Anda di halaman 1dari 20

Determinan Angka Kematian Bayi di Indonesia (Analisis Data Sekunder

Survei Demografi Kesehatan Indonesia tahun 2012)

Mutiara Putriani Laksana dan Ahmad Syafiq

1. Program Studi Kesehatan Reproduksi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Depok
2. Departemen Gizi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Depok

E-mail : mutiaralaksana@gmail.com

Abstrak

Skripsi ini membahas tentang determinan kematian bayi di Indonesia. Penelitian ini menggunakan desain studi
ekologi dengan menggunakan uji korelasi. Variabel independen yang dibahas dalam penelitian ini bersumber
dari data SDKI 2012 meliputi faktor demografi (daerah tempat tinggal), faktor ibu dan bayi (usia ibu,
pendidikan, paritas dan berat bayi lahir), dan faktor pengendalian penyakit per orangan (frekuensi ANC,
penolong persalinan, Inisiasi Menyusu Dini, dan waktu kunjungan neonatal). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa variabel yang memiliki korelasi dengan tingginya AKB di Indonesia adalah daerah pedesaan, pendidikan
tidak tamat SD/sekolah, paritas >5 anak, berat bayi lahir <2500 anak, frekuensi ANC <4 kali, penolong
persalinan oleh tenaga kesehatan, dan waktu kunjungan neonatal >7hari.

Determinants of Infant Mortality in Indonesia (Analysis Data Indonesia Data Health


Survey in 2012)

Abstract

This thesis discusses about the determinants of infant mortality in Indonesia. This study use the ecological study
design with correlation test. The independent variables in this study data sourced from IDHS 2012 include
demographic factors (area of residence), maternal and infant factors (maternal age, education, parity and birth
weight), and factor per puppets disease control (ANC frequency, birth attendants , breastfeeding early, and time
of the visit neonatal). The results showed that the variables that have a high correlation with IMR per provinces
is a rural area, do not complete primary school education / school, parity > 5 children, birth weight <2500
children, the frequency of ANC <4 times, auxiliary delivery by health workes, and neonatal visits > 7 days.

Keywords :Ecological studies; Determinants of infant mortality; Infant mortality; dan Infant mortality rate.

Pendahuluan

Derajat kesehatan suatu negara dapat dilihat dari indikator utama kesehatan seperti
Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB). Derajat kesehatan suatu
negara akan mempengaruhi pembangunan kesehatan di negara tersebut (Bappenas, 2009).
Angka kematian bayi adalah kontributor utama untuk kematian anak. Perbaikan dalam
kematian bayi dan anak adalah kontributor utama untuk meningkatkan angka harapan hidup

