Anda di halaman 1dari 19

Alamat pdf

NARASI RENCANA AKSI KB KR 2012 - BkkbN

www.bkkbn.go.id/.../KOSI%202012/.../...

Promosi Doktor Yuniarti Soeroso

Posted by admin on 2011-07-27 01:18:54

Pada hari Selasa (26/07) Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia (FKG UI) kembali
menghasilkan Doktor baru dalam bidang Ilmu Kedokteran Gigi atas nama Dr. Yuniarti
Soeroso, drg, Sp.Perio(K) dengan yudisium Cum Laude. Sidang promosi Doktor dipimpin
Dekan Prof. Bambang Irawan, drg., Ph.D. Dr. Yuniarti merupakan lulusan ke-3 pada tahun
2011 dan lulusan ke-56 dari Program Doktor Fakultas kedokteran Gigi UI.

Disertasi yang diajukan berjudul “Efek Paparan Kitosan Dari Kulit Udang Terhadap
Osteogenesis Sel Punca Yang Diisolasi Dari Legamentum Periodontal”. Bertindak sebagai
promotor Prof. S.W. Prayitno, drg. SKM., M.Sc.D., PhD., Sp.Perio(K), dengan Ko-Promotor
Dr. Endang Winiati Bachtiar, drg., M.Biomed., Ph.D. Ketua tim penguji Dr. Ellyza Herda,
drg, Msi, serta anggota tim penguji Prof.Dr. Harmas Yazid Yusuf, drg, Sp.BM(K), Dr. Sri
Lelyati C. Masulili, drg., SU, Sp.Perio(K), Prof. Dr. Boy M. Bachtiar, drg, MS, dan Dr.
Corputty Johan E.M., drg, Sp.BM.

Periodontis kronis merupakan penyakit periodontal yang paling sering terjadi, penyakit infeksi
yang disebabkan plak gigi yang mengandung mikroorganisme. Gejala klinis terjadi pendarahan
saat probing, pembentukan poket periodental, kerusakan tulang alveolar serta kehilangan
pelekatan jaringan gigi. Kerusakan biasanya berjalan lambat, tetapi pada beberapa kasus
kehilangan pelekatan dapat terjadi sangat cepat dan dalam waktu singkat. Berbagai penyakit
sistemik dan konsisi sistemik yang berhubungan dengan penyakit periodontal antara lain
penyakit Diabetes Mellitus, Human Immunodeficiency Virus (HIV), Acquired Immune
Deficiency Syndrome (AIDS), osteoporosis, pada sistem kardiovaskular yaitu arteosklerosis,
penyakit jantung koroner, angina, myocardial infarction (MI), dan strok. Kebiasaan merokok
juga memperberat penyakit periodontal. Keradangan jaringan periodontal dapat mempengaruhi
sistem reproduksi antara lain menyebabkan terjadinya bayi lahir prematur, berat bayi lahir
rendah (BBLR), dan preklamsi. Hasil survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT 2011)
Departemen Kesehatan RI menunjukkan bahwa penyakit gigi dan mulut termasuk karies dan
penyakit periodontal merupakan masalah yang cukup tinggi (60%) yang dikeluhkan oleh
masyarakat. Periodontis klinis merupakan penyakit periodontal yang paling sering terjadi dan
mempunyai gejala antara lain poket periodontal dan kerusakan tulang. Sifat nondigestibility,
biocompatibel, biodegradab dan rendah sitotoksisitasnya merupakan keunggulan dari kitosan
karena memiliki efek regeneratif dan sebagai interfase darah serta jaringan pada proses
penyembuhan, maka biomolekul ini dapat digunakan sebagai scaffold. Kitosan dapat diproduksi
dari limbah kulit udang dan kepiting yang dapat diperoleh secara mudah dan murah di alam
indonesia.

Kesimpulan yang dijelaskan pada promosi doktor kali ini antara lain paparan kitosan pada sel
punca ligamentum periodontal gigi yang sehat beregenerasi lebih baik daripada paparan kitosan
pada sel punca yang berasal dari gigi periodontitis dan kitosan terbukti tidak toksik terhadap sel
punca ligamentum periodontal manusia, dan mempunyai efek dalam meningkatkan proses
osteogenesis sel punca ligamentum periodontal. Sebagai penutup dari promosi doktor kali ini
diantaranya adalah diperlukan pertimbangan klinis yang teliti dalam mempertahankan gigi
karena kelainan periodontal pada kerusakan lebih dari sepertiga akar, karena kemampuan
regenerasi sel punca pada keadaan ini telah menurun. Penelitian perlu dilanjutkan untuk
mempersiapkan kemasan kitosan yang dapat digunakan secara praktis di klinik dan dilanjutkan
dengan pengamatan secara in vivo dengan mengacu pada konsentrasi optimal yang telah
ditetapkan pada penelitian kali ini. “Pada akhirnya diharapkan dihasilkan suatu kemasan kitosan
yang dapat membantu regenerasi perawatan periodontal dengan biaya murah, praktis dan unggul
dibandingkan dengan jenis bahan cangkok tulang autolog,” kata Dr. Yuniarti. (hadi permana)

http://www.ui.ac.id/id/news/archive/5185
Hits: 1092

Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012

Penjelasan Umum

Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) merupakan salah satu survey social kependudukan yang
secara berkala diselenggarakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) sejak tahun 1991. Hingga saat ini, BPS telah
menyelenggarakan kegiatan SDKI sebanyak lima kali, yaitu 1991, 1994, 1997, 2002 dan 2007. SDKI khusus
dirancang untuk mengumpulkan berbagai informasi mengenai tingkat kelahiran, kematian, prevalensi
keluarga berencana dan kesehatan khususnya kesehatan reproduksi.

