Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH HADITS MUAMALAH

“‘ARIYAH, MUTSAQAH DAN MUZARO’AH”


Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Hadits Muamalah
Dosen Pengampu:

Disusun Oleh:
Nurul Izzati 20120209
Rizka Dwi Murti 20120185

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN
INSTITUT DAARUL QUR’AN JAKARTA
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat-Nya lah kami bisa Menyusun
makalah ini tanpa ada hambatan dan kendala, shalawat serta salam kita curahkan kepada
baginda Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman kegelapan menuju
zaman yang terang benderang.
Terima kasih kepada guru-guru kami yang telah memperkenankan kami mengerjakan
makalah ini dengan tujuan agar kami bisa mengambil pelajaran, pada kesempatan kali ini
kami Menyusun makalah yang berjudul “ARIYAH, MUTSAQAH DAN MUZARO’AH”
Dari kami penulis mohon maaf jika terdapat kesalahan dalam penyampaian dan penulisan
serta jika banyak kekurangan. Maka dari itu kritik dan saran dari para pembaca Sangatlah
bermanfaat untuk kami ke depannya dalam membuat makalah yang lebih baik lagi.

Cikarang, 18 Maret 2023


DAFTAR ISI

BAB I ......................................................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN ..................................................................................................................................... 4
BAB II ........................................................................................................................................................ 5
PEMBAHASAN ........................................................................................................................................ 5
A. ‘ARIYAH ........................................................................................................................................ 5
1. Pengertian ‘Ariyah .......................................................................................................................... 5
2. Dasar Hukum ‘Ariyah ..................................................................................................................... 6
3. Rukun Dan Syarat ‘Ariyah .............................................................................................................. 7
4. Hukum ‘Ariyah ............................................................................................................................... 8
B. MUSAQAH .................................................................................................................................. 10
1. Pengertian Musaqah ...................................................................................................................... 10
2. Dasar Hukum Musaqah ................................................................................................................. 11
3. Rukun dan Syarat Musaqah........................................................................................................... 12
4. Hukum Musaqah ........................................................................................................................... 13
C. MUZARA’AH .............................................................................................................................. 14
1. Pengertian Muzara’ah ................................................................................................................... 14
2. Dasar Hukum Muzara’ah .............................................................................................................. 15
3. Rukun dan Syarat Muzara’ah ........................................................................................................ 16
4. Hikmah Muzara’ah ....................................................................................................................... 17
BAB III .................................................................................................................................................... 18
PENUTUP ............................................................................................................................................... 18
KESIMPULAN ................................................................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................................... 19
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Muamalah adalah salah satu aspek dari ajaran yang telah melahirkan peradaban islam
yang maju di masa lalu. Ia merupakan satu bagian dari syariat islam, yaitu yang mengatur
kehidupan manusia dalam hubungan dengan manusia, masyarakat dan alam berkenaan
dengan kebendaan dan kewajiban.
Di antara permasalahan yang paling berkembang dalam kehidupan bermasyarakat hari
ini adalah masalah muamalah, khususnya muamalah Maliyah atau interaksi sesama
manusia yang berkaitan dengan harta dan kepemilikan dengan segala bentuk kerja
samanya.
Dalam persoalan muamalah, syariat islam lebih banyak memberikan penjelasan terkait
prinsip dan kaidah secara umum dibandingkan jenisa dan bentuk muamalah secara
terperinci. Memang telah kita ketahui, manusia adalah makhluk social yang tidak lepas dari
muamalah, namun tidak semua masyarakat mengetahui secara kaffah akan peraturan
dalam bermuamalah serta jenis dan ketentuan dalam muamalah.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis menyajikkan sebuah makalah yang
berjudul ‘Ariyah, Mutsaqoh dan Muzaro’ah.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah definisi ‘Ariyah, dasar hukum, rukun serta syarat sah nya?
2. Apakah definisi Mustaqah, dasar hukum, rukun serta syarat sah nya?
3. Apakah definisi Muzaro’ah, dasar hukum, rukun serta syarat sah nya?

C. TUJUAN PENELITIAN
Dengan melihat pokok pembahasan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui segala hal mengenai ‘Ariyah, Mutsaqah dan Muzaro’ah

D. MANFAAT PENELITIAN
Manfaat yang dapat diambil dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
Hasil pembahasan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan khazanah
pengetahuan tentang ‘Ariyah, Mutsaqah dan Muzro’ah
2. Manfaat praktis
Hasil pembahasan ini diharapkan dapat menjadi acuan untuk para pihak kerja
sama dalam menjalankan muamalah
BAB II

PEMBAHASAN

A. ‘ARIYAH
1. Pengertian ‘Ariyah

ِ ‫ُُ)اَل َع‬diambil dari kata (ُ‫ار‬


Al-Ariyah berasal dari bahasa Arab (ُ‫ار َية‬ َ ‫ع‬َ ) yang berarti datang atau
pergi. Menurut sebagian pendapat ariyah berasal dari kata ( ُ‫ )التُ َُعاوُر‬yang artinya sama dengan (ُُ‫َاول‬
ٌ ‫ألتن‬
ُ‫ )االتنَاوب‬artinya saling tukar menukar, yaitu dalam tradisi pinjam-meminjam.1
Sedangkan menurut istilah dapat dikatakan suatu kegiatan muamalah yang memberikan
manfaat sesuatu yang halal kepada orang lain untuk diambil manfaatnya, dengan tidak merusak
zatnya agar zatnya tetap dapat dikembalikan kepada pemiliknya,ُُ ُsedangkan dalam definisi para
Ulama' sebagai berikut :
1) Menurut ulama Hanafiyah
‫ت َم ِليِكُال َمنَاف ِِعُ َم َجانًُا‬
“kepemilikan manfaat secara gratis”
2) Menurut ulama Malikiyah
ُ ٍ ‫ت َملِيكُ َمنفَ َعةٍُم َؤقتَةٍُ ِبالَع َِو‬
‫ض‬
“kepemilikan manfaat yang terikat oleh waktu tanpa adanya pengganti”.
3) Menurut ulama Syafi‟i
َ ُ ِ‫ُُّاالنتِفَاعُُبِهُِ َم َعُبَقَاء‬
‫عي ِن ُِه‬ ِ ‫اِبَا َحةُا ِالنتِف‬
ِ ‫َاعُبِ َماُيَحِ ل‬
“kebolehan memanfaatkan barang dan zatnya barang tersebut utuh”.
4) Menurut ulama Hanabilah
ُ‫انُال َما ِل‬ ِ ‫اِبَا َحةُا ِالنتِف‬
ِ َ‫َاعُ ِب َعيدٍُ ِمنُاعي‬
“kebolehan manfaat sesuatu yang bernilai harta.”
Dengan dikemukakannya beberapa definisi tentang ‘Ariyah di atas, maka dapat dipahami
bahwa ‘Ariyah adalah Peminjaman yang mana membolehkan kepada orang lain mengambil
manfaat sesuatu yang halal secara cuma-cuma atau dengan tujuan menolong dengan tidak merusak
zat barang tersebut, dan dikembalikan setelah dipergunakan manfaatnya dalam keadaan tetap tidak
rusak zatnya. Maka ketika ada suatu pemberian pinjaman tersebut dituntut adanya imbalan di

