Anda di halaman 1dari 46

PERILAKU ORGANISASI (PO)

Bab 12.
-PENDEKATAN-PENDEKATAN DASAR KEPEMIMPINANKita mendefinisikan kepemimpinan(leadership) sbagai kemampuan untuk mempengaruhi
suatu kelompok guna mencapai sebuah visi atau serangkaian tujuan yang di tetapkan.
Teori-teori yg mendasari pendekatan dasar kepemoimpinan:
-teori sifat:
Teori sifat kepemimpinan(trait theoris of leadership) membedakan para pemimpin dari mereka
yg bukan pemimpin dengan cara berfokus pd barbagai sifat dan karakteristik pribadi.
-teori perilaku:
Teori perilaku kepemimpinan adlah teori-teori yg mengemukakan bahwa beberapa perilaku
tertentu membedakan pemimpin dr mereka yg bukan pemimpin.
Kett:
Dari penjelasan teori sifat dan perilaku di atas, dpat di simpulkan bahwa betapa pun
pentingnya teori sifat dan teori perilaku dlm menentukan pemimpin yg efektif versus pemimpin
yg tdk efektif, keduanya tdk menjamin keberhasilan seorang pemimpin.
-teori kemungkiran:
Model kemungkinan riedler (fiedler contingency model)
Menyatakan bahwa kinerja kelompok yg efektif bergantung pd kesesuaian antara gaya
pemimpin dan sejauh mana situasi trsbt memberikan kendali kpd pemimpin trsbut.
Mengindetifikasi gaya kepemimpinan.
Fiedler mayakini bahwa salah satu factor utama bagi kepemimpinan yg berhasail
adalah gaya kepemimpinan dasar seorang individu. Jadi ia mulai berusaha mencari
tahu apa gaya trsbt.
Memahami situasinya
Setelah gaya kepemimpinan seseorang diketahui, selanjutnya adlh mencocokan si
pemimpin dengan situasi.

Tiga dimensi kemungkinan yg menentukan factor situasional:

1. Hubungan pemimpin anggara: tingkat kepatuhan, kepercayaan, dan rasa


hormat para anggotahormat para anggota thdp pemimpin mereka.
2. Struktur tugas: tingkat sejauh mana penentuan pekerjaan di prosedurkan.
3. Kekuatan posisi: tingkat pengaruh yg dimiliki oleh seorang pemimpin atas
variabel kuasa seperti perekrutan, pemecatan, pendisiplinan, promosi,
dan kenaikan gaji.
Menentukan pemimpin dan situasi.
Model fiedler bermasyarakat mencocokan keduanya unk mencapai efektifitas
kepemimpinan yg maksimal. Fiddler mengatakan bahwa pemimpin yg berorientasi
tugas bekerja sangat baik dlm situasi dengan tingkat control yg tinggi dan rendah,
sementara pemimpin yg berorientasi hubungan kerja sangat baik dlm situasi dgn
tingkat control yang moderat.
Evaluasi
Model fiedler menghasilkan kesimpulan yg umumnya positif, artinya ada banyak
bukti yg mendukung paling tidak bagian paling subsiansial dari model trsebut.
Teori sumberdaya kognitif
Fiedler dan Garcia menemukan bahwa kemampuan interval pemimpin berhubungan
secara positif dengan kinerja dalam situasi sires tingkat rendah dan secara negative
dalam situasi tingkat stes tinggi(lihat gambar hal.62 pada buku perilaku organisasi
edisi 12 karangan p.robbins-thimoty.a.judge)
Teori situasional hersey dan Blanchard
Kepemimpinan situasional adlh sebuah teori kemangkiran berfokus pada poara
pengikut SLT pada dasarnya menganggap hub pemimpin-pengikut dpt dipersamakan
dgn hubungan antara orng tua dan anak
Teori jalan tujuan
Teori ini di kembangkan olah Robert house.
Inti dari teori ini adlh bahwa merupakan tugas pemimpin unk memberikan informasi,
dukungan atau sumber day lain yg di butuhkan kpd para pengikut agar mereka bias
mencapai berbagai tujuan mereka.
Perilaku pemimpin.
House mengidentifikasikan 4 perilaku kepemimpinan:
1. Pemimpin yg direktif
Memberitahu kpd para pengikut mengnai apa yg diharapkan dari mereka,
menentukan pekerjaanyg harus mereka selesaikan dan memberikan bimbingan
khusus terkait dengan cara menyelesaikan berbagai tugas tersebut.
2. Pemimpin yg sportif
Pemimpin yg ramah dan memperhatikan kebutuhan para pengikutnya.
3. Pemimpin yg partisipatif
Berunding dengan para pengikut dan menggunakan saran-saran mereka sebelum
mengambil keputusan.
4. Pemimpin yg berorientasi pencapaian
Menerapkan tujuan yg besar dan mengharapkan para pengikutnya unk bekerja
dngn sangat baik.

House berasumsi bahwa pemimpin itu bersih dan bahwa pemimpin yg sama bias
menampilkan satu atau seluruh perilaku ini bergantung pada situasiyg ada.
Beragam variabel dan dan prediksi kemungkinan
1. Kepemimpinan direktif menghasilkan kepuasan yg lebih besar manakala tugastugasnya bersifat ambigu atau penuh tekanan bila dibandingkan dengan ketika
tugas tsbut terintruksi sangat ketat dan diuraikan dngn sangat baik.
2. Kepemimpinan yg supotif menghasilkan kinerja dan kepuasan karyawan yg
tinggi ketika karyawan mengerjakan tugas yg terintruksi.
3. Kepemimpinan direktif cenderung dipandang tdk efektif apabila karyaaawan
memiliki kemampuan yg diyakini baik atau pengalaman yg banyak.
4. Karyawan dngn pusat kendali internal akan lebih puas dengan gaya partisipatif.
5. Kepemimpinan yg berorientasi pencapaian dapat meningkatkan harapan para
karyawan bahwa usaha akan menghasilkan kinerja yg tinggi ketika tugas di
susun secara ambigu

PENDEKATAN KEPEMIMPINAN
MAKALAH
PENDEKATAN KEPEMIMPINAN
Dosen Pembimbing :
Vivin Maharani, M.Si

Disusun Oleh:
M. Adib Zen

(09510135)

Siti Rohmawati

(11510051)

Roro Suci Palasari

(11510102)

Mohamad Bastomi

(11510131)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI


MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2013

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan Puji syukur kehadirat ALLAH SWT, karena berkat rahmat,
taufik serta hidayahnya kami masih diberi kesempatan dan kemampuan untuk
menyusun makalah dengan judul PENDEKATAN KEPEMIMPINAN guna memenuhi tugas
Semester empat.
Tersusunnya makalah ini tidak lepas dari bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak.
Oleh karena itu kami mengucapkan banyak-banyak terimakasih kepada:
1. Ibu Vivin Maharani, M.Si selaku dosen pengampu mata kuliah TEORI DAN
PERILAKU ORGANISASI yang memberikan arahan dan masukan dalam makalah
ini.
2. Serta semua pihak yang telah membantu kami dalam penyusunan makalah ini
yang tidak mingkin kami sebutkan satu persatu.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempuran. Demi
tercapainya suatu kesempurnaan kritik dan saran yang membangun sangat kami
harapkan.
Demikaian hal yang dapat kami sampaikan, kami berharap makalah ini dapat
berguna bagi pembaca.

Malang, 08 April 2013

Penulis

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Definisi Kepemimpinan
2.2. Munculnya Kepemimpinan
2.3 Kepemimpinan versus Manajemen
2.4 Studi Kepemimpinan yang Penting secara Historis
2.5 Teori kepemimpinan tradisional
2.6 Teori kepemipinan Modern
BAB III PENUTUP
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kepemimpinan adalah subyek yang telah lama menarik perhatian banyak orang.
Istilah yang mengkonotasikan citra individual yang kuat dan dinamis yang berhasil
memimpin di bidang kemiliteran, memimpin perusahaan yang sedang berada di puncak
kejayaan, atau memimpin negara.
Sehingga berbagai pertanyaan pun muncul tentang kepemimpinan yang telah lama
menjadi sunyek spekulasi, tetapi penelitiannya sendiri secara ilmiah baru dimulai
setelah abad kedua puluh. Fokus perhatian dari para peneliti lebih banyak pada aspek
efektivitas kepemimpinan. Para ilmuwan sosial berusaha untuk mengetahui ciri-ciri,
kemampuan, perilaku, sumber-sumber kekuasaan atau aspek situasi yang menentukan
bagaimana

pemimpin

yang

baik

dapat

mempengaruhi

para

pengikutnya

dan

meyelesaikan masalah di dalam kelompoknya.


Suatu organisasi akan berhasil atau bahkan gagal sebagian besar ditentukan oleh
kepemimpinan. Suatu ungkapan mengatakan bahwa pemimpinlah yang bertanggung
jawab atas kegagalan pelaksanaan suatu pekerjaan, merupakan ungkapan yang
mendukung posisi pemimpin dalam suatu organisasi pada posisi yang terpenting.
Sementara itu seorang pemimpin juga digambarkan sebagai seorang pengembala,
dan setiap pengembla akan ditanyakan tentang perilaku penggembalaannya. Dimana
ungkapan ini membuktikan bahwa seorang pemimpin apapun wujudnya, dimanapun
letaknya

akan

selalu

mempunyai

beban

untuk

mempertanggung

jawabkan

kepemimpinannya. Pemimpin seperti ini lebih banyak bekerja dibandingkan berbicara,


lebih banyak memberikan contoh-contoh baik dalam kehidupannya dibandingkan
berbicara besar tanpa bukti, dan lebih banyak berorientasi pada bawahan dan
kepentingan umum di bandingkan dari orientasi dan kepentingan diri sendiri.

Membicarakan kepemimpinan memang menarik dan dapat dimulai dari sudut mana
saja. Dari waktu ke waktu kepemimpinan kepemimpinan menjadi perhatian manusia.
Ada yang berpendapat masalah kepemimpinan itu sama tuanya dengan sejarah
manusia. Kepemimpinan dibutuhkan manusia, karena adanya suatu keterbatasan dan
kelebihan-kelebihan tertentu pada manusia. Disatu pihak manusia memilki kemampuan
terbatas untuk memimpin, di pihak lain ada orang yang mempunyai kelebihan
kemampuan untuk memimpin. Di sinilah timbul kebutuhan akan pemimpin dan
kepemimpinan.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa Defininisi dari sebuah kepemimpinan ?
2. Apa penyebab munculnya kepemimpinan beserta teorinya ?
3. Apa perbedaan kepemimpinan dengan managemen ?
4. Apa saja studi kepemimpinan yang muncul ?
5. Teori apa saja yang masuk masuk pada teori kepemimpinan tradisional ?
6. Teori apa saja yang masuk pada teori kepemimpinan modern ?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui dengan jelas definisi dan pengertian kepemimpinan.
2. Mengetahui beberapa penyebab munculnya seorang pemimpin berdasarkan teori yang
3.
4.
5.
6.

ada.
Mengetahui dengan jelas perbedaan antara kepemimpinan dan managemen.
Mengetahui studi kepemimpinan yang pernah muncul beserta pengaruh yang timbul.
Mampu membedakan teori-teori yang masuk pada teori kepemimpinan tradisional.
Mampu membedakan teori-teori yang masuk pada teori kepemimpinan modern.

