A. MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinis demam yang lama dan kejang diakibatkan oleh kerusakan
langsung pada selaput otak dan vena di duramater atau arachnoid berupa
tromboflebitis,
robekan-robekan
kecil
dan
perluasan
infeksi
arachnoid
29
30
31
akan
adanya
hipoglikemia
apabila
dari
anamnesis
32
hipoglikemia apabila kadar glukosa darah < 45 mg/dl. Jadi diagnosis banding
hipoglikemia pada kasus ini dapat disingkirkan.
4. Ketidakseimbangan Elektrolit
Gangguan elektrolit dapat menyebabkan berbagai gangguan, salah satu
manisfestasi gangguan elektrolit adalah kejang. Gangguan elektrolit yang
dapat menyebabkan kejang adalah hiponatremia, hipernatremia, dan
hipokalsemia. Pada kasus ini pasien dengan kejang dapat dipikirkan oleh
karena gangguan elektrolit. Sehingga untuk menyingkirkan gangguan tersebut
perlu dilakukan pemeriksaan kadar elektrolit. Dari pemeriksaan kadar
elektrolit didapatkan nilai natrium 145,35 mmol/L dan kalsium 9,52 mg/dL.
Nilai tersebut menyunjukkan nilai yang normal, sehingga diagnosis banding
karena gangguan elektrolit dapat disingkirkan (PPM, 2009).
5. Meningitis
Meningitis bakterialis adalah suatu peradangan selaput jaringan otak dan
medulla spinalis yang disebabkan oleh bakteri patogen. Kecurigaan akan
meningitis didapatkan dari gejala didahului infeksi saluran napas atau saluran
cerna, demam, nyeri kepala, meningismus, penurunan kesadaran, kejang. Dari
pemeriksaan fisik dapat ditemukan penurunan kesadaran, kaku kuduk, laseg,
kernig, brudzinski I, adanya tanda rangsang meningea, dan peningkatan
tekanan intrakranial. Pada kasus ini ditemukan demam, kejang, kaku kuduk,
tanda
rangsang
meningeal,
peningkatan
tekanan
intrakranial,
dan
33
6. Ensefalitis
Ensefalitis adalah infeksi jaringan otak yang disebabkan oleh berbagai
macam mikrooranisme (virus, bakteri, jamur dan protozoa). Diagnosis
ensefalitis dicurigai apabila ditemukan manifestasi sebagai berikut demam
tinggi mendadak, penurunan kesadaran dengan cepat, kejang (umum atau
fokal), kejang berupa status konvulsivus, adanya gejala peningkatan tekanan
intrakranial, gejala lesi upper motor neuron berupa spastis, hiperrefleks,
refleks patologis dan klonus. Pada kasus ini hasil anamnesis didapatkan
kejang 3 hari yang lalu, kejang terjadi berkali-kali, durasi kejang 1 menit
selama lebih dari 30 menit, setelah kejang pasien tidak sadar. Manifestasi
tersebut dapat disebut sebagai status konvulsivus, yang mana terdapat pada
gejala ensefalitis. Pada pemeriksaan kepala ditemukan adanya refleks
babinski, peningkatan refleks fisiologis, spastik dan klonus yang sangat khas
dengan infeksi intrakranial. Gejala tersebut juga tedapat pada ensefalitis. Jadi
pada kasus ini sangat cocok sekali dengan diagnosis ensefalitis, tetapi untuk
jenis ensefalitisnya belum dapat ditentukan (PPM, 2009).
7. Viral Meningoensefalitis
Viral meningoensefalitis merupakan inflamasi akut pada menings dan
jaringan otak. Ditandai dengan analisis cairan serebrospinal berupa
pleocytosis, tidak ditemukan adanya bakteri pada pewarnaan gram dan pada
kultur (Nelson, 2011). Gejala klinis yang ditemukan adalah kesadaran
menurun, demam tinggi, kejang, mual, muntah, nyeri daerah leher, punggung
dan kaki. Pemeriksaan penunjang pada CT-Scan kepala tanpa kontras
menujukkan adanya hipodens luas di lobus frontal, parietal, temporal dan
oksipital sinistra dari infra tentorial dan supratentorial, ada gambaran
moustache appearance yang merupakan indikasi adanya hidrosefalus
komunikans karena gangguan drainase CSF (hukum monroe kelly), ditemukan
juga adanya edema serebri. Pada kasus ini ditemukan kejang, kesadaran koma,
mual, demam , muntah dan gambaran CT-Scan menunjukkan edema pada
34
otak.
kemungkinan
pasien
menderita
viral
meningoensefalitis.
