Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Mengubah budaya korporat pada dasarnya mengubah kebiasaan-kebiasaan dalam suatu
institusi dan jika berhasil, menghasilkan komitmen-komitmen baru, empowerment sumber
daya manusia an ikatan yang lebih kuat antara institusi dengan pelanggan (Porter dan Parker,
1992). Setelah nilai-nilai baru terbentuk dan budaya korporat disepakati menjadi strategi
korporat,institusi perlu meningkatkannya agar menjadi tradisi baru yang dapat memberikan
jawaban terhadap perubahan.

1.2 Rumusan Masalah


Dari latar belakang diatas muncul beberapa pertanyaan sebagai berikut
1. Apa itu budaya disiplin ?
2. Apa yang dimaksud intervensi melalui OD ?
3. Bagaimana menghadapi pukulan balik budaya ?
4. Bagaimana membangun keterkaitan berkelanjutan ?

1.3 Tujuan Penulisan


Makalah ini ditulis dengan tujuan sebagai berikut
1. Memahami tentang budaya disiplin
2. Memahami tentang intervensi melalui OD
3. Memahami tentang menghadapi pukulan balik budaya
4. Memahami tentang membangun keterkaitan berkelanjutan
BAB II
PEMBAHASAN

1. Budaya Disiplin
Menurut ahli manajemen, Jim Collins (2001), menemukan pentingnya budaya disipilin
untuk meraih keunggulan dalam bersaing. Bagi Collins, perusahaan-perusahaan yang bagus
dibagi menjadi 2 kategori yaitu good company dan great company. Seperti bagan di bawah
ini, tidak semua perusahaan bagus menjadi perusahan hebat, bahkan bisa jadi perusahaan yang
bagus bisa menjadi perusahaan yang buruk jika ditindak dengan tidak benar. Makanya di bagan
di atas mengatakan “good is the enemy of great”. Dan untuk menjadi perusahaan hebat, tidak
hanya memiliki disiplin melainkan budaya disiplin.

Kebanyakan pemimpin perusahaan akan cepat puas ketika perusahaannya mendapat


penghargaan sebagai good company. Perusahaan yang mendapatkan penghargaan itu beberapa
faktornya karena adanya sistem yang bagus dan SDMnya yang berkualitas sehingga
mendorong perusahaan untuk menjadi pusat perhatian publik dan wartawan. Dan penghargaan
tersebut membuat CEO mereka menjadi sangat terkenal dan menghiasi surat kabar atau layar
kaca televisi . CEO seperti ini disebut Collins sebagai celebrity CEO.
Ketenaran seorang CEO bisa membuat citra perusahaan naik dan sangat disegani oleh
para analisis saham dan wartawan. Tapi masalahnya, ketenaran bisa membuat CEO tersebut
terlalu fokus dengan anggapan dari eksternal dan lupa akan hal-hal yang harus segera ditangani
di bagian internal perusahaan. Ketenaran tersebut bisa membuat CEO menjadi kurang
“ditantang” dan merasa sudah puas sehingga berhenti membangun budaya organisasinya.
Inilah sebabnya mengapa sebagian besar perusahaan-perusahaan terhormat yang pernah masuk
dalam list the most admired company atau Business Week 1000 pada tahun 1990-an banyak
yang sudah tidak ada lagi pada tahun 2000-an. Mereka mengalami merger, terakuisisi atau
mengalami kebangkrutan (likuidasi).
Bagi Collins, bukan disiplin dan bukan pula budaya yang penting, melainkan budaya
disiplin. Disiplin disini bukanlah berarti kepatuhan sikap secara kaku terhadap sebuah
peraturan , melainkan kepatuhan terhadap ketentuan-ketentuan bisnis yang seharusnya dijaga.
Ada 3 pilar utama yang membentuk budaya disiplin, yaitu :
1. Discipline People : Manusia yang diseleksi ditempatkan dengan baik
2. Discipline Action : Strategi yang diimplementasikan dengan benar
3. Discipline Thought : Mengikat kerja bukan hanyadengan disiplin, melainkan budaya
disiplin
Dalam memperkuat budaya di institusi, discipline people merupakan prasyarat yang
sangat mutlak.
Discipline People
Pembentukan budaya dimulai dari manusia, bukan organisasi. Jadi, berbeda dengan
organisasi birokratik yangyang menempatkan “manusia untuk organisasi” maka disini
organisasi didesain untuk manusia. Manusia-manusia itu diseleksi, ditempatkan, dan dibina
untuk memperoleh kebahagiaan-kebahagiaan dan bekerja karena menyenangi pekerjaannya.
1. Rekrut yang Terbaik
Great company menemukan bahwa eksistensi mereka ditentukan dengan berhasil
tidaknya mereka mendapatkan dan mempertahankan SDM terbaik. Jangan terburu-buru
dalam hal perekrutan jika belum ada yang cocok, tetapi terus melakukan pencarian lagi
dan lagi sampai didapat yang terbaik dan tercocok. Orang-orang cerdas ada di mana-
mana, tetapi orang yang terbaik sangat terbatas. Orang-orang terbaik tidak akan banyak
menyulitkan perusahaan karena mereka tahu apa yang harus mereka kerjakan
sebelumpekerjaan itu diserahkan kepadanya. Dan kalau itu diperoleh, anda tak perlu
lagi hierarki.