BAB II
PEMBAHASAN
Kepemimpinan adalah proses yang sangat penting dalam setiap organisasi karena
kepemimpinan inilah yang akan menentukan sukses atau gagalnya sebuah organisasi.
Salah satu elemen pokok yang menjadi perhatian setiap organisasi adalah bagaimana
caranya untuk menarik, melatih, dan mempertahankan orang-orang yang akan menjadi
pemimpin-pemimpin yang efektif.
Para peneliti telah menentukan bahwa banyak praktik-praktik kepemimpinan tipikal
sekarang ini tidak akan bias berjalan dengan baik pada masa mendatang, dan hal ini
tidak diartikan akan terjadi dalam rentang waktu yang lama, tetapi relative segera.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa beberapa cara dalam memimpin sekarang mungkin
sebagian besar sudah tidak efektif lagi karena prkembangan yang cepat dari tuntutantuntutan baru tentang tenaga kerja, kualias dan kuantitas pekerjaan, dan kondisi tempat
kerja.
Banyak studi yang menunjukkan bahwa variasi dalam perilaku seorang pemimpin
biasanya memiliki hubungan dengan variasi dalam moral kelompok atau produkvitas
kelompok. Oleh karena itu, yang perlu kita ketahui adalah bagaimana untuk memilih
orang-orang yang memiliki pendekatan yang baik dan benar, bagaimana melatih mereka,
dan di mana menempatkan mereka. Untuk mengerjakan ini semua secara baik, dituntut
suatu pengertian yang jelas dan tepat tentang apa yang dimaksudkan dengan
kepemimpinan.

2.1 Definisi Kepemimpinan


Kepemimpinan bukanlah suatu watak yang secara umum diterima
seperti kharismatik, sangat berpengaruh , atau sangat disukai, situasi
tertentu sesuatu yang berhubungan dengan produktivitas kelompok pada

situasi tertentu yang diberikan.([1]) Kepemimpinan yang akan dianggap terbaik,


tergantung adanya kombinasi yang tepat antara karakteristik pribadi dengan situasi
spesifik yang dihadapi di tempat kerja.
Miftha Thoha dalam bukunya Prilaku Organisasi (1983: 255). Pemimpin adalah
seseorang yang memiliki kemampuan memimpin, artinya memiliki kemampuan untuk
mempengaruhi orang lain atau kelompok tanpa mengindahkan bentuk alasannya.
Kartini Kartono (1994 : 33). Pemimpin adalah seorang pribadi yang memiliki
kecakapan dan kelebihan khususnya kecakapan dan kelebihan disatu bidang, sehingga
dia mampu mempengaruhi orang-orang lain untuk bersama-sama melakukan aktivitasaktivitas tertentu, demi pencapaian satu atau beberapa tujuan.
Mantan presiden Soeharto menjelaskan pengertian kepemimpinan
berdasarakan

asas

kepemimpinan

Hasta

Brata

(delapan

laku

kepemimpinan). Delapan laku tersebut antara lain:

Lir Surya (matahari) Dengan lambang ini diharapkan seorang pemimpin


dapat berfungsi seperti matahari bagi yang dipimpin. Dapat memberi
semangat, memberi kekuatan dan daya hidup bagi orang-orang yang

dipimpinnya.
Lir Candra (bulan) Dengan lambang ini seorang pemimpin hadaknya
berfungsi sebagai bulan, yakni membuat senang bagi anggotanya dan
memberi terang pada waktu gelap. Ketika dalam keadaan sulit, Sang
pemimpin mampu tampil untuk memberi jalan terang atau jalan keluar dari

kesulitan.
Lir Kartika (bintang) Bintang adalah sebagai pedoman bagi pelaut atau
pengarung samudra. Dengan lambang ini pemimpin handaknya berteguh
iman takwa, memiliki teguh pendirian sehingga menjadi pedoman dan

panutan bagi rakyatnya yang mungkin kehilagan arah.


Lir Samirana (angin) Dengan lambang ini, diharapkan seorang pemimpin
bersifat seperti angin, teliti, tidak mudah dihasut. Dia harus manjing ajur
ajer bergaul dengan rakyat lapisan manapun, guna mencari masukan untuk

menetapakan kebijakan dan keputusan.


Lir Mega mendung (awan hujan) Mendung memberi kesan menakutkan, tapi
apabila hujan turun akan bermanfaat bagi bumi. Dengan lambang ini,

pemimpin diharapkan dapat tampil berwibawa, namun keputusan dan

kebijakan yang diambilnya hemdaknya bermanfaat bagi yang dipimpinnya.


Lir Dahana (api) Dengan lambang ini, diharapkan seorang pemimpin tegas

dan keras seperti api dalam menegakkan disiplin dan keadilan.


Lir Samudra (laut atau samudra) Dengan lambang ini, diharapkan pemimpin
berwawasan

luas,

sanggup

menerima

dan

mendengar

persoalan,

menyaringnya dan membuat suasana menjadi jernih kembali tanpa ada rasa

dendam.
Lir Bantala (bumi) Dengan lambang ini, diharapkan pemimpin tidak hanya
mau berada diatas, tetapi juga bersedia dibawah. Sang pemimpin seolaholah menjadi tempat pijakan, sentosa budinya, jujur dan murah hati bagi
anak buahnya.
Menurut Robbins (1993), kepemimpinan itu didefinisikan sebagai kemampuan
seseorang untuk mempengaruhi sebuah kelompok menuju pencapaian tujuan kelompok.
Sumber dari pengaruh ini bisa saja formal seperti pengaruh yang diberikan oleh
kedudukan manajerial tingkat tertentu dalam organisasi/perusahaan. Karena posisi
manajemen biasanya disertai kewenangan tertentu yang secara resmi diberikan oleh
organisasi, seseorang yang menjalankan peran kepemimpinan tersebut hanya sebatas
posisi yang dipegangnya dalam organisasi itu. Tetapi, harus diingat bahwa tidak semua
manajer adalah pemimpin. Para pemimpin bisa muncul dari dalam kelompoknya sendiri,
tetapi juga bisa dengan penunjukan formal untuk memimpin sebuah kelompok. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan merupakan pola hubungan, kemampuan
mengkoordinasi,

memotivasi,

kemampuan

mengajak,

membujuk

dan

mempengaruhi orang lain.

2.2. Munculnya Kepemimpinan


Untuk mengetahui penyebab munculnya pemimpin, sebaiknya kita
ketahui terlebih dahulu apa motivasi seseorang muncul menjadi pemimpin
dan apa yang harus ditempuh untuk mendapatkan posisi tersebut. Sudah jelas
bahwa posisi tersebut dapat memberikan keuntungan-keuntungan ekonomis yang

lumayan, penghargaan-penghargaan, penghormatan. Semakin menantang jabatan


seseorang, maka semakin semakin tinggi jabatan seseorang dalam organisasi, makin
banyak input atau dampak yang dimilikinya terhadap kebijaksanaan organisasi. Jadi,
banyak kemungkinan munculnya perasaan keberhasilan dan kesuksesan yang lebih
besar buat mereka ini.
Tetapi, harus diingat bahwa untuk menjadi pemimpin, keinginan saja tidaklah
cukup. Ada beberapa watak dan karakteristik yang lebih memungkinkan seseorang untuk
mencapai jabatan pimpinan. Stogdill (cit. Mitchell, 1985) mengambil kesimpulan
pertama dari bukti positif penelitian-penelitian sebelumnya:
a)

Umumnya orang yang menduduki jabatan pimpinan melebihi rata-rata anggota

kelompoknya, dalam hal-hal berikut ini:


Intelegensia
Tingkat pendidikan
Ketergantungan pada tangggung jawab yang dipikul
Aktivitas dan partisipasi sosialnya
Status sosioekonominya.
b) Kualitas, karaktristik, dan keterampilan yang diperlukan seorang pemimpin ditentukan
oleh besarnya tuntutan-tuntutan situasi yang dihadapinya sebagai pemimpin.
Dari bukti-bukti penelitian lainnya, dapat ditarik kesimpulan kedua bahwa rata-rata
orang yang menduduki jabatan pemimpin melebihi rata-rata anggota kelompoknya dalam
hal-hal berikut ini : a) sosiabilitas, b) inisiatif, c) ketegaran hati, d) mengetahui
bagaimana pekerjaan-pekerjaan itu dan untuk dilaksanakan orang-orang lain, e) percaya
diri, f) kewaspadaan atau intropeksi terhadap situasi-situasi tertentu, g) kooperatif, h)
popularitas, i) kemampuan adaptasi, dan j) fasilitas verbal.
Dalam hal ini, dua hal penting yang perlu dicatat. Pertama, watak atau
karakteristik tersebut adalah sesuatu yang secara esensial diharapkan seseorang.
Orang-orang yang memperjuangkan posisi pimpinan sebaiknya memiliki karakteristik
tertentu yang dapat membantu penyesuaian dengan orang lain, tetapi masih mampu
menyelesaikan pekerjaan melalui orang-orang tersebut. Kedua, yang paling penting
adalah keterampilan dan kemampuan yang ditunjang dengan kebugaran, dan keindahan
fisik.

Pada kesimpulan studi Dipboye et al. (1977) tentang prospektif para calon yang
akan memegang posisi manajerial, disebutkan bahwa kaum laki-laki lebih disukai
daripada kaum wanita, calon-calon menarik secara fisik lebih sering dipilih daripada
calon-calon yang tidak menarik, dan orang-orang yang berkualifikasi rendah. Jadi, jenis
kelamin, daya tarik fisik dan kompetisi merupakan factor-faktor yang penting dalam
seleksi

untuk

posisi

manajerial.

Selain

itu,

sejumlah

karakteristik

personal,

interpersonal, dan situasional berpengaruh terhadap seseorang yang akan menjadi


pemimpin.
Teori Kelahiran Kepemimpinan
Para ahli teori kepemimpinan telah mengemukakan beberapa teori
tentang timbulnya Seorang Pemimpin. Dalam hal ini terdapat 3 (tiga) teori
yang menonjol (Sunindhia dan Ninik Widiyanti, 1988:18), yaitu:
a.

Teori Genetik

Penganut teori ini berpendapat bahwa, pemimpin itu dilahirkan dan bukan
dibentuk [Leaders are born and not made]. Pandangan terori ini bahwa, seseorang
akan menjadi pemimpin karena keturunan atau ia telah dilahirkan dengan membawa
bakat kepemimpinan. Teori keturunan ini, dapat saja terjadi, karena seseorang
dilahirkan telah memiliki potensi termasuk memiliki potensi atau bakat
untuk memimpin dan inilah yang disebut dengan faktor dasar. Dalam
realitas, teori keturunan ini biasanya dapat terjadi di kalangan bangsawan
atau keturunan raja-raja, karena orang tuanya menjadi raja maka seorang
anak yang lahir dalam keturunan tersebut akan diangkan menjadi raja.
b.