Untuk
35
3. Gagal Jantung
Diagnosis gagal jantung ditegakkan apabila terdapat peningkatan vena
jugularis, denyut apeks bergeser ke kiri, irama derap, bising jantung, ronki di
basal paru dan hepatomegali. Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan hanya
berupa ronki di basal paru. Sehingga tidak mencukupi untuk diagnosis gagal
jantung.
4. Penyakit Jantung Bawaan
Dicurigai adanya penyakit jantung bawaan ditemukan
adanya sulit
makan karena mudah lelah, sianosis, bising jantung, jari tabuh dan
hepatomegali. Tidak satupun manifestasi tersebut ditemukan dari anamnesis
dan pemeriksaan fisik sehingga tidak bisa dicurigai adanya penyakit jantung
bawaan.
5. Empiema
Diagnosis empiema ditegakkan bila ditemukan demam persisten
walaupun telah mendapat antibiotik, pekak pada perkusi, dan foto toraks
menunjukkan adanya cairan pada lapangan paru. Hasil pemeriksaan dan
follow up menunjukkan tidak adanya demam persisten dan pada perkusi kedua
lapang paru didapatkan hasil sonor. Oleh karena itu diagnosis empieme dapat
disingkirkan.
6. Tuberkulosis Paru
Curiga tuberkulosis apabila ditemukan manifestasi berupa batuk tanpa
sebab yang jelas sekitar 3 minggu, demam sekitar 2 minggu, gizi kurang atau
buruk,
pembengkakan
kelenjar
limfe
leher,
aksila
atau
inguinal,
36
37
Tanda
Leukositosis
infeksi intrakranial dan defek neurologis
Berik
Kejang yang terjadi pasien sebanyak >10 kali selama lebih dari 30
menit, diantara kejang pasien tidak sadar. Menurut (Berman, 2011) sudah
dapat ditegakkan diagnosis status epileptikus dimana kriteria diagnosisnya
adalah kejang berdurasi lebih dari 30 menit dan diantara periode kejang pasien
tidak sadar.
2. Meningoensefalitis Bakterial
Pasien curiga meningitis harus ditanyakan mengenai riwayatnya, pada
era sekarang meningitis viral lebih sering daripada meningitis bakterial karena
telah tersedianya vaksin Hib dan PCV. Tetapi bagaimanapun juga sangat sulit
untuk membedakan dari gejala klinis antara meningitis karena bakteri atau
virus, sehingga semua pasien dengan meningitis dianggap menderita
38
39
40
41
42
43
Pemeriksaan Dada
44
45
46
47
pneumonia
berat.
Pemeriksaan
leukosit
dapat
membantu
membedakan etiologi dari pneumonia. Pada kasus ini didapat kadar leukosit
14.850 / ul dan hitung jenis segmen 83 sel per 100 lapang padang besar. Hal
ini menunjukkan bahwa terdapat infeksi yang kemungkinan disebabkan oleh
bakteri gram positif. Jadi pada kasus ini ditegakkan diagnosis pneumonia berat
(Berman, 2011).
4. Hidrosefalus Komunikan
Pada anamnesis didapatkan pasien kejang dan tidak sadar setelah kejang.
Tidak ada tanda-tanda penurunan berat badan. Saat ini pasien diagnosis
meningoensefalitis.
48
49
Istilah CP terbatas untuk lesi otak saja, penyakit tertentu pada saraf
perifer dari sumsum tulang belakang (misalnya, atrofi otot tulang belakang,
myelomeningocele) atau ke otot (misalnya distrofi otot), meskipun
menyebabkan kelainan motorik awal, tidak dianggap sebagai CP (Ancel dkk,
2006)
Fungsi kognitif pasien juga terlambat ditandai dengan gangguan
mengingat, interaksi dan tidak mengikuti pendidikan sejak kecil. Kemudian
melalui skrining perkembangan KPSP, pada perkembangan motorik kasar
terdapat keterlambatan motorik kasar berupa berdiri satu tahun, berjalan dua
tahun.Keterlambatan Motorik halus berupa, pasien dapat memegang mainan
usia enam bulan, dapat meraih dan menggapai usia enam bulan, keterlambatan
fungsi bahasa dan kognitif berupa mampu berkomunikasi dengan tindakan dan
suara pada usia dua puluh empat bulan dimana pasien memiliki riwayat global
development delayed. Pada CP sekitar 30-50% pasien dengan CP juga
memiliki keterbelakangan mental, tergantung pada jenisnya. Oleh karena itu
planning pada pasien jika kondisi sudah sadar, baik dan sembuh dari
penyakitnya saat ini disarankan untuk melakukan test IQ untuk menilai apakh
ada retardasi mental atau tidak.
