Anda di halaman 1dari 4

TUGAS DARING

GEOGRAFI PEMUKIMAN
Tugas ini disusun untuk mememnuhi persyaratan kelulusan mata kuliah Geografi Pemukiman
yang diampu oleh : Dr. Moh. Gamal Rindarjono, M.Si.

Disusun Oleh :
Kelompok 20

Hidayat Amrullah Fatah (K5418035)


Mistika Ayu Pradani (K5418045)
Nur Ilmi Alifah (K5418055)

PENDIDIKAN GEOGRAFI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2020
1. Bahasan
Pada masyarakat barat khususnya,banyak perumahan dan pemukiman liar yang berdiri,
tetapi kelompok elit memiliki pilihan yang cukup banyak dalam hal perumahan. Mereka
biasanya memilih lokasi yang dekat degan institusi yang ada di pusat kota dan lebih
memfokuskan pada desain tempat tinggal untuk menghindari lingkungan yang padat. Akan
tetapi sekarang ini mereka sudah banyak yang meninggalkan hal tersebut dan beralih ke
lokasi yang berada di pinggir kota. Tren tersebut bervariasi di lintas budaya maupun ukuran
kota (akan tetapi lebih tinggi di daerah perkotaan yang besar). Variasi budaya yang signifikan
dalam hal bentuk juga terwujud dalam perumahan prestise yang sedang gencar di bangun
terlihat dari banyaknya konstruksi baru di kota – kota yang bertingkat tinggi (apartemen).

Johnston pada tahun 1972 mengisolasi dua grup kelas menengah yang ada di America Latin
yang di beri label “peniru kelas atas” dan “kepuasan pinggiran kota”. Pada grup atau kelas
pertama mereka bergerak ke atas dan berusaha menempati perumahan yang berdekatan
dengan kelas elit dengan system penyaringan. Sedangkan “kepuasan pinggiran kota”,
mereka kurang sadar akan status dan juga prioritas mereka dalam perumahan mereka
terkait jaminan kepemilikan yang biasanya mereka temukan di pinggiran kota.

Para migran yang ada dengan kemampuan yang tidak sesuai dengan yang dibutuhkan
sehingga akan hidup dalam kemiskinan. Kedua adalah penghuni kumuh yang sebagian
besar terdapat di Asia Selatan yang menempati daerah padat di kota-kota tua. Masalah
mereka adalah kepadatan dari bangunan yang ditempati sehingga membuat fasilitas yang
kurang baik. Bangunan atau tempat tinggal hanya bilik tanpa jendela yang ditempati 6-10
orang. Ketiga, adalah penghuni liar. Penghuni liar secara ilegal adalah semacam pemilikan
tempat tinggal secara nyata namun tidak secara hukum.

Turner (1967) memusatkan perhatian pada penghuni liar yang terdapat di kota, didapatkan
bahwa mereka harus dilakukan peningkatan kualitas. Pemerintah kota membuat konflik
dengan penghuni liar. Adanya kota besar telah meningkatkan populasi sehingga tempat
untuk tempat tinggal penduduk tidak mampu memampung populasi yang ada dan
permukiman kumuh menjadi satu-satunya pilihan tempat tinggal. Araud dkk memperkirakan
kekurangan hunian dengan tingkat tempat tinggal yang tidak sesuai dan Dwyer (1974)
menunjukkan bahwa hunian liar dibangun. Keadaan ini terjadi pada tingkat perekonomian
yang tinggi.

Robert (1978) mengemukakan bahwa 10-20% populasi yang ada di kota besar adalah
penghuni liar, sedangkan untuk Asia Selatan terdapat 20-30%. Kualitas hunian biasanya
belum sempurna. Permukiman kumuh awalnya menggunakan bahan konstruksi yang
tersedia dengan mudah, seperti kardus, seng, jerami. Dengan seiring adanya pekerjaan yang
memadai memungkinkan terjadi perubahan tempat tinggal, seperti penambahan ruang,
penggantian bahan. Namun, tetap terjadi masalah yang berupa layanan publik tidak
mamadai, seperti sistem sanitasi, persediaan air, layanan pendidikan, layanan medis.
Dengan adanya masalah tersebut menyebabkan penghuni liar membuat tempat tinggal
disekitar perumahan kualitas tinggi untuk memanfaatkan jalur air dan listrik. Laquian (1971)
mengemukaan bahwa daerah kumuh sebagian besar dihuni oleh para migran dari pedesaan.
Para migran dari pedesaan akan memempati tempat tinggal keluarga yang merupakan
penghuni liar sehingga tempat tinggal menjadi semakin sempit. Permukiman kumuh
memiliki daya tarik karena biaya, kerjasama yang terjadi terorganisir, perlindungan.
Penyelesaian kualitas permukiman dapat meningkat namun memiliki kualitas yang berbeda
dengan yang lain. Dwyer (1974) menggambarkan banyak dearah liar yang tidak mengalami
peningkatan. Turner (1967) mengemukakan pendapat untuk perbaikan terhadap
permukiman liar, namun pemerintah memiliki sikap yang beragam. Dwyer (1974)
menggemukakan bahwa sebagian kebijakan resmi besifat untuk mengurangi permukiman
kumuh yaitu penghancuran dengan tidak adanya perbaikan kualitas tempat tingga untuk
penghuni. Turner bersikap kritis dengan melakukan proyek pengembangan resmi. Hal ini
menawarkan lebih banyak ruang dan dimungkinkan adanya investasi, kemudian layanan
tidak menjadi masalah dan kepemilikan lebih baik.

