Anda di halaman 1dari 32

PEMBAHASAN

A. MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinis demam yang lama dan kejang diakibatkan oleh kerusakan
langsung pada selaput otak dan vena di duramater atau arachnoid berupa
tromboflebitis,

robekan-robekan

kecil

dan

perluasan

infeksi

arachnoid

menyebabkan transudasi protein dengan berat molekul kecil ke dalam ruang


subaraknoid dan subdural sehingga menimbulkan efusi subdural. Hal inilah yang
menyebabkan demam, kejang dan muntah pada pasien.
Terjadinya edema serebri pada pasien ini disebabkan oleh adanya
peradangan pada pembuluh darah otak yang akan meningkatkan permeabilitas
sawar darah otak sehingga timbul edema vasogenik. Selain itu toksin yang
dihasilkan bakteri dapat menyebabkan edema sitotoksik dan adanya aliran cairan
serebrospinal yang terganggu dapat menyebabkan terjadinya edema interstial
(Soetomenggolo, 1999).
Adanya peradangan pada perineurium dan menurunnya persediaan vaskular
ke saraf kranial menyebabkan kelainan saraf kranial, terutama saraf VI, III, dan
IV. Namun pada pasien ini ditemukan kesan parese N VII sinistra perifer, terdapat
lesi pada neuron perifer yang mempersarafi wajah bagian atas dan bawah
sehingga ketika di provokasi pasien tidak dapat mengernyitkan dahi kiri dan tidak
dapat menggerakkan bibir ke sebelah kiri, namun lesi ini karena onset sudah lama
terjadi karena bekas infark yang sudah lama.
Pada pasien ini ditemukan manifestasi berupa penurunan kesadaran sejak
timbulnya kejang hingga saat ini belum sadar (6 hari). Penurunan kesadaran
diakibatkan oleh terjadinya trombosis vena kecil di korteks akan menimbulkan
nekrosis iskemik korteks serebri (Soetomenggolo, 1999).
Peradangan pada meningen yang disebabkan oleh bahan-bahan toksik
bakteri. Peradangan selaput otak akan menimbulkan rangsangan pada saraf
sensoris, akibatnya terjadi refleks kontraksi otot-otot tertentu untuk mengurangi
rasa sakit, sehingga timbul tanda kernig, brudzinki dan kaku kuduk. Akibat

29

30

tekanan intrakranial yang meningkat dapat menyebabkan gejala mual, muntah,


iritabel, nafsu makan menurun dan sakit kepala (Soetomenggolo, 1999).
Pada pasien ditemukan tonus otot yang meningkat, dari pemeriksaan
refleks tendon dalam (bisep, trisep, patella dan achilles) ditemukan hasil +++.
Peningkatan refleks tendon dalam ditemukan pada lesi upper motor neuron.
Kemudian juga ditemukan klonus. Hal ini menandakan adanya paralisis spastik
pada pasien yang menandakan adanya lesi di upper motor neuron.
Dilakukan pemeriksaan refleks patologis berupa babinski, hasil yang didapat
menunjukkan abduksi jari-jari kaki dan terjadi dorsofleksi. Normalnya refleks ini
ditemukan pada bayi hingga usia 18 bulan. Pada kasus ini usia anak telah
mencapai usia 8 tahun 11 bulan yang menunjukkan adanya lesi di intrakranial.
Pemeriksaan rangsang meningeal dilakukan dengan pemeriksaan berupa kaku
kuduk (nuchal rigidity), brudzinski 1, brudzinski 2 dan kernig. Hasil pemeriksaan
ditemukan positif pada kaku kuduk, brudzinski 1, laseg dan kernig, sementara
pada budzinski 2 ditemukan hasil negatif. Hasil positif pada pemeriksaan tersebut
menandakan adanya iritasi pada selaput menings (Soetomenggolo, 1999).
B. DIAGNOSIS BANDING KEJANG
Pasien yang memiliki keluhan berupa kejang, memiliki beberapa diagnosis
banding. Diagnosis banding tersebut berupa kejang demam (sederhana atau
kompleks), gangguan metabolik (elektrolit, glukosa, BUN dan kreatinin, dan
toksin), idiopatik, infeksi, keganasan, infark, dan trauma.
1. Kejang Demam
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh (suhu rktal diatas 380C) tanpa adanya infeksi susunan saraf pusat,
gangguan elektrolit atau metabolik lain. Dikatakan kejang demam sederhana
apabila memiliki durasi kejang kurang dari 15 menit, bersifat umum serta
tidak berulang dalam 24 jam. Dikatakan kejang demam kompleks apabila
kejang berlangsung lebih dari 15 menit, bersifat fokal atau parsial 1 sisi,
kejang umum didahuli kejang fokal dan berulang atau lebih dari 1 kali dalam
24 jam (IDAI, 2009).

31

Pada kasus ini tidak dimasukkan diagnosis banding kejang demam


sederhana ataupun kompleks karena durasi kejang berulang melebihi 30
menit, tidak sadar pada interval kejang dan ditemukan tanda-tanda rangsang
meningeal, peningkatan refleks tendon dalam dan adanya reflek patologis
yang mengindikasikan adanya infeksi intrakranial. (Berman, 2011).
2. Status Epileptikus
Pada pasien ini didapatkan kejang berlangsung sekitar >20 kali. Diantara
periode kejang pasien tetap tidak sadar. Setiap terjadi kejang berdurasi lebih
dari 1 menit selama >30 menit. Dari hasil anamnesis tanpa dilakukan
pemeriksaan penunjang pasien diagnosis kejang pada pasien adalah status
epileptikus. Menurut (Berman, 2011) diagnosis status epileptikus ditegakkan
apabila kejang berlangsung lebih dari 30 menit dan setelah kejang pasien tetap
tidak sadar. Penyebab dari kejang harus segera dicari seperti perdarahan
intrakranial, peningkatan tekanan intrakranial, infeksi intrakranial dan
metabolik. Pemeriksaan laboratorium seperti sel darah lengkap, nilai
elektrolit, kadar glukosa darah, dan pungsi lumbal sangat membantu untuk
mencari penyebab kejang.
Pemeriksaan Head CT-Scan sangat diperlukan apabila dicurigai adanya
peningkatan tekanan intrakranial, perdarahan, massa dan adanya defisit
neurologis.
3. Hipoglikemia
Kecurigaan

