Anda di halaman 1dari 8

SOAL NO 1. “Pelecehan seksual hendaknya tidak ditolerir di tempat kerja.

‟ „Roman di
tempat kerja merupakan peristiwa yang wajar dalam organisasi-organisasi‟ Apakah
kedua pernyataan ini benar? Dapatkan keduanya dirujukkan?”
JAWABAN:
 Pelecehan seksual adalah perilaku dalam bentuk verbal ataupun fisik atau gerak tubuh
yang berorientasi seksual, permintaan layanan seksual, atau perilaku lain yang
berorientasi seksual yang membuat orang yang dituju merasa terhina, tersinggung
dan/atau terintimidasi. Pelecehan seksual juga meliputi berbagai situasi di mana perilaku
yang telah disebutkan sebelumnya disertakan ke dalam persyaratan kerja atau ketika
perilaku yang sedemikian menciptakan lingkungan kerja yang mengintimidasi, tidak
ramah atau tidak layak. Reaksi mereka yang menjadi korban harus terukur dengan
mempertimbangkan situasi dan kondisi yang dihadapi. Dengan kata lain, pelecehan
seksual adalah: 1) Penyalahgunaan perilaku seksual; 2) Permintaan layanan seksual; 3)
Pernyataan verbal atau aksi fisik atau bahasa tubuh yang menyiratkan perilaku seksual,
atau; 4) Tindakan yang tidak diinginkan yang berkonotasi seksual: a. Orang yang menjadi
sasaran telah menyatakan secara jelas bahwa perilaku tersebut tidak dikehendaki; b.
Orang yang menjadi sasaran merasa terhina, tersinggung dan/ atau terintimidasi oleh
perilaku tersebut; atau c. Pelaku sewajarnya harus dapat mengantisipasi bahwa orang lain
akan merasa tersinggung, terhina dan/atau terintimidasi oleh perilaku yang demikian.

Pelecehan seksual dapat mengambil berbagai bentuk. Pada umumnya, ada lima bentuk
pelecehan seksual.
i. Pelecehan fisik termasuk sentuhan yang tidak diinginkan dengan kecendrungan
seksual seperti mencium, menepuk, mencubit, melirik, dan mendelik dengan penuh
hawa nafsu.
ii. Pelecehan verbal termasuk komentar-komentar yang tidak diinginkan tentang
kehidupan pribadi seseorang, anggota tubuh atau penampilannya, lelucon dan
komentar yang menyiratkan sesuatu yang bersifat seksual.
iii. Pelecehan dengan bahasa tubuh termasuk bahasa tubuh yang menjurus kepada
sesuatu yang bersifat seksual dan/atau gerak-geriknya, kedipan mata yang
berulangulang, menjilat bibir dan gerak-gerik lain dengan menggunakan jari-jemari.
iv.Pelecehan yang bersifat tertulis atau grafis termasuk pemaparan barang-barang
pornografi, gambar-gambar eksplisit yang bersifat seksual, gambar pelindung layar
komputer atau poster dan pelecehan melalui e-mail dan sarana komunikasi elektronik
lainnya. v. Pelecehan psikologis/emosional yang termasuk di antaranya permintaan
yang terus menerus dan tidak diinginkan, undangan yang tidak diinginkan untuk pergi
berkencan, hinaan-hinaan, ejekan-ejekan dan sindiran-sindiran yang berkonotasi
seksual.
Analisis Pelecehan Seksual ditempat kerja
Pelecahan seksual tidak dapat ditoleransi. Oleh karenanya, pencegahan dan penanganan
kekerasan seksual di tempat kerja ini sangat membutuhkan pemahaman, perhatian, dan dukungan
dari semua pihak. Berdasarkan survei ILO mengenai kekerasan dan pelecehan di dunia kerja
pada 2022, sebanyak 70,93 persen dari total 1.173 responden mengaku pernah mengalami salah
satu bentuk kekerasan dan pelecehan di tempat kerja. 69,35 persen korban mengalami lebih dari
satu bentuk kekerasan dan pelecehan. Sementara itu, kekerasan dan pelecehan paling sering
dialami korban adalah yang bersifat psikologis sebanyak 77,40 persen, disusul seksual sebanyak
50,48 persen. Sampai saat ini, jumlah korban kekerasan di tempat kerja masih didominasi oleh
perempuan sebanyak 656 orang. Sedangkan pelaku maupun korban dapat terjadi dari pihak
pengusaha, pekerja/buruh, dan orang lain yang berada di lingkungan kerja.
Adapun, upaya pencegahan dapat dilakukan dengan memasukkan kebijakan pencegahan
dan penanganan kekerasan seksual dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian
kerja bersama; melaksanakan edukasi kepada para pihak di tempat kerja; meningkatkan
kesadaran diri; menyediakan sarana dan prasarana kerja yang memadai; serta mempublikasikan
gerakan anti kekerasan seksual di tempat kerja. Perempuan harus dipenuhi haknya, perempuan
harus berdaya, dan  perempuan harus memiliki kuasa atas jiwa dan raganya. Selain itu juga
perempuan harus memiliki posisi tawar yang kuat, baik dalam keluarga, maupun dalam
lingkungan masyarakat.
Korban, keluarga korban, rekan kerja korban, dan pihak terkait dapat melaporkan
tindakan kekerasan seksual secara daring dan luring kepada Satgas yang dibentuk di perusahaan,
Dinas Ketenagakerjaan setempat, Kemnaker, ataupun Kepolisian. Sedangkan penanganan
dilakukan dengan pendampingan terhadap korban sesuai peraturan perundang-undangan;
pelindungan terkait pemenuhan hak-hak pekerja; serta sanksi oleh perusahaan dan sanksi pidana
sesuai peraturan perundang-undangan. Adapun sanksi yang dapat diberikan perusahaan kepada
pelaku tindak kekerasan seksual di tempat kerja dapat berupa surat peringatan; pemindahan atau
penugasan ke divisi/bagian/unit kerja lain; mengurangi atau menghapus kewenangannya di
perusahaan; pemberhentian sementara (skorsing); dan/atau pemutusan hubungan kerja (PHK).

