PENDAHULUAN
Judul buku ajar ini adalah seni pertunjukan indonesia. Judul tersebut
termuat dalam kata – kata inti yaitu seni ‘pertunjukan’ yang mengandung
batasan tegas bahwa yang akan dipelajari adalah seni pertunjukan sebagai
salah satu dari kategori seni yang ada, yaitu: seni rupa seni sastra, seni media
rekam, dan seni pertunjukan itu sendiri.
Selanjutnya adalah kata-kata Indonesia, mengandung arti bahwa yang
akan dipelajari adalah seni pertunjukan yang di ‘pandang’ sebagai seni
pertunjukan Indonesia. Sehubungan dengan hal diatas, pengertian seni
pertunjukan Indonesia adalah suatu seni pertunjukan yang mencakup baik
seni pertunjukan yang hidup sebagai bagian dari kebudayan bangsa
Indonesia (sebelum lahirnyan bangsa Indonesia) maupun seni pertunjukan
yang tumbuh sebagai perkembangan atau kelanjutan dari seni pertunjukan
kebudayaan lama tersebut. Seni pertunjukan yang termasuk dalam kerangka
tersebut akan dipelajari mencakup bentuk dan aspek sosial budaya yang
melatar belakangi perwujudanya.
Telah sama-sama diketahui, bahwa ada kebudayaan utama yang
membentuk kebudayaan Indonesia pada saat ini. Kebudayaan yang
dimaksud adalah:
a) kebudayaan prasejarah yang merupakan kebudayaan asli
indonesia (sebelum masuknya kebudayaan lain).
b) Pengaruh kebudayaan India dan cina.
c) pengaruh kebudayaan Arab.
d) dan pengaruh kebudayaan Eropa.
Keempat unsur kebudayaan ini memberi warna tersendiri pada
pembentukan dan dan pertumbuhan bentu-bentuk seni pertunjukan
Indonesia, yang mencakup bidang musik, tari, dan drama tari (teater).
Berdasarkan latar belakang budaya seperti yang demikian, maka
tumbuhlah seni pertunjukan Indonesia antara lain berupa musik gamelan
(Jawa, Bali, Sunda), Kelintang (kalimantan barat,Jambi, Sumsel), Talempong
1
(minangkabau), Gamad (Minangkabau), Orkes Melayu (umumnya
sumatera), Sirreli (Makasar), Gambang Kromong (Betawi),Gandang Tambua
Pariaman (Minangkabau), Tabot (Bengkulu), Angklung (Jawa Barat), Bala
Ganjur (NTB – Lombok Barat), dsb
Selanjutnya seni pertunjukan berupa tari antara lain adalah seudati dan
Ratuh (Aceh), Pakarena (Makasar), Piring (Minangkabau), Ngarak
(Lampung), Bedhaya (Jawa), Jaipongan (Sunda), Topeng (Betawi), dsb.
Sementara seni pertunjukan berupa teaterantara lain adalah
“Ketoprak, Ludruk, Serandul, Wayang Wong, Mandu, Makyong, Gambuh,
Ubrug, Sintren, Janger, Mamanda,Wayang Kulit, Wayang Golek, Wayang
Beber, Dagelan, Sulap, Akrobat,dsb”. (Bandem dan Murgianto,1996: 9)
.Gendre seni pertunjukan diatas pada umumnya adalah seni
pertunjukan bagian dari kebudayan lama, dan menjadi bagian dari tradisi
masyarakat pendukungnya. Selain dari itu ada lagi bentuk-bentuk seni
pertunjukan Indonesia yang lahir sebagai pengepresian situasi masa kini dan
bentuk-bentuk yang terlahir sebagai seni pertunjukan populer.
Bentuk-bentuk seni pertunjukan massa kini itu dapat dilihat misalnya
pada karya koponis-komponis yang pernah ikut pada forum pekan
komponis muda (1979-1985) atau pada beberapa forum festival musik di
indonesia yang lain. Karya Sardono W. Kusumo, Bagong Kusssudiadjo,
Prapto, dsb. Adapun yang berbentuk popular adalah bentuk-bentuk seni
pertunjukan yang dapat dirasakan atau diamati setiap hari sebagaimana
adanya sekarang; baik musik, tari, ataupun teater. (Mahdi Bahar, 2006: 5)
Sehubungan dengan keberadaan bentuk-bentuk seni pertunjukan
Indonesia tersebut dalam masyarakat pendukungnya, dapat dipedomani apa
yang dijelaskan James R. Brandon dalam bukunya “seni Pertunjukan Asia
Tenggara”, terjemahan Sudarsono. Meskipun yang dijelaskan adalah seni
pertunjukan di Asia Tenggara akan tetapi hal itu penting bagi kita untuk
melihat khususnya bentuk-bentuk seni pertunjukan yang ada di Indonesia
sebagai bagian dari kebudayaan Asia Tenggara.
Brandon menjelaskan bahwa seni pertunjukan bukanlah produk dari
satu bagian masyarakat saja di Asia Tenggara. Seni pertunjukan telah
dikembangkan di banyak lingkungan sosial. Kondisi-kondisi dimana seni
pertunjukan cukup berkembang dengan beraneka macam telah
meninggalkan sedemikian bekas yang kuat hingga mungkin untuk
mengidentifikasi empat”tradisi seni pertunjukan” yang utama atas dasar
lingkungan sosialnya, yaitu: “tradisi seni pertunjukan rakyat”, “tradisi
pertunjukan Istana”, tradisi pertunjukan populer, dan “tradisi pertunjukan
Barat”. (Brandon, 1989:162)
Disamping pembahasan tentang pengkategorian seni pertunjukan
Indonesia oleh Brandon, juga dapat di pedomani konsep seni pertunjukan
2
Indonesia oleh Sudarsono melalui pendekatan sejarah Indonesia, dari masa
prasejarah sampai masa globalisasi saat ini, agar pembahasaan dapat
mencakup atau mewakili seni pertunjukan Indonesia secara keseluruhan.
Dengan melihat seni pertunjukan dari masa silam, akan diketahui pasang
surutnya bebagai seni pertunjukan di Indonesia.
Sumber Pustaka
3
BAB II
TRADISI SENI PERTUNJUKAN
ASIA TENGGARA
4
mereka kedapatan mengadakan pertunjukan didesa-desa. Fakta yang
sederhana, bahwa sebuah rombongan yang mengadakan pertunjukan untuk
orang-orang desa tidaklah membuat bentuk itu sebagai pertunjukan rakyat.
5
D. Seni pertunjukan Barat
6
Pengkategorian tradisi seni pertunjukan seperti yang dikemukakan
Brandon diatas dapat dilihat kenyataannya dalam tradisi-tradisi seni
pertunjukan Indonesia, yang akan dibahas pada bab selanjutnya yakni,
“perkembangan seni pertunjukan Indonesia dari masa ke masa”.
E. Rangkuman
F. Tes Formatif
7
2. Coba saudara cari dua contoh bentuk seni tradisi yang dapat
saudara kategorikan kedalam kategori-kategori tradisi seni
pertunjukan tersebut. Dan jelaskan kenapa anda
mengkategorikanya seperti demikian.
Sumber Pustaka
8
BAB III
PERKEMBANGAN SENI PERTUNJUKAN INDONESIA
DARI MASA KE MASA
9
Sementra itu di negara maju sebagian dari seni pertunjukan
penyandang dana produksinya adalah para penonton yang membeli
karcis.
10
Theatre In Southeas Asia mengestimasikan, bahwa bentuk seni pertunjukan di
seluruh negara-negara Asia Tenggara, lebih dari separohnya adalah milik
bangsa Indonesia. Adapun yang separoh adalah milik negara-negara
Thailand, Kamboja, Myanmar, Laos, Vietnam, Malaysia, Singapura, Brunai
Darusalam, dan Philipina (Soedarsono, 2002).
Selanjutnya Soedarsono (2002) menambahkan, kekayaan seni
pertujukan yang dimiliki bangsa Indonesia ini, jelas disebabkan oleh jumlah
penduduk Indonesia yang lebih dari 200 juta, negara ini memiliki enam
agama besar dan satu kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Di
samping penduduk yang sangat besar jumlanya itu ternyata terdiri dari 500
kelompok etnis. Akibatnya, sebagai satu contoh, seni pertunjukan yang
berkembang di propinsi Aceh dan seni pertunjukan yang berkembang di
propinsi Sumatera Barat sangat berbeda. Adapun sebabnya, walaupun
kedua propinsi yang ada di Sumatera ini penduduknya sebagian besar
beragama Islam, tetapi keduanya berasal dari etnis yang berbeda.
Sehubungan dengan hal diatas, pengertian seni pertunjukan
Indonesia adalah suatu seni pertunjukan yang mencakup baik seni
pertunjukan yang hidup sebagai bagian dari kebudayan lama (prasejarah)
bangsa Indonesia (sebelum lahirnya bangsa Indonesia) maupun seni
pertunjukan yang tumbuh sebagai perkembangan atau kelanjutan dari seni
pertunjukan kebudayaan lama tersebut.
11
Walaupun secara arkeologis benda-benda masa prasejarah sudah
sangat tua sampai mencapai ribuan tahun, tetapi kadang-kadang oleh
masyarakat yang mewarisinya sampai kini mendapat interpretasi baru.
Sebagai contoh adalah sebuah patung besar dari batu yang sebenarnya
merupakan peninggalan dari zaman megalitikum yang terdapat di desa
Trunyan di Bali. Namun demikian patung seorang laki-laki dari batu yang
pahatan kasar itu mendapat tempat yang sangat terhormat dikalangan
penduduk Trunyan. Patung itu menurut kepercayaan masyarakat Trunyan,
yang sebenarnya pemeluk sebuah varian dari agama Hindu, dianggap
sebagai patung nenek moyang yang lazim disebut Batara Berutuk. Bahkan,
oleh karena begitu keramatnya patung itu diberi nama kehormatan Ratu
Sakti Pancering Jagad. Patung seorang lelaki telanjang dengan alat vital yang
cukup besar itu, dalam kepercayaan masyarakat desa Trunyan yang terletak
ditepi danau bantur, diberi permaisuri yang hanya dilambangkan dengan
bentuk tempat duduk yang di tempatkan disebuah bangunan suci yang
disebut panaleman. Permaisuri tersebut diberi gelar kehormatan Ratu Aya
Pingit Dalam Dasar. Untuk menghormati kedua tokoh kepercayaanya
tersebut dilakukan upcara keagamaan yang sangat akbar yang disebut
dengan Saba Gede Sapat Lanang.Upacara tersebut klimaksnya berupa
pertunjukan darama pantomim bertopeng yang disebut Berutuk pula
(Soedarsono, 2006: 8-9).
Menurut kesimpulan Danandjaya, bahwa drama pantomim suci itu
berasal dari zaman sebelum kedatangan agama Hindu, dan fungsinya
adalah untuk menambah kesuburan desa Trunyan, hal ini disebabkan
karena puncak dari drama ini adalah persetubuhan dewa tertinggi dengan
istrinya, yang digambarkan dengan nyata sekali dalam adegan terakhir
drama tersebut, dimana Ratu Sakti Pancering Jagat berusaha menangkap
Ratu Pingit Dalam Dasar,dan kemudian dimuka penonton menyetubuhi
istrinya dalam posisi berdiri sambil memeluk tubuhnya, dan kaki kananya
mengepit samping pinggulnya. Jika usaha ini berhasi, menurut kepercayaan
masyarakat Trunyan, akan segera turun hujan, dan kesuburan desa Trunyan,
baik penduduknya, tanaman, ternak, dan unggasnya akan terjamin. Jadi
drama pantomim ini ada hubunganya dengan upacara kesuburan (fertility
cullt) dari kebudayaan megalitik.
12
Gambar. 1
Pertunjukan Berutuk
2. Gordang Sembilan
13
disebut momongan, sebuah doal, sebuah sarune, dan sepasang simbal atau
ceng-ceng yang disebut tali sasayap, untuk menurunkan instrumen gordang
sambilan diperlukan izin khusus dari raja. Pada peristiwa itu seekor kerbau
harus dipotong bahkan, bisa lebih asal jumlahnya ganjil, hal ini dilakukan
apabila ada upacara pemakan dan pernikahan dari keluarga terpandang.
Dari kenyataan kehadiran ansambel musik gordang sambilan pada
masyarakat Mandailing yang fungsi utamanya adaah untuk mengundang
roh nenek moyang itu jelas, bahwa musik ini merupakan peninggalan tradisi
dari masa prahindu atau masa pra sejarah (Kartomi, 1977:21-28).
Gambar. 2
Pertunjukan Gordang Sambilan.
14
pria yang agak mabuk karena minuman keras, bahkan seorang kakek pun
igin menikmati tubuh seorang joget yang mengelandangnya kedalam kamar.
Umar Khayam (1981) juga pernah menulis tentang Tayuban pada
zaman kolonial. Ledehk yang digambarkan dalam Sri Umar dan Bawuk juga
tetap sama; ia mau dicium, bahkan siap untuk dibawa menari dikamar tidur.
Pendapat umum menyatakan bahwa Tayub atau Tayuban yang merupakan
tari hiburan bagi kaum pria, menempatkan penari ledhek atau ronggeng
atau joget atau sebutan yang lain tidak ubahnya sebagai wanita penghibur.
Falecia Hughes-Freeland dalam majalah kebudayaan Citr Yogya.
No.13/III, januari – februari 1990 (dalam Mahdi Bahar, 2006: 28-30),
menjelaskan:
Dibalik cerita Tayub yang sering bikin gerah kaum lelaki sebenarnya
Tayub memiliki nilai ritual yang cukup penting bagi masyarakat
dipedesaan yang hidupnya masih diwarnai budaya agraris, yakni
berhubungan dengan upacara kesuburan. Sadar atau tidak sadar,
mereka beranggapan bahwa kesburan tanah-juga perkawinan-tidaj
cukup hanya dicapai lewat peningkatan sistem lewat penanaman
baru, tetapi juga perlu diupayakan lewat kekuatan-kekuatan magis.