Kegiatan SDKI12 mencakup pencacahan terhadap rumah tangga dan tiga daftar pertanyaan individu, yaitu:
1.       Wanita Usia Subur (WUS), ditanyakan kepada semua responden wanita yang berusia 15-49 tahun.
2.       Pria Kawin (PK), ditanyakan kepada responden pria berstatus kawin/hidup bersama yang berusia 15-54
tahun.
3.       Remaja Pria (RP), ditanyakan kepada responden remaja pria berstatus belum kawin yang berusia 15-24
tahun.

Tujuan Survei
Tujuan umum penyelenggaraan SDKI12 adalah dalam rangka mengumpulkan informasi mengenai kesehatan
ibu dan anak, prevalensi imunisasi, kesehatan reproduksi, prevelensi KB, serta pengetahuan tentang AIDS
dan PMS lainnya. Adapun tujuan khusus penyelenggaraan SDKI12 meliputi:

 
1.       Mengumpulkan data mengenai tingkat fertilitas, mortalitas dan prevalensi KB
2.       Mengumpulkan informasi tentang kesehatan ibu dan anak seperti perawatan ibu hamil, imunisasi,
pemberian ASI, Pengetahuan tentang AIDS/IMS lainnya dan kematian ibu.
3.     Memenuhi kebutuhan data dasar yang memiliki keterbandingan internasional untuk penyusunan
kebijakan dan program di bidang kependudukan dan kesehatan
4.  Mengumpulkan data mengenai pengetahuan, sikap dan perilaku pria berstatus kawin berkaitan
dengan kesehatan reproduksi, penyakit AIDS dan IMS lainnya
5.       Mengumpulkan data untuk memantau peran serta pria dalam program KB
6.       Mengumpulkan data mengenai pengetahuan, sikap dan perilaku remaja yang belum kawin berkaitan
dengan kesehatan reproduksi, penyakit AIDS dan IMS lainnya
7.    Mengumpulkan informasi mengenai kesehatan lingkungan tempat tinggal, antara lain mengenai kondisi
rumah, fasilitas air bersih, fasilitas dapur, dan kepemilikan ternak dan keberadaan tempat cuci tangan di
rumah tangga.

Ruang lingkup
Pelaksanaan SDKI12 mencakup sekitar 46.000 rumah tangga sampel yang tersebar di seluruh wilayah
geografi Indonesia. Dari sejumlah sampel tersebut diperkirakan akan diperoleh responden yang memenuhi
syarat masing-masing sebanyak 55.200 responden WUS, 13.248 responden PK, dan 23.000 responden RP.
Sesuai dengan jumlah sampel terpilih, data hasil SDKI12 dapat disajikan pada tingkat nasional dan provinsi.

Waktu
Pengumpulan data SDKI 12 dilaksanakan pada bulan Mei sampai Agustus 2012.

http://tebokab.bps.go.id/index.php/sdki
JAKARTA (Pos Kota) – Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 menunjukan
kinerja program Keluarga Berencana (KB) selama lima tahun (2007-2012) berjalan stagnan alias
jeblok. Sejumlah indikator krusial yang ditargetkan pada tahun ini gagal tercapai.

“SDKI 2012 menunjukan perjalanan KB selama lima tahun stagnan. Akibatnya, target
pembangunan milenium (MDGs) pada 2015 nanti hampir mustahil tercapai,” sesal Deputi bidang
Advokasi Penggerakan dan Informasi Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional
(BKKBN) Hardiyanto.

SDKI merupakan survei statistik kesehatan/kependudukan yang paling diakui datanya secara
internasional. Survei ini dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) setiap lima tahun sekali dan
rencananya SDKI 2012 baru akan dibeberkan ke publik pada akhir November mendatang.

Terdapat tiga indikator utama yang menunjukan perjalanan program KB selama lima tahun
belakangan ini gagal total. SDKI 2012 mencatat, rata-rata dari 100 perempuan usia subur yang
menjadi peserta KB aktif (Contraceptive Prevalence Rate – CPR) hanya mencapai 61,9 persen.
Kendati hasil ini mencapai peningkatan sekitar 0,04 persen dibanding hasil CPR pada SDKI
2007, namun hasil ini jauh dari target yang dicanangkan pada tahun ini yaitu CPR harus
mencapai minimal 62 persen – 63 persen.

Selain CPR, BKKBN juga gagal memenuhi target penurunan rata-rata wanita usia subur yang
melahirkan anak (Total Fertility Rate – TFR). SDKI 2012 mencatat TFR pada tahun ini masih
berada di kisaran 2,6 per perempuan usia subur, artinya rata-rata TFR 2012 masih sama dengan
2007 dan gagal mencapai target 2,4 pada tahun ini.

“Dengan TFR 2,6, maka rata-rata pasangan usia subur di Indonesia rata-rata masih memiliki 3-4
anak,” sebut Hardiyanto.
Dengan kondisi yang dihadapi pada saat ini, hampir mustahil target TFR 2,1 pada 2015 nanti
bisa diraih. Pasalnya untuk mencapai TFR 2,1 syaratnya pemerintah harus bisa meningkatkan
CPR minimal 68. Terus terang  untuk menaikan CPR dari 61,9 menjadi 68 dalam jangka waktu
sekitar kurang dari tiga tahun sangat berat sekali, sambungnya.

Indikator yang paling menunjukan pelaksanaan KB gagal dijalankan pemerintah, adalah tidak
terlayaninya pasangan usia subur yang ingin ber-KB (unmeet need) yang gagal diturunkan sesuai
target.
SDKI 2012 menunjukan unmeet need pada tahun ini mencapai 8,9 persen atau hanya turun 0,02
persen dari SDKI 2007 yaitu 9,1 persen. Dengan raihan seperti ini, lagi-lagi secara teori mustahil
untuk mengejar target unmeet need pada 2015 menjadi 5 persen.