1
Jamaluddin, “Konsekuensi Akad Al-Ariyah Dalam Fiqh Muamalah Maliyah Perspektif Ulama Madzahib Al-
Arba'ah”, Jurnal Qawanin, Vol 02, No 2, Juli 2018.
dalamnya, maka hal tersebut bukanlah ‘Ariyah karena salah satu ciri dari akad-akad tabarru’
adalah tidak adanya imbalan dan berlandaskan pada tolong menolong.2

2. Dasar Hukum ‘Ariyah


1) Al-Qur’an
ُِ ‫شدِيدُال ِعقَا‬
‫ب‬ َ ُ‫ُّٰللا‬
َ ‫واُّٰللاُۗاِن ه‬
َ ‫انُ َۖواتق ه‬
ِ ‫ُوالعد َو‬ ِ َ‫عل‬
َ ‫ىُاالث ِم‬ َ ‫ُو َالُت َ َع‬
َ ُ‫اونوا‬ َ ‫علَىُال ِب ِر‬
َ ‫ُوالتق ٰو ۖى‬ َ ‫َوت َ َع‬
َ ُ‫اونوا‬
Artinya: Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah,
sungguh, Allah sangat berat siksaan-Nya. (Q.S. Al-Maidah (5) : 2)
Dalam ayat ini, Allah memerintahkan umat Islam untuk saling tolong-menolong dalam
mengerjakan kebaikan dan melarang untuk tolong-menolong dalam keburukan. Salah satu
perbuatan baik itu adalah ‘ariyah, yakni meminjamkan barang kepada orang lain yang
dibutuhkan olehnya. Demikian juga Al-Qur'an surat an-Nisa' ayat 58 Allah SWT berfirman
sbb:
ٰٓ
ُ‫سمِ يعً ۢا‬
َ ُ َ‫ُّٰللاُ َكان‬ َ ‫اسُاَنُت َحكمواُبُِالعَد ِلُُۗاِن ه‬
َ ‫ُّٰللاُنِعِماُيَعِظكمُبِ ٖهُُۗاِن ه‬ َ ‫ُّٰللاُيَأمركمُاَنُت َؤدُّواُاالَمٰ ٰنتُِا ِٰلىُاَه ِل َه ۙا‬
ِ ‫ُواِذَاُ َحكَمتمُبَينَ ُالن‬ َ ‫اِن ه‬
‫صي ًرا‬
ِ َ‫ب‬

Artinya: Sungguhnya, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak


menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu
menetapkannya dengan adil. Sungguhnya, Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya
kepadamu. Sungguhnya, Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Q.S. An-Nisa (4): 58).

Apabila seseorang tidak mengembalikan barang peminjamannya atau menunda waktu


pengembaliannya, maka itu berarti berbuat khianat (tidak amanah), dan berbuat maksiat
kepada pihak yang menolongnya. Perbuatan semacam ini jelas bukan merupakan suatu
tindakan terpuji, sebab selain tidak berterima kasih kepada orang yang menolongnya, pihak
peminjam itu sudah mendhalimi pihak yang sudah membantunya. Ini berarti bahwa peminjam
telah melanggar amanah dan melakukan suatu yang dilarang agama.3

2) Hadist

2
Eko Firmanto, “Tinjauan Hukum Islam Tentang Akad ‘Ariyah Bersyarat”, Skripsi, Universitas Islam Negeri Raden
Intan Lampung, 2020
3
Saprida, Khoiriyah, “Sosialisasi ‘Ariyah dalam Islam di Kecamatan Air Kumbang Kabupaten Banyuasin”, Jurnal
STEBIS IGM, Vol 1, No 1 2020.
َ َ‫ُّٰللاُصلىُهللاُعليهُوسلمُ( ُأَدُِاَْل َ َمانَةَُ ِإلَىُ َمنُاِئت َ َمنَك‬
ُُ)ُ َ‫ُو َالُ ت َخنُ َمنُ خَانَك‬, َ ‫ُ قَال‬:َ‫عنُأ َ ِبيُه َري َرة َُرضيُهللاُعنهُ قَال‬
ِ َ ‫َُرسول‬ َ ‫َو‬
ُ‫ي‬ ِ ‫ُواست َنك ََرهُأَبوُ َحات ٍِمُاَلر‬,
ُّ ‫از‬ َ ‫صح َحهُاَل َحاكِم‬
َ ‫ُو‬,
َ ‫ُو َحسُنَه‬
َ ‫ي‬ َ َ‫َر َواهُأَبوُدَاود‬
ُّ ‫ُواَلتِرمِ ِذ‬,

Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
bersabda: "Tunaikanlah amanat kepada orang yang memberimu amanat dan janganlah
berkhianat kepada orang yang menghianatimu." Riwayat Tirmidzi dan Abu Dawud. Hadits
hasan menurut Abu Dawud, shahih menurut Hakim, dan munkar menurut Abu Hatim Ar-Razi.
Hadits itu diriwayatkan juga oleh segolongan huffadz. Ia mencakup masalah pinjaman.