Kekuatan itu anatara lain berupa magis simpatesis, yang hanya bisa
didapatkan dengan perbuatan yang melambangkan terjadinya
pembuahan, yaitu hubungan antara pria dan wanita. Hubungan ini
pada masyarakat yang masih melestarikan budaya purba kadang-
kadang dilakukan agak realistis. Sedangkan bagi masyarakat yang
sudah maju dilakukan secara simbolis... Dari pertunjukan Tayub pada
upacara bersih desa di Dukuh Mujing dan Wuni, desa Melikan,
Rongkop, Gunung Kidul, tanggal 11 September 1989 dapat kita lihat
bahwa ada dua orang penari tayub dan penari ini dapat mengajak
untuk ngibing. Tujuan mengadakan pertunjukan adalah dalam
rangka bersih desa. Dan terlihat pula kalau suami dapat ngibing
dengan bagus istri mereka merasa bangga...Tayuban mempunyai
kaitan dengan unsur kesuburan desa dan kepercayaan pada dewi sri,
selain itu juga dengan keselamatan umum penduduk setempat.
Sebagai upacara pernyataan terimakasih kepada Danyang dan
disertai permohonan supaya orang menjadi sehat, kaya, mendapat
jodoh dan sebagainya. Kalau tayub tidak diadakan ada kekhawatiran
mbah dayang akan marah dan mengganggu orang dan sebagainya.
15
Gambar. 3
Pertunjukan Tayub.
16
pertunjukan SangHayang di Bali dan Barongan di Jawa merupakan sisa-sisa
kepercayaan totemisme.
Gambar. 4
Sang Hyang jaran.
17
Perlu diketahui bahwa candi-candi Hindu dan Buddha itu oleh umat
Islam dibiarkan tetap tegar sebgai peninggalan arkeologi dari masa
pengaruh Hindu. Candi-candi Borobudur, Mendut, Prambanan, Sari, Sewu,
Dieng dan lain-lain di Jawa Tengah dewasa ini masih merupakan objek
wisata yang sangat menarik.demikian pula candi-candi yang tersebar di
Jawa Timur seperti misalnya candi Penataran, Surawana, Tigawangi, dan
lain-lain. Dari candi-candi itulah dapat dicermati betapa tingginya arsitektur
dari masa pengaruh Hindu, walaupun lebih terbatas kepada seni arsitektur
keagamaan.
Sebuah Lontar Candrasengkala menginformasikan bahwa drama Tari
Gambuh yang dianggap sebagai induk dari segala drama tari Bali yang
berkembang sesudahnya, merupakan pengaruh drama tari dari Jawa Timur.
Lontar itu berbunyi sebagai berikut:
Sri Udayana suka agetoni wang Jawa magigel
Sira anunggalaken sasolahan jawa mwang Bali
Angabangaken ngaran Gambuh
Kala isaka lawang apit lawang. (Soedarsono, 1984: 8-9)
(Raja Udayana senang keluar untuk menonton orang Jawa menari,
kemudian ia menyatukan gerak-gerak tari Jawa dan Bali, serta
menggabungkanya dan menamakanya Gambuh pada tahun saka
‘pintu mangapit pintu’). (semua bahan diatas dikutip dari
Soedarsono, 2002:
Mengenai pengaruh tari India terhadap tara Jawa yang sangat besar dapat
dilihat dari penelitian Alessandra Iyer berjudul prambanan: Sculpture and
Dance in Ancient Jva; A Study in Dance Iconography. Dan penelitian Pieter
Eduard Johannes Ferdinandus tentang ansambel masa jawa kuna.
18
2. Tari Bedaya Ketawang
19
Gambar. 5
Tari Bedaya Ketawang.
C. Masa Pengaruh Islam
21
Gambar.6
Pertunjukan Tari Piring Diatas Kaca.
2. Tradisi Ilau
22
orang yang mati merupakan suatu kebanggaan tersendiri bagi kaum yang
ditinggalkan pada waktu itu.
Masyarakat Minagkabau, khususnya di nagari Salayo pada
prinsipnya menganut agama Islam yang merupakan pedoman hidup utama
bagi masyarakat nagari ini. Segala aktivitas kehidupan mereka disesuaikan
dengan adat yang berlandaskan ajaran Islam. Namun karena nenek moyang
orang Minangkabau dahulu pernah menganut agama Hindu-Budha, maka
sisa-sisa ajaran agama tersebut masih melekat dalam kepercayaan sebagian
masyarakat nagari Salayo. Hal ini dapat dilihat realisasinya bahwa masih
ada masyarakat nagari Salayo yang mempercayai adanya tempat-tempat
yang keramat, adanya alat musik pakai pitunang (kekuatan sakti), dan masih
adanya tradisi mendo’a bersama dengan menggunakan dupa tempat
membakar kemenyan, serta adanya upacara ritual kematian Ilau yang
sebetulnya tidak sesuai dengan ajaran Islam. Dengan demikian, ritual tradisi
Ilau termasuk klasifikasi aktivitas budaya yang dilakukan oleh masyarakat
nagari Salayo dalam memperingati kematian sanak saudaranya.
Ilau, bentuk ritual kematian yang menjadi salah satu aktivitas budaya
masyarakat nagari Salayo yang disajikan dalam bentuk music vocal di
Kabupaten Solok Minangkabau. Ilau menjadi media pemberitahuan kepada
orang di kampung bahwa salah seorang sanak saudara dari masyarakat
Salayo meninggal dunia di rantau, dan jasadnya tidak dapat dikebumikan di
kampung halaman. Dalam hal ini, sanak saudara, karib kerabat yang ada di
kampung, menangis dan meratap yang diungkapkan dalam bentuk dendang
ratok (nyanyian sedih). Buah atau isi teks ratapan berkisar tentang kebaikan-
kebaikan orang yang meninggal tersebut. Secara tradisional kegiatan ini
disebut dengan Ilau atau ratapan kematian.
Ratapan kematian itu dilakukan oleh kelompok perempuan lansia
(perempuan lanjut usia). Dengan begitu, Ilau merupakan suatu konsep yang
memberikan pengertian tentang aktivitas masyarakat dalam
merepresentasikan perilaku orang yang telah meninggal dunia semasa
hidupnya.
Ilau diselenggarakan dalam Rumah Gadang yang dilakukan oleh 12
orang perempuan lansia yang sudah berkeluarga, berumur sekitar 55 tahun
sampai 60 tahun, karena secara normatif masyarakat pendukungnya, bahwa
ritual itu tidak boleh dilakukan oleh kaum perempuan yang belum
berkeluarga, karena menurut masyarakat setempat, perempuan yang belum
berkeluarga belum diakui keberadaannya atau dipandang belum memenuhi
syarat untuk ikut dalam berbagai aktivitas adat masyarakat setempat.
Para penyaji ritual Ilau bergerak dalam posisi melingkar di atas
susunan bambu yang sudah di alas dengan kulit lembu kering (bawak). Di
tengah lingkaran tersebut duduk seorang perempuan tua yang disebut tuo
23
dendang dengan posisi menghadap pada ”batang pisang” yang disediakan
khusus sebagai simbol orang yang meninggal untuk diilaukan atau diratapi.
Tuo dendang adalah seorang perempuan lansia yang pandai berpantun, arif
dan bijaksana serta cendekiawan dalam menyikapi suasana kematian.
Dengan kepiawaiannya tersebut, setiap orang yang datang menyaksikan
pertunjukan itu, betul-betul menghayati hikmah atau makna pantun yang
dibawakan oleh tuo dendang serta menghayati gerakan yang dilakukan oleh
penari Ilau.
Pantun yang didendangkan adalah sejenis pantun ratok (ratap) yang
berhubungan dengan situasi kematian dan riwayat orang yang di-iIlau-kan
(ratapan kematian), serta berkaitan dengan situasi kesedihan keluarga yang
ditinggalkan. Biasanya setiap akhir bait nyanyian ritual Ilau, selalu disambut
atau direspon dengan teriakan oww oleh para pemain sambil
menghentakkan kakinya secara serempak ke lantai serta memukulkan kedua
tangan yang dikepal ke dada. Akibatnya suasana menjadi galau, penuh ratap
tangis dan kadang-kadang beberapa orang dari yang hadir tidak sadarkan
diri (trance) .
Catatan :
Semua bahan di atas dikutip dari Zahara Kamal. 2009 “Tradisi Ilau
di Nagari Salayo, Solok (Transformasi Ritual ke Seni
Pertunjukan)”. Dalam Hajizar, ed. Bunga Rampai “Perempuan-
perempuan Minang Pelaku Seni”.
24
1. Barongsai
25
penyalurannya begitu pintu “reformasi” dibuka setelah Suharto
dilengserkan. Bersama dengan kelompok-kelompok lain, kelompok etnis
Cina juga menuntut diakhirnya otoritarianisme di Indonesia. Pada
kesempatan yang sama etnis Cina mengambil langkah membebaskan diri
dari kungkungan peraturan yang diskriminatif dari masa Suharto.
Barongsai muncul sebagai bentuk ekspresi kebebasan ini. Tanpa
mengindahkan peraturan maupun perundangan yang masih berlaku,
permainan Barongsai dimainkan lagi di beberapa tempat. Tapi baru pada
tahun 2000 Barongsai secara resmi boleh dipentaskan, yaitu sejak Presiden
Abdurahman Wahid (Gus Dur) mencabut Keputusan Presiden RI
no.14/1967 dengan mengeluarkan Keputusan Presiden no. 6 tahun 2000.
Barongsai dari klenteng Bio Ho Tek Ceng Sin, misalnya, resmi aktif memulai
latihan pertamanya pada tahun 2000. Kelompok yang memiliki anggota
senior berusia sekitar 70-an itu pun kembali menggelar latihan tari barongsai
dan liong di area klenteng. Tidak ada lagi agenda latihan sembunyi-
sembunyi. Mereka generasi tua pun mengajari tehnik dasar bermain
Barongsai kepada penerusnya yang tidak menguasai ilmu bela diri seperti
mereka. Pada awal latihan, pesertanya adalah para pemain muda yang
pernah berlatih era tahun 80 dan 90-an, berasal dari etnis Cina. Ditambah
beberapa pemain baru yang terbilang masih ’hijau’ dan masih berasal dari
kalangan etnis Cina.
Gambar. 7
Pertunjukan Barongsai
2. Gambang Kromong
26
sunda , campuran dari berbagai etnis asing. Etnis juga menjadi bagian dari
proses akulturasi budaya ini, berawal dari seorang warga china yang
bernama Bek Teng Tjoe yang ingin menyambut tamu-tamunya yang datang
ke Jakarta/Batavia dengan musik china. Alat music ini terdiri dari
instrument-instrumen Gambang, kromong, gendang, kecrek, basing atau
suling, kempul dan gong.
Dikalangan masyarakat Cina peranakan yang dikenal dengan
masyarakat Cina Benteng, Ganbang Kromong Banyak ditampilkan untuk
memeriahkan upacara pernikahan serta perayaan – perayaan lain, seperti
halnya menyambut hari raya Cina. Selain bisa dimainkan sebagai musik
yang mandiri yang disebut phobin, gambang kromong dewasa ini banyak
dipergunakan untuk mengiringi tari cokek dan teater Lenong. Cokek
merupakan tari hiburan pribadi, yang dalam pertunjukanya para penari dan
penyanyi wanitadalam gambang kromong mengundang tamuatau penonton
untuk menaribersama mereka. Dalam perkembanganya saat ini, berbagai
instrumen musik barat masuk juga didalamnya, seperti misalnya keyboard,
saxapone, gitar elektrik, dan lain-lain. Dengan masuknya isnstrument –
instrumen musik barat ini, gambang kromong bisa pula menyesuaikan selera
masa kini dalam menampilkan lagu – lagu pop, dangdut, dan keroncong
(sukotjo dalam Soedarsono, 2002: 56-57).
Gambar. 8
Musik Gambang Kromong.
27
bentuk seni. Pengaruh itu terdapat di kota-kota besar dan istana-istana
kerajaan. Sudah tentu pengaruh pengaruh itu tidak begitu saja hadir tanpa
adanya penyesuaian dengan budaya lokal. Dalam bidang arsitektur
misalnya, pada akhir abad ke-18 sampai awal abad ke-20 berkembang
sebuah gaya arsitektur yang unik yaitu gaya Indis.
Di dalam bangunan Indis yang unik itu mereka hidup sangat mewah
dengan beratus pembantu, berpuluh-puluh kuda, juga berpuluh-puluh
pemain musik. Hanya sayang arsitektur bergaya Indis itu sekarang sebagian
besar telah lenyap. Hanya beberapa saja yang megah berdiri antara lain
Gedung Arsip Nasional, Museum Wayang, dan sebagainya. Dalam bidang
seni pertunjukan pengaruh itu sampai sekarang masih tampak dengan jelas
dalam bidang musik dan teater manusia.
Sumbangan bangsa Eropa terhadap seni pertunjukan Indonesia,
khususnya pada seni musik adalah toneel dan musik diatonik. zaman
kemerdekaan memberi warna tersendiri terhadap seni pertunjukan
Indonesia, yaitu hidup dan berkembangnya musik keroncong dan dangdut
atas dasar musik diatonik dan lagu kebangsaan Indonesia.
Studi tentang seni musik dalam kerangka kebudayaan telah
dilakukan manusia sejak abad ke –19 dengan cara mengumpulkan nyanyian-
nyanyian rakyat. Studi ini melahirkan etnomusikologi, yakni ilmu tentang
musik dihubungkan dengan kebudayaan masyarakat pemiliknya (Haviland,
1999).
Pada umumnya disepakati bahwa musik manusia berbeda dengan
musik alamiah, seperti nyanyian burung, serigala dan ikan paus. Ada
beberapa konsep dalam seni musik. Oktaf yaitu jarak antara nada dasar dan
nada atasnya yang pertama. Oktaf terdiri dari tujuh tangga nada, lima nada
utuh dan dua nada tengahan, diberi nama tangga nada A sampai dengan G.
