Anda di halaman 1dari 6

TEORI SIFAT (TRAIT THEORY)

Analisis ilmiah tentang kepemimpinan dimulai dengan memusatkan perhatianya pada


pemimpinan itu sendiri. Pertanyan penting yang dicoba dijawab oleh pendekatan teoritis, ialah apakah
sifat-sifat yang membuat seseorang itu disebut sebagai pemimpin?

Teori awal tentang sifat ini dapat ditelusuri kembali pada zaman Yunani kuno dan zaman Roma.
Pada waktu itu orang percaya bahwa pemimpin itu dilahirkan, bukanya dibuat. Teori the Great Man
menyatakan bahwa seseorang yang dilahirkan sebagai pemimpin akan menjadi pemimpin tanta
memperhatikan apakah ia mempunya sifat atau tidak mempunyai sifat sebagai pemimpin. Contoh dalam
sejarah ialah Napoleon. Ia dikatakan mempunyai kemampuan alamiah sebagai pemimpin besar pada
setiap situasi.

Teori ‘’great man’’ barangkali dapat memberikan arti lebih realities terhadap pendekatan sifat dari
pemimpin, setelah mendapatkan pengaruh dari liran perilaku pemikiran psikologis. Adalah sesuatu
kenyataan yang dapat diterima bahwa sifat-sifat kepeminpinan itu tidak seluruhnya dilahirka, tetapi
dapat juga dicapai lewat sesuatu pendidikan dan pengalaman. Dengan demikian, perhatian terhadap
kepemimpinan dilahirkan kepada sifat-sifat umum yang dipunyainoleh pemimpin, tidak lagi menekan
apakah pemimpin itu dilahirkan atau dibuat. Oleh karena itu, sejumlah sifat-sifat seperti fisik, mental,
kepribadian menjadi pusat perhatian untuk diteliti di sekitaran tahun-tahun 1930-1950-an. Hasil dari
usaha penelitian yang begitu besar pada umumnya dinilai tidak memuaskan. Dari beberapa hal sifat
kecerdasan kelihatanya selalu tampak pada setiap penelitian dengan sesuatu derajat konsistensi yang
tinggi.

Sesuatu kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian kepemimpinan tersebut diketahui, bahwa:

- Kecerdasan muncul pada 10 penelitian;


- Inisiatif muncul pada 6 penelitian;
- Keterbukan dan perasaan humor muncul pada 5 penelitian;dan
- Entusiansme, kejujuran, simpati, dan kepercayan pada diri sendiri, muncul pada 4
penelitian.

Kitika dikombinasikan dengan penelitian tentang sifat-sifat fisik, kesimpulan ialah bahwa
pemimpin-pemimpin hendaknya harus lebih besar dan cerdas dibandingkan dengan yang dipimpin.

Manakala pendekatan sifat ini di terapkan pada kepemimpinan organisasi, ternyata hasil menjadi
gelap, karena banyak para manajer yang menolak. Mereka beranggapan jika manajer mempunyai sifat-
sifat pemimpin sebagaimana yang disebutkan dalam penelitian itu maka manajer vtersebut dikatakan
sebagai manajer yang berhasil. Padahal keberasilan manajer tidak selalu ditentukan oleh siafat-sifat
tersebut. Tidak ada korelasi sebab-akibat dari sifat-sifat yang diamati dalam penelitian dengan
keberasilan seseorang manajer.
Menyadari hal seperti ini, bahwa tidak ada korelasi sebab akibat antara sifat dan keberasilan
manajer, maka Keith Davis merumuskan empat sifat umum yang tampaknya mempunyai pengaruh
terhadap keberasilan kepemimpinan organisasi.²

1. Kecerdasan : hasil penelitian pada umumnya membuktikan bahwa pemimpin mempunyai


tingkat kecerdasan yang lebih tinggi dibandikan dengan yang dipimpin. Namun demikian, yang
sangat menarik dari penelitian tersebut ialah pemimpinan –pemimpin tidak bisa melampaui
terlalu banyak dari kecerdasan pengikutnya.
2. Kedewasaan dan keluasan hubungan sosial; pemimpinan cenderung menjadi matang dan
mempunyai emosi yang stabil karena mempunyai perhatian yang luas terhadap aktivitas –
aktivitas sosial. Dia yang mempunyai keingginan menghargai dan dihargai.
3. Motivasi diri dan dorongan berprestasi; para pemimpinan secara relative mempunyai dorongan
motivasi yang kuat untuk berprestasi. Mereka bekerja berusaha mendapatkan penghargaan
yang intrinsic dibandingkan dari yang ekstrinsik.
4. Sikap-sikap hubungan kemanusiaan; pemimpin-pemimpin yang berhasil mau mengakui harga
diri dan kehormatan para pengikutnya dan mampu berpihak kepadanya. Dalam istilah penelitian
Universitas Ohio pemimpin mempunyai perhatian, dankalau mengikut isilah
penemuanMichigan, pemimpin berorientasi pada karyawan vukanya berorientasi pada produksi