Berbagai kegagalan pencapaian target pada tahun ini, menurut Hardiyanto menunjukan bahwa
metode pelaksanaan KB yang diterapkan pada saat ini tidak tepat. Dia mencontohkan di
sejumlah daerah CPR-nya mengalami kenaikan, tetapi TFR-nya juga ikut naik. “Ini aneh, peserta
KB bertambah, tetapi tingkat kelahiran juga tinggi.”
Dari penelusuran bisa ditarik kesimpulan, pemerintah kabupaten/kota gagal membina peserta KB
baru untuk terus bertahan ber-KB, sehingga peserta putus KB di tengah jalan (drop out rate)
tinggi.

STRATEGI BARU

Ketua Pelaksana Umum Ikatan Peminat dan Ahli Demografi Indonesia (IPADI) Dr. Sudibyo
Alimoeso mengaku terkejut saat dikonfirmasi terkait hasil capaian kinerja KB selama lima tahun
yang jeblok.

Berkaca dari hal tersebut, katanya perlu dilakukan sejumlah perubahan strategi dalam
pelaksanaan KB ke depan. Dia mencontohkan adanya CPR tinggi namun TFR tidak juga turun
menunjukan strategi KB sebelumnya perlu dimodifikasi.
CPR tinggi namun TFR tidak turun mengindikasikan bahwa mayoritas peserta KB saat ini
menggunakan alat kontrasepsi jangka pendek seperti pil dan suntik yang sangat rawan terputus di
tengah jalan. Saat ini diperkirakan 60 persen peserta KB menggunakan alat kontrasepsi pil dan
suntik.

Idealnya jika peserta KB kebanyakan menggunakan kontrasepsi jangka pendek, maka upaya
pembinaan harus kuat. Sayangnya di masa otonomi daerah Petugas Lapangan KB (PLKB) dan
kader KB desa sangat sedikit. Dahulu di masa Orde Baru petugas dan kader aktif membawakan
pil KB dan mengingatkan peserta untuk mengulang suntik setiap tiga bulan pada peserta.

Lebih jauh Sudibyo mengatakan, dengan tidak berjalannya KB, otomatis target MDGs seperti
penurunan angka kematian ibu bakal sulit dicapai Indonesia. Saat ini rata-rata angka kematian
ibu 228 per 100 ribu kelahiran (SDKI 2007) untuk mencapai target MDGs yaitu 102 per 100 ribu
kelahiran pada 2015 saja sudah sangat berat.

Target itu semakin sulit diraih jika program KB tidak berjalan. Pasalnya secara teori KB adalah
program paling efektif untuk menurunkan tingkat kematian ibu. “Semakin sering perempuan
melahirkan, maka resiko tingkat kematian semakin tinggi,” ujar pria yang kini menjabat sebagai
Deputi Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi BKKBN.

Ke depan, agar KB bisa kembali bangkit, tidak bisa lain peran pemerintah daerah harus lebih
ditingkatkan. Pasalnya sejak otonomi daerah diberlakukan, sesuai undang-undang urusan KB
mutlak menjadi urusan kab/kota.
Saat ini, kata Sudibyo, kewenangan pusat untuk mendorong pelaksanaan KB di daerah terbatas.
Dia mencontohkan pusat bisa memberikan Dana Alokasi Khusus (DAK) pada daerah, namun
DAK itu hanya boleh diperuntukan bagi sarana dan prasarana. Untuk itu diperlukan alokasi dana
dari APBD daerah untuk operasional pelaksanaan KB.

“Misalnya pusat memberikan bantuan motor pada PLKB untuk bertugas, namun untuk bensin,
tranportasi, dan lain-lain anggarannya harus dari daerah,” ujar pakar demografi lulusan
Georgetown University Amerika Serikat ini.
Selain itu daerah juga harus menempatkan petugas/staf yang ada di Satuan Kerja Perangkat
Daerah (SKPD) KB yang berkompeten. Saat ini, lanjut Sudibyo, jamak terjadi di daerah kepala
SKPD KB baru bertugas tiga bulan sudah dimutasi. “Bagaimana mau bekerja kalau begitu?”
keluhnya.

Terkait tingkat unmeet need yang tinggi, Sudibyo berpendapat sudah sepatutnya saat ini sasaran
target KB difokuskan pada mereka. Pasalnya mereka jelas adalah orang-orang yang ingin ber-
KB tetapi tidak memiliki akses.

(aby/sir)

Teks Gbr- Deputi Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi BKKBN, Dr Sudibyo
Alimoeso yang juga Ketua Pelaksana Umum Ikatan Peminat dan Ahli Demografi Indonesia
(IPADI) menandatangani komitmen hindari seks bebas, narkoba dan HIV AIDS bagi generasi
muda, Minggu. (aby)

http://www.poskotanews.com/2012/11/26/pelaksanaan-kb-5-tahun-terakhir-jeblok/
72 peserta ikuti pelatihan SDKI 2012

Bertempat di Hotel Batara Banjarmasin, Selasa (23/4) malam, sebanyak 72 peserta


mengikuti pelatihan petugas Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012, yang
berasal dari 3 Provinsi di Kalimantan yaitu, Provinsi Kalsel, Kalteng dan Kaltim. Menurut
ketua panitia, Agnes Widiastuti (Kabid Statistik Sosial) menyampaikan bahwa, BPS Provinsi
Kalsel sebagai pelaksana dari kegiatan SDKI 2012 se Kalimantan. Waktu pelaksanaan kegiatan
dimulai dari tanggal 23 April sampai 5 Mei 2012.

Ketua Panitia SDKI 2012, Agnes Widiastuti, saat menyampaikan laporannya.

