografis, mengharuskan
mereka untuk bekerja sama melalui sarana elektronik dengan interaksi tatap
muka yang minimal. Semakin banyak organisasi yang menggunakan tim virtual
untuk memberikan fleksibilitas sumber daya manusia, daya tanggap layanan
pelanggan, inovasi, dan kecepatan dalam penyelesaian proyek.
d. Tim yang Dikelola Sendiri
Tim yang dikelola sendiri adalah tim yang relatif otonom yang anggotanya
berbagi atau merotasi tanggung jawab kepemimpinan dan menganggap diri
mereka saling bertanggung jawab atas serangkaian tujuan kinerja yang
ditetapkan oleh manajemen yang lebih tinggi. Tim yang dikelola sendiri biasanya
lintas fungsi dalam susunan keanggotaan, dan memiliki keleluasaan yang luas
dalam bidang keputusan seperti mengelola diri mereka sendiri, merencanakan dan
menjadwalkan pekerjaan, dan mengambil tindakan terhadap masalah. Di dalam
tim, anggota menetapkan tujuan tugas untuk bidang tanggung jawab khusus
mereka yang mendukung pencapaian tujuan tim secara keseluruhan. Persepsi
umum adalah bahwa karakteristik ini membuat tim yang dikelola sendiri lebih
adaptif dan proaktif dalam perilaku mereka daripada tim tradisional.
10.7 Pengambilan Keputusan dalam Tim

Ketidakpastian, ambiguitas, dan keadaan lingkungan saat ini yang selalu


berubah mengharuskan para pemimpin mengetahui kapan harus membuat keputusan
dan kapan mengizinkan tim untuk membuat keputusan.
a. Model Pengambil Keputusan yang Berpusat pada Pemimpin

Cara seorang pemimpin menjalankan rapat tim sangat mempengaruhi apakah


ide-ide anggota tim diungkapkan. Jika seorang pemimpin tim mengambil posisi
kekuasaan dan menggunakan pendekatan arahan dari atas ke bawah, tanggapan
anggota tim akan cenderung dijaga dan berhati-hati. Menurut model pengambilan
keputusan ini, pemimpin menggunakan kekuatannya untuk memulai,
mengarahkan, mengarahkan, menginstruksikan, dan mengendalikan anggota tim.
Fokus pada pemimpin ini menunjukkan resep sukses berikut:
• Pemimpin harus fokus pada tugas dan mengabaikan perasaan dan hubungan
pribadi bila memungkinkan.
• Pemimpin harus mencari pendapat dan mencoba untuk mendapatkan
persetujuan tetapi tidak pernah melepaskan hak untuk membuat pilihan akhir.

• Pemimpin harus tetap mengendalikan diskusi kelompok setiap saat dan harus
dengan sopan tetapi tegas menghentikan tindakan yang mengganggu dan
diskusi yang tidak relevan.
• Pemimpin harus mencegah anggota mengekspresikan perasaan mereka dan
harus berusaha untuk mempertahankan diskusi yang rasional dan logis tanpa
ledakan emosi.
• Pemimpin harus waspada terhadap ancaman terhadap otoritasnya dalam
kelompok dan harus berjuang jika perlu untuk mempertahankannya.

b. Model Pengambilan Keputusan yang Berpusat Pada Tim

Model pengambilan keputusan yang berpusat pada tim lebih disukai ketika
informasi dan keahlian yang relevan tersebar di antara orang-orang yang berbeda,
ketika partisipasi diperlukan untuk mendapatkan komitmen yang diperlukan,
ketika memusatkan kekuatan pada satu individu merugikan tim, dan ketika
keputusan yang tidak populer perlu dibuat. Pendekatan yang berpusat pada tim
menawarkan kepada pemimpin tim resep berikut untuk sukses:
• Pemimpin harus mendengarkan dengan penuh perhatian dan mengamati
isyarat nonverbal untuk menyadari kebutuhan anggota, perasaan, interaksi, dan
konflik. Dalam melakukannya, pemimpin harus melihat kelompok sebagai
entitas kolektif atau sistem sosial daripada kumpulan individu.
• Peran pemimpin seharusnya menjadi konsultan, penasihat, guru, dan fasilitator,
bukan sebagai direktur atau manajer tim.

• Pemimpin harus mencontoh perilaku kepemimpinan yang tepat dan


mendorong anggota untuk belajar melakukan perilaku ini sendiri.

• Pemimpin harus membangun iklim persetujuan untuk ekspresi perasaan serta


ide-ide.
• Pemimpin harus menyerahkan kendali kepada tim dan membiarkannya
membuat pilihan akhir dalam semua jenis keputusan yang tepat.

c. Model Kepemimpinan Normatif


Model kepemimpinan normatif memiliki keputusan yang digerakkan oleh
waktu dan didorong oleh pengembangan yang memungkinkan pengguna untuk
memilih salah satu dari lima gaya kepemimpinan (memutuskan, berkonsultasi
secara individual, berkonsultasi dengan kelompok, memfasilitasi, dan
mendelegasikan) yang sesuai untuk situasi (tujuh pertanyaan / variabel) untuk
memaksimalkan keputusan. Untuk menggunakan model normatif, harus memiliki
keputusan khusus untuk membuat, memiliki wewenang untuk membuat
keputusan, dan memiliki pengikut potensial tertentu untuk berpartisipasi dalam
keputusan.
RPS 11
KEPEMIMPINAN STRATEGIS

11.1 Kepemimpinan Strategis

Kepemimpinan strategis adalah kemampuan seseorang untuk mengantisipasi,


membayangkan, mempertahankan fleksibilitas, berpikir secara strategis, dan bekerja
dengan orang lain untuk memulai perubahan yang akan menciptakan masa depan
yang layak bagi organisasi.
Kepemimpinan strategis harus melibatkan manajer di tingkat atas, menengah,
dan bawah organisasi. Namun, dari ketiga klasifikasi manajerial ini, manajer tingkat
atas (ahli strategi) jelas bertanggung jawab atas kinerja jangka pendek organisasi,
serta untuk menciptakan kondisi yang akan memastikan kelangsungan hidup
organisasi di masa depan.

Seorang pemimpin strategis dapat memilih untuk memusatkan kekuatan


pengambilan keputusan di tingkat eksekutif atau menyebarkannya ke seluruh
organisasi. Setiap pendekatan memiliki implikasi pada motivasi dan komitmen
pengikut.
11.2 Kegagalan Kepemimpinan Strategis

Keputusan strategis sering gagal karena kesalahan pembuat keputusan. Yang


bertanggung jawab ketika keputusan strategis gagal adalah CEO dan tim
kepemimpinan seniornya. Eksekutif senior gagal ketika visi strategis mereka untuk
organisasi berpihak pada kepentingan pribadi mereka dan tidak cukup untuk
kepentingan konstituen dan organisasi mereka; mereka menggunakan praktik yang
rawan kegagalan, mereka terlibat dalam atau membenarkan perilaku tidak etis.
Perusahaan yang berfokus pada pasar memastikan bahwa para manajernya terus-
menerus memfokuskan dan memfokuskan kembali sumber daya organisasi yang
penting pada portofolio peluang pasar yang selalu berubah yang menciptakan nilai
jangka panjang bagi semua pemangku kepentingan.
Intuisi eksekutif adalah kemampuan naluriah untuk mengidentifikasi sinyal lemah
di lingkungan dan merespons tanpa manfaat fakta dan informasi konkret. Terkadang
intuisi seperti itu dapat memicu imajinasi, kreativitas, dan inovasi, dan berkontribusi
pada kesuksesan perusahaan; di lain waktu dapat mengakibatkan kesalahan yang
spektakuler. Sementara beberapa orang melihat ini terlalu berisiko, yang lain
berpendapat bahwa keputusan intuitif diperlukan dalam lingkungan bisnis yang sangat
fluktuatif dan kompetitif secara global di mana waktu sangat penting.
11.3 Situasi yang Mempengaruhi Kepemimpinan Strategis

a. Kendala pada Eksekutif Puncak. Seberapa besar pengaruh yang dapat dimiliki
eksekutif puncak terhadap kinerja organisasi mereka sebagian ditentukan oleh
kendala internal dan eksternal pada keputusan dan tindakan mereka (Bromiley &
Rau, 2015; Hambrick, 2007; Hambrick & Finkelstein, 1987). Salah satu jenis
kendala internal melibatkan kekuatan dalam yang kuat atau koalisi dalam
organisasi.
b. Ketidakpastian dan Krisis Lingkungan. Kebijaksanaan seorang eksekutif untuk
membuat perubahan besar sebagian tergantung pada bagaimana pemangku
kepentingan internal dan eksternal memandang kinerja organisasi saat ini. Dalam
situasi krisis, para pemimpin diharapkan untuk mengambil tindakan yang lebih
tegas dan inovatif (Clair & Dufresne, 2007; de Kluyver & Pearce, 2015).
Dalam lingkungan yang relatif stabil, mengubah strategi tradisional yang telah
efektif dapat mengurangi kinerja keuangan daripada meningkatkannya
(McClelland, Liang, & Barker, 2009). Seringkali mahal untuk menerapkan strategi
baru, dan penurunan sementara dalam kinerja keuangan mungkin terjadi karena
biaya tambahan dikeluarkan dan orang belajar cara baru dalam melakukan sesuatu
(Lord & Maher, 1991).
11.4 Bagaimana Pemimpin Mempengaruhi Kinerja Organisasi