Dalam menghadapi pelecehan seksual di tempat kerja, perempuan memberikan berbagai reaksi.
Read (1982) menyebutkan tiga faktor yang menentukan bentuk reaksi perempuan terhadap
pelecehan seksual yaitu faktor kebutuhan ekonomi di mana perempuan memerlukan penghasilan
untuk mengelola kehidupannya sehari-hari, faktor struktur dalam tempat kerja di mana laki-laki
biasanya menduduki peringkat lebih tinggi di tempat kerja, dan faktor pembiasaan peran jenis
perempuan di mana masyarakat melatih perempuan untuk senantiasa berperilaku “manis”.
Berdasarkan ketiga faktor di atas, reaksi terhadap pelecehan seksual pada individu secara umum
adalah mengabaikan gangguan tersebut (Read, 1982; Tangri, Burt dan Jhonson, 1982) dengan
resiko gangguan itu terus berlangsung atau memburuk, meminta untuk dialihkan dalam bentuk
respon verbal, menenggangnya, menerimanya karena takut penolakan akan mengakibatkan
munculnya pembalasan dendam dalam bentuk sanksi organisasi, terutama jika pelaku pelecehan
tersebut adalah supervisor maupun pekerja (Hadjifotiou, 1983) atau mengajukan pengaduan
kepada atasan. Reaksi dari manajemen atau organisasi terhadap pelecehan seksual pada
umumnya adalah menangani permalasahan tersebut berdasarkan kasus per kasus. Salah satu
caranya dengan meminta agar laki-laki menghentikan aksinya dan meminta kepada perempuan
yang menjadi korban agar tidak menjadikan hal itu mengacaukan dirinya. Cara ini merupakan
jalan pemecahan ala laki-laki. Akibatnya perempuan merasa tidak puas dan merasa tidak ada
gunanya mengangkat masalah itu sehingga laporan kasus pelecehan seksual menjadi rendah
(Farley, 1980; Forum Keadilan, 13 September 1992). Lebih parah lagi, pihak manajemen sendiri
seringkali tidak melakukan tindakan apa-apa (Quinn, 1980; Tangri dkk., 1982; Unger dan
Crawford, 1986). Alasan yang menonjol dari reaksi tidak berbuat apa-apa adalah (1) Manajemen
lalai untuk menangani masalah tersebut dengan serius atau lalai untuk mengidentifikasikan
pelecehan seksual sebagai problem yang serius, (2) Organisasi tidak memiliki kebijakan atau
pedoman yang jelas. Hal ini menyebabkan organisasi bersikap mendua terhadap pelecehan
seksual, (3) Adanya kebingungan mengenai siapakah dalam organisasi yang memiliki tanggung
jawab terhadap masalah tersebut. Respon lain dari organisasi (Popovich dan Licata, 1987) adalah
lebih memfokuskan diri kepada cara-cara untuk mencegah pelecehan seksual di masa mendatang
daripada untuk mendeteksi dan mengiliminasinya saat itu juga. Persoalannya, bila organisasi
lambat bertindak seperti ini maka pelecehan seksual ditempatkan sebagai persoalan yang kurang
serius. Kondisi seperti ini terjadi juga di Indonesia (lihat Wattie & Yuarsi, 2002). Di Indonesia
fenomena pelecehan seksual relatif belum lama diangkat ke permukaan. Berbagai faktor
menghambat munculnya fenomena ini ke permukaan terutama faktor individual. Korban
pelecehan seksual dihadapkan pada pilihan yang sama-sama menyakitkan yaitu kerugian yang
dihadapi akibat pelecehan seksual dan rasa malu bila masalahnya dipublikasikan. Belum adanya
prosedur dan peraturan hukum yang jelas di Indonesia mengenai pelecehan seksual (Dzuhayatin
& Yuarsi, 2002) mengakibatkan masalah pelecehan seksual tidak terselesaikan dengan
memuaskan. Akibatnya, korban pelecehan seksual memilih untuk menyelesaikan masalah di luar
jalur hukum seperti berdamai secara kekeluargaan, menarik diri dengan cara mengundurkan diri
dari pekerjaan atau mengabaikan gangguan tersebut dengan risiko dampak psikologis yang
mempengaruhi kinerjanya.

