Anda di halaman 1dari 24

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Telaah Pustaka

1. Gigi Bungsu Impaksi

1.1. Gigi Bungsu

1.1.1. Definisi Gigi Bungsu

Gigi bungsu atau gigi molar ketiga adalah gigi yang erupsi paling

terakhir pada usia 17-25‫ا‬atau‫ا‬pada‫ا‬masa‫ا‬kehidupan‫ا‬yang‫ا‬disebut‫“ا‬Age

of Wisdom”.‫ ا‬Gigi bungsu yang erupsi biasanya beroklusi dengan baik

dengan gigi antagonisnya yang sesuai di lengkung gigi atas atau

bawah. Gigi bungsu terletak di dalam kurva lengkung gigi yang sama

dengan gigi molar kedua, dan mahkota tidak tertutup oleh jaringan

gingiva apapun. Dalam kondisi klinis, gigi bungsu yang erupsi normal

jarang terjadi. Sedangkan gigi bungsu yang impaksi sering terjadi. Gigi

bungsu yang malposisi dapat didefinisikan sebagai gigi bungsi yang

impaksi (American Association of Oral and Maxillofacial Surgeons

(AAOMS), 2013; Dapeng, 2019)

1.1.2. Waktu Erupsi Gigi Bungsu

Erupsi gigi permanen dimulai pada usia 6 tahun dan selesai pada

usia 22 tahun. Penyelesaian perkembangan akar gigi selesai pada 2-3

tahun setelah gigi erupsi ke dalam rongga mulut. Gigi bungsu rahang

atas mulai kalsifikasi pada usia 7-9 tahun, mahkota terbentuk pada usia

6
7

12-16 tahun, erupsi pada usia 17-21 tahun, dan akar tertutup pada usia

18-25. Sedangkan, gigi bungsu rahang bawah mulai kalsifikasi pada

usia 8-10 tahun, mahkota terbentuk pada usia 12-16 tahun, erupsi pada

usia 17-21 tahun, dan akar tertutup pada usia 18-25 tahun (Rajkumar &

Ramya, 2017).

1.1.3. Tahap Erupsi Gigi Bungsu

Tahap erupsi gigi bungsu dievaluasi dengan 3 tahap, dikemukakan

oleh Olze et al. dan Monica et al., yaitu:

Gambar 1. Tahap erupsi gigi bungsu


A: dataran oklusal gigi bungsu masih ditutupi tulang alveolar
B: erupsi gigi bungsu sudah mencapai tulang alveolar
C: gigi bungsu telah menembus gingiva, penetrasi gingiva setidaknya
pada satu cusp gigi bungsu
D: proses gigi bungsu lengkap di dataran oklusal
Sumber : Firdaus et al., (2013)

1.1.4. Posisi Normal Gigi Bungsu

Dimulai dari benih gigi, gigi bungsu secara bertahap tumbuh dan

bermigrasi ke arah alveolar ridge, dimana gigi bungsu erupsi ke posisi

normal. Enam kriteria berikut menentukan posisi normal gigi bungsu:

a. Sumbu panjang gigi bungsu rahang atas dan bawah harus tegak lurus

dan terletak di dalam kurva lengkung gigi.

b. Bidang oklusal gigi bungsu konsisten dengan gigi molar lainnya,

tidak di atas atau di bawah gigi molar kedua.


8

c. Gigi bungsu tidak malposisi atau miring ke arah bukal, atau ke

lingual (palatal), atau ke sisi mesiodistal.

d. Cusp bukal gigi bungsu rahang atas beroklusi pada bukal groove gigi

bungsu rahang bawah dan cusp palatal gigi bungsu rahang rahang

beroklusi di central groove gigi bungsu rahang bawah, membentuk

oklusi normal.

Gambar 2. Gambaran radiograf panoramik oklusi normal gigi bungsu


Sumber : Dapeng (2019).

e. Septum alveolar gigi lengkap berada di antara gigi bungsu dan gigi

molar. Septum tulang alveolar gigi dan alveolar ridge antara akar

mesial dari gigi bungsu rahang atas dan bawah yang diposisikan

secara normal dan akar distal gigi normal kedua pada sisi yang sama.

f. Margin gingiva melekat pada leher gigi bungsu, termasuk

mesiodistal dan margin bukal gingival dari mahkota (Dapeng,

2019).