akan

adanya

hipoglikemia

apabila

dari

anamnesis

didapatkan pasien mengalami kejang, kesadaran letargis atau apatis, apneu,


danasupan makanan kurang. Sementara dari pemeriksaan fisik didapatkan
kesadaran letargi, kejang atau gangguan napas. Pada kasus ini didapatkan
pasien mengalami kejang 3 hari yang lalu, kesadaran apatis, dan adanya
gangguan napas berupa sesak napas. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
menunjang ke arah hipoglikemia, tetapi untuk memastikannya harus diketahui
kadar glukosa darah. Pada kasus ini didapatkan kadar glukosa darah 97 mg/dl,
dimana kadar tersebut masih tergolong normal. Menurut (PPM, 2009) disebut

32

hipoglikemia apabila kadar glukosa darah < 45 mg/dl. Jadi diagnosis banding
hipoglikemia pada kasus ini dapat disingkirkan.
4. Ketidakseimbangan Elektrolit
Gangguan elektrolit dapat menyebabkan berbagai gangguan, salah satu
manisfestasi gangguan elektrolit adalah kejang. Gangguan elektrolit yang
dapat menyebabkan kejang adalah hiponatremia, hipernatremia, dan
hipokalsemia. Pada kasus ini pasien dengan kejang dapat dipikirkan oleh
karena gangguan elektrolit. Sehingga untuk menyingkirkan gangguan tersebut
perlu dilakukan pemeriksaan kadar elektrolit. Dari pemeriksaan kadar
elektrolit didapatkan nilai natrium 145,35 mmol/L dan kalsium 9,52 mg/dL.
Nilai tersebut menyunjukkan nilai yang normal, sehingga diagnosis banding
karena gangguan elektrolit dapat disingkirkan (PPM, 2009).
5. Meningitis
Meningitis bakterialis adalah suatu peradangan selaput jaringan otak dan
medulla spinalis yang disebabkan oleh bakteri patogen. Kecurigaan akan
meningitis didapatkan dari gejala didahului infeksi saluran napas atau saluran
cerna, demam, nyeri kepala, meningismus, penurunan kesadaran, kejang. Dari
pemeriksaan fisik dapat ditemukan penurunan kesadaran, kaku kuduk, laseg,
kernig, brudzinski I, adanya tanda rangsang meningea, dan peningkatan
tekanan intrakranial. Pada kasus ini ditemukan demam, kejang, kaku kuduk,
tanda

rangsang

meningeal,

peningkatan

tekanan

intrakranial,

dan

ditemukannya tanda-tanda infeksi di tempat lain berupa batuk, ronkhi di basal


paru. Dari hasil tersebut sangat menunjang sekali untuk menegakkan diagnosis
meningitis. Diagnosis pasti meningitis ditegakkan melalui pemeriksaan
analisis cairan serebrospinal yang didapat melalui pungsi lumbal. Tetapi pada
kasus ini tidak dilakukan lumbal pungsi dikarenakan adanya kecurigaan
peningkatan tekanan intrakranial akibat lesi desak uang, dimana hal tersebut
merupakan kontraindikasi mutlak pungsi lumbalkarena dapat menyebabkan
herniasi (PPM, 2009).

33

6. Ensefalitis
Ensefalitis adalah infeksi jaringan otak yang disebabkan oleh berbagai
macam mikrooranisme (virus, bakteri, jamur dan protozoa). Diagnosis
ensefalitis dicurigai apabila ditemukan manifestasi sebagai berikut demam
tinggi mendadak, penurunan kesadaran dengan cepat, kejang (umum atau
fokal), kejang berupa status konvulsivus, adanya gejala peningkatan tekanan
intrakranial, gejala lesi upper motor neuron berupa spastis, hiperrefleks,
refleks patologis dan klonus. Pada kasus ini hasil anamnesis didapatkan
kejang 3 hari yang lalu, kejang terjadi berkali-kali, durasi kejang 1 menit
selama lebih dari 30 menit, setelah kejang pasien tidak sadar. Manifestasi
tersebut dapat disebut sebagai status konvulsivus, yang mana terdapat pada
gejala ensefalitis. Pada pemeriksaan kepala ditemukan adanya refleks
babinski, peningkatan refleks fisiologis, spastik dan klonus yang sangat khas
dengan infeksi intrakranial. Gejala tersebut juga tedapat pada ensefalitis. Jadi
pada kasus ini sangat cocok sekali dengan diagnosis ensefalitis, tetapi untuk
jenis ensefalitisnya belum dapat ditentukan (PPM, 2009).
7. Viral Meningoensefalitis
Viral meningoensefalitis merupakan inflamasi akut pada menings dan
jaringan otak. Ditandai dengan analisis cairan serebrospinal berupa
pleocytosis, tidak ditemukan adanya bakteri pada pewarnaan gram dan pada
kultur (Nelson, 2011). Gejala klinis yang ditemukan adalah kesadaran
menurun, demam tinggi, kejang, mual, muntah, nyeri daerah leher, punggung
dan kaki. Pemeriksaan penunjang pada CT-Scan kepala tanpa kontras
menujukkan adanya hipodens luas di lobus frontal, parietal, temporal dan
oksipital sinistra dari infra tentorial dan supratentorial, ada gambaran
moustache appearance yang merupakan indikasi adanya hidrosefalus
komunikans karena gangguan drainase CSF (hukum monroe kelly), ditemukan
juga adanya edema serebri. Pada kasus ini ditemukan kejang, kesadaran koma,
mual, demam , muntah dan gambaran CT-Scan menunjukkan edema pada

34

otak.