Roman ditempat kerja?

SOAL NO 2
JAWABAN
Politik adalah usaha seseorang untuk meraih tujuan, spesifiknya untuk meraih kekuasaan.
Diindonesia sendiri masyarakat melihat bahwa perpolitikan diindonesia lebih banyak buruknya. 
Pada dasarnya politik itu tidak selalu tentang hal-hal yang buruk, seseorang bisa berpolitik
dengan cara yang baik dan benar. Politik yang buruk akibat  seseorang atau oknum ingin meraih
tujuannya dengan menghalalkan segala cara. Intinya baik dan buruknya sistem perpolitikan itu
dikembalikan kepada orang menjalankannya.  Menurut saya agar terciptanya politik yang baik
dan benar, maka seseorang itu harus memakai norma-norma yang ada, apabila bisa menerapkan
norma-norma yang ada akan terhindar dari politik yang buruk.
Menurut Peter Merkl, definisi politik dalam bentuk yang paling baik adalah cara untuk
mencapai tatanan sosial yang baik dan berkeadilan. Filsuf Yunani Kuno seperti Plato dan
Aristotles menamakannya sebagai en dam onia atau the good life. Roger F. Soltau menjelaskan
jika politik merupakan suatu ilmu yang mempelajari tentang negara, tujuan suatu negara,
lembaga yang akan melaksanakan tujuan tersebut serta hubungan antara negara dengan negara
lain dan negara dengan masyarakat yang ada di dalamnya. Max Weber menjelaskan jika politik
adalah suatu sarana perjuangan yang digunakan untuk melaksanakan politik. Politik juga bisa
diartikan sebagai peruangan yang dilakukan untuk mempengaruhi pendistribusian suatu
kekuasaan, baik itu di antara negara maupun diantara hukum dalam suatu negara. Dari
pengertian di atas dapat di simpulkan bahwa ranah politik itu tidak semua dalam hal-hal buruk
saja contohnya politik itu bisa mencapai tatanan sosial yang baik dan berkeadilan.
Perpolitikan itu sangat berguna bagi sebuah negara dikarenakan dengan adanya budaya
politik, masyarakat dapat mengetahui tatacara berpolitik yang benar dan demokratis agar tidak
terjadi kecurangan – kecurangan baik dalam pembuatan kebijakan-kebijakan umum (public
policies) yang menyangkut peraturan, pembagian, atau alokasi sumber-sumber yang ada,
sehingga terwujud suatu pertisipasi sosial yang optimal dari warga negara dalam sistem politik,
yang tercermin dalam tuntutan, tanggapan dan orientasinya terhadap sistem politik yang ada,
serta mengoptimalkan pemahaman terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi jika terjadi
pergesekan antara sistem politik budaya politik di tengah masyarakat. Akan tetapi diindonesia
banyak oknum-oknum yang menyalahgunakan politik salah satunya meraih kekuasaan dengan
menghalalkan segala cara contohnya seperti para pejabat yang korupsi,suap,jual beli suara dan
pembiayaan kampanye. Diindonesia sekarang pada tahun 2022 Dilansir dari laman resmi KPK,
dalam semester pertama tahun 2022, KPK telah melakukan 66 penyelidikan, 60 penyidikan, 71
penuntutan, 59 perkara inkracht, dan mengeksekusi putusan 51 perkara. Dari total perkara
penyidikan, KPK telah menetapkan sebanyak 68 orang sebagai tersangka dari total 61 surat
perintah penyidikan (spirindik) yang diterbitkan. 