Tonalitas yakni sistem skala dan modifikasi-modifikasinya dalam musik.
Tonalitas menentukan berbagai kemungkinan dan batasan-batasan melodi
dan harmoni. Ritme berkaitan dengan teratur atau tidak teraturnya suatu
musik. Ritme lagu terwujud dari ketukan lagu, bisa tiga ketukan, lima, tujuh
atau sebelas dengan variasi susunan yang sangat kompleks.
Pada saat ini di Indonesia berkembang beberapa aliran musik. Selain
terdapat musik tradisional yang biasanya dibawakan untuk mengiringi lagu-
lagu tradisional (daerah), juga berkembang berbagai aliran musik lainnya
sebut saja jazz, rock, pop, blues, dan reggae. Sedangkan jenis aliran musik
lain semacam dangdut dan keroncong merupakan dua buah aliran musik
yang memang sudah sejak lama digemari oleh masyarakat Indonesia,
bahkan telah mendarah daging sehingga merupakan bagian dari budaya
masyarakat Indonesia.
28
Di Indonesia perkembangan seni musik boleh dikatakan sangat pesat.
bahkan ada kecenderungan terjadi perpaduan di antara berbagai aliran
musik itu sehingga lahir irama-irama musik campuran seperti pop-rock,
jazz-rock, rock-dut (rock dangdut), pop-dangdut, pop-keroncong, dan lain-
lain.
Selain itu terjadi pula perpaduan antara unsur-unsur modern dan
tradisional sehingga lahirlah irama musik campursari, yaitu sebagaimana
yang saat ini digemari oleh masyarakat di daerah Jawa Tengah dan Jawa
Timur. Bahkan musik campursari sekarang telah “go internasional” sebab
selain digemari oleh orang Jawa yang ada di dalam negeri juga telah
digemari pula oleh orang-orang suku Jawa yang ada di Malaysia dan
Suriname.
Sedangkan satu hal lagi yang berkaitan dengan perkembangan seni
musik, khususnya di Indonesia adalah jenis musik instrumentalia, yakni
jenis atau irama musik yang dibawakan tanpa lagu.
Lain halnya tentang seni teater, yang juga mendapat pengaruh barat,
dimana saat ini kita berada di zaman modern bahkan pada bidang tertentu
kita sudah berada di era postmodernisasi. Keberadaan teknologi media
massa elektronik seperti televisi mendorong perkembangan seni teater yang
ditayangkan dalam bentuk sinetron, film dan berbagai istilah lainnya.
Sehingga tidak mengherankan bila masa ini, seni teater mengalami
perkembangan yang sangat cepat dan variatif. Perkembangan seni teater
dapat kita lihat pada temanya. Tema cerita teater tradisional berpusat pada
masalah-masalah pada masyarakat tradisional yang bersangkutan, sedang
teater modern mengangkat tema cerita yang sangat luas, mulai dari
kehidupan lokal, nasional hingga internasional. Perkembangan seni dapat
juga dilihat dari segi organisasinya. Jumlah organisasi seni teater pada
masyarakat tradisional dapat dihitung dengan jari alias sangat sedikit, dan
juga belum dipelajari melalui lembaga formal pendidikan.
Pada masyarakat modern sekarang, berbagai organisasi (kelompok
teater) tumbuh diberbagai daerah Indonesia, ada yang bergerak pada seni
tradisional atau seni kontemporer, keadaan ini tidak terlepas dari kehadiran
berbagai lembaga formal pendidikan seni di Indonesia. Sanggar-sanggar seni
dengan mudah dapat ditemukan, ada teater sekolah, teater kampus bahkan
sanggar-sanggar seni (bengkel seni) yang didirikan dan dikelola sendiri oleh
masyarakat.
Tuntutan kebutuhan seni teater oleh dunia pertelevisian terus
meningkat seiring bertambahnya jumlah saluran dan stasiun televisi.
Tumbuh dan berkembang industri sinetron dan film. Para sutradara dan
sineas melakukan penjelajahan ruang dan waktu untuk memperoleh ide
cerita. Ada kalanya mereka berpaling ke masa lalu dan menemukan ide
29
cerita pada berbagai seni teater tradisional. Merekan mengangkat ide cerita
teater tradisional itu dan menjadikannya sebagai suatu karya yang dikenal
dengan film atau sinetron. Seni teater tradisional yang diangkang ke sinetron
dan film adalah seni teater yang bertemakan kebaikan lawan kejahatan,
cinta, bakti kepada orang tua, komedi, perjuangan melawan kemiskinan
keluarga, dokumenter, dan sebagainya. Tuntutan kebutuhan yang
dipaparkan di atas melahirkan berbagai karya seni teater dan seniman-
seniman berbakat dan penuh imajinasi pada bidang seni teater, diantaranya
adalah Usmar Ismail, Asrul Sani, Teguh Karya, Soekarno M Noor, Arifin C.
Noor, W.S Rendra, dan lain-lain.
F. Masa Kemerdekaan
30
sebuah tari yang juga disebut tari Kebyar, sehingga di Bali lahirlah gaya
yang kita kenal dengan istilah Kekebyaran.
Jawa Barat sudah cukup lama terkenal sebgai gudangnya tari, yang
berfungsi sebagai hiburan pribadi, seperti ketuk tilu, ronggeng ginung,
topeng banjet, doger kontrak, dan sebagainya. Pada masa ini muncullah
seorang seniman yang bernama R. Tjetje Sioemantri yang mampu mengubah
petaperkembangan tari di wilayah ini, karena tari-tari yang ada pada masa
itu hanya bersiifat hiburan bagi laki-laki, maaka soemantri menciptkan
karya tari baru yang terinspirasi dari tari jawa. Dianatar karya tarinya
adalah: Toipeng manakjingga, kenditbirayung,sulintang, dan dewi serang.
Pada khir tahun 1950-an, ada semacam instruksi dari pemerintah, agar
tari melayu, seperti misalnya tari serampang dua belas diakui sebagai tari
Nasional.
31
perhatian pertama adalah Gamelan,yang oleh para pakar Barat telah diakui
kecanggihannya.lembaga pendidikan itu disebut KOKAR ( Konservatori
Karawitan Indonesia, KONRI (Konsevatori Tari Indonesia), serta SMIND
(Sekolah Musik Indonesia di Yogyakrta dan Medan.
Selain itu perkembangan seni pertunjukan bisa pula dilihat dari siapa
yang menjadi penyandang dana produksinya. Beberapa bentuk seni
pertunjukan yang berfungsi ritual penyandang dananya adalah masyarakat
(communal support). Ada seni pertunjukan yang biaya produksinya
ditanggung oleh Negara ( government support ). Sementara itu di Negara maju
sebagian dari seni pertunjukan penyandang dana produksinya adalah para
penonton yang membeli karcis (commercial support) (James R. Brandon, 1967).
Di samping itu, khusus di negara-negara berkembang, perkembangan seni
pertunjukan pada umumnya disebabkan oleh adanya pengaruh dari budaya
luar, yang oleh Alvin Boskoff (1964) disebutnya sebagai akibat pengaruh
eksternal. Oleh karena itu untuk membahas perkembangan seni pertunjukan
Indonesia sejak masa lampau sampai kini diperlukan pendekatan multi-
disiplin.
Apabila kita bandingkan dengan sejarah seni pertunjukan di dunia ini,
sebenarnya seni pertunjukan Indonesia yang dimiliki oleh lebih dari 200 juta
manusia ini belum begitu tua usianya. Ada empat bangsa yang jauh lebih tua
perkembangan seni pertunjukannya daripada seni pertunjukan Indonesia,
yang dalam proses pembentukannya memiliki pengaruh yang cukup besar
pada seni pertunjukan Indonesia, yaitu bangsa India, bangsa Arab, bangsa
China dan bangsa Barat ( Eropa). Sebagai bangsa yang dalam proses
perkembangannya belum begitu tua, tak dapat dielakkan bahwa seni
32
pertunjukan Indonesia mendapat pengaruh dari keempat budaya bangsa
tersebut.
Dari aspek kehidupan agama saja bisa dibuktikan bahwa bangsa
Indonesia memeluk agama besar yang berasal dari luar, yaitu agama Hindu
dari India, agama Buddha dari India, agama Islam dari Arab, agama
Katholik dari Eropa, agama Kristen atau Protestan dari Eropa, dan masih
banyak lagi dengan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena
itu wajarlah apabila sebagai akibat dari pengaruh budaya-budaya besar itu
Indonesia menjadi sangat kaya akan seni pertunjukan. Namun perlu dicatat
bahwa pengaruh-pengaruh itu kemudian menyatu dengan seni pertunjukan
Indonesia sebelum datangnya pengaruh asing.
Claire Holt dalam bukunya Art in Indonesia : Continuities and Change
(1967) dengan sangat jelas membahas tahap-tahap atau periodisasi
perkembangan seni di Indonesia, yang dimulai sejak bangsa Indonesia
belum mendapat pengaruh dari kebudayaan Hindu yang datang dari India,
sampai pada masa kemerdekaan. Di samping itu Brandon dalam salah satu
bab berjudul “ The Cultural Setting “ dalam membicarakan periodisasi seni
pertunjukan di Asia Tenggara juga sejalan dengan Holt.
Kendati Indonesia adalah negara bahari yang sangat tersohor dengan
jalur lalu lintas barang, ide dan manusia, seni pertunjukannya sering
dianggap statis. Seni pertunjukan umumnya dipandang mengakar di daerah
atau pusat-pusat produksi tertentu, terpatri dalam ikatan-ikatan tak
tertembus genre dan berbagai tatanan patronase tradisional, dikungkung
oleh larangan-larangan tradisional dan penghormatan terhadap leluhur.
Tradisionalisme semacam itu, setidak-tidaknya untuk sebagian, adalah
warisan kesarjanaan Belanda yang cenderung melihat seni pertunjukan
Indonesia dengan mengasumsikan kepastian dan ketaatan penuh pada
aturan-aturan yang tak bisa diganggu gugat.
Para penulis seperti Jaap Kunst, Jacob Kats, dan Th. B. van Lelyveld
menafsirkan musik, tari, serta teater Jawa dan Bali sebagai kesinambungan
masa lalu Indis kuno Indonesia barat. Serta merta mereka menggolongkan
persilangan dan pertunjukan modern sebagai penyimpangan dan
kemerosotan. Prasangka demikian juga dipegang dan diusung elite kolonial
bumiputra, yang pada gilirannya melembagakan wacana tentang pelestarian
warisan yang terus memunculkan kecemasan dan strategi-strategi untuk
mencegah kemungkinan kehilangan budaya (Cohen, 2007:1).
Berangkat dari apa yang siampaikan Cohen tersebut, pengkajian-
pengkajian seni pertunjukan (atau budaya ekspresi) Indonesia lebih
cenderung kearah pendekatan deskriptif histories, yaitu menggambarkan
situasi social tertentu. Pendekatan-pendekatan seperti ini dapat kita lihat
misalnya dalam Holt (2000), Yampolsky (2006) dan berbagai macam
33
penelitian (pendataan seni pertunjukan) yang dilakukan oleh lembaga
pemerintah. Khususnya pendekatan-pendekatan yang dipakai oleh instansi
pemerintah lebih ke arah pendekatan peta administratif, sehingga konsep
tentang puncak-puncak kesenian menjadi tren dalam mengelompokkan
jenis-jenis seni pertunjukan. Maka muncullah seni pertunjukan Bali, seni
pertunjukan Jawa, Sumatera dan seterusnya. Hal seperti ini juga dapat kita
lihat dari penelitian seorang Belanda, Jaap Kunst dalam bukunya Music In
Java (1954).
Sebuah seni pertunjukan dilihat sebagai sebuah warisan yang
memang ada di satu tempat tanpa adanya persilangan dengan bentuk-
bentuk seni pertunjukan disekitarnya. Oleh sebab itu pendekatan-
pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan dekriptif histories. Namun
Cohen (2007:3) mengemukakana bahwa pendekatan seperti ini dalam kadar
sedikit atau banyak, sebuah pandangan tentang seni pertunjukan sebagai
lahan di mana ambiguitas marak dan makna serta signifikansi selalu terbuka
untuk digugat.
Meskipun pemahaman dan pendekatan seperti ini masih tetap ada,
namun perubahan-perubahan pendekatan lain juga muncul dengan
mempertimbangkan perubahan-perubahan yang terjadi dalam seni
pertunjukan tersebut. Lihat misalnya penelitian-penelitian tentang seni
pertunjukan yang ditulis oleh mahasiswa pasca sarjana kajian seni
pertunjukan (Sudana, 1996; Sudewi, 1996; Sumantri, 1995;
Widyastutieningrum, 1994; dsb). Tema-tema utama mereka adalah tentang
perubahan dan kontinuitas (change and continuity) pada berbagai bentuk
seni pertunjukan local (misalnya Bali, Jawa, dsb). Teori-teori yang mereka
kemukakan terkait dengan kesejarahan seni pertunjukan Indonesia adalah
teori-teori seperti persilangan, difusi atau persebaran budaya dalam hal yang
bersifat polygenesis dan monogenesis. Ini terkait dengan konsep indigenous
satu seni pertunjukan berdasarkan asal muasal.
Selain pendekatan deskriptif histories, pendekatan lainnya adalah
pendekatan struktur dan fungsi yang diadaptasi dari Malinowsky (1922),
Radclife-Brown (1952), hingga strukturalisnya Levistrauss (1963, 1976 ).