Apa yang disebutkan diatas merupakan salah satu dari sekian daftar sifat-sifat kepemimpinan
organisasi yang amat penting. Tampaknya, pendekatan sifat terhadap kepemimpinan sama balnya
dengan teori-teori sifat tentang kepribadian, yakin telah memberikan beberapa pandangan yang
deskriptif tetapi sedikit analitis atau sedikit mengandung nilai yang prediktif.

REORI KELOMPOK

Teori kelompok dalam kepemimpinan ini memiliki dasar perkembangan yang berakar pisikologi
sosial. Teori pertukaran yang klasik membantunya sebagai suatu dasar yang penting bagi pendekatan
teori kelompok.

Teori kelompok ini beragam bahwa, supaya kelompok bisa mencapai tujuan-tujuanya, harus
terdapat sesuatu pertukaran yang positif di antara pemimpin dan pengikut-pengikutnya.

Kepemimpinan yang ditekankan pada adany suatu proses pertukaran antara pemimpin dan
pengikutnya ini, melibatkan pula konseo-konsep sosiologi tentang keinginan-keinginan mengembangkan
peranan. Penelitian psikologi sosial dapat di gunakan untuk konsep-konsep peranan dan pertukaran
yang diterapkan dalam kepemimpinan. Sebagai tambahan, hasil asli penemuan Univesitas Ohio, dan
hasil penemuan-penemuan berikutnya beberapa tahun kemudian, terutama dimensi pemberian
perhatian kepada para pengikut, dapat dikatakan memberikan dukungan yang positif terhadap
perspektif teori kelompok ini.
Suatu hasil penelitian ulang yang sempurna menunjukkan bahwa para pemimpin yang
memperhitungkan dan membantu pengikut-pengikutnya mempunyai pengaruh yang positifterhadap
sikap, kepusan, dan pelaksanaan kerja.

Sama pentingnya adalah hasil penemuan lainnya yang lebih belakangan. Penelitian ini menyatakan
bahwa para bawahan jugak dapat memengaruhi para pemimpinya,seperti pemimpin dapat
memengaruhi pengikut-pengikut/Ppara bawahannya. Suatu contoh penemuaan Greene menyatakan
bahwa ketika para bawahannya tidak melaksanakan pada struktur pengambilan inisiatif ( perilaku
tugas).Tetapi ketika pra bawahan dapat melaksanakan pekerjaannya secara baik, maka pemimpin
menaikan penekanannya pada pemberian perhatian (perilaku tata hubungan). Barrow dalam studi
laboratoriumnya menemukan bahwa produktivitsas kelompok mempunyai pengaruh yang lebih besar
terhadap gaya kepemimpinan dibandingkan dengan pengaruh gaya kepemimpinan
terhadapproduktivitas. Dengan kata lain, beberapa penemuan tampak menunjukkan baha para
bawahan dapat memengaruhi pimpinan dengan perilakunya, sebanyak pemimpin beserta perilakunya
memengaruhi para bawahannya. Sudah barang hal ini semuanya baru merupakan anggapan dari
pemahaman social learning dalam kepemimpinan.

TEORI SITUASIONAL DAN MODEL KONTIJENSI

Dimulai pada sekita tahun 1940-an ahli-ahli psikologi sosial memenuhi meneliti beberapa variable
situasional yang mempunyai pengaruh terhadap peranan kerja dan kepusan pada pengikutnya. Berbagai
variable situasional diindefikasikan, tetapi tidak semua ditarik oleh teori situasional ini. Kemudian sekitar
tahun 1967,Fred Fiedler mengusulkan suatu model berdasarkan situasi untuk efektivitas kepemimpinan.
Konsep model ini dituangkan dalam bukunya yang terkenl A Theory of Leadership Effectiveness.