Dalam dasawarsa terakhir, politik organisasi terutama cara yang dirasakan oleh para
karyawan dan para manajer telah menjadi salah satu bidang yang sangat menarik untuk dipelajari
dalam administrasi bisnis, manajemen dan psikologi terapan. Studi ini menyatakan bahwa cara
para karyawan merasakan hal tersebut di tempat kerja diistilahkan dengan iklim politik,
perjuangan kekuatan, taktik pengaruh dan keputusan etis yang mengandung banyak arti (Vigoda-
Gadot, 2006). Sebagai contoh, organisasi-organisasi yang merasakan lebih banyak politik secara
alami juga menganggap bahwa keadilan yang rendah dan kurang etis (Ferris & Kacmar 1992;
Kacmar & Ferris 1991; dalam Vigoda-Gadot, 2006). Miles (1980; dalam Siswanto, 2007)
mendefinisikan politik organisasi sebagai proses yaitu aktor atau kelompok organisasi
membangun “kekuasaan” untuk mempengaruhi penetapan tujuan, kriteria atau proses
pengambilan keputusan operasional dalam rangka memenuhi kepentingannya. Nelson & Quick
(1997; dalam Wulani, 2004) mengartikan politik organisasi sebagai penggunaan power dan
pengaruh dalam organisasi. Politik organisasi dalam hal ini menunjuk pada kebutuhan untuk
berkuasa dan mempengaruhi seseorang. Taktik perilaku politik merupakan perilaku yang secara
organisasional tidak ada sanksinya, yang mungkin dapat merugikan bagi tujuan organisasi atau
bagi kepentingan orang lain dalam organisasi (Harrell-Cook et al., 1999). Melalui politik
organisasi yang diterapkan dan diberikan kepada karyawannya, organisasi dapat
mempertahankan persaingan bisnis dengan organisasi lainnya. Politik organisasi ini telah
menjadi topik khusus yang menarik dalam literatur sumber daya manusia dan diminati oleh para
peneliti. Menurut Thompson & Ingraham (1995; dalam Vigoda-Gadot, 2006) tingginya tingkat
politik dalam oorganisasi seringkali menghadirkan ketidakadilan dan distribusi ketidakadilan
sumber-sumber diantara para karyawan dan juga diantara klien eksternal. Lingkungan dan
suasana mungkin juga mengakibatkan berkurangnya kinerja karyawan, tingginya tingkat stres
dan ketegangan (Harris & Kacmar 2005; Vigoda 2002; dalam Vigoda-Gadot, 2006), rendahnya
tingkat kepuasan kerja, berkurangnya komitmen terhadap organisasi dan menambah reaksi
negatif dari para karyawan seperti pelayanan kualitas yang rendah, meningkatnya pergantian
para karyawan dan tingginya tingkat perputaran yang sebenarnya (Ferris et al. 1996; Folger,
Konovsky, & Cropanzano 1992; Vigoda-Gadot 2003; dalam Vigoda-Gadot, 2006).
Drory & Romm (1990; dalam Greenberg & Baron, 1997) menyatakan bahwa politik
organisasi merupakan tindakan yang tidak secara formal dibuktikan dalam organisasi, dilakukan
dalam mempengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan perseorangan. Miles (1980; dalam
Siswanto, 2007) mendefinisikan politik organisasi sebagai proses yaitu setiap aktor atau
kelompok dalam organisasi membangun kekuasaan untuk mempengaruhi penetapan tujuan,
kriteria atau proses pengambilan keputusan organisasi dalam rangka memenuhi kepentingannya.
Kepentingan-kepentingan itu sendiri menurut Miles (1980; dalam Siswanto, 2007) adalah: (1).