2. Berikan Pengertian yang Terbaik


Discipline people tidak secara otomatis diperoleh melalui rekrutmen yang bagus.
Mereke harus diberikan standar sejak awal, melalui sebuah proses orientasi yang
diperkenalkan kepadanya. Tidak hanya doperkenalkan dengan atasan dan rekan-
rekannya tetapi juga diperkenalkan hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan di
tempat kerja. Setelah diangkat sebagai karyawan , mereka kembali dipanggil,
diteguhkan bersama-sama dengan rekan-rekan baru seangkatannya, dan mereka
diperkenakan berbagi cerita tentang nilai-nilai yang berlaku dari pengalaman mereka.

3. Jalankan Ritual yang Benar


Karyawan yang diangkat segera mengikuti proses ritual.Dalam ritual penerimaan itu,
intitusi perlu menegaskan hal-hal penting memelihara nilai-nilai positif yang telah
digariskan. Pemimpin harus meberikan sharing pengalaman, bukan sekedar berpidato
dengan membaca teks tertulis. Bila perlu, ciptakan suvenir yang hanya bisa didapat
secara khusus bukan sekedar door prize. Ritual dilakukan tidak hanya saat seseorang
diangkat, tetapi juga dilakukan di even-even lainnya. Ciptakanlah ritual-ritual yang
menyentuh emosi mereka, berikan perhatian secara khusus, dan bukan sekedar
menerapkan basa-basi sereminial belaka.

4. Letakkan pada Kursi yang Tepat


Orang-orang yang tepat akan berkontribusi positif dan akan menghargai budaya
korporat kalau ia ditempatkan pada kursi yang tepat. Sekali lagi, setiap promosi jabatan
dijalankan, nilai-nilai baru perlu ditanamkan kembali. Buatlah dalam suasana yang aktif
dan menyenangkan agar mereka semua mengerti bahwa promosi diberikan bukan
semata-,ata karena kekosongan belaka ata “hadiah” menjelang pensiun bagi kaum tua.

5. Keluarkan yang di Bawah Standar


Kesalahan terbesar organisasi terjadi ketika para eksekutifnya mulai berani mengatakan
di tempatnya tidak akan ada karyawan atau eksekutif yang diberhentikan. Kalau ini
terjai maka budaya organisasi telah berubah menjadi budaya mempertahankan harmoni
sosial. Hal ini berarti anda memberikan ruang bagi orang-orang di bawah standar untuk
bersembunyi di balik budaya korporat dan anda telah mereduksi proses rekrutmen yang
telah dilakukan dengan sangat serius. Organisasi tidak dilarang memberhentikan orang.
Yang dilarang adalah memberhentikan tidak pada tempatnya.

6. Kepemimpinan Level 5
Collins menegaskan pentingnya leadership. Tetapi, leadership yang ia tekankan
bukanlah managerial leadership seperti yang dimiliki kebanyakan manager. Pemimpin
disebut Lincolntype leader, yaitu seseorang yang punya keberanian menghadapi fakta-
fakta brutal dengan kegigihan, pantang menyerah, memiliki panggilan profesional,
serta punya kerendah hatian strategis.
Untuk membuat budaya disiplin ini memberikan hasil maka ia harus diwarnai dengan
spirit of entrepreneurship. Perusahaan-perusahaan baru (start-up organization)
biasanya sangat gigih dan diwarnai oleh jiwa kewirausahaan yang tinggi. Tetapi
biasanya disiplinnya sangat rendah karena segala sesuatunya masih baru dan belum
beraturan. Organisasi hierarki sebaliknya, disiplinnya tinggi tetapi spirit
kewirausahaannya tidak ada. Organisasi tipe ini sangat loyal, tetapi juga sangat boros,
lamban, dan tidak kreatif. Jika didiamkan suatu ketika bisa menjadi parasit dalam
masyarakat yang disebut organisasi birokratik. Disini disiplinnya sudah hilang sama
sekali. Makanya mereka sering disindir sebagai penganut prinsip “kalau bisa
diperlambat kenapa harus dipercepat”. Transformasi untuk menjadikan
perusahaan/organisasi sebuah great company adalah dengan memberikan warna
kewirausahaan yang tinggi, selain budaya disiplin.
Transformasi untuk menjadikan perusahan / organisasi sebuah great company adalah
dengan memberikan warna kewirausahaan yang tinggi, selain budaya disiplin.