Dari gejala klinis dan pemeriksaan penunjang menunjukkan bahwa

kemungkinan

pasien

menderita

viral

meningoensefalitis.

Untuk

memastikannya diperlukan analisis cairan serebrospinal, tetapi pada kasus ini


tidak dilakukan. Jika dilakukan pemeriksaan, analisis cairan serebrospinal
menunjukkan dominasi dari sel mononuclear. Konsentrasi protein dapat
normal atau sedikit meningkat, tetapi konsentrasi dapat sangat tinggi apabila
terjadi kerusakan otak ekstensif, seperti pada HSV ensefalitis.
C. DIAGNOSIS BANDING BATUK
Pasien yang datang dengan keluhan batuk disertai sesak napas pada usia
antara menurut WHO memiliki diagnosis banding pneumonia, asma, gagal
jantung, penyakit jantung bawaan, efusi/empiema, tuberkulosis, pertusis, benda
asing dan pneumotoraks (WHO,2009).
1. Pneumonia
Dari gejala klinis didapatkan keluhan batuk sekitar enam hari yang lalu,
batuk berdahak, disertai napas cepat dan sesak napas. Pemeriksaan fisik
didapatkan ronki dikedua lapang paru dan retraksi minimal sub kosta.
Menurut WHO (2009) gejala klinis ini lebih dekat ke peneumonia berat.
Adapun diagnosis klinis pneumonia berat ditegakkan apabila didapat kepala
terangguk-angguk, pernapasan cuping hidung, tarikan dinding dada bagian
bawah ke dalam, foto dada menunjukkan konsilidasi, napas cepat (usia 9
tahun disebut napas cepat apabila > 20 kali/menit), merintih dan ronki.
2. Asma
Diagnosis asma ditegakkan apabila terdapat riwayat wheezing berulang,
riwayat keluarga atopi, hiperinflasi dinding dada, ekspirasi memanjang, dan
berespons baik terhadap bronkodilator. Dari hasil anamnesis tidak ditemukan
adanya riwayat wheezing berulang. Pemeriksaan fisik tidak didapatkan adanya
wheezing yang merupakan temuan tersering pada asma, sehingga diagnosis
asma dapat disingkirkan.

35

3. Gagal Jantung
Diagnosis gagal jantung ditegakkan apabila terdapat peningkatan vena
jugularis, denyut apeks bergeser ke kiri, irama derap, bising jantung, ronki di
basal paru dan hepatomegali. Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan hanya
berupa ronki di basal paru. Sehingga tidak mencukupi untuk diagnosis gagal
jantung.
4. Penyakit Jantung Bawaan
Dicurigai adanya penyakit jantung bawaan ditemukan

adanya sulit

makan karena mudah lelah, sianosis, bising jantung, jari tabuh dan
hepatomegali. Tidak satupun manifestasi tersebut ditemukan dari anamnesis
dan pemeriksaan fisik sehingga tidak bisa dicurigai adanya penyakit jantung
bawaan.
5. Empiema
Diagnosis empiema ditegakkan bila ditemukan demam persisten
walaupun telah mendapat antibiotik, pekak pada perkusi, dan foto toraks
menunjukkan adanya cairan pada lapangan paru. Hasil pemeriksaan dan
follow up menunjukkan tidak adanya demam persisten dan pada perkusi kedua
lapang paru didapatkan hasil sonor. Oleh karena itu diagnosis empieme dapat
disingkirkan.
6. Tuberkulosis Paru
Curiga tuberkulosis apabila ditemukan manifestasi berupa batuk tanpa
sebab yang jelas sekitar 3 minggu, demam sekitar 2 minggu, gizi kurang atau
buruk,

pembengkakan

kelenjar

limfe

leher,

aksila

atau

inguinal,

pembengkakan tulang/sendi punggung, panggul, riwayat kontak positif


dengan pasien TB dewasa dan hasil uji tuberkulin menunjukkan hasil positif.
Pada pemeriksaan fisik hanya ditemukan status gizi yang kurang dan lebih
dikarenakan terdapat gangguan proses makan/sering tersedak. Anamnesis juga

36

didapatkan tidak ada satupun anggota keluarga di rumah yang menderita


tuberkulosis atau punya riwayat konsumsi OAT. Oleh karena itu diagnosis
tuberkulosis dapat disingkirkan.
D. PENEGAKAN DIAGNOSIS
1. Status Epileptikus
Pasien datang dengan kejang lebih dari 30 menit, harus segera kita cari
tahu riwayatnya. Kejang akut yang lebih dari 30 menit dapat disebabkan oleh
sepsis, meningitis, ensefalitis, gangguan metabolik. gangguan elektrolit,
keracunan, keganasan dan trauma kepala. Harus diketahui mengenai riwayat
kejang terdahulu, jika telah diketahui memiliki riwayat epilepsi, maka harus
ditanyakan mengenai pengobatan antikonvulsannya.
Segera bebaskan jalan napas, nilai ABC untuk memastikan perfusi ke
jaringan adekuat. Setelah itu lakukan pemeriksaan fisik berupa tanda vital,
saturasi, deviasi mata, paresis tonik, klonik menunjukkan adanya kerusakan
neurologik. Periksa adanya papil edema untuk melihat tanda peningkatan
tekanan intrakranial.
Pasien dengan kejang juga perlu diperiksa laboratorium untuk kadar
glukosa, elektrolit, ureum kreatinin, fungsi hati. Untuk pemeriksaan pencitaan
kepala harus ditunda hingga kejang berhenti. Pada kasus ini semua parameter
laboratorium yang dapat menyebabkan kejang dalam batas normal. Setelah
selesai pemeriksaan berikan obat antikonvulsan. Setelah itu tentukan penyebab
status epileptikus pada pasien ini.