Pendekatan ini hampir mendominasi beberapa buku/artikel yang
membahas tentang seni pertunjukan di Indonesia. Ini dapat kita lihat dari
penelitian Irianto (2005), Mas Buki (2004), Soedharsono (1986, 1989/1990,
1998, 2002), Sudana (1996), Sudewi (1996), Rai S (2002), Wicaksana (1996 dan
1998), Umeda (1997), dan Suteja (1995). Mereka menggunakan pendekatan
fungsi dan struktur yang lebih terfokus, misalnya terkait dengan agama dan
kepercayaan, integrasi, estetika, perlambangan dan sebagainya. Pendekatan
seperti ini tidak jauh berbeda denan pendekatan-pendekatan yang dilakukan
pada tahun-tahun sebelum 80-an oleh peneliti-peneliti seni pertunjukan dari
34
luar Indonesia, misalnya (Kurath, 1959, 1960; Merriam, 1964; Nettle, 1965;
Kaepller, 1978), yang memfokuskan peneltian pada seni-seni pertunjukan
Asia dan Afrika dengan kategori (non western, non industrial field, dan non
literate soieties).
Penelitian-penelitian mereka difokuskan pada fungsi-fungsi dan
struktur seni pertunjukan bagi masyarakat pendukungnya (Kurath, 1959).
Namun hingaa saat ini juga pendekatan-pendekatan yang dilakukan dalam
peneltian seni pertunjukan masih banyak dilakukan Bahkan era tahun 80-an
hingga 90-an juga pendekatan ini masih banyak ditemukan. Meriam (1964)
mengemukakan sedikitnya ada sepuluh fungsi dan penggunaan (used and
function) musik (seni pertunjukan), yaitu (1) fungsi pengungkapan estetis;
(2) fungsi pengungkapan emosional; (3) fungsi hiburan; (4) fungsi
perlambangan; (5) fungsi komunikasi; (6) fungsi terkait dengan reaksi
jasmani; (7) fungsi yang berkaitan dengan norma-norma social; (8) fungsi
pengesahan lembaga social; (9) fungsi kesinambungan kebudayaan; dan (10)
fungsi pengintegrasian masyarakat. Selain itu, Sach (1963) juga
mengungkapkan beberapa fungsi utama seni pertunjukan, khususnya tari
yaitu (1) untuk tujuan-tujuan magis: dan (2) sebagai tontonan. Sementara
Kurath (1960) juga mengemukakan setidaknya ada 14 fungsi seni
pertunjukan (tari) dalam kehidupan manusia, yaitu (1) fungsi untuk inisiasi
kedewasaan; (2) fungsi percintaan; (3) fungsi persahabatan; (4) fungsi
perkawinan; (5) fungsi pekerjaan; (6) fungsi pertanian; (7) fungsi perburuan;
(8) fungsi perbintangan; (9) fungsi menirukan binatang; (10) fungsi
menirukan perang; (11) fungsi penyembuhan; (12) fungsi kematian; (13)
fungsi kerasukan; dan (14) fungsi lawakan atau jenaka. Demikian juga
dengan Shaoy (1971) mengemukakan ada enam fungsi tari, yaitu (1) sebagai
refleksi dan organisasi social; (2) sebagai sarana ekspresi untuk ritual sekler
dan keagamaan; (3) sebagai aktivitas reaksi atau hiburan; (4) sebagai
ungkapan serta pengendoran psikologis; (5) sebagai refleksi ungkapan
estetis; dan (6) sebagai refleksi dari kegiatan ekonomi.
Demikian pendekatan-pendekatan fungsi seni pertunjukan ini telah
banyak dilakukan, dan di Indonesia juga pendekatan-pendekatan seperti ini
sangat banyak sekali. Lihat misalnya tesis magister kajian seni pertunjukan
di beberapa perguruan tinggi seni di Indonesia.
Pendekatan struktur fungsi ini juga menjadi pendekatan yang banyak
dilakukan oleh peneliti Indonesia. Atmadibrata (1978) misalnya
mengemukakan fungsi tari (seni pertunjukan) tidak hanya gerak fisik indah
berirama yang tampil di atas pentas serta dilakukan oleh sekelompok penari
dan diterima oleh penikmat. Soedharsono (2002) mengelompokkan seni
pertunjukan Indonesia dalam pendekatan fungsi, yang membagi seni
pertunjukan Indonesia menjadi 3 kategori, yaitu (1) sebagai sarana ritual; (2)
35
sebagai hiburan pribadi; dan (3) presentasi estetis. Pendekatan ini tidak jauh
berbeda dengan pendekatan-pendekatan yang dilakukan oleh para
etnomusikolog awal seperti Meriam (1964) yang terkenal dengan istilah used
and function-nya, dimana ia menekankan pengkajian dari musik [seni
pertunjukan] dari sisi fungsi dan pengunaannya bagi masyarakat
pendukungnya. Soedharsono (2002) lebih memperkecil fungsi seni
pertunjukan itu sendiri menjadi tiga. Namun bila kita lihat dari segi fungsi-
fungsinya itu sendiri sering sekali tumpang tindih, misalnya fungsi sarana
ritual jika dilihat juga mempunyai fungsi estetis. Dan demikian juga dengan
fungsi hiburan pribadi, fungsi estetis itu sebenarnya tetap muncul. Mungkin
lebih fair seperti apa yang dikemukakan oleh Meriam yang membaginya
dalam (setidaknya) sepuluh fungsi, bahwa satu seni pertunjukan bisa
berfungsi ganda.
Selain pendekatan struktur fungsi, pendekatan lain yang juga dapat
dikatakan dominan terhadap seni pertunjukan Indonesia hingga saat ini,
adalah antropologi simbolis dan intepretasi kebudayaan dari Clifford Geertz
(1973). Bahkan pendekatan ini tidak hanya dipakai dalam mengkaji seni
pertunjukan itu sendiri, bahkan pengkajian instrumentasi musik dalam ilmu
organologi dan akustika, yang biasa disebut dengan ekstra-musikal.
Warna-warna, bentuk, penamaan, dan penanda-penanda tertentu
dalam instrument musik difahami lewat simbol-simbol, yang jauh
berkembang dari apa yang ditemukan oleh Victor Mahillon, Curt Sach dan
Horn von Bostel. Memang kelemahan model simbolis ini sudah banyak
dimaklumi, tetapi kedudukan terhormat Geertz sebagai intelektual publik
dan peredaran luas tulisan-tulisannya dalam ilmu sosial dan humaniora
telah berhasil menjalankan fungsi sebagai modal akademis yang
mengesahkan banyak sekali studi tentang budaya ekspresif Indonesia,
misalnya Rahayu (2007) yang mendiskusikan pemikiran Geertz dan Talal
Asad dalam melihatan kaitan agama dan teater dengan pendekatan
simbolisme, yang menyimpulkan bahwa seni pertunjukan dan drama terkait
erat dengan agama. Demikian juga penelitian Insecs, yang melakukan
penelitian tentang “Jaran Bodhak”, dengan melakukan pendekatan simbolik,
identitas, perubahan bentuk, makna dan fungsi sekaligus. Penelitian ini
melihat kebudayaan sebagai sistem konsepsi yang digunakan manusia
untuk menafsirkan hidup dan menentukan sikap terhadapnya (Geertz,
1992).
Dari Geertz kita dapat memahami, bahwa pertunjukan Tari Barong
dan Rangda di Bali bukan sekadar pertunjukan seni teater saja, melainkan
sebuah upacara keagamaan, di mana penduduk desa ingin mendapatkan
kepastian kembali bahwa para dewa masih ada di pihaknya. Kalau para
dewa tidak ada di pihaknya, maka mungkin terjadi pelaku tari tersebut
36
(yang menggunakan keris untuk melukai badannya) mengalami cedera.
Karena itu, bagi penduduk desa di Bali, setiap upacara Tari Barong diikuti
dengan hati yang berdebar-debar, karena tari ini merupakan sebuah
pertanyaan kepada alam gaib dewa-dewa apakah mereka masih berpihak
kepada mereka? Jawabannya bisa ya atau tidak.
Menurut para pengikut Geertz, seni pertunjukan dan bentuk-bentuk
lain pergelaran budaya (termasuk sabung ayam Bali yang terkenal itu) harus
dilihat sebagai jendela-jendela istimewa untuk memahami pandangan dunia
dan etos kelompok-kelompok etnis tertentu dengan nilai dan pemahaman,
kebiasaan dan norma tersendiri. Antroplog-pengamat didorong untuk
“membaca [teks pertunjukan] menurut mereka yang berada di tempat
semestinya” (Geertz 1973: 452).
Pendekatan ini menekankan batas antara pengamat dan objek pengamatan
dan menyebabkan diterimanya klaim-klaim pemilikan nasionalis Indonesia
atas budaya Indonesia, menganggap beberapa varian pertunjukan sebagai
“kebisingan” tidak penting dalam sebuah teks esensial yang bisa “dibaca”
dalam semua pertunjukan oleh pengamat di tempatnya sendiri (Cohen,
2007:2).
Pendekatan lain yang juga banyak dilakukan oleh peneliti seni
pertunjukan yang telah diterima luas, yaitu didasarkan pada ideal bi-
musikalitas etnomusikolog Mantle Hood (1960). Untuk memahahami sebuah
musik seharusnya seorang peneliti harus dapat memahami secara mendalam
dengan cara harus juga dapat memainkannya (memproduksi bunyi sesuai
dengan konsep musik itu sendiri). Inilah yang disebut bi-musikalitas. Mantle
Hood merupakan murid Jaap Kunst (yang pernah meneliti musik Jawa,
Kunst, 1954), yang terdorong untuk belajar memainkan musik gamelan Jawa
klasik guna memahami produksi musik dari sudut pandang orang dalam.
Dalam sebuah esai klasik, Hood menyamakan proses belajar
memahami dan memproduksi sebuah musik baru dengan mempelajari
sebuah bahasa baru, tujuannya adalah penguasaan bi-musikalitas seperti
dalam bilingualisme (Hood 1960). Pemahaman orang-dalam tentang
penampilan musikal memungkinkan diperolehnya paparan lebih akurat
tentang proses musikal, prinsip-prinsip improvisasi dan permainan
kelompok, juga menyediakan penghargaan baru bagi keterampilan teknis
dan kepiawaian artistik para seniman empu (Cohen, 2007).
Pendekatan Mantle Hood terebut banyak dilakkan oleh penelitian-
penelitian etnomusikologi. Seorang peneliti yang ingin meneliti musik
tertentu, ia belajar memainkan alat musik tersebut. Hal ini terkait dengan
masalah rasa untuk memahami, yang pada akhirnya ia dapat menemukan
rasa musikalitasnya, baik secara teknis, menjalin hubungan dengan sesame
pemain dalam satu ensambel musik, harmoni tradisional, dan berbagai hal
37
yang terkait dengan peran sebagai pemain instrument musik dalam sebuah
kebudayaan. Namun bagaimanapun juga, pendekatan ini tentunya
mempunyai kelemahan-kelemahan juga. Metafora ini juga banyak dijadikan
topic diskusi dan kritik.
Cohen (2007) berpendapat bahwa paruh pertama abad ke-20
menandai titik puncak pemanfaatan citra Jawa dan Bali oleh kalangan
Orientalis di pentas internasional. Oleh sebab itu seni-seni pertunjukan
Indonesia yang dikenal adalah Jawa dan Bali. Kesenian Jawa dan Bali
difahami sebagai kesenian yang di luhung (hi culture). Disini jelas muncul
superioritas budaya (kesenian). Lebih jauh Cohen mengatakan pementasan
Jawa berbeda dari pemanfaatan pra-abad ke-20 itu di mana karakter Jawa
diwujudkan dan dihayati di panggung maupun di luar panggung.
Orang Indonesia, Eurasia, Eropa, dan Asia non-Indonesia (termasuk
seniman Jepang dan India) terlibat dalam kegiatan ini. Era ini berakhir
dengan kemerdekaan Indonesia, ketika negara Indonesia memperoleh hak
eksklusif untuk memantau penampilan konstituen-konstituen etnisnya di
luar negeri melalui misi dan diplomasi kebudayaan. Neil Sorrell
mempertanyakan pemanfaatan, oleh para komponis Euro-Amerika, model-
model Jawa ketika menciptakan karya untuk gamelan, karena hal itu sering
menimbulkan kesalahpahaman serius menyangkut konsep-konsep musikal
yang berbeda secara fundamental, misalnya intonasi. Lebih baik
membiarkan aksen lokal muncul tanpa berusaha “meniru identitas dari
tempat lain,” dan dia memelopori proses pelokalan ini dengan
mendiskusikan Misa Gongso, yang dia gubah untuk khalayak York
berdasarkan Gamelan Sekar dan mempergelarkannya di Katedral York pada
tahun 2005.
Dalam “Indonesia and the Malay World”, artikel Alessandra Lopez y
Royo (2007) berfokus pada dua balet, The Prince of Pagodas yang diciptakan
Cranko pada 1957 dan dipentaskan ulang oleh MacMillan pada 1989 serta
Gong karya Morris yang dipentaskan pertama kali tahun 2002. Melalui
sebuah diskusi tentang karya-karya tari itu berikut musiknya, masing-
masing oleh Benjamin Britten dan Colin McPhee, Royo meninjau ulang
makna-makna yang saling bertentangan dari pengaruh dan pemanfaatan
kultural, serta makna transformasi dan terjemahan. Dengan tinjauan itu
Royo memunculkan tarik ulur identitas seksual lewat penggunaan gamelan
sebagai indikator gay di kalangan komponis Amerika Utara abad ke-20,
dalam deretan yang dimulai dari McPhee hingga Lou Harrison serta para
penggubah terkemudian, dan di dalamnya nampaknya terdapat komponis
Inggris Britten mengingat kedekatan hubungannya dengan McPhee.
Dalam buku yang sama, Michael Bodden (2007) menerapkan sebuah
perspektif sosiologis untuk mengkaji sejarah pasca-kolonial teater seni
38
nasional Indonesia. Dia menganalisis pemanfaatan modern tradisi sebagai
“sumber daya langka” (cf. Appadurai 1981) yang dinegosiasikan dalam
berbagai pertentangan antara para birokrat kebudayaan dan pejabat
pemerintah berlatar belakang aristokrat dengan seniman-seniman
berkecenderungan populis. Sementara agen-agen negara memperlakukan
tradisi sebagai sesuatu yang statis dan tertata, para seniman merayakan
kualitas tak terbelenggu dan multivokal seni rakyat.