ٌُ‫اريَة‬
ِ ‫ع‬ َُ ‫ُأَغَصبٌ ُيَاُم َحمد?ُقَا‬:َ‫ُفَقَال‬.‫ارُمِنهُدروعاًُيَو َمُحنَي ٍن‬
َ ُ‫ُبَل‬:‫ل‬ َ َ‫صف َوانَ ُب ِنُأ َميةَ;ُ(ُأَنُاَلنبِيُصلىُهللاُعليهُوسلمُاِستَع‬
َ ُ‫عن‬
َ ‫َو‬
ُ‫صح َحهُاَل َحاكِم‬
َ ‫ُو‬,
َ ‫ي‬ ُّ ِ‫سائ‬ َ َ‫ُ)ُُر َواهُُأ َبوُدَاود‬
َ ‫ُوالن‬, َ ٌ‫َمضمونَة‬

Dari Shofwan Ibnu Umayyah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
meminjam darinya beberapa baju besi sewaktu perang Hunain. Ia bertanya: Apakah ia
rampasan, wahai Muhammad. beliau menjawab: "Tidak, ia pinjaman yang ditanggung."
Riwayat Abu Dawud, Ahmad, dan Nasa'i. Hadits shahih menurut Hakim. (HR. Imam Abu
Daud, alNas'i, Ahad).4

3. Rukun Dan Syarat ‘Ariyah


Adapun rukun ‘ariyah menurut Jumhur ulama ada empat yaitu:

1) Orang yang meminjamkan (Mu’ir)

2) Orang yang meminjam (Musta’ir)

3) Barang yang dipinjam (Mu’ar)

4) Lafal/sighat pinjaman (sighat ariyah).5

Menurut mayoritas ulama Hanafiyah rukun ‘ariyah hanya membutuhkan ungkapan ijab
dari peminjam saja, sedangkan Kabul dari orang yang meminjamkan tidak termasuk rukun karena
cukup dengan mennyerahkan barang kepada peminjam barang hal tersebut berdasarkan dari
istihsan (perbuatan yang dianggap baik oleh syara’ dan adat kebiasaan).

Menurut ulama mazhab Syaf’iyah, di dalam ‘ariyah mensyaratkan adanya lafazh shighat
akad, yakni ucapan serah terima atau sering disebut ijab kabul dari peminjam dan yang

4
Ibnu Hajar Al-Asqalani, “Bulughul Maram”, Daarul Hadits Kairo 2002 hal. 152
5
Novi Indriyani Sitepu, “Al-Ariyah, Al-Qardh Dan Al-Hibah”, Jurnal, Studia Economica: Vol 2. No. 2, 2015
meminjamkan barang pada waktu transaksi sebab memanfaatkan milik barang tergantung pada
adanya izin dari satu pihak.6

Adapun syarat-syarat ‘ariyah sebagai berikut:

1) Orang yang meminjam itu adalah orang yang berakal dan cakap bertindak hukum. Oleh sebab
itu, anak kecil, orang gila dan orang bodoh tidak boleh melakukan akad/transaksi ‘ariyah.

2) Barang yang dipinjam bukan jenis barang yang apabila dimanfaatkan akan habis atau musnah,
seperti rumah, pakaian dan kendaraan.

3) Barang yang dipinjamkan harus secara langsung dapat dikuasai oleh peminjam.

4) Manfaat barang yang dipinjam termasuk manfaat yang mubah atau dibolehkan oleh syara’. 7

4. Hukum ‘Ariyah
Ulama fiqh sepakat bahwa akad ‘ariyah bersifat tolong menolong. Tetapi mereka berbeda
pendapat tentang sifat amanah „ariyah ditangan peminjam.

Adapun hukum pinjam meminjam dapat diringkas sebagai berikut:

1) Dasar hukum ariyah, menurut Sayyid Sabiq adalah sunnah. Ulama fiqh sepakat bahwa akad
‘Ariyah bersifat tolong menolong.

2) Sesuatu yang dipinjam, harus sesuatu yang mubah atau dibolehkan. Karna kerja sama dalam
dosa adalah suatu yang diharamkan.

3) Mengenai sifat peminjam, Setiap orang yang meminjam sesuatu kepada orang lain berarti
peminjam memiliki utang kepada yang berutang (mu‟ir). Setiap utang wajib dibayar, sehingga
berdosalah orang yang tidak mau membayar utang, bahkan melalaikan pembayaran utang juga
termasuk aniaya. Perbuatan aniaya merupakan salah satu perbuatan dosa. Rasulullah
bersabda:”Orang kaya yang melalaikan utang adalah aniaya. (HR. Bukhari Musim).

4) Melebihkan bayaran dari sejumlah pinjaman diperbolehkan, asalkan kelebihan itu merupakan
kemauan dari yang berutang semata. Hal ini menjadi kebaikan bagi pembayar utang. Rasululah
bersabda: “Sesungguhnya di antara orang yang terbaik dari kamu adalah orang yang sebaik-

6
Eko Firmanto, “Tinjauan Hukum Islam Tentang Akad ‘Ariyah Bersyarat”, Skripsi, Universitas Islam Negeri Raden
Intan Lampung, 2020
7
Trenggi Nashwati, “Tinjauan Fiqh Muamalah Terhadap Akad ‘Ariyah dalam Pembagaian Software”, Jurnal Ilmiah
Ekonomi Islam,8(02), 2022.
baiknya dalam membayar utang”. (HR. Bukhari Muslim). Rasulullah pernah berutang hewan,
kemudian beliau membayar hewan itu dengan yang lebih besar dan tua umurnya dari hewan
yang beliau pinjam. Kemudian Rasul bersabda: “Orang yang paling baik di antara kamu ialah
orang yang dapat membayar utangnya dengan yang lebih baik”. (HR. Ahmad). Jika
penambahan dikehendaki oleh orang yang berutang dan telah menjadi perjanjian dalam akad
berutang, maka tambahan itu tidak halal bagi yang berpiutang. Rasul bersabda: “Tiap-tiap
piutang yang mengambil manfaat, maka itu adalah salah satu cara dari sekian cara riba”