37

Tanda
Leukositosis
infeksi intrakranial dan defek neurologis

Nilai ABC dan pemeriksaan fisik


Gambar 1. Alur Penanganan Pasien Kejang

Berik

Kejang yang terjadi pasien sebanyak >10 kali selama lebih dari 30
menit, diantara kejang pasien tidak sadar. Menurut (Berman, 2011) sudah
dapat ditegakkan diagnosis status epileptikus dimana kriteria diagnosisnya
adalah kejang berdurasi lebih dari 30 menit dan diantara periode kejang pasien
tidak sadar.
2. Meningoensefalitis Bakterial
Pasien curiga meningitis harus ditanyakan mengenai riwayatnya, pada
era sekarang meningitis viral lebih sering daripada meningitis bakterial karena
telah tersedianya vaksin Hib dan PCV. Tetapi bagaimanapun juga sangat sulit
untuk membedakan dari gejala klinis antara meningitis karena bakteri atau
virus, sehingga semua pasien dengan meningitis dianggap menderita

38

meningitis bakterial dan diterapi sebagai meningitis bakterial hingga tidak


terbukti infeksi bakteri.

39

40

Gambar 2. Alur Diagnosis Meningoensefalitis dan Tatalaksananya

Adapun yang harus dilakukan pada pasien curiga meningitis untuk


menegakkan diagnosisnya, yaitu riwayat pasien. Gejala yang selalu ada pada
meningitis adalah demam, kejang, tanda rangsang meningeal dan penurunan
kesadaran. Riwayat vaksinasi harus diketahui (terutama Hib dan PCV). Pada
kasus ini semua gejala klinis tersebut ada sehingga diduga kuat pasien tersebut
menderita mengitis bakterial. Jika pada pemeriksaan ditemukan adanya
papiledema menunjukkan adanya hidrosefalus, abses dan subdural hematoma.
Setelah anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan curiga meningitis,
stabilkan ABC pasien, berikan oksigen. Jika ada penonjolan ubun ubun dan
peningkatan denyut jantung sehingga curiga peningkatan tekanan intrakranial
dapat diberikan mannitol. Segera periksa kadar glukosa dan elektrolit untuk
menyingkirkan penyebab tersebut. Pada kasus ini kadar glukosa dan elektrolit
dalam batas normal. Jika pasien sedang kejang segera atasi kejang tersebut
dengan antikonvulsan seperti diazepam, midazolam atau lorazepam. Apabila
kejang masih berlanjut dapat diberikan fenitoin atau fenobarbital.
Pasien yang telah stabil, perlu dinilai untuk dilakukan lumbal pungsi,
dimana lumbal pungsi merupakan pemeriksaan untuk menentukan penyebab
meningitis. Pada kasus ini tidak dilakukan lumbal fungsi untuk analisis cairan
serebrospinal sehingga tidak dapat dengan pasti menentukan penyebab dari
meningitis. Adapun indikasi untuk menunda lumbal pungsi adalah adanya
gejala neurologis fokal, GCS < 8, pupil dilatasi, hipertensi dan respirasi
iregular. Pada pasien ini terdapat tanda tersebut sehingga tidak dilakukan
lumbal pungsi. Walaupun pada kasus ini tidak bisa ditegakkan diagnosis pasti
meningitis bakterial, pasien tetap diberikan terapi meningitis baktetial berupa
antibiotik empiris hingga tidak terbukti meningitis bakterial atau pasien
membaik (NSW Ministry of Health, 2014). Selain itu juga ditemukan
peningkatan reflex tendon dalam , klonus dan adanya tanda babinski potif
yang menandakan bahwa infeksi tidak hanya terbatas pada meanings, tetapi

41

telah menyebar ke parenkim otak sehingga didiagnosis meningoensefalitis


bacterial.
3. Pneumonia
Keluhan batuk yang dialami pasien terjadi kurang dari 1 minggu, maka
termasuk batuk akut. Batuk tersebut disertai demam yang merupakan tanda
adanya infeksi. Pada pemeriksaan dada ditemukan adanya takipneu dan ronki
pada kedua lapang paru yang menandakan ketidak abnormalan fungsi paru.
Menurut (Berman, 2002) apabila ditemukan hasil tersebut maka dilanjutkan
dengan pemeriksaan rontgen dada, dimana diagnosis bandingnya adalah
pneumonia dan bronchitis. Pada kasus ini lebih dicurigai adanya pneumonia.

42

43

Pemeriksaan Dada

Gambar 3. Alur Diagnosis Pasien dengan Batuk

Pasien curiga dengan pneumonia harus dicari riwayat mengenai dari


kapan menderita keluhan tersebut. Nilai juga pernapasan, demam, dan batuk..

44

Adanya produksi sputum yang produktif juga mengindikasikan adanya


pneumonia bakterial. Selain itu pada pneumonia juga didapat gejala nafsu
makan buruk, letargi dan risiko aspirasi. Riwayat imunisasi juga harus
ditanyakan dan adanya terpapar asap rokok juga harus dicari. Pada kasus ini
didapatkan demam, batuk dengan sputum, letargi, sesak napas, serta hand
hygine yang buruk meningkatkan risiko untuk terkena pneumonia.

45

46

47

Gambar 4. Alur Diagnosis Pasien Curiga Pneumonia

Pemeriksaan fisik dada harus dilakukan dengan cermat, napas cepat


menunjukkan adanya penurunan kadar oksigen di dalam tubuh. Adanya
retraksi pada dinding dada menandakan adanya penyakit yang berat.
Pemeriksaan paru pada auskultasi bila ditemukan crackles menandakan
adanya pneumonia bakterial. Pada kasus ini ditemukan adanya retraksi
subcosta, peningkatan frekuensi napas, auskultasi ditemukan crackles yang
mengindikasikan kuat pasien menderita pneumonia bakterial berat. WHO
menggunakan takipneu disertai batuk sebagai kriteria diagnosis untuk
pneumonuia di negara berkembang (Schrock, 2012).
Pememriksaan penunjang dapat membantu untuk menegakkan diagnosis
pneumonia, tetapi pada pneumonia komunitas tidak harus dilakukan karena
dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik sudah dapat ditegakkan
diagnosis

pneumonia

berat.