Barbara Hatley (2007) menawarkan studi kasus grup teater Indonesia
kontemporer, Teater Garasi, yang secara eksplisit menggeluti isu-isu
identitas yang bertentangan – apa artinya menjadi benar-benar Jawa pada
suatu waktu ketika pengertian “kejawaan” digugat.
Mark Hobart (2007) mengangkat serangkaian pertanyaan penting
berkenaan dengan bagaimana pertunjukan tari Bali sejauh ini
disalahpahami, sebagai sebuah entitas yang sepenuhnya ahistoris, terserap
dalam masa lalu prakolonial imajiner. Mengapa kita tidak mencoba
mengkontekstualkan dan menghistoriskan itu dengan meletakkannya
bersama seni pertunjukan India, Cina dan Jepang, menggeluti studi kritis
seni pertunjukan lintas budaya, modernitas dan pasca-kolonialitas? Ulasan-
ulasan lugasnya tentang bagaimana warisan seni pertunjukan Bali
dikonstruksi oleh orang luar dengan bantuan orang-orang Bali sendiri tidak
cuma relevan bagi Bali melainkan juga bagi seni pertunjukan Asia
seumumnya, menunjukkan perlunya menyegarkan penelitian pada abad ke-
21.
Margaret Coldiron membahas sebuah pertunjukan mutakhir di mana
anasir teatrikal Indonesia dan Yunani klasik dipadu dan dijajarkan. Dia
menyajikan kasus bagi model yang lebih dinamis produksi teatrikal lintas
budaya di mana budaya-budaya sumber dan sasaran berdampingan dalam
keseimbangan dinamis.
Laura Noszlopy mengeksplorasi perubahan-perubahan dalam cara
memandang agensi seniman pertunjukan Bali, ketika bidang kerja mereka
menjadi lebih profesional. Dia berpendapat bahwa sekalipun ada sejarah
impresario dalam bisnis seni pertunjukan Bali, “kerja lepas” merupakan
modus operandi baru bagi banyak seniman kontemporer (Cohen, 2007).
Selain pendekatan tersebut di atas, pada pengkajian seni pertunjukan
Indonesia telah dilakukan juga pendekatan-pendekatan post strukturalis
dengan tema-tema khusus seperti globalisasi, gender, perempuan,
kapitalisme, managemen, identitas, multikultural dan sebagainya. Hal ini
banyak terinpirasi dari tulisan-tulisan Gidden (1971, 1976, 1991, 1992)
dengan mengangkat tema-tema tentang ide, strukturasi, hubungan antara
mikro dan makro, self-Identity, modernitas, hingga jalan ketiga (the third
ways)-nya.
39
Kleden-Probonegoro (2002) misalnya menulis tentang identitas etnik
melalui seni pertunjukan. Kajian yang ia gunakan adalah pendekatan
dengan menggunakan buku-buku posmo seperti Derrida (2002), Friedman
(1994). Ia melihat seni pertunjukan sebagai hubungan antara tanda
(signified) dengan yang ditandai (signifier). Ia mengkaji satu alat musik di
NTB, gendang beleq (gendang besar) yang diperlakukan sebagai suatu tanda
budaya (Kleden-Probonegoro, 2002:6), dengan persoalan yang diajukan
adalah bagaimana proses penandaan yang dapat menunjukkan suatu
represesntasi dimana pertarungan makna itu terjadi. Menurut dia, dari
pemaknaan itulah dapat ditandai munculnya identitas suatu kelompok etnik
di Pulau Lombok. Ada beberapa penelitian Kleden seperti ini dengan focus
pada beberapa seni pertunjukan di Indonesia seperti topeng betawi, seni
pertunjukan Kalimantan dan sebagainya.
H. Rangkuman
1. Pasang surutnya perkembangan seni pertunjukan Indonesia terjadi
karena perubahan yang terjadi dalam bidang politik, ekonomi,
berubahya selera masyarakat penikmat, dan ada pula yang tidak
mampu bersaing dengan bentuk-bentuk pertunjukan lain.
2. seni pertunjukan Indonesia yang saat ini hidup sebagai bagian dari
kebudayaan masa prasejarah atau kebudayaan asli bangsa Indonesia
(sebeum lahirnya bangsa Indonesia) antara lain adalah seni
pertunjukan Rakyat Batara Berutuk, Gordang Sambilan, Tayub, dan
Urei Kerei.
3. Kontak dengan kebudayaan Hindu yang berasal dari India telah
menghasilkan kekayaan seni Indonesia yang luar biasa, oleh karena
agama Hindu dan Buddha selalu melibatkan seni dalam upacara-
upacara keagamaannya.
4. Agama islam masuk ke Indonesia dimulai pada abad ke-13 dan
berkembang pesat sampai abad ke-18, agama Islam berbeda dengan
agama Hindu yang memiliki strata social yang berbentuk kasta,
sedangkan agama Islam bersifat demokratis. Akibatnya sampai saat ini
80 persen dari 200 juta penduduk Indonesia memeluk agama Islam.
Agama ini tidak melibatkan semua bentuk seni dalam ibadah-
ibadahnya. Dalalam hal seni, Islam menonjol pada seni arsitektur,
kaligrafi, dan music vokal.
5. Pada masa pengaruh china perkembangannya tidak seluas masa
Hindu dan Islam, berbagai bentuk seni pertunjukan di Indonesia, jelas
mendapat pengaruh dari Seni pertunjukan China pula.
40
6. Pengaruh Barat (Eropa) yang berawal sejak datangnya para pedagang
Portugis yang kemudian disusul dengan hadirnya orang-orang
Belanda pada akhir abad ke-16, sampai sekarang bisa disaksikan dalam
berbagai bentuk seni. Pengaruh itu terdapat di kota-kota besar dan
istana-istana kerajaan.
I. Tes Formatif
Sumber Pustaka
Geertz, Clifoford.1960. The Religion of Java. Glenco. Illinois: The Free Press of
Glenco.
Griswold, A.B. 1962. What Is Budha Iimage? Bangkok: The Fine Art
Departement.
Holt, Claire. 2000. Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia. Terj. R.M.
Soedarsono. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.
Kadir, Ernida. 2001. “ Misteri dibalik Tari Piring di Atas Kaca di Desa
Andaleh, Sumatera Bara. Tesis Sebagai Syarat Untuk Mencapai Gelar
Sarjana S-2 Pada Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni
Rupa, Program Pascasarjana, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
41
Kamal, Zahara. 2009 “Tradisi Ilau di Nagari Salayo, Solok (Transformasi
Ritual ke Seni Pertunjukan)”. Dalam Hajizar, ed. bunga rampai
“Perempuan-perempuan Minang Pelaku Seni”. Padangpanjang: ISI
Padangpanjang.
Noor, Mohd Anis Md. 1993. Folk Dance of The Malay World. Singapore: Oxford
University Press.
Sedyawati, Edi. 1978. Tari dalam Sejarah Kesenian Jawa dan Bali Kuna, Jakarta:
Fakultas Sastra, Universitai Indonesia.
42
Drajad Sarjana S-2, Program Pascasarjana, Universitas Gajah Mada,
Yogyakarta.
43
BAB IV
ISU GLOBALISASI DAN PENGARUHNYA TERHADAP
EKSISTENSI SENI PERTUNJUKAN INDONESIA
1. Kapitalisme
44
Tidak dapat dipungkiri, bahwa globalisasi membawa pengaruh yang
sangt besar sekali bagi Seni Pertunjukan. Pengaruh-pengaruh ini tidak hanya
pada kontens seninya, tetapi pada hal-hal yang trkait dengan estetika.
Kesenian-kesenian tradisional mengalami perubahan yang sangat cepat.
Pemanfaatan ruang-ruang sebagai tempat pergelaran seni pertunjukanpun
mengalami perubahan. Seni pertunjukan serta merta tidak lagi dipandang
sebagai fungsi-fungsi upacara kepercayaan, estetis, hiburan, pengintegrasian
masyarakat. Tetapi ia terkait dengan berbagai nilai-nilai komersil. Artinya
perubahan terjadi tidak saja dalam cara, tetapi perubahan itu sendiri telah
memasuki ranah nilai.
Seni pertunjukan terkait dengan uang. Oleh sebab itu ia perlu di
kelola (menej). Oleh sebab itu manajemen seni pertunjukan muncul tidak
hanya pada seni-seni modern saja, tetapi juga telah merambah pada seni-seni
pertunjukan‘tradisional’. (lih. Kelola.org. salah satu lembaga yang
mengangkat tentang manajemen seni pertunjukan). Demikian juga di
perguruan-perguruan tinggi seni juga, telah banyak dibuka mata kuliah
manajemen seni pertunjukan.
Dalam manejeman seni pertunjukan seni pertunjukan dijadikan
sebagai komoditi, maka ia perlu dinegosiasikan. Ia perlu dilindungi secara
hokum. Oleh sebab itu seni pertunjukan dewasa ini menjadi isu penting
terkait dengan masalah perundang-undangan ekspresi budaya dan hak
cipta. Hak cipta dan ekonomi kreatif adalah isu global. Dimana kepentingan-
kepentingan indigenous people sebagai ‘pemilik asli’ satu kebudayaan perlu
mendapatkan keuntungan secara materi atas penggunaan seni pertunjukan
yang di claim sebagai asli seni pertunjukan sat kebudayaan tertentu. Hal ini
tentunya menumbuh suburkan industri budaya kapitalisme dengan budaya
pementasan (showbiz).
Kesenian-kesenian Bali tidak lagi dipahami sebagai bagian upacara,
tetapi banyak jenis-jenis seni pertunjukan dikelola sehingga mempunyai nilai
jual. Sehingga ia mampu menyumbangkan uang kepada ‘pemilik’ atau
pemainnya. Tingkat-tingkat pertunjukan pun diatur dengan
mempertimbangkan nilai-nilai ekonomi semata, baik pertunjukan yang
bersifat individu, kelompok, tingkat local, internasional. Penelitian-peneltian
dan pengkajian dengan tema-tema seperti ini pun telah ada dalam seni
pertunjukan Indonesia. Misalnya bagaimana kapitalisme seni pertunjukan
terkait dengan pariwisata, misalnya Hutajulu (1997), Soedharsono (1986,
1999), Devung (1997), Larasati (1997), Lathief (1997), Rahzen (1997) dan
sebagainya. Dari penelitian mereka kita bias lihat akibat pengaruh globalisasi
ini banyak seni pertunjukan yang merubah bentuk untuk tujuan-tujuan
kapitalisme, atau bahkan banyak yang mati (lih. Suartaya, 2007).
45
Perkembangan ini jugalah yang kemudian memunculkan perlindungan
terhadap ekpresi budaya (seni pertunjukan).
2. Multikultural
3. Politik
46
Ketoprak tidak dibwakan lagi dalam bahasa Jawa, tetapi dengan
menggunakan bahasa Indonesia. Sehingga seni pertunjukan tersebut
memiliki diversitas makna dan intepretasi tentang prilaku manusia yang
diasumsikan dapat dinikmati bersama. Namun dalam hal-hal tertentu
bahasa-bahasa Jawa masih disisipkan dalam pertunjukan mereka, sehingga
dari politik kebudayaan, bahasa Jawa menjadi dapat dimaknai, atau dapat
diterima sebagai bahasa bersama dalam berkomunikasi. Demikian juga
ketika wayang tidak hanya sebagai ekspresi yang terkait dengan estetika,
tetapi ia juga telah pernah terkait dengan jargon-jargon politik (kampanye),
yang ‘dibelokkan’ untuk kepentingan-kepentingan tertentu.
Isu-isu seperti ini tidak hanya di Indonesia, tetapi mengglobal,
artinya pengaruh mempengaruhi antar budaya seolah-olah menunjukkan
suatu ajang adu kekuatan budaya. Kekuatan budaya disini tidak hanya
terkait dengan masalah ‘penerimaan’ sebuah budaya bagi budaya lainnya,
tetapi lebih berimplikasi terhadap berbagai kepentingan politik kebudayaan
itu sendiri dan kepentingan-kepentingan di sekitar pemilik budaya itu
sendiri, misalnya, politik, social, budaya, dan ekonomi.
3. Identitas
5. Gender
47
Suharni Sabdowati (seorang Dalang Wanita). Nugroho mengetengahkan
pendekatan isu gender dalam norma-norma seni pertunjukan, dimana
dalang dalam pertunjukan wayang di Jawa biasanya dilakukan oleh kaum
pria.
Dalam tulisan ini dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan apa
motivasinya menekuni dunia pedalangan, bagaimana ia menempatkan seni
pedalangan dalam kehidupannya, bagaimana ia menghadapi persaingan
dalam berkreasi dan menarik perhatian masyarakat pemerhati pakeliran,
bagaimana kontribusi suharni di kalangan seniman dan masyarakat pada
umumnya, dan baaimana tanggapan masyarakat terhadap eksistensi suharni
sebagai dalang wanita. Demikian juga dengan penelitian Caturwati (2004)
dengan mengangkat tema serupa, yaitu seorang Titim Fatimah (dalang
perempuan pada Wayang Golek Jawa Barat). Wicaksana (2004), Sanre (2004),
Hutajulu (2004), dan Suryatna (2004) yang mengangkat isu gender dalam
seni pertunjukan.
Perempuan dalam seni pertunjukan lebih sering dilihat sebagai
bagian seni pertunjukan (pelaku) daripada peran mereka sebagai
perempuan. Peran yang dimaksud disini adalah peran utama yang
menentukan, karena dalam seni pertunjukan di Indonesia peran utama
didominasi oleh kaum pria. Jarang sekali kita temukan perempuan bermain
alat musik Batak, bermain Ganrang Pakanjaran Makassar dan sebagainya.
Perempuan lebih difahami sebagai pesona keindahan yang subordinat.
Padahal sebenarnya dalam beberapa seni pertunjukan peran mereka dapat
dikatakan sangat strategis, misalnya pada kesenian tayub, bajidoran, tledek,
jaipongan, ronggeng, tledek, dombret, cokek dan lain sebagainya. Kehadiran
perempuan dalam seni pertunjukan tersebut dapat dikatakan magnet.