Pemimpin dapat melakukan banyak hal untuk mempengaruhi determinan


kinerja organisasi, dan dua pendekatan umum dijelaskan oleh Flexible Leadership
Theory (Yukl, 2008; Yukl & Lepsinger, 2004; Yukl & Mahsud, 2010). Salah satu
pendekatan adalah dengan menggunakan perilaku kepemimpinan untuk secara
langsung mempengaruhi individu dan kelompok. Perilaku berorientasi tugas yang
dijelaskan dalam bab-bab sebelumnya digunakan terutama untuk meningkatkan
efisiensi dan keandalan proses. Perilaku berorientasi hubungan digunakan terutama
untuk meningkatkan hubungan manusia dan sumber daya manusia. Perilaku
berorientasi perubahan digunakan terutama untuk meningkatkan inovasi dan adaptasi
terhadap lingkungan eksternal.
Pendekatan umum kedua adalah membuat keputusan tentang strategi bersaing,
struktur organisasi, dan program manajemen. Eksekutif puncak biasanya memiliki
tanggung jawab dan wewenang utama untuk keputusan tentang strategi kompetitif dan
pembuatan atau modifikasi program, sistem, dan struktur formal. Namun, upaya
terkoordinasi oleh para pemimpin di semua tingkatan dalam organisasi diperlukan
untuk memastikan bahwa strategi, program perbaikan, atau sistem manajemen baru
diterapkan secara efektif (Raes, Heijltjes, Glunk, & Roe, 2011). Kebanyakan teori
kepemimpinan menggambarkan pengaruh langsung dari perilaku pemimpin pada
sikap dan motivasi bawahan, tetapi bukan pengaruh tidak langsung pada anggota yang
berasal dari perubahan program dan sistem. Selama periode waktu yang lebih lama,
eksekutif puncak dan pemimpin lain dalam suatu organisasi juga dapat mempengaruhi
nilai-nilai budaya dengan kombinasi perilaku, program, dan sistem penghargaan.
RPS 12

TEORI KEPEMIMPINAN KARISMATIK, TRANSFORMASIONAL, DAN


TRANSAKSIONAL

12.1 Teori Kepemimpinan Karismatik

Karisma berasal dari kata Yunani yang berarti “hadiah yang diilhami ilahi,”
seperti kemampuan untuk melakukan mukjizat atau memprediksi peristiwa masa
depan. Weber (1947) menggunakan istilah tersebut untuk menggambarkan suatu
bentuk pengaruh yang tidak didasarkan pada tradisi atau otoritas formal tetapi lebih
pada persepsi pengikut bahwa pemimpin diberkahi dengan kualitas luar biasa.
Oleh karena itu Karisma didefinisikan sebagai konstruksi sosial antara
pemimpin dan pengikut, di mana pemimpin menawarkan visi transformatif atau ideal
yang melebihi status dan kemudian meyakinkan pengikut untuk menerima tindakan
ini bukan karena kemungkinan rasional keberhasilannya, tetapi karena keyakinan
implisit mereka dalam kualitas luar biasa dari pemimpin.
a. Perilaku Pemimpin Karismatik

1. Visi yang Baru dan Menarik. Karisma lebih mungkin dikaitkan dengan
pemimpin yang menganjurkan visi yang sangat tidak sesuai dengan status quo,
tetapi tidak terlalu radikal sehingga pengikut akan melihat pemimpin sebagai
tidak kompeten atau gila. Seorang pemimpin yang mendukung status quo atau
hanya mengadvokasi perubahan kecil dan bertahap tidak akan dipandang
sebagai karismatik.
2. Daya Tarik Emosional terhadap Nilai. Pemimpin lebih cenderung tampil
karismatik jika mereka membuat daya tarik emosional untuk nilai-nilai dan
cita-cita pengikut. Kadang-kadang pemimpin karismatik mempengaruhi
pengikut untuk merangkul nilai-nilai baru, tetapi lebih umum untuk
mengartikulasikan visi yang menjelaskan tujuan tugas dalam istilah ideologis
yang mencerminkan nilai-nilai pengikut yang ada..
3. Ekspresi Keyakinan dan Optimisme. Pemimpin yang mengekspresikan
antusiasme dan optimisme tentang inisiatif, proyek, atau strategi baru yang
diusulkan lebih cenderung dipandang sebagai karismatik daripada pemimpin
yang tampak ragu dan bingung.
4. Pengorbanan Diri. Pemimpin lebih cenderung dipandang sebagai karismatik
jika mereka membuat pengorbanan diri dan mengambil risiko pribadi untuk
mencapai visi yang mereka dukung. Kepercayaan tampaknya menjadi

komponen penting dari karisma, dan pengikut memiliki lebih banyak


kepercayaan pada seorang pemimpin yang tampaknya kurang termotivasi oleh
kepentingan pribadi daripada kepedulian terhadap pengikut.
5. Perilaku dan Metode yang Tidak Biasa. Karisma lebih cenderung dikaitkan
dengan para pemimpin yang menggunakan strategi yang tidak konvensional
dan inovatif yang tampaknya berhasil.
6. Tunjukkan Kemampuan Luar Biasa. Atribusi karisma kepada seorang
pemimpin meningkat ketika pemimpin itu menunjukkan kemampuan untuk
melakukan hal-hal yang tampak luar biasa bagi pengikutnya. Contohnya
adalah ketika seorang pemimpin agama muncul untuk melakukan mukjizat,
atau ketika seorang pemimpin bisnis menunjukkan bahwa ide yang sangat
inovatif dapat dengan cepat menghasilkan kesuksesan finansial yang tidak
biasa.
b. Proses Pengaruh dan Variabel Mediasi

1. Identifikasi personal. Pengikut dapat mengidentifikasi seorang pemimpin


karismatik sebagai diri ideal yang mencontohkan keinginan dan fantasi
mereka, dan yang berfungsi sebagai panutan yang ideal untuk ditiru. Pengikut
yang mengidentifikasi dengan pemimpin lebih mungkin untuk meniru perilaku
pemimpin, melaksanakan permintaan pemimpin, dan membuat upaya ekstra
untuk menyenangkan pemimpin.
2. Identifikasi Sosial. Identifikasi sosial yang kuat dengan kelompok atau
organisasi terjadi ketika orang menganggap keanggotaan di dalamnya sebagai
salah satu identitas sosial terpenting mereka. Mereka melihat bagaimana upaya
dan peran kerja mereka terkait dengan entitas yang lebih besar, membuat
pekerjaan mereka lebih bermakna dan penting. Identifikasi sosial juga dapat
ditingkatkan dengan penggunaan slogan, simbol (misalnya, bendera, lambang,
seragam), ritual (menyanyikan lagu atau lagu organisasi, menghormat bendera,
membaca kredo), dan upacara (misalnya, inisiasi organisasi baru). anggota).
3. Internalisasi. Dengan proses pengaruh ini, pengikut menerima misi atau
tujuan pemimpin sebagai hal yang layak untuk komitmen mereka. Visi yang
inspiratif dapat mempengaruhi pengikut untuk menginternalisasikan sikap dan
keyakinan yang selanjutnya akan menjadi sumber motivasi intrinsik untuk
menjalankan misi organisasi.

4. Kemanjuran Diri dan Kemanjuran Kolektif. Motivasi tugas juga


tergantung pada efikasi diri individu dan efikasi kolektif. Efikasi diri individu
adalah keyakinan bahwa seseorang kompeten dan mampu mencapai tujuan
tugas yang sulit. Kemanjuran kolektif mengacu pada persepsi anggota
kelompok bahwa mereka dapat mencapai prestasi luar biasa dengan bekerja
sama.
5. Manajemen Kesan. Pemimpin karismatik terampil dalam mengelola kesan
pengikut dan pemangku kepentingan utama lainnya untuk mempromosikan
citra positif diri mereka sendiri, serta kelompok dan organisasi yang mereka
wakili (Gardner & Avolio, 1998). Pemimpin karismatik biasanya mampu
memahami kebutuhan dan nilai-nilai pengikut dan tampil secara unik
memenuhi syarat untuk memenuhi kebutuhan ini dan mempromosikan nilai-
nilai ini.
6. Penularan Emosional. Seorang pemimpin yang sangat positif dan antusias
dapat mempengaruhi antusiasme pengikut untuk pekerjaan dan persepsi
mereka bahwa mereka dapat mencapai tujuan yang sulit. Selain itu, penularan
emosional dapat terjadi di antara para pengikut itu sendiri. Perasaan gembira
dan optimisme dapat menyebar dengan cepat dalam suatu kelompok atau
organisasi dan meningkatkan antusiasme dan pengabdian pengikut kepada
pemimpin. Kualitas yang dikaitkan dengan seorang pemimpin dapat menjadi
sangat dilebih-lebihkan ketika rumor dan cerita beredar di antara orang-orang
yang tidak memiliki kontak langsung dengan pemimpin tersebut.
c. Sifat dan Nilai Pemimpin Karismatik

Bank dkk. (2017) melakukan meta-analisis untuk menguji hubungan ciri-ciri


kepribadian Lima Besar dan kemampuan kognitif dengan kepemimpinan
karismatik. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa orang yang memiliki
kecerdasan di atas rata-rata, terbuka untuk pengalaman baru, ekstravert, teliti,
menyenangkan, dan stabil secara emosional lebih cenderung dianggap sebagai
pemimpin karismatik.
d. Situasi Kepemimpinan

1. Situasi Krisis. Pemimpin karismatik lebih mungkin muncul dalam situasi


krisis di mana ada ketakutan akan kerugian ekonomi, bahaya fisik, atau
ancaman terhadap nilai-nilai inti. Namun demikian, berbeda dengan sudut
pandang Weber (1947), Conger dan Kanungo (1987) tidak mempertimbangkan

tujuan krisis menjadi kondisi yang diperlukan untuk kepemimpinan


karismatik.
2. Ambiguitas Atribusi. Pengaruh karisma pada evaluasi pemimpin telah
terbukti paling besar ketika faktor-faktor yang bertanggung jawab atas kinerja
masa lalu (termasuk pengaruh pemimpin terhadapnya) tidak dapat
disimpulkan. Efek dari "ambiguitas atribusi" ini paling jelas dalam pemilihan
pemimpin untuk posisi penting, seperti ketika anggota dewan perusahaan
bertanggung jawab untuk menunjuk atau menunjuk kembali CEO. Jika kinerja
organisasi jelas baik (atau buruk), evaluasi pemimpin incumbent cenderung
positif (atau negatif), terlepas dari karisma pemimpin.
3. Karakteristik Pengikut. Atribusi karisma juga tergantung pada karakteristik
pengikut. Howell dan Shamir (2005) mengusulkan bahwa harga diri dan
identitas diri pengikut membantu menjelaskan jenis hubungan karismatik yang
akan terjadi. Pengikut yang tidak memiliki identitas diri yang jelas dan
bingung serta cemas tentang kehidupan mereka lebih tertarik pada pemimpin
yang kuat dengan orientasi kekuasaan yang dipersonalisasi yang dapat
memberikan identitas sosial yang jelas bagi mereka sebagai murid atau
pendukung setia.
4. Interaksi dengan Pemimpin. Atribusi karisma juga dipengaruhi oleh
kesempatan untuk berinteraksi langsung dengan pemimpin (Meindl, 1990;
Shamir, 1995). Atribusi tentang karisma dibuat tidak hanya oleh anggota
organisasi, tetapi juga oleh orang luar yang tidak memiliki kesempatan untuk
mengamati para pemimpin secara dekat.
5. Efek Pemimpin Karismatik Pada Pengikut

Ikatan emosional yang kuat seperti itu dimungkinkan karena pemimpin


karismatik diyakini memiliki kekuatan untuk melakukan perubahan radikal
berdasarkan kemampuannya. Beberapa efek lainnya adalah:
• Pengikut terinspirasi oleh "kebenaran" visi pemimpin dan ikatan yang kuat
berkembang.
• Penerimaan tanpa syarat dari pemimpin.