Pemeriksaan

leukosit

dapat

membantu

membedakan etiologi dari pneumonia. Pada kasus ini didapat kadar leukosit
14.850 / ul dan hitung jenis segmen 83 sel per 100 lapang padang besar. Hal
ini menunjukkan bahwa terdapat infeksi yang kemungkinan disebabkan oleh
bakteri gram positif. Jadi pada kasus ini ditegakkan diagnosis pneumonia berat
(Berman, 2011).
4. Hidrosefalus Komunikan
Pada anamnesis didapatkan pasien kejang dan tidak sadar setelah kejang.
Tidak ada tanda-tanda penurunan berat badan. Saat ini pasien diagnosis
meningoensefalitis.

Pada follow up didapatkan dari pemeriksaan fisik

hiperrefleks dan spastisitas yang merupakan tanda-tanda peningkatan tekanan


intrakranial.
Penyebab peningkatan TIK bermacam-macam, dapat diakibatkan oleh
infeksi, kelainan kongenital, keganasan, dan perdarahan. Oleh karena itu untuk
memastikannya diperlukan pemeriksaan USG atau Head CT-Scan. Tetapi
dikarenakan ubun-ubun pasien telah menutup, maka dilakukan Head CT-Scan

48

untuk memastikan penyebab peningkatan TIK. Hasil CT-Scan menunjukkan


area hipodens luas di lobus frontal, parietal, temporal dan oksipital sinistra
dari infra tentorial dan supratentorial, ada gambaran moustache appearance,
namun tidak di temukan pergeseran midline shift. Hal ini menunjukan adanya
infark dan edema. Edema tersebut besar kemungkinan disebabkan oleh infeksi
selaput dan jaringan otak. Sedangkan pelebaran ventrikel lateral dekstra
disebabkan oleh penyumbatan aliran cairan serebrospinal oleh meningitis.
Oleh karena itu karena ditemukan pelebaran ventrikel pasien didiagnosis
hidrosefalus komunikan (PPM, 2009).
5. Cerebral Palsy
Dari hasil pemeriksaan anamnese pasien memiliki riwayat trauma kepala
ketika berusia 14 hari dikarenakan jatuh dari tempat tidur, dan riwayat operasi
kepala untuk mengeluarkan darahnya. Setelah kejadian tersebut, pertumbuhan
dan perkembangan menjadi terlambat, sejak usia 3 tahun pasien terlihat lemah
pada sisi tubuh sebelah kiri, tangan kiri pasien kesulitan menggenggam benda
karena tangannya keras dan mengepal dan jika menangis terlihat bibir
mencong ke sisi sebelah kiri. Saat berjalan pasien agak pincang ke sebelah
kiri, memiliki riwayat kejang tanpa provokasi selama 2-3 detik sebanyak
seminggu sekali. Gejala gejala tersebut dicurigai sebagai Cerebral palsy
(CP). Istilah Cerebral Palsy (CP) pada awalnya telah dikenal lebih dari satu
abad lalu dan diterjemahkan sebagai "kelumpuhan otak." Akan tetapi, definisi
yang tepat masih sulit dipahami karena CP bukanlah suatu diagnosis tunggal
melainkan sebuah istilah yang digunakan untuk menggambarkan lesi otak
nonprogresif yang melibatkan kelainan motor atau postural yang terjadi
selama perkembangan awal kehidupan. (Johnston, 2007).
CP mengacu pada sekelompok gangguan perkembangan gerakan dan
postur yang menyebabkan keterbatasan aktivitas yang bersifat nonprogresif
dan terjadi pada masa perkembangan otak janin atau bayi. Gangguan Motorik
yang terjadi pada CP sering disertai dengan gangguan sensasi, komunikasi
kognisi, persepsi, dan/atau perilaku dan/atau gangguan kejang. (Baxter dkk,
2005)

49

Istilah CP terbatas untuk lesi otak saja, penyakit tertentu pada saraf
perifer dari sumsum tulang belakang (misalnya, atrofi otot tulang belakang,
myelomeningocele) atau ke otot (misalnya distrofi otot), meskipun
menyebabkan kelainan motorik awal, tidak dianggap sebagai CP (Ancel dkk,
2006)
Fungsi kognitif pasien juga terlambat ditandai dengan gangguan
mengingat, interaksi dan tidak mengikuti pendidikan sejak kecil. Kemudian
melalui skrining perkembangan KPSP, pada perkembangan motorik kasar
terdapat keterlambatan motorik kasar berupa berdiri satu tahun, berjalan dua
tahun.Keterlambatan Motorik halus berupa, pasien dapat memegang mainan
usia enam bulan, dapat meraih dan menggapai usia enam bulan, keterlambatan
fungsi bahasa dan kognitif berupa mampu berkomunikasi dengan tindakan dan
suara pada usia dua puluh empat bulan dimana pasien memiliki riwayat global
development delayed. Pada CP sekitar 30-50% pasien dengan CP juga
memiliki keterbelakangan mental, tergantung pada jenisnya. Oleh karena itu
planning pada pasien jika kondisi sudah sadar, baik dan sembuh dari
penyakitnya saat ini disarankan untuk melakukan test IQ untuk menilai apakh
ada retardasi mental atau tidak.
Selain itu, pasien dengan CP juga memiliki gangguan oromotor, motorik
halus, dan motorik kasar yang membuat komunikasi pada pasien ini mungkin
terganggu dan kapasitas ekspresi intelektual terbatas. Namun, jika CP didekati
secara multidisiplin, dengan terapi fisik, pekerjaan, dan gizi untuk
memaksimalkan upaya rehabilitatif, pasien dapat lebih terintegrasi secara
akademis dan sosial. Sekitar 15-60% anak dengan CP memiliki epilepsi, dan
epilepsi lebih sering pada pasien dengan quadriplegia spastik atau retardasi
mental. Pada pasien ini juga dicurigai memiliki riwayat epilepsi di mana
muncul bangkitan kejang tanpa provokasi, bangkitan muncul selama beberapa
detik. Pasien tidak pernah memiliki riwayat konsumsi obat kejang, karena
mengangap bahwa kelainan anaknya sudah biasa. Padahal seharusnya pasien
mendapat antikonvulsan misal asam valproat dengan dosis rumatan 15-

