1. (fayza) apakah terdapat hubungan antara keluhan demam, diare, pilek dengan keluhan
yang sekarang
Beberapa penelitian dan studi kasus sebelumnya menunjukkan bahwa SGB yang
dipicu oleh dengue tidak menimbulkan gejala berat dan tidak memiliki karakteristik
yang khusus. Pada semua kasus SGB yang terjadi pada pasien dengan demam dengue
dilaporkan seluruh pasien mengalami perbaikan sempurna. SGB memiliki gambaran
klinis yang luas dengan berbagai ragam tipe, mulai dari selflimiting sampai yang
dapat menyebabkan gagal nafas. Perjalanan klinis SGB karena infeksi dengue mirip
dengan SGB yang disebabkan dengan infeksi lainnya yang lebih umum (seperti C.
jejuni atau CMV) di mana manifestasi neurologis dapat muncul setelah terjadinya
infeksi. Pada dengue sendiri biasanya defisit neurologis akan muncul pada fase
pemulihan dengue, yaitu hari ke 3 sampai 3 bulan dari pertama kali terinfeksi dengue.
Pada pasien ini setelah dilakukan anamnesis di mana pasien demam, dan sakit kepala,
pada pemeriksaan CBC (complete blood count) juga didapatkan thrombositopenia,
sehingga kecurigaan infeksi dengue harus dilakukan pemeriksaan selanjutnya, yaitu
pemeriksaan NS-1 yang hasilnya juga positif sehingga demam dengue dapat
ditegakkan. Pada kasus ini, onset paraparesis tungkai bawah terjadi pada hari ke 3
demam, yaitu saat memasuki masa recovery demam dengue. Hal ini sesuai dengan
laporan kasus sebelumnya.
Mekanisme SGB yang terjadi setelah infeksi dengue masih belum diketahui dengan
pasti, namun terdapat bukti bahwa ini merupakan penyakit neurologis yang bersifat
immunemediated. Substansi pro inflamasi untuk melawan DENV (Dengue virus)
seperti TNF (tumor necrosis factor), komplemen, dan interleukin memiliki peran
penting pada pathogenesis terjadinya SGB. Respon imun yang dipicu oleh demam
dengue membangkitkan respon imun yang bereaksi dengan komponen saraf tepi
karena berbagi epitope (mimicry molecules). Respon imun ini dapat langsung terjadi
pada myelin atau akson saraf tepi. SGB merupakan manifestasi neurologis sekunder
dari demam dengue karena reaksi autoimun. Rekasi imun ini merupakan cell mediated
yang dinisiasi oleh virus dengue sendiri dengan target myelon atau akson. Manifestasi
neurologis setelah infeksi dengue yang bersifat immune-mediated termasuk transverse
myelitis dan acute disseminated encephalomyelitis (ADEM). Komplikasi neurologis
infeksi dengue pada beberapa tahun terakhir mungkin disebabkan karena perbahan
karakteristik virus dengue, dari serotype DENV1 (dengue virus-1) sampai DENV4
(dengue virus-4) yang menyebabkan manifestasi klinis berbeda juga. Penanganan
SGB yang dipicu karena virus dengue sebaiknya dilakukan seperti penanganan SGB
pada umumnya, namun kebanyakan pasien SGB setelah terinfeksi virus dengue
menunjukan perbaikan tanpa defisit neurologis, jadi pada perawatannya cukup
diberikan pengobatan yang simptomatik. Biasanya di berikan steroid intravena, tetapi
memang tingkan keefektivannya kurang terbukti baik. Pada kasus yang lebih berat
diberikan IVIG (intravenous immunoglobulin). Pada pasien ini, karena keterbatasan
biaya tidak diberikan IVIG (intravenous immunoglobulin). maupun plasma-pharesis.
Pasien ini diberikan dexamethasone 3 x 5 mg IV. Pada hari ketiga perawatan, pasien
menunjukan perbaikan klinis dengan kekuatan motorik menjadi 4. Pada hari keenam
perawatan, pasien sudah bisa berjalan, kekuatan motorik 5 dan akhirnya dipulangkan.
