Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Lingkungan kerja yang aman sangat mendukung untuk mencapai hubungan industrial yang kuat dan
produktif. Guna mencapai lingkungan kerja yang sedemikian, sangat penting untuk memastikan bahwa
tempat kerja tersebut bebas dari segala bentuk diskriminasi, termasuk pelecehan.

Setiap orang di tempat kerja bisa sangat rentan pada beragam bentuk pelecehan, termasuk pelecehan
seksual dan intimidasi. Setiap dan seluruh bentuk pelecehan di tempat kerja akan merugikan semua
pihak. Bagi para pekerja, hal tersebut dapat mengarah pada memburuknya kinerja, yang pada gilirannya
menekan tingkat produktivitas dan mempengaruhi kesejahteraan dari semua pekerja dan keluarga
mereka. Tingkat keluar masuk karyawan yang semakin meningkat dan produktivitas yang rendah
memiliki potensi untuk mempengaruhi daya saing ekonomi dari pabrik-pabrik dimaksud. Pelecehan di
pabrik-pabrik garmen telah disoroti sebagai sesuatu yang menimbulkan permasalahan oleh para aktivis
internasional dan tampil pada tajuk berita utama di berbagai media internasional. Berbagai pelanggaran
begitu juga dengan desas-desus tentang berbagai permasalahan pelecehan di tempat kerja dapat
menimbulkan dampak serius terhadap hubungan antara pabrik dan pembeli internasional yang sadar
reputasi. Demikianlah apa yang menjadi perhatian kita bersama untuk menciptakan lingkungan kerja
yang positif melalui pencegahan pelecehan di tempat kerja.

Meskipun demikian, laporan terjadinya pelecehan di tempat kerja tetap tersebar luas. Secara khusus,
banyak kasus pelecehan di tempat kerja yang tampaknya terjadi dalam industri garmen. Hal ini
kemungkinan disebabkan oleh beragam alasan, seperti kehadiran jumlah wanita pekerja berusia muda
dalam jumlah besar, yang tidak berpengalaman, dan berasal dari daerah pedesaan dibawah supervisi
sejumlah kecil pria, tingkat tekanan produksi yang tinggi dan praktek-praktek penegakan disiplin yang
bernuansa kekerasan. Berdasarkan survei data dasar yang diselenggarakan oleh Better Work Indonesia
antara bulan September 2011 hingga Februari 2012, lebih dari 80 persen wanita pekerja melaporkan
keprihatinan mereka tentang pelecehan seksual.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan pemaparan dari latar belakang diatas penulis menarik rumusan masalah
sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan pelecehan ditempat kerja ?
2. Apa saja bentuk pelecahan ditempat kerja ?
3. Apa yang dimaksud dengan pelecehan seksual ditempat kerja ?
4. Dampak pelecahan ditempat kerja ?
5. Bagaimana pencegahan pelecehan ditempat kerja ?

C. TUJUAN PENULISAN
Tujuan saya menulis makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui pengertian pelecehan ditempat kerja
2. Untuk mengetahui bentuk-bentuk pelecehan seksual ditempat kerja
3. Untuk mengetahui tentang pelecehan seksual ditempat kerja
4. Untuk mengetahui dampak pelecehan ditempat kerja
5. Untuk memahami bagaimana mencegah terjadinya pelecehan ditempat kerja
BAB II

PEMBAHASAN

A. PELECEHAN DITEMPAT KERJA

1. Pelecehan

Setiap perilaku berdasarkan usia, keterbatasan, status HIV, kondisi rumah tangga, jenis kelamin,
orientasi seksual, perubahan jender, ras, warna kulit, bahasa, agama, aliran politik, serikat pekerja atau
opini lainnya atau kepercayaan, bangsa atau latar belakang sosial, hubungan dengan minoritas, hak
milik, kelahiran atau status lainnya yang tidak mendapatkan balasan setimpal atau tidak dikehendaki
yang mempengaruhi harga diri pria dan wanita di tempat kerja.

Pelecehan seringkali melibatkan penyalahgunaan kekuasaan di mana obyek sasaran dapat mengalami
kesulitan dalam mempertahankan dirinya. Pelecehan di tempat kerja adalah tindakan ofensif yang tidak
diinginkan, berulang, atau tidak masuk akal, yang ditujukan pada seorang pekerja atau sekelompok
pekerja yang menyebabkan timbulnya kesulitan dalam pelaksanaan pekerjaan atau menyebabkan
seorang pekerja merasa bahwa ia bekerja di lingkungan kerja yang tidak ramah. Hal ini juga dapat
menyebabkan timbulnya resiko kesehatan dan keselamatan terhadap pekerja yang bersangkutan.