50

40mg/kgBB terbagi dalam 2 dosis selama minimal 2 tahun periode bebas


kejang.
Pada pasien juga terdapat gangguan bahasa berupa keluhan kesulitan
bicara yang awalnya dapat mengucapkan beberapa kalimat hingga akhirnya
hanya dapat mengucapkan beberapa kata, pasien juga kesulitan memahami
apa yang disampaikan lawan bicaranya. Kondisi tersebut menandakan pada
pasien terjadi afasia sensorik dan motorik. Afasia adalah gangguan bahasa
karena adanya gangguan lesi di otak yang meliputi semua modalitas yaitu
berbicara, menyimak, menulis dan membaca. Dicurigai terdapat lesi di area
wernick dan area brocha, dan dari CT scan mencukung hal tersebut.

Gambar 5. Bagan konsep mekanisme bahasa

Semua impuls auditorik disampaikan kepada korteks auditorik primer


kedua sisi. Pada hemisferium yang dominan data auditorik itu dikirim ke (A)
pusat wernicke. Pengiriman data dari hemisferium yang tidak dominan ke
pusat wernicke dilaksanakan melalui serabut korpus kalosum. Di pusat
wernicke suara dikenal sebagai simbol bahasa. Kemudian data itu dikirim (E)
ke pusat pengertian bahasa. Di situ simbol bahasa lisan (auditorik)
diintegrasikan dengan simbol bahasa visual dan sifat-sifat lain dari bahasa.
Bahasa lisan dihasilkan oleh kegiatan di pusat pengertian bahasa yang
menggalakkan (F) pusat pengenalan kata (wernicke), yang pada gilirannya
mengirimkan (B) pesan kepada pusat broca (yang menyelenggarakan produksi

51

kata-kata) melalui (C) daerah motorik primer dan melalui lobus frontalis (area
motorik suplementer), yang ikut mengatur produksi aktivitas motorik yang
tangkas dalam bentuk kata-kata yang jelas. Bahasa visual dikembangkan
melalui persepsi visual bilateral. Dari korteks visual primer kedua sisi data
visual disampaikan (H) kepada korteks visual sekunder di hemisferium yang
dominan. Data tersebut dikirim (D) ke pusat wernicke dan ke (G) pusat
pengintegrasian pengertian bahasa.
Pada pasien ditemukan mikrosefali, menurut Pomeranz:
Makrosefali

Abnormal Head size

Mikrosefali

Bentuk abnormal

Normal
Head
CT Familial Mikrosefali

Tidak Normal

Makrosefali

Pre/perinatal injury
Brain atrophy
Congenital infection
Metabollic dissorders
Familial mikrosefali
Penyakit degeneratif

Gambar 6. Alur Diagnosis Mikrosefali

Kami mencurigai kejadian mikrosefal yang didapat dari pemeriksaan


fisik adalah dikarenakan riwayat cedera kepala pada saat bayi yang didukung
pada pemeriksaan CT scan kepala tanpa kontras ditemukan daerah infark
serebri yang luas. Sementara itu riwayat kelainan selama kehamilan,
persalinan, penyakit keturunan disangkal.
Sementara itu pada pasien ini tipe CP nya dalah tipe spastik, karena dari
anamnesis dan pemeriksaan fisik dicurigai lesinya di traktus pyramidalis. Pada
pasien didapatkan hemiparese sinistra dan kesan parese NVII perifer sinistra.
Sistem klasifikasi fungsional umumnya membagi pasien menjadi jenis
ringan, sedang, dan berat (tergantung pada keterbatasan fungsional). Pasien
dapat dikategorikan secara lebih komprehensif dengan kemampuan dan

52

keterbatasan, seperti yang diusulkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia pada


tahun 2001.

Motor Syndrome

Neuropathology

Major Causes

Spastic diplegia

Periventricular leukomalacia Prematurity


(PVL)
Ischemia
Infection
Endocrine/metabolic (e.g.,
thyroid)

Spastic quadriplegia PVL

Ischemia, infection

Multicystic

Endocrine/metabolic,

encephalomalacia

genetic/developmental

Malformations
Hemiplegia

Stroke:in utero or neonatal

Thrombophilic disorders
Infection
Genetic/developmental
Periventricular
hemorrhagic infarction

Extrapyramidal

Pathology:putamen, globus

(athetoid,

pallidus, thalamus, basal

dyskinetic)

ganglia

Asphyxia

Kernicterus
Mitochondrial
Genetic/metabolic

53

E. TATALAKSANA
1. Terapi Status Epileptikus
Pasien yang telah didiagnosis status epileptikus apapun penyebabnya
kejang harus segera diatasi karena jika kejang dalam waktu yang lama dapat
menyebabkan anoksia sehingga mengakibatkan kematian neuron otak yang
bisa menyebabkan gejala sisa atau kematian. Adapun tatalaksananya pada
kasus ini adalah diberikan fenitoin 2x85mg IV diencerkan dalam 25cc NS,
fenobarbital intravena dan asam valproat per oral.