• Meningkatkan kepercayaan diri pengikut dan efikasi diri.


• Penerimaan pengikut terhadap tujuan yang lebih tinggi atau menantang.

• Peningkatan perilaku kewarganegaraan organisasi pengikut.

• Kecenderungan pengikut untuk menanggung risiko yang lebih besar.


• Loyalitas dan ketaatan yang kuat kepada pemimpin.

• Peningkatan motivasi pengikut untuk menetapkan atau membidik tujuan yang


lebih tinggi.
6. Bagaimana Seseorang Memperoleh Kualitas Karismatik
Strategi yang disarankan untuk memperoleh atau meningkatkan kualitas
karismatik seseorang meliputi:
1. Melalui pelatihan dan latihan, Anda dapat meningkatkan keterampilan
komunikasi dan interpersonal Anda. Pelatih atau terapis wicara dapat
membantu Anda mengatasi hambatan bicara seperti gagap yang mungkin
menghalangi Anda untuk berkomunikasi secara efektif.
2. Melalui pendidikan, Anda dapat mengembangkan keterampilan visioner
Anda dengan mempraktikkan tindakan menciptakan visi dalam kursus
perguruan tinggi seperti ini. Latihan bermain peran di akhir bab ini diarahkan
pada masalah ini.
3. Anda bisa berlatih jujur. Meskipun tidak peka, orang yang karismatik
biasanya berterus terang dalam memberikan penilaiannya terhadap suatu
situasi, apakah penilaian itu positif atau negatif. Pemimpin karismatik
langsung dalam pendekatan mereka, sehingga tidak ada ambiguitas tentang
posisi mereka dalam masalah.
4. Melalui lokakarya atau seminar pengembangan kepemimpinan, Anda
dapat mengembangkan profil kepribadian yang menarik, antusias, optimis,
dan energik. Pola perilaku utama pemimpin karismatik adalah kombinasi
visi, antusiasme, optimisme, dan tingkat energi tinggi yang mereka bawa ke
situasi. Seperti disebutkan sebelumnya, karisma adalah konsep relasional dan
pada akhirnya berasal dari atribusi pengikut.
12.2 Kepemimpinan Transformasional

JM Burns pertama kali mengartikulasikan ide kepemimpinan transformasional


pada tahun 1978 sebelum Bernard Bass mengembangkannya hampir satu dekade
kemudian. Burns mengusulkan dua pendekatan kepemimpinan untuk menyelesaikan
pekerjaan: transaksional dan transformasional.
Pemimpin transformasional dikenal untuk menggerakkan dan mengubah
organisasi "secara besar-besaran", dengan mengomunikasikan kepada pengikut visi
masa depan yang menginspirasi dan, seperti pemimpin karismatik, memanfaatkan
cita-cita dan keinginan yang lebih tinggi dari pengikut untuk berubah. Pemimpin
transformasional berusaha mengubah organisasi yang biasa-biasa saja dengan
mempengaruhi pengikutnya untuk membeli visi baru dan kemungkinan baru.
Kepemimpinan transformasional menggambarkan proses penciptaan visi yang
berani dan artikulasi yang mengubah dan mentransformasikan organisasi dan
individu. Sejumlah penelitian telah menyoroti efek kepemimpinan transformasional
pada berbagai hasil organisasi dan pengikut.
• Pada tingkat organisasi, penelitian telah menemukan bahwa kepemimpinan
transformasional memiliki efek positif pada kinerja organisasi, budaya, dan
pembelajaran. Pemimpin transformasional lebih cenderung menjadi pendukung
kuat kerja tim, kerja sama, dan inovasi.
• Pada tingkat individu, kepemimpinan transformasional telah ditemukan untuk
secara positif mempengaruhi komitmen organisasi pengikut dan komitmen
organisasi mencerminkan sejauh mana anggota setia dan mau bekerja keras untuk
mencapai tujuan organisasi. Komitmen organisasi memiliki implikasi langsung
pada karyawan tingkat turnover, kinerja, dan perilaku kewarganegaraan. Seorang
pemimpin transformasional yang efektif memiliki efek mempengaruhi pengikut
untuk beralih dari fokus pada kepentingan pribadi ke fokus pada kepentingan
kolektif.
a. Perilaku Pemimpin

1. Pengaruh yang diidealkan adalah perilaku yang meningkatkan identifikasi


pengikut dengan pemimpin, seperti memberi contoh keberanian dan dedikasi
dan membuat pengorbanan diri untuk menguntungkan pengikut.
2. Stimulasi intelektual adalah perilaku yang mempengaruhi pengikut untuk
melihat masalah dari perspektif baru dan mencari yang lebih kreatif solusi.
3. Pertimbangan individual termasuk memberikan dukungan, dorongan, dan
pembinaan kepada pengikut.
4. Motivasi inspirasional, yang mencakup mengomunikasikan visi yang
menarik, dan menggunakan simbol untuk memfokuskan upaya bawahan.
b. Situasi Kepemimpinan
Menurut Bass (1996, 1997), kepemimpinan transformasional dianggap efektif
dalam situasi atau budaya apa pun. Kriteria efektivitas kepemimpinan telah
mencakup berbagai jenis ukuran yang berbeda. Bukti mendukung kesimpulan
bahwa beberapa aspek kepemimpinan transformasional relevan bagi sebagian
besar pemimpin, tetapi tidak sama efektifnya dalam semua situasi. Komponen
kepemimpinan transformasional yang berorientasi pada perubahan cenderung
lebih penting dalam lingkungan yang dinamis dan tidak stabil yang meningkatkan
kebutuhan akan perubahan, dan kepemimpinan seperti itu lebih mungkin terjadi
ketika para pemimpin didorong dan diberdayakan untuk menjadi fleksibel dan
inovatif

12.3 Kepemimpinan Transaksional

Kepemimpinan transaksional berusaha untuk menjaga stabilitas dalam suatu


organisasi melalui pertukaran ekonomi dan sosial reguler yang mencapai tujuan
khusus bagi para pemimpin dan pengikutnya. Kepemimpinan transaksional
memotivasi para bawahan dengan menjanjikan sebuah imbalan atas kinerja mereka.
Penekanan dari kepemimpinan transaksional adalah pada proses perukaran antara
pemimpin dan bawahan.
Proses kepemimpinan transaksional melibatkan pertukaran manfaat yang
bernilai, berdasarkan harapan dan motivasi yang ditetapkan baik dari pemimpin
maupun pengikut. Pemimpin transaksional masuk ke dalam pengaturan kontrak
khusus dengan pengikut. Sebagai imbalan untuk memenuhi tujuan tertentu atau
melakukan tugas tertentu, pemimpin memberikan manfaat yang memuaskan
kebutuhan dan harapan pengikut. Ini mirip dengan proses pertukaran pemimpin-
anggota (LMX) di mana pemimpin memberi penghargaan kepada pengikut untuk
perilaku dan kinerja tertentu yang memenuhi harapan dan menghukum perilaku atau
kinerja yang tidak sesuai.
Studi terbaru, mengungkapkan bahwa kepemimpinan transaksional memang
memiliki efek substansial pada sikap karyawan, komitmen, perilaku kewarganegaraan
organisasi, dan kinerja pekerjaan. Kepemimpinan transaksional secara konseptual
mirip dengan bentuk pemeliharaan budaya kepemimpinan, yang bertindak untuk
memperjelas atau memperkuat tugas yang ada, standar kerja, dan hasil.
Dua jenis perilaku transaksional adalah imbalan kontingen dan manajemen
pasif dengan pengecualian. Perilaku penghargaan kontingen mencakup klarifikasi
pencapaian yang diperlukan untuk mendapatkan penghargaan, dan penggunaan
insentif untuk mempengaruhi motivasi tugas bawahan. Manajemen pasif dengan
pengecualian mencakup penggunaan hukuman kontingen dan tindakan korektif
lainnya dalam menanggapi penyimpangan yang jelas dari standar kinerja yang dapat
diterima.
Perilaku transaksional lain yang disebut manajemen aktif dengan pengecualian
ditambahkan dalam versi teori yang lebih baru (Bass & Avolio, 1990a). Perilaku ini
didefinisikan dalam hal mencari kesalahan dan menegakkan aturan untuk
menghindari kesalahan.
RPS 13

KEPEMIMPINAN ETIS DAN LINTAS BUDAYA SERTA KEBERAGAMAN DALAM


ORGANISASI

13.1 Konsep Kepemimpinan Etis

Kepemimpinan etis adalah perilaku berstandar normatif berupa nilai-nilai


moral, norma-norma, dan hal-hal yang baik-baik. Etika difungsikan sebagai penuntun
dalam bersikap dan bertindak menjalankan kehidupan menuju ke tingkat keadaan
yang lebih baik. Pada dasarnya arti hakiki etika adalah determinasi pedoman untuk
menjalankan apa-apa yang benar dan tidak melakukan apa-apa yang tidak benar.
Dengan demikian menjalankan suatu kehidupan yang beretika diyakini akan
membawa kehidupan pada suatu kondisi yang tidak menimbulkan efek negatif yang
merugikan bagi kehidupan di sekitarnya. Ditinjau dari segi evolusi, dimensi etika
dapat menjadi faktor kunci keberhasilan suatu kepemimpinan. Dalam suatu
organisasi, kepemimpinan yang dinilai baik apabila fungsi-fungsi kepemimpinan
dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip beretika. Kepemimpinan beretika akan
membuat suasana hubungan kerja dalam organisasi lebih nyaman dan terhindar dari
konflik vertikal maupun konflik horisontal. Sebab, pelaku-pelaku organisasi
menyadari keberadaan pedoman dan penuntun berupa prinsip-prinsip etika yang
membatasi gerak bersikap dan bertindak. Adapun prinsip-prinsip etika berorganisasi
adalah :
• Menjaga perasaan orang lain

• Memecahan masalah dengan rendah hati

• Menghindari pemaksaan kehendak tetapi menghargai pendapat orang lain

• Mengutamakan proses dialogis dalam memecahkan masalah

• Menanggapi suatu masalah dengan cepat

• Dan sesuai dengan keahlian (competence)

• Menyadari kesalahan dan berusaha untuk memperbaiki (improving value)

• Mengedepankan sikap jujur, disiplin, dan dapat dipercaya.

