Anda di halaman 1dari 5

PEKERJA MELAKUKAN PELECEHAN DAN KEKERASAN SEKSUAL, APAKAH

BISA DI PHK DAN MENDAPATKAN UANG PESANGON?


Indonesia, negeri yang sangat membanggakan. Diantaranya dapat kita lihat dari keindahan
alamnya, kesuburan tanahnya, serta keanekaragaman budaya dan tradisi. Namun kebanggaan itu
semua mulai sirna akibat maraknya kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang terjadi di
Indonesia. Jumlah data kasus kekerasan seksual yang di input oleh komnas perempuan periode
2012 – 2021 sekurang - kurangnya ada 49.762 laporan, dan pada Januari – November tahun
2022 Komnas Perempuan telah menerima laporan 3,014 kasus kekerasan berbasis gender
terhadap perempuan. Kasus pelecehan dan kekerasan seksual ini terjadi di ranah publik serta
ranah personal. Jumlah kekerasan seksual tersebut hanya dari korban yang berani melapor, dan
masih banyak korban pelecehan dan kekerasan seksual yang lebih memilih bungkam. Oleh
karena itu, akibat maraknya kasus pelecehan dan kekerasan seksual, membuat negeri ini
berstatus “darurat kekerasan seksual”.
Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA), pelaku
terbanyak pelecehan seksual selama pandemi ialah orang tidak dikenal dengan 2400 responden,
669 orang pelaku pelecehan seksual merupakan teman mereka sendiri, dan 332 pelaku pelecehan
seksual merupakan kolega atau teman kerja korban.
Salah satu tempat yang rawan terjadinya pelecehan dan kekerasan seksual merupakan
lingkungan kerja. Pelecehan serta kekerasan seksual ini muncul karena adanya hubungan yang
cukup intens ditempat kerja, serta adanya suasana kerja yang memungkinkan terjadinya
pelecehan serta kekerasan seksual. Akan tetapi, masih banyak sekali para korban yang tidak
sadar bahwa perbuatan yang dilakukan oleh rekan kerjanya tersebut ialah pelecehan seksual.
Atau korban telah sadar, akan tetapi tidak melaporkan pelecehan seksual tersebut terhadap pihak
yang bertanggung jawab.
Pelecehan seksual ini merupakan penyelahgunaan kekuasaan dan ekspresi dari seksualitas laki-
laki. Kemudian kasus pelecehan seksual ini dapat terjadi karena berasal dari relasi posisi yang
menempatkan lelaki lebih tinggi dari pada perempuan, dan dalam hal ini si pelaku pelecehan
memegang kendali atas posisi superiornya.
Korban pelecehan seksual ini karakteristik kebanyakannya ialah perempuan muda yang belum
menikah, namun perempuan yang sudah menikahpun rentan menjadi korban pelecehan seksual.
Serta pelaku yang melakukan pelecehan dan kekerasan seksual tersebut merupakan para laki –
laki yang memiliki jabatan lebih tinggi dari yang dilecehkan olehnya, pelaku dengan posisi
jabatan manajer, supervisor, dan sebagainya, ataupun pelaku tersebut merupakan satu rekan kerja
dengan posisi jabatan yang sama.
Lalu bagaimana dengan hukum yang berlaku terhadap pelaku pelecehan seksual?
Pelaku pelecehan seksual di Indonesia dijerat menggunakan pasal 289-296 KUHP, dengan
memperhatikan ketentuan unsur-unsur perbuatan tindak pidana masing-masing. Bunyi pasal 289
KUHP :
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang untuk melakukan
atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang
menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
Dan dalam Pasal 290 KUHP mengancam pelakunya dengan hukuman penjara maksimal selama
7 tahun, apabila:
Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun:

1. barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang, padahal diketahuinya bahwa
orang itu pingsan atau tidak berdaya;
2. barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal diketahuinya atau
sepatutnya harus diduganya, bahwa umumnya belum lima belas tahun atau kalau
umurnya tidak jelas, yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin.
3. barang siapa membujuk seseorang yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya
bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas yang
bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, untuk melakukan atau membiarkan
dilakukan perbuatan cabul, atau bersetubuh di luar perkawinan dengan orang lain.
Pelaku pelecehan seksual di tempat kerja meningkat drastis, berdasarkan data yang diperoleh
oleh Veryanto Sitohang yang merupakan Komisioner Komnas Perempuan, ketika tahun 2017
sampai 2020 terdapat 92 kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan, dan di tahun
2021 kekerasan seksual terhadap perempuan meningkat hingga 116 kasus. Kenaikan kasus
kekerasan seksual setiap tahunnya ini diartikan bahwa keberanian korban semakin meningkat
untuk melaporkan bahwa atasan atau rekan kerjanya sebagi pelaku tersebut.
Pada saat ini, beberapa karyawan perempuan mungkin menganggap tindakan-tindakan mesum
yang dilakukan karyawan laki-laki atau atasannya tersebut merupakan hal wajar sekedar
bercanda dan sebagai pendekatan untuk keakraban serta menghilangkan rasa penat dan suntuk di
tempat kerja. Dan jika karyawan perempuan tersebut merasa terganggu karena risih dan ngeri,
karyawan perempuan tersebutpun akan dianggap sok suci oleh karyawan lainnya.
Banyak sekali bentuk tindakan dan perilaku pelecehan seksual, selama itu merupakan tindakan
dan perilaku yang menuju terhadap seks yang tidak diinginkan, dimulai dari joke (lawakan
mesum), catcall, disiul-siul, dipanggil cantik atau ganteng atau sayang, diberi minuman hingga
kita tidak sadar atas kontrol diri kita sendiri, diraba, dicium paksa, dan tingkatan yang paling
parah ialah pemerkosaan.
Bagaimana cara mencegah perusahaan agat tidak terjadi pelecehan dan kekerasan
seksual?
Setiap institusi ataupun perusahaan harus menyiapkan atau memiliki perangkat atau kebijakan
yang dapat menghapuskan pelecehan dan kekerasan seksual di lingkungan kerja. Pada dasarnya
penghapusan kekerasan dan pelecehan di tempat kerja sudah diatur dalam konvensi ILO no 190
tahun 2019 untuk memberikan kewajiban dan hak secara detail oleh seluruh pihak tripartit yaitu
buruh, pengusaha, dan pemerintah untk menghapus kekerasan dan pelecehan berbasis gender.
Dan sudah diatur dalam UU No 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Kekerasan dan pelecehan seksual ini tidak hanya terhadap perempuan saja, namun laki-laki pun
kerap menjadi korban pelecehan dan kekerasan seksual ini. Oleh karena itu konvensi ILO no 190
dan UU no 12 tahun 2022 menjelasakan bahwa setiap orang memiliki hak yang sama untuk
bebas dari kekerasan dan pelecehan. Oleh karena itu perusahaan harus membuat peraturan yang
kuat untuk mencegah kekerasan seksual di lingkungan kerja, kemudian memastikan agar semua
pihak mengerti tentang kekerasan seksual, dan setiap karyawan memiliki faktor yang besar tanpa
melihat status atau jabatan pelaku tersebut untuk melaporkan tindakan kekerasan karena ini
merupakan tanggung jawab setiap orang. Serta perusahaan harus mengambil langkah tegas saat
kekerasan seksual terjadi.
Apakah melakukan kekerasan seksual dapat langsung di PHK?
Salah satu alasan PHK ialah pekerja atau buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur
dalam perjanjian kerja. Maksud dari perjanjian kerja ini ialah perjanjian kerja yang disampaikan
kepada karyawan pada saat penanda tanganan kontrak kerja. Hal ini juga diatur oleh perjanjian
kerja bersama yang disepakati antara pekerja dan buruh dengan pengusaha. Jika perusahaan
melakukan PHK karena peraturan itu, maka terlebih dahulu harus ada surat peringatan pertama,
kedua, dan ketiga yang ditulis serta disampaikan kepada karyawan yang bersangkutan. Namun,
jika pekerja atau buruh melakukan pelanggaran bersifat mendesak yang sudah tidak bisa di
toleransi dan telah diatur dalam perjanjian kerja peraturan perusahaan atau perjanjian kerja
bersama, maka ini tidak perlu Surat Peringatan Satu, Dua, dan Tiga.
PHK terhadap karyawan yang melakukan pelanggaran sifatnya mendesak, telah diatur dalam
Pasal 52 ayat (2) PP 35 tahun 2021:
“Pengusaha dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Pekerja/Buruh karena