Berkesempatan hadir Ir.H.Dudy S. Sulaeman, M.Eng (Deputi Metodologi dan


Informasi Statistik) BPS RI, di dampingi Kepala BPS Provinsi Kalsel, Iskandar Zulkarnain,
yang sekaligus membuka kegiatan pelatihan petugas SDKI 2012, dan membacakan sambutan
Kepala BPS RI Dr.Suryamin. Dalam sambutannya H. Dudy S.Sulaeman mengatakan, bahwa
SDKI selama ini sudah menjadi salah satu sumber data penting dalam sistem informasi
kependudukan. SDKI bersama sumber data lainnya (Sensus penduduk, Supas, Sakernas dan
Susenas) menjadi kekayaan besar Indonesia yang telah mendapat tempat sebagai pendukung
dalam perencanaan dan kebijakan pembangunan serta sebagai bahan penelitian di bidang sosial.
 

H. Dudy S.Sulaeman, Deputi MIS, saat membuka pelatihan SDKI 2012 di Banjarmasin.

Lebih lanjut H.Dudy S.Sulaeman menyampaikan, Kekhususan SDKI di antara sumber


data kependudukan ialah kualitasnya yang telah diakui sebagai survei yang dapat dibanggakan
karena kualitas relatif baik, terutama dalam menggambarkan isu kelahiran, kematian, kesehatan
reproduksi, kesehatan anak, perilaku seksualitas remaja maupun wanita usia subur, dan
keluarga berencana. Data SDKI bukan saja baik dan penting dalam lingkup nasional, namun
juga pada lingkup internasional sebagai data yang dapat dibandingkan antar negara
berkembang, ucapnya.

Acara diakhiri dengan wawancara oleh wartawan TVRI Kalsel dan Banjarmasin Post,
kepada H.Dudy S.Sulaeman dan Kepala BPS Provinsi Kalsel seputar masalah SDKI 2012 dan
data BPS lainnya.
Foto & Narasi by My

  Hits (320)     Waktu :27-04-2012 (10:46:05)    Komentar (1)

Pengirim :
hanisradhista@yahoo.co.id
   Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Selatan
Hari : 2012-05-04, Tanggal : 2012-
Alamat : Jl. KS. Tubun 117 Banjarmasin, 70242 Indonesia
05-04, Waktu : 18:10:14
Telepon : +62 511 3262314, Fax : +62 511 3261585 Email :
Komentar : smoga SDKI 2012 bps6300@bps.go.id, bps6300@gmail.com
berjalan lancar n mendapat Copyrighted by BPS-KALSEL © 2009
dukungan dri masyarakat .....

http://kalsel.bps.go.id/?set=viewBk&flag_template2=1&flag=1&page=1&id=244
Makalah Kesehatan Reproduksi

Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di era globalisasi sekarang ini sangat mendukung
dalam kehidupan manusia di Indonesia bahkan di dunia, penemuan yang setiap waktu terjadi dan
para peneliti terus berusaha dalam penelitiannya demi kemajuan dan kemudahan dalam
beraktivitas.
Ilmu kedokteran khususnya ilmu kesehatan pun begitu cepat bekembang mulai dari peralatan
ataupun teori sehingga mendorong para pengguna serta spesialis tidak mau ketinggalan untuk
bisa memiliki dan memahami wawasan serta ilmu pengetahuan tersebut.
Terkait ilmu kesehatan dalam hal ini, yaitu kesehatan reproduksi banyak sekali teori-teori serta
keilmuan yang harus dimiliki oleh para pakar atau spesialis kesehatan reproduksi. Wilayah
keilmuan tersebut sangat penting dimiliki demi mengemban tugas untuk bisa menolong para
pasien yang mana demi kesehatan, kesejahteraan dan kelancaran pasien dalam menjalanakan
kodratnya sebagai perempuan.
Pengetahuan kesehatan reproduksi bukan saja penting dimiliki oleh para bidan atau spesialais
tetapi sangat begitu penting pula dimiliki khususnya oleh para istri-istri atau perempuan sebagai
ibu atau bakal ibu dari anak-anaknya demi kesehatan, dan kesejahteraan meraka.
Untuk itu, penulis dalam makalah ini bermaksud ingin memberikan beberapa pengertian yang
mudah-mudahan makalah ini bermanfaat untuk khalayak pembaca khususnya para perempuan.
Oleh karena itu penulis mengambil judul pada makalah ini, yaitu “KESEHATAN
REPRODUKSI”.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan disajikan sebagai berikut:
1. Apa pengertian Kesehatan Reproduksi?
2. Apa saja Hak yang terkait dengan Kesehatan Reproduksi?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan makalah ini, yaitu:
1. Untuk mengetahui pengertian Kesehatan Reproduksi.
2. Untuk mengetahui hak yang terkait dengan Kesehatan Reproduksi.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Kesehatan Reproduksi
Pengertian Kesehatan Reproduksi
Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap
orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis (UU No. 23 Tahun 1992).
Definisi ini sesuai dengan WHO, kesehatan tidak hanya berkaitan dengan kesehatan fisik, tetapi
juga kesehatan mental dan sosial, ditambahkan lagi (sejak deklarasi Alma Ata-WHO dan
UNICEF) dengan syarat baru, yaitu: sehingga setiap orang akan mampu hidup produktif, baik
secara ekonomis maupun sosial.
Kesehatan reproduksi adalah keadaan kesejahteraan fisik, mental, dan sosial yang utuh dan
bukan hanya tidak adanya penyakit atau kelemahan dalam segala hal yang berhubungan dengan
sistem reproduksi dan fungsi-fungsi serta proses-prosesnya.
Kesehatan reproduksi berarti bahwa orang dapat mempunyai kehidupan seks yang memuaskan
dan aman, dan mereka memiliki kemampuan untuk bereproduksi dan kebebasan untuk
menentukan keinginannya, kapan dan frekuensinya.