Satu hal lain yang juga penting adalah pemberlakuan sanksi yang dapat dijadikan
sebagai dasar bagi proses pembelajaran atas kesalahan yang diperbuat pelaku
organisasi. Sanksi dapat diberlakukan tanpa harus adanya diskriminasi. Oleh karena
itu setiap organisasi hendaknya mempunyai ´kode etik organisasi´ yang berfungsi
sebagai alat pengendalian atau pengawasan organisasi. Kode etik organisasi dan
perencanaan strategis (renstra) organisasi dapat dijadikan sebagai pedoman oleh
majelis pertimbangan organisasi mengawasi jalannya roda organisasi. Kode etik
organisasi disusun berdasarkan pertimbangan beberapa faktor :
• Peraturan dan ketentuan yang disepakati

• Sinergitas

• Persaingan yang sehat

• Competition is matter of spirit

• Not strength

• Tanggung jawab atau integritas

• Hubungan kerja

• Aspirasi

Etika kepemimpinan dalam menjalankan kegiatan organisasi merupakan dimensi


yang tidak terpisahkan dari kehidupan organisasi keseharian. Tanpa adanya etika
kepemimpinan yang efektif dapat mengakibatkan keseimbangan organisasi terganggu.
Etika kepemimpinan yang diterapkan oleh pengurus organisasi dalam
menjalankan roda organisasi dapat menebarkan nilai tambah (value added) bagi
peningkatan karakter diri terutama dalam kekokohan mental dan spiritual.

13.2 Kepemimpinan Lintas Budaya

13.1 Kegunaan Penelitian Lintas Budaya

Penelitian lintas budaya tentang kepemimpinan penting karena beberapa


alasan (Dorfman, 1996; House, Wright, & Aditya, 1997). Meningkatnya
globalisasi organisasi membuatnya lebih penting untuk belajar tentang
kepemimpinan yang efektif dalam budaya yang berbeda. Para pemimpin semakin
dihadapkan pada kebutuhan untuk mempengaruhi orang-orang dari budaya lain,
dan pengaruh yang berhasil membutuhkan pemahaman yang baik tentang budaya
ini. Pemimpin juga harus dapat memahami bagaimana orang-orang dari budaya
yang berbeda memandang mereka dan menafsirkan tindakan mereka. Untuk
memahami isu-isu ini, penting untuk memvalidasi teori kepemimpinan dalam
budaya yang berbeda dari yang teori itu dikembangkan. Beberapa aspek teori
kepemimpinan mungkin relevan untuk semua budaya, tetapi aspek lain mungkin
hanya berlaku untuk jenis budaya tertentu.
13.2 Pengaruh Budaya Terhadap Perilaku Kepemimpinan

Nilai-nilai budaya dan tradisi dapat mempengaruhi sikap dan perilaku manajer
dalam beberapa cara yang berbeda. Nilai-nilai tersebut kemungkinan akan
diinternalisasi oleh manajer yang tumbuh dalam budaya tertentu, dan nilai-nilai ini
akan mempengaruhi sikap dan perilaku mereka dengan cara yang mungkin tidak
disadari. Selain itu, nilai-nilai budaya tercermin dalam norma-norma masyarakat
tentang cara orang berhubungan satu sama lain. Norma budaya menentukan
bentuk perilaku kepemimpinan yang dapat diterima dan dalam beberapa kasus
dapat diformalkan sebagai hukum masyarakat yang membatasi penggunaan
kekuasaan untuk mempengaruhi keputusan dan tindakan orang lain. Terlepas dari
apakah mereka menginternalisasi nilai-nilai budaya tentang mempengaruhi
perilaku, sebagian besar manajer akan menyesuaikan diri dengan norma-norma
sosial tentang perilaku ini. Salah satu alasannya adalah bahwa penyimpangan dari
norma-norma sosial dapat mengakibatkan berkurangnya rasa hormat dan tekanan
sosial dari anggota organisasi lainnya. Alasan lain untuk kesesuaian dengan
norma-norma sosial adalah bahwa penggunaan perilaku yang tidak dapat diterima
kemungkinan akan merusak efektivitas perilaku.
13.3 Penelitian Kepemimpinan Lintas Budaya: Jenis dan Kesulitan

1. Jenis Studi Lintas Budaya

Seperti dalam kasus penelitian kepemimpinan yang dilakukan dalam satu


budaya, banyak penelitian lintas budaya tentang kepemimpinan melibatkan
perilaku, keterampilan, dan sifat pemimpin. Beberapa studi meneliti perbedaan
lintas budaya dalam keyakinan tentang perilaku, keterampilan, dan sifat
kepemimpinan yang efektif. Perbedaan pola perilaku kepemimpinan yang
sebenarnya dari satu negara ke negara lain adalah jenis studi lain. Namun jenis
studi lain meneliti perbedaan dalam hubungan perilaku kepemimpinan,
keterampilan, dan sifat-sifat untuk hasil seperti kepuasan bawahan, motivasi, dan
kinerja.
2. Masalah Metodologis

Beberapa masalah metodologis membuat penelitian lintas budaya menjadi


sangat sulit:
1. Kurangnya kesetaraan makna untuk ukuran yang dikembangkan di satu
negara dan kemudian digunakan di negara lain;
2. Efek pengganggu dari variabel demografis dan situasional yang tidak
dikendalikan oleh pengambilan sampel atau dengan analisis kovarians
3. Bias respons yang berbeda antar budaya

4. Kurangnya sampel yang representatif untuk digeneralisasikan tentang


negara-negara dengan perbedaan regional yang besar.

5. Tingkat masalah analisis yang disebabkan oleh penggunaan skor budaya


keseluruhan untuk prediktor (misalnya, dimensi nilai) tetapi perilaku atau
sikap individu sebagai variabel dependen.
3. Penelitian Lintas Budaya tentang Perbedaan Perilaku

Sebagian besar penelitian lintas budaya meneliti perbedaan di antara negara-


negara yang berkaitan dengan pola perilaku kepemimpinan dan penggunaan
praktik manajerial tertentu. Beberapa perbedaan lintas budaya melibatkan analisis
kuantitatif peringkat pada kuesioner perilaku untuk menentukan apakah suatu
jenis perilaku lebih banyak digunakan di satu budaya atau negara daripada yang
lain. Misalnya, Dorfman dan rekan (1997) menemukan bahwa manajer Amerika
menggunakan kepemimpinan yang lebih partisipatif daripada manajer di Meksiko
atau Korea. Namun, perbandingan kuantitatif skala berarti dari kuesioner deskripsi
perilaku diperumit oleh masalah metodologis seperti perancu dan kurangnya
kesetaraan (Peng, Peterson, & Shyi, 1991).
13.4 Dimensi Nilai Budaya dan Kepemimpinan

1. Jarak kekuasaan

Jarak kekuasaan didefinisikan sebagai sejauh mana orang menerima distribusi


kekuasaan dan status yang tidak merata dalam organisasi dan institusi. Dalam
budaya jarak kekuasaan tinggi, orang mengharapkan pemimpin memiliki otoritas
lebih, dan mereka lebih mungkin untuk mematuhi aturan dan arahan tanpa
mempertanyakan atau menantang mereka. Bawahan kurang bersedia untuk
menantang bos atau mengungkapkan ketidaksetujuan dengan mereka.
Kepemimpinan partisipatif dipandang sebagai atribut kepemimpinan yang
lebih menguntungkan dalam budaya jarak kekuasaan rendah seperti Eropa Barat,
Selandia Baru, dan Amerika Serikat daripada di negara-negara jarak kekuasaan
tinggi seperti Rusia, Cina, Taiwan, Meksiko, dan Venezuela (Dorfman, Hanges, &
Brodbeck, dalam pers). Kebijakan dan aturan formal yang ditetapkan oleh
manajemen puncak lebih sering digunakan untuk menangani peristiwa, dan
manajer lebih jarang berkonsultasi dengan bawahan ketika membuat keputusan
(Smith, Peterson, Schwartz, Ahmad, et al., 2002).
2. Penghindaran ketidakpastian

Penghindaran ketidakpastian adalah sejauh mana orang merasa tidak nyaman


dengan situasi ambigu dan ketidakmampuan untuk memprediksi peristiwa masa
depan. Dalam budaya dengan penghindaran ketidakpastian yang tinggi, ada lebih
banyak ketakutan akan hal yang tidak diketahui, dan orang-orang menginginkan
lebih banyak keamanan, stabilitas, dan ketertiban. Norma sosial, tradisi,
kesepakatan rinci, dan keahlian bersertifikat lebih dihargai, karena mereka
menawarkan cara untuk menghindari ketidakpastian dan kekacauan.
3. Individualisme vs Kolektivisme