Determinan Angka..., Mutiara Putriani Laksana, FKM UI, 2014


di negara-negara berkembang. Keberhasilan dalam menurunkan angka kematian bayi dapat
dilihat sebagai indikator umum kemajuan suatu negara menuju hasil pembangunan manusia
berdasarkan Millenium Development Goal’s diantaranya akses terhadap obat-obatan, fasilitas
kesehatan, air, dan sanitasi; pola kesuburan; kesehatan ibu; ibu dan gizi bayi; paparan
terhadap penyakit pada ibu dan bayi; dan melek huruf perempuan (World Bank Data, 2010).
Kematian bayi adalah kematian yang terjadi sebelum bayi mencapai ulang tahun yang
pertama per 1000 kelahiran hidup (Departemen Kesehatan, 2008). Angka Kematian Bayi
(AKB) adalah jumlah kematian bayi berusia dibawah satu tahun, per 1000 kelahiran hidup
pada satu tahun tertentu. Angka ini merupakan salah satu indikator derajat kesehatan bangsa.
Tingginya angka kematian bayi ini dapat menjadi petunjuk bahwa pelayanan maternal dan
neonatal kurang baik, untuk itu dibutuhkan upaya untuk menurunkan angka kematian bayi
tersebut.
Menurut WHO, Angka Kematian Bayi (AKB) di dunia adalah sebesar 35 per 1000
kelahiran hidup dan AKB di Sout East Asia Region (SEAR) adalah sebesar 39 per 1000
kelahiran hidup. Perbandingan AKB Indonesia dengan negara ASEAN lainnya seperti
Malaysia, Thailand, Filipina, dan Vietnam cukup jauh tertinggal. Berdasarkan data World
Development Indicators tahun 2012, AKB di Malaysia 7 per 1000 kelahiran hidup, Thailand
11 per 1000 kelahiran hidup, Filipina 23 per 1000 kelahiran hidup, dan Vietnam 18 per 1000
kelahiran hidup (UNICEF, 2013). Berdasarkan data SDKI tahun 2012, AKB di Indonesia
hanya turun 2 poin dari SDKI tahun 2007, yakni dari 34 per 1000 kelahiran hidup menjadi 32
per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2012.
Variasi Angka Kematian Bayi (AKB) antarprovinsi masih cukup besar, dengan
kematian paling tinggi terjadi di Papua Barat dan mengalami kenaikan yakni dari 64 per 1000
kelahiran hidup tahun 2007 menjadi 74 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2012. Lima
provinsi dengan AKB tertinggi berdasarkan data SDKI 2012 ialah Papua Barat (74 per 1000
kelahiran hidup), Gorontalo (67 per 1000 kelahiran hidup), Maluku Utara (62 per 1000
kelahiran hidup), Sulawesi Barat (60 per 1000 kelahiran hidup) dan Nusa Tenggara Barat (57
per 1000 kelahiran hidup). Sedangkan, lima provinsi dengan AKB terendah berdasarkan data
SDKI 2012 adalah Kalimantan Timur (21 per 1000 kelahiran hidup), DKI Jakarta (22 per
1000 kelahiran hidup), Riau (24 per 1000 kelahiran hidup), DI Yogyakarta (25 per 1000
kelahiran hidup), dan Sulawesi Selatan (25 per 1000 kelahiran hidup).
Menurut WHO (2003), AKB di Indonesia sebagian besar terkait dengan faktor nutrisi
yaitu 53%. Adapun beberapa penyakit yang timbul akibat malnutrisi antara lain pneumonia
(20%), diare (15%), dan perinatal (23%) (Kemenkes RI, 2013). Bulan pertama kehidupan

Determinan Angka..., Mutiara Putriani Laksana, FKM UI, 2014


adalah yang paling berbahaya bagi anak. Pada tahun 2012, hampir tiga juta bayi meninggal
selama bulan pertama kehidupan, sebagian besar dari penyebab yang mudah dicegah.
Pneumonia, diare, dan malaria masih menjadi penyebab utama kematian anak secara global.
Masalah gizi adalah hampir setengah dari kematian ini. (UNICEF, 2013).
Penelitian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mengenai
kelangsungan hidup anak diketahui bahwa faktor sosial ekonomi menjadi dasar dari penyebab
masalah kesehatan yang ada termasuk tingginya AKB di Indonesia. Hubungan tersebut
dijelaskan oleh teori Mosley and Chen dan teori Filmer. Teori Mosley and Chen (1984)
mengemukakan bahwa terdapat determinan antara yang dikelompokkan menjadi 5 kategori
yang berhubungan dengan determinan sosio-ekonomi, yaitu faktor ibu, faktor pencemaran
lingkungan, faktor tersedianya gizi, faktor luka, dan faktor pengendalian penyakit individu.
Selain teori Mosley & Chen, Filmer (2003) juga menjelaskan mengenai faktor sosial ekonomi
sebagai penyebab kematian bayi. Filmer mengemukakan bahwa tingkat kematian bayi dan
nutrisi yang diberikan dipengaruhi oleh sisi permintaan (sanitasi, tindakan pencegahan
penyakit dalam keluarga, pendapatan, pendidikan dan pengetahuan orang tua) dan penawaran
(kebijakan di tingkat mikro maupun makro). Bagian dari kebijakan di tingkat mikro maupun
makro yang dinilai mempengaruhi AKB adalah implementasi kebijakannya, kapabilitas dari
pemerintah daerah, dan infrastruktur serta akses dan kualitas layanan kesehatan. Pelayanan
kesehatan di sini sangat penting dalam mempengaruhi outcomes kesehatan yaitu kematian
anak dan tingkat nutrisi anak (Bappenas, 2009).
Masih tingginya AKB di Indonesia tentunya dipengaruhi oleh variasi AKB di tiap
provinsi yang masih cukup besar. Variasi AKB di tiap provinsi yang masih cukup besar
dibuktikan dengan hasil SDKI tahun 2012 dimana AKB provinsi tertinggi yaitu 74 per 1000
kelahiran hidup sedangkan AKB per provinsi terendah ialah 21 per 1000 kelahiran hidup.
Oleh karena itu, penulis tertarik untuk menganalisis determinan angka kematian bayi di
Indonesia dengan menggunakan data sekunder SDKI tahun 2012.