Pasien juga mendapatkan mecobalamine 3 x 500 mg setiap harinya dari hari pertama
perawatan untuk membantu perbaikan saraf
Sindrom-Guillain Barre Pada Pasien Demam Dengue Nessie Edgina Hans , Vivien
PuspitasariInternal Medicine Department, Faculty of Medicine, Pelita Harapan University
2. (riskian) apa yang menyebabkan terjadi kesemutan di jari tangan, kaki hingga
pergelangan tangan dan diatas mata kaki diikuti nyeri pinggang dengan kelemahan
keempat tungkai
Keluhan kesemutan, nyeri pinggang, dan kelemahan pada keempat anggota gerak
dapat menunjukkan adanya masalah neurologis. Dalam kasus ini, gejala tersebut
mungkin terkait dengan penyakit yang mempengaruhi sistem saraf tepi atau sistem
saraf pusat.
Fase Plateau
Fase progresif akan diikuti oleh fase plateau yang stabil dimana tidak didapati baik
perburukan ataupun perbaikan gejala. Serangan telah berhenti namun derajat
kelemahan tetap ada sampai dimulai fase berikutnya, yaitu fase penyembuhan. Pada
pasien biasanya didapati nyeri hebat akibat peradangan saraf serta kekakuan otot dan
sendi. Keadaan umum penderita sangat lemah dan membutuhkan istirahat, perawatan
khusus, serta fisioterapi. Terapi ditujukan terutama dalam memperbaiki fungsi yang
hilang atau mempertahankan fungsi yang masih ada. Pengawasan terhadap tekanan
darah, irama jantung, pernafasan, nutrisi, keseimbangan cairan, serta status generalis
perlu dilakukan dengan rutin. Imunoterapi dapat dimulai di fase ini. Lama fase ini
tidak dapat diprediksikan; beberapa pasien langsung mencapai fase penyembuhan
setelah fase infeksi, sementara pasien lain mungkin bertahan di fase plateau selama
beberapa bulan, sebelum dimulainya fase penyembuhan.
Fase Penyembuhan
Fase yang terakhir adalah fase penyembuhan dimana terjadi perbaikan dan
penyembuhan spontan. Sistem imun berhenti memproduksi antibodi yang
menghancurkan mielin, dan gejala berangsur-angsur menghilang, penyembuhan saraf
mulai terjadi. Terapi pada fase ini ditujukan terutama pada terapi fisik, untuk
membentuk otot pasien dan mendapatkan kekuatan dan pergerakan otot yang normal
dan optimal. Kadang masih didapati nyeri, yang berasal dari sel-sel saraf yang
beregenerasi. Lama fase ini juga bervariasi, dan dapat muncul relaps. Kebanyakan
penderita mampu bekerja kembali dalam 3-6 bulan, namun pasien lainnya tetap
menunjukkan gejala ringan sampai waktu yang lama setelah penyembuhan. Derajat
penyembuhan tergantung dari derajat kerusakan saraf yang terjadi pada fase infeksi.
Sumber :
ASPEK KLINIS DAN PENATALAKSANAAN GUILLAIN–BARRÉ SYNDROME
dr. I.A. Sri Wijayanti, M. Biomed, Sp. S BAGIAN/SMF NEUROLOGI FK UNUD /
RSUP SANGLAH 2016
JAWABAN 3
Manifetasi klinis GBS tergantung pada lokasi dan keparahan inflamasi yang terjadi. GBS
dapat menimbulkan gejala-gejala di daerah multifokal dari infiltrasi sel monuklear pada saraf
perifer. Pada subtipe AIDP (Acute inflammatory demyelinating polyradiculopathy), mielin
lebih dominan mengalami kerusakan, sedangkan pada AMAN (Acute motor axonal
neuropathy), nodus ranvier merupakan target inflamasi.5 Guillain–Barré syndrome
menimbulkan paralisis akut yang dimulai dengan rasa baal, parestesia pada bagian distal dan
diikuti secara cepat oleh paralisis ke empat ekstremitas yang bersifat ascendens. Parestesia ini
biasanya bersifat bilateral. Badan, bulbar, dan otot respirasi mungkin saja terkena. Pasien
mungkin tidak dapat berdiri atau berjalan. Refleks fisiologis akan menurun dan kemudian