Gambar 5. Alur Penanganan Kejang Akut

Menurut Berman (2011) pemberian diazepam pada kasus status


epileptikus tidak efektif untuk menghentikan kejang, yang direkomendasikan
adalah diberikan secara intravena.
Setelah pemberian diazepam harus diberikan dosis maintenance fenitoin
untuk menjaga agar tidak terjadi kejang lagi. Dikarenakan kejang telah
berhenti, maka diberikan dosis fenitoin maintenance, yaitu 5-7 mg/kgBB.
Tujuan utama menghentikan kejang adalah untuk memastikan suplai oksigen
yang adekuat ke jaringan, melancarkan fungsi jantung dan memutuskan signal
yang membangkitkan kejang dari fokus epileptikus. Pengobatan status
epileptikus dapat menggunakan berbagai agen antikejang antara lain golongan
benzodiazepine, barbiturat dan golongan lainnya. Golongan barbiturat seperti
diazepam, midazolam dan lorazepam memiliki efek samping depresi napas

54

sehingga pada pasien status epileptikus yang rentan mengalami hipoksia tidak
diberikan obat tersebut. Tetapi bagaimanapun juga benzodiazepine merupakan
lini pertama dalam mengatasi kejang secara cepat. Pada kasus ini, pasien
mengalami kejang saat berada di rumah sakit sehingga digunakan diazepam.
Untuk mencegah agar tidak terjadinya kejang diberikan fenitoin dan asam
valproat. Pemberian obat seperti fenitoin memiliki efek samping aritmia,
tetapi hal tersebut jarang terjadi pada anak, keuntungan lainnya adalah fenitoin
tidak menekan pusat pernapasan dan memiliki masa kerja yang panjang
(Berman, 2011).
Untuk mengontrol kejang pada pasien dengan status epileptikus tidak
bisa

hanya

mengandalkan

monoterapi.

Dibutuhkan

kombinasi

obat

antiepilepsi yang memiliki efisiensi terbaik dalam mencegah kejang dan yang
memiliki efek samping minimal. Kombinasi obat antiepilepsi yang
direkomendasikan adalah yang memiliki mekanisme kerja yang berbeda,
karena terdapat teori yang menyatakan bahwa bekerja pada multi target lebih
optimal dibandingkan bekerja hanya pada satu target. Kemudian penelitian
membuktikan bahwa tidak ada perbedaan signifikan efek samping antara
monoterapi

dan

politerapi.

Adapun

(Jong

and

Dworetzky,

merekomendasikan obat berikut sebagai kombinasi politerapi.


Tabel 1. Kombinasi Obat Antiepilepsi

2010)

55

Karbamazepine

Gabapentin, Levitiracetam, oxcarbazepine,

CZP
Ethosuximide
Felbamate
Gabapentin

topiramate, asam valproat


Oxcarbazepine
Asam valproat
Levetiracetam, lamotrigine, topiramate
Levitiracetam, lamotrigine, oxcarbazepine,

dengan

fenobarbital,

pilihan

fenitoin,

tiagabine,

Levetiracetam

topiramate, asam valproat, vigabatrin


Karbamazepine, felbamate, oxcarbazepine,

Lamotrigine

feniborbital, topiramate,
Felbamate, gabapentin, topiramate, sam

Oxcarbazepine

valproat
Karbamazepine,

Fenobarbital
Fenitoin
Tiagabine
Topiramate

levetiracetam, topiramate
Gabapentin, levetiracetam, fenitoin
Gabapentin, fenobarbital, asam valproat
Gabapentin, vigabratin, asam valproat
Karbamazepine, felbamate, gabapentin,

CZP,

Sesuai
berbagai

gabapentin,

levetiracetam, lamotrigine, oxcarbazepine,


Vigabatrin
Asam valproat

asam valproat,
Gabapentin, tiagabine,
Karbamazepine, gabapentin, lamotrigine,

fenitoin, tiagabine, topiramate


kombinasi yang ada di atas, maka pada kasus ini dipilih kombinasi antara fenitoin
dan asam valproat dalam mencegah kejang pada pasien ini (Jong and Dworetzky,
2010).
2. Antibiotik Pilihan pada Meningoensefalitis Bakterial
Pasien dengan meningoensefalitis bakterial harus segera diterapi
walaupun hasil lumbal pungsi belum tersedia. Pada kasus ini dikarenakan
pada pemeriksaan darah terdapat leukositosis dan hitung jenis terdapat shift to
the left dimana dicurigai merupakan bakteri gram positif. Oleh karena itu
antibiotik yang dibutuhkan adalah antibiotik spektrum luas. Dari (NSW, 2014)
merekomendasikan jika diduga kuat agen penyebab Haemophilus influenza
dan Streptococcus pneumonia maka dipilih sefalosporin generasi ketiga, yaitu

56

cefotaksim, dengan dosis 50 mg/kgBB/6 jam ditambah dengan vancomicin


dosis 15 mg/kgBB/6 jam.
Tabel 2. Antibiotik Empiris untuk Terapi Meningitis Bakterial (NSW, 2014)

Tetapi pada kasus ini digunakan menggunakan ceftriaxon, yang


merupakan golongan cephalosporin. Menurut (Tunkel et al, 2004) obat
alternatif yang dapat dipilih jika tidak memungkinkan untuk memberikan
vancomycin + sefalosporin generasi ketiga adalah meropenem.
Hanya meropenem yang diterima oleh FDA untuk mengobati anak usia
di atas 3 bulan dengan meningitis bakterial. Dosis yang digunakan adalah
dosis intrakranial, yaitu 40 mg/kgBB/8 jam. Meropenem sangat efektif
mengatasi meningitis pada anak dengan Streptococcus pneumoniae resisten
terhadap sefalosporin generasi ketiga (cefotaksim). Penelitian yang dilakukan
dengan mengisolasi S. pneumoniae yang resisten terhadap cefotaksim.
Hasilnya menunjukkan 17 dari 20 bakteri tersebut sensitif terhadap
meropenem (Tunkel, A.R. et al, 2004)