Tinjauan Teoritis

Mosley dan Chen (1984) membagi variabel-variabel yang berpengaruh terhadap


kelangsungan hidup anak menjadi dua yaitu :
1. Variabel yang dianggap eksogenus atau sosial ekonomi seperti budaya, sosial,-ekonomi,
masyarakat dan faktor regional.

Determinan Angka..., Mutiara Putriani Laksana, FKM UI, 2014


2. Variabel endogenus atau faktor biomedical seperti pola pemberian ASI, kebersihan,
sanitasi dan nutrisi.
Hubungan antara karakteristik sosial-ekonomi dengan angka kematian anak sangat
kuat, walaupun masih merupakan “Black Box” mengenai mekanisme pengaruh karakteristik
sosial ekonomi terhadap angka kematian anak dalam penelitian sosial. Faktor medis yang
menyebabkan kematian anak tidak dapat dimasukkan ke dalam ranah penelitian sosial,
melainkan ke dalam penelitian medis. Faktor medis tersebut lebih difokuskan pada proses
biologi dari penyakit seperti penyakit yang menyebabkan kematian anak (infeksi, diare, dan
kurang gizi).
Pendekatan variabel antara atau determinan terdekat digunakan untuk menjelaskan
bagaimana sejumlah faktor sosial ekonomi dapat mempengaruhi kelangsungan hidup anak.
Kunci dari pendekatan ini adalah identifikasi serangkaian determinan terdekat atau variabel
antara yang secara langsung mempengaruhi risiko morbiditas dan mortalitas. Semua
determinan sosial dan ekonomi harus melalui variabel antara untuk dapat mempengaruhi
kelangsungan hidup anak. Variabel antara ini dikelompokkan ke dalam lima kategori :
a. Faktor ibu
Faktor ibu meliputi umur, paritas dan jarak kelahiran. Masing-masing faktor tersebut
mempunyai pengaruh terhadap hasil kehamilan dan kelangsungan hidup bayi. Selain itu,
dimungkinkan juga terdapat sinergisme diantara variabel-variabel faktor ibu, misalnya
jarak kelahiran yang dekat ditambah dengan umur ibu yang muda (Bappenas, 2009).
b. Pencemaran lingkungan
Pencemaran lingkungan berkaitan dengan penularan penyakit kepada anak dan ibu.
Empat kategori yang menggambarkan jalur-jalur utama penularan penyakit ke
sekelompok besar penduduk meliputi :
(1) Udara yang merupakan jalur penyebarluasan penyakit pernafasan dan banyak penyakit
lainnya yang ditularkan melalui kontak ;
(2) Makanan, air, dan jari yang merupakan jalur utama penyebarluasan diare dan penyakit
usus lainnya ;
(3) Kulit, tanah dan benda mati yang merupakan jalur infeksi kulit ;
(4) Serangga pembawa penyakit yang menularkan penyakit parasit dan virus.
Tingkat kerawanan terhadap serangan penyakit dapat juga diperkirakan dan diketahui
derajatnya dengan menggunakan serangkaian indeks fisik sederhana, yang diketahui
sangat erat kaitannya dengan tingkat pencemaran biologis suatu lingkungan (Bappenas,
2009).

Determinan Angka..., Mutiara Putriani Laksana, FKM UI, 2014


c. Kekurangan gizi
Kekurangan gizi berhubungan dengan kalori, protein, dan gizi mikro. Kelangsungan
hidup anak tidak hanya dipengaruhi oleh tersedianya gizi bagi anak melainkan juga bagi
ibu. Gizi dan diet ibu selama hamil akan mempengaruhi berat bayi yang dilahirkan. Gizi
ibu juga akan mempengaruhi jumlah dan kualitas gizi air susu ibu selama masa menyusui
(Bappenas, 2009).
d. Luka kecelakaan ataupun tidak disengaja.
Luka kecelakaan sering dianggap sebagai kejadian kebetulan, namun tingkat dan pola
terjadinya suatu kecelakaan dapat mencerminkan risiko lingkungan yang berbeda-beda,
sesuai dengan konteks lingkungan dan sosial ekonominya (Bappenas, 2009).
e. Pengendalian penyakit perorangan
Salah satu komponen dalam pengendalian penyakit perorangan adalah tindakan preventif
yang diambil oleh orang sehat untuk mencegah penyakit. Tindakan preventif yang
dilakukan bermacam-macam meliputi tingkah laku tradisional seperti mengikuti hal tabu
dalam masyarakat sesuai dengan budaya masing-masing. Tindakan preventif secara
modern yang berhubungan dengan kelangsungan hidup anak antara lain imunisasi,
pencegahan malaria, dan perawatan antenatal (Bappenas, 2009). Komponen kedua dalam
kategori ini adalah perawatan dokter, yang berkaitan dengan usaha-usaha yang dilakukan
untuk mengobati penyakit setelah timbulnya penyakit agar tidak semakin parah/berlanjut
(Bappenas, 2009).
Kerangka mengenai bagaimana kelima kelompok variabel antara akan dijelaskan
dalam gambar 1 di bawah ini :