Teori Sosial

Penganut teori ini berpendapat bahwa,

seseorang yang menjadi pemimpin

dibentuk dan bukan dilahirkan (Leaders are made and not born). Penganut teori
berkeyakinan bahwa semua orang itu sama dan mempunyai potensi untuk menjadi
pemimpin. Tiap orang mempunyai potensi atau bakat untuk menjadi
pemimpin, hanya saja paktor lingkungan atau faktor pendukung yang
mengakibatkan potensi tersebut teraktualkan atau tersalurkan dengan baik
dan inilah yang disebut dengan faktor ajar atau latihan.

Pandangan penganut teori ini bahwa, setiap orang dapat dididik, diajar,
dan dilatih untuk menjadi pemimpin. Intinya, bahwa setiap orang memiliki
potensi untuk menjadi pemimpin, meskipun dia bukan merupakan atau
berasal dari keturunan dari seorang pemimpin atau seorang raja, asalkan
dapat dididik, diajar dan dilatih untuk menjadi pemimpin.
c.

Teori Ekologik

Penganut teori ini berpendapat bahwa,


pemimpin

yang

baik

manakala

dilahirkan

seseorang akan menjadi


telah

memiliki

bakat

kepemimpinan. Kemudian bakat tersebut dikembangkan melalui pendidikan,


latihan,

dan

pengalaman-pengalaman

yang

memungkinkan

untuk

mengembangkan lebih lanjut bakat-bakat yang telah dimiliki.


Jadi, inti dari teori ini yaitu seseorang yang akan menjadi pemimpin
merupakan perpaduan antara faktor keturunan, bakat, dan lingkungan yaitu
faktor

pendidikan,

latihan

dan

pengalaman-pengalaman

yang

memungkinkan bakat tersebut dapat teraktualisasi dengan baik.


Selain ketiga teori tersebut, muncul pula teori keempat yaitu Teori
Kontigensi atau Teori Tiga Dimensi. Penganut teori ini berpendapat bahwa,
ada tiga faktor yang turut berperan dalam proses perkembangan seseorang
menjadi pemimpin atau tidak, yaitu: (1) Bakat kepemimpinan yang
dimilikinya. (2) Pengalaman pendidikan, latihan kepemimpinan yang pernah
diperolehnya, dan (3) Kegiatan sendiri untuk mengembangkan bakat
kepemimpinan tersebut.
Teori ini disebut dengan teori serba kemungkinan dan bukan sesuatu
yang pasti, artinya seseorang dapat menjadi pemimpin jika memiliki bakat,
lingkungan yang membentuknya, kesempatan dan kepribadian, motivasi dan
minat yang memungkinkan untuk menjadi pemimpin.
Menurut Ordway Tead, bahwa timbulnya seorang pemimpin, karana : (1)
Membentuk diri sendiri (self constituded leader, self mademan, born leader).
(2) Dipilih oleh golongan, artinya ia menjadi pemimpin karena jasa-jasanya,
karena kecakapannya, keberaniannya dan sebagainya terhadap organisasi.

(3) Ditunjuk dari atas, artinya ia menjadi pemimpin karena dipercaya dan
disetujui oleh pihak atasannya (Imam Mujiono, 2002: 18)

2.3 Kepemimpinan versus Manajemen


Menurut Bernard Bass seorang ahli kepemimpinan menyimpulkan bahwa para
pemimpin memimpin dan para manajer mengelola dimana kedua aktivitas tersebut
tidaklah sama. Bass memberitahukan bahwa walaupun kepemimpina dan manajemen
saling tumpang tindih, masing-masing melibatkan sekelompok aktivitas atau fungsi yang
unik. Secara luas manajer biasanya melaksanakan fungsi-fungsi yang berkaitan dengan
perencanaan, penyelidikan, pengorganisasian, dan pengendalian. Sementara pemimpin
berurusan dengan aspek-aspek antar pribadi dari pekerjaan seorang manajer. Pemimpin
memberikan inspirasi kepada orang lain, memberikan dukungan emosional dan
mencoba untuk membuat para karyawan bergerak kearah tujuan umum. Para pemimpin
juga memainkan suatu peran kunci dalam menciptakan suatu visi dan rencana strategis
untuk suatu organisasi. Dan manajer bertugas untuk menerapkan visi dan rencana
strategis tersebut.

Berikut suatu kerangka kerja konseptual untuk memahami kepemimpinan


(perbedaan utama antara pemimpin dengan manajer: [2]

Karakteristik / ciri pemimpin :


Kebutuhan akan prestasi
Kebutuhan akan kekuasaan
Kemampuan kognitif
Ketrampilan interpersonal
Kepercayaan diri
Etika
Variable-variabel situasional:
Tingkat individu
Kekuasaan posisi pemimpin
Motivasi pengikut
Kejelasan peran pengikut
Kemampuan pengikut
Tingkat organisasi
Kecukupan sumber daya
Tugas/teknologi
Struktur organisasi
Lingkungan eksternal
Hasil akhir yang diinginkan:
Kinerja unit
Profitabilitas
Pencapaian tujuan
Kepuasan kerja
Organisasi yang belajar
Perilaku / peran manajerial:
Peran interpersonal
Peran informasional
Peran pengambilan keputusan

Kotter (1990) juga membedakan antara manajemen dan kepemimpinan dalam


hal proses inti dan hasil yang diharapkan. Manajemen berusaha untuk membuat
perkiraan dan aturan dengan :
1. Menetapkan sasaran operasional, membuat rencana tindakan berdasarkan jadwal dan
2.

menetapkan sumber daya


Mengorganisasi dan menugaskan (menentukan struktur, menugaskan orang ke

berbagai pekerjaan)
3. Memantau hasil dan menyelesaikan masalah
Sedangkan kepemimpinan berusaha untuk membuat perubahan dalam organisasi
dengan :
1. Menyusun visi masa depan dan strategi untuk membuat perubahan yang dibutuhkan
2. Mengkomunikasikan dan menjelaskan visi
3. Memotivasi dan memberi inspirasi kepada orang lain untuk mencapai visi itu

Baik manajemen maupun kepemimpinan keduanya melibatkan keputusan apa yang


harus dilakukan, menciptakan jaringna hubungan untuk melakukanny, dan berusaha
untuk memastikan hal tersebut terjadi. Nemun kedua proses itu mempunyai elemen
yang betentangan; kepemimpinan yang kuat dapat mengacaukan aturan dan efisiensi,
sementara manajemen yang kuat dapat menghalangi pengambilan resiko dan inovasi.
Kedua proses ini sangat dibutuhkan dalam keberhasilan organisasi. Karena jika
hanya manajemennya saja yang kuat hanya akan mencipyakan birokrasi tanpa tujuan
begitupula jika hanya kepemimpinannya yang kuat dapat membuat perubahan dengan
cara yang tidak praktis.[3]
Sehingga kesimpulan menurut beberapa pakar sepaham bahwa manajer yang sukses
dalam orgaisasi modern adalah yang mampu memimpin. Bagaimana menggabungkan
dua proes itu telah menjadi masalah yang kompleks dan penting dalam literature
organisasi. Jawabannya tidak akan muncul dari perdebatan untuk mencari definisi yang
ideal. Pertanyaan apa saja yang menjadi wilayah proses kepemimpinan yang esensial
haruslah dicari dengan penelitian empiris, tidak dengan memberikan penilaian subyektif.
[4]
Secara garis besar berikut perbedaan antara Pemimpin dan Manajer :[5]
Pemimpin
Melakukan inovasi
Mengembangkan
Memberikan inspirasi
Memiliki pandangan jangka panjang
Menanyakan apa dan mengapa
Memunculkan
Menantang status quo
Melakukan sesuatu yang benar

Manajer
Mengurus
Mempertahankan
Mengendalikan
Memiliki pandangan jangka
pendek
Menayakan bagaimana dan
kapan
Mengawali
Menerima status quo
Melakukan sesuatu dengan
benar

2.4 Studi Kepemimpinan yang Penting secara Historis

Pembahsan

studi

klasik

dapat

membantu

penyusunan

tahap

teori

kepemimpinan modern dan tradisional.([6])


Studi Kepemimpinan Iowa
Beberapa pionir studi kepemimpinan di akhir tahun 1930-an yang dipelopori
oleh Ronald Lippitt dan Ralph K. White, di bawah kepemimpinan Kurt Lewin di University
Iowa, memiliki dampak panjang. Pada studi awal ini, dibentuklah beberapa klub hobi
anak laki-laki berusia 10 tahun. Setiap klub memilki tiga gaya kepemimpinan yang
berbeda, seperti otoriter, demokratis, dan laissesz-faire. Pemimpin otoriter sangat suka
memerintah dan tidak mengizinkan partisipasi. Pemimpin ini memberikan perhatian
individual hanya ketika memuji dan mengkritik, tetapi mencoba bersikap ramah atau
impersonal daripada bersikap kejam secara terang-terangan. Pemimpin demokratis
mendukung diskusi kelompok dan pengambilan keputusan. Pemimpin ini mencoba
bersikap objektif dalam memberi pujian atau kritik dan memiliki semangat untuk
menjadi satu dengan kelompok. Pemimpin laisseez-faire memberi kebebasan penuh
pada kelompok; pemimpin ini tidak memiliki sikap pemimpin.
Sayangnya, efek gaya kepemimpinan pada produktivitas tidak diteliti secara
langsung. Penelitian ini hanya didesain khusus untuk memeriksa pola perilaku agresif.
Studi Lippitt dan White tidak bisa digeneralisasikan secara luas. Dari sudut pandang
metodologi penelitian ilmu perilaku masa kini, banyak variable yang tidak dikontrol.
Namun, studi kepemimpinan ini memiliki signifikansi historis yang penting. Ini adalah
usaha pertama yang menentukan dan meneliti efek gaya kepemimpinan dalam
kelompok. Nilainya adalah karena

studi

ini

yang pertama

kali

menganalisis

kepemimpinan dari sudut pandang metodologi ilmiah, dan terlebih penting, studi
tersebut menyatakan bahwa perbedaan gaya kepemimpinan menghasilkan reaksi yang
berbeda dan kompleks dari kelompok-kelompok yang sama atau serupa.
Studi Kepemimpinan Ohio State
Studi Ohio State dimulai dengan premis tidak ada definisi kepuasan terhadap
kepemimpinan. Kelompok ini memutuskan untuk menganalisis bagaimana individu
bertindak tatkala mereka tengah memimpin suatu kelompok atau organisasi. Analisis
dilakukan dengan menyuruh para bawahan mengisi kuesioner yang berisi kesan-kesan

