Anda di halaman 1dari 9

LI SGD LBM 3

1. (fayza) apakah terdapat hubungan antara keluhan demam, diare, pilek dengan keluhan
yang sekarang
Beberapa penelitian dan studi kasus sebelumnya menunjukkan bahwa SGB yang
dipicu oleh dengue tidak menimbulkan gejala berat dan tidak memiliki karakteristik
yang khusus. Pada semua kasus SGB yang terjadi pada pasien dengan demam dengue
dilaporkan seluruh pasien mengalami perbaikan sempurna. SGB memiliki gambaran
klinis yang luas dengan berbagai ragam tipe, mulai dari selflimiting sampai yang
dapat menyebabkan gagal nafas. Perjalanan klinis SGB karena infeksi dengue mirip
dengan SGB yang disebabkan dengan infeksi lainnya yang lebih umum (seperti C.
jejuni atau CMV) di mana manifestasi neurologis dapat muncul setelah terjadinya
infeksi. Pada dengue sendiri biasanya defisit neurologis akan muncul pada fase
pemulihan dengue, yaitu hari ke 3 sampai 3 bulan dari pertama kali terinfeksi dengue.
Pada pasien ini setelah dilakukan anamnesis di mana pasien demam, dan sakit kepala,
pada pemeriksaan CBC (complete blood count) juga didapatkan thrombositopenia,
sehingga kecurigaan infeksi dengue harus dilakukan pemeriksaan selanjutnya, yaitu
pemeriksaan NS-1 yang hasilnya juga positif sehingga demam dengue dapat
ditegakkan. Pada kasus ini, onset paraparesis tungkai bawah terjadi pada hari ke 3
demam, yaitu saat memasuki masa recovery demam dengue. Hal ini sesuai dengan
laporan kasus sebelumnya.

Mekanisme SGB yang terjadi setelah infeksi dengue masih belum diketahui dengan
pasti, namun terdapat bukti bahwa ini merupakan penyakit neurologis yang bersifat
immunemediated. Substansi pro inflamasi untuk melawan DENV (Dengue virus)
seperti TNF (tumor necrosis factor), komplemen, dan interleukin memiliki peran
penting pada pathogenesis terjadinya SGB. Respon imun yang dipicu oleh demam
dengue membangkitkan respon imun yang bereaksi dengan komponen saraf tepi
karena berbagi epitope (mimicry molecules). Respon imun ini dapat langsung terjadi
pada myelin atau akson saraf tepi. SGB merupakan manifestasi neurologis sekunder
dari demam dengue karena reaksi autoimun. Rekasi imun ini merupakan cell mediated
yang dinisiasi oleh virus dengue sendiri dengan target myelon atau akson. Manifestasi
neurologis setelah infeksi dengue yang bersifat immune-mediated termasuk transverse
myelitis dan acute disseminated encephalomyelitis (ADEM). Komplikasi neurologis
infeksi dengue pada beberapa tahun terakhir mungkin disebabkan karena perbahan
karakteristik virus dengue, dari serotype DENV1 (dengue virus-1) sampai DENV4
(dengue virus-4) yang menyebabkan manifestasi klinis berbeda juga. Penanganan
SGB yang dipicu karena virus dengue sebaiknya dilakukan seperti penanganan SGB
pada umumnya, namun kebanyakan pasien SGB setelah terinfeksi virus dengue
menunjukan perbaikan tanpa defisit neurologis, jadi pada perawatannya cukup
diberikan pengobatan yang simptomatik. Biasanya di berikan steroid intravena, tetapi
memang tingkan keefektivannya kurang terbukti baik. Pada kasus yang lebih berat
diberikan IVIG (intravenous immunoglobulin). Pada pasien ini, karena keterbatasan
biaya tidak diberikan IVIG (intravenous immunoglobulin). maupun plasma-pharesis.
Pasien ini diberikan dexamethasone 3 x 5 mg IV. Pada hari ketiga perawatan, pasien
menunjukan perbaikan klinis dengan kekuatan motorik menjadi 4. Pada hari keenam
perawatan, pasien sudah bisa berjalan, kekuatan motorik 5 dan akhirnya dipulangkan.
Pasien juga mendapatkan mecobalamine 3 x 500 mg setiap harinya dari hari pertama
perawatan untuk membantu perbaikan saraf
Sindrom-Guillain Barre Pada Pasien Demam Dengue Nessie Edgina Hans , Vivien
PuspitasariInternal Medicine Department, Faculty of Medicine, Pelita Harapan University