2. Tempat kerja

Berdasarakan UU No. 1 Tahun 1970, makna dari ‘tempat kerja’ adalah tempat fisik di mana para pekerja
bekerja atau tempat di mana para pekerja acapkali memasukinya dalam kaitan dengan pekerjaannya
dan dimana ada sumber bahaya. Hal ini termasuk di antaranya semua ruangan, lapangan, halaman dan
daerah-daerah yang mengelilinginya yang membentuk bagian dari, atau terhubung dengan tempat
kerja, baik bersifat terbuka atau tertutup, dapat bergerak atau bersifat diam.Dari definisi di atas, dapat
disimpulkan bahwa tempat kerja tidak hanya yang tergolong tempat fisik dimana pekerjaan dilakukan
selama delapan jam kerja sehari-hari, seperti kantor atau pabrik.

Tempat kerja juga dapat berupa semua lokasi dimana urusan yang berhubungan dengan pekerjaan
dilaksanakan sebagai hasil dari tanggung jawab yang timbul sehubungan dengan adanya tanggung jawab
atau ikatan hubungan kerja, di lokasi-lokasi seperti fungsi-fungsi sosial, konferensi, sesi pelatihan,
perjalanan bisnis resmi, santap siap dan santap malam, berbagai kampanye yang diselenggarakan untuk
para klien atau mitra, percakapan telepon dan komunikasi melalui media elektronik yang ada
hubungannya dengan pekerjaan. Tempat kerja dengan demikian juga menjangkau lokasi-lokasi dan jam-
jam kerja di luar delapan jam kerja sehari-hari baik di kantor maupun di pabrik.

3. Dasar-dasar pelecehan
Pelecehan diklasifikasikan sebagai bentuk diskriminasi apabila didasari pada satu dari dasar-dasar
diskriminasi yang dilarang yang didefinisikan dalam Konvensi Internasional atau dalam undang-undang
negara. Pelecehan dapat didasarkan atas faktor-faktor seperti, ras, jender, budaya, usia, orientasi
seksual, preferensi agama. Dasar dari pelecehan dapat berbeda dari satu negara ke negara lainnya dan
dari satu konteks sosial ke konteks sosial lainnya.

B. BENTUK-BENTUK PELECEHAN DITEMPAT KERJA

Pelecehan dapat berbentuk kata-kata, bahasa tubuh atau tindakan-tindakan yang cenderung untuk
mengganggu, menimbulkan kewaspadaan, menyalahgunakan, mengolok-olok, mengintimidasi,
mengecilkan, menghina atau mempermalukan orang lain atau hal-hal yang mengintimidasi,
menimbulkan permusuhan, atau lingkungan kerja yang bersifat ofensif. Pada umumnya, ada tiga bentuk
pelecehan.
i. Pelecehan fisik: contoh kekerasan (seksual) atau kontak fisik yang tidak diinginkan seperti ciuman atau
sentuhan.
ii. Pelecehan verbal: contoh komentar, lelucon yang bersifat ofensif, hinaan yang bersifat personal,
ungkapan yang bersifat menghina.
iii. Pelecehan non-verbal/ visual: contoh mendelik,mengerling, bersiul, perilaku yang bersifat
mengancam, bahasa tubuh yang menyiratkan sesuatu yang bersifat seksual, atau ‘mengucilkan’
seseorang.

C. PELECEHAN SEKSUAL DITEMPAT KERJA

1. Definisi

Pelecehan seksual adalah perilaku dalam bentuk verbal ataupun fisik atau gerak tubuh yang
berorientasi seksual, permintaan layanan seksual, atau perilaku lain yang berorientasi seksual yang
membuat orang yang dituju merasa terhina, tersinggung dan/atau terintimidasi. Pelecehan seksual
juga meliputi berbagai situasi di mana perilaku yang telah disebutkan sebelumnya disertakan ke
dalam persyaratan kerja atau ketika perilaku yang sedemikian menciptakan lingkungan kerja yang
mengintimidasi, tidak ramah atau tidak layak. Reaksi mereka yang menjadi korban harus terukur
dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi yang dihadapi. Dengan kata lain, pelecehan seksual
adalah:
a) Penyalahgunaan perilaku seksual;