5) Jika pihak yang meminjamkan mensyaratkan bahwa peminjam berkewajiban mengganti


barang yang dipinjam jika ia merusaknya dan peminjam wajib menggantinya Rasulullah
bersabda: “Kaum muslimin itu berdasarkan syarat-syarat mereka”. (HR. Abu Dawud dan Al-
Hakim). Jika tidak mensyaratkan, barang pinjaman rusak bukan karena keteledoran peminjam
dan tidak karena disengaja peminjam tidak wajib menggantinya. Rasulullah bersabda kepada
salah seorang istrinya yang telah memecahkan salah satu tempat makanan “Makanan dengan
makanan dan tempat dengan tempat”. (HR. AlBukhari).

6) Peminjam harus menanggung biaya pengankutan barang pinjaman ketika ia


mengembalikannya, jika barang pinjaman tidak bisa diangkut kecuali oleh kuli pengangkut.
Rasulullah bersabda: “Tangan Berkewajiban atas apa yang diambilnya hingga ia
menunaikannya” (HR. Abu Daud,AlTirmidzi,Al-Hakim).

7) Peminjam tidak boleh menyewakan barang yang dipinjamnya ataupumn meminjamkannya


kepada orang lain syaratnya mu‟ir merelakannya.

8) Jika orang meminjamkan kebun untuk membuat tembok ia tidak boleh meminta pengembalian
kebun tersebut hingga tembok tersebut roboh, begitu juga orang yang meminjamkan sawah
untuk ditanam. Karena menimbulkan mudhrat bagi orang musim itu haram.

9) Barang siapa meminjamkan sesuatu hingga waktu tertentu, ia disunatkan untuk meminta
pengembaliannya setelah habis batas waktu peminjaman.8

8
Novi Indriyani Sitepu, “Al-Ariyah, Al-Qardh Dan Al-Hibah”, Jurnal, Studia Economica: Vol 2. No. 2, 2015.
B. MUSAQAH
1. Pengertian Musaqah
Musaqah berasal dari kata al-saqa yang berarti seseorang bekerja pada pohon tamar, anggur
(mengurusnya), atau pohon-pohon yang lainnya agar dapat mewujudkan kesejahteraan dan
mendapat bagian tertentu dari hasil lahan yang diurus sebagai sebuah imbalan. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) musaqah berarti pembagian hasil yang sama rata antara pemilik
dan penggarap setelah dikurangi biaya operasiomal.9

Musaqah merupakan bentuk sederhana dari muzara’ah karena penggarap hanya


bertanggung jawab untuk menyiram dan memelihara. Sebagai imbalannya, penggarap memiliki
hak atas persentase tertentu dari hasil panen. Ahli bahasa dan ahli fiqh menyebut akad
pemeliharaan tanaman sebagai musaqah (pengairan). Padahal bukan hanya sekedar pengairan
melainkan juga membersihkan, memangkas, dan merawat tanaman dari hama. Akan tetapi
pengairan merupakan bagian paling penting dari semua kegiatan lainnya, itulah sebabnya istilah
musaqah digunakan10

Secara etimologi, musaqah diartikan sebagai transaksi dalam pengairan, penduduk


Madinah menyebutnya dengan sebutan al mu’amalah. Musaqah merupakan bagian dari kata as-
saqyu (mengairi tanaman), dan kata musaqah berarti memperkerjakan orang lain untuk mengurus
kebun kurma atau anggur dengan kompensasi mendapat bagian saham tertentu dari kebun itu.11

Secara termologi, para ulama fiqh mendefinisikan musaqah yaitu:

1) Menurut Abdurrahman al-Juzairi, musaqah merupakan akad untuk pemeliharaan pohon kurma,
tanaman (pertanian), dan yang lainnya dengan syarat-syarat tertentu.

2) Menurut Ibn ‘Abidin yang dikutip oleh Nasrun Haroen, musaqah merupakan menyarahkan
sebidang lahan perkebunan kepada petani untuk digarap dan dirawat dengan ketentuan yang
mana petani mendapat bagian dari hasil kebun itu.12

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa musaqah merupakan bentuk dari muamalah
berupa kerjasama antara pemilik lahan dan penggarap yang bertujuan supaya kebun itu dijaga dan

9
Nur Salim, “Implementasi Aqad Musaqah dalam Sistem Maro Ditinjau dalam Ekonomi Syariah”, Skripsi, IAIN
Metro, 2018..
10
Anindita Audio Amalia, “Musaqah, Muzara’ah dam Mukhabarah”, Makalah, UMM, Magelang, 2020
11
Thesa Lonica, “Implementasi Akad Musaqah Dalam Meningkatkan Kesejahteraan Petani (Studi Pada Petani Karet
Desa Suka Banjar Kabupaten Kaur)”, Skripsi, Uin Fatmawati Sukarno Bengkulu, 2022
12
Nur ‘ain Harahap, “Musaqah Dan Muzara’ah”, Jurnal, Studia Economica: Vol 1. No. 1 2015.
dipelihara sehingga mendapatkan hasil yang maksimal. Kemudian, segala sesuatu yang didapatkan
oleh pihak kedua berupa buah menjadi hak bersama antara pemilik dan penggarap sesuai dengan
perjanjian yang telah mereka buat.13

2. Dasar Hukum Musaqah


1. Al Qur’an

Musaqah merupakan akad kerjasama bagi hasil antara pemilik lahan dengan
penggarapnya. Maka dari itu, musaqah dikatakan sebagai salah satu bentuk tolong-menolong.
Dasar hukum musaqah bersumber dari QS. Al-Maidah ayat (2):