Individualisme adalah sejauh mana kebutuhan dan otonomi individu lebih


penting daripada kebutuhan kolektif kelompok, organisasi, atau masyarakat.
Dalam budaya individualistis, hak individu lebih penting daripada tanggung jawab
sosial, dan orang diharapkan untuk menjaga diri mereka sendiri. Contoh negara
dengan nilai individualisme yang kuat antara lain Amerika Serikat, Australia,
Inggris, dan Belanda.
Implikasi dari nilai-nilai kolektivistik sebagian bergantung pada apakah nilai-
nilai itu lebih penting bagi kelompok dalam atau masyarakat yang lebih besar,
tetapi sebagian besar penelitian lintas budaya telah menekankan kolektivisme
dalam kelompok. In-group dapat didasarkan pada ikatan keluarga, latar belakang
agama atau etnis, keanggotaan dalam partai politik, atau hubungan bisnis
kolaboratif yang stabil. Dalam budaya kolektivistik, keanggotaan dalam kelompok
yang kohesif merupakan aspek penting dari identitas diri seseorang, dan loyalitas
kepada kelompok itu penting. Orang cenderung tidak berganti pekerjaan, dan
anggota lebih mungkin untuk menyumbangkan waktu mereka untuk melakukan
pekerjaan ekstra dan "perilaku kewargaan organisasi". Pada gilirannya, kelompok
diharapkan untuk menjaga anggotanya. Contoh negara dengan nilai kolektivistik
yang kuat antara lain Cina, Argentina, Meksiko, dan Swedia.
4. Egalitarianisme Gender

Egalitarianisme gender adalah sejauh mana pria dan wanita menerima


perlakuan yang sama, dan atribut maskulin dan feminin dianggap penting dan
diinginkan. Dalam budaya dengan egalitarianisme gender yang tinggi, peran seks
tidak dibedakan secara jelas, dan pekerjaan tidak dipisahkan berdasarkan gender.
Perempuan memiliki kesempatan yang lebih sama untuk dipilih untuk posisi
kepemimpinan penting, meskipun akses masih lebih besar untuk posisi sektor
publik daripada di perusahaan bisnis. Dengan tidak adanya ekspektasi peran
gender yang sangat berbeda, pemimpin laki-laki dan perempuan kurang dibatasi
dalam perilaku mereka, dan ada sedikit bias dalam bagaimana perilaku mereka
dievaluasi oleh bawahan dan bos. Contoh negara dengan nilai egaliter gender yang
kuat antara lain Norwegia, Swedia, Denmark, dan Belanda. Negara-negara dengan
tingkat egalitarianisme gender yang rendah antara lain Jepang, Italia, Meksiko,
dan Swiss.
5. Orientasi Kinerja

Sejauh mana kinerja tinggi dan prestasi individu dihargai disebut orientasi
kinerja. Nilai dan atribut terkait termasuk kerja keras, tanggung jawab, daya saing,
ketekunan, inisiatif, pragmatisme, dan perolehan keterampilan baru. Dalam
masyarakat dengan nilai-nilai orientasi kinerja yang kuat, hasil lebih ditekankan
daripada orang. Apa yang Anda lakukan lebih penting daripada siapa Anda
(misalnya, jenis kelamin, keluarga atau latar belakang etnis), dan pencapaian
individu dapat menjadi sumber status dan harga diri yang penting. Menyelesaikan
tugas secara efektif dapat diprioritaskan di atas kebutuhan individu atau loyalitas
keluarga. Orientasi kinerja dipengaruhi oleh iklim suatu negara dan cenderung
lebih tinggi di lintang dengan iklim yang lebih dingin, mungkin karena pada suatu
waktu kelangsungan hidup lebih bergantung padanya. Pada abad-abad
sebelumnya, nilai-nilai orientasi kinerja juga sangat terkait dengan agama, dan
negara-negara dengan "etika Protestan" yang kuat (misalnya, Amerika Serikat,
Inggris, Jerman, Belanda) memiliki perkembangan industri yang lebih cepat
daripada negara-negara di mana agama Katolik dominan ( misalnya, Prancis,
Italia, Spanyol, Meksiko).
Orientasi kinerja berimplikasi pada kepemimpinan, karena beberapa jenis
perilaku kepemimpinan lebih relevan untuk meningkatkan kinerja dan efisiensi.
Contohnya termasuk menetapkan tujuan atau standar yang menantang,
mengembangkan rencana tindakan dengan jadwal dan tenggat waktu,
mengungkapkan keyakinan bahwa bawahan dapat meningkatkan kinerja,
mengembangkan keterampilan yang relevan dengan pekerjaan bawahan,
mendorong inisiatif, dan memberikan pujian dan penghargaan atas prestasi.
Perilaku yang relevan untuk pemimpin tim juga mencakup perencanaan dan
penjadwalan pekerjaan untuk meningkatkan koordinasi, pemantauan operasi untuk
mendeteksi masalah yang perlu diselesaikan, dan memfasilitasi pekerjaan dengan
memperoleh sumber daya dan informasi yang diperlukan. Dalam budaya orientasi
kinerja tinggi, pemilihan anggota untuk tim dengan tugas penting kemungkinan
besar didasarkan pada bakat, bukan pada persahabatan atau hubungan keluarga.
6. Orientasi Manusiawi
Orientasi manusiawi berarti kepedulian yang kuat terhadap kesejahteraan
orang lain dan kesediaan untuk mengorbankan kepentingan diri sendiri untuk
membantu orang lain. Nilai-nilai kunci termasuk altruisme, kebajikan, kebaikan,
kasih sayang, cinta, dan kemurahan hati. Nilai-nilai ini cenderung diasosiasikan
dengan kebutuhan yang lebih kuat akan afiliasi dan rasa memiliki daripada
kesenangan, pencapaian, atau kekuasaan. Altruisme dan kebaikan tidak terbatas
pada keluarga seseorang atau in-group etnis/agama, melainkan mencakup
kepedulian kemanusiaan untuk semua orang. Nilai-nilai kemanusiaan bagi seorang
individu sangat dipengaruhi oleh pengalaman keluarga, pola asuh, dan ajaran
agama serta oleh norma-norma budaya. Masyarakat dengan orientasi kemanusiaan
yang kuat mendorong dan menghargai individu karena bersikap ramah, peduli,
murah hati, dan baik kepada orang lain. Masyarakat seperti itu cenderung
menginvestasikan lebih banyak sumber daya dalam mendidik dan melatih orang
untuk berkarir dan dalam memberikan perawatan kesehatan dan layanan sosial
kepada orang-orang.
7. Gugus Budaya

Dimensi nilai budaya cukup saling berkorelasi, dan memeriksa perbedaan


untuk satu dimensi nilai tanpa mengendalikan yang lain membuat sulit untuk
menentukan efek independennya pada keyakinan dan perilaku kepemimpinan.
Misalnya, di negara yang memiliki jarak kekuasaan yang tinggi dan toleransi
ketidakpastian yang rendah, tidak jelas seberapa besar setiap nilai mempengaruhi
penekanan pada keputusan terpusat untuk sebuah perusahaan. Untuk alasan ini,
para peneliti telah mengelompokkan negara ke dalam kelompok berdasarkan
kedekatan regional dan kesamaan latar belakang etnis/agama. Para peneliti
GLOBE mengelompokkan 60 negara ke dalam 10 cluster berdasarkan kedekatan
regional dan kesamaan bahasa, latar belakang etnis, dan agama. Kemudian analisis
diskriminan menegaskan bahwa klasifikasi negara ke dalam kelompok secara
akurat mencerminkan perbedaan sembilan nilai budaya untuk masing-masing
negara.
Cluster dibandingkan berkaitan dengan keyakinan kepemimpinan, dan
perbedaan ditemukan di antara cluster untuk beberapa keyakinan tentang
kepemimpinan yang efektif. Misalnya, kepemimpinan partisipatif dianggap lebih
penting di kelompok Anglo, Eropa Jerman, dan Eropa Nordik daripada di
kelompok Eropa Timur, Asia Selatan, Asia Konghucu, dan Timur Tengah.
Menunjukkan kepedulian manusiawi yang kuat terhadap orang lain dianggap lebih
penting untuk kepemimpinan yang efektif di klaster Asia Selatan dan Afrika
SubSahara daripada di klaster Eropa Jerman atau Eropa Latin. Penelitian masa
depan akan melihat lebih dekat pada perbedaan perilaku kepemimpinan aktual
yang sesuai dengan perbedaan teori implisit tentang kepemimpinan yang efektif.
RPS 14
PENGEMBANGAN KEPEMIMPINAN

14.1 Program Pelatihan Kepemimpinan

Program pelatihan formal banyak digunakan untuk meningkatkan


kepemimpinan dalam organisasi. Sebagian besar program pelatihan kepemimpinan
dirancang untuk meningkatkan keterampilan dan perilaku umum yang relevan
untuk efektivitas dan kemajuan manajerial. Pelatihan biasanya lebih dirancang
untuk manajer tingkat bawah dan menengah dari pada untuk eksekutif puncak, dan
biasanya lebih menekankan pada keterampilan yang dibutuhkan oleh manajer di
posisi mereka saat ini dari pada keterampilan yang dibutuhkan untuk
mempersiapkan promosi ke posisi yang lebih tinggi (Rothwell & Kazanas , 1994).
a. Jenis Program Pelatihan Kepemimpinan

Pelatihan kepemimpinan dapat mengambil banyak bentuk, dari lokakarya


singkat yang berlangsung hanya beberapa jam dan berfokus pada serangkaian
keterampilan yang sempit hingga program yang berlangsung selama satu
tahun atau lebih dan mencakup berbagai keterampilan. Banyak perusahaan
konsultan mengadakan lokakarya kepemimpinan singkat yang terbuka untuk
manajer dari organisasi yang berbeda. Perusahaan konsultan lain merancang
program pelatihan kepemimpinan yang disesuaikan dengan kebutuhan
organisasi tertentu. Sebagian besar universitas menawarkan program
pengembangan manajemen yang dapat diikuti secara paruh waktu. Banyak
organisasi memberikan kompensasi kepada karyawan untuk biaya menghadiri
lokakarya dan kursus di luar. Beberapa organisasi besar seperti Apple, Disney,
General Electric, IKEA, McDonald's, Motorola, Toyota, Unilever,
mengoperasikan pusat pelatihan manajemen atau universitas perusahaan untuk
karyawan (Allen, 2014; Rio, 2018).
Sejumlah program pelatihan didasarkan pada penerapan teori kepemimpinan
tertentu. Contohnya termasuk program pelatihan berdasarkan model keputusan
dan kepemimpinan transformasional. Ulasan penelitian tentang program
pelatihan berbasis teori menemukan bukti bahwa mereka terkadang
meningkatkan efektivitas manajerial. Namun, penting untuk dicatat bahwa
beberapa penelitian menentukan apakah peningkatan peringkat perilaku atau
efektivitas pemimpin adalah hasil dari belajar dan menerapkan teori atau dari
peningkatan keterampilan yang tidak termasuk dalam teori.
b. Desain Pelatihan Kepemimpinan