1.1.5. Karakteristik gigi bungsu

a. Gigi bungsu lebih kecil dari gigi molar pertama atau kedua, kecuali

gigi bungsu dengan lima cusp yang mungkin memiliki mahkota

yang lebih besar dan lebih bulat daripada gigi molar kedua.
9

b. Cusp bukal lebih dekat dengan cusp lingual.

c. Dari pandangan oklusal, outline mahkota gigi bungsu rahang atas

meruncing dari bukal ke lingual, menjadi lebih sempit di sisi lingual

atau dari mesial ke distal.

d. Permukaan oklusal gigi bungsu cukup berkerut karena banyak

groove dan ridge tambahan.

e. Akar gigi bungsu runcing, bengkok, dan sering melengkung di

sepertiga apikal. Akar sering menyatu dan sangat panjang dengan

furkasi terletak tidak jauh dari apeks gigi (Scheid & Weiss, 2017).

Gigi bungsu adalah gigi terakhir yang erupsi dan merupakan gigi paling

posterior dari seluruh gigi dalam lengkung rahang, karena evolusi manusia,

perubahan rantai makanan, dan degenerasi tulang, ruang yang tersedia untuk

gigi bungsu di rahang tidak cukup yang menjadi penghambat migrasi dan erupsi

gigi bungsu. Oleh karena itu, gigi bungsu menjadi impaksi.

1.2. Gigi Impaksi

1.2.1. Definisi Gigi Bungsu Impaksi

Impaksi‫ ا‬berasal‫ ا‬dari‫ ا‬istilah‫“ ا‬impactus”,‫ ا‬yang‫ ا‬berasal‫ ا‬dari‫ ا‬Bahasa‫ا‬

latin. Penggunaan umumnya mengacu pada kegagalan organ atau

struktur dalam mencapai posisi normalnya karena kondisi mekanis

yang tidak normal. Archer, 1975 mendefinisikan gigi impaksi sebagai

gigi yang tidak erupsi sebagian atau seluruhnya dan diposisikan pada

gigi atau tulang atau jaringan lunak lain sehingga erupsi lebih lanjut

tidak mungkin terjadi. Lytle, 1979 mengusulkan definisi yang


10

berkaitan dengan definisi Archer. Gigi impaksi adalah gigi yang gagal

erupsi ke posisi fungsional normalnya melebihi waktu erupsi yang

biasanya diharapkan, dicegah oleh jaringan keras atau lunak yang

berdekatan termasuk gigi, tulang, atau jaringan lunak padat. Andreasen

et al., 1997 mendefinisikan impaksi sebagai penghentian erupsi gigi

yang disebabkan oleh hambatan fisik yang dapat dideteksi secara klinis

atau radiografis di jalur erupsi atau posisi ektopik gigi. Impaksi adalah

gigi yang tidak dapat erupsi sepenuhnya ke posisi fungsional normal,

dengan alasan karena kurangnya ruang, terhalang oleh gigi lain, atau

jalur erupsi yang tidak normal (Varghese, 2021).

1.2.2. Etiologi Gigi Bungsu Impaksi

a. Faktor utama:

Gigi bungsu erupsi di surplus space yang seringkali tidak

cukup ruang karena degenerasi rahang, pembatasan pertumbuhan,

dan terbatasnya ruang yang tersedia (Dapeng, 2019).

b. Faktor lokal:

1) Malposisi dan tekanan dari gigi yang berdekatan

2) Peningkatan kepadatan tulang di sekelilingnya

3) Peradangan kronis yang berlanjut

4) Kurangnya ruang karena rahang yang kurang berkembang

5) Retensi gigi sulung yang berkepanjangan

6) Kehilangan dini gigi sulung

7) Nekrosis karena infeksi atau abses


11

c. Faktor sistemik:

1) Prenatal: keturunan dan miskegenasi

2) Postnatal: rakhitis, anemia, sifilis kongenital, tuberculosis,

disfungsi endokrin, dan malnutrisi

3) Kondisi langka: cleidocranial dysostosis, oksisefali,

progeria, achondroplasia, dan cleft palate (Varghese,

2021).

1.2.3. Klasifikasi Impaksi Gigi Bungsu

a. Klasifikasi Impaksi Gigi Bungsu Rahang Bawah

1) Berdasarkan angulasi gigi bungsu rahang bawah impaksi

menurut Klasifikasi George Winter

- Impaksi vertikal: panjang aksis gigi molar kedua dan gigi

bungsu impaksi sejajar.