‫شدِيدُال ِعقَاب‬
َ ُُ‫ُّٰللا‬
َ ‫واُّٰللاُۗاِن ه‬
َ ‫انُ َۖواتق ه‬
ِ ‫ُوالعد َو‬ ِ َ‫عل‬
َ ‫ىُاالث ِم‬ َ َ‫ُو َالُتَع‬
َ ُ‫اونوا‬ َ ‫علَىُالبِ ِر‬
َ ‫ُوالتق ٰو ۖى‬ َ َ‫َوتَع‬
َ ُ‫اونوا‬

Artinya: Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah,
sungguh, Allah sangat berat siksaan-Nya. (Q.S. Al-Maidah (5) : 2).
Dari ayat tersebut, Allah memerintahkan kepada manusia agar saling meembantu dan
tolong menolong dalam kebaikan. Wujud tolong menolong ini tidak hanya dalam bentuk
memberikan lapangan pekerjaan kepada mereka. Dalam usaha pertanian, tidak semua orang
memiliki kemampuan mengolah tanah dan mengolah lahan perkebunan. Adakalanya sesorang
pemilik kebun juga tidak dapat mengolah kebunnya.
2. Hadist
ُ‫علَي ِه‬
َ ُ‫صلىُّٰللا‬ َ ‫عنه َماُأَن‬
َ ُِ‫ُرسولَُّٰللا‬ َُ ُ‫يُّٰللا‬
َ ‫ض‬
ِ ‫ُر‬
َُ ‫عنُاب ِنُع َم َر‬ َ ُِ‫عبدُّٰللاُِأَخبَ َرنَاُعبَيدُّٰللا‬
َ ُ‫عنُ نَاف ٍِع‬ َ ُ‫َحدثَنَاُم َحمدُبنُمقَاتِ ٍلُأَخبَ َرنَا‬
‫َاُولَهمُشَطرُ َماُخ ََر َجُمِ ن َهُا‬ َ ‫علَىُأَنُيَع َملوه‬
َ ‫َاُويَز َرعوه‬ َ ‫سلُ َمُأَع‬
َ َُ‫طىُخَيبَ َرُاليَهود‬ َ ‫َو‬

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Muqatil telah mengabarkan kepada kami
'Abdullah telah mengabarkan kepada kami Ubaidullah dari Nafi' dari Ibnu'Umar radliallahu
'anhuma bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memberikan tanah Khaibar kepada
orang Yahudi untuk dimanfaatkan dan ditanami tumbuhan dan mereka mendapat separuh dari
hasilnya". (HR. Bukhori No. 2163)
ُ‫ُأَو‬,‫عا َملَُأَهلَُ خَي َب َرُ ِبشَط ِرُ َماُ َيخرجُمِ ن َهاُمِ نُ ث َ َم ٍر‬
َ ُ‫َُّٰللاُِصلىُهللاُعليهُوسلم‬ َ ‫ُ;ُ(ُأَن‬-‫عنه َما‬
َ ‫ُرسول‬ َ ُ‫ي َُّٰللا‬
َ ‫ض‬
ِ ‫ر‬-ُ
َ ُ‫عنُاِب ِنُع َم َر‬
َ
ُُ)ٍُ‫زَ رع‬

13
Shania Vera Nita, “Kajian Muzara’ah dan Musaqah (Hukum Bagi Hasil Pertanian dalam Islam)”, Jurnal,vol. 4,
No. 2, 2020.
Artinya: “Dari Ibnu Umar, sesungguhnya Nabi Saw telah memberikan kebun beliau kepada
penduduk (khaibar) agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian: mereka akan memperoleh
dari penghasilannya, baik dari buah-buahan maupun hasil tanamannya” (HR. Muslim).14

3. Rukun dan Syarat Musaqah


1. Rukun Musaqah
Menurut ulama Hanafiyah yang menjadi rukun dalam akad musaqah diantaranya ada
tiga hal yaitu ijab dari pemilik lahan perkebunan, kabul dari petani penggarap, dan pekerjaan
dari pihak penggarap. Adapun para ulama fiqh seperti ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan
Hanabilah menyatakan bahwa musaqah mempunyai lima rukun yaitu:
a) Dua orang atau pihak yang bertransaksi.
b) Tanah yang menjadi objek musaqah.
c) Jenis usaha yang akan dilakukan oleh petani penggarap.
d) Ketentuan tentang pembagian hasil.
e) Sihgat (ungkapan) yaitu ijab dan Kabul.15

2. Syarat Musaqah
Syarat-syaratnya ialah sebagai berikut:
1) Syarat yang bertalian dengan ‘aqidain, yaitu harus berakal.
2) Syarat yang berkaitan dengan tanaman, yaitu disyaratkan adanya penentuan macam apa
saja yang akan ditanam.
3) Hal yang Berkaitan dengan perolehan hasil dari tanaman,yaitu:
a. Bagian masing-masing harus disebutkan jumlahnya (persentase ketika akad).
b. Hasil adalah milik bersama.
c. Bagian antara Amil dan Malik adalah dari satu jenis barang yang sama.
d. Bagian kedua belah pihak sudah dapat diketahui.
e. Tidak disyaratkan bagi salah satunya penambahan yang ma’lum.
4) Hal yang berhubungan dengan tanah yang akan ditanami

14
Ibnu Hajar Al-Asqalani, “Bulughul Maram”, Daarul Hadits Kairo 2002 hal. 155
15
Elvi Syahreni, “Hukum Jagung sebagai Objek Musaqah Menurut Al KHOTIB Asy Syarbini (Studi Kasus Di Desa
Bandar Khalifah Kecamatan Percut Sel Tuan Kabupaten Deli Serdang”, Skripsi, UIN Sumatera Utara Medan
2018
5) Hal yang berkaitan dengan waktu
6) Hal yang berkaitan dengan alat-alat muzara’ah, alat-alat tersebut disyaratkan berupa hewan
atau yang lainnya dibebankan kepada pemilik tanah.16