Efektivitas program pelatihan formal sangat tergantung pada seberapa


baik mereka dirancang. Desain pelatihan harus mempertimbangkan teori
pembelajaran, tujuan pembelajaran khusus, karakteristik peserta, dan
pertimbangan praktis seperti kendala dan biaya dalam kaitannya dengan
manfaat. Desain program harus mempertimbangkan teori pembelajaran, tujuan
pembelajaran khusus, karakteristik peserta, dan pertimbangan praktis seperti
waktu dan biaya yang tersedia.
Tujuan pembelajaran khusus di awal program pelatihan akan
membantu memperjelas tujuan pelatihan dan relevansinya bagi peserta
pelatihan. Isi pelatihan harus jelas dan bermakna, dimana itu harus dibangun
di atas pengetahuan awal peserta pelatihan, dan harus memusatkan perhatian
pada hal-hal penting. Kegiatan pelatihan harus diatur dan diurutkan
sedemikian rupa sehingga memudahkan pembelajaran. Pelatihan harus
berkembang dari ide dasar yang sederhana ke ide yang lebih kompleks, dan
materi yang kompleks harus dipecah menjadi komponen atau modul yang
lebih mudah dipelajari secara terpisah daripada secara bersamaan.
Banyak jenis metode pelatihan yang digunakan dalam program
kepemimpinan, termasuk kuliah dan diskusi, bermain peran, pemodelan peran
perilaku, analisis kasus, dan simulasi. Metode pelatihan harus sesuai dengan
pengetahuan, keterampilan, sikap, atau perilaku yang akan dipelajari. Dalam
memilih metode, penting juga untuk mempertimbangkan keterampilan,
motivasi, dan kapasitas peserta pelatihan saat ini untuk memahami informasi
yang kompleks. Peserta pelatihan harus memiliki banyak kesempatan untuk
mempraktikkan keterampilan yang mereka pelajari selama pelatihan dan
sesudahnya. Latihan aktif harus mencakup umpan balik yang akurat, tepat
waktu, dan konstruktif untuk membantu peserta memantau kemajuan mereka
sendiri dan mengevaluasi apa yang mereka ketahui.
c. Efek Pelatihan Kepemimpinan

Kriteria untuk menilai efektivitas program pelatihan formal meliputi

(1) reaksi sikap peserta yaitu, peringkat utilitas pelatihan dan kepuasan dengan
pelatihan/instruktur; (2) belajar dalam bentuk penguasaan pengetahuan dan

keterampilan; (3) transfer pembelajaran dimana peserta pelatihan


memanfaatkan keterampilan dan kemampuan yang diperoleh untuk
meningkatkan kinerja; dan (4) hasil dalam bentuk hasil organisasi yang positif
seperti biaya yang lebih rendah, peningkatan keuntungan, dan pengurangan
ketidakhadiran dan pergantian (Lacerenza et al., 2017). Seberapa besar
pelatihan kepemimpinan dapat mempengaruhi hasil ini tergantung pada
kepribadian dan kemampuan peserta pelatihan, desain dan pelaksanaan
pelatihan, dan kondisi pendukung dalam organisasi. Kepentingan relatif dari
determinan yang berbeda tergantung sebagian pada jenis pelatihan dan ukuran
hasil. Efektivitas pelatihan ditingkatkan dengan memasukkan analisis
kebutuhan, beberapa metode penyampaian, penyampaian tatap muka, umpan
balik, sesi pelatihan dengan jarak, dan lokasi pelatihan di tempat.
14.2 Belajar dari Pengalaman

Banyak keterampilan yang dibutuhkan untuk kepemimpinan yang efektif


dipelajari dari pengalaman ketimbang dari program pelatihan formal. Penugasan
khusus memberikan kesempatan untuk mengembangkan dan menyempurnakan
keterampilan kepemimpinan selama pelaksanaan tugas pekerjaan reguler. Coaching
dan mentoring dapat digunakan untuk membantu manajer menginterpretasikan
pengalaman mereka dan mempelajari keterampilan baru. Manajer dapat meniru
perilaku efektif yang dimodelkan oleh bos yang kompeten. Manajer juga dapat
mempelajari apa yang tidak boleh dilakukan dari mengamati atasan yang tidak efektif
atau yang terlibat dalam perilaku tidak etis.
a. Jumlah Tantangan

Situasi yang menantang adalah situasi yang melibatkan masalah yang tidak biasa
untuk dipecahkan, hambatan yang sulit untuk diatasi, dan keputusan yang berisiko
untuk dibuat. Beberapa contoh situasi yang menantang termasuk berurusan dengan
merger atau reorganisasi, memimpin tim atau gugus tugas lintas fungsi, menerapkan
perubahan besar, mengatasi kondisi bisnis yang tidak menguntungkan, membalikkan
unit organisasi yang lemah, membuat transisi ke jenis manajerial yang berbeda. posisi,
dan mengelola di negara dengan budaya yang berbeda. Situasi ini mengharuskan
manajer untuk mencari informasi baru, melihat masalah dengan cara baru, membangun
hubungan baru, mencoba perilaku baru, mempelajari keterampilan baru, dan
mengembangkan pemahaman yang lebih baik tentang diri mereka sendiri.

Mengalami keberhasilan dalam menangani tantangan yang sulit sangat penting


untuk pengembangan kepemimpinan. Dalam prosesnya, manajer mempelajari
keterampilan baru dan mendapatkan kepercayaan diri. Namun, belajar dari pengalaman
dapat melibatkan kegagalan dan juga kesuksesan. Manajer yang mengalami kesulitan
dan kegagalan lebih awal dalam karir mereka lebih mungkin untuk berkembang dan
maju ke tingkat yang lebih tinggi daripada manajer yang hanya mengalami serangkaian
kesuksesan awal. Jenis-jenis pengalaman sulit yang dianggap signifikan untuk
perkembangan termasuk kegagalan dalam keputusan bisnis, kesalahan dalam berurusan
dengan orang- orang penting, kemunduran karir, dan trauma pribadi. Namun,
mengalami kegagalan mungkin tidak menghasilkan pembelajaran dan perubahan yang
bermanfaat kecuali seseorang menerima tanggung jawab untuk itu, mengakui
keterbatasan pribadi, dan menemukan cara untuk mengatasinya. Terlebih lagi, ketika
jumlah stres dan tantangan berlebihan, dukungan dan pembinaan mungkin diperlukan
untuk mencegah orang menyerah dan menarik diri dari situasi sebelum perkembangan
terjadi.
b. Variasi Tugas

Pertumbuhan dan pembelajaran lebih besar ketika pengalaman kerja beragam serta
menantang. Pengalaman kerja yang beragam mengharuskan manajer untuk
beradaptasi dengan situasi baru dan menangani jenis masalah baru. Keberhasilan
berulang dalam menangani satu jenis masalah memperkuat kecenderungan seseorang
untuk menafsirkan dan menangani masalah baru dengan cara yang sama, meskipun
pendekatan yang berbeda mungkin lebih efektif. Dengan demikian, bermanfaat bagi
manajer untuk memiliki pengalaman awal dengan berbagai masalah yang
memerlukan perilaku dan keterampilan kepemimpinan yang berbeda.
Beberapa cara untuk memberikan berbagai tantangan pekerjaan termasuk
membuat penugasan pengembangan khusus, merotasi manajer di antara posisi di
subunit fungsional yang berbeda dari organisasi, memberikan penugasan di posisi lini
dan staf, dan membuat penugasan asing dan domestik. Berbagai tantangan dapat juga
akan dirancang ke dalam simulasi. Efektivitas tugas perkembangan dan simulasi yang
dirancang untuk meningkatkan kemampuan beradaptasi dapat ditingkatkan dengan
mempersiapkan peserta terlebih dahulu untuk melihat masalah dengan cara baru
dan menjadi lebih fleksibel dalam perilaku mereka (Nelson, Zaccaro, & Herman,
2010).
c. Umpan Balik yang Akurat dan Relevan

Lebih banyak pembelajaran terjadi selama tugas operasional ketika orang


mendapatkan umpan balik yang akurat tentang perilaku mereka dan
konsekuensinya dan menggunakan umpan balik ini untuk menganalisis
pengalaman mereka dan belajar dari mereka. Sayangnya, umpan balik yang
berguna tentang perilaku manajer jarang diberikan dalam tugas operasional, dan
bahkan jika tersedia, itu mungkin tidak menghasilkan pembelajaran. Sejauh mana
seseorang bersedia menerima umpan balik tergantung pada beberapa sifat yang
sama yang terkait dengan efektivitas manajerial. Orang yang defensif dan tidak
aman cenderung menghindari atau mengabaikan informasi tentang kelemahan
mereka. Orang-orang yang percaya bahwa sebagian besar peristiwa ditentukan
oleh kekuatan eksternal yang tidak terkendali cenderung tidak menerima tanggung
jawab atas kegagalan atau menggunakan umpan balik untuk meningkatkan
keterampilan dan kinerja masa depan mereka.
Hambatan untuk belajar dari pengalaman paling besar terjadi pada tingkat
manajemen yang lebih tinggi. Eksekutif cenderung menjadi terisolasi dari semua
kecuali sejumlah kecil orang yang berinteraksi dengan mereka secara teratur
dalam organisasi, dan orang-orang ini kebanyakan adalah eksekutif lain yang juga
terisolasi. Keberhasilan dalam mencapai posisi kekuasaan dan prestise yang tinggi
cenderung memberikan kepercayaan diri kepada eksekutif tentang gaya
manajemen mereka, dan hal itu dapat berkembang menjadi perasaan superioritas
yang menyebabkan eksekutif mengabaikan atau mengabaikan kritik dari orang
lain yang tidak begitu sukses. Selain itu, ketika eksekutif menjadi lebih kuat,
orang menjadi lebih enggan mengambil risiko menyinggung mereka dengan
memberikan kritik.
14.3 Kegiatan Pengembangan