mereka atas pimpinannya. Dalam kuesioner, bawahan harus mengidentifikasi berapa


kali pimpinan mereka melakukan jenis perilaku tertentu. Studi ini dilakukan untuk
mengidentifikasi dimensi-dimensi yang independen dari perilaku kepemimpinan. Pada
langkah pertama, Leader Behavior Description Questionare diatur pada situasi yang luas
dan berbeda. Untuk mengetahui bagaimana gambaran seorang pemimpin, dilakukan
analisis factor terhadap jawaban kuesioner. Dua dimensi kepemimpinan muncul secara
konsisten dari data kuesioner. Data-data tersebut adalah pertimbangan dan struktur
inisiasi. Sederhananya, faktor Ohio State adalah orientasi tugas atau tujuan (struktur
inisiasi) dan penghargaan terhadap kebutuhan individu dan hubungan (pertimbangan).
Dua dimensi ini berbeda dan terpisah satu sama lain.
Ada dua dimensi yang dianggap penting, yaitu struktur inisiatif (initiating structure)
dan pertimbangan (concideration). Yang dimaksud dengan struktur inisiatif adalah
sejarah mana seorang pemimpin mendefinisikan dan menstrukturisasi peranannya dan
peranan para bawahannya dalam usaha mengorganisasikan pekerjaan, hubunganhubungan kerja, dan tujuan-tujuan yang akan dicapai.
Pemimpin yang memiliki ciri struktur inisiatif yang tinggi dapat digambarkan sebagai
orang yang memberikan tugas-tugas khusus kepada para anggota kelompok,
mengaharapkan para karyawan untuk mempertahankan standar kinerja yang telah
ditetapkan, dan menekankan pentingnya batas waktu pertemuan.
Yang di maksud dengan pertimbangan adalah sejauh mana seorang pemimpin
memiliki hubungan kerja dalam arti saling percaya, menghormati pendapat dan
mempertimbangkan perasaan para bawahan. Pemimpin yang memiliki pertimbangan
tinggi dapat digambarkan sebagai orang yang suka membantu masalah para bawahan,
bersahabat dan pendekatannya baik, dan memperlakukan sama semua bawahan.
Jadi, studi kelompok Ohio State ini menyatakan bahwa meskipun secara umum a
high-high leader bersifat positif, cukup banyak pengecualian yang menunjukkan
pentingnya factor-faktor situasional yang perlu diintegrasikan ke dalam teori ini.
Studi Kepemimpinan Michigan
Studi ini memiliki objektif penelitian yang hampir sama dengan studi Ohio State,
yaitu melokalisasi karakteristik perilaku para pemimpin yang tampak berhubungan

dengan efektifitas kerja. Titik tekan riset di University of Michigan adalah eksplorasi
perilaku kepemimpinan, yang memberikan perhatian khusus utamanya pada dampak
perilaku pemimpin atas kinerja suatu kelompok kecil.([7])
Kelompok ini juga memunculkan dua dimensi perilaku kepemimpinan yang mereka
sebut orientasi karyawan (employee-oriented) dan orientasi produksi (productionoriented). Para pemimpin yang berorientasi pada karyawan memiliki kecenderungan
pribadi pada pemenuhan kebutuhan para anggota kelompok. Sebaliknya, para pemimpin
yang berorientasikan pada produksi cenderung mengutamakan aspek-aspek teknis dan
tugas pekerjaan sehingga para anggota kelompok dipandang sebagai alat untuk
mencapai tujuan.
Kesimpulan yang diambil oleh kelompok Michigan ini sangat kuat mendukung para
pemimpin yang memiliki perilaku yang berorientasikan kepada karyawan. Mereka ini
biasanya dihubungkan dengan produktivitas dan kepuasan kelompok yang lebih tinggi. Di
pihak lain, para pemimpin yang berorientasikan pada produksi cenderung dihubungkan
dengan produktivitas dan kepuasan kelompok yang rendah.

2.5 Teori kepemimpinan tradisional


Tiga penemuan yang disebutkan di muka, yakni Iowa, Ohio, dan Michigan
merupakan tonggak sejarah yang amat penting dari studi kepemimpinan dengan
penekanan pada ilmu perilaku organisasi. Sayangnya tiga penemuan tersebut masih
terbatas, dan penelitian kepemimpinan relative masihnmerupakan permulaan yang
disini. Berikut ini akan diuraikan beberapa teori yang tidak asing lagi bagi literatureliteratur kepemimpinan pada umumnya. Ciri-ciri praktik kepemimpinan tradisional yang
ditandai oleh :

Ruang-ruang kantor pribadi dan ruang-ruang kubus


Pergerakan karier seperti naik tangga ke atas
Para karyawan
Kedudukan-kedudukan dan pekerjaan-pekerjaan
Tim-tim fungsional
Kerja keras menghasilkan kesuksesan
Partisipasi yang absolut

Kantor-kantor, furniture sebagai symbol-simbol kekuasaan/kekuatan


Kenaikan honorarium sebagai insentif
Seminar-seminar sebagai cara pelatihan standar

Teori Kepemimpinan Trait (Sifat)


Teori trait tentang kepemimpinan adalah usaha identifikasi karakter khusus (fisik,
mental, kepribadian) terkait kesuksesan pemimpin.

Pendekatan sifat termasuk

pendekatan kepemimpinan yang paling tua. Pendekatan sifat menganggap pemimpin itu
dilahirkan (given) bukan dilatih atau diasah. Kepemimpinan terdiri atas atribut tertentu
yang melekat pada diri pemimpin, atau sifat personal, yang membedakan pemimpin dari
pengikutnya. Sebab itu, pendekatan sifat juga disebut teori kepemimpinan orang-orang
besar. Teori the Great Man menyatakan bahwa seseorang yang dilahirkan sebagai
pemimpin akan menjadi pemimpin tanpa memerhatikan apakah ia mempunyai sifat atau
tidak mempunyai sifat sebagai pemimpin.
Menyadari hal seperti ini, bahwa tidak ada korelasi sebab akibat antara sifat dan
keberhasilan manajer, maka keith Davis merumuskan empat sifat umum yang
tampaknya mempunyai pengaruh terhadap keberhasilan kepemimpinan organisasi.([8])
(1) Kecerdasan/ Intelijensi. Hasil penelitian umumnya membuktikan bahwa pemimpin
mempunyai tingkat kecerdasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang dipimpinnya.
Pemimpin cenderung punya intelijensi dalam hal kemampuan bicara, menafsir, dan
bernalar yang lebih kuat ketimbang yang bukan pemimpin.
(2) Kedewasaan dan keluasan hubungan social. Pemimpin cenderung menjadi matang dan
mempunyai emosi yang stabil, karena mempunyai perhatian yang luas terhadap
aktivitas-aktivitas social. Dia mempunyai keinginan menghargai dan dihargai.
(3) Motivasi diri dan dorongan berprestasi. Para pemimpin secara relative mempunyai
dorongan motivasi yang kuat untuk berprestasi. Mereka berusaha mendapatkan
penghargaan yang intrinsik dibandingkan dari yang entrinsik.
(4) Sikap-sikap hubungan kemanusiaan. Pemimpin-pemimpin yang berhasil mau mengakui
harga diri dan kehormatan para pengikutnya dan mampu berpihak kepadanya.

Peraga merangkum trait kepemimpinan yang paling sering diteliti (trait yang
mencirikan seorang pemimpin yang sukses). Beberapa penelitian melaporkan bahwa
trait-trait ini memberikan kontribusi bagi kesuksesan kepemimpinan. Meskipun
demikian, kesuksesan dalam kepemimpinan bukan semata-mata dipengaruhi oleh traittrait ini saja atau trait lain. Masih ada banyak faktor yang mempengaruhi kesuksesan
kepemimpinan selain trait-trait di bawah ini.
Peraga Trait Terkait Keefektifan Pemimpin
Intelegensi
Kepribadian
Pertimbangan
Ketegasan
mengambil
keputusan
Pengetahuan
Kefasihan
berbicara

Kemampuan beradaptasi

Kemampuan
Kemampuan
menambahkan kerja
sama

Kesiagaan

Mampu bekerja sama

Kreativitas

Kepopuleran dan gengsi


Mudah bergaul
(kemampuan
interpersonal)
Partisipasi social

Integritas pribadi
Kepercayaan diri
Control dan
keseimbangan emosi
Mandiri(tidak konformis)

Taktik, diplomasi

Teori kepemimpinan kelompok dan Teori Kepemimpinan Pertukaran


Teori kelompok dalam kepemimpinan ini memilki dasar perkembangan yang berakar
pada psikologi sosial. Teori pertukaran yang klasik membantunya sebagai suatu dasar
yang penting bagi pendekatan teori kelompok.
Teori kelompok ini beranggapan bahwa, supaya kelompok bisa mencapai tujuantujuannya, harus terdapat suatu pertukaran yang positif di antara pemimpin dan
pengikut-pengikutnya. Kepemimpinan yang ditekankan pada adanya suatu proses
pertukaran antara pemimpin dan pengikutnya ini, melibatkan pula konsep-konsep
sosiologi tentang keinginan-keinginan mengembangkan peranan.
Suatu hasil penelitian ulang yang sempurna menunjukkan bahwa para pemimpin
yang memperhitungkan dan membantu pengikut-pengikutnya mempunyai pengaruh yang

positif terhadap sikap, kepuasan, dan pelaksanaan kerja. ([9]) Sama pentingnya adalah
hasil penemuan lainnya yang lebih belakangan ini. Penelitian ini menyatakan bahwa para
bawahan juga dapat memengaruhi pengikut-pengikut/para bawahannya.
Barrow dalam studi laboratoriumnya menemukan bahwa produktivitas kelompok
mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap gaya kepemimpinan dibandingkan
dengan pengaruh gaya kepemimpinan terhadap produktivitas. Dengan kata lain,
beberapa penemuan tampaknya menunjukkan bahwa para bawahan dapat memengaruhi
pemimpin dengan perilakunya, sebanyak pemimpin beserta perilakunya memengaruhi
para bawahannya.
Pendekatan Leader Member Exchange (Pertukaran antara
Pemimpin Anggota)
Pendekatan yang mengenali tidak adanya konsistensi perilaku pemimpin kepada
seluruh bawahannya. Pemimpin membina ikatan dan hubungan pribadi terhadap masingmasing bawahannya. LMX tidak hanya mengenali, tetapi menekankan perbedaan
hubungan yang dikembangkan pemimpin dengan bawahan yang berbeda dalam
kelompok. Sebagai contoh, seorang pemimpin mungkin dapat sangat bertoleransi pada
seorang bawahan tetapi sangat kaku dan tegas pada bawahan yang lain. Mungkin saja
pemimpin denga 10 orang bawahan akan memiliki 10 hubungan pemimpin-bawahan
yang berbeda untuk setiap bawahannya. Hubungan satu lawan satu inilah yang
menentukan perilaku bawahan.
Pendekatan LMX menyatakan bahwa pemimpin mengklasifikasikan para
bawahan menjadi anggota in-group dan out-group. Anggota in-group memiliki ikatan yang
sama dan juga system nilai yang sama dalam berinteraksi dengan pemimpin. Anggota
out-group memiliki kesamaan yang lebih sedikit dan jarang berinteraksi dengan
pemimpin.
Teori LMX menyatakan bahwa anggota in-group akan lebih mungkin menerima
penugasan yang menantang dan menerima imbalan yang lebih bermakna. Sehingga
anggota in-group akan memiliki sikap yang lebih positif terhadap budaya perusahaan
dan memiliki kinerja dan kepuasan kerja yang lebih tinggi dibandingkan pegawa yang out-