2. Intervensi Melalui OD
Salah satu teknik yang banyak digunakan dalam memperkuat budaya korporat adalah
OD atau Organization Development. Pada dasarnya OD merupakan teknik yang dipakai dari
ilmu perilaku (behavioral science) untuk menciptakan learning invironment melalui upaya-
upaya peningkatan kepercayaan (trust), konfrontasi terbuka terhadap masalah-masalah,
pemberdayaan karyawan dan partisipasinya, berbagi pengetahuan dan informasi desain
pekerjaan yang lebih memberikan arti, kerjasama dan kolaborasi antar kelompok serta potensi
manusia. Menurut Dalf OD menjadi alat yang terpenting terletak pada nilai-nilai
perkembangan manusia, keterbukaan, keadilan, bebas dari tekanan- tekanan dan otonomi untuk
mencapai hasil tersebut.
Ada beberapa teknik yang dikembangkan dalam OD, sebagai berikut

1. Intervensi kelompok
Intervensi dilakukan di sela-sela program tahunan untuk “membuka mata” dan
mengajak para eksekutif untuk terlibat dalam perumusan rencana yang menyenngkan.
Untuk itu harus diupayakan adanya even khusus yang membentuk pengalaman
emosional mereka yaitu tentang pentingnya komitmen, kemampuan beradaptasi, dan
setia pada nilai-nilai yang hakiki dalam melayani dan membangun institusi. Harus
diupayakan adanya kebebasan dalam banyak hal baik dalam berpakaian sampai
komunikasi lintas hierarki dan divisi,dan kebebasan berfikir untuk mengasah
kreativitas. Jangan biarkan dominasi oleh atasan-atasan tettentu dan jangan biarkan rasa
takut menyelimuti mereka.

2. Team building
Team building adalah suatu kegiatan experiental yang didesain untuk menyelimuti
cohesivennnes (daya rekat) kelompok. Nilai-nilai dasar yang ditanam dalam team dan
diterima dengan menyenangkan akan membantu proses percepatan pembentukan nilai-
nilai baru.

3. Aktivitas-aktivias antar departemen


Budaya korporat yang hanya ditanam pada sekat-sekat yang ketat tidak akan efektif.
Adara aktivitas-aktivitas antar departemen hidup, nilai-nilai itu harus berinteraksi , dan
orang-orang yang hidup dalam kebiasan masing-masing harus sering dipertemukan.
Dalam pertemuan itu mereka harus saling berdialog tentang masalah dan bagaimana
mengatasinya.

3. Menghadapi Pukulan Balik Budaya

Dalam mengubah budaya korperat ada dua buah kenyataan yang harus dihadapi, yaitu
; Vicious circle (lingkaran setan ) dan virtuous circle (lingkaran baik). Semua pemimpin itu
tentu menginginkan transformasi nilai-nilai yang ditanamkan bisa menimbulkan perubahan
perilaku dan membawa kemajuan bagi kinerja organisasi (virtuous). Tetapi dalam
kenyataannya banyak proses transformasi nilai yang memikul balik ke belakang.

Sebagai contoh penerapan nilai-nilai kehidupan melalui Penataran P4 (Pedoman


Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang dilakukan selama bertahun-tahun di era
Soeharto di Indonesia ternyata hilang begitu saja bahkan nilai-nilai itu tak ampak berbekas
pada saat krisis melanda bangsa ini. Menurut teori ini, semua bisa terjadi kalau kita salah
memupuk nilai-nilai tanpa memperhatikan efek formalitas/informalitas dan sentralisasi /
desentralisasi penerapannya.