Turner berpendapat tentang skema untuk peningkatan kualitas tempat tinggal, seperti
pemberian hak tempat permukiman liar, membangun infrastruktur. Namun terdapat orang
yang tidak setuju karena memandang permukiman liar hanya merusak kota besar. Robert
(1978) memiliki pendapat yaitu permukiman liar menunjukkan orang dengan sumberdaya
sedikit dapat mencapai hubungan antara orang yang ada. Permukiman liar dapat digunakan
untuk melindungi populasi pendapatan rendah dengan penggunaan biaya yang rendah.

2. Resume
Seperti di sebagian besar masyarakat barat, kalangan atas menggunakan pilihan yang cukup
banyak pada istilah dalam perumahan. Lokasi lama pada umumnya berdekatan dengan
institusi bergengsi di pusat kota dengan titik berat merupakan kediaman yang desain
menghindari lingkungan yang padat. Ada juga kalangan yang lebih memilih meninggalkan
pusat kota dan memilih kediaman di pinggir kota. Tren ini terjadi dikarenakan adanya lintas
budaya yaitu banyaknya konstruksi bangunan apartement.

Dibawah elit sistem stratifikasi sosial Johson (1972) mengemukakan dua kelas menengah di
Amerika Latin, yang pertama “upper-class mimickers” yang mana merupakan kelas
menengah yang mencoba untuk tinggal dan menempati perumahan yang berdekatan
dengan kelas atas.Dan “satisfied suburbanites”, yang mana prioritas dalam mencari
kediaman atau perumahan adalah keamanan kepemilikan yang dapat ditemukan di
pinggiran kota.

Para migran yang tidak memiliki keterampilan akan menjadikan para migran tersebut
menjadi miskin. Kedua adalah penghuni kumuh yang menempati daerah padat di kota besar.
Masalah untuk penghuni kumuh yaitu kepadatan tempat tinggal sehingga terjadi fasilitas
yang kurang memadai. Seperti tempat tinggal yang hanya bilik tanpa jendela yang diisi 6-10
orang. Ketiga adalah penghuni liar, penghuni liar ilegal hanya memiliki hak kepemilikan
secara nyata namun tidak dengan hukum. Penghuni liar yang terdapat di kota besar harus
melakukan peningkatan kualitas.

Kota besar dengan ekonomi tinggi membuat populasi meningkat sehingga membuat
kurangnya tempat tinggal yang memadai untuk semua populasi. Maka permukiman kumuh
menjadi satu-satunya pilihan. Menurut Robert (1978), 10-20% populasi di kota besar dihuni
oleh penghuni liar. Perkumukiman kumuh awalnya menggunakan bahan konstruksi yang ada
di lingkungan sekitar, seperti kardus, seng, jerami. Seiring berjalannya waktu dengan adanya
pendapatan yang lebih baik maka kan dilakukan perubahan tempat tinggal seperti
penambangan ruang, perubahan bahan konstruksi. Namun, terjadi masalah yang berupa
pelayanan publik seperti persediaan air dan listrik, sanitasi, layanan kesehatan. Oleh karena
itu, penghuni liar akan membuat tempat tinggal disekitar perumahan berkualitas tinggi
untuk memanfaatkan jalur air dan listrik. Penghuni daerah kumuh biasanya para migran dari
desa. Para penghuni liar akan menolong para migran desa dengan memberi tempat untuk
tinggal dan menyebabkan ruang menjadi sempit.

Kualitas permukiman kumuh dapat ditingkatkan dengan proyek pengembangan sehingga


akan terdapat lebih banyak ruang, kepemilikan tempat tinggal lebih baih, layanan publik
lebih baik, dan investasi. Hal ini dilakukan dengan pemberian hak kepemilikan tempat
tinggal, pembangunan infrastruktur. Namun, peningkatan kualitas permukiman kumuh tidak
semua orang setuju karena memandang permukiman kumuh merusak dari kota besar.
Permukiman kumuh dapat dikatakan daerah dengan penduduk yang memiliki pendapatan
rendah dan sumberdaya rendah.

Anda mungkin juga menyukai