- Impaksi mesioangular: panjang aksis gigi molar kedua dan

gigi bungsu impaksi berhimpitan secara dokoronal.

- Impaksi inverted

- Impaksi distoangular: panjang aksis gigi molar kedua dan gigi

bungsu impaksi konvergen secara apikal

- Impaksi horizontal: panjang aksis gigi molar kedua dan gigi

bungsu impaksi berada pada sudut siku-siku.


12

Vertikal Mesioangular Inverted

Distoangular Horizontal
Gambar 3. Klasifikasi berdasarkan angulasi gigi bungsu rahang bawah
(Winter’s classification)
Sumber: Varghese (2021)

2) Berdasarkan hubungan antara gigi bungsu yang impaksi dengan

batas anterior ramus menurut Klasifikasi Pell dan Gregory

- Class I: terdapat cukup ruang mesiodistal antara batas anterior

ramus dan gigi molar kedua untuk mengakomodasi gigi

bungsu.

- Class II: ruang antara batas anterior ramus dan gigi molar

kedua kurang dari lebar mesiodistal mahkota gigi bungsu.

- Class III: tidak ada ruang mesiodistal yang tersedia dan gigi

bungsu hampir seluruhnya berada dalam ramus.

Class I Class II Class III


13

Gambar 4. Klasifikasi berdasarkan hubungan antara gigi bungsu


impaksi dengan batas anterior ramus (Pell and Gregory’s classification)
Sumber: Varghese (2021)

3) Berdasarkan kedalaman gigi bungsu rahang bawah impaksi

menurut Klasifikasi Pell dan Gregory berdasarkan tingkat

oklusal gigi

- Posisi A: titik tertinggi gigi berada pada tingkat yang sama

dari bidang oklusal atau di atasnya.

- Posisi B: titik tertinggi gigi berada di atas garis servikal gigi

molar kedua tetapi di bawah bidang oklusal.

- Posisi C: titik tertinggi gigi berada jauh di bawah garis

servikal gigi molar kedua

Posisi A Posisi B Posisi C

Gambar 5. Klasifikasi berdasarkan kedalaman gigi bungsu rahang


bawah impaksi (Pell and Gregory’s classification)
Sumber: Varghese (2021)

4) Berdasarkan jenis jaringan yang terletak di atas gigi, misalnya

jaringan lunak, tulang sebagian, atau impaksi tulang lengkap

5) Berdasarkan tingkatan erupsi: dibagi menjadi erupsi, erupsi

sebagian, dan tidak erupsi.


14

b. Klasifikasi Impaksi Gigi Bungsu Rahang Atas

1) Berdasarkan tingkatan erupsi: erupsi penuh, erupsi sebagian, dan

tidak erupsi

2) Berdasarkan angulasi gigi: vertikal, mesioangular, distoangular,

lateral dengan mahkota menghadap bukal, dan posisi

menyimpang dikaitkan dengan patologi kondisi logis seperti

kista.

Vertikal Mesioangular

Distoangular

Gambar 6. Klasifikasi berdasarkan angulasi gigi bungsu rahang atas


(Winter’s classification)
Sumber: Varghese (2021).

3) Berdasarkan klasifikasi kedalaman gigi bungsu rahang atas yang

impaksi menurut Klasifikasi Pell dan Gregory

- Posisi A: permukaan oklusal gigi bungsu berada pada tingkat

yang sama dengan gigi molar kedua

- Posisi B: permukaan oklusal gigi bungsu terletak di antara

bidang oklusal dan garis servikal gigi molar kedua


15

- Posisi C: permukaan oklusal gigi bungsu berasa pada atau di

atas garis servikal gigi molar kedua


Posisi A Posisi B

Posisi C

Gambar 7. Klasifikasi berdasarkan kedalaman gigi bungsu rahang atas


impaksi (Pell and Gregory’s classification)
Sumber: Varghese (2021).

4) Berdasarkan hubungan gigi bungsu rahang atas yang impaksi

dengan sinus maksilaris

- Sinus Approximation (SA) : tidak ada sekat tulang atau sekat

tulang tipis antara gigi bungsu rahang atas yang impaksi dan

sinus maksilaris.