Sejumlah kegiatan dapat digunakan untuk memfasilitasi pembelajaran


keterampilan yang relevan dari pengalaman di tempat kerja. Kegiatan pengembangan
ini dapat digunakan untuk melengkapi pembinaan informal oleh atasan atau rekan
kerja, dan sebagian besar dapat digunakan bersama dengan program pelatihan formal.
Enam dari kegiatan pengembangan akan dijelaskan dalam bagian bab ini, termasuk
program umpan balik multisumber, tugas pengembangan, pendampingan, pembinaan
eksekutif, simulasi, dan program pertumbuhan pribadi.
a. Program Umpan Balik Multi-Sumber
Memberikan umpan balik perilaku dari berbagai sumber adalah metode yang
banyak digunakan untuk pengembangan manajemen di organisasi besar. Nama
lain untuk metode ini adalah “umpan balik 360 derajat” dan “umpan balik
multipenilai”. Program umpan balik multi-sumber dapat digunakan untuk
berbagai tujuan, tetapi yang utama adalah untuk menilai kekuatan dan kebutuhan
pengembangan masing-masing manajer. Asumsi dasar dari program umpan balik
adalah bahwa sebagian besar manajer tidak memiliki pengetahuan yang akurat
tentang keterampilan dan perilaku mereka, dan umpan balik dapat digunakan
untuk memperbaikinya.
Dalam program umpan balik, manajer menerima informasi tentang
keterampilan atau perilaku mereka dari kuesioner standar yang diisi oleh orang
lain seperti bawahan, rekan kerja, atasan, dan terkadang orang luar seperti klien.
Kuesioner yang digunakan untuk memberikan umpan balik dapat disesuaikan
untuk organisasi tertentu, tetapi sebagian besar lokakarya umpan balik masih
menggunakan kuesioner standar.
b. Pusat Penilaian Perkembangan

Di pusat penilaian, sifat dan keterampilan manajerial diukur dengan metode


seperti wawancara, tes bakat, tes kepribadian, tes situasional, esai otobiografi
singkat, latihan berbicara, dan latihan menulis. Informasi dari berbagai sumber ini
diintegrasikan dan digunakan untuk mengembangkan evaluasi keseluruhan
potensi pengelolaan setiap peserta. Pusat penilaian pada awalnya hanya digunakan
untuk keputusan seleksi dan promosi, tetapi kemudian ditemukan bahwa mereka
juga berguna untuk mengembangkan manajer.
Dibandingkan dengan lokakarya umpan balik, pusat penilaian perkembangan
menggunakan prosedur yang lebih intensif dan serangkaian tindakan yang lebih
komprehensif untuk meningkatkan pemahaman diri, mengidentifikasi kekuatan
dan kelemahan, dan menilai kebutuhan perkembangan. Informasi tentang perilaku
manajer dapat diperoleh dari orang-orang yang berinteraksi dengan manajer
secara teratur dan dari pengamatan manajer dalam simulasi dan latihan. Fasilitator
juga mengumpulkan informasi tentang pengalaman, motif, ciri kepribadian,
keterampilan, minat, dan aspirasi manajer sebelumnya.
Informasi tentang perilaku dan keterampilan diintegrasikan dengan informasi
tentang motif, latar belakang, pengalaman, dan aspirasi karir untuk memberikan
gambaran yang lebih lengkap tentang kekuatan, kelemahan, dan potensi
seseorang. Alasannya adalah bahwa umpan balik perilaku saja tidak cukup untuk
mengubah perilaku tidak efektif yang didukung oleh motif, nilai, dan konsep diri
yang kuat. Peserta juga menerima konseling tentang kebutuhan perkembangan dan
pilihan karir. Untuk menghindari bahaya yang melekat dalam umpan balik yang
ditingkatkan ini, Kaplan dan Palus (1994) menekankan perlunya pemilihan peserta
yang cermat untuk menyaring orang-orang yang tidak akan mendapat manfaat
darinya atau yang mungkin tidak dapat menangani stres. Peserta juga menerima
konseling tentang kebutuhan perkembangan dan pilihan karir.
c. Tugas Pengembangan

Beberapa tugas pengembangan dapat dilakukan bersamaan dengan tanggung


jawab pekerjaan biasa, dan Lombardo dan Eichinger (1989) mengidentifikasi
berbagai jenis tugas khusus yang dapat digunakan untuk mengembangkan
keterampilan manajerial dalam pekerjaan saat ini. Beberapa contoh termasuk
mengelola proyek baru atau operasi start-up, melayani sebagai perwakilan
departemen dalam tim lintas fungsi, memimpin satuan tugas khusus untuk
merencanakan perubahan besar atau menangani masalah operasional yang serius,
mengembangkan dan melaksanakan program pelatihan untuk unit organisasi, dan
memikul tanggung jawab untuk beberapa kegiatan administratif yang sebelumnya
ditangani oleh atasannya misalnya, menyiapkan anggaran, mengembangkan
rencana strategis, mengadakan rapat.
McCauley dan rekan (1995) menyarankan beberapa cara untuk meningkatkan
perencanaan dan penggunaan tugas perkembangan. Tantangan dan kesempatan
belajar yang diberikan oleh setiap jenis tugas harus disesuaikan dengan kebutuhan
perkembangan manajer, aspirasi karir, dan orientasi belajar. Manajer perlu
menjadi lebih sadar akan pentingnya tugas pengembangan, dan mereka harus
berbagi tanggung jawab untuk merencanakannya. Tantangan dan manfaat yang
diberikan oleh penugasan khusus harus dilacak, dan informasi ini harus dikaitkan
dengan konseling karir dan perencanaan suksesi. Setelah tugas pengembangan
selesai, penting bagi seorang manajer untuk merefleksikan pengalaman dan
mengidentifikasi pelajaran yang telah dipelajari.
d. Mentoring
Program pendampingan formal digunakan untuk memfasilitasi pengembangan
manajemen di banyak organisasi. Mentoring adalah hubungan di mana manajer
yang lebih berpengalaman membantu anak didik yang kurang berpengalaman.
Mentor dapat memfasilitasi penyesuaian, pembelajaran, dan pengurangan stres
selama transisi pekerjaan yang sulit, seperti promosi ke posisi manajerial pertama,
transfer atau promosi ke unit fungsional yang berbeda dalam organisasi,
penugasan di negara asing, atau penugasan di organisasi yang telah digabungkan,
ditata ulang, atau dirampingkan. Mentor biasanya berada pada tingkat manajerial
yang lebih tinggi dan bukan atasan langsung anak didik (McCauley & Douglas,
1998).
Penelitian tentang mentor (Kram, 1985; Noe, 1988) menemukan bahwa mereka
menyediakan fungsi psikososial (penerimaan, dorongan, pembinaan, konseling)
dan fungsi fasilitasi karir (sponsor, perlindungan, tugas menantang, paparan, dan
visibilitas). Sebuah studi oleh Lapierre, Naidoo, dan Bonaccio 2012
mengungkapkan bahwa penyediaan dukungan karir bergantung pada kinerja tugas
anak didik dan sejauh mana konsep diri mentor didefinisikan dalam hal hubungan
dengan orang lain yang signifikan. Mentor dengan konsep diri relasional yang
lebih kuat memberikan lebih banyak dukungan karir, terutama untuk anak didik
berkinerja tinggi. Namun, konsep diri relasional mentor dan kinerja tugas anak
didik tidak berdampak pada jumlah dukungan psikososial yang diberikan. Secara
umum, penelitian menunjukkan bahwa pendampingan dapat menjadi teknik yang
berguna untuk memfasilitasi kemajuan karir, penyesuaian terhadap perubahan, dan
kepuasan kerja dan kesejahteraan anak didik. Mentoring juga menawarkan
keuntungan seperti komitmen organisasi yang lebih kuat dan turnover yang lebih
rendah
e. Pelatihan Eksekutif

Pelatih eksekutif bukanlah mentor permanen, dan pelatih biasanya dipekerjakan


untuk jangka waktu terbatas mulai dari beberapa bulan hingga beberapa tahun.
Pembinaan dapat diberikan setiap minggu atau dua minggu sekali, dan dalam
kasus yang ekstrim. Penggunaan pelatih eksternal memberikan beberapa
keuntungan seperti pengalaman yang lebih luas, objektivitas yang lebih besar, dan
lebih banyak kerahasiaan. Pembina internal menawarkan keuntungan lain, seperti
ketersediaan yang mudah, lebih banyak pengetahuan tentang budaya dan politik,
dan pemahaman yang lebih baik tentang tantangan strategis dan kompetensi inti.
Tujuan utama dari pembinaan eksekutif adalah untuk memfasilitasi
pembelajaran keterampilan yang relevan untuk tanggung jawab kepemimpinan
saat ini atau masa depan. Pelatih juga memberikan saran tentang bagaimana
menangani tantangan tertentu, seperti menerapkan perubahan besar, berurusan
dengan bos yang sulit, atau bekerja dengan orangorang dari budaya yang berbeda.
Memiliki pelatih memberikan kesempatan yang tidak biasa untuk mendiskusikan
masalah dan mencoba ide dengan seseorang yang dapat memahaminya dan
memberikan umpan balik dan saran yang membantu dan objektif, sambil menjaga
kerahasiaan yang ketat. Pembinaan eksekutif sangat berguna dalam hubungannya
dengan teknik yang memberikan informasi tentang kebutuhan perkembangan
tetapi tidak secara langsung meningkatkan keterampilan misalnya, umpan balik
multisumber, pusat penilaian perkembangan.
Pembinaan eksekutif menawarkan beberapa keunggulan dibandingkan kursus
pelatihan formal, termasuk kenyamanan, kerahasiaan, fleksibilitas, dan lebih
banyak perhatian pribadi. Salah satu kelemahan yang jelas adalah tingginya biaya
pelatihan satu lawan satu, bahkan ketika digunakan untuk waktu yang terbatas.
Biaya tinggi adalah salah satu alasan mengapa pembinaan pribadi digunakan
terutama untuk para eksekutif. Keterbatasan lainnya adalah kurangnya pelatih
yang kompeten. Penting untuk menemukan pelatih yang mampu menjalin
hubungan kerja yang baik dengan eksekutif sekaligus tetap objektif dan
profesional.
f. Program Pertumbuhan Pribadi