Fiedler mengembangkan suatu teknik yang unik untuk mengukur gaya kepemimpinan. Pengukuran ini
diciptakan dengan memberikan suatu skor yang dapat menunjukkan Dugaan kesamaan di antara
Keberlawanan (Assumed Similarity Between Opposites,ASO) dan Teman kerja yang paling sedikit disukai
(Least Preferred Coworker,LPC. ASO memperhitungksn derajat kesamaan di antara persepsi-persepsi
pemimpin mengenai kesenangan yang paling banyak dan paling sedikit tentang kawan-kawan kerjanya.

Dua pengukuran yang digunakan saling bergantian dan ada hubungan dengan gaya kepemimpinan
tersebut dapat di rangkai sebagai berikut:

1. Hubungan kemanusiaan atau gaya yang lunak (lenient)dihubungkan pemimpin yang tidak
melihat perbedaan yang besar di antara teman kerja yang paling banyak dan paling sedikit
disukai (ASO) atau memberikan suatu gambaran yang relative menyenangkan kepada teman
kerja yang paling sedikit di senangi (LPC).
2. Gaya yang berorientasi tugas atau ‘’hard nosed’’ dihubungkan dengn pemimpin yang melihat
suatu perbedaan besar diantara teman kerja yang paling banyak dan yang paling sedikit di
senangi (AS0) dsn memberikan suatu gambaran yang paling tidak menyenangkan pada teman
kerja yang paling sedikit disukai (Lpc) .
- Lewat usaha yang bertahun-tahun, baik di laboratorium maupun pada berbagai kelompok
nyata (misalnya tim bola basket,anggota perkumpulan para pemuda,tim-tim survey,penjaga
anak-anak, serikat-serikat buruh dan lain sebagainnya), friedler menghubungkannya dengan
gaya kepemimpinan seperti yang di uraikan di atas. Hasilnya agak mendorong, akan tetapi
tidak ada hubungan antara gaya kepemimpinan sebagaimana ditemukan oleh skor ASO dan
LPC-nya pemimpin, dengan pengembangan pelaksanaan kerja kelompok. Oleh karena itu,
fiedler menyimpulkan bahwa harus diberikan perhatian yang besar terhadap variable-
variabel situasional. Maka sadarlah ia bahwa gaya kepemimpinan yang dikombinasikan
dengan situasi akan mampu menentuksn keberhasilan pelaksanaan kerja.

MODEL KEPEMIMPINAN KONTIJENSI DARI FIEDLER

Untuk menguji hipotesis yang telah dirumuskan dari penelitian-penelitianya terdahulu.fiedler


mengembangkan suatu model yang dinamakan model kontijensi kepemimpinan yang efektif (A
CONTINGENCY MODEL OF LEADERSHIP EFFECTIVENESS).

Model ini berisi tentang hubungan antara gaya kepemimpinan dengan situasi yang menyenengkan.
Adapun situasi yang menyenangkan itu di rangkai oleh fiedler dalam hubungan dengan dimensi-dimensi
empiris berikut :

1. Hubungan pemimpin-anggota. Hal ini merupakan variable yang paling penting di dalam
menentukan situasi yang menyenangkan tersebut.
2. Derajat dari struktur tugas. Dimensi ini merupakan masukan yang amat penting kedua, dalam
menentukan situasi yang menyenangkan.
3. Posisi kekuasaan pemimpin yang dicapai leat otolitas forml. Dimensi ini merupakan dimensi
yang amat penting ketiga di dalam situasi yang menyenangkan.

Suatu situasi akan dapat menyenangkan pemimpin jika ketiga dimensi di atas mempunyai derajat
yang tinggi.dengan jika kata lain,suatu situasi akan menyenangkan:

1. Pemimpin di terima oleh para pengikut (derajat dimensi pertama tinggi);


2. Tugas-tugas dan semua yang berhubungan dengannya ditentukan secara jelas (derajat dimensi
kedua tinggi);
3. Penggunaan otoritas dan kekuasaan secara formal diterapkan pada posisi pemimpin (derajat
dimensi ketiga tinggi);

Jika yang timbul sebaliknya, maka menurut fiedler akan tercipta suatu situasi yang bagi pemimpin.
Seperti yang disebutkan di muka, bahwa fiedler benar-benar yakin bahwa kombinasi antara situasi yang
menyenangkan dengan gaya kepemimpinan akan menentukan efektivitas kerja.

Lewat hasil-hasil penemuannya, fiedler menyatakan seperti yang dilukiskan pada gambar 4.1,
bahwa dalam situasi yang sangat menyenangkan dan sangat tidak menyenangkan,gaya kepemimpinan
yang berorientasi pada tugas yang hard nosed adalah sangat efektif. Dan ketika situasinya ditengah-
tengah atau moderat antara menyenangkan dan tidak menyenangkan, maka gaya kepemimpinan yang
menekankan pada hubungan kemanusiaan atau yang lunak(lenient) sangat efektif.