- No Sinus Approximation (NSA) : terdapat tulang 2 mm atau

lebih antara gigi bungsu rahang atas yang impaksi dan sinus

maksilaris (Varghese, 2021).

1.2.4. Dampak Adanya Gigi Bungsu Impaksi

Pasien biasanya datang dengan gejala nyeri, bengkak,

keterbatasan gerak, rasa tidak nyaman, dan bau atau pasien datang

dengan tanpa gejala karena rujukan. Selanjutnya, dilakukan

pemeriksaan fisik dan radiografi untuk mengetahui adanya kaitan


16

dengan gigi bungsu yang impaksi. Aspek penting pemeriksaan fisik

meliputi: (1) status erupsi, jika erupsi, posisi di lengkung; (2) status

fungsional gigi; dan (3) hasil probing. Kemudian, gigi bungsu

impaksi dikategorikan menjadi 4 kategori klinis berdasarkan gejala

dan patologi, meliputi tanda klinis dan pemeriksaan radiografi:

(Dodson, 2012).

a. Tanpa gejala dan tanpa patologi

Pasien datang tanpa gejala atau keluhan yang tidak jelas dan

tidak spesifik. Pemeriksaan klinis: gigi bungsu tidak terlihat

impaksi, probing depth kurang dari 4 mm, erupsi dengan ruang

yang cukup, erupsi mencapai bidang oklusal, fungsional,

hygienic, tidak ada karies atau karies yang dapat direstorasi, dan

gingiva melekat pada sepanjang permukaan distal gigi bungsu.

Pemeriksaan radiografi: tidak ada bukti adanya patologi.

b. Gejala tanpa disertai patologi

Beberapa pasien terkadang mengira gejala nyeri muskulus

masseter (myalgia) sebagai nyeri dari efek samping inflamasi

dari erupsi gigi bungsu yang impaksi. Dalam pengaturan ruang

yang memadai untuk mengakomodasi gigi bungsu, nyeri gigi

adalah efek samping dari perkembangan gigi bungsu, bukan

penyakit inflamasi. Apabila tidak adanya ruang yang cukup

untuk mengakomodasi gigi bungsu, nyeri gigi mungkin cukup

parah untuk memerlukan intervensi (Dodson, 2012).


17

c. Tanpa gejala disertai patologi

1) Karies dentin gigi bungsu: disebabkan oleh posisi gigi

bungsu di rahang dan anatomi oklusalnya dengan fissure

yang dalam menyebabkan akumulasi biofilm pada gigi.

Pemeriksaan radiografi terdapat karies pada mahkota mesial

gigi bungsu.

Gambar 8. Karies gigi bungsu


Sumber: Ali (2014)

2) Karies dentin gigi molar kedua: disebabkan oleh tekanan,

kedalaman, dan angulasi dari gigi bungsu yang impaksi.

Pemeriksaan radiografi terdapat karies yang disebabkan gigi

bungsu impaksi secara mesioangular dan horizontal

(Pentapati et al., 2019)

Gambar 9. Karies gigi molar kedua disebabkan oleh impaksi gigi


bungsu
Sumber: Dapeng (2019)
18

3) Kista dentigerous: secara klinis, folikel perikoronal memiliki

ketebalan hingga 5,6 mm, jika lebih dianggap sebagai kista

dentigerous. Pemeriksaan radiografi kista dentigerous

(Consolaro & Hadaya, 2021).

Gambar 10. Kista dentigerous


Sumber: Consolaro & Hadaya (2021)

4) Tumor odontogenic (Ameloblastoma): gejala

ameloblastoma biasanya asimptomatik dan tidak

menyebabkan perubahan fungsi nervus sensorik. Sebagian

besar pasien sering datang dengan gejala utama bengkak dan

wajah yang asimetris. Tumor yang tidak diobati dapat

tumbuh dengan proporsi yang besar, menyebabkan

deformitas wajah, menimbulkan perforasi tulang dan

menyebar ke jaringan lunak yang menyulitkan tindakan

eksisi. Tumor yang kecil biasanya terdeteksi pertama kali

pada pemeriksaan radiografi gigi rutin. Gambaran radiografi

ameloblastoma tampak lesi radiolusen pada maksila atau

mandibula, seringkali dengan gambaran multilocular atau

“soap-bubble”, ekspansi tulang dan resorpsi akar gigi

(Cahyawati, 2018; Jaishree et al., 2022).