48
bahwa masyarakat pendukung tayub adalah komunitas tayub (Irianto:
2005:6).
Pada akhir tulisan ia mengemukakan bahwa kesenian (tayub)
merupakan kebutuhan integratif manusia dalam rangka meningkatkan dan
melangsungkan taraf hidup, namun keberadaannya sebagai salah satu
unsure kebudayaan sangat terikat oleh lingkungannya. Lingkungan secara
langsung maupun tidak langsung mempengaruhi bentuk dan
pengungkapan kesenian tersebut. Dalam pembahasannya ada dua hal
penting yang dikemukakan yaitu keberadaan tayub itu sendiri sebagai
kesenian rakyat dan sisi lain adalah masyarakat yang melatarbelakangi
kesenian tersebut, yaitu petani Jawa.
Kembali kepada pertanyaan penelitian, sebenarnya yang ia jelaskan
terkait dengan data-data yang dikemukakan adalah tentang perubahan
fungsi dalam kesenian tayub. Dan perubahan itu sendirilah sebenarnya
jawaban ‘mengapa’ tayub tetap hidup dan berkembang, termasuk
perubahan fungsinya. Fungsi tayub dalam tulisan tersebut adalah berfungsi
sebagai bagian dari upacara dan ritual; pertunjukan tayub menjadi salah satu
media untuk bersukaria bagi masyarakat dalam mengisi waktu luang;
pertunjukan tayub dianggap sebagai salah satu media yang mampu
mengangkat status social seseorang dalam lingkungan tersebut; dan
pertunjukan tayub oleh masyarakat pendukungnya dianggap sebagai
kebesaran. Dari hal ini sebenarnya pertanyaan penelitiannya sendiri belum
terjawab secara sistematis. Yaitu kata mengapa tersebut, yang seharusnya
diuraikan dalam eksplanasi. Artinya mesekipun pertanyaan penelitiannya
hanya satu saja, tetapi implikasinya sangat luas dalam eksplanasi (Bnd.
Creswell, 1994).
Penelitian Sugeng Nugroho (2004) tentang “Nyi Suharni Sabdowati:
Dalang Wanita Duplikat Nartosabdo” yang mengetengahkan pendekatan isu
gender, dimana dalam budaya seni pertunjukan wayang di Jawa biasanhya
dilakoni oleh kaum pria. Sebagai pertanyaan penelitian ia mengemukakan
beberapa pertanyaan, yaitu: (1) apa motivasinya menekuni dunia
pedalangan; (2) bagaimana ia menempatkan seni pedalangan dalam
kehidupannya; (3) bagaimana ia menghadapi persaingan dalam berkreasi
dan menarik perhatian masyarakat pemerhati pakeliran; (4) bagaimana
kontribusi suharni di kalangan seniman dan masyarakat pada umumnya;
dan (5) bagaimana tanggapan masyarakat terhadap eksistensi suharni
sebagai dalang wanita.
Menurut Creswell pertanyaan penelitian itu hendaknya dirumuskan
singkat dan cukup satu saja, dan derivasinya bias dua pertanyaan. Menurut
saya apa yang dikemukakan oleh Nugroho (2004) tersebut adalah terlalu
luas untuk dikaji, dan kurang focus. Ini dapat kita lihat dari hasil
49
penelitiannya yang lebih menekankan hanya pada perjalanan hidup sang
tokoh dengan berbagai persoalan seni pertunjukan yang bersinggungan
dengannya sebagai perempuan. Artinya pertanyaan-pertanyaan penelitian
yang ia kemukakan kurang menggigit dan tidak lebih hanya sebagai
panduan dalam wawancara mendalam saja. Padahal jika satu per satu
pertanayaan-pertanyaan tersebut ingin dijawan dengan melakukan berbagai
pendekatan yang ada akan cukup menarik dalam merepresentasikan
perempuan dalam seni pertunjukan. Namun dalam tulisannya, pertanyaan-
pertanyaan tersebut dijadikan menjadi sub-sub judul dalam eksplanasi,
sehingga pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak dijawa secara mendalam.
Penelitian Sumandiyo Hadi (2006) Seni dalam Ritual Agama,
mengangkat masalah pembentukan symbol ekspresif (seni) dalam ritual
agama yang disebut dengan upacara atau perayaan liturgy ekaristi bagi
gereja Katolik sebgai pengalaman keagamaan dan sekaligus pengalaman
estetis, yang dapat dikembangkan dan ditransformasikan ke dalam berbagai
symbol. Dalam pernyataannya yang lain disebutkan bahwa liturgy yang
sarat dengan berbagai symbol gerakan, bunyi-bunyian dan berbagai macam
ucapan verbal yang bersifat seremonial merupakan difahamai sebagai
symbol ekspresif. Dari kenyataan realitas social yang dapat diamati, bahwa
hubungan antara symbol keagamaan dan berbagai macam symbol ekspresif
yang terwujud secara harmonis, merupakan suatu cara yang sesuai, cocok
atau serasi untuk mengungkapkan perayaan liturgy sebagai upacara
keselamatan manusia (Hadi, 2006:ix).
Pembentukan berbagai macam symbol ekspresif yang telah
disesuaikan dengan sosio-kultural masyarakat tidak mengurangi atau
menyimpang kaidah agama; dengan pembentukan symbol ekspresif, justru
dapat menambah mutu atau semangat kesadaran beragama atau religiuitas.
Dari problema itulah maka problem atau masalah penelitiannya
dirumuskan dengan beberapa pertanyaan, yaitu (1) bagaimana system
pelembagaan agama khususnya yang berkaitan dengan bentuk ritualnya; (2)
bagaimana hubungan symbol konstitutif dan symbol ekspresif menjadi satu
system yang korelatif-integratif-dinamis, atau hakikatnya menanyakan (3)
apakah pembentukan symbol seni dalam ritual dapat meningkatkan
kesadaran religiusitas, maupun sebaliknya ritual agama dapat
mengembangkan dorongan esetetis (seni)?; (4) bagaiamana pemahaman
masyarakat terhadap kesenian, terutama dalam ritual agama; (5) mengapa
terjadi deferensiasi dan inkulturasi pembentukan symbol ekspresif dalam
ritual agama. Pertanyaan-pertanyaan tersebut dibangun dengan asumsi
bahwa orang Jawa itu (khususnya masyarakat pedesaan), dipat dikatakan
sebagai masyarakat yang sosio-religius. Kepercayaan atau agama selalu
menjiwai berbagai aspek kehidupan masyarakat, baik yang menyangkut
50
system budaya maupun system sosialnya. (Hadi, 2005:15-16). Selain
pertanyaan-pertanyaan tersebut, ia masih mengemukakan berbagai
pertanyaan tentang bagaimana pembentukan symbol dan bagaimana
hubungan symbol konstitutif (agama) dam simbol ekspresif (seni).
Dari pertanyaan-pertanyaan dan asumsi tersebut ia menjelaskan
berbagai pemahaman symbol-simbol tersebut dalam konteks kepercayaan
(agama). Oleh sebab itu ia menampatkan agama sebagai konstitutif dan
mengkaitkannya dengan berbagai teori-teori sistem, sibernetika, fungsional,
aksi, kewenangan dari Weber (1964), sosiologi budaya dari Williams (1981).
Demikian teori-teori tersebut diaplikasikan dalam eksplanasi, termsuk teori
tentang fungsionalisme tersebut ia menjelaskan fungsi-fungsi seni dan
agama, yaitu fungsi social dan ritual.
Saya melihat buku ini membahas tentang seni dan ritual agama dalam
berbagai perspektif, teori. Sehingga tulisan ini memuat beberapa kajian yang
sebenarmnya pendekatannya berbeda-beda. Tapi terus terang saya belum
membaca secara lengkap, sehingga tulisan ini mungkin saja dapat
mengalami pertentangan teori. Karena masing-masing teori memiliki
pendekatan dan kajiannya masing-masing. Namun dari segi data ia berhasil
mengemukakan data-data di lapangan dengan metode kwalitatif.
Kleden-Probonegoro (2002) dalam “Membaca Politik Identitas Melalui
Seni Pertunjukan” menulis tentang identitas etnik melalui seni pertunjukan.
Ia berangkat dari pandangan Saussurian yang ditolak oleh Derrida (2002),
yang mengatakan bahwa makna tergantung pada the act of signifying.
Dengan kata lain proses signifikasi harus menempati posisi utama dalam
hubungan antara tanda dan penanda. Berangkat dari tulisan tersebut
difahamai bahwa tulisan bukan sekedar literal photographic atau inskripsi
yang bersifat idoegrafik saja, tapi merupakan suatu totalitas termasuk
kemampuannya untuk melampaui apa yang bias ditunjuk secara fisik yang
oleh Derrida disebut sebagai cybernetic program, yang mencakup konsep
jiwa, konsep hidup, nilai, pilihan dan memori (Kleden-Probonegoro, 2002: 6-
7).
Berdasarkan pandangan tersebutlah, Kleden memperlakukan seni
pertunjukan sebagai sebuah tulisan yang merupakan totalitas.
Represntasi identitas dalam hal ini identitas etnik muncul dari
hubungan antara tanda dengn penanda, bukan merupakan hubungan yang
linear dan bukan merupakan hubungan yang bersifat final. Ia juga mengutip
pendapat Friedman (1994), yaitu pentingnya proses representasi untuk
menafsirkan makna. Ia melihat seni pertunjukan sebagai hubungan antara
tanda (signified) dengan yang ditandai (signifier). Ia mengkaji satu alat
musik di NTB, gendang beleq (gendang besar) yang diperlakukan sebagai
suatu tanda budaya (Kleden-Probonegoro, 2002:6), dengan persoalan yang
51
diajukan adalah bagaimana proses penandaan yang dapat menunjukkan
suatu representasi dimana pertarungan makna itu terjadi.
Berangkat dari pertanyaan permasalahan tersebut dalam
eksplanasinya didukung oleh data-data tentang pengelompok etnik di di
NTB (suku asli Sasak dan ada beberapa suku lainnya), kesenian sebagai
tanda, deskripsi singkat tentang gendang beleq, wacana gendang beleq
beserta tampilan sekarang dianalisis dalam konteks identitas dan
representasi. Dia berkesimpulan yang ia kemukakan bahwa andaikan
gendang beleq merupakan milik orang Sasak ‘asli’ yang tidak terpengaruh
oleh Bali, maka kesenian itu dapat berperan sebagai penanda bagi identitas
Sasak.Sebagai dentitas, gendang beleq adalah wadah untuk pertarungan
penafsiran makna.
Pada gendang beleq sebagai representasi Sasak, semakin kuat dengan
dengan campur tangan pariwisata yang sering memunculkan gendang beleq
dalam bentuk yang tidak biasa dilakukan dalam tradisi, yaitu untuki
menarik wisatawan di Senggigi, untuk menyambut tamu, meredam
demonstrasi dan acara budaya NTB di Jakarta.
Penelitian Robert Martin Dumas tentang “Teater Abdul Muluk in
Zuid-Sumatera op de drempel van een Nieuw Tijdperk” (2000) adalah salah
satu penelitian seni pertunjukan dengan pendekatan deskriptif histories
dengan melihat berbagai perubahan-perubahan genre yang terjadi dalam
kurun waktu. Artinya ia berangkat dari pertanyaan penelitian bagaimana
perubahan yang terjadi dalam teater Abdulmuluk tersebut. Dia membahas
tentang sejarah asal mula perkembangan teater Abdulmuluk, wilayah
apresiasinya di Sumatera, dan juga berbagai perubahan yang terjadi dalam
genre ini.
Pendekatan yang dipakai Dumas (2000) adalah dengan menceritakan
pengalaman-pengalamannya ketika bersentuhan dengan kajiannya (Teater
Abdulmuluk), yaitu pengalaman selama melakukan riset di Sumatera
Selatan yaitu dengan cara observasi partisipasi, termasuk Bangka Belitung.
Kemudian ia membanding-bandingkannya juga dengan beberapa jenis teater
yang ada di sekitarnya seperti Bangsawan (Melayu). Dari cara penelitiannya
ia berpendapat bahwa pendekatan partisipasi observasi dinilai cocok
diterapkan untuk penelitian antropologi tentang teater rakyat. Seorang
peneliti harus mampu masuk ke dalam (sebuah) rombongan teater untuk
mengamati penampil maupun masyarakat pendukungnya dari dalam. Selain
partisipasi observasi, dalam analisisnya ia menggunakan beberpa disiplin
ilmu (interdisiplin) yaitu musik, sastra, bahasa, etnomusikologi, antropologi
dan sosiologi.
Dari data-data tentang sejarah teater di dunia Melayu dikaitkan
dengan teater Abdulmuluk sendiri di Palembang berdasarkan data-data
52
tertulis dan hasil penelitian lapangan, ia mengatakan bahwa secara sejarah
teater itu muncul sekitar tahun 1895 yang idenya muncul dari teater
Bangsawan yang telah muncul sebelumnya pada masayarakat Melayu.
Kemudian ia membandingkan kedua teater tersebut dengan menganalisis
naskah-naskah yang digunakan oleh kedua genre teater tersebut. Ia hanya
melakukan analisis histories berdasarkan manuskrip hingga seni
pertunjukan.
Penelitian Devung (1997) pada Seni Pertunjukan di dataran tinggi
Mahakam menjelaskan tentang situasi seni pertunjukan pada masa sekarang
dengan melihat factor-faktor apa yang memberi kontribusi terhadap situasi
seni pertunjukan tersebut, serta mendiskusikan beberapa isu seni
pertunjukan saat ini, dan mengajukan beberapa prospek yang mungkin dan
potensial di masa mendatang bagi seni pertunjukan disana. Ia
mengaitkannya dengan perkembangan turisme, dan pengaruhnya terhadap
konservasi lingkungan di daerah dataran tinggi Mahakam (Devung, 1997:
35-36).