4. Hukum Musaqah
Akad musaqah menjadi fasid karena tidak terpenuhinya salah satu syarat yang yang telah
ditentukan oleh syara’. Menurut Hanafiah, hal-hal yang menyebabkan fasidnya akad musaqah
adalah sebagai berikut:
1) Adanya syarat bahwa hasil yang diperoleh semuanya untuk salah satu pihak saja. Dalam
hal ini makna syirkah menjadi tidak ada.
2) Adanya syarat bahwa sebagian tertentu dari hasil yang diperoleh untuk salah satu pihak.
3) Adanya syarat bahwa pemilik kebun ikut serta melakukan penggarapan.
4) Adanya syarat bahwa pemetikan dibebankan kepada penggarap karena penggarap hanya
berkewajiban memelihara tanaman sebelum hasilnya dipetik. Adapun sesudahnya, menjadi
kewajiban kedua belah pihak.
5) Adapun syarat bahwa pemeliharaan setelah pembagian hasil menjadi kewajiban
penggarap, karena itu bukan garapan musaqah.
6) Adanya syarat bahwa penggarap harus tetap bekerja setelah selesainya masa perjanjian
musaqah.
7) Adanya kesepakatan terhadap masa yang menurut kebiasaan buah tidak mungkin berhasil
dalam waktu atau masa tersebut, karena hal oitu merugikan penggarap dan tidak akan
tercapainya tujuan akad musaqah.
8) Kerjasama musaqah dengan teman serikat (sesama pemilik kebun). Seperti satu kebun
dimiliki oleh dua orang bersama-sama. Pemilik yang pertama memberikan bagian
kebunnya kepada temannya (pemilik kedua) untuk digaeap dengan cara musaqah dengan
pembagian hasilnya dua pertiga untuknya, sedangkan untuk teman serikat yang menjadi
amil diberi seperti. Hal ini tidak dibolehkandan menyebabkan musaqah menjadi fasid,
karena dalam musaqah terkandung ijarah. Dan satu orang tidak boleh sekaligus menjadi
ajir (tenaga kerja) dan syarik.

16
http://detik-share.blogspot.com/2013/01/musaqah.html
C. MUZARA’AH
1. Pengertian Muzara’ah
Muzara‟ah dalam pengertian bahasa ialah bentuk kata yang mengikuti wazan mufaa‟alah
dari akar kata “az Zar‟u”. Lafazh Az Zar‟u memiliki dua macam arti, yaitu : menabur benih di
tanah dan menumbuhkan. Hanya saja arti yang pertama merupakan arti yang majaz, sedangkan
arti yang kedua adalah makna hakiki.17
Secara istilah, menurut Syekh Muhammad Yusuf Qardhawi, Muzara’ah adalah pemilik
tanah menyerahkan alat, benih dan hewan kepada yang hendak menanaminya dengan suatu
ketentuan dia akan mendapat hasil yang telah ditentukan, misalnya: 1/2 , 1/3 atau kurang atau lebih
menurut pesetujuan bersama.18
Menurut Hanafiyah muzara’ah adalah akad untuk bercocok tanam dengan sebagian yang
keluar dari bumi. Menurut Hanabilah muzara’ah adalah pemilik tanah yang sebenarnya
menyerahkan tanahnya untuk ditanami dan yang bekerja diberi bibit.
Dalam kitab al-umm, Imam Syafi’i menjelaskan bahwa sunnah Rasul menunjukkan dua
hal tentang makna muzara’ah yakni pertama: kebolehan bermuamalah atas pohon kurma atau
diperbolehkan bertransaksi atas tanah dan apa yang dihasilkan. Artinya ialah bahwa pohon kurma
tersebut telah ada baru kemudian diserahkan pada perawat (pekerja) untuk dirawat sampai
berbuah.Namun sebelum kedua belah pihak (pemilik kebun dan pekerja) harus terlebih dahulu
bersepakat tentang pembagian hasil, bahwa sebagian buah untuk pemilik kebun sedangkan yang
lainya untuk pekerja. Kedua: ketidak bolehan muzara’ah dengan menyerahkan tanah kosong dan
tidak ada tanaman didalamnya kemudian tanah itu ditanami tanaman oleh pengarap dengan
tanaman lain.19
Dapat disimpulkan muzara'ah adalah kesepakatan antara pemilik lahan dengan petani
penggarap untuk pengelolaan lahan yang apabila hasil panen telah tiba maka akan berlaku sistem
bagi hasil dengan upah atau imbalan tertentu sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak. Benih

17
Nur ‘Ain Harahap, “Musaqah Dan Muzara’ah”, Jurnal, Studia Economica: Vol 1. No. 1 2015
18
Ade Intan Surahmi, “Implementasi Akad Muzara’ah Dan Mukhabarah Pada Masyarakat Tani Di Desa Blang
Krueng Dan Desa Lam Asan, Kabupaten Aceh Besar”, Skripsi, Uin Ar Raniry, Banda Aceh 2019
19
Serli, “Implementasi Bagi Hasil Muzara’ah Lahan Pertanian Di Kecamatan Tombolo Pao Kabupaten Gowa”,
Skripsi, Umm Makasar, 2020
yang akan ditanam oleh penggarap harus disediakan oleh pemilik lahan, sedangkan pengelolaan
sampai masa panen ditujukan kepada penggarap.20