2. (riskian) apa yang menyebabkan terjadi kesemutan di jari tangan, kaki hingga
pergelangan tangan dan diatas mata kaki diikuti nyeri pinggang dengan kelemahan
keempat tungkai

Keluhan kesemutan, nyeri pinggang, dan kelemahan pada keempat anggota gerak
dapat menunjukkan adanya masalah neurologis. Dalam kasus ini, gejala tersebut
mungkin terkait dengan penyakit yang mempengaruhi sistem saraf tepi atau sistem
saraf pusat.

Salah satu kemungkinan penyebab yang mungkin adalah sindrom Guillain-Barré


(GBS). GBS adalah penyakit autoimun yang menyebabkan peradangan pada saraf
tepi. Gejalanya dapat dimulai dengan kesemutan, kelemahan, dan nyeri pada tangan
dan kaki, kemudian berkembang menjadi kelemahan yang lebih parah dan dapat
melibatkan keempat anggota gerak. Gejala-gejala tersebut biasanya memburuk secara
bertahap selama beberapa minggu

3. (savine) apa interpretasi pemeriksaan yang ada di scenario

Berdasarkan interpretasi pemeriksaan yang dilakukan pada skenario tersebut,


beberapa temuan yang dapat dijelaskan adalah sebagai berikut:

 Keadaan umum tampak lemah: Menunjukkan adanya kelemahan umum pada


pasien.
 Tanda vital: Tekanan darah (TD) dalam rentang normal (110/70 mmHg), nadi
(nadi) 90, frekuensi pernapasan (RR) meningkat (28 kali per menit), dan suhu
normal (36,8°C). Tanda-tanda vital ini memberikan informasi tentang kondisi
umum pasien.
 Pemeriksaan inspeksi dan palpasi vertebrae dan paravertebra: Tidak ada
adanya deformitas tulang belakang (gibbus), tanda inflamasi, atau spasme otot
paravertebra. Hal ini mengindikasikan tidak adanya kelainan struktural atau
peradangan pada tulang belakang.
 Pemeriksaan motorik ekstremitas atas dan bawah: Pasien hanya mampu
melawan gravitasi, menunjukkan adanya kelemahan otot (hipotonus) pada
keempat ekstremitas. Arefleks (tidak adanya refleks) dan refleks patologis
yang mencurigakan tidak terdeteksi. Klonus juga tidak terlihat. Temuan ini
mengindikasikan adanya kelainan pada sistem saraf tepi yang menyebabkan
kelemahan otot.
 Pemeriksaan sensorik raba dan nyeri pada keempat ekstremitas: Terdapat
keluhan gloves and stocking parestesi, yang berarti pasien mengalami sensasi
kesemutan atau mati rasa pada area tangan dan kaki yang melibatkan seluruh
permukaan ekstremitas. Hal ini mengindikasikan adanya gangguan sensorik
yang melibatkan saraf tepi.
 Pemeriksaan nn. Craniales: Tidak ada kelainan yang mencurigakan pada
pemeriksaan ini. Nn. Craniales mengacu pada pasangan saraf yang keluar
langsung dari otak dan batang otak.
 Berdasarkan temuan tersebut, interpretasi awal adalah adanya kelainan pada
sistem saraf tepi yang menyebabkan kelemahan, hipotonus, arefleks, dan
gangguan sensorik pada pasien. Kombinasi gejala ini dapat mengarah pada
kemungkinan sindrom Guillain-Barré (GBS)