Seni pertunjukan di kebanyakan kebudayaan biasanya sangat
berkaitan dengan musik, tari, drama dan upacara (Keesing, 1958:356).
Fenomena seperti ini dijelaskan pada seni pertunjukan yang terdapat di
dataran tinggi Mahakam, seperti hudo’, dangday, belian, atau pertunjukan
ngugu tautn. Di masa lalu seni pertunjukan kebanyakan terkait dengan ritual
religius local yang terkait dengan agrikultur, siklus kehidupan dan upacara
pengobatan.
Seiring dengan perubahan yang telah terjadi dalam beberapa aspek
ke’tradisionalan’ seni pertunjukan maka ia mengemukakan pertanyaan
penelitian apa yang telah terjadi pada seni pertunjukan tradisional sebagai
akibat perubahan kepercayaan religius dan pola hidup dalam beberapa
dekade ini? Pertanyaan ini diarahkan pada beragam praktek di masa lalu,
situasi masa kini, dan prospek masa depan dari seni pertunjukan tradisional
(Devung, 1997:36).
Jika dilihat dari pertanyaan penelitian yang dikemukakan Devung,
menurut saya kurang didukung oleh data yang cukup. Dia hanya menulis
refleksi singakt tentang beberapa jenis seni pertunjukan di Mahakam dan
menggambarkan situasi sekarang dan prospek masa depan. Artinya
pembahasannya kurang mendalam, karena ia hanya melihat perubahan seni
pertunjukan tersebut dari tampilan luar yang terkait dengan komoditi
pariwisata. Padahal jika dikaitkan dengan pertanyaan penelitiannya
seharusnya penjelasannya lebih terfukus kepada perubahan religus dan pola
hidup.
Penelitian yang lain misalnya adalah Hutajulu (2002) yang meneliti
“Isu Gender dalam Opera Batak: Teks dan Konteks”. Dia berangkat dari
53
pemikiran Koskoff (1987:15) yang mengatakan bahwa ideologi gender,
kekuasaan sosial dan pertunjukan adalah saling terkait.
Dari pendapat itu ia berhipotesis bahwa pertunjukan musik mempunyai
potensi sebagai alat komunikasi antar gender, yang mempunyai power
sebagai usaha untuk melakukan kritik, negosiasi, atau menantang otoritas
social yang terjadi dalam satu kebudayaan tertentu. Selain itu ia juga
berangkat dari Roberston (1987) dan Peterson (1987) yang mengatakan seni
pertunjukan (musik) mempunyai kekuatan untuk menjembatani (mediate)
komunikasi antar gender.
Dalam tulisannya ini (meskipun tidak tersurat) namun dapat
difahami bahwa yang dia maksud sebagai teks adalah opera batak, yaitu
lagu-lagunya yang secara spesifik berkaitan dengan fenomena gender dan
perempuan pada masyarakat Batak Toba. Namun isu gender yang
dikemukakan dalam tulisan ini adalah sebatas inspirasi bagi para kaum laki-
laki dalam menciptakan lagu-lagu yang dipakai dalam opera tersebut (132
lagu). Lagu-lagu opera sering sekali diciptakan setelah mendengar keluhan
dari pemain perempuan opera batak atau penonton/anggota yang
mengadukan problema serta pengalaman hidupnya. Namun jika dikaji
secara menyeluruh dari lagu-lagu terebut ia menunjukkan fenomena
ketidaksetaraan gender dan status perempuan yang subordinate di masa-
masa gemilang dimana opera batak berkembang.
Penelitian lain seperti Kuswarsantyo (1997) yang meneliti tentang
“Pertunjukan Ramayana di Panggung Terbuka Prambanan: Antara Rutinitas,
Upaya Preservasi dan Peningkatan Komoditi” secara jelas ingin meneliti
bagaimana sebuah seni pertunjukan sebagai komoditi. Kesenian komoditi
yang ia maksudkan adalah kesenian atau kegiatan pentas kemasan wisata
yang terdapat di berbagai sudut di Yogyakarta, salah satunya adalah di
Candi Prambanan (Kuswarsantyo, 1997:87).
C. Rangkuman
54
kapitalisme menyebabkan produksi, penyebaran, dan pemasaran barang-
barang budaya atau seni pertunjukan menjadi sulit dikontrol dalam batas
negara-bangsa. Globalisasi korporat, atau sering disebut juga dengan
globalisasi "atas" merupakan transnasionalisasi ideologi kapitalisme negara-
negara maju yang mengeroposi ketahanan-ketahanan lokal globalisasi
kapitalisme konsumen menghilangkan keragaman budaya.
D. Tes Formatif
1. Jelaskan bagaimana pengaruh globalisasi terhadap seni pertunjukan
Indonesia saat ini, dan apa foktor positif dan negatif yang
ditimbulkan dari pengaruh tersebut
2. jelaskan bagaimana kehidupan seni pertunjukan Indonesia di era
globalisasi, dikaitkan dengan isu kapitalisme, politik, multikultural,
identitas, dan gender.
Sumber Pustaka
Bahar, Mahdi. 2006. Seni Pertunjukan Indonesia. Buku Ajar. Padangpanjang:
Sekolah Tinggi Seni Indonesia.
Geertz, Clifoford.1960. The Religion of Java. Glenco. Illinois: The Free Press of
Glenco.
Holt, Claire. 2000. Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia. Terj. R.M.
Soedarsono. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.
55
Putra, Bintang Hunggoro, 2002. “Kebangkitan Barongsai di Era Globalisasi”.
Tesis Sebagai Syarat Untuk Mencapai Derajad Sarjana S-2 Pada
Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa
56
BAB V
FUNGSI SENI PERTUNJUKAN INDONESIA
57
4) Fungsi komunikasi
5) Fungsi presentasi simbolis
6) Fungsi respon fisik/ respon psikomotor (The function of physical
response)
7) Fungsi menguatkan konformitas terhadap norma-norma social.
58
Misalnya dalam seni pertunjukan Wayang Kulit, maka dapat
ditemukan beberapa fungsi yang lain dari segi perspektif/sudut pandang
yang berbeda diantaranya:
a. Berfungsi untuk sarana pernyataan jati diri atau sebagai aktualisasi diri,
Seperti pada penyajian pertunjukan wayang kulit ” Carita” digunakan
untuk menyatakan jati diri paguyuban wayang kulit ” Carita” pada
masyarakat dengan menunjukan keindahan pertunjukan wayang kulit ”
Carita”, sehingga dengan adanya pertunjukan wayang kulit ” Carita”,
masyarakat bisa mengetahui dan bahkan masyarakat bisa mengagumi
dan menyukai pertunjukan wayang kulit ” Carita”.
c. Berfungsi untuk ungkapan rasa syukur kepada Tuhan yang maha Esa,
Pertunjukan ungkapan rasa syukur, misalnya pada acara sedekah bumi,
yang dimaksudkan sebagai ungkapan rasa terima kasih kepada Tuhan
Yang Maha Esa atas limpahan Rahmat dan kesejahteraan yang diberikan
kepada masyarakat setempat.
B. Rangkuman
D. Tes Formatif
59
1. Coba saudara jelaskan tentang fungsi - fungsi seni pertunjuakan dalam
konteks sosial budaya masyarakat Indonesia
2. Jelaskanlah hakikat dari fungsi seni sebagai sarana ritual, hiburan, dan
presentasi estetis?
Sumber Pustaka
Holt, Claire. 2000. Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia. Terj. R.M.
Soedarsono. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.
60
BAB VI
SENI PERTUNJUKAN WISATA
SEBAGAI INDUSTRI EKONOMI KREATIF
61
untuk kalangan kolektor dan karya seni untuk memenuhi minat wisatawan
sebagai suatu bentuk cinderamata.
Berhubungan dengan pasar, seni pertunjukan memperhatikan kebutuhan
masyarakat. Hal ini sejalan dengan pendapat Riantiarno (1993: 3) bahwa
suatu pertunjukan tidak dapat memaksa siapapun untuk membeli barang
yang dirasakan sebagai kebutuhannya. Dalam dunia seni pertunjukan, selera
atau keinginan masyarakat sering tidak mendapat perhatian, padahal
pengetahuan dan penguasaan terhadap selera masyarakat sangat penting
untuk menentukan pasar. Sebagai upaya menanggapi dan menguasai selera
masyarakat, dituntut suatu kreativitas sehingga selalu dapat menemukan hal
yang baru, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi pasar.
Masalah yang perlu dikaji dan ditelaah secara jelas dan gamblang
dalam persoalan seni pertunjukan dan pariwisata ini adalah: (1) keterkaitan
antara seni pertunjukan dengan pariwisata, dan (2) seni pertunjukan wisata
sebagai industri ekonomi kreatif.
62
dianggap penting adalah aspek ekonomis. Dengan dominannya aspek
ekonomis tersebut, membawa dampak yang cukup besar dan signifikan bagi
perubahan struktur masyarakat.
Seni pertunjukan sebagai satu unsur kesenian memiliki peran yang
sangat menonjol dalam konteks kegiatan kepariwisataan, bahkan sebenarnya
telah menunjukkan posisinya sekaligus sebagai komponen daya tarik wisata.
Karenanya peran dan kontribusi seni pertunjukan terhadap perkembangan
kepariwisataan tidak perlu dipertanyakan lagi. Bahkan di beberapa daerah
yang memiliki potensi obyek dan daya tarik wisata budaya, keberadaan seni
pertunjukan seringkali justru menjadi salah satu daya tarik utama wisatawan
untuk berkunjung ke daerah tersebut bukan hanya sekedar sebagai atraksi
suplemen (pelengkap) semata dalam pengembangan pariwisatanya.
Perhatian dan minat terhadap seni pertunjukan tradisional memang
masih merupakan motivasi yang dominan dari wisatawan untuk melihat
keunikan dan keautentikan unsur-unsur budaya lokal. Namun demikian
bukan berarti seni pertunjukan modern/kontemporer belum banyak
diminati. Pementasan seni pertunjukan modern/kontemporer di beberapa
kota besar bahkan telah banyak menunjukkan agenda pementasan yang
tetap/berkala, sehingga lambat laun akan mampu menarik minat dan
apresiasi yang lebih luas baik dari kalangan masyarakat umum maupun
secara khusus lebih khusus lagi adalah bagi para touris atau wisatawan.
Nilai strategis yang dapat dicapai melalui upaya pengembangan seni
pertunjukan dalam kiprahnya yang lebih luas dalam perkembangan
kepariwisataan nasional, adalah dalam upaya pembentukan citra yang
positif yang akan memberikan keunggulan komparatif dalam persaingan
global/regional, di sisi lain, upaya-upaya untuk memacu pengembangan
seni pertunjukan merupakan langkah strategis untuk melestarikan dan
memacu kreativitas budaya, disamping sebagai upaya untuk
memberdayakan masyarakat/komunitas seni pertunjukan yang ada di
Indonesia.
63
keindahan alam adalah sangat potensial dimanfaatkan untuk menarik
perhatian dan kedatangan para wisatawan lokal dan mancanegara.
Hubungan pariwisata dan pengaruhnya pada kehidupan sosial
budaya menurut Clare A. Gunn (Salim 1991: 131) terpola pada lima jalur
pokok, yaitu jalur akomodasi, atraksi/kreasi, konsumsi, informasi, dan jalur
transportasi. Para wisatawan yang hadir di daerah tertentu akan
memerlukan akomodasi yang memadai seperti tempat tinggal di
negara/daerah asalnya. Untuk kebutuhan tempat tinggal ini, maka muncul
pendirian hotel-hotel sebagai tempat tinggal wisatawan, tempat hiburan,
toko souvenir, dan sebagainya. Dengan demikian akan terjadi kompleksitas
interaksi yang sangat intensif. Jalur kreasi/atraksi, bahwa wisatawan juga
memerlukan hiburan, cinderamata, atau kenang-kenangan yang menjadi ciri
khas daerah yang dikunjungi. Maka barang-barang yang dihasilkan atau
paket-paket hiburan semuanya berorientasi pada wisatawan dan merupakan
produk wisata.
Informasi mengenai keadaan sosial budaya serta obyek-obyek
kunjungan sangat penting bagi para wisatawan. Oleh karena itu, penguasaan
bahasa asing serta pelayanan kepada wisatawan sejak turun dari pesawat
terbang sampai kembali ke negaranya, merupakan keharusan bagi
pramuwisata. Kontak langsung dalam kegiatan ini akan mempunyai
pengaruh tertentu bagi mayarakat. Kedatangan wisatawan asing/daerah,
selain memerlukan akomodasi juga memerlukan konsumsi. Wisatawan
tersebut tidak jarang menginginkan makanan atau minuman yang
merupakan ciri khas daerah, merupakan produksi masyarakat serta
bahannya juga berasal dari daerah yang dikunjungi. Transportasi juga
merupakan kebutuhan para wisatawan setelah tiba di tempat tujuan, yang
diatur oleh biro perjalanan melalui pramuwisatawan.
Melalui lima jalur tersebut, apabila dilihat dari sudut ekonomi,
menguntungkan bidang-bidang lain, misalnya cadangan devisa, perbaikan
prasarana, pemanfaatan produk-produk setempat serta pemerataan
kesempatan bekerja dan lain sebagainya. Keuntungan dalam bidang sosial
budaya antara lain perluasan pendidikan, saling pengertian dan saling
menghargai, toleransi, pengurangan kesenjangan pemisah yang bersifat
SARA atau yang menyangkut status sosial. Sedangkan pengaruh negatif
dalam bidang sosial budaya antara lain adalah peng-komersialisasikan
budaya seni ataupun agama, perjudian, prostitusi, kejahatan narkoba
(Boedihardjo 1991:67). Adanya proses komoditas terhadap benda-benda
budaya, maka terjadilah peniruan, penurunan atau reproduksi secara besar-
besaran sehingga mutu semakin merosot. Bahkan tidak jarang, dalam seni
pertunjukan tontonan dikemas dan dimodifikasi sedemikian rupa sehingga
justru menghilangkan unsur seninya (Salim 1991: 137).