b) Permintaan layanan seksual;

c) Pernyataan verbal atau aksi fisik atau bahasa tubuh yang menyiratkan perilaku seksual, atau

d) Tindakan yang tidak diinginkan yang berkonotasi seksual:

i. Orang yang menjadi sasaran telah menyatakan secara jelas bahwa perilaku tersebut tidak
dikehendaki;
ii. Orang yang menjadi sasaran merasa terhina, tersinggung dan/ atau terintimidasi oleh perilaku
tersebut; atau
iii. Pelaku sewajarnya harus dapat mengantisipasi bahwa orang lain akan merasa tersinggung,
terhina dan/atau terintimidasi oleh perilaku yang demikian.

2. Bentuk-bentuk pelecehan seksual

Pelecehan seksual dapat mengambil berbagai bentuk. Pada umumnya, ada lima bentuk pelecehan
seksual.
a) Pelecehan fisik termasuk sentuhan yang tidak diinginkan dengan kecendrungan seksual seperti
mencium, menepuk, mencubit, melirik, dan mendelik dengan penuh hawa nafsu.
b) Pelecehan verbal termasuk komentar-komentar yang tidak diinginkan tentang kehidupan pribadi
seseorang, anggota tubuh atau penampilannya, lelucon dan komentar yang menyiratkan sesuatu yang
bersifat seksual.
c) Pelecehan dengan bahasa tubuh termasuk bahasa tubuh yang menjurus kepada sesuatu yang
bersifat seksual dan/atau gerak-geriknya, kedipan mata yang berulang-ulang, menjilat bibir dan gerak-
gerik lain dengan menggunakan jari-jemari.

d) Pelecehan yang bersifat tertulis atau grafis termasuk pemaparan barang-barang pornografi,
gambar-gambar eksplisit yang bersifat seksual, gambar pelindung layar komputer atau poster dan
pelecehan melalui e-mail dan sarana komunikasi elektronik lainnya.
e) Pelecehan psikologis/emosional yang termasuk di antaranya permintaan yang terus menerus dan
tidak diinginkan, undangan yang tidak diinginkan untuk pergi berkencan, hinaan-hinaan, ejekan-
ejekan dan sindiran-sindiran yang berkonotasi seksual.

3. Lingkup dan batasan

Fenomena pelecehan seksual di temapt kerja sudah ada sejak pertama kali perempuan memasuki
angkatan kerja. Pada tahun 1974, fenomena ini mejadi terkenal ketika kaum feminis mengangkat
terminologi pelecehan seksual sebagai julukan dari perilaku tersebut (Betz dan Fitzgerald, 1987; Wise
dan Stanley, 1987).

Meyer dkk. (1987) menyatakan secara umum ada tiga aspek penting dalam mendefinisikan pelecehan
seksual yaitu aspek perilaku (apakah hal itu merupakan proposisi seksual), aspek situasional (apakah
ada perbedaan di mana atau kapan perilaku tersebut muncul) dan aspek legalitas (dalam keadaan
bagaimana perilaku tersebut dinyatakan ilegal).

Berdasarkan aspek perilaku, Farley (1978) mendefinisikan pelecehan seksual sebagai rayuan seksual
yang tidak dikehendaki penerimanya, di mana rayuan tersebut muncul dalam beragam bentuk baik
yang halus, kasar, terbuka, fisik maupun verbal dan bersifat searah. Bentuk umum dari pelecehan
seksual adalah verbal dan godaan secara fisik (Zastrow dan Ashman, 1989; Kremer dan Marks, 1992),
di mana pelecehan secara verbal lebih banyak daripada secara fisik. Para ahli tersebut menyebutkan
pelecehan seksual dalam bentuk verbal adalah bujukan seksual yang tidak diharapkan, gurauan atau
pesan seksual yang terus menerus, mengajak kencan terus menerus walaupun telah ditolak, pesan
yang menghina atau merendahkan, komentar yang sugestif atau cabul, ungkapan sexist mengenai
pakaian, tubuh, pakaian atau aktivitas seksual perempuan, permintaan pelayanan seksual yang
dinyatakan dengan ancaman tidak langsung maupun terbuka.