4. (charisma) bagaimana alur penegakan diagnosis kasus


Diagnosis GBS dapat ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik dibantu
dengan pemeriksaan penunjang laboratorium. Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan
pemeriksaan neurologis meliputi sensibilitas, reflek fisiologis, refleks patologis dan
derajat kelumpuhan motoris. Pemeriksaan profil CSF (cerebrospinal fluid) melalui
pungsi lumbal untuk melihat adanya kenaikan protein dan jumlah sel. Profil CSF
dapat menunjukkan hasil normal pada 48 jam pertama onset GBS. Kenaikan akan
terjadi pada akhir minggu kedua sampai mencapai puncak dalam 4 -6 minggu
Pemeriksaan elektrofisiologis dilakukan menggunakan Electromyogram (EMG) dan
Nerve Conduction Velocity (NCV). NCV akan menganalisa kecepatan impuls dan
EMG akan merekam aktivitas otot sehingga mampu mendeteksi kelemahan reflek dan
respon saraf
Diagnosis
Diagnosis GBS terutama ditegakkan dari temuan klinis dan pemeriksaan penunjang.
Perjalanan penyakit GBS dapat dibagi menjadi 3 fase, yakn
Fase Progresif
Pada umumnya, fase progresif berlangsung selama dua sampai tiga minggu sejak
timbulnya gejala awal sampai gejala menetap yang dikenal sebagai “titik nadir”. Pada
fase ini timbul nyeri, kelemahan bersifat progresif dan gangguan sensorik. Derajat
keparahan gejala bervariasi dan tergantung seberapa berat serangan yang muncul pada
penderita. Penatalaksanaan secepatnya akan mempersingkat transisi menuju fase
penyembuhan, dan mengurangi resiko kerusakan fisik yang permanen

Fase Plateau
Fase progresif akan diikuti oleh fase plateau yang stabil dimana tidak didapati baik
perburukan ataupun perbaikan gejala. Serangan telah berhenti namun derajat
kelemahan tetap ada sampai dimulai fase berikutnya, yaitu fase penyembuhan. Pada
pasien biasanya didapati nyeri hebat akibat peradangan saraf serta kekakuan otot dan
sendi. Keadaan umum penderita sangat lemah dan membutuhkan istirahat, perawatan
khusus, serta fisioterapi. Terapi ditujukan terutama dalam memperbaiki fungsi yang
hilang atau mempertahankan fungsi yang masih ada. Pengawasan terhadap tekanan
darah, irama jantung, pernafasan, nutrisi, keseimbangan cairan, serta status generalis
perlu dilakukan dengan rutin. Imunoterapi dapat dimulai di fase ini. Lama fase ini
tidak dapat diprediksikan; beberapa pasien langsung mencapai fase penyembuhan
setelah fase infeksi, sementara pasien lain mungkin bertahan di fase plateau selama
beberapa bulan, sebelum dimulainya fase penyembuhan.

Fase Penyembuhan
Fase yang terakhir adalah fase penyembuhan dimana terjadi perbaikan dan
penyembuhan spontan. Sistem imun berhenti memproduksi antibodi yang
menghancurkan mielin, dan gejala berangsur-angsur menghilang, penyembuhan saraf
mulai terjadi. Terapi pada fase ini ditujukan terutama pada terapi fisik, untuk
membentuk otot pasien dan mendapatkan kekuatan dan pergerakan otot yang normal
dan optimal. Kadang masih didapati nyeri, yang berasal dari sel-sel saraf yang
beregenerasi. Lama fase ini juga bervariasi, dan dapat muncul relaps. Kebanyakan
penderita mampu bekerja kembali dalam 3-6 bulan, namun pasien lainnya tetap
menunjukkan gejala ringan sampai waktu yang lama setelah penyembuhan. Derajat
penyembuhan tergantung dari derajat kerusakan saraf yang terjadi pada fase infeksi.