group. Anggota out-group dianggap bukan orang yang diinginkan pemimpin untuk bekerja
sama, dan hal ini sering kali menjadi self-fulfilling prophecy. Anggota out-group menerima
tugas yang lebih tidak menantang, menerima imbalan yang lebih sedikit, menjadi bosan
dengan pekerjaannya, dan pada akhirnya akan memilih berhenti bekerja.
Teori Kepemimpinan Kontigensi (Ketidakpastian)
Teori Kontijensi dalam kajian kepemimpinan fokus pada interaksi antara
variabel-variabel yang terlibat di dalam situasi serta pola-pola perilaku
kepemimpinan. Teori Kontijensi didasarkan atas keyakinan bahwa tidak ada satupun
gaya kepemimpinan yang cocok bagi aneka situasi.
Beberapa pendekatan untuk mengisolasi variable-variabel situasional yang penting
telah menunjukkan adanya perbedaan, yang satu lebih sukses daripada yang lain. Di
bawah ini ada pendekatan-pendekatan yang telah memperoleh pengakuan luas: model
Fieldler, teori situasional dari Hersey dan Blanchard, dan model partisipasi pemimpin.
(1) Model Fieldler
Model kontigensi dari Fred Fiedler (1976) mengusulkan bahwa efektifitas kinerja
sebuah kelompok tergantung pada adanya kecocokan antara gaya seorang pemimpin di
kala berinteraksi dengan bawahannya dan tergantung pada derajat control dan pengaruh
situasi pada si pemimpin. Fiedler kemudian mengembangkan kuesioner LPC (Least
Preferred Co-Worker) di mana responden diminta untuk memikirkan atau membayangkan
seorang teman sekerjanya yang paling menjengkelkan atau paling sulit diajak bekerja
sama. Kemudian, responden diminta menggambarkan sifat-sifat tertentu dari teman
kerjanya tersebut dengan memberikan skor tertentu. Kuesioner ini untuk mengukur
apakah seseorang itu (responden) lebih mengutamakan orientasi tugas atau orientasi
hubungan antar manusia. Selanjutnya, Fiedler mengisolasikan tiga kriteria situasionalhubungan pimpinan-bawahan, struktur tugas, dan kekuatan posisi yang dipercayainya
dapat dimanipulasi sedemikian rupa agar bias cocok dengan orientasi perilaku si
pemimpin. Dari sini akan dapat diramalkan efektivitas kepemimpinan seseorang.
a) Mengidentifikasi Gaya Kepemimpinan

Menurut Fiedler, factor kunci keberhasilan kepemimpinan sesorang adalah gaya


kepemimpinannya yang bias diukur dengan LPC di atas tersebut. ([10]) Jika skor LPC-nya
tinggi (penilaian positif), responden dapat dikatan lebih mengutamakan hubungan baik
dengan teman-teman sekerjanya, responden semacam ini dapat dikategorikan sebagai
orang yang berorientasikan hubungan antar manusia. Sebaliknya, jika skor LPC-nya
rendah (penilaian cenderung negative), responden dapat dikategorikan sebagai orang
yang mengutamakan produktivitas, sehingga dapat dikatakan sebagai orang yang
berorientasikan tugas. Fiedler berargumentasi bahwa gaya kepemimpinan sudah
merupakan bawaan seseorang dan akan sulit sekali mengubahnya untuk menyesuaikan
situasi-situasi yang berubah.
b) Mendefinisikan Situasi
Ada tiga dimensi situasional yang dapat menjadi factor kunci untuk menetapkan
efektivitas kepemimpinan: hubungan pimpinan-bawahan, struktur tugas, dan kekuatan
posisi, yang bias didefinisikan sebagai berikut:
o Hubungan pimpinan-bawahan: derajat kepercayaan diri, kepercayaan, dan hormat yang
dimiliki bawahan terhadap atasannya.
o Struktur tugas: sejauh mana prosedur penugasan pekerjaan itu ditetapkan (pekerjaan itu
terstruktur atau tidak terstruktur).
o Kekuatan posisi: dearajat pengaruh yang dimiliki seorang pemimpin diukur dari variablevariabel kekuatan seperti mempekerjakan, memecat, medisiplinkan, mempromosikan,
dan menaikkan gaji.
Semakin baik hubungan pimpinan-bawahan, makin terstruktur pekerjaan itu dan
makin kuat kekuatan posisinya, akan semakin besar pula kontrol atau pengaruh yang
dimiliki seorang pemimpin.

Pada sisi lain, sebuah situasi yang tidak baik

menggambarkan pimpinan yang tidak disukai, di mana pimpinan ini sedikit sekali
memiliki kontrol.
c) Mencocokkan Pemimpin dengan Situasi
Dengan diketahuinya gaya kepemimpinan seseorang melalui LPC dan dengan
penetapan ketiga variable situasional tersebut di atas, model Fiedler ini mengusulkan
penyesuaian secara keseluruhan agar dapat dicapai efektivitas kepemimpinan yang

maksimal. Skor LPC seseorang akan menentukan tipe situasi yang mana yang paling
cocok untuk gaya kepemimpinannya. Tetapi, harus diingat bahwa gaya kepemimpinan
seseorang itu bersifat menetap. Jadi, hanya ada dua cara untuk meningkatkan
efektivitas kepemimpinan:
1.

Menggantikan si pemimpin untuk bisa cocok dengan situasinya. Sebagai contoh, jika
situasi yang dihadapi oleh sebuah kelompok kerja itu sangat tidak nyaman dan sedang
dipimpin oleh seorang manajer yang berorientasi pada hubungan sesame manusia,
kinerja kelompok tersebut bias ditingkatkan dengan cara menggantikan manajernya

dengan orang yang berorientasi pada tugas.


2. Mengantikan situasi untuk bisa cocok dengan si pemimpin. Hal ini bias dilakukan
dengan restrukturisasi tugas-tugas atau dengan meningkatkan atau menurunkan
kekuatan yang dimiliki si pemimpin dalam melakukan kontrol misalnya dalam menaikkan
gaji, promosi, dan tindakan-tindakan pendisiplinan lainnya.
Model Fiedler ini umumnya diterima oleh kalangan luas, meskipun ada celah yang
menimbulkan kritik. Umpamanya, logika yang melatarbelakangi LPC kurang bias
dimengerti sepenuhnya dan beberapa bukti menunjukkan bahwa skor LPC seseorang itu
tidak selalu stabil (Rice, 1978). Di samping itu, ternyata bahwa variable-variabel
situasional itu bersifat kompleks, yang sukar ditetapkan secara valid oleh para praktisi.
Dalam praktik, sering pula dirasakan sukar untuk menentukan hubungan pimpinan
bawahan, menentukan struktur tugas yang jelas, dan menentukan kekuatan posisi yang
dimiliki seorang pemimpin. Sekalipun begitu, model Fiedler ini telah memberikan
sumbangan yang berharga untuk pengetahuan tentang efektivitas kepemimpinan.
d) Teori Sumber Kognitif: Perbaikan dari Model Fiedler
Untuk mendapatkan kinerja kelompok yang efektif, maka terapat perbaikan asumsi.
Teori ini kemudian menunjukkan bagaimana sumber-sumber stress dan kognitif seperti
pengalaman, lama kerja, dan kecerdasan dapat berpengaruh banyak terhadap efektivitas
kepemimpinan (Vecchio, 1990). Sedangkan inti dari teori ini dapat disimpulkan dalam
tiga prediksi:

Perilaku direktif ini hanya dapat menghasilkan kinerja yang baik jika dihubungkan
dengan intelegensi yang tinggi dalam lingkungan kepemimpinanyang suportif dan tanpa

stress.
Pada situasi-situasi yang rawan stress, ada hubungan positif antara pengalaman kerja

dan kinerja.
Kemampuan intelektual para pemimpin memiliki hubungan dengan kinerja kelompok
dalam situasi-situasi yang dianggap tanpa stres.

(2) Teori Situasional dari Hersey dan Blancard


Kepemimpinan situasional ini merupakan teori kontigensi yang focus pada para
pengikut/bawahan. Kepemimpinan yang sukses bias dicapai melalui pemilihan gaya
kepemimpinan yang benar, dalam pengertian disesuaikan dengan tingkat maturitas
bawahan.

Penekanan

pada

pentingnya

bawahan

dalam

kepemimpinan

efektif

menggambarkan suatu kenyataan bahwa merekalah, para bawahan, yang akan


menerima atau menolak seorang pemimpin.
Yang dimaksud dengan maturitas di sini adalah adanya kemampuan dan kemauan
dari orang-orang untuk bertanggung jawab dalam mengaahkan perilaku mereka sendiri.
Ada dua komponen maturitas, yaitu maturitas kerja dan maturitas psikologis. Yang
pertama hubungannya dengan pengetahuan, kemampuan, dan pengalaman untuk
memperlihatkan tugas-tugas kerjanya tanpa petunjuk/arahan dari orang lain. Maturitas
psikologis berhubungan dengan kemauan dan motivasi untuk melakukan sesuatu
sehingga tidak memerlukan dorongan dari luar, mereka telah termotivasi secara
instrinsik.
Kepemimpinan situasional juga menggunakan dua dimensi kepemimpinan yang sama
dengan dimensi yang telah diidentifikasikan oleh Fiedler, yaitu perilaku yang berkaitan
dengan tugas dan perilaku yang berkaitan dengan hubungan sesama. Hanya disini
dilakukan elaborasi lebih jauh dengan mempertimbangkan tinggi rendahnya masingmasing dimensi, yang kemudian, yang kemudian digabung ke dalam empat gaya
kepemimpinan

khusus:

memerintah,

menawarkan,

meminta

mendelegasikan. Berikut ini penjelasan masing-masing gaya tersebut:

partisipasi,

dan

Memerintahkan (banyak detail tugas, sedikit hubungan sesama). Seorang pemimpin


yang akan menentukan peranan para bawahan dan memerintahkan mereka untuk
mengerjakan tugas-tugas apa, bagaimana, kapan, dan di mana. Jadi, peilaku direktif

lebih ditekankan.
Menawarkan (banyak detail tugas, banyak hubungan sesama). Seorang pemimpin tidak

hanya memberikan perilaku direktif, tetapi juga perilaku suportif.


Meminta partisipasi (sedikit detail tugas, banyak hubungan sesama). Seorang
pemimpin dan bawahannya saling berbagi dalam pengambilan keputusan di mana peran

utama si pemimpin dikomunikasikan dan difasilitasi.


Mendelegasikan (sedikit detail tugas, sedikit hubungan sesama). Seorang pemimpin
hanya memberikan sedikit arahan dan dorongan.