B. Hak yang Terkait Dengan Kesehatan Reproduksi


Membicarakah kesehatan reproduksi tidak terpisahkan dengan soal hak reproduksi, kesehatan
seksual dan hak seksual. Hak reproduksi adalah bagian dari hak asasi yang meliputi hak setiap
pasangan dan individual untuk memutuskan secara bebas dan bertanggung jawab jumlah, jarak,
dan waktu kelahiran anak, serta untuk memiliki informasi dan cara untuk melakukannya.

a. Kesehatan Seksual
Kesehatan seksual yaitu suatu keadaan agar tercapai kesehatan reproduksi yang mensyaratkan
bahwa kehidupan seks seseorang itu harus dapat dilakaukan secara memuaskan dan sehat dalam
arti terbebas dari penyakit dan gangguan lainnya. Terkait dengan ini adalah hak seksual, yakni
bagian dari hak asasi manusia untuk memutuskan secara bebas dan bertanggungjawab terhadap
semua hal yang berhubungan dengan seksualitas, termasuk kesehatan seksual dan reproduksi,
bebas dari paksaan, diskriminasi dan kekerasan.

b. Prinsip Dasar Kesehatan Dalam Hak Seksual dan Reproduksi


• Bodily integrity, hak atas tubuh sendiri, tidak hanya terbebas dari siksaan dan kejahatan fisik,
juga untuk menikmati potensi tubuh mereka bagi kesehatan, kelahiran dan kenikmatan seks
aman.
• Personhood, mengacu pada hak wanita untuk diperlakukan sebagai aktor dan pengambilan
keputusan dalam masalah seksual dan reproduksi dan sebagai subyek dalam kebijakan terkait.
• Equality, persamaan hak antara laki-laki dan perempuan dan antar perempuan itu sendiri, bukan
hanya dalam hal menghentikan diskriminasi gender, ras, dan kelas melainkan juga menjamin
adanya keadilan sosial dan kondisi yang menguntungkan bagi perempuan, misalnya akses
terhadap pelayanan kesehatan reproduksi.
• Diversity, penghargaan terhadap tata nilai, kebutuhan, dan prioritas yang dimiliki oleh para
wanita dan yang didefinisikan sendiri oleh wanita sesuai dengan keberadaannya sebagai pribadi
dan anggota masyarakat tertentu.
• Ruang lingkup kesehatan reproduksi sangat luas yang mengacakup berbagai aspek, tidak hanya
aspek biologis dan permasalahannya bukan hanya bersifat klinis, akan tetapi non klinis dan
memasuki aspek ekonomi, politik, dan sosial-budaya. Oleh karena aitu diintroduksi pendekatan
interdisipliner (meminjam pendekatan psikologi, antropologi, sosiologi, ilmu kebijakan, hukum
dan sebagainya) dan ingin dipadukan secara integratif sebagai pendekatan transdisiplin.
c. Hak Aksasi Manusia yang terkait dengan kesehatan
• Deklarasi Universal HAM 1948
Haka kebebasan mencari jodoh dan membentuk keluarga, perkawinan harus dilaksanakan atas
dasar suka sama suka (Pasal 16). Hak kebebasan atas kualitas hidup untuk jaminan kesehatan
dan keadaan yang baik untuk dirinya dan keluarganaya (Pasal 25).
• UU No. 7 Tahun 1984 (Konvensi Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita:
Jaminan persaman hak ats jaminan kesehatan dan keselamatan kerja, termasuk usaha
perlinduangan terhadap fungsi melanjutkan keturunan (Pasal 11 ayat 1f).
Jamainan hak efektif untuk bekerja tanpa dikriminasi atas dasar perkwainan atau kehamilan
(Pasal 11 ayat 2).
• Penghapusan diskriminasi di bidang pemeliharaan kesehatan dan jaminan pelayanan kesehatan
termasuk pelayanana KB (Pasal 12).
• Jamianan hak kebebasan wanita pedesaan untuk memperoleh fasilitas pemeliharaan kesehatan
yang memadai, termasuk penerangan, penyuluhan dan pelayanan KB (Pasal 14 ayat 2 b).
• Penghapusan diskriminasi yang berhubungan dengan perkawinan dan hubungan kekeluargaan
atas dasar persaman antara pria dan wanita (pasal 16 ayat 1).
• UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM
Setiap orang berhak membentuk suatua kelauarga dan melanjutkan keturunan melalui
pekawianana yang sah (Pasal 10).
Setiap orang berhak atas pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan berkembang secara
layak (Pasal 11).
Setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan
untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu (Pasal 30).
Hak wanita dalam UU HAM sebagai hak asasi manusia (Pasal 45).
• Tap No. XVII/MPR/1998 tentang HAM
Hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah (Pasal
2).
Hak atas pemenuhan kebutuhan dasar auntuk tumbuh dan berkembang secara layak (Pasal 3).
Hak untuk hidup sejahtera lahir dan batin (Pasal 27).
Dalam pemenuhan hak asasi manusia, laki-laki dan perempuan berhak mendapatkan perlakuan
dan perlindungan yang sama (Pasal 39).
• Wanita berhak untuk mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan
pekerjaan/profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau
kesehatannya berkenaan dengan fungsi reproduksi wanita (Pasal 49 ayat 2).
• Hak khusus yang melekat pada diri wanita dikarenakan fungsi reproduksinya, dijamin dan
dilindungi oleh hukum (Pasal 49 ayat 3).
• Hak dan tanggungjawab yang sama antara isteri dan suaminya dalam ikatan perkawainan (Pasal
51).