57

Tabel 3. Alternatif Antibiotik pada Meningitis Bakterial (Tunkel et al, 2004)

Alasan tidak bisa menunda antibiotik pada kasus yang diduga kuat
meningoensefalitis bakterial adalah dibutuhkan sterilisasi dalam 24 jam pada
cairan serebrospinal sehingga dapat mengurangi kejadian sekuele neurologis.
Penelitian dilakukan di United Kingdom terhadap 305 pasien yang dirawat
inap karena meningitis bakterial. sebanyak 53 pasien (17,4%) menerima
antibiotik empiris dan yang lainnya sebanyak 252 pasien tidak menerima
antibiotik. Hasilnya menunjukkan angka kematian pada kelompok yang
menerima antibiotik hanya sebanyak 1,9% dibandingkan dengan kelompok
yang tidak menerima antibiotik sebanyak 12% (Tunkel et al, 2004).
Pemberian streoid berupa deksamethasone masuk dalam protokol
penanganan meningitis bakterial. Penelitian yang dilakukan menunjukkan
bahwa memberikan deksamethasone dosis 0,15 mg/kgBB/6 jam sebelum
pemberian antibiotik selama 2-4 hari menujukkan dapat memberikan manfaat
berupa mengurangi sekuele neurolgis, yaitu gangguan pendengaran post
meningitis (NSW, 2014). Tetapi jika pasien telah menerima antibiotik dan
belum menerima steroid maka tidak perlu diberikan steroid karena tidak
berguna (Tunkel et al, 2004).
3. Terapi Pneumonia
Pada kasus ini pneumonia yang dialami pasien berasal dari lingkungan,
sehingga bisa disebut Community Acquared Pneumonia (CAP). CAP paling
banyak disebabkan oleh Streptococcus pneumonia. Menurut (Schrock, 2012)

58

bakteri yang paling sering menyebabkannya adalah S. pneumoniae dan


H.influenza. Terapi yang dipilih pada pneumonia bakteri menggunakan terapi
empiris dimana digunakan antibiotik spektrum luas. Pnemonia yang berat dan
pada pasien yang tidak bisa oral diberikan terapi cefotaksim dosis 200
mg/kgBB dibagi 3 dosis. Pada kasus ini tidak digunakan cefotaksim, tetapi
digunakan

ceftriakson

dimana

memiliki

aktivitas

untuk

menangani

pneumonia.

F. CATCH UP IMUNIZATION
Pada pasien ini status imunnisasinya tidak baik menurut IDAI, karena sejak
lahir hingga saat ini pasien hanya mendapatkan imunisasi sampai campak usia 9
bulan saja. Sementara untuk MMR, influenza, varisela, tifoid, Hep A dan HPV
pasien belum mendapatkannya. Prinsipnya untuk anak yang belum pernah
mendapatkan imunisasi terhadap penyakit tertentu, tidak mempunyai antibodi
yang cukup untuk menghadapi penyakit tersebut. Apabila anak sudah berada di
luar usia yang tertera pada jadwal imunisasi dan belum pernah diimunisasi maka
imunisasi harus diberikan kepan saja, pada umur berapa saja sebelum anak
terkena penyakit tersebut. Untuk imunisasi yang memiliki interval tertentu seperti
hepatitis, keterlambatan pemeberian dosis berikutnya harus segera dilengkapi
supaya kadar ambang perlindungan bisa dicapai dan anak terlindung dari penyakit
(IDAI, 2008).
G. KOMPLIKASI
Angka kematian akibat meningitis berkisar antara 18-40% dengan angka
kecacatan berkisar antara 30-50%. Kecacatan yang terjadi dapat berupa gangguan
pendengaran yang bersifat sensoneural, gangguan penglihatan, retardasi mental,
gangguan bicara, gangguan belajar, kelainan saraf kranial, ataksia, kejang
berulang, hidrosefalus dan paresis anggota gerak (Soetomenggolo, 1999).
Infark vena dan arteri yang luas akan menyebabkan hemiplegia, dekortisasi
atau deserebrasi, buta kortikal, kejang dan koma. Kejang yang timbul pada hari
pertama dirawat dengan penyakit yang sudah berlangsung lama serta kejang fokal

59

akan menyebabkan manifestasi yang menetap. Kejang fokal dan kejang yang
berkepanjangan merupakan petunjuk adanya gangguan pembuluh darah otak yang
serius dan infark serebri (Soetomenggolo, 1999).

H. PROGNOSIS
Tabel 4. Prognosis Meningitis (Chandran, 2011)

Infeksi yang mengenai intrakranial kebanyakan akan menyebabkan adanya


gejala sisa pada penderita yang selamat. Sekuele neurologis tersebut dapat berupa
kejang, defisit fokal neurologis, hilang pendengaran, hilang penglihatan dan
rusaknya fungsi kognitif. Berikut hal-hal yang dapat terjadi pada penderita
meningitis (Chandran et al, 2011).
I. KOMPLIKASI

60

Kuatnya

virulensi

patogen

atau

keterlambatan

pengobatan

akan

menyebabkan berbagai komplikasi yang terjadi pada pasien meningitis.


Komplikasi tersebut tentunya akan menyebabkan kesulitan dalam mengobati
pasien. Menurut (Tirel et al, 2013) komplikasi yang dapat timbul adalah sebagai
berikut.

Tabel 5. Komplikasi Meningitis Bakterial

Pada kasus ini telah terjadi komplikasi dari meningoensefalitis yang dialami
pasien, yaitu berupa hidrosefalus, edema cerebri, dan kejang. Komplikasi
hidrosefalus yang terjadi hingga membutuhkan tindakan operatif untuk
mengatasinya.

Anda mungkin juga menyukai