Viciuous circle

Viciuous circle (lingkaran setan) adalah arah gerakan/lingkaran perubahan nilai-nilai


yang berakibat memukul balik ketempat semula. Pada setiap transforamasi nilai yang
dijalankan selalau saja ada kemungkinan gerakan maju sekaligus pusaran-pusran gelombang.
Gelombang yang bergerak seperti putaran cyclone (spiral) yang agresif disebut viciuous
circle,sedangkan yang berbentuk keatas seperti spiral atau memanjang atau double
helix disebut virtuous circle. Ada dua hal pendekatan untuk transformasi yaitu

 Formal atau informal

 Sentralisasi (dikendalikan pusat) atau desentralisasi( otonomi)

4. Membangun Keterkaitan Berkelanjutan

Meski dianggap penting ,para pemimpin biasanya tertarik membicarakan budaya


korporat sekali saja dalam fase kepemimpinannnya. Padahal , budaya korporat bukanlah
sekedar urusan sekali tembak saja (“one time shooting”). budaya korporat harus dibangun
terus-menerus dari waktu kewaktu. Ia dibentuk selama proses itu berlangsung ,bukan hanya
pada tahap awal saja. Budaya korporat tumbuh secara dinamis. suatu nilai yang dianggap
penting pada suatu periode bisa saja berubah menjadi kurang penting pada periode berikutnya.
Atau, bisa pula suatu nilai menghadapi perubahan makna. Dulu, misalnya, persaingan bebas
dianggap sebagai nilai yang “jahat” dan “berbahaya”. Bahakan dalam materi penataran P4
berulang-ulang disebutkan bahwa salah satu musuh besar bangsa adalah sikap menerima
persaingan bebas ( free fight). Namun , setelah krisis dan semenjak pemerintahan soeharto
tumabang, seluruh aspek yang dianggap protektif justru dianggap musuh bangsa nomor satu.
Dan kata persaingan menjadi nilai yang dianggap baik dan wajib.
Pergeseran makna terjadi manakala bergaul terlalu intens kedalam sehingga gagal
memaknai sesungguhnya sebuah nilai. Mengapa top eksekutif hanya tertarik sekali saja dalam
kepemimpinannya membicrakan soal budaya korporat? Ada beberapa jawaban:
1. Pertama, mereka berasumsi budaya korporat adalah sesuatu yang bersifat “self-
propelling”. artinya sekali sentuh ia akan berputar dan bekerja sendiri
2. Kedua , setalah urusan budaya selesai eksekutif disibukkan dengan urusan-urusan
kinerja yang tampak dalam laporan keuangan. Artinya waktu eksekutif akan lebih
banyak tersita untuk urusan-urusan nonculturure,seperti daya
saing,probabilitas,likuiditas,efisiensi,pelncuran produk baru dan seterusnya.

Untuk mengatasi hal itu, para ahli manajemen memperkenalkan konsep horizontal
linkage (keterkaitan horizontal) dalam konsep ini korporat dibuat dekat dengan dan berinteraksi
dengan stakeholder-nya.
Model Keterkaitan Horizontal sebagai Pemupuk Budaya Korporat
Ada tiga komponen yang perlu di ketahui dalam konsep ini yaitu:
1. Spealisasi membuat orang-orang akan bekerja sesuai dengan kompetensinya. Orang
yang bekerja dengan komptensinya akan memupuk keahlian yang berbeda dari kealian
orang-orang dibagian lain.
2. Dengan adanya boundary spanning maka setiap departemen memiliki keterkaitan
(linkage) dengan sector-sektor yang relevan diluar organisasimisalnya R&D dengan
para pemasok teknologi,peneliti dikampus,para kolega di asosiasi profesi dan
seterusnya.
3. Keterkaitan horizontal ,melalui keterkaitan horizontal masing-masing departemen
dapat bebas melakukan tukeran ide,pengalaman, dan informasi tanpa dipisahkan oleh
sekat-sekat pemisah (birokrasi fungsional).

Maka organisasi tidak terkontaminasi oleh nilai-nilai “kehidupan yang harmoni”


didalam, dengan mengabaikan perubahan tuntutan diluar organisasi . boeing P & G,unilever
,Nokia,Microsoft,Toyota, mengakui pentingna budaya korporat karean mereka mengerti
bagaimana mengaitkannya dengan dengan organisasi dan kinerja korporat. Misalnya saja di
Boeing ketika mereka mendesain pesawat Boeing 777,konsumen diundang berinterakasi
dengan melihat proses pembuatan pesawat itu sejak awal. Di Toyota diterapkan konsep Oobeya
yang berarti membuka pabrik lebar-lebar. Berbeda dengan pandangan lama yang menutup erat-
erat pintu dapur. Pemain bisnis-bisnis sekarang justru mengedepankan keterbukaan untuk
memancing respon. Konsumen diajak berembuk untuk membuat produk yang lebih baik,lebih
menghemat biaya dan lebih digemari pelangggan.