Sumber :
ASPEK KLINIS DAN PENATALAKSANAAN GUILLAIN–BARRÉ SYNDROME
dr. I.A. Sri Wijayanti, M. Biomed, Sp. S BAGIAN/SMF NEUROLOGI FK UNUD /
RSUP SANGLAH 2016

5. (abdul) bagaimana diagnosis banding kasus dengan manifestasi klinis kelemahan


LMN di keempat ekstremitas
indroma Guillain-Barre ini didiagnosis banding dengan :
1. Poliomyelitis
Penyakit ini ditandai dengan adanya demam dan myalgia yang berat, diikuti dengan
kelumpuhan otot tipe flaksid yang asimetris. Pada cairan serebrospinal dijumpai
pleocytosis dan tidak dijumpai keterlibatan sensorik.
2. Botulism
Sering terjadi pada kelompok yang mengkonsumsi makanan kaleng. Gejala diawali
dengan diplopia.
3. Neuropati logam berat
Onset kelemahan lebih lambat. Pada kebanyakan kasus dijumpai riwayat terpapar
logam berat di daerah industri.
4. Paralisis periodik hipo atau hiperkalemik
Onset yang tiba – tiba dari paralisis general dengan disertai salah satu apakah hipo
atau hiperkalemik
5. Polymyositis akut
Dijumpai kelemahan simetris otot proximal dengan onset akut. Ruam sering didapati
pada dermatomysitis. Laju endap darah dan level creatine phosphokinase meningkat.
6. Myasthenia gravis
Ptosis dan kelemahan okulomotor yang merupakan gambaran SGB pada beberapa
kasus dapat menyerupai myasthenia gravis, tetapi pada perjalanan penyakit
selanjutnya tidak dijumpai gangguan sensoris, reflek tendon
SINDROMA GUILLAIN-BARRE Dr. IRINA KEMALA NST DEPARTEMEN
NEUROLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN USU / RSUP H. ADAM MALIK
MEDAN 2014

6. (Calista) apa manifestasi klinis dari kasus di scenario

JAWABAN 3
Manifetasi klinis GBS tergantung pada lokasi dan keparahan inflamasi yang terjadi. GBS
dapat menimbulkan gejala-gejala di daerah multifokal dari infiltrasi sel monuklear pada saraf
perifer. Pada subtipe AIDP (Acute inflammatory demyelinating polyradiculopathy), mielin
lebih dominan mengalami kerusakan, sedangkan pada AMAN (Acute motor axonal
neuropathy), nodus ranvier merupakan target inflamasi.5 Guillain–Barré syndrome
menimbulkan paralisis akut yang dimulai dengan rasa baal, parestesia pada bagian distal dan
diikuti secara cepat oleh paralisis ke empat ekstremitas yang bersifat ascendens. Parestesia ini
biasanya bersifat bilateral. Badan, bulbar, dan otot respirasi mungkin saja terkena. Pasien
mungkin tidak dapat berdiri atau berjalan. Refleks fisiologis akan menurun dan kemudian
menghilang sama sekali.6 Kerusakan saraf motorik biasanya dimulai dari ekstremitas bawah
dan menyebar secara progresif, dalam hitungan jam, hari maupun minggu, ke ekstremitas
atas, tubuh dan saraf pusat
Kelemahan lanjut yang dapat terjadi yaitu melibatkan otot-otot respiratorik dan sekitar 25%
pasien yang dirawat membutuhkan ventilasi mekanik. Umumnya, kegagalan respirasi terjadi
pada pasien dengan progresi gejala yang cepat, kelemahan anggota gerak atas, disfungsi
otonom, atau kelumpuhan bulbar. Kelemahan biasanya mencapai puncak pada minggu kedua,
diikuti dengan fase plateu dengan durasi yang bervariasi sebelum terjadinya resolusi atau
stabilisasi dengan gejala disabilitas sisa. Keterlibatan saraf pusat, muncul pada 50% kasus,
biasanya meliputi kelumpuhan otot fasial, orofaring dan okulomotor. Kerusakan tersebut
dapat menimbulkan gejala berupa disfagia, kesulitan dalam berbicara, dan yang paling sering
(50%) adalah bilateral facial palsy.6,5 Pada GBS juga terjadi kerusakan pada saraf sensoris
namun kurang signifikan dibandingkan dengan kelemahan pada otot.
Saraf yang diserang biasanya proprioseptif dan sensasi getar. Gejala yang dirasakan penderita
biasanya berupa parestesia dan disestesia pada ekstremitas distal. Gejala sensoris ini
umumnya ringan, kecuali pada pasien dengan GBS subtipe AMSAN (Acute motor-sensory
axonal neuropathy).5,6 Rasa nyeri dan kram juga dapat menyertai kelemahan otot yang
terjadi terutama pada anak. Nyeri dirasakan terutama saat bergerak terjadi pada 50 – 89%
pasien GBS. Nyeri yang dideskripsikan berupa nyeri berat, dalam, seperti aching atau
crampin/kaku pada otot yang terserang, sering memburuk pada malam hari. Nyeri bersifat
nosiseptif dan/atau neuropatik. Rasa sakit ini biasanya merupakan manifestasi awal pada
lebih dari 50% pasien yang dapat menyebabkan diagnosis GBS menjadi tertunda.
Kelainan saraf otonom tidak jarang terjadi dan dapat menimbulkan kematian. Gejala
otonom terjadi pada dua per tiga pasien dan meliputi instabilitas tekanan darah
(hipotensi atau hipertensi), takikardia, aritmia jantung bahkan cardiac arrest,
ortostasis, facial flushing, retensi urin, gangguan hidrosis dan penurunan motilitas
gastrointestinal. Hipertensi terjadi pada 10–30 % pasien sedangkan aritmia terjadi
pada 30 % dari pasien.5,6 Gejala-gejala tambahan yang biasanya menyertai GBS
adalah kesulitan untuk mulai BAK, inkontinensia urin dan alvi
ASPEK KLINIS DAN PENATALAKSANAAN GUILLAIN–BARRÉ SYNDROME
dr. I.A. Sri Wijayanti, M. Biomed, Sp. S BAGIAN/SMF NEUROLOGI FK UNUD /
RSUP SANGLAH 2016