Pelecehan seksual dalam bentuk godaan fisik di antaranya adalah tatapan yang sugestif terhadap
bagian-bagian tubuh (menatap payudara, pinggul atau bagian tubuh yang lain), lirikan yang menggoda
dan mengejap-ngejapkan mata, rabaan; mencakup cubitan, remasan, menggelitik, mendekap, dan
mencium, gangguan seksual seperti rabaan atau ciuman yang terjadi karena situasi yang sangat
mendukung misalnya di lift, koridor dan ruang lain yang sepi setelah jam kerja, tawaran kencan
dengan imbalan promosi atau memojokkan perempuan untuk dicium, proposisi seksual, tekanan yang
halus untuk aktivitas seksual, usaha perkosaan dan perkosaan itu sendiri.

Dipandang dari aspek situasional, pelecehan seksual dapat dilakukan dimana saja dan dengan kondisi
tertentu. Perempuan korban pelecehan seksual dapat berasal dari setiap ras, umur, karakteristik,
status perkawinan, kelas sosial, pendidikan, pekerjaan, tempat kerja, dan pendapatan (Hadjifotiou,
1983; Higgins dan Hawkins, 1986). Hasil survei pekerja federal pada 20.083 orang dengan berbagai
karakteristik (jenis kelamin, penghasilan, tingkat pendidikan dll.) menunjukkan hasil bahwa
perempuan lajang dan bercerai lebih banyak menjadi korban daripada perempuan yang sudah
menikah, insiden yang menimpa janda lebih kecil daripada perempuan yang sudah menikah namun
hal ini lebih berkaitan dengan faktor umur. Dari segi organisasi, trainee perempuan paling besar
persentasenya mengalami pelecehan seksual, namun tidak ada hubungannya dengan kategori
pekerjaan, tidak ada hubungan yang jelas antara tingkat penghasilan dan insiden pelecehan seksual,
ada hubungan yang positif antara tingkat pendidikan dengan insiden pelecehan seksual, ada
hubungan yang positif antara tingkat penghasilan dan insiden pelecehan seksual, ada hubungan yang
positif antara tingkat pendidikan dengan insiden pelecehan seksual dan terdapat korelasi yang sangat
kuat antara tingkat usia dan ketergantungan terhadap kerja dengan tingkat dan frekuensi pelecehan
seksual di mana semakin muda semakin tergantung pada pekerjaannya, frekuensi pelecehan
seksualnyapun semakin tinggi. Perempuan yang mendobrak ke dalam pekerjaan yang secara
tradisional didominasi oleh laki-laki juga akan lebih sering mengalami pelecehan seksual daripada
perempuan lain (Tangri, Burt dan Johnson, 1982).

Gutek dan Dunwoody (1987) menyatakan bahwa aktivitas seksual yang dipandang sebagai suatu
bagian dalam persyaratan kerja (seperti penting untuk memperoleh dan mempertahankan pekerjaan,
atau untuk memperoleh promosi) didefinisikan sebagai pelecehan seksual oleh 81 persen hingga 98
persen pekerja dewasa dan responden mahasiswa. Kedua ahli ini juga menunjukkan beberapa faktor
yang mempengaruhi persepsi terhadap situasi yang dinilai sebagai pelecehan seksual yaitu: perilaku
yang terlibat, hubungan di antara dua orang yang terlibat, usia, jenis kelamin rater dan jenis
pekerjaan.
a) Perilaku yang terlibat.
Perilaku seksual yang eksplisit dan perilaku yang melibatkan ancaman atau peringatan jauh
dipandang lebih mendekati konsep pelecehan seksual daripada perilaku yang lain. Pryor dan Day
(1988) menyebutkan orang akan lebih menilai rayuan seksual terhadap perempuan sebagai
pelecehan seksual, bila perilaku tersebut diatribusikan kepada laki-laki yang melakukan intensi
negatif (refleksi rasa permusuhan atau ketidakpekaan terhadap perasaan perempuan) terhadap
perempuan secara terus menerus.

b) Hubungan di antara orang yang terlibat.

Situasi yang lebih dipersepsi sebagai pelecehan seksual bila pelaku pelecehan tersebut adalah atasan
korban daripada bila pelaku adalah teman sekerja ataupun bawahan korban, atau bila korban sudah
berusaha untuk menghindar dari pelaku pelecehan daripada bila kedua orang tersebut (korban dan
pelaku) memang sering berkencan. Insiden ini juga dipersepsi sebagai pelecehan seksual bila pelaku
pelecehan adalah laki-laki (Gutek dan Morash, 1983), dan perempuan adalah korbannya (Gutek,
Morasch dan Cohen, 1983).
c) Usia.