64
Seni wisata yang merupakan seni kemasan, khusus diperuntukkan
wisata merupakan bentuk kesenian yang sifatnya tiruan dari aslinya.
Sehingga sering disalah artikan bahwasannya seni wisata adalah seni murah
dan berkualitas rendah. Sudah barang tentu, tafsir yang demikian adalah
tafsir yang salah. Seni tiruan bukan berarti seni yang tidak berkualitas, akan
tetapi memang murah dalam arti terjangkau untuk ukuran wisatawan
namun tetap berpegang pada kualitas yang baik. Karena pada dasarnya seni
wisata harus mampu menjadi media informasi dan mempunyai daya tarik
sedemikian rupa sehingga layak untuk dijual dan dipromosikan.
Era industri kepariwisataan secara tidak langsung membawa situasi
dan kondisi yang positif bagi seni pertunjukan tradisional, serta memberi
peluang bagi senimannya untuk berkreasi sebagai perwujudan
partisipasinya. Situasi dan kondisi yang demikian ditangkap oleh hotel-hotel
berbintang, restoran-restoran besar.
Berbicara industri pariwisata, dalam hal ini seni wisata perlu kiranya
mencermati dan mempertimbangkan bagaimana mengemas seni wisata,
karena apabila melakukan kesalahan akan berakibat fatal. Ada sebuah
pemikiran mengenai seni wisata oleh Soedarsono (1992/1993: 254) bahwa
seni wisata mempunyai lima ciri, yaitu: (1) tiruan dari aslinya, (2) lebih
singkat dari aslinya, (3) penuh variasi, (4) ditanggalkan nilai magis dan
sakralnya, dan (5) murah untuk ukuran nilai uang wisatawan. Mengacu
pendapat Soedarsono, dapat menentukan bentuk atau format dalam
mengemas seni pertunjukan tradisional menjadi seni wisata yang bernilai
finansial.
Format seperti yang diteorikan Soedarsono di atas, patut untuk dikaji,
disesuaikan dengan situasi dan kondisi kepariwisataan Indonesia. Format-
format tersebut perlu mempertimbangkan kebutuhan wisatawan, dalam arti
kebutuhan akan pertunjukan yang harus merefleksikan budaya sesuai
dengan kebutuhan wisatawan yang hadir, baik lokal maupun asing. Salah
satu rumah produksi seni pertunjukan yang mengacu pada teori Soedarsono
adalah Sampan Bujana Sentra (Hadi 2001:4-6). Sampan Bujana Sentra
merupakan rumah produksi seni pertunjukan dan restoran yang mampu
menyajikan perpaduan tari musik nyanyi dan makan malam dengan menu
khas Indonesia. Sampan selaku pemilik berharap, sajian wisata yang
dikemasnya mampu menarik wisatawan.
Rumah produksi seni pertunjukan ini dilengkapi panggung untuk
pentas, alat musik untuk mengiringi pertunjukan tari dan nyanyi tertata
sangat rapi di bagian belakang. Bagian tengah panggung dipasang setting
pohon besar, sekaligus dimanfaatkan sebagai batas stage penari dan
pemusik. Untuk dapat menyaksikan acara tersebut, setiap wisatawan
dikenakan biaya sebesar Rp.119.000,-. Materi sajian pertunjukan wisata,
65
antara lain: Tari Indang dari Melayu, Tari Saman dari Aceh, Permainan
Kecapi Sunda dari Jawa Barat, Tari Belibis dari Bali, Tari Topeng Blantek dari
Betawi, Rampak Kendang, Tari Jaipingan dan Permainan Musik Angklung
dan nyanyi serentak seluruh artis dan wisatawan. Sajian pertunjukan wisata
Sampan Bujana memakan waktu kurang lebih dua jam setiap hari, baik ada
wisatawan ataupun tidak.
Sistem manajemen Sampan Bujana Sentra sangat transparan,
pembagian honornya bervariasi sesuai dengan tugas masing-masing.
Apabila terjadi pemasukan dan pengeluaran dana tidak sesuai, maka
ditopang dari pemasukan sanggar tari dan busananya.
Format seni pertunjukan wisata tersebut bertolak belakang dengan
kondisi di Semarang, yang sebetulnya sangat potensial untuk digali dan
dikembangkan. Potensi-potensi seni pertunjukan wisata berikut ini, harus
mampu membenahi diri, terutama dalam menyikapi format seni
pertunjukan wisata sebagai aset budaya yang sangat bernilai dan berharga
sekaligus cerminan karakter bangsa, Diantaranya adalah:
1. Kawasan Puri Maerokoco yang merupakan miniatur Jawa Tengah.
Kawasan ini, masih ramai dikunjungi oleh wisatawan domestik pada
setiap hari Minggu dan libur nasional. Akan tetapi kondisinya sudah
mulai kumuh dan tidak terawat. Oleh karena itu, perlu ditata kembali
keindahan dan kenyamanannya, sehingga keberadaan tempat wisata ini
semakin banyak dikunjungi wisatawan. Salah satu cara untuk menarik
perhatian wisatawan, selain keindahan dan kenyamanan, perlu
ditampilkan seni pertunjukan tradisional yang berasal dari daerah-daerah
yang ditampilkan secara bergiliran pada setiap akhir pekan dan hari libur
nasional.
2. Kawasan daerah dalam kegiatan rutin PRPP (Pekan Raya Promosi
Pembangunan). Kawasan ini, hanya ramai pada bulan Agustus saja,
karena adanya pekan raya promosi pembangunan.
3. Kawasan Raden Saleh, yang hanya dimanfaatkan untuk acara-acara
tertentu
saja. Meskipun ada acara pentas rutin Wayang Orang pada setiap akhir
pekan, tetapi kurang menarik minat wisatawan.
4. Kawasan Wonderia, yang hanya dimanfaatkan sebagai tempat permainan
saja. Meskipun sudah ada acara pentas musik pada setiap akhir pekan,
perlu dikemas lagi menjadi seni pertunjukan yang lebih berkualitas
sehingga menarik perhatian wisatawan.
5. Kawasan Kota Lama, yang semakin lama semakin mangkrak karena
kurang mendapat sentuhan. Sebetulnya kawasan Kota Lama merupakan
salah satu tempat yang menjadi daya tarik bagi wisatawan untuk
berkunjung.
66
6. Kawasan Lawang Sewu, yang sampai saat ini masih menjadi perdebatan
berbagai instansi mengenai peruntukkannya. Kawasan ini juga kelihatan
kumuh dan kurang terawat. Hal ini disebabkan mahalnya biaya
perawatan. Kawasan ini perlu ditata kembali dan dibuka untuk umum,
dengan agenda pertunjukan seni pada setiap akhir pekan untuk menarik
perhatian wisatawan.
7. Pantai Marina, yang kondisinya kurang terawat dan terjaga kebersihan
dan ketertiban.
Pantai Marina merupakan salah satu tempat favorit bagi remaja untuk
berekreasi. Sayang sekali, kawasan ini terlihat kumuh dan tidak terawat,
terlebih lagi dengan hancurnya tanggul yang terkena abrasi pantai.
Apabila kawasan ini ditata dan dibenahi kembali, tentu akan semakin
banyak wisatawan yang datang untuk menikmati keindahan pantai dan
air laut.
8. Sanggar-sanggar seni tari yang belum mampu menjadi kantong-kantong
seni sebagai aset seni budaya yang memiliki daya jual yang sangat tinggi .
Di Semarang, banyak sekali bermunculan sanggar-sanggar seni tari yang
mengajarkan seni tari tradisional maupun modern. Sanggar-sanggar ini
hanya sebatas melakukan proses pembelajaran saja untuk konsumsi
peserta dan anggota sanggar. Sanggar-sanggar tari ini bisa dikelola
menjadi sanggar yang dapat dikonsumsi oleh wisatawan, baik lokal
maupun asing. Caranya dengan membuat paket pertunjukan untuk
wisatawan berisi materi tari yang diajarkan di sanggar, bengkel-bengkel
seni yang bisa dikunjungi secara langsung oleh wisatawan, pengajaran
materi sanggar secara langsung kepada wisatawan yang hadir, dan
membuka galery yang berisi barang-barang produksi sanggar sebagai
cinderamata. Sehingga sanggar seni ini, bisa dibuat menjadi semacam
kampung wisata. Salah satu sanggar yang sangat potensial menjadi
sanggar dengan format seni wisata, salah satunya adalah Kampung
Wisata Lerep. Kampung Wisata Lerep merupakan sebuah daerah di
lereng pegunungan yang dirancang sebagai tempat wisata, lengkap mulai
dari peningapan, galery seni, dan paket seni pertunjukan pada setiap
akhir pekan.
9. Hotel-hotel berbintang yang belum mengambil peranan dalam seni
pertunjukan sebagai program pembangunan dan pengembangan aset-aset
seni pertunjukan yang unik dan bernilai finansial yang berharga dalam
bidang pariwisata.
Semarang selain dikenal dengan kota lama, juga dikenal sebagai kota
perdagangan. Selain wisatawan, banyak pelaku-pelaku perdagangan yang
melakukan transaksi bisnisnya di Semarang. Dalam melakukan transaksi
67
bisnis ini, perlu adanya tempat yang representative. Salah satunya adalah
tempat penginapan atau hotel berbintang. Karena peran pentingnya itu,
maka perlu adanya pelayanan dan kenyamanan dari pihak hotel terhadap
tamu yang menginap. Pelayanan ini bukan saja dari segi fasilitas kamar,
makan, tetapi perlu juga adanya pelayanan di bidang hiburan. Seni
tradisional paling banyak disukai oleh tamu hotel baik wisatawan
maupun pelaku bisnis, karena seni tradisional menjadi ciri khas daerah
dimana tamu hotel berkunjung. Untuk Semarang, hotel berbintang bisa
menampilkan paket pertunjukan Gambang Semarang yang terdiri dari
musik, dan tari. Selain itu, juga bisa menampilkan seni tradisional dari
daerah-daerah di sekitar Semarang yang sudah dikemas dan disesuaikan
dengan kebutuhan tamu hotel. Paket pertunjukan ini, akan lebih baik bila
ditampilkan setiap malam pada saat tamu hotel makan malam, akan tetapi
apabila waktu tidak memungkinkan, cukup ditampilkan pada setiap akhir
pekan saja.
68
wisatawan dan institusi pemerintah. Para wisatawan yang hadir di suatu
pertunjukan dengan waktu yang terbatas tetapi mereka ingin melihat
pertunjukan banyak. Dengan demikian, kepentingan wisatawan yang ingin
tahu dan ingin memperoleh manfaat dari apa yang dilihat berbenturan
dengan kepentingan seniman yang ingin mengungkapkan pengalaman
jiwanya yang terdalam. Di pihak lain, yaitu institusi pemerintah atau
organisasi penyelenggara memandang bahwa kesenian sebagai obyek
pariwisata dan bukanlah kesenian sebagai subyek.
Kebijakan perkembangan kesenian sering diarahkan dan diukur dari
keterkaitan dengan pariwisata sehingga pariwisata dalam kaitannya dengan
perkembangan seni seolah-olah menjadi satu serta identik (Salim 1991: 137).
Hal ini bilamana terus berlanjut akan merugikan perkembangan kesenian.
Faktor ekstrinsik adalah segala gagasan dan pola tingkah laku seniman
dalam mengemas seni pertunjukan. Seniman tampaknya belum siap dan
mampu menyajikan kesenian untuk keperluan pariwisata tanpa
mengorbankan nilai estetiknya. Lagi pula tidak jarang, seniman menyajikan
kesenian bersifat ritual yang dinaikkan di panggung menjadi kesenian
komersial. Untuk menghadapi kehadiran wisatawan mancanegara,
dibutuhkan seniman yang konstruktif, artinya yang dapat menjawab
tuntutan dan tantangan zaman serta dapat memadukan antara kepentingan
pariwisata dengan kesenian sebagai cita-cita spiritual.
C. Rangkuman
69
4. kesenian bersifat ritual yang dinaikkan di panggung menjadi kesenian
komersial. Untuk menghadapi kehadiran wisatawan mancanegara,
dibutuhkan seniman yang konstruktif, artinya yang dapat menjawab
tuntutan dan tantangan zaman serta dapat memadukan antara
kepentingan pariwisata dengan kesenian sebagai cita-cita spiritual.
D. Tes Formatif
Sumber Pustaka
Holt, Claire. 2000. Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia. Terj. R.M.
Soedarsono. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.
70
Brandon. 1989. Seni Pertunjukan di Asia Tenggara, Terjemahan Soedarsono.
Yogyakarta: Institut Seni Indonesia.
Geertz, Clifoford.1960. The Religion of Java. Glenco. Illinois: The Free Press of
Glenco.
Griswold, A.B. 1962. What Is Budha Iimage? Bangkok: The Fine Art
Departement.
Hardjana, Suka, 1998. “Keroncong dan Dangdut.” Dalam Edi Sedyawati, ed.
Indonesia Heritage: Performing Arts. Singapore: Archipelago Press.
Holt, Claire. 2000. Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia. Terj. R.M.
Soedarsono. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.
Kadir, Ernida. 2001. “ Misteri dibalik Tari Piring di Atas Kaca di Desa
Andaleh, Sumatera Bara. Tesis Sebagai Syarat Untuk Mencapai Gelar
Sarjana S-2 Pada Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni
Rupa, Program Pascasarjana, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
71
Kayam, Umar. 1981. Seni, Tradisi, Masyarakat, Jakarta: Sinar Harapan.
Noor, Mohd Anis Md. 1993. Folk Dance of The Malay World. Singapore: Oxford
University Press.
Pier sj, Karl-Edmund, 1993.. Sejarah Musik, Jilid 2. Yogyakarta: Pusat Musik
Liturgi
Sedyawati, Edi. 1978. Tari dalam Sejarah Kesenian Jawa dan Bali Kuna, Jakarta:
Fakultas Sastra, Universitai Indonesia.
72
Drajad Sarjana S-2, Program Pascasarjana, Universitas Gajah Mada,
Yogyakarta.
73