7. (jily) apa patogenensis dan patofisiologi kasus di scenario


Pathogenesis
Organ penginfeksi menyebabkan respon imun humoral dan selular. Respon imun
humoral terjadi sebagai hasil dari aktivasi komplemen di bagian luar dari
plasmalemma sel Schwann. Respon imun seluler melibatkan makrofag dan sel T yang
menyerang myelin sehat di saraf perifer dan kranial, menyebabkan blok konduksi dari
impuls saraf.
Sindroma Guillain-Barre dipertimbangkan sebagai suatu penyakit autoimmune,
dimana sistem imun secara “keliru” menyerang myelin atau akson, saraf pembawa
signal dari dan menuju otak. Kekeliruan serangan imun ini dapat timbul akibat
permukaan C. jejuni mengandung polisakarida yang menyerupai glikokunjugat
jaringan saraf manusia. Kemiripan ini disebut “ molecular mimicry “, yang
didefinisikan sebagai pengenalan ganda oleh reseptor sel-B atau sel-T dari suatu
struktur mikroba dan suatu antigen host, dan merupakan mekanisme dimana infeksi
mencetuskan reaksi silang antibodi atau sel-T yang dapat menyebabkan penyakit
autoimun.
Sel T memegang peranan penting pada penyakit SGB, dimana sel T help merupakan
prasyarat yang penting untuk maturasi sel B dan produksi antibodi. Pada penderita
SGB, sel T Ganglioside-like epitopes berada pada dinding bakteri C.jejuni yang
dikenali oleh limfosit B. Limfosit menghasilkan antibodi yang bereaksi silang dengan
gangliosid GM1 yang ada pada myelin saraf tepi pasien SGB. Infeksi oleh organisme
lain juga dapat memicu respon antibodi yang sama. Perbedaan pola SGB
kemungkinan diakibatkan oleh keanekaragaman keterkaitan antara antibodi dan sel-T
dari spesifitas yang berbeda.
Gambar 1. Immunopathogenesis Sindroma Guillain Barre
SINDROMA GUILLAIN-BARRE Dr. IRINA KEMALA NST DEPARTEMEN
NEUROLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN USU / RSUP H. ADAM MALIK
MEDAN 2014