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kesehatan reproduksi sangatlah penting untuk diketahui oleh para perempuan bakal calon ibu
ataupun laki-laki calon bapak. Oleh karena itu bverdasarkan uraian di atas dapat penulis
simpulkan bahwa.
• Definisi kesehatan sesuai dengan WHO, kesehatan tidak hanya berkaitan dengan kesehatan
fisik, tetapi juga kesehatan mental dana sosial, ditambahkan lagi (sejak deklarasi Alma Ata-
WHO dan UNICEF) dengan syart baru, yaitu: sehingga setiap orang akan mampu hidup
produktif, baik secara ekonomis maupun sosial.
• Kesehatan reproduksi adalah keadaan kesejahteraan fisik, mental, dan sosial yang utuh dan
bukan hanya tidak adanya penyakit atau kelemahan dalam segala hal yang berhubungan dengan
sistem reproduksi dan fungsi-fungsi serta proses-prosesnya.
• Hak reproduksi adalah bagian dari hak asasi yang meliputi hak setiap pasangan dan individual
untuk memutuskan secara bebas dan bertanggung jawab jumlah, jarak, dan waktu kelahiran
anak, serta untuk memiliki informasi dan cara untuk melakukannya.

B. Saran
Untuk itu wawasan dan pengetahuan kesehatan reproduksi sangatlah penting untuk bisa dikuasai
dan dimiliki oleh para perempuan dan laki-laki yang berumah tangga, supaya kesejahtaraan dan
kesehatan bisa tercapai dengan sempurna. Oleh kerana itu penulis memberi saran kepada para
pihak yang terkait khususnya pemerintah, Dinas Kesehatan untuk bisa memberikan pengetahuan
dan wawasan tersebut kepada khalayak masyarakat dengan cara sosialisasi, kegiatan tersebut
mudah-mudahan kesehatan reproduksi masyarakat bisa tercapai dan masyarakat lebih pintar
dalam menjaga kesehatannya.

DAFTAR PUSTAKA

Mona Isabella Saragih, Amkeb, SKM. Materi Kesehatan Reproduksi. Akademi Kebidanan YPIB
Majalengka.

http://makalahkuada.blogspot.com/2012/03/makalah-kesehatan-reproduksi.html
Artikel Kesehatan Reproduksi
.

Artikel Kesehatan : Artikel Kesehatan Reproduksi

Artikel Kesehatan Reproduksi merupakan salah satu artikel kesehatan yang sangat penting dibaca oleh
setiap manusia khususnya bagi para perempuan. Dengan membaca artikel kesehatan reproduksi akan
memberikan informasi yang sangat bermanfaat bagi kesehatan reproduksi perempuuan ketika mereka
telah berumah tangga. Tentunya setiap perempuan memiliki keinginan untuk menjadi seorang ibu.

Seksualitas dan kesehatan reproduksi remaja didefinisikan sebagai keadaan sejahtera fisik dan psikis
seorang remaja, termasuk keadaan terbebas dari kehamilan yang tak dikehendaki, aborsi yang tidak aman,
penyakit menular seksual (PMS) ter-masuk HIV/AIDS, serta semua bentuk kekerasan dan pemaksaan
seksual (FCI, 2000).

Artikel Kesehatan Reproduksi : Mengapa Kesehatan Reproduksi Remaja Sangat Penting?

Masa remaja adalah masa transisi antara masa kanak-kanak dengan dewasa dan relatif belum mencapai
tahap kematangan mental dan sosial sehingga mereka harus menghadapi tekanan-tekanan emosi dan
sosial yang saling bertentangan. Banyak sekali life events yang akan terjadi yang tidak saja akan
menentukan kehidupan masa dewasa tetapi juga kualitas hidup generasi berikutnya sehingga
menempatkan masa ini sebagai masa kritis.

Di negera-negara berkembang masa transisi ini berlangsung sangat cepat. Bahkan usia saat berhubungan
seks pertama ternyata selalu lebih muda daripada usia ideal menikah (Kiragu, 1995:10, dikutip dari
Iskandar, 1997).

Pengaruh informasi global (paparan media audio-visual) yang semakin mudah diakses justru memancing
anak dan remaja untuk mengadaptasi kebiasaan-kebiaasaan tidak sehat seperti merokok, minum minuman
berakohol, penyalahgunaan obat dan suntikan terlarang, perkelahian antar-remaja atau tawuran (Iskandar,
1997). Pada akhirnya, secara kumulatif kebiasaan-kebiasaan tersebut akan mempercepat usia awal seksual
aktif serta mengantarkan mereka pada kebiasaan berperilaku seksual yang berisiko tinggi, karena
kebanyakan remaja tidak memiliki pengetahuan yang akurat mengenai kesehatan reproduksi dan
seksualitas serta tidak memiliki akses terhadap informasi dan pelayanan kesehatan reproduksi, termasuk
kontrasepsi.
Kebutuhan dan jenis risiko kesehatanreproduksi yang dihadapi remaja mempunyai ciri yang berbeda dari
anak-anak ataupun orang dewasa. Jenis risiko kesehatan reproduksi yang harus dihadapi remaja antara
lain adalah kehamilan, aborsi, penyakit menular seksual (PMS), ke-kerasan seksual, serta masalah
keterbatasan akses terhadap informasi dan pelayanan kesehatan. Risiko ini dipe-ngaruhi oleh berbagai
faktor yang saling berhubungan, yaitu tuntutan untuk kawin muda dan hubungan seksual, akses terhadap
pendidikan dan pekerjaan, ketidaksetaraan jender, kekerasan seksual dan pengaruh media massa maupun
gaya hidup.

Khusus bagi remaja putri, mereka kekurangan informasi dasar mengenai keterampilan menegosiasikan
hubungan seksual dengan pasangannya. Mereka juga memiliki kesempatan yang lebih kecil untuk
mendapatkan pendidikan formal dan pekerjaan yang pada akhirnya akan mempengaruhi kemampuan
pengambilan keputusan dan pemberdayaan mereka untuk menunda perkawinan dan kehamilan serta
mencegah kehamilan yang tidak dikehendaki (FCI, 2000). Bahkan pada remaja putri di pedesaan, haid
pertama biasanya akan segera diikuti dengan perkawinan yang menempatkan mereka padarisiko
kehamilan dan persalinan dini (Hanum, 1997:2-3).