Usia korban perempuan masih muda. Hasil riset menunjukkan bahwa perempuan muda dan
belum/tidak menikah secara khusus mudah terserang pelecehan seksual walaupun perempuan dari
segala usia, suku, pekerjaan, tingkat penghasilan dan status perkawinan pernah mengalami pelecehan
seksual. Kecenderungan pelecehan seksual pada perempuan di bawah 20 tahun dua kali lipat
dibandingkan mereka yang berusia 20 – 40 tahun (Zastrow dan Ashman, 1989).
d) Jenis kelamin rater.

Rater perempuan memberikan batasan yang lebih luas tentang perilaku seksual di tempat kerja yang
tergolong pelecehan seksual, sedangkan laki-laki cenderung untuk merating perilaku seksual yang
ekstrem sebagai pelecehan seksual.
e) Jenis pekerjaan.

Manajer tingkat tinggi cenderung merating insiden tersebut kurang serius dibandingkan manajer
menengah atau bawah, dan persepsi fakultas cenderung lebih longgar dalam memandang perilaku
pelecehan seksual daripada mahasiswanya. Sejalan dengan pendapat ini, Pryor dan Day (1988)
menemukan bahwa perilaku sosial seksual yang tertuju kepada mahasiswa dipandang lebih tidak
diharapkan dan lebih menganggu daripada perilaku yang sama dari mahasiswa tertuju kepada
mahasiswi.

D. DAMPAK PELECEHAN DITEMPAT KERJA

Pelecehan di tempat kerja dapat menimbulkan dampak negatif yang berarti pada para karyawan
secara individual, para kolega, dan perusahaan, sebagaimana yang digambarkan dalam bagian-bagian
berikut.

1. Dampak terhadap korban


• Stress, kekhawatiran, gangguan tidur, Gangguan Stress Pasca Trauma (GSPT)

• Ketidakmampuan untuk bekerja, hilangnya harga diri dan rasa percaya diri.

• Produktivitas dan kinerja yang menurun.

• Timbulnya perasaan terkucil di tempat kerja.

• Gejala stress yang timbul secara fisik, seperti sakit kepala, sakit punggung, kram perut.

• Serangan rasa sakit, rasa lelah yang amat sangat.

• Memburuknya hubungan personal.

• Depresi.

2. Dampak bagi perusahaan

Masing-masing dari konsekuensi individual yang telah disebutkan di atas dapat sangat mahal

bagi perusahaan, yang menyebabkan hal-hal berikut:

• Meningkatnya tingkat keluar masuk karyawan, biaya pelatihan bagi karyawan baru.

• Pecahnya ikatan tim dan hubungan individual.

• Lingkungan kerja yang tidak aman dan tidak ramah.

• Publisitas yang buruk, citra publik yang merugikan, hilangnya rasa percaya masyarakat umum.

• Memburuknya hubungan antara pabrik dan para pembeli internasional.

E. USAHA PENCEGAHAN PELECEHAN DITEMPAT KERJA

1. Syarat minimum mencegah pelecehan seksual

1.1 Para Pekerja:

Dalam hubungannya dengan persoalan pelecehan, para pekerja harus mencegah segala
bentuk pelecehan dengan mengkomunikasikan seluruh kebijakan perusahaan berkenaan
dengan pelecehan di tempat kerja kepada seluruh pekerja, dan dengan memastikan
dilaksanakannya semua tindakan perbaikan yang efektif.

1.2 Para Pengusaha:

Sebagai persyaratan minimum, ada dua tindakan utama yang harus diambil oleh semua
pengusaha untuk mencegah dan menyelesaikan kasus-kasus pelecehan di tempat kerja:
a) Mengembangkan, menyokong, dan mengkomunikasikan kebijakan tentang pelecehan di
tempat kerja kepada seluruh karyawan. Kebijakan harus disebarkan kepada seluruh karyawan
selama masa rekrutmen dan orientasi karyawan baru; dan