(3) Model Partisipasi Pemimpin


Model kepemimpinan ini dikembangkan oleh Victor Vroom dan Philip Yetton,
mencoba menghubungkan perilaku kepemimpinan dan partisipasi dalam pengambilan
keputusan. Model ini bersifat normative, yaitu memberikan satu set aturan yang
beruntutan, yang sebaiknya diikuti untuk menetapkan bentuk dan banyaknya partsipasi
yang diinginkan dalam pengambilan keputusan seperti yang dituntut oleh berbagai
situasi yang berbeda.
Model

kepemimpinan

ini

dapat

dibuatkan

diagram,

di

mana

perilaku

kepemimpinan tertentu disesuaikan dengan situasi tertentu pula. Model ini juga
mendukung pendapat bahwa perilaku pemimpin itu fleksibel, di mana seorang pemimpin
dapat menyesuaikan gaya kepemimpinannya pada situasi-situasi yang berbeda. Dengan
memberikan jawabannya dari variable-variabel situasional tersebut di atas, dapat dipilih
salah satu perilaku kepemimpinan dalam pengambilan keputusan yang paling mendekati
situasi yang dihadapi.
Teori kepemimpinan Path-Goal (Jalan Mencapai Tujuan)
Sekarang ini, salah satu pendekatan tentang kepemimpinan yang memperoleh
penghargaan adalah teori jalan mencapai tujuan (Path Goal Theory), teori ini merupakan
sebuah model kepemimpinan yang bersifat kontigensi, yang merupakan ekstraksi

elemen-elemen kunci dari penelitian Ohio State tentang kepemimpinan (struktur inisiatif
dan struktur konsideratif) dan teori ekspektasi tentang motivasi.
Penekanan teori ini adalah bahwa menjadi pekerjaan pemimpin untuk
membantu para pengikut/bawahannya untuk mencapai tujuan mereka dan
memberikan arahan dan dorongan yang diperlukan untuk meyakinkan tujuan
mereka tidak bertentangan dengan objektif kelompok atau organisasinya.
Istilah Path-goal di sini dikembangkan dari sebuah kepercayaan bahwa para
pemimpin yang efektif selalu melicinkan jalan untuk membantu para
bawahan memperoleh sesuatu; mulai dari mereka sekarang sampai dengan
pencapain tujuan kerja, dan membuat perjalanan mereka itu lebih mudah
dengan mengurangi berbagai sandungan dan hambatan.
House bertetangan pendapat dengan Fiedler tentang perilaku pemimpin, House
berasumsi bahwa para pemimpin itu bersifat fleksibel. Menurut teori ini, seorang
pemimpin yang sama dapat mendemonstrasikan salah satu atau semua perilaku
kepemimpinan di atas tergantung tergantung pada situasi yang dihadapinya. Teori ini
mengusulkan bahwa perilaku seorang pemimpin dapat menjadi inefektif jika bersifat
berlebihan terhadap struktur lingkungan atau tidak sejalan dengan karakteristik pribadi
bawahan. Di bawah ini diberikan beberapa contoh hipotesis yang berhubungan dengan
teori jalan menuju tujuan versi Robert House([11])

Kepemimpinan direktif bisa menuju pada kepuasan yang lebih besar jika tugas-tugas
yang dihadapi bawahan itu lebih membingungkan atau banyak stress daripada kalau

tugas-tugas tersebut sudah terstruktur atau sudah jelas.


Kepemimpinan suportif bias menghasilkan kinerja dan kepuasan karyawan yang tinggi

jika bawahan sedang melaksanakan tugas-tugas yang terstruktur.


Kepemimpinan direktif bias dipersepsikan sebagai sesuatu yang berlebihan oleh para
bawahan yang telah memiliki kemampuan pribadi yang tinggi atau telah memiliki banyak

pengalaman.
Makin jelas, hubungan kewenangan formal atau makin birokratis, para pemimpin makin
dianjurkan untuk memperlihatkan perilaku suportif dan tidak menekankan pada perilaku
direktif.

Kepemimpinan direktif akan menuju pada kepuasan karyawan yang lebih tinggi jika

terjadi konflik substansi di dalam kelompok kerja.


Para bawahan yang pusat kontrol pribadinya bersifat internal-percaya diri dan
mengontrol tujuan hidup mereka sendiri-akan lebih merasa puas dengan gaya

kepemimpinan partisipatif.
Para bawahan yang pusat kontrol pribadinya bersifat eksternal akan merasa puas

dengan gaya kepemimpian direktif.


Kepemimpinan dengan orientasi keberhasilan akan meningkatkan ekspektasi bawahan
bahwa usahanya akan menuju prestasi kerja yang tinggi jika tugas-tugasnya terstruktur
secara ambiguous (derajat kesukarannya 50%).
Dengan kata lain, dengan cara-cara seperti yang diuraikan di atas, pemimpin
berusaha membuat jalan kecil (path) untuk pencapaian tujuan-tujuan (goals) para
bawahannya sebaik mungkin. Tetapi, untuk

mewujudkan fasilitas path-goals ini,

pemimpin harus menggunakan gaya yang paling sesuai terhadap variable-variabel


lingkungan yang ada. Berikut gambar yang menyimpulkan pendekatan teori path-goals
tersebut:
Karakteristik Bawahan
Perilaku/Gaya Kepemimpinan:
Direktif
Supportif
Partisipatif
prestasi
Hasil
Keputusan
Kejelasan peranan
Kejelasan tujuan
Pelaksanaan kerja
Bawahan
Persepsi
Motivasi
Kekuatan-kekuatan Lingkungan
Karakteristik tugas
Sistem otoritas formal
Kerja utama group

2.6 Teori kepemimpinan Modern


Pada konsep kepemimpinan ke depan mulai dipikirkan bentuk-bentuk pendekatan
kepemimpinan yang baru. Untuk mngerti lebih baik apa saja yang dikerjakan para
pemimpin sekarang terhadap posisinya sendiri dan organisasinya supaya sukses
berkelanjutan, perlu dilakukan pendekatan sebagai berikut :

Diskusi-diskusi dengan para pemimpin inovatif di seluruh Indonesia, bahkan dunia

untuk perubahan.
Penelitian tentang praktik-praktik kepemimpinan yang berlaku dan yang diantisipasikan.
Wawancara-wawancara dengan para pemimpin sukses ke seluruh Indonesia, bahkan
dunia tentang organisasi-organisasi yang inovatif.
Konsep kepemimpinan yang baru ini secara tepat mengklarifikasi praktik-praktik
apa yang sebaiknya di pertimbangkan secara serius untuk mengeliminasi pengulangan-

pengulangan/rutinitas yang selayaknya sudah diganti. Ada tujuh usulan perubahan yang
diperoleh dari pengalaman belajar:

Pertukaran komunikasi : terbatas dan informatif untuk saling berbagi dan saling

meyakinkan.
Pertukaran tenaga kerja : tenaga-tenaga inti (core) dan tenaga-tenaga non-inti (non-core)

serta kontrak yang bersifat permanen.


Pertukaran pengakuan : berfokus dari single-generational kepada multi-generational.
Pertukaran tim : penyebaran tim yang menetap dan bersifat local menjadi penyebaran

tim yang mengalir dan menyesuaikan kondisi geografis.


Pertukaran pengembangan : pembentukan tim yang eksesif menjadi penghargaan

kepada kepeloporan individual (maverick).


Pertukaran kondisi tempat kerja : perkantoran-perkantoran yang stasionair menjadi

lingkungan-lingkungan yang baik dan mobil (mudah dipindahkan).


Pertukaran struktur : dari berfokus internal menjadi kemitraan eksternal.
Sangat diharapkan agar Anda mulai memikirkan dan mencoba untuk membuat
pertukaran-pertukaran

tersebut sebelum terlambat, sebelum para pemimpin lain

meninggalkan Anda dengan praktik praktif inovatif mereka, yang akan mencampakkan
Anda ke pinggiran (Essex & Kusy, 1999).
Ikhtisar menguasai setiap gaya kepemimpinan tersebut memberikan pemahaman
yang lebih baik mengenai proses kepemimpinan kompleks. Belakangan muncul
beberapa teori kepemimpinan yang disesuaikan dengan tipe pemimpin yang muncul.

Teori kepemimpinan Karismatik


Kepemimpinan
karismatik
kepemimpinan

lama

seperti

yang

adalah
dengan

warisan

dari

kekuatan

konsepsi

kemampuan

personalnya, mampu memiliki efek yang luar biasa terhadap pengikutnya.


(

[12]) Teori ini merupakan perluasan dari teori atributif di mana para

bawahan/pengikut

membuat

karakteristik-karakteristik

tertentu

untuk

kemampuan kepemimpinan yang luar biasa atau heroik setelah mereka


mengobservasi perilaku pemimpin yang bersangkutan. Beberapa karakteristik
yang dapat disimpulkan dari kepemimpinan kharismatik:

Percaya diri. Mereka memiliki kepercayaan diri yang penuh dalam penilaian dan

kemampuan.
Memiliki visi. Tujuan ideal yang harus dicapai daripada status quo, makin besarlah

persepsi bawahan/pengikut bahwa pemimpin ini memiliki visi yang luar biasa.
Kemampuan untuk meyakinkan visinya. Mereka ini mampu menyatakan dan
menjelaskan visinya yang mudah dimengerti oleh orang lain. Kemampuan meyakinkan
orang ini diperkuat oleh pemihakan kepad kebutuhan bawahan, jadi bias berlaku sebagai

kekuatan motivasi.
Keyakinan kuat terhadap kebenaran visinya. Para pemimpin kharismatik dipersepsikan
sangat bertanggung jawab dan bersedia mengambil risiko pribadi yang tinggi, meskipun

dengan ongkos tinggi dan pengorbanan diri, untuk keberhasilan misinya.


Perilaku-perilaku yang tergolong luar biasa. Para pemimpin ini terlibat dalam perilakuperilaku yang dipersepsikan baru, tidak konvensional, kadang-kadang berlawanan
dengan norma. Jika berhasil, perilaku-perilaku serupa ini kemudian memperoleh

kekaguman dan pujian dari bawahan.


Dipersepsikan sebagai agen perubahan. Para pemimpin kharismatik ini lebih
dipersepsikan sebagai agen perubahan radikal daripada sebagai pemegang jabatan

untuk status quo.


Sensitive terhadap lingkungan. Para pemimpin ini mampu membuat perkiraan realistic
terhadap

sumber-sumber

dan

hambatan

lingkungan,

yang

diperlukan

untuk

merealisasikan perubahan.
Konsekuensi dari Kepemimpinan Karismatik
Sisi Gelap dari Karisma
Sebuah pendekatan yang lebih baik untuk membedakan antara karismatik positif
dan negatif adalah dalam hal nilai dan kepribadian mereka (House dan Howell, 1992;
Howell, 1998; Musser, 1987). Karismatik negatif memiliki orientasi kekuasaan secara
pribadi. Mereka menekankan identifikasi pribadi daripada internalisasi. Secara sengaja
mereka berusaha untuk lebih menanamkan kesetiaan kepada diri mereka sendiri
daripada idealisme.
Para pemimipin karismatik cenderung untuk membuat keputusan yang
berisiko

yang

dapat

mengakibatkan

kegagalan

serius,

dan

mereka

cenderung untuk membuat musuh yang lebih kuat yang akan menggunakan
kegagalan demikian sebagai kesempatan untuk memindahkan pemimpin
dari kantornya. Berikut beberapa konsekuensi dari pemimpin karismatik:

Keinginan akan penerimaan oleh pemimpin menghambat kecaman dari pengikut


Pemujaan dari pengikut menciptakan khayalan akan tidak dapat berbuat kesalahan
Keyakinan dan optimisme berlebihan membutakan pemimpin dari bahaya nyata
Penolakan akan masalah dan kegagalan mengurangi pembelajaran organisasi.
Proyek berisiko yang terlalu besar akan besar kemungkinannya untuk gagal
Mengambil pijian sepenuhnya atas keberhasilan akan mengasingkan beberapa pengikut

yang penting
Perilaku impulsif yang tidak tradisional menciptakan musuh dan juga orang-orang yang

percaya
Ketergantungan terhadap pemimpin akan menghambat perkembangan penerus yang

kompeten
Kegagalan untuk mengembangkan penerus menciptakan krisis kepemimpinan pada
akhirnya
Optimisme dan keyakinan diri amat penting untuk mempengaruhi orang lain agar
mendukung visi pemimpin, tetapi optimisme berlebihan membuat makin sulit bagi
pemimpin untuk mengenali kekurangan dalam visi itu. Terlalu mengenali visi tersebut
akan merendahkan kapasitas untuk mengevaluasinya secara objektif. Pengalaman dari
dari keberhasilan sebelumnya dan pemujaan bawahan dapat menyebabkan pemimpin
percaya bahwa penilaiannya tidak bisa salah. Dalam pencarian yang tekun untuk
mencapai visi itu, seorang [emimpin yang karismatik dapat mengabaikan atau menolak
bukti bahwa visinya tidak realistis dan mangarah kepada kegagalan. Para pengikut yang
percaya pada pemimpin itu akan terhalang untuk menunjukkan kekurangan atau
menyajikan perbaikan, yang membuat sebuah keputusan yang buruk menjadi makin
mungkin terjadi.
Bass (1985) menyebutkan bahwa respons dari orang terhadap pemimpin yang
karismatik akan lebih besar penghormatan luar biasa oleh beberapa orang dan
kebencian luar biasa oleh beberapa orang lainnya. Jadi, keuntungan memiliki beberapa
pengikut yang berdedikasi yang mengenali pemimpin akan diimbangi kerugiannya
dengan memilki beberapa musuh yang kuat, kemungkinan meliputi anggota yang

berkuasa dari organisasi itu yang dapat merendahkan program pemimpin tersebut atau
berkonspirasi untuk menggeser pemimpin dari kedudukannya.
Pengaruh dari Karismatik Positif
Sebaliknya, karismatik positif memliki orientasi kekuasaan sosial. Para pemimpin
ini menekankan internalisasi dari nilai-nilai bukannya identifikasi pribadi. Mereka
berusaha untuk menanamkan kesetiaan kepada ideologi lebih dari pada kesetiaan
kepada diri mereka sendiri.
Para pengikut akan jauh lebih baik bila bersama dengan pemimpin yang
karismatik positif daripada dengan pemimpin karismatik negatif. Mereka lebih besar
kemungkinannya

akan

mengalami

pertumbuhan

psikologis

dan

perkembangan

kemampuan mereka dan organisasi akan lebih dapat beradaptasi pada sebuah
lingkungan yang dinamis, bermusuhan dan kompetitif. Pemimpin yang karismatik positif
biasanya menciptakan sebuah budaya yang berorientasi keberhasilan (Harrison, 1987)
sistem kinerja tinggi (Vaill, 1978), atau organisasi yang dipicu oleh nilai secara
langsung (Peters & Waterman, 1982). Organisasi jelas telah memahami misi yang
mewujudkan nilai-nilai sosial bukannya hanya keuntungan atau pertumbuhan, para
anggota dari semua tingkatan diberikan kewenangan untuk membuat keputusan penting
tentang

bagaimana

menerapkan

strategis

dan

melakukan

pekerjaan

mereka,

komunikasinya terbuka dan informasi dibagikan, struktur dan sistem organisasi


mendukung misinya. Otoritas didelegasikan hingga batas yang cukup besar, informasi
dibagikan secara terbuka, didorongnya partisipasi dalam kepurtusan, dan penghargaan
digunakan untuk menguatkan perilaku yang konsisten dengan misi dan sasaran dari
organisasi. Hasilnya adalah kepemimpinan mereka akan makin menguntungkan bagi
pengikut walaupun kosekuensi yang mendukung tidak dapat dihindari jika stategi yang
didorong oleh pemimpin tidak tepat.
Teori kepemimpinan Transformasional
Beberapa tahun lalu James MacGregor Burns

mengidentifikasi

dua

jenis

kepemimpinan politis: transaksional dan transformasional. Kepemimpinan transaksional


mencakup hubungan pertukaran antara pemimpin dan pengikut, tetapi kepemimpinan

transformasional lebih mendasarkan pada pergeseran nilai dan kepercayaan pemimpin,


serta kebutuhan pengikutnya.
Dengan kepemimpinan transformasional, para pengikut merasakan kepercayaan,
kekaguman, kesetiaan dan penghormatan terhadap pemimpin, dan mereka termotivasi
untuk melakukan lebih dari pada yang awalnya diharapkan dari mereka. Menurut Bass,
pemimpin mengubah dan memotivasi para pengikut dengan:
1. Membuat mereka lebih menyadari pentingnya hasil tugas
2. Membujuk mereka untuk mementingkan kepentingan tim atau organisasi mereka
dibandingkan dengan kepentingan pribadi
3. Mengaktifkan kebutuhan mereka yang lebih tinggi
Bagi Bass (1985) kepemimpinan transformasional dan transaksional itu berbeda,
tetapi bukan proses yang sama-sama eksklusifnya. Kepemimpinan transformasional
lebih meningkatkan motivasi dan kinerja pengikut dibandingkan dengan kepemimpinan
transaksional, tetapi pemimpin yang efektif menggunakan kombinasi dari kedua jenis
kepemimpinan tersebut.
Perilaku Pemimpin Transformasional:

Pengaruh ideal adalah perilaku yang membangkitkan emosi dan identifikasi yang kuat

dari pengikut terhadap pemimpin.


Pertimbangan individual meliputi pemberian dukungan, dorongan dan pelatihan bagi

pengikut.
Motivasi inspirasional meliputi penyampaian visi yang menarik, denga menggunakan

simbol untuk memfokuskan upaya bawahan, dan membuat model perilaku yang tepat
Stimulasi intelektual adalah perilaku yang meningkatkan kesadaran pengikut akan
permasalahan dan mempengaruhi para pengikut untuk memandang masalah dari
perspektif yang baru
Kepemimpinan transformasional juga terlihat melibatkan identifikasi pribadi karena
pengaruh ideal menghasilkan atribusi karisma oleh pengikut kepada pemimpin. Karisma
merupakan unsur kepemimpinan transformasional yang dibutuhkan, tetapi dirinya sendiri
tidaklah mencukupi bagi proses transformasional (Bass, 1985 hlm.31).
Kondisi yang Memudahkan

Menurut Bass (1996,1997) kepemimpinan transformasional dianggap efektif


dalam situasi atau budaya apapun. Teori ini tidak menyebutkan suatu kondisi dimana
kepemimpinan transformasional autentik tidak relevan atau tidak efektif. Untuk
mendukung posisi ini, hubungan positif antara kepemimpinan transformasional dengan
efektivitas telah ditiru oleh banyak pemimpin yang berada pada tingkatam otoritas yang
berbeda, dalam jenis organisasi berbeda, dan dalam negara berbeda (Bass, 1997).
Kriteria dari efektivitas kepemimpinan telah meliputi berbagai jenis ukuran berbeda.
Bukti-bukti mendukung kesimpulan bahwa dalam sebagian besar, jika bukan semua
situasi, beberapa aspek kepemimpinan transformasional adalah relevan. Namun,
relevansi universal tidak berarti bahwa kepemimpinan transformasional sama efektifnya
dalam semua situasi atau sama-sama mungkin terjadi.[13]
Pedoman Untuk Kepemimpinan Transformasional
1. Menyatakan visi yang jelas dan menarik
Sebuah visi yang jelas mengenai apa yang dapat dicapai organisasi atau akan jadi
apakah sebuah organisasi itu akan membantu orang untuk memahami tujuan, sasaran
dan prioritas dari organisasai. Hal ini memberikan makna pada pekerjaan, berfungsi
sebagai sebuah sumber keyakinan diri dan memupuk rasa tujuan bersama. Akhirnya, visi
membantu memandu sebuah tindakan dan keputusan dari setiap aggota organisasi,
yang amatlah berguna saat orang-orang atau kelompok diberikan otonomi dan
keleluasaan yang cukup besar dalam keputusan ke pekejaan mereka (Hackman, 1986;
Raelin, 1989).
2. Menjelaskan bagaimana visi tersebut dapat dicapai
Tidaklah cukup hanya menyampaikan sebuah visi yang menarik; pemimpin juga
harus meyakinkan para pengikut bahwa visi itu memungkinkan. Amatlah penting untuk
membuat hubungan yang jelas antara visi itu dengan sebuah strategi yang dapat
dipercaya untuk mencapainya. Hubungan ini lebih mudah dibangun jika strateginya
memiliki beberapa tema jelas yang relevan dengan nilai bersama dari para anggota
organisasi (Nadler, 1988).
3. Bertindak secara rahasia dan optimistis
Para pengikut tidak akan meyakini

sebuah

visi

kecuali

pemimpinnya

memperlihatkan keyakinan diri dan pendirian. Adalah penting untuk tetap optimistis

tentang kemungkinan keberhasilan kelompok itu dalam mencapai visinya, khisusnya


dihadapan halangan dan kemunduran sementara. Keyakinan dan optimisme seorang
manajer dapat amat menular. Amatlah baik untuk menekankan aspek positif dari visi itu
daripada pada halangan dan bahaya yang akan dihadapi.
4. Memperlihatkan keyakinan terhadap pengikut
Pengaruh yang memberikan motivasi dari sebuah visi bergantung pada batasan
dimana bawahan yakin akan kemampuan mereka untuk mencapainya. Penelitian
mengenai pengaruh Pygmalion menemukan bahwa orang memilki kinerja yang lebih
baik

saat

seorang

pemimpin

memiliki

harapan

yang

tinggibagi

mereka

dan

memperlihatkan keyakinan terhadap mereka (Eden, 1984, 1990; Eden & Shani, 1982;
Field, 1989; Sulton & Woodman, 1989)
5. Menggunakan tindakan dramatis dan simbolis untuk menekankan nilai-nilai penting
Perhatian akan nilai atau sasaran diperlihatkan dengan cara bagaimana seorang
manajer menghabiskan waktunya, dengan keputusan alokasi sumber daya yang dibuat
saat terdapat pertukaran antar sasaran, dengan pertanyaan yang ditanyakan manajer,
dan dengan tindakan apa yang dihargai oleh manajer tersebut.
Tindakan simbolis untuk mencapai sebuah sasaran penting atau mempertahankan
sebuah nilai akan lebih mungkin memberikan pengaruh saat manajer itu membuat risiko
kerugian pribadi yang cukup besar, membuat pengorbanan diri, atau melakukan hal-hal
yang tidak konvensional
6. Memimpin dengan memberikan contoh
Menurut peribahasa, tindakan berbicara lebih keras daripada perkataan. Satu cara
seorang pemimpin dapat mempengaruhi komitmen bawahan adalah dengan menetapkan
sebuah contoh dari perilaku yang dapat dijadikan contoh dalam interaksi keseharian
dengan bawahan. Memimpin dengan memberikan contoh terkadang disebut pembuatan
model peran.
7. Memberikan kewenangan kepada orang-orang untuk mencapai visi itu
Pemberian kewenangan berarti mendelegasikan kewenangan untuk keputusan
tentang bagaimana melakukan pekerjaan kepada orang-orang dan tim. Ini berarti
meminta orang untuk menentukan sendiri cara terbaik untuk menerapkan strategi atau
mencapai sasaran, bukannya memberitahu mereka secara rinci tentang apa yang harus
dilakukan.[14]