Kadangkala pencetus perilaku atau kebiasaan tidak sehat pada remaja justru adalah akibat
ketidak-harmonisan hubungan ayah-ibu, sikap orangtua yang menabukan pertanyaan anak/remaja tentang
fungsi/proses reproduksi dan penyebab rangsangan seksualitas (libido), serta frekuensi tindak kekerasan
anak (child physical abuse).

Mereka cenderung merasa risih dan tidak mampu untuk memberikan informasi yang memadai mengenai
alat reproduksi dan proses reproduksi tersebut. Karenanya, mudah timbul rasa takut di kalangan orangtua
dan guru, bahwa pendidikan yang menyentuh isu perkembangan organ reproduksi dan fungsinya justru
malah mendorong remaja untuk melakukan hubungan seks pranikah (Iskandar, 1997).

Kondisi lingkungan sekolah, pengaruh teman, ketidaksiapan guru untuk memberikan pendidikan
kesehatan reproduksi, dan kondisi tindak kekerasan sekitar rumah tempat tinggal juga berpengaruh
(O’Keefe, 1997: 368-376).
Remaja yang tidak mempu-nyai tempat tinggal tetap dan tidak mendapatkan perlin-dungan dan kasih
sayang orang tua, memiliki lebih banyak lagi faktor-faktor yang berkontribusi, seperti: rasa kekuatiran
dan ketakutan yang terus menerus, paparan ancaman sesama remaja jalanan, pemerasan, penganiayaan
serta tindak kekerasan lainnya, pelecehan seksual dan perkosaan (Kipke et al., 1997:360-367). Para
remaja ini berisiko terpapar pengaruh lingkungan yang tidak sehat, termasuk penyalahgunaan obat,
minuman beralkohol, tindakan kriminalitas, serta prostitusi (Iskandar, 1997).

Artikel Kesehatan Reproduksi : Pelayanan Kesehatan Reproduksi bagi Remaja

Pilihan dan keputusan yang diambil seorang remaja sangat tergantung kepada kualitas dan kuantitas
informasi yang mereka miliki, serta ketersediaan pelayanan dan kebijakan yang spesifik untuk mereka,
baik formal maupun informal (Pachauri, 1997).

Sebagai langkah awal pencegahan, peningkatan pengetahuan remaja mengenai kesehatan reproduksi
harus ditunjang dengan materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) yang tegas tentang penyebab dan
konsekuensi perilaku seksual, apa yang harus dilakukan dan dilengkapi dengan informasi mengenai
saranan pelayanan yang bersedia menolong seandainya telah terjadi kehamilan yang tidak diinginkan atau
tertular ISR/PMS. Hingga saat ini, informasi tentang kesehatan reproduksi disebarluaskan dengan pesan-
pesan yang samar dan tidak fokus, terutama bila mengarah pada perilaku seksual (Iskandar, 1997).

Di segi pelayanan kesehatan, pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak serta Keluarga Berencana di Indonesia
hanya dirancang untuk perempuan yang telah menikah, tidak untuk remaja. Petugas kesehatan pun belum
dibekali dengan kete-rampilan untuk melayani kebutuhan kesehatan reproduksi para remaja (Iskandar,
1997).

Jumlah fasilitas kesehatan reproduksi yang menyeluruh untuk remaja sangat terbatas. Kalaupun ada,
pemanfaatannya relatif terbatas pada remaja dengan masalah kehamilan atau persalinan tidak
direncanakan. Keprihatinan akan jaminan kerahasiaan (privacy) atau kemampuan membayar, dan
kenyataan atau persepsi remaja terhadap sikap tidak senang yang ditunjukkan oleh pihak petugas
kesehatan, semakin membatasi akses pelayanan lebih jauh, meski pelayanan itu ada. Di samping itu,
terdapat pula hambatan legal yang berkaitan dengan pemberian pelayanan dan informasi kepada
kelompok remaja (Outlook, 2000).

Karena kondisinya, remaja merupakan kelompok sasaran pelayanan yang mengutamakan privacy dan
confidentiality (Senderowitz, 1997a:10). Hal ini menjadi penyulit, mengingat sistem pelayanan kesehatan
dasar di Indonesia masih belum menempatkan kedua hal ini sebagai prioritas dalam upaya perbaikan
kualitas pelayanan yang berorientasi pada klien.
Sebuah survei terbaru terhadap 8084 remaja laki-laki dan remaja putri usia 15-24 tahun di 20 kabupaten
pada empat propinsi (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Lampung) menemukan 46,2% remaja
masih menganggap bahwa perempuan tidak akan hamil hanya dengan sekali melakukan hubungan seks.
Kesalahan persepsi ini sebagian besar diyakini oleh remaja laki-laki (49,7%) dibandingkan pada remaja
putri (42,3%) (LDFEUI & NFPCB, 1999a:92).

Dari survei yang sama juga didapatkan bahwa hanya 19,2% remaja yang menyadari peningkatan risiko
untuk tertular PMS bila memiliki pasangan seksual lebih dari satu. 51% mengira bahwa mereka akan
berisiko tertular HIV hanya bila berhubungan seks dengan pekerja seks komersial (PSK) (LDFEUI &
NFPCB, 1999b:14).

Artikel Kesehatan Reproduksi : Sumber Informasi Kesehatan Reproduksi


Remaja seringkali merasa tidak nyaman atau tabu untuk membicarakan masalah seksualitas dan
kesehatan reproduksinya. Akan tetapi karena faktor keingintahuannya mereka akan berusaha untuk
mendapatkan informasi ini. Seringkali remaja merasa bahwa orang tuanya menolak membicarakan
masalah seks sehingga mereka kemudian mencari alternatif sumber informasi lain seperti teman atau
media massa.