Timbul suatu pertanyaan,mangapa tipe kepemimpinan yang berorientasi pda tugas bisa berhasil
dalam situasi yang sangat menyenangkan? Fiedler memberikan jawaban sebagai berikut :

In the favorable condition in which the has power, informal backing, and a relatively, and the group
expects to be told what to do. Consider thw captain of an airliner in its final landing approach. We would
hardy want him to turn to his crew for a discussion on how to land

(di dalam kondisi-kondisi yang sangat menyenangkan dimana pemimpin mempunyai


kekuasaan,dukungan informal,dan tugas yang relative tersusun secara baik, maka kelompok siap untuk
diarahkan dan di mintak diperhatikan berbuat apa saja.ambillah contoh kapten sebuah penerbang di
saat-saat terakhir mau mendarat. Kita sulit memintak kepadannya untuk berdiskusi terlebih dahulu
dengan anak buahnya memperdebatkan bagaimanan cara mendarat).

Contoh kapten pesawat terbang menunjukan saat-saat terakhir mau mendarat, dia mempunyai
kekuasaan penuh,tugas-tugas terbagi secara rapi di antara cre, dan dia mendapat dukungan moral dari
semua pihak termaksud penumpang karena keahliannya sebagai pilot.di saat seperti ini pilot bertipe
pemimpin yang beroriontasi pada tugas, tidak perlu lagi memusyawarahkan,berembuk,dan berdikusi
dengan crewnya melainkan dia hanya memerintah dan semua akan berhasil.

Demikian pula sebagai contoh mengapa pemimpin yang berorientasi pada tugas akan berhasil dalam
kondisi sangat tidak menyenangkan, fiedler menyatakan sebagai berikut:

The dislike chairman of a volunteer commite which is asked to plan the office picnic on a beautiful
Sunday. If the leader zsks too many question about what the grop ought to dor or how he should
proceed, he is likely to be told that ougt to go home.

(seseorang ketu panitia kerja sukarela yang tidak disenangi yang di mintak untuk merencanakan piknik
di hari mingu yang cerah. Jika ketua terlalu banyak bertanya tentang apa yang seharusnya dilakukan
oleh kelompok , atau bagaimana dia harus mengerjakannya, itu sama halnya dia harus dinasehati
sebaiknya kita pulang kerumah masing-masing).

Seorang pemimpin yang membuat keputusan salah dalam keadaan yang sangat baik
menguntungkan itu lebih baik dari pada pemimpin yang tidak membuat keputusan apa pun.

Gambar 4.1 menunjukan bahwa pemimpin yang menekankan pada hubungan kemanusiaan adalah
bisa efektif dalam keadaan di antara sangat menyenangkan dan sangat tidak menyenangkan suatu
contoh dalam suatu penitia atau unit kerja yang mempunyai anggota yang semuannya profesional.
Dalam keadaan seperti ini ketua barangkali sama sekali tidak diterima oleh semua anggota panitia,
tugas pada umumnya masih kabur dan tidak tersusn secara sempurna, kekuasaan dan kewenangan
hanya sedikit yang bisa diberikan pada ketua. Jika terjadi keadaan seperti ini, maka gaya kepemimpinan
yang lunak atau yang menekankan pada hubungan kemanusiaan kirannya bisa digunakan secara efektif.

TEORI JALAN KECIL-TUJUAN(PATH-GOAL-THEORY)

Seperti telah diketahui secara luas pengembangan teori kepemimpinan selain berdasarkan pendekatan
kotinjensi,dan pula di dekati dari teori path-goal yang menggunakan kerangka teori motivasi. Hal ini
merupakan pengembangan yang sehat karena kepemimpinan di satu pihak sangat berhubungan erat
dengan motivasi kerja, dan di pihak lain berhubungan dengan kekuasaan, setiap teori yang berusaha
memadukan bermacam-macam konsep kelihatannya merupakan suatu langkah yang mempunyai arah
yang benar.

Usaha pengembangan teori path-goal ini sebenarnya telah dimulai oleh georgepoulos dan kawan-
kawannya di institut penelitian sosial univesita Michigan.istilah path-goal tersebut telah digunakan
hamper 25 tahun untuk menganalisis pengaruh kepemimpinan dalam pelaksanaan kerja.

Dalam pengembangannya yang modern,martin evans dan

Anda mungkin juga menyukai