kepentingan pekerjaan yaitu kepentingan yang terkait dengan tugas seseorang sesuai kedudukan
dan jabatan yang diembannya; (2). kepentingan karir, yaitu masa depan seseorang dalam
organisasi atas posisi dan jabatan yang lebih baik, terakhir (3). kepentingan ekstramural, yang
terdiri dari kepribadian, sikap, nilai, keyakinan dan komitmen di luar pekerjaan yang semuanya
akan membingkai pola perilaku seseorang baik menyambut pekerjaan maupun karir. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa politik organisasi adalah kekuasaan (power) yang dimiliki
oleh organisasi, pemimpin maupun karyawan yang digunakan melalui perilaku ditempat kerja
atau organisasi untuk mempengaruhi orang lain dalam mencapai tujuan organisasi.
Politik organisasi merupakan tindakan yang tidak secara formal dibuktikan dalam
organisasi, dilakukan dengan mempengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan perorangan. Studi
tentang kekuasaan dan pengaruhnya sangat penting untuk dipahami bagaimana organisasi
melakukan aktivitasnya. Sangat memungkinkan untuk melibatkan kekuasaan (power) dalam
setiap interkasi dan hubungan sosial pada organisasi tersebut. Orang cenderung untuk
mempengaruhi individu lain dan organisasi dalam setiap tindakan atau perilakunya, misalnya:
seorang manajer mempengaruhi karyawan untuk tujuan meningkatkan kinerja dan keuntungan
baik bagi kepentingannya maupun bagi kepentingan organisasi. Menurut Harris et al. (2005)
kekuasaan adalah kemampuan seseorang untuk memperoleh sesuatu sesuai dengan cara yang
dikehendakinya. Seseorang bisa saja memiliki kekuasaan tetapi tidak menggunakannya. Jika
kekuasaan ada tapi tidak digunakan, maka hal ini disebut sebagai kemampuan atau potensi diri
saja. Di dalam perusahaan, kekuasaan dapat diterapkan oleh setiap pemimpin maupun karyawan
yang ada. Kekuasaan jika dilihat dari beberapa perspektif, maka kekuasaan ada yang bersifat
positif maupun negatif. Kekuatan yang bersifat positif apabila diterapkan dan dilaksanakan pada
perusahaan sesuai dengan peraturan dan kebijakan yang ada dan dapat diterima oleh seluruh
karyawan yang bekerja pada perusahaan tersebut karena karyawan mendapatkan kepuasan dalam
bekerja. Sebaliknya, kekuasaan yang negatif adalah kekuasaan yang diterapkan dan dilaksanakan
pada perusahaan yang sifatnya memaksa dan kekuasaan tersebut tidak disukai oleh setiap
karyawan yang bekerja pada organisasi tersebut, karena kekuasaan tersebut bersifat menekan dan
tidak memberikan kepuasan kepada karyawan, sehingga karyawan tidak memiliki komitmen,
kinerja, dan sikap yang baik dalam bekerja. Kekuasaan, kewenangan, dan pengaruh digunakan
silih berganti dan merupakan konsep yang selalu terkait dengan politik organisasi. Kekuasaan
(power) dapat menentukan apa tujuan organisasi yang ingin diraih oleh suatu organisasi serta
bagaimana sumber daya organisasi tersebut didistibusikan kepada anggotanya (karyawan) atau
orang lain dalam organisasi. Setiap anggota kelompok dengan keahlian politik yang baik dapat
menggunakan kekuasaannya untuk mempengaruhi distribusi sumber daya yang dimiliki
organisasinya sesuai dengan keinginan.

NOMOR 3

Anda mungkin juga menyukai