b) Mengambil tindakan perbaikan yang efektif dan pantas apabila terjadi pelecehan di tempat
kerja. Pengusaha/manajemen diwajibkan untuk menahan tindakan yang dapat dikategorikan
sebagai pelecehan. Pengusaha/manajemen harus berkontribusi terhadap terciptanya dan
terbinanya lingkungan kerja yang bebas dari pelecehan dengan menerapkan standar untuk
menghilangkan segala bentuk pelecehan.Pengusaha/ manajemen harus berusaha untuk
memastikan bahwa seluruh pihak ketiga yang berurusan dengan perusahaan, seperti
pelangan, pelamar kerja atau pemasok, tidak menjadi sasaran pelecehan baik oleh pengusaha
maupun karyawan, dan sebaliknya. Seluruh pengusaha, tanpa memandang ukuran perusahaan
atau organisasi, harus mengambil langkah-langkah yang tepat untuk mencegah pelecehan di
tempat kerja. Hal ini bermakna bahwa para pengusaha harus secara akif
mengimplementasikan tindakan-tindakan pencegahan untuk meminimalkan terjadinya
pelecehan dan untuk merespon secara wajar ketika terjadi pelecehan.

Oleh karena alasan-alasan ini, semua pengusaha diwajibkan untuk membentuk mekanisme
(mekanisme internal) dalam perusahaan, organisasi, atau lembaga untuk mencegah dan
merespon terhadap kasus-kasus pelecehan seksual di tempat kerja. Mekanisme tersebut harus
menyertakan elemen-elemen berikut:
a. Pernyataan kebijakan yang melarang pelecehan;
b.Definisi yang jelas tentang apa yang tergolong kepada pelecehan;
c. Prosedur keluhan/keberatan;
d.Aturan dan hukuman disiplin terhadap pelaku pelecehan dan terhadap mereka yang
melontarkan tuduhan palsu;
e.Tindakan-tindakan protektif dan pemulihan untuk korban;
f. Program peningkatan dan pendidikan untuk menjelaskan kebijakan perusahaan tentang
pelecehan dan meningkatkan kesadaran serta konsekuensi serius atas pelanggaran kebijakan
yang harus disebarkan kepada seluruh karyawan, penyelia, dan manajer di perusahaan;

g.Pemantauan.

2. Pencegahan

Pencegahan adalah cara yang paling efektif bagi seorang pengusaha dalam mengangkat masalah
pelecehan di tempat kerja. Tindakan-tindakan pencegahan termasuk di antaranya:

a) Komunikasi: mensosialisaikan pedoman melalui, sebagai contoh, Lembaga Kerjasama Bipartit,


Lembaga Kerjasama Tripartit, dan beragam media cetak dan elektronik.
b) Pendidikan: mengorganisasikan program-program orientasi dan pengenalan bagi staff,
ceramah-ceramah keagamaan, atau acara-acara khusus seperti acara-acara yang sudah
diprogramkan.
c) Pelatihan: memberikan pelatihan spesifik bagi para penyelia dan manajer untuk mengenali
masalah-masalah yang ada di tempat kerja dan mengembangkan beragam strategi untuk
pencegahan; membentuk Tim Respon Penyelesaian Pelecehan.
d) Mendorong perusahaan untuk melaksanakan pencegahan pelecehan di tempat kerja,
termasuk mengambil tindakan disiplin dalam bentuk:
i. Kebijakan Perusahaan
ii. Perjanjian Kerja/Peraturan Perusahaan/Kesepakatan Kerja Bersama
Penyebarluasan kebijakan dan mekanisme pencegahan pelecehan kepada seluruh karyawan dan
para penyelia sama pentingnya. Guna memenuhi seluruh kebutuhan akan komunikasi, para
pengusaha harus menyelenggarakan program di mana karyawan dan penyelia dapat
mendapatkan pendidikan tentang pelecehan. Sehingga pada akhirnya, seluruh pihak harus
memiliki kesadaran yang tinggi tentang berbagi cara untuk menciptakan lingkungan kerja yang
produktif yang bebas dari pelecehan.Pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus
memastikan bahwa seluruh pedoman yang berkenaan dengan implementasi dari ketentuan-
ketentuan ini dan contoh-contoh dari kebijakan mengenai pelecehan untuk perusahaan
berukuran besar, sedang, dan kecil dapat diakses dan tersedia bagi seluruh pengusaha.
Sementara itu, para pengusahaan harus memberikan informasi tentang pelecehan pada
program-program orientasi, di samping juga pendidikan dan pelatihan bagi para pekerja. Serikat
pekerja juga harus menyertakan informasi tentang pelecehan dalam program-program
pendidikan dan pelatihan untuk para anggotanya.

Anda mungkin juga menyukai