Program pertumbuhan pribadi dirancang untuk meningkatkan kesadaran diri


dan mengatasi hambatan batin untuk pertumbuhan psikologis dan pengembangan
kompetensi kepemimpinan. Program-program ini berkembang dari gerakan
psikologi humanistik pada 1960-an, dan banyak dari para pendiri memiliki
pengalaman sebelumnya dalam program-program yang menekankan
pengembangan potensi manusia, seperti Peace Corps dan National Training
Laboratories di Bethel, Maine (Conger, 1993).
Lokakarya pertumbuhan pribadi didasarkan pada serangkaian asumsi yang
saling terkait tentang orang dan kepemimpinan. Salah satu asumsi kuncinya
adalah bahwa banyak orang telah kehilangan kontak dengan perasaan dan nilai-
nilai batin mereka. Ketakutan dan konflik batin, yang seringkali tidak disadari,
membatasi kreativitas dan pengambilan risiko. Asumsi kunci lainnya adalah
bahwa kepemimpinan yang sukses membutuhkan tingkat perkembangan
emosional dan moral yang tinggi. Seseorang dengan kematangan emosi dan
integritas yang tinggi lebih mungkin untuk menempatkan pengabdian pada tujuan
yang berharga di atas kepentingan pribadi dan menjadi pemimpin yang suportif,
menginspirasi, dan memberdayakan.

14.4 Perspektif Sistem tentang Pengembangan Kepemimpinan

Pengembangan kepemimpinan lebih mungkin berhasil ketika eksekutif puncak


memiliki perspektif sistem yang memperhitungkan tanggung jawab terkait dan
keputusan strategis seperti kriteria seleksi dan penilaian, perencanaan suksesi, sistem
manajemen, dan strategi bersaing. Program pelatihan dan kegiatan pengembangan
lebih mungkin efektif jika kompatibel dan digunakan dengan cara yang saling
mendukung, mereka mempersiapkan manajer untuk masa depan posisi daripada hanya
berfokus pada persyaratan pekerjaan saat ini, dan mereka mempertimbangkan
bagaimana meningkatkan kepemimpinan kolektif untuk organisasi daripada hanya
berfokus pada pengembangan individu. Kegiatan pengembangan juga harus konsisten
dengan strategi kompetitif, sistem penghargaan, budaya organisasi, dan proses dan
nilai tingkat kelompok. Isu-isu ini dibahas dalam bagian akhir bab ini.

a. Hubungan antar Pendekatan

Perbedaan antara program pelatihan formal, kegiatan pengembangan, dan


kegiatan swadaya berguna sampai titik tertentu, tetapi ini menyiratkan bahwa
kategorinya saling eksklusif. Faktanya, kategori yang berbeda tumpang tindih dan
saling terkait dengan cara yang kompleks. Pembelajaran yang diperoleh dari satu
pendekatan dapat memfasilitasi atau meningkatkan pembelajaran dari pendekatan
lainnya. Misalnya, aktivitas menolong diri sendiri seperti menggunakan program
komputer interaktif mungkin berguna untuk mempersiapkan tugas perkembangan.
Kadang-kadang pendekatan yang berbeda digunakan dalam hubungannya satu
sama lain. Proyek pembelajaran aksi sering kali menggabungkan pelatihan formal
dengan pembelajaran dari pengalaman, dan peserta didorong untuk menggunakan
kegiatan swadaya dan pembinaan rekan untuk memperoleh pengetahuan tambahan
yang diperlukan untuk proyek tersebut. Simulasi realistis dapat digunakan sebagai
pengalaman pengembangan mandiri atau sebagai bagian dari kursus pelatihan
formal. Mentor khusus dapat ditugaskan kepada orang-orang yang memiliki tugas
perkembangan, atau nara sumber yang ditunjuk mungkin tersedia di Internet untuk
memberikan saran dan pembinaan sesuai kebutuhan.

b. Mengintegrasikan Kegiatan Pembagunan


Di sebagian besar organisasi, ada sedikit integrasi kegiatan pelatihan dan
pengembangan kepemimpinan satu sama lain atau dengan praktik sumber daya
manusia terkait seperti penilaian kinerja, konseling karir, dan perencanaan suksesi.
Keputusan tentang jenis pelatihan dan pengembangan apa yang akan diberikan
seringkali dipengaruhi oleh mode dan hype vendor saat ini daripada oleh analisis
sistematis kompetensi penting yang perlu ditingkatkan. Keputusan promosi
seringkali lebih dipengaruhi oleh kinerja seseorang sebelumnya daripada oleh
penilaian kompetensi yang ketat yang diperlukan untuk bekerja secara efektif di
posisi berikutnya. Sebagai konsekuensi dari seleksi dan pengembangan yang
buruk, banyak eksekutif puncak akhirnya tergelincir karena kelemahan yang dapat
diprediksi sebelumnya (Heslin & Keating, 2017; Hogan, J., Hogan, R., & Kaiser,
2011; McCall, 1998).
Perencanaan pengalaman pengembangan untuk manajer individu seringkali
serampangan dan tidak sistematis ketika ditentukan secara independen oleh bos
masing-masing manajer saat ini. Beberapa organisasi memiliki posisi khusus
dengan tanggung jawab utama untuk merencanakan dan mengoordinasikan
keseluruhan proses pengembangan kepemimpinan untuk organisasi. (McCall
(1992) merekomendasikan menggunakan fasilitator atau komite perkembangan
untuk mengidentifikasi kompetensi penting untuk organisasi, merancang sistem
pelacakan untuk menilai keterampilan saat ini dan kebutuhan perkembangan
manajer individu, mengidentifikasi tugas dengan potensi perkembangan tinggi,
mensponsori program pelatihan khusus bila diperlukan, menemukan cara untuk
memperkuat penghargaan bagi manajer yang mengembangkan bawahan, dan
mempromosikan penggunaan yang lebih besar dari kegiatan pengembangan
seperti sebagai mentor, penugasan khusus, dan lokakarya umpan balik.
Pendekatan lain adalah mendorong individu untuk mengambil lebih banyak
tanggung jawab untuk secara aktif mencari pengalaman perkembangan. Jejaring
sosial dapat digunakan oleh individu untuk belajar tentang tugas perkembangan
yang menjanjikan dan untuk mendapatkan bantuan dalam memilihnya (Bartol &
Zhang, 2007; Cullen-Lester, Maupin, & Carter, 2017).
c. Pengembangan Kepemimpinan untuk Organisasi

Sebagian besar literatur tentang pengembangan kepemimpinan telah


difokuskan pada peningkatan keterampilan dan perilaku individu. Penekanannya
lebih pada pengembangan pemimpin dari pada pengembangan kepemimpinan.
Namun, seiring dengan berkembangnya konseptualisasi kepemimpinan, demikian
pula gagasan tentang pengembangan. Jika kepemimpinan adalah proses bersama
yang melibatkan upaya kerja sama banyak orang, maka pengembangan
kepemimpinan juga harus mempertimbangkan bagaimana mempersiapkan orang
untuk berpartisipasi dalam proses kolektif ini. Pengembangan individu masih
penting, tetapi ada juga kebutuhan untuk mengembangkan proses kepemimpinan
yang efektif dalam tim dan organisasi. Kemajuan dalam memahami apa yang
harus dilakukan dan bagaimana melakukannya sebagian akan bergantung pada
kemajuan teori dan penelitian tentang proses kepemimpinan di tingkat kelompok
dan organisasi. Ini juga akan membutuhkan penelitian longitudinal yang lebih
intensif tentang cara-cara untuk meningkatkan proses kepemimpinan ini.
Agar efektif secara optimal, pengembangan kepemimpinan harus konsisten
dengan strategi kompetitif organisasi serta dengan aktivitas sumber daya manusia
lainnya. Sayangnya, aktivitas pengembangan di sebagian besar organisasi tidak
didasarkan pada tujuan bisnis strategis, dan jarang ada upaya untuk menentukan
apakah aktivitas tersebut relevan dengan tujuan tersebut. Putusnya hubungan
antara kegiatan pembangunan dan tujuan strategis mungkin mencerminkan
kurangnya pemahaman tentang saling ketergantungan di antara mereka.
d. Pedoman Pengembangan Diri

Pengembangan diri dapat mencakup mendiagnosis kebutuhan belajar dan


mengidentifikasi teknik swadaya yang relevan dan tersedia (Orvis & Ratwani,
2010; Reichard & Johnson, 2011; Reichard, Walker, Putter, Middleton, &
Johnson, 2017). Banyak teknik self-help tersedia untuk meningkatkan
kepemimpinan, termasuk buku praktisi, program instruksional dalam DVD atau
dari sumber online, dan program komputer interaktif. Sementara beberapa teknik
ini dimaksudkan untuk menjadi pengganti program pelatihan formal, beberapa
digunakan untuk melengkapi pelatihan, dan lainnya dimaksudkan untuk
memfasilitasi pembelajaran dari pengalaman. Sebuah studi oleh Boyce, Zaccaro,
dan Wisecarver (2010) meneliti ciri-ciri kepribadian yang terkait dengan
kecenderungan untuk pengembangan diri keterampilan kepemimpinan, tetapi
penelitian lebih lanjut diperlukan pada efektivitas teknik belajar mandiri, kondisi
di mana mereka paling efektif, dan sejauh mana mereka dapat menggantikan
instruksi formal (Baldwin & Padgett, 1993).
DAFTAR PUSTAKA

Yukl, Gary., William L. Gardner, III. (2020). Leadership in Organizations, 9th edition. United
Kingdom, Pearson Education.

Leadershop: theory and practice/Peter Northouse, Western Michigan University. Seventh


Edition.

Anda mungkin juga menyukai