8. (April) bagaimana prognosis kasus di scenario


Diperkirakan 85% pasien SGB mencapai perbaikan fungsional penuh dalam waktu 6-
12 bulan, maksimal sampai 18 bulan setelah onset. Sekitar 7-15% mengalami sekuele
neurologis yang permanen. Angka mortalitas kurang dari 5%, dengan sepsis, emboli
paru, dan
cardiac arrest sebagai penyebabnya.
Beberapa faktor yang diduga sebagai faktor prognostic buruk SGB antara lain :
1. Umur ≥ 60th
2. Kecepatan perburukan klinis
3. Amplitudo konduksi saraf rendah pada saat stimulasi distal
4. Penggunaan ventilator yang lama.
Secara umum “poor long term prognosis” secara langsung berhubungan dengan
beratnya penyakit pada episode akut dan keterlambatan onset terapi spesifik.
SINDROMA GUILLAIN-BARRE Dr. IRINA KEMALA NST DEPARTEMEN
NEUROLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN USU / RSUP H. ADAM MALIK
MEDAN 2014

9. (wildan) apa variasi klinis kasus di scenario


Kelemahan keempat ekstremitas: Pasien mengalami kelemahan pada keempat
ekstremitasnya, yaitu tangan dan kaki. Kelemahan ini tampaknya progresif, dimulai
dengan kesemutan pada ujung-ujung jari tangan dan kaki, kemudian menyebar ke
pergelangan tangan dan di atas mata kaki. Kelemahan tersebut telah memburuk
sehingga pasien tidak mampu berjalan sendiri dan harus dipapah.
Nyeri pinggang: Pasien juga mengalami nyeri pinggang yang menjalar ke tungkai.
Nyeri ini dijalarkan ke keempat anggota gerak dan diikuti dengan kelemahan. Nyeri
pinggang yang dijalarkan ke tungkai dapat menunjukkan kemungkinan adanya
kelainan pada saraf spinal atau akar saraf spinal.

Keluhan sistemik sebelumnya: Pasien mengalami gejala sistemik sekitar 3 minggu


sebelumnya, termasuk demam, pilek, dan diare. Gejala ini kemudian membaik setelah
minum obat warung. Meskipun tidak terdapat hubungan langsung dengan keluhan
saat ini, informasi ini penting untuk memahami riwayat pasien dan mencari
kemungkinan infeksi sistemik sebagai pemicu reaksi autoimun.

Parestesi tipe gloves and stocking: Pemeriksaan sensorik pada keempat ekstremitas
menunjukkan adanya parestesi tipe gloves and stocking. Hal ini mengindikasikan
adanya kelainan sensorik yang melibatkan semua jari tangan dan kaki, menyerupai
sarung tangan dan kaus kaki.

Variasi klinis ini memberikan petunjuk tentang kemungkinan penyebab yang


mendasari gejala pasien. Namun, diagnosis yang tepat memerlukan evaluasi lebih
lanjut melalui pemeriksaan fisik, tes laboratorium, pencitraan, dan pemeriksaan
elektrofisiologi untuk mengidentifikasi penyebab yang mungkin seperti sindrom
Guillain-Barré, neuropati perifer, atau radikulopati