Selain itu, pasien dengan CP juga memiliki gangguan oromotor, motorik
halus, dan motorik kasar yang membuat komunikasi pada pasien ini mungkin
terganggu dan kapasitas ekspresi intelektual terbatas. Namun, jika CP didekati
secara multidisiplin, dengan terapi fisik, pekerjaan, dan gizi untuk
memaksimalkan upaya rehabilitatif, pasien dapat lebih terintegrasi secara
akademis dan sosial. Sekitar 15-60% anak dengan CP memiliki epilepsi, dan
epilepsi lebih sering pada pasien dengan quadriplegia spastik atau retardasi
mental. Pada pasien ini juga dicurigai memiliki riwayat epilepsi di mana
muncul bangkitan kejang tanpa provokasi, bangkitan muncul selama beberapa
detik. Pasien tidak pernah memiliki riwayat konsumsi obat kejang, karena
mengangap bahwa kelainan anaknya sudah biasa. Padahal seharusnya pasien
mendapat antikonvulsan misal asam valproat dengan dosis rumatan 15-
50
51
kata-kata) melalui (C) daerah motorik primer dan melalui lobus frontalis (area
motorik suplementer), yang ikut mengatur produksi aktivitas motorik yang
tangkas dalam bentuk kata-kata yang jelas. Bahasa visual dikembangkan
melalui persepsi visual bilateral. Dari korteks visual primer kedua sisi data
visual disampaikan (H) kepada korteks visual sekunder di hemisferium yang
dominan. Data tersebut dikirim (D) ke pusat wernicke dan ke (G) pusat
pengintegrasian pengertian bahasa.
Pada pasien ditemukan mikrosefali, menurut Pomeranz:
Makrosefali
Mikrosefali
Bentuk abnormal
Normal
Head
CT Familial Mikrosefali
Tidak Normal
Makrosefali
Pre/perinatal injury
Brain atrophy
Congenital infection
Metabollic dissorders
Familial mikrosefali
Penyakit degeneratif
52
Motor Syndrome
Neuropathology
Major Causes
Spastic diplegia
Ischemia, infection
Multicystic
Endocrine/metabolic,
encephalomalacia
genetic/developmental
Malformations
Hemiplegia
Thrombophilic disorders
Infection
Genetic/developmental
Periventricular
hemorrhagic infarction
Extrapyramidal
Pathology:putamen, globus
(athetoid,
dyskinetic)
ganglia
Asphyxia
Kernicterus
Mitochondrial
Genetic/metabolic
53
E. TATALAKSANA
1. Terapi Status Epileptikus
Pasien yang telah didiagnosis status epileptikus apapun penyebabnya
kejang harus segera diatasi karena jika kejang dalam waktu yang lama dapat
menyebabkan anoksia sehingga mengakibatkan kematian neuron otak yang
bisa menyebabkan gejala sisa atau kematian. Adapun tatalaksananya pada
kasus ini adalah diberikan fenitoin 2x85mg IV diencerkan dalam 25cc NS,
fenobarbital intravena dan asam valproat per oral.
54
sehingga pada pasien status epileptikus yang rentan mengalami hipoksia tidak
diberikan obat tersebut. Tetapi bagaimanapun juga benzodiazepine merupakan
lini pertama dalam mengatasi kejang secara cepat. Pada kasus ini, pasien
mengalami kejang saat berada di rumah sakit sehingga digunakan diazepam.
Untuk mencegah agar tidak terjadinya kejang diberikan fenitoin dan asam
valproat. Pemberian obat seperti fenitoin memiliki efek samping aritmia,
tetapi hal tersebut jarang terjadi pada anak, keuntungan lainnya adalah fenitoin
tidak menekan pusat pernapasan dan memiliki masa kerja yang panjang
(Berman, 2011).
Untuk mengontrol kejang pada pasien dengan status epileptikus tidak
bisa
hanya
mengandalkan
monoterapi.
Dibutuhkan
kombinasi
obat
antiepilepsi yang memiliki efisiensi terbaik dalam mencegah kejang dan yang
memiliki efek samping minimal. Kombinasi obat antiepilepsi yang
direkomendasikan adalah yang memiliki mekanisme kerja yang berbeda,
karena terdapat teori yang menyatakan bahwa bekerja pada multi target lebih
optimal dibandingkan bekerja hanya pada satu target. Kemudian penelitian
membuktikan bahwa tidak ada perbedaan signifikan efek samping antara
monoterapi
dan
politerapi.