2. Dasar Hukum Muzara’ah


1. Al Qur’an
ُ‫ضُدَ َرجٰ تٍُ ِليَتخِ ذَُبَعضهمُبَعضًا‬
ٍ ‫ضهمُفَوقَ ُبَع‬ َ ‫شت َهمُفِىُال َح ٰيوةُِالدُّنيَ ۙا‬
َ ‫ُو َرفَعنَاُبَع‬ َ َ‫ُر ِب ۗكَ ُنَحنُق‬
َ ‫سمنَاُبَينَهمُمعِي‬ َ َ‫اَهمُيَقسِمون‬
َ َ‫ُرح َمت‬
َُ‫ُر ِبكَ ُخَي ٌرُ ِمماُيَج َمعون‬
َ ‫سخ ِريًّاُ َۗو َرح َمت‬
Artinya: apakah mereka yang membagi-bagikan rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan
antara mereka penghidupan dalam kehidupan dunia dan kami telah meninggikan sebagian
mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat agar sebagian mereka dapat mempergunakan
sebagian yang lain dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan. (QS.Az
Zukhruf (43): 32).21
Kandungan ayat ini menerangkan bahwa Allah SWT. memberi keleluasaan dan
membebaskan hamba-Nya dalam berkehidupan sosial dan senantiasa taat kepada-Nya dengan
berbagai cara yang diperbolehkan. Cara tersebut diharuskan berpedoman pada Al Qur'an dan
Hadits contohnya dalam memenuhi kebutuhan hidup dengan melakukan kerjasama bagin hasil
dalam pertanian yakni muzara'ah.
2. Hadist
ُ ٍ ‫ُولَكِنُأ َ َم َرُأَنُ َيرفقَ ُ َبعضهمُ ِب َبع‬،
‫ُض‬ َ َ‫عة‬ َ َ‫سل َمُلَمُي َح ِر ِمُالمز‬
َ ‫ار‬ َ ‫علَيه‬
َ ‫ُِو‬ َ ُ‫صلىُّٰللا‬
َ ُ‫َُّٰللا‬
ِ ‫ُرُسول‬َ ‫ُ«أَن‬،‫اس‬
ٍ ‫عب‬
َ ُ‫عنُاب ِن‬
َ
Artinya: Dari Ibnu Abbas berkata:”Sesungguhnya Nabi saw. menyatakan: tidak
mengharamkan menyewakan tanah (bermuzara’ah), tetapi ia memerintahkan satu sama lain
bersikap lemah lembut”. (Sunan At Tirmidzi IV, 1359 H:415)
Hadist diatas mengisyaratkan bahwa pemilik tanah dan penyewa, harus harus
mempunyai sikap toleransi (tasamuh) yang tinggi. Misalnya si pemilik tanah jangan minta
terlalu tinngi dari hasil tanahnya itu. Begitu juga sebaliknya si penyewa jangan merugikan
pihak pemilik tanah.22

20
Muhammad Rafly, Muhammad Natsir, Siti Sahara, “Muzara’ah (Perjanjian Bercocok Tanam) Lahan Pertanian
Menurut Kajian Hukum Islam”, Jurnal, Vol 11, No 2, 2016
21
Https://Tafsirweb.Com/9228-Quran-Surat-Az-Zukhruf-Ayat-32.Html
22
Muhamad Ngasifudin, “Aplikasi Muzara’ah Dalam Perbankan Syariah”, Jurnal Ekonomi Syariah Indonesia, Vol
VI, No. 1, 2016
3. Rukun dan Syarat Muzara’ah
Menurut Hanafiyah rukun Muzara‟ah ialah akad, yaitu ijab dan kabul antara pemilik dan
pekerja. Secara rinci jumlah rukun-rukun Muzara‟ah ada empat yaitu :

1) Tanah

2) Perbuatan pekerja

3) Modal dan Alat-alat untuk menanam

Menurut ulama Hanabilah rukun muzara’ah adalah:

1) Pemilik tanah

2) Petani penggarap

3) Objek muzara’ah yaitu antara tanah dan hasil kerja petani.

4) Ijab (menurut ulama Hanabilah berpendapat bahwa muzara’ah tidak memerlukan qabul secara
lafadz, tetapi cukup dengan mengerjakan tanah. Hal ini sudah dianggap qabul).

Syarat-syartnya ialah sebagai berikut:

1) Syarat yang bertalian dengan, aqidain yaitu harus berakal

2) Syarat yang berkaitan dengan tanaman, yaitu disyaratkan dengan adanya penentuan macam
apa saja yang akan ditanam.

3) Hal yang berkaitan dengan perolehan hasil dari tanaman yaitu :

a) Bagian masing-masing harus disebutkan jumlahnya

b) Hasil adalah milik Bersama

c) Bagian antara Amil dan Malik adalah dari satu jenis barang yang sama misalnya dari kapas

d) Bagian kedua belah pihak sudah diketahui

e) Tidak disyaratkan bagi sala satunya penambahan yang ma‟lum.

4) Hal yang berhubungan dengan tanah yang akan ditanami yaitu :

a) Tanah tersebut dapat ditanmi

b) Tanah tersebut dapat diketahui batas-batasnya


5) Hal yang berkaitan dengan waktu , syarat-syaratnya ialah :

a) Waktunya telah ditentukan

b) Waktu itu memungkinkan untuk menanam tanaman yang dimaksud, seperti menanam padi
waktunya 4 bulan tergantung teknologi yang digunakan dan kebiasaan setempat.

c) Waktu tersebut memungkinkan dua belah pihak hidup menurut kebiasaan

6) Hal yang berkaitan dengan alat-alat Muzara‟ah , alat-alat tersebut disyarattkan berupa hewan
atau yang lainya dibebankan kepada pemilik tanah.23

4. Hikmah Muzara’ah
Hikmah muzara’ah dapat diilustrasikan dengan adanya kerjasama dan meningkatkan
kerukunan antar masyarakat dalam berekonomi. Yakni dengan sistem bagi hasil pertanian yang
memberi manfaat kehidupan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Contohnya ada seseorang
yang mampu untuk menggarap lahan tetapi tidak mempunyai lahan untuk diolah. Ada juga orang
yang memiliki lahan tetapi tidak mampu mengolahnya. Keduanya dapat menjalin hubungan
kerjasama jika salah satu menyerahkan lahan dan bibit, serta yang lainnya mengelola tanah dengan
tenaganya. Dalam kesepakatan mendapat sebagian hasil panen sesuai akad di awal perjanjian akan
tercipta kemakmuran dan kesejahteraan antar masyarakat dengan adanya kerukunan dan
perputaran roda ekonomi sesuai dengan ketentuan agama Islam.24

23
Hasdir, “Akad Muzara’ah Di Desa Salekoe Kecamatan Malangke Kabupaten Luwu Utara (Perspektif Hukum
Ekonomi Syariah)”, Skripsi, Institut Agama Islam Negeri Palopo 2020
24
Shania Vera Nita, “Kajian Muzara’ah dan Musaqah (Hukum Bagi Hasil Pertanian dalam Islam)”, Jurnal,vol. 4,
No. 2, 2020
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

‘Ariyah adalah Peminjaman yang mana membolehkan kepada orang lain mengambil manfaat
sesuatu yang halal secara cuma-cuma atau dengan tujuan menolong dengan tidak merusak zat
barang tersebut, dan dikembalikan setelah dipergunakan manfaatnya dalam keadaan tetap tidak
rusak zatnya. Dasar hukum ‘Ariyah adalah QS. Al-Maidah ayat 5 dan QS. An-Nisa ayat 58 serta
hadits yang diriwayatkan Imam Abu Daud, an-Nasa’I dan Ahad yang menyatakan mengenai
peristiwa Rasul meminjam baju besi dari Shofwan ibnu Umayyah sewaktu perang Hunain.