Gambar 1. Keterkaitan Faktor Kesehatan

Determinan sosioekonomi

Faktor
Maternal Kontaminasi Defisiensi Kecelakaan
Lingkungan Nutrisi

Sehat Sakit

Pencegahan  
Pengobatan  
Pengendalian Penyakit Gangguan
secara Perorangan Pertumbuhan Kematian

Determinan Angka..., Mutiara Putriani Laksana, FKM UI, 2014


Metode Penelitian

Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi ekologi dengan pendekatan
kuantitatif. Studi ekologi adalah penelitian yang menggunakan data agregat (data dari
sekumpulan orang, bukan data individu) disebut sebagai penelitian ekologis. Perbandingan
dapat dilakukan antar negara, antar propinsi, antar kabupaten, atau antar komunitas (Syafiq,
2010). Angka kematian bayi merupakan variabel dependen, sedangkan variabel
independennya adalah daerah tempat tinggal, umur ibu, pendidikan ibu, paritas, berat bayi
lahir, frekuensi ANC, penolong persalinan, Inisiasi Menyusu Dini, dan waktu kunjungan
neonatal. populasi yang digunakan dalam penelitian ini ialah mencakup semua WUS 15-49
tahun yang terpilih menjadi sampel penelitian SDKI 2012 dengan kriteria sudah pernah
melahirkan yang berjumlah 32.120 orang.
Analisis bivariat pada penelitian ini menggunakan uji korelasi dengan koefisien korelasi
rho spearmen. Data yang menjadi variabel dependen dari penelitian ini terlebih dahulu
dilakukan uji normalitas. Semua variabel yang telah di entry dianalisis menggunakan software
untuk mendapatkan gambaran persebarannya yang akan ditampilkan melalui scatter-plot.

Hasil Penelitian

Tabel 1 di bawah ini menggambarkan variabel dari faktor demografi (daerah tempat
tinggal pedesaan), faktor ibu dan bayi (umur ibu, pendidikan ibu, paritas, dan berat bayi lahir)
yang merupakan determinan kematian bayi pada tiap provinsi yang dikelompokkan menjadi
provinsi yang memiliki AKB tinggi (di atas AKB Nasional) dan provinsi yang memiliki AKB
rendah (di bawah/setara dengan AKB Nasional) :

Tabel 1. Gambaran variabel faktor demografi, faktor ibu dan bayi pada tiap provinsi di Indonesia

Daerah Berat bayi


Umur Pendidikan
AKB tempat Paritas > lahir
Risiko Tidak tamat
(Per tinggal 5 anak <2500gr
Provinsi Tinggi SD/sekolah
1000 perdesaan (%) (%)
(%) (%)
KH) (%)

AKB tinggi
Papua Barat 74 64 42 5,7 17 14,6
Gorontalo 67 69,3 47,9 2,1 10,7 21,5
Maluku Utara 62 73,4 45,3 2,4 16,5 16,7
Sulawesi Barat 60 76,8 44,8 8,3 26,4 20,3
Sulawesi Tengah 58 78,2 49 4,6 16,6 15,8
Nusa Tenggara 57 59,5 44,9 10,1 11,5 15,9