19

Gambar 11. Ameloblastoma multilokuler pada mandibula sinistra


dengan pola soap-bubble
Sumber: (Ulum et al., 2020)

b. Gejala disertai patologi

1) Pericoronitis: gejala nyeri hebat, demam ringan, halitosis,

dan kesulitan membuka mulut. Secara klinis, terdapat

eritema dan pembengkakan pada gingiva dan flap mukosa

(operculum) yang menutupi dan mengelilingi gigi bungsu

yang erupsi sebagian.

Gambar 12. Pericoronitis


Sumber: Varghese (2021)

2) Periodontitis: gejala yang muncul simptomatik, rasa tidak

nyaman saat menguyah, dan mudah berdarah. Secara klinis,

ditandai dengan eritema, bleeding on probing, probing depth


20

lebih dari 4 mm. Pemeriksaan radiografi, terdapat kerusakan

tulang alveolar.

Gambar 13. Periodontitis kronis gigi molar kedua disebabkan gigi


bungsu impaksi
Sumber: Dapeng (2019)

3) Abses periodontal: gejala yang ditimbulkan berupa

ketidaknyamanan hingga simptomatik. Secara klinis, abses

periodontal adalah akumulasi pus lokal, gingiva

membengkak berwarna merah mengkilat dengan konsistensi

lunak, meningkatnya probing depth, dan sulkus gingiva

mengalami resesi. Pemeriksaan radiografi menunjukkan

kehilangan tulang yang berhubungan dengan defek

periodontal (Laskaris, 2017).

Gambar 14. Abses periodontal


Sumber: Dapeng (2019)
21

Patologi yang disebabkan oleh gigi bungsu juga dapat

dikategorikan berdasarkan penyakit jaringan lunak dan keras.

Penyakit jaringan lunak terutama mengacu pada pericoronitis,

sedangkan penyakit jaringan keras mengacu pada karies distal gigi

molar kedua. Gigi bungsu impaksi secara vertikal berhubungan

dengan terjadinya pericoronitis, dikarenakan kurangnya titik kontak

interproksimal yang ideal, maka akses untuk self cleaning susah

yang kemudian meningkatkan akumulasi makanan dan bakteri.

Gigi bungsu impaksi secara mesioangular dikaitkan dengan

karies distal gigi molar kedua, dengan angulasi mesial dari 43 o

hingga 73o dan jarak cementoenamel junction antara distal gigi

molar kedua dan mesial gigi bungsu berkisar antara 6-15 mm.

Patologi periodontal gigi molar kedua juga dikaitkan dengan adanya

impaksi gigi bungsu yang lebih dalam dengan angulasi mesial dan

horizontal. Patologi periodontal yang paling mungkin terjadi adalah

resorpsi akar eksternal dari gigi molar kedua (Ye et al., 2021).

Gambar 15. Hubungan pola impaksi gigi bungsu dengan patologi


Sumber : Ye (2021).
22

2. Tingkat Pengetahuan

2.1. Definisi Pengetahuan

Pengetahuan‫ ا‬merupakan‫ ا‬hasil‫“ ا‬tahu”‫ ا‬dan‫ ا‬ini‫ ا‬terjadi‫ ا‬setelah‫ا‬

seseorang mengadakan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.

Penginderaan terhadap objek terjadi melalui panca indera manusia,

sebagian besar diperoleh melalui mata dan telinga (Notoadmodjo, 2012).

Pengetahuan merupakan faktor dominan yang sangat penting untuk

terbentuknya tindakan seseorang. Perkembangan teori pengetahuan telah

lama berkembang sejak lama. Filsuf pengetahuan, Plato menyatakan

pengetahuan sebagai kepercayaan sejati yang dibenarkan atau valid

(justifies true belief) (Wawan, 2011 ; Budiman & Riyanto, 2013).

Menurut kontruktivistik, pengetahuan adalah suatu pembentukan

seseorang untuk terus menerus mengalami reorganisasi karena adanya

pemahaman-pemahaman baru, bukanlah sesuatu yang sudah ada dan

tersedia melainkan sebagai sebagai pembentukan diri sendiri terhadap

objek, pengalaman, maupun lingkungannya (Budiman & Riyanto, 2013).