Musaqah merupakan bentuk dari muamalah berupa kerjasama antara pemilik lahan dan penggarap
yang bertujuan supaya kebun itu dijaga dan dipelihara sehingga mendapatkan hasil yang maksimal.
Kemudian, segala sesuatu yang didapatkan oleh pihak kedua berupa buah menjadi hak bersama antara
pemilik dan penggarap sesuai dengan perjanjian yang telah mereka buat. Akad musaqah menjadi fasid
karena tidak terpenuhinya salah satu syarat yang yang telah ditentukan oleh syara’, oleh karena itu
segala syaratnya harus diperhatikan dengan seksama.

Muzara'ah adalah kesepakatan antara pemilik lahan dengan petani penggarap untuk
pengelolaan lahan yang apabila hasil panen telah tiba maka akan berlaku sistem bagi hasil dengan
upah atau imbalan tertentu sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak. Benih yang akan
ditanam oleh penggarap harus disediakan oleh pemilik lahan, sedangkan pengelolaan sampai masa
panen ditujukan kepada penggarap. Hikmah muzara’ah dapat diilustrasikan dengan adanya kerjasama
dan meningkatkan kerukunan antar masyarakat dalam berekonomi. Yakni dengan sistem bagi hasil
pertanian yang memberi manfaat kehidupan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
DAFTAR PUSTAKA

Jamaluddin, “Konsekuensi Akad Al-Ariyah Dalam Fiqh Muamalah Maliyah Perspektif Ulama
Madzahib Al-Arba'ah”, Jurnal Qawanin, Vol 02, No 2, Juli 2018.
Eko Firmanto, “Tinjauan Hukum Islam Tentang Akad ‘Ariyah Bersyarat”, Skripsi, Universitas
Islam Negeri Raden Intan Lampung, 2020
Saprida, Khoiriyah, “Sosialisasi ‘Ariyah dalam Islam di Kecamatan Air Kumbang Kabupaten
Banyuasin”, Jurnal STEBIS IGM, Vol 1, No 1 2020.
Ibnu Hajar Al-Asqalani, “Bulughul Maram”, Daarul Hadits Kairo 2002 hal. 152
Novi Indriyani Sitepu, “Al-Ariyah, Al-Qardh Dan Al-Hibah”, Jurnal, Studia Economica: Vol 2.
No. 2, 2015.
Nur Salim, “Implementasi Aqad Musaqah dalam Sistem Maro Ditinjau dalam Ekonomi Syariah”,
Skripsi, IAIN Metro, 2018..
Anindita Audio Amalia, “Musaqah, Muzara’ah dam Mukhabarah”, Makalah, UMM, Magelang,
2020
Thesa Lonica, “Implementasi Akad Musaqah Dalam Meningkatkan Kesejahteraan Petani (Studi
Pada Petani Karet Desa Suka Banjar Kabupaten Kaur)”, Skripsi, Uin Fatmawati Sukarno
Bengkulu, 2022
Nur ‘ain Harahap, “Musaqah Dan Muzara’ah”, Jurnal, Studia Economica: Vol 1. No. 1 2015.
Shania Vera Nita, “Kajian Muzara’ah dan Musaqah (Hukum Bagi Hasil Pertanian dalam Islam)”,
Jurnal,vol. 4, No. 2, 2020.
Ibnu Hajar Al-Asqalani, “Bulughul Maram”, Daarul Hadits Kairo 2002 hal. 155
Elvi Syahreni, “Hukum Jagung sebagai Objek Musaqah Menurut Al KHOTIB Asy Syarbini (Studi
Kasus Di Desa Bandar Khalifah Kecamatan Percut Sel Tuan Kabupaten Deli Serdang”,
Skripsi, UIN Sumatera Utara Medan 2018
http://detik-share.blogspot.com/2013/01/musaqah.html
Nur ‘Ain Harahap, “Musaqah Dan Muzara’ah”, Jurnal, Studia Economica: Vol 1. No. 1 2015
Ade Intan Surahmi, “Implementasi Akad Muzara’ah Dan Mukhabarah Pada Masyarakat Tani Di
Desa Blang Krueng Dan Desa Lam Asan, Kabupaten Aceh Besar”, Skripsi, Uin Ar Raniry,
Banda Aceh 2019
Serli, “Implementasi Bagi Hasil Muzara’ah Lahan Pertanian Di Kecamatan Tombolo Pao
Kabupaten Gowa”, Skripsi, Umm Makasar, 2020
Muhammad Rafly, Muhammad Natsir, Siti Sahara, “Muzara’ah (Perjanjian Bercocok Tanam)
Lahan Pertanian Menurut Kajian Hukum Islam”, Jurnal, Vol 11, No 2, 2016
Https://Tafsirweb.Com/9228-Quran-Surat-Az-Zukhruf-Ayat-32.Html
Hasdir, “Akad Muzara’ah Di Desa Salekoe Kecamatan Malangke Kabupaten Luwu Utara
(Perspektif Hukum Ekonomi Syariah)”, Skripsi, Institut Agama Islam Negeri Palopo 2020
Shania Vera Nita, “Kajian Muzara’ah dan Musaqah (Hukum Bagi Hasil Pertanian dalam Islam)”,
Jurnal,vol. 4, No. 2, 2020

Anda mungkin juga menyukai