alasan Pekerja/Buruh melakukan pelanggaran bersifat mendesak yang diatur dalam Perjanjian
Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama”
Yang dimaksud dalam pasal 52 ayat (2) PP 35 tahun 2021 pelanggaran yang bersifat mendesak
yaitu :
1. Melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan /atau uang milik Perusahaan.
2. Memberikan keterangan palsu atau dipalsukan sehingga merugikan Perusahaan.
3. Mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau mengedarkan
narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja.
4. Melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja.
5. Menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau Pengusaha di
lingkungan kerja.
6. Membujuk teman sekerja atau Pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan
dengan peraturan perundang undangan.
7. Ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan kerusakan barang milik
Perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi Perusahaan.
8. Ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau Pengusaha dalam keadaan bahaya di
tempat kerja.
9. Membongkar atau membocorkan rahasia Perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali
untuk kepentingan negara.
10. Melakukan perbuatan lainnya di lingkungan Perusahaan yang diancam penjara penjara 5
(lima) tahun atau lebih.
Oleh karena itu, dalam Peraturan Perusahaan dan Perjanjian Kerja Bersama harus juga mengatur
hak perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja apabila terjadi pelanggaran yang sifatnya
mendesak tanpa adanya surat peringatan. Apabila tidak diatur maka pemutusan hubungan kerja
karena pelanggaran harus menggunakan surat peringatan terlebih dahulu sebagaimana telah
dijelaskan dalam pasal 52 ayat (1) PP 35 tahun 2021. Dan yang harus diperhatikan juga ialah
Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama masih berlaku dan berlaku sah berdasarkan
ketentuan yang berlaku.
Pemutusan hubungan kerja ini harus dilakukan dengan hati-hati dan tepat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, tujuannya ialah untuk menghindari perselisihn di
kemudian hari. Karena jika terjadi sengketa proses yang berjalan dimulai dari mediasi di
Disnaker, dan berujung ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) hiingga ke tingkat Mahkamah
Agung. Hal ini dapat merugikan salah satu pihak baik dari segi waktu maupun biaya. Oleh
karena itu diperlukan strategi hukum yang matang agar tidak terjadi perselisihan yang dapat
menimbulkan kerugian.
Bagaimana hak karyawan yang di PHK akibat melakukan pelanggaran yang bersifat
mendesak?
Apabila Pemutusan Hubungan Kerja tersebut dilakukan atas dasar pekerja melakukan pelangaran yang
bersifat mendesak, maka perusahaan bedasarkan Pasal 40 ayat 1 PP 35 tahun 2021 jo dan pasal 52 ayat 2 PP
35 tahun 2021 tidak wajib membayar pesangon, namun perusahaan memiliki kewajiban membayar uang
penghargaan masa kerja dan uang penggatian hak kepada pekerja.
Rumus perhitungan uang penghargaan masa kerja sebagaimana diatur dalam Pasal 40 ayat (3)
adalah sebagai berikut: masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2
(dua) bulan upah; masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3
(tiga) bulan upah; masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas)
tahun, 4 (empat) bulan upah; masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15
(lima belas) tahun, 5 (lima) bulan upah; masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang
dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan upah; masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau
lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah; masa kerja 21 (dua
puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan
upah; dan masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh) bulan upah.
Besaran uang penggantian kepada pekerja sebagaimana dalam Pasal 43 ayat (4), meliputi: cuti
tahunan yang belum diambil dan belum gugur; biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh
dan keluarganya ke tempat dimana pekerja/ buruh diterima bekerja; dan hal-hal lain yang
ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau PKB.
Kebijakan kekerasan seksual di lingkungan kerja bukan hanya tulisan, dalam diskusi bertajuk
Women in News yang diadakan oleh WAN-IFRA WIN-SEA Leadership Hub 2022, pada sabtu,
5 maret 2022 sebuah panel khusus mengangkat topik “Having Sexual Harrasment Policy in the
Newsroom” menyatakan bahwa lingkungan kerja yang baik ialah lingkungan kerja yang
memiliki kebijakan kekerasan seksual.

Anda mungkin juga menyukai