ANTENA NOKIA
Pada awal telepon seluler beredar,handset yang digunakan masih dilengkapi dengan
antena dan sangat mengganggu konsumen. Teknisi pada kantor pusat nokia melakuan
penelitian terhadap frekuensi gelombang radio.
Setelah berbincang-bincang dengan konsumen,bagaimana kalau antena itu
disembunyikan didalam handset dan tidak perlu keluar. Gagasan itu karena mendengar
keluhan tentang antena patah,melengkung,atau terlepas.
Gagasan itu harus diwujudkan menjadi produk, tetapi memperoleh banyak
hambatan. Dibantu oleh atasannya ,Yrojo Neuvo mereka melakukan presentasi dimana-
mana. Dan setelah gigih berjuang ide itupun dapat diterima. Andaikan horizontal
linkagesudah didesain dalam organisasi Nokia.
Debut perdebatan soal antena itu akhirnya diwujudkan lewat Nokia seri 8800.
Produk ini ternyata menjadi unggulan di Nokia dan memberikan keuntungan terbesar dalam
sejarah Nokia.
BAB III
PENUTUP
Implementasi transformasi nilai-nilai
Transformasi nilai-nilai adalah bentuk perubahan yang sangat sulit, sangat mendasar,
butuh banyak waktu, tetapi merupakan faktor yang sangat menentukan keberhasilan
perubahan. Terdapat beberapa hal yang mempengaruhi keberhasilan suatu tranformasi nilai-
nilai, sebagai berikut
 Leadership yang kuat.
Leadership seperti ini disebut Jim Collins sebagai kepemimpinan tingkat lima, atau
Lincoln-type leaders. Ia bukanlah seorang otoriter, melainkan pemimpin team yang
bekerja habis-habisan untuk organisasi, dan dengan berani mempertaruhkan jabatan
dan kedudukannya untuk menghadapi fakta-fakta brutal.
 Dukungan bawahan
Pemimpin yang kuat tidak ada artinya jika tidak didukung oleh bawahan-bawahanya
yng dengan rela mengorbankan waktu, tenaga, pikiran, dan masa depan untuk
menciptakan perubahan.
 Komunikasi yang jelas
Transformasi nilai-nilai menimbulkan banyak pertanyaan didalam hati, oleh karena itu
seorang pemimpin harus piawai dalam berkomunikasi, baik verbal maupun nonverbal
agar transformasi nilai-nilai dapat mencapai tujuan.
 Komitmen pemimpin
Pemimpin juga harus membangun komitmen yang harus dimulai dari dirinya sendiri.
Untuk memperoleh komitmen yang luas, pemimpin dapat membangunnya melalui tiga
tahapan, sebagai berikut.
Dari bagan diatas terdapat beberapa tahapan menuju komitmen dalam perubahan, yaitu
sebagai berikut

 Tahap persiapan
Pada tahap ini dilakukan dua hal, pertama adalah memperkenalkan (sentuhan pertama),
seperti lewat pidato pemimpin yang menyampaikan visi atau pandangan kedepan.
Kedua, dibangun proses kesadaranmelalui dialog-dialog.

 Tahap penerimaan
Pada tahap kedua ini para pemimpin membantu anak buahnya memahami apa yang
akan terjadi kemudian dan apa saja manfaat bagi organisasi dan mereka semua jika
dilakukan perubahan. Setelah mereka mulai bisa menerima, barulah keputusan untuk
melakukan implementasi dimulai.

 Tahap komitmen
Tahap ini terdiri dari dua langkah, yaitu instalasi dan institutionalisasi. Disini perubahan
dilakukan secara terbatas pada bagian-bagian tertentu sehingga mudah diatasi dan
pemimpin dapat secara langsung melihat dampak yang terjadi dan mengendalikannya.
Setelah instalasi selesai barulah dilakukan institutionalisasi, penerapan perubahan
secara luas, terintegrasi pada seluruh organisasi.

Referensi
Kasali, Renald. 2007. Change ( Tak Peduli Berapa Jauh Jalan Salah yang Anda Jalani, Putar
Arah Sekarang Juga (Manajemen Perubahan dan Manajemen Harapan)). Jakarta : PT
Gramedia Pustaka Utama.

Anda mungkin juga menyukai