Kepemimpinan Transformasional versus Karismatik


Bass (1985) menyatakan bahwa karisma merupakan komponen
yang

diperlukan

dari

kepemimpinan

transformasional,

tetapi

ia

juga

menyatakan bahwa seorang pemimpin bisa menjadi karismatik tetapi tidak


transformasional. Inti dari kepemimpinan transformasional terlihat memberikan
inspirasi, mengembangkan dan memberikan wewenang kepada pengikut. Pengaruh ini
dapat mengurangi atribusi karisma terhadap pemimpin bukan meningkatkannya. Jadi,
proses mempengaruhi yang penting untuk kepemimpinan transformasional mungkin
tidak sepenuhnya dapat dibandingkan dengan proses mempengaruhi yang penting dari
kepemimpina karismatik, yang melibatkan ketergantungan pada seorang pemimpin yang
luar biasa.
Banyak perilaku kepemimpinan dalam teori kepemimpinan karismatik dan
transformasional yang terlihat sama, tetapi mungkin terdapat perbedaan penting juga.
Para pemipin transformasional. Para pemimpin transformasional barangkali melakukan
lebih banyak hal yang akan memberikan kewenangan kepada pengikut dan membuat
mereka tidak terlalu bergantung pada pemimpin, seperti mendelegasikan kewenangan
yang besar kepada beberapa orang, menegembangkan keyakinan dan ketrampilan diri
para pengikut, menciptakan kelompok yang mengelola sendiri, memberikan akses
langsung terhadap

informasi

sensitif,

menghilangkan

pengendalian

yang tidak

diperlukan, dan membangun sebuah budaya yang kuat untuk mendukung pemberia
kewenangan. Sedangkan para pemimpin karismatik melakukan lebih banyak hal yang
memupuk sebuah citra kompetensi yang luar biasa, seperti manajemen kesan, batasan
informasi, perilaku yang tidak konvensional, dan pengambilan risiko pribadi.
Selain itu juga terdapat perbedaan antara kepemimpinan transformasional dan
karismatik. Menurut Bass, para pemimpin transformasional dapat ditemukan dalam
organisasi apapun pada tingkat apapun, dan jenis kepemimpinan ini secara universal
relevan bagi semua jenis informasi (Bass, 1996, 1997). Sebaliknya para pemimpin yang
karismatik itu langka, dan munculnya mereka terlihat lebih bergantung pada kondisi
yang mendukung (Bass, 1985; Beyer 1999; Shamir & Howell 1999). Mereka paling
mungkin menjadi pengusaha yang memiliki visi yang mendirikan sebuah organisasi baru,

atau para reformis yang muncul dalam sebuah organisasi yang didirikan saat
kewenangan formal telah gagal menghadapi krisis yang parah sehingga nilai dan
keyakinan tradisional dipertanyakan. Reaksi dari orang-orang terhadap pemimpin
karismatik biasanya lebih ekstrem dan beragam dibanding dengan reaksi terhadap
pemimpin transformasional (Bass, 1985).
Teori Kepemimpinan Transaksional
Kepemimpinan transaksional,

pemimpin

yang

memandu

atau

memotivasi pengikut mereka dalam arah tujuan yang di tegakkan dengan


memperjelas

peran

dan

tuntutan

tugas.

Kepemimpinan

transaksional

merupakan salah satu gaya kepemimpinan yang intinya menekankan


transaksi di antara pemimpin dan bawahan. Kepemimpinan transaksional
memungkinkan pemimpin memotivasi dan mempengaruhi bawahan dengan cara
mempertukarkan reward dengan kinerja tertentu. Artinya, dalam sebuah transaksi
bawahan dijanjikan untuk diberi reward bila bawahan mampu menyelesaikan tugasnya
sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat bersama.
Alasan ini mendorong Burns untuk mendefinisikan kepemimpinan transaksional
sebagai bentuk hubungan yang mempertukarkan jabatan atau tugas tertentu jika
bawahan mampu menyelesaikan dengan baik tugas tersebut. Jadi, kepemimpinan
transaksional menekankan proses hubungan pertukaran yang bernilai ekonomis untuk
memenuhi kebutuhan biologis dan psikologis sesuai dengan kontrak yang telah mereka
setujui bersama.
Menurut Bass (1985), sejumlah langkah dalam proses transaksional
yakni

pemimpin

transaksional

memperkenalkan

apa

yang

diinginkan

bawahan dari pekerjaannya dan mencoba memikirkan apa yang akan


bawahan peroleh jika hasil kerjanya sesuai dengan transaksi. Pemimpin
menjanjikan imbalan bagi usaha yang dicapai, dan pemimpin tanggap terhadap minat
pribadi bawahan bila ia merasa puas dengan kinerjanya.
Kepemimpinan Transaksional mendasarkan pada asumsi bahwa kepemimpinan
merupakan kontrak sosial antara pemimpin dan para pengikutnya. Pemimpin dan para

pengikutnya merupakan pihak-pihak yang independen yang masing-masing mempunyai


tujuan, kebutuhan dan kepentingan sendiri. Sering tujuan, kebutuhan dan kepentingan
tersebut saling bertentangan sehingga mengarah ke situasi konflik. Misalnya, di
perusahaan sering tujuan pemimpin perusahaan dan tujuan karyawan bertentangan
sehingga terjadi peerselisihan industrial.
Dalam teori kepemimpinan ini hubungan antara pemimpin dan para pengikutnya
merupakan hubungan transaksi yang sering didahului dengan negosiasi tawar menawar.
Jika para pengikut memberikan sesuatu atau melakukan sesuatu untuk pemimpinnya,
pemimpin juga akan memberikan sesuatu kepada para pengikutnya. Jadi seperti ikan
lumba-lumba di Ancol yang akan meloncat jika pelatihnya memberikan ikan. Jika
pelatihnya tidak memberikan ikan, lumba-lumba tidak akan meloncat.
Prinsip dasar teori kepemimpinan transaksional adalah:
(1) Kepemimpinan merupakan pertukaran sosial antara pemimpin dan para pengikutnya.
(2) Pertukaran tersebut meliputi pemimpin dan pengikut serta situasi ketika terjadi
pertukaran.
(3) Kepercayaan dan persepsi keadilan sangat esensial bagi hubungan pemimpin dan
para pengikutnya.
(4) Pengurangan ketidak pastian merupakan benefit penting yang disediakan oleh
pemimpin.
(5) Keuntungan dari pertukaran sosial sangat penting untuk mempertahankan suatu
hubungan sosial.

Hubungan antara Persepsi Gaya Kepemimpinan Transaksional dan


Transformasional dengan Kepuasan Kerja
Salah satu teori yang menekankan suatu perubahan dan yang paling komprehensif
berkaitan dengan kepemimpinan adalah teori kepemimpinan transformasional dan
transaksional

(Bass,

1990).

Gagasan

awal

mengenai

gaya

kepemimpinan

transformasional dan transaksional ini dikembangkan oleh James MacFregor Gurns yang

menerapkannya dalam konteks politik. Gagasan ini selanjutnya disempurnakan serta


diperkenalkan ke dalam konteks organisasional oleh Bernard Bass (Berry dan Houston,
1993).
Burn (dalam Pawar dan Eastman, 1997) mengemukakan bahwa gayakepemimpinan
transformasional dan transaksional dapat dipilah secara tegas dan keduanya merupakan
gaya kepemimpinan yang saling bertentangan. Di bawah ini disebutkan beberapa
karakteristik dari para pemimpin transaksional dan transformative.([15])
Pemimpin Transaksional
Kemungkinan pengharapan

: berupa kontrak pertukaran penghargaan dengan usaha-

usaha yang dicapai, janji pengharapan untuk prestasi kerja yang baik, pengakuan
keberhasila.
Manajemen

dengan

pengecualian

(aktif)

memperlihatkan

dan

meneliti

penyimpangan-penyimpangan dari aturan-aturan dan standar tertentu, mengambil


tindakan korektif.
Manajemen dengan pengecualian (pasif)
ditentukan tidak terpercayai.
laissez Faire (kompetisi bebas)

: hanya mengintervensi kalau standar yang

: melepaskan tanggung jawab dan menghindari

pembuatan keputusan.
Pemimpin Transformatif
Kharisma : memberikan visi kesadaran misi, mengajarkan kebanggaan, memperoleh
respek, dan kepercayaan.
Inspirasi : mengomunikasikan harapan-harapan yang tinggi, menggunakan simbol-simbol
untuk memfokuskan usaha, mengekspresikan usulan-usulan penting dengan cara-cara
sederhana.
Stimulasi intelektual : mempromosikan kecerdasan, rasionalitas, dan penyelesaian
masalah secara berhati-hati.
Pertimbangan individual : memberikan perhatian pribadi, pelatihan-pelatihan, dan
nasihat-nasihat serta memperlakukan tiap karyawan secara individual.
Bass (dalam Howell dan Avolio, 1993) mengemukakan bahwa karakteristik
kepemimpinan transaksional terdiri atas dua aspek, yaitu imbalan kontingen, dan
manajemen eksepsi. Berkaitan dengan pengaruh gaya kepemimpinan transformasional
terhadap perilaku karyawan, Podsakoff dkk. (1996) mengemukakan bahwa gaya

kepemimpinan transformasional merupakan faktor penentu yang mempengaruhi sikap,


persepsi, dan perilaku karyawan di mana terjadi peningkatan kepercayaan kepada
pemimpin, motivasi, kepuasan kerja dan mampu mengurangi sejumlah konflik yang
sering terjadi dalam suatu organisasi.
Berbagai penelitian yang dilakukan berkaitan dengan kepuasan kerja terutama dalam
hubungannya dengan gaya kepemimpinan transformasional dan transaksional. Penelitian
yang dilakukan oleh Koh dkk. (1995) menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan
antara kepemimpinan transformasional dan transaksional dengan kepuasan kerja.
Penelitian yang dilakukan oleh Popper dan Zakkai (1994) menunjukkan bahwa pengaruh
kepemimpinan transformasional terhadap organisasi sangat besar.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kepemimpinan merupakan kemampuan mempengaruhi orang lain,
bawahan atau kelompok, kemampuan mengarahkan tingkah laku bawahan
atau kelompok, memiliki kemampuan atau keahlian khusus dalam bidang
yang diinginkan oleh kelompoknya, untuk mencapai tujuan organisasi atau
kelompok.
Kata pemimpin, kepemimpinan serta kekuasaan memiliki keterikatan
yang tak dapat dipisahkan. Karena untuk menjadi pemimpin bukan hanya
berdasarkan suka satu sama lainnya, tetapi banyak faktor. Pemimpin yang
berhasil hendaknya memiliki beberapa kriteria yang tergantung pada sudut
pandang atau pendekatan yang digunakan, apakah itu kepribadiannya,
keterampilan, bakat, sifat sifatnya, atau kewenangannya yang dimiliki yang
mana

nantinya

sangat

berpengaruh

terhadap

teori

maupun

gaya

kepemimpinan yang akan diterapkan.


Teori ataupun gaya kepemimpinan muncul berdasarkan kebutuhan
akan model baru dalam suatu kepemimpinan. Hal itu bisa di sebabkan oleh
lingkungan internal ataupun eksternal suatu organisasi. Oleh karena itu,
banyak muncul teori dan gaya kepemimpinan baru yang diharapakan sesuai
dengan kebutuhan suatu organisasi.

Anda mungkin juga menyukai