menghilang sama sekali.6 Kerusakan saraf motorik biasanya dimulai dari ekstremitas bawah
dan menyebar secara progresif, dalam hitungan jam, hari maupun minggu, ke ekstremitas
atas, tubuh dan saraf pusat
Kelemahan lanjut yang dapat terjadi yaitu melibatkan otot-otot respiratorik dan sekitar 25%
pasien yang dirawat membutuhkan ventilasi mekanik. Umumnya, kegagalan respirasi terjadi
pada pasien dengan progresi gejala yang cepat, kelemahan anggota gerak atas, disfungsi
otonom, atau kelumpuhan bulbar. Kelemahan biasanya mencapai puncak pada minggu kedua,
diikuti dengan fase plateu dengan durasi yang bervariasi sebelum terjadinya resolusi atau
stabilisasi dengan gejala disabilitas sisa. Keterlibatan saraf pusat, muncul pada 50% kasus,
biasanya meliputi kelumpuhan otot fasial, orofaring dan okulomotor. Kerusakan tersebut
dapat menimbulkan gejala berupa disfagia, kesulitan dalam berbicara, dan yang paling sering
(50%) adalah bilateral facial palsy.6,5 Pada GBS juga terjadi kerusakan pada saraf sensoris
namun kurang signifikan dibandingkan dengan kelemahan pada otot.
Saraf yang diserang biasanya proprioseptif dan sensasi getar. Gejala yang dirasakan penderita
biasanya berupa parestesia dan disestesia pada ekstremitas distal. Gejala sensoris ini
umumnya ringan, kecuali pada pasien dengan GBS subtipe AMSAN (Acute motor-sensory
axonal neuropathy).5,6 Rasa nyeri dan kram juga dapat menyertai kelemahan otot yang
terjadi terutama pada anak. Nyeri dirasakan terutama saat bergerak terjadi pada 50 – 89%
pasien GBS. Nyeri yang dideskripsikan berupa nyeri berat, dalam, seperti aching atau
crampin/kaku pada otot yang terserang, sering memburuk pada malam hari. Nyeri bersifat
nosiseptif dan/atau neuropatik. Rasa sakit ini biasanya merupakan manifestasi awal pada
lebih dari 50% pasien yang dapat menyebabkan diagnosis GBS menjadi tertunda.
Kelainan saraf otonom tidak jarang terjadi dan dapat menimbulkan kematian. Gejala
otonom terjadi pada dua per tiga pasien dan meliputi instabilitas tekanan darah
(hipotensi atau hipertensi), takikardia, aritmia jantung bahkan cardiac arrest,
ortostasis, facial flushing, retensi urin, gangguan hidrosis dan penurunan motilitas
gastrointestinal. Hipertensi terjadi pada 10–30 % pasien sedangkan aritmia terjadi
pada 30 % dari pasien.5,6 Gejala-gejala tambahan yang biasanya menyertai GBS
adalah kesulitan untuk mulai BAK, inkontinensia urin dan alvi
ASPEK KLINIS DAN PENATALAKSANAAN GUILLAIN–BARRÉ SYNDROME
dr. I.A. Sri Wijayanti, M. Biomed, Sp. S BAGIAN/SMF NEUROLOGI FK UNUD /
RSUP SANGLAH 2016
Parestesi tipe gloves and stocking: Pemeriksaan sensorik pada keempat ekstremitas
menunjukkan adanya parestesi tipe gloves and stocking. Hal ini mengindikasikan
adanya kelainan sensorik yang melibatkan semua jari tangan dan kaki, menyerupai
sarung tangan dan kaus kaki.
Imunoterapi yang lain yaitu pemberian IVIG bila plasmaferesis tidak tersedia. IVIG
berperan dalam menetralisir patogenik antibodi dan menghambat aktivasi komplen
yang dimediasi oleh autoantibodi.
Standar terapi menggunakan IVIG adalah 0,4/kg berat badan selama 5 hari.5
Kombinasi plasmaferesis dan IVIG belum menunjukkan hasil yang lebih baik ataupun
mempercepat kesembuhan pasien.1,5 Hal ini disebabkan secara teoritis bila IVIG
diberikan terlebih dahulu baru kemudian dilakukan plasmaferesis, maka
immunoglobulin yang masuk akan ikut terbuang.