2.2. Tingkat Pengetahuan

Tingkat pengetahuan (knowledge stage) merupakan bentuk

pemahaman seseorang terhadap sesuatu dengan ditandai kemampuannya

dalam observasi, memilih, mengolah, dan mendeskripsikan sesuatu.

Terdapat tiga tingkat pengetahuan, menurut teori Roger The Innovation-

Decision Process, yaitu :


23

a. Awareness Knowledge merupakan tipe pengetahuan yang mana

seseorang cenderung memiliki rasa ingin tahu dari diri sendiri sehingga

ada keinginan mencari beragam informasi dari beragam sumber.

b. How to Knowledge merupakan tipe pengetahuan yang mengenai

bagaimana melakukan sesuatu sesuai dengan prosedur atau bagaimana

seharusnya sesuatu itu bekerja.

c. Principles Knowledges merupakan tipe pengetahuan dimana seseorang

dapat mendeskripsikan bagaimana dan mengapa sesuatu itu bekerja

(Sahin, 2006).

2.3. Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan

a. Pendidikan

Pengetahuan dapat diperoleh sesesorang secara alami atau

diintervensi baik langsung maupun tidak langsung, seperti faktor

pendidikan formal. Pengetahuan tidak jauh berhubungan dengan

pendidikan, dengan ekspektasi pendidikan semakin tinggi maka

semakin luas juga pengetahuannya. Tidak berlaku berkebalikannya,

seseorang dengan pendidikan rendah bukan berarti berpengetahuan

rendah pula, karena pengetahuan tidak hanya didapatkan dari

pendidikan formal, akan tetapi dapat diperoleh melalui pendidikan non

formal.

b. Informasi/media massa

Informasi dapat menghasilkan perubahan atau peningkatan

pengetahuan, dengan berkembangnya teknologi tentang inovasi baru.


24

Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal dianggap sebagai

landasaan kognitif baru bagi terbentuknya pengetahuan terhadap hal

tersebut.

c. Sosial, budaya, dan ekonomi

Status sosial ekonomi berpengaruh terhadap pengetahuan seseorang,

semakin tinggi status sosial ekonomi makan semakin berpengaruh

terhadap pengetahuan karena dengan status sosial ekonomi tinggi dapat

menentukan tersedianya suatu fasilitas yang diperlukan. Kebiasaan dan

tradisi juga dapat mempengaruhi pengetahuan walaupun tidak

melakukan, karena dilakukan tanpa penalaran yang dilakukan baik atau

tidak.

d. Lingkungan

Lingkungan fisik, biologis, maupun sosial akan berpengaruh

terhadap pengetahuan seseorang apabila adanya interaksi timbal balik

ataupun tidak, yang akan direspons sebagai pengetahuan oleh setiap

individu.

e. Pengalaman

Pengalaman akan berpengaruh terhadap pengatahuan seseorang

dengan cara mengulang kembali pengetahuan yang diperoleh dalam

memecahkan masalah yang dihadapi masa lalu. Semakin banyaknya

pengalaman maka semakin banyak pengetahuan.


25

f. Usia

Semakin bertambah usia, pengetahuan yang diperolehnya semakin

membaik. Usia berpengaruh dengan daya tangkap dan pola pikir

seseorang, semakin bertambah usia semakin berkembang pula daya

tangkap dan pola pikirnya, semakin banyak informasi yang didapat,

dan semakin banyak hal yang dialami sehingga berpengaruh terhadap

pengetahuan (Budiman & Riyanto, 2013).

Kategori usia menurut Kementerian Kesehatan RI (2010), sebagai

berikut :

a. Remaja Awal 12 – 16 tahun

b. Remaja Akhir 17 – 25 tahun

c. Dewasa Awal 26 – 35 tahun

d. Dewasa Akhir 36 – 45 tahun

e. Lansia Awal 46 – 55 tahun

f. Lansia Akhir 56 – 65 tahun

2.4. Pengukuran Tingkat Pengetahuan

Tingkat pengetahuan dapat diukur dengan cara melakukan

wawancara atau pengisian angket kepada subjek atau responden dengan

menanyakan materi yang akan dilakukan pengukuran dan disesuaikan

dengan tingkatannya (Notoadmodjo, 2012). Pengukuran tingkat

pengetahuan dapat diketahui dalam bentuk bukti atau jawaban, baik secara

lisan maupun tulisan yang diungkapkan oleh responden. Secara umum,

pertanyaan dapat dikelompokkan menjadi 2 jenis yaitu pertanyaan


26

subjektif, misal jenis pertanyaan lisan dan pertanyaan objektif, misal

pertanyaan pilihan ganda (multiple choice), betul-salah, dan pertanyaan

menjodohkan (Arikunto, 2016).