Kebanyak orang tua memang tidak termotivasi untuk memberikan informasi mengenai seks dan
kesehatan reproduksi kepada remaja sebab mereka takut hal itu justru akan meningkatkan terjadinya
hubungan seks pra-nikah. Padahal, anak yang mendapatkan pendidikan seks dari orang tua atau sekolah
cenderung berperilaku seks yang lebih baik daripada anak yang mendapatkannya dari orang lain
(Hurlock, 1972 dikutip dari Iskandar, 1997).

Keengganan para orang tua untuk memberikan informasi kesehatan reproduksi dan seksualitas juga
disebabkan oleh rasa rendah diri karena rendahnya pengetahuan mereka mengenai kesehatan reproduksi
(pendidikan seks). Hasil pre-test materi dasar Reproduksi Sehat Anak dan Remaja (RSAR) di Jakarta
Timur (perkotaan) dan Lembang (pedesaan) menunjukkan bahwa apabila orang tua merasa meiliki
pengetahuan yang cukup mendalam tentang kesehatan reproduksi, mereka lebih yakin dan tidak merasa
canggung untuk membicarakan topik yang berhubungan dengan masalah seks (Iskandar, 1997:3).
Hambatan utama adalah justru bagaimana mengatasi pandangan bahwa segala sesuatu yang berbau seks
adalah tabu untuk dibicarakan oleh orang yang belum menikah (Iskandar, 1997:1).

Artikel Kesehatan Reproduksi : Sikap Remaja terhadap Kesehatan Reproduksi


Responden survei remaja di empat propinsi yang dilakukan pada tahun 1998 memperlihatkan sikap yang
sedikit berbeda dalam memandang hubungan seks di luar nikah. Ada 2,2% responden setuju apabila laki-
laki berhubungan seks sebelum menikah. Angka ini menurun menjadi 1% bila ditanya sikap mereka
terhadap perempuan yang berhubungan seks sebelum menikah. Jika hubungan seks dilakukan oleh dua
orang yang saling mencintai, maka responden yang setuju menjadi 8,6%. Jika mereka berencana untuk
menikah, responden yang setuju kembali bertambah menjadi 12,5% (LDFEUI & NFPCB, 1999a:96-97).
Sebuah studi yang dilakukan LDFEUI di 13 propinsi di Indonesia (Hatmadji dan Rochani, 1993)
menemukan bahwa sebagian besar responden setuju bahwa pengetahuan mengenai kontrasepsi sudah
harus dimiliki sebelum menikah.

Artikel Kesehatan Reproduksi : Perilaku Seksual Remaja


Survei remaja di empat propinsi kembali melaporkan bahwa ada 2,9% remaja yang telah seksual aktif.
Persentase remaja yang telah mempraktikkan seks pra-nikah terdiri dari 3,4% remaja putra dan 2,3%
remaja putri (LDFEUI & NFPCB,
 

1999:101). Sebuah survei terhadap pelajar SMU di Manado, melaporkan persentase yang lebih tinggi,
yaitu 20% pada remaja putra dan 6% pada remaja putri (Utomo, dkk., 1998).

Sebuah studi di Bali menemukan bahwa 4,4% remaja putri di perkotaan telah seksual aktif. Studi di Jawa
Barat menemukan perbedaan antara remaja putri di perkotaan dan pedesaan yang telah seksual aktif yaitu
berturut-turut 1,3% dan 1,4% (Kristanti & Depkes, 1996: Tabel 8b).

Sebuah studi kualitatif di perkotaan Banjarmasin dan pedesaan Mandiair melaporkan bahwa interval 8-10
tahun adalah rata-rata jarak antara usia pertama kali berhubungan seks dan usia pada saat menikah pada
remaja putra, sedangkan pada remaja putri interval tersebut adalah 4-6 tahun (Saifuddin dkk, 1997:78).

Tentu saja angka-angka tersebut belum tentu menggambarkan kejadian yang sebenarnya, mengingat
masalah seksualitas termasuk masalah sensitif sehingga tidak setiap orang bersedia mengungkapkan
keadaan yang sebenarnya. Oleh karena itu, tidaklah mengejutkan apabila angka sebenarnya jauh lebih
besar daripada yang dilaporkan.

Daftar Pustaka

Iskandar, Meiwita B. "Hasil Uji Coba Modul Reproduksi Sehata Anak & Remaja untuk Orang Tua."
Makalah pada Lokakarya Penyusunan Rencana Pengembangan Media, diselenggarakan oleh PKBI,
Jakarta, 20-21 Mei 1997.

Kristanti, Ch. M dan Depkes. Status Kesehatan Remaja Propinsi Jawa Barat dan Bali:

Laporan Penelitian 1995/1996. Jakarta: Depkes-Binkesmas-Binkesga, 1996.


LDFEUI dan NFPCB. Baseline Survey of Young Adult Reproductive Welfare in Indonesia 1998/1999
Book I. Jakarta: LDFEUI dan NFPCB, Juli 1999a.

LDFEUI dan NFPCB. Baseline Survey of Young Adult Reproductive Welfare in Indonesia 1998/1999.
Executive Summary and Recommendation Program. Jakarta: LDFEUI dan NFPCB, Juli 1999b.
Rosdiana, D. Pokok-Pokok Pikiran Pendidikan Seks untuk Remaja. Dalam N. Kollman (ed). Kesehatan
Reproduksi Remaja. Jakarta: Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, 1998:9-20.

Saifuddin, A. F., dkk. Perilaku Seksual Remaja di Kota dan di Desa: Kasus Kalimantan
Selatan. Depok: Laboratorium Antropologi, FISIP-UI, 1997.

http://www.artikelbagus.com/2012/04/artikel-kesehatan-reproduksi.html

Anda mungkin juga menyukai