10. (ulya) bagaimana tatalaksana untuk kasus di scenario


Tatalaksana pada SGB dibagi menjadi dua yaitu perawatan umum dan terapi spesifik.
Perawatan umum berupa:
(1) Pengawasan fungsi paru secara teratur (kapasitas vital dan frekuensi nafas) setiap
2-4 jam, pada kondisi stabil setiap 6-12 jam.1 Pada kasus ini, sudah terjadi
kelumpuhan otot-otot pernafasan yang menyebabkan terjadinya gagal napas
sehingga pasien ini harus ditrakeostomi dan membutuhkan ventilasi mekanik. Gagal
napas merupakan kejadian komplikasi paling sering dari SGB.Karena itu pasien
membutuhkan perawatan di ICU.
(2) Pemantauan munculnya gangguan otonom secara teratur. Hal ini penting, karena
pada SGB sering terjadi disfungsi otonom, dan merupakan kontributor mayor
terhadap morbiditas dan mortalitas pada kasus yang tergantung ventilator.1
Gangguan otonom meliputi saraf simpatis dan parasimpatis yang berperan dalam
fungsi organ-organ tubuh seperti gangguan hemodinamik,selain itu bisa terjadi retensi
urin dan gangguan pencernaan (konstipasi).9 Oleh karena itu pada pasien ini
diberikan laktulosa dan dilakukan pemasangan kateter urin.
(3) Pengobatan untuk nyeri. Pasien SGB sebagianbesar mengalami gangguan sensoris
ditandai dengan gejala kesemutan, paraestesia, dan kram. Pemberianvitamin seperti
B1, B6, dan B12 merupakan neuroprotective agent sebagai terapi suportif pada pasien
SGB. Vitamin ini dapat meningkatkan perbaikan saraf/regenerasi akson selama fase
pemulihan SGB.
(4) Pencegahan munculnya tromboemboli. Tromboemboli merupakan komplikasi
sekunder dari imobilitas jangka panjang
(6) Pencegahan infeksi. Pada pasien SGB sangat seringmengalami infeksi yang
memicu terjadi sepsis. Sumber utama infeksi adalah paru-paru, saluran
kemih, dan akses vena sentral.
Pemberian antibiotik juga untuk mencegah infeksi lanjutan karena pasien ini memiliki
risiko tinggi terjadinya infeksi yaitu adanya pemasangan akses vena sentral, kateter,
NGT, dan penggunaan ventilator dan imobilitas jangka panjang. Pemberian
nebulisasi dan mukolitik juga diberikan karena pada pasien ini terdapat keluhan batuk
dan produksi lender yang banyak, selain itu juga bisa sebagai pencegahan terjadi
infeksi lanjutan pada paru

Terapi selanjutnya yaitu terapi spesifik, termasuk pemberian imunoterapi.


Plasmaferesis merupakan Teknik pemurnian darah ekstrakorporal untuk
mengeluarkan
partikel dengan berat molekul besar dari plasma. Pengeluaran autoantibodi sirkulasi,
kompleks imun, sitokin, dan mediator inflamasi lainnya dianggap sebagai dasar
mekanisme kerja proses ini. Indikasi plasmaferesis pada kasus SGB adalah paralisis
asenden yang ikut mengenai ekstremitas atas atau paralisis dengan derajat yang berat
penurunan parameter fungsional pulmoner atau sekitar 80% dari nilai normal dan
pemakaian respirator.
Jumlah plasma yang dikeluarkan per exchange adalah 40 – 50 ml/kg dalam waktu 7-
10 hari, dilakukan 4-5x exchange. Plasmaferesis dapat diberikan pada GBS dengan
derajat disabilitas yang bervariasi (ringan sampai berat) dan paling bermanfaat bila
dimulai
dalam 7 hari onset, namun setelah 30 hari juga masih memiliki manfaat memperbaiki
klinis. Pada plasmaferesis terjadi pertukaran dengan albumin atau Fresh Frozen
Plasma (Plasma).

Imunoterapi yang lain yaitu pemberian IVIG bila plasmaferesis tidak tersedia. IVIG
berperan dalam menetralisir patogenik antibodi dan menghambat aktivasi komplen
yang dimediasi oleh autoantibodi.
Standar terapi menggunakan IVIG adalah 0,4/kg berat badan selama 5 hari.5
Kombinasi plasmaferesis dan IVIG belum menunjukkan hasil yang lebih baik ataupun
mempercepat kesembuhan pasien.1,5 Hal ini disebabkan secara teoritis bila IVIG
diberikan terlebih dahulu baru kemudian dilakukan plasmaferesis, maka
immunoglobulin yang masuk akan ikut terbuang.

sumber : Sindrom Guillain-Barre dengan Komplikasi ( Gagal Nafas, Henti


Jantung dan Sepsis) Jurnal Aksona, Volume 1 Nomor 2, Juli 2021: 81-91

Anda mungkin juga menyukai