Adapun
(Jong
and
Dworetzky,
2010)
55
Karbamazepine
CZP
Ethosuximide
Felbamate
Gabapentin
dengan
fenobarbital,
pilihan
fenitoin,
tiagabine,
Levetiracetam
Lamotrigine
feniborbital, topiramate,
Felbamate, gabapentin, topiramate, sam
Oxcarbazepine
valproat
Karbamazepine,
Fenobarbital
Fenitoin
Tiagabine
Topiramate
levetiracetam, topiramate
Gabapentin, levetiracetam, fenitoin
Gabapentin, fenobarbital, asam valproat
Gabapentin, vigabratin, asam valproat
Karbamazepine, felbamate, gabapentin,
CZP,
Sesuai
berbagai
gabapentin,
asam valproat,
Gabapentin, tiagabine,
Karbamazepine, gabapentin, lamotrigine,
56
57
Alasan tidak bisa menunda antibiotik pada kasus yang diduga kuat
meningoensefalitis bakterial adalah dibutuhkan sterilisasi dalam 24 jam pada
cairan serebrospinal sehingga dapat mengurangi kejadian sekuele neurologis.
Penelitian dilakukan di United Kingdom terhadap 305 pasien yang dirawat
inap karena meningitis bakterial. sebanyak 53 pasien (17,4%) menerima
antibiotik empiris dan yang lainnya sebanyak 252 pasien tidak menerima
antibiotik. Hasilnya menunjukkan angka kematian pada kelompok yang
menerima antibiotik hanya sebanyak 1,9% dibandingkan dengan kelompok
yang tidak menerima antibiotik sebanyak 12% (Tunkel et al, 2004).
Pemberian streoid berupa deksamethasone masuk dalam protokol
penanganan meningitis bakterial. Penelitian yang dilakukan menunjukkan
bahwa memberikan deksamethasone dosis 0,15 mg/kgBB/6 jam sebelum
pemberian antibiotik selama 2-4 hari menujukkan dapat memberikan manfaat
berupa mengurangi sekuele neurolgis, yaitu gangguan pendengaran post
meningitis (NSW, 2014). Tetapi jika pasien telah menerima antibiotik dan
belum menerima steroid maka tidak perlu diberikan steroid karena tidak
berguna (Tunkel et al, 2004).
3. Terapi Pneumonia
Pada kasus ini pneumonia yang dialami pasien berasal dari lingkungan,
sehingga bisa disebut Community Acquared Pneumonia (CAP). CAP paling
banyak disebabkan oleh Streptococcus pneumonia. Menurut (Schrock, 2012)
58
ceftriakson
dimana
memiliki
aktivitas
untuk
menangani
pneumonia.
F. CATCH UP IMUNIZATION
Pada pasien ini status imunnisasinya tidak baik menurut IDAI, karena sejak
lahir hingga saat ini pasien hanya mendapatkan imunisasi sampai campak usia 9
bulan saja. Sementara untuk MMR, influenza, varisela, tifoid, Hep A dan HPV
pasien belum mendapatkannya. Prinsipnya untuk anak yang belum pernah
mendapatkan imunisasi terhadap penyakit tertentu, tidak mempunyai antibodi
yang cukup untuk menghadapi penyakit tersebut. Apabila anak sudah berada di
luar usia yang tertera pada jadwal imunisasi dan belum pernah diimunisasi maka
imunisasi harus diberikan kepan saja, pada umur berapa saja sebelum anak
terkena penyakit tersebut. Untuk imunisasi yang memiliki interval tertentu seperti
hepatitis, keterlambatan pemeberian dosis berikutnya harus segera dilengkapi
supaya kadar ambang perlindungan bisa dicapai dan anak terlindung dari penyakit
(IDAI, 2008).
G. KOMPLIKASI
Angka kematian akibat meningitis berkisar antara 18-40% dengan angka
kecacatan berkisar antara 30-50%. Kecacatan yang terjadi dapat berupa gangguan
pendengaran yang bersifat sensoneural, gangguan penglihatan, retardasi mental,
gangguan bicara, gangguan belajar, kelainan saraf kranial, ataksia, kejang
berulang, hidrosefalus dan paresis anggota gerak (Soetomenggolo, 1999).
Infark vena dan arteri yang luas akan menyebabkan hemiplegia, dekortisasi
atau deserebrasi, buta kortikal, kejang dan koma. Kejang yang timbul pada hari
pertama dirawat dengan penyakit yang sudah berlangsung lama serta kejang fokal
59
akan menyebabkan manifestasi yang menetap. Kejang fokal dan kejang yang
berkepanjangan merupakan petunjuk adanya gangguan pembuluh darah otak yang
serius dan infark serebri (Soetomenggolo, 1999).
H. PROGNOSIS
Tabel 4. Prognosis Meningitis (Chandran, 2011)
60
Kuatnya
virulensi
patogen
atau
keterlambatan
pengobatan
akan
Pada kasus ini telah terjadi komplikasi dari meningoensefalitis yang dialami
pasien, yaitu berupa hidrosefalus, edema cerebri, dan kejang. Komplikasi
hidrosefalus yang terjadi hingga membutuhkan tindakan operatif untuk
mengatasinya.