2.5. Kategori Tingkat Pengetahuan

Menurut Arikunto (2016), kategori tingkat pengetahuan seseorang

dibagi menjadi tiga tingkatan yang didasarkan nilai persentase, yaitu:

a. Kategori Baik dengan nilai persentase 76-100%

b. Kategori Cukup dengan nilai persentase 56-75%

c. Kategori Kurang dengan nilai persentase 0-56%


27

B. Landasan Teori

Gigi bungsu seharusnya erupsi dan beroklusi dengan baik dengan gigi

antagonisnya pada lengkung gigi atas atau bawah dan terletak di dalam kurva

lengkung gigi yang sama dengan gigi-gigi lainnya, serta mahkota gigi bungsu tidak

tertutup oleh jaringan apapun. Dalam kondisi klinis, gigi bungsi yang erupsi normal

jarang terjadi. Waktu erupsi gigi bungsu dimulai pada usia 17 tahun dan erupsi

sempurna pada usia 18-25 tahun. Tahap erupsi gigi bungsu sama seperti tahap

erupsi gigi-gigi lainnya, yang diawali dengan masih ditutupi tulang alveolar hingga

proses erupsi lengkap di dataran oklusal. Gigi bungsu yang tidak dapat atau gagal

erupsi lebih dari satu tahun dari waktu erupsi sempurna, dicegah oleh jaringan keras

dan lunak yang berdekatan dan menjadi patologis yang memerlukan perawatan,

dianggap sebagai gigi bungsu yang mengalami impaksi. Gigi bungsu yang impaksi

disebabkan oleh faktor yang dianggap faktor utama, yaitu ruang yang tersedia di

belakang ruang gigi molar kedua, sudut kemiringan gigi bungsu, dan ruang yang

tersedia di depan gigi bungsu, serta diikuti oleh faktor lokal dan sistemik. Gejala

yang timbul karena gigi bungsu memerlukan pemeriksaan fisik dan radiografi untuk

mengetahui apakah gejala terkait dengan adanya impaksi, yang kemudian

dikategorikan menjadi 4 kategori klinis yang berdasarkan gejala dan patologi.

Dampak yang dapat ditimbulkan oleh gigi bungsu impaksi yaitu myalgia, karies

dentin gigi bungsu, karies dentin gigi molar kedua, kista dentigerous,

ameloblastoma, pericoronitis, periodontitis, dan abses periodontal.

Tingkat pengetahuan merupakan bentuk pemahaman seseorang terhadap

sesuatu dengan ditandai kemampuannya dalam observasi, memilih, mengolah, dan


28

mendeskripsikan sesuatu. Terdapat faktor yang mempengaruhi pengetahuan,

termasuk tingkat usia dan pengaruh media sosial. Semakin bertambah usia,

pengetahuan yang diperolehnya semakin membaik, karena usia berhubungan

dengan daya tangkap dan pola pikir seseorang maka, semakin bertambah usia,

semakin bertambah informasi dan hal yang dialami, ditambah dengan adanya

internet atau sosial media yang menjadi alternatif saat ini untuk mencari sumber

informasi kesehatan, terutama kesehatan gigi dan mulut, sehingga berpengaruh

terhadap pengetahuan. Pentingnya pengetahuan masyarakat mengenai gangguan

akibat adanya gigi bungsu impaksi sangat penting dilakukan untuk dapat

memprediksi status erupsi gigi bungsu dan menjadi panduan.


29

C. Kerangka Teori

Dampak Adanya Gigi


Bungsu Impaksi
Penyebab Gigi Bungsu
Impaksi • Myalgia
• Karies dentin gigi
• Faktor utama: gigi
Impaksi bungsu
bungsu erupsi di
surplus space • Karies dentin gigi
molar kedua
• Faktor lokal
• Kista dentigerous
• Faktor sistemik
• Ameloblastoma
• Pericoronitis
• Periodontitis
• Abses Periodontal

Masyarakat Surakarta

Usia 17-55 Tahun Tingkat Pengetahuan

Anda mungkin juga menyukai