Determinan Angka..., Mutiara Putriani Laksana, FKM UI, 2014


Barat
Papua 54 76,6 43,4 41,9 19,6 6,1
Kalimantan
Tengah 49 66,5 44,8 3,2 10,7 11,4
Aceh 47 75,1 48,3 2,2 18 14,4
Nusa Tenggara
Timur 45 82,6 53,6 4,7 24,1 19,8
Sulawesi
Tenggara 45 74,7 43,6 5,5 15,4 19,6
Kalimantan
Selatan 49 59,6 47,9 3,5 9,5 12
Sumatera Utara 40 48,9 50,9 1,2 16,9 12,7
Maluku 36 62 47 3 22,3 14,9
Kepulauan Riau 35 19,4 46,5 3,7 7,4 7,7
Jambi 34 70,8 46,3 6,3 7,9 17,5
Sulawesi Utara 33 55,5 54,7 0,3 5,2 17
Rata-rata 50 65,5 59 6,4 16,7 15,2
AKB rendah
Banten 32 32,2 48,3 4,2 12,9 11,6
Jawa tengah 32 55,8 54,8 3,2 4,8 11,6
Kalimantan Barat 31 75,8 45,5 10,2 11,6 11,7
Lampung 30 75,7 49,9 1,5 9,3 9
Jawa Barat 30 55,8 52,3 2,2 9,1 13,9
Jawa Timur 30 52,7 51 5,5 3,9 14,5
Bali 29 38,4 58,5 6,7 3,8 6,9
Bengkulu 29 74,1 49,1 3,6 9,6 10,2
Sumatera Selatan 29 66,9 46,2 1,8 8,1 11,9
Sumatera Barat 27 62,7 47,6 1,2 11,6 9,1
Bangka belitung 27 56,2 44,4 3,9 7,3 13,3
DI Yogyakarta 25 34,7 59,1 0,7 1,1 11,6
Sulawesi Selatan 25 59,5 49,9 3,8 16 21,9
Riau 24 62,1 48,1 2,8 12,4 11,1
DKI Jakarta 22 0 52,1 1,5 5,4 11,9
Kalimantan Timur 21 35,8 48,4 2,1 10,9 30,3
Rata-rata 26 52,4 50,2 3,4 8,6 13,1

Dari tabel 1 di atas dapat diketahui bahwa :


1. Provinsi dengan AKB tinggi memiliki rata-rata persentase daerah perdesaan lebih tinggi
yaitu sebesar 65,5% dibandingkan dengan provinsi yang memiliki AKB rendah yaitu
52,4 %.
2. Provinsi dengan AKB tinggi memiliki rata-rata persentase umur risiko tinggi lebih besar
yaitu sebesar 59 % dibandingkan dengan provinsi yang memiliki AKB rendah yaitu
sebesar 50,2 %.

Determinan Angka..., Mutiara Putriani Laksana, FKM UI, 2014


3. Provinsi dengan AKB tinggi memiliki rata-rata persentase pendidikan yang tidak tamat
SD/sekolah lebih besar yaitu sebesar 6,4 % dibandingkan dengan provinsi yang memiliki
AKB rendah yaitu sebesar 3,4 %.
4. Provinsi dengan AKB tinggi memiliki rata-rata persentase paritas >5 anak lebih tinggi
yaitu sebesar 16,7 % dibandingkan provinsi dengan AKB rendah sebesar 8,6 %.
5. Provinsi dengan AKB tinggi memiliki rata-rata persentase berat bayi lahir rendah (<2500
gr) lebih tinggi yaitu sebesar 15,2 % dibandingkan provinsi dengan AKB rendah yaitu
sebesar 13,1 %.

Tabel 2 di bawah ini menggambarkan variabel dari faktor pengendalian penyakit per
orangan (frekuensi ANC, Penolong persalinan, Inisiasi Menyusu Dini, dan waktu kunjungan
neonatal) yang merupakan determinan kematian bayi pada tiap provinsi yang dikelompokkan
menjadi provinsi yang memiliki AKB tinggi dan provinsi yang memiliki AKB rendah:

Tabel 2. Gambaran variabel faktor pengendalian penyakit per orangan per provinsi di Indonesia
AKB Penolong
Waktu
(Per Frekuensi persalinan
Kunjungan
Provinsi 1000 ANC < 4 oleh non- Tidak IMD
Neonatal >
KH) kali tenaga
7 hari
kesehatan
AKB tinggi
Papua Barat 74 25,5 17 63,5 50
Gorontalo 67 28,8 10 61,5 18,4
Maluku Utara 62 21,2 22,8 46,3 36,2
Sulawesi Barat 60 40 3,1 48,1 35,3
Sulawesi Tengah 58 31,4 10,9 65,7 24,2
Nusa Tenggara Barat 57 7,8 8,1 26,6 18
Papua 54 35,5 29,8 39,6 59,7
Kalimantan Tengah 49 24,7 10 54,2 31
Aceh 47 29,5 4,8 49,7 9,8
Nusa Tenggara Timur 45 15,9 21,5 28,2 37,3
Sulawesi Tenggara 45 27,2 15,4 55 12,7
Kalimantan Selatan 49 10,2 8,4 48,8 16,3
Sumatera Utara 40 25,7 4,8 82,3 21,5
Maluku 36 33 24,7 60,4 19,3
Kepulauan Riau 35 13,7 2,3 47,3 25
Jambi 34 23,9 10,6 60,6 12,9
Sulawesi Utara 33 20,3 5,5 50,7 33,3
Rata-rata 50 24,4 29,9 52,3 27,1
AKB rendah
Banten 32 14,1 7,2 49,6 30,2
Jawa tengah 32 5,4 2,4 47,5 15,3

Determinan Angka..., Mutiara Putriani Laksana, FKM UI, 2014


Kalimantan Barat 31 23,9 13,3 52,6 31,2
Lampung 30 8,8 5,9 52,5 25,8
Jawa Barat 30 10 5,8 40,1 24,1
Jawa Timur 30 9,1 3,2 43,1 23,8
Bali 29 6,9 0,5 43,5 21,1
Bengkulu 29 14 5 58,3 10,1
Sumatera Selatan 29 22 7,6 59,7 27,8
Sumatera Barat 27 13,7 3,8 57,8 28,9
Bangka belitung 27 12,4 4,5 42,4 14,8
DI Yogyakarta 25 2,2 0,7 42,6 2,3
Sulawesi Selatan 25 25,4 9,2 42,3 25,4
Riau 24 19,8 5,9 72,2 23,5
DKI Jakarta 22 3,2 0,3 38,3 26,2
Kalimantan Timur 21 11,9 6,5 47 12,9
Rata-rata 26 12,7 5,1 49,3 21,4

Dari tabel 2 di atas dapat diketahui bahwa :


1. Provinsi dengan AKB tinggi memiliki rata-rata persentase frekuensi ANC < 4 lebih tinggi
yaitu sebesar 24,4 % dibandingkan provinsi dengan AKB rendah sebesar 12,7 %.
2. Provinsi dengan AKB tinggi memiliki rata-rata persentase penolong persalinan oleh non-
tenaga kesehatan lebih tinggi yaitu sebesar 29,9 % dibandingkan provinsi dengan AKB
yang rendah sebesar 5,1 %.
3. Provinsi dengan AKB tinggi memiliki rata-rata persentase tidak IMD lebih tinggi yaitu
sebesar 52,3 % dibandingkan provinsi dengan AKB yang rendah sebesar 49,3 %.
4. Provinsi dengan AKB tinggi memiliki rata-rata persentase waktu kunjungan neonatal > 7
hari lebih tinggi yaitu sebesar 27,1 % dibandingkan provinsi dengan AKB yang rendah
yaitu sebesar 21,4 %.
Untuk melihat determinan kematian bayi yang memiliki perbedaan paling besar
diantara provinsi dengan AKB tinggi dan AKB rendah dapat dilihat pada tabel 5.3 sebagai
berikut :

Tabel 3. Perbandingan rata-rata persentase determinan kematian bayi pada kelompok AKB tinggi dan
rendah
Angka Kematian Bayi
Determinan Delta
tinggi rendah
Daerah pedesaan 65,5(%) 52,4 (%) 13,1 %
Usia ibu risiko tinggi 59 (%) 50,2 (%) 8,8 %
Pendidikan ibu tidak tamat SD/sekolah 6,4 (%) 3,4(%) 3%
Paritas > 5 anak 16,7 (%) 8,6 (%) 8,1 %

Determinan Angka..., Mutiara Putriani Laksana, FKM UI, 2014


Berat bayi lahir < 2500 gr 15,2 (%) 13,1(%) 2,1 %
Frekuensi ANC <4 kali 24,4 (%) 12,7 (%) 11,7 %
Penolong persalinan oleh non-tenaga kesehatan 29,9 (%) 5,1 (%) 24,8 %
Inisiasi Menyusu Dini 52,3 (%) 49,3 (%) 3%
Waktu kunjungan neonatal >7 hari 27,1 (%) 21,4 (%) 5,7 %

Dari tabel 3 di atas dapat diketahui bahwa di hampir seluruh determinan di provinsi
yang AKB nya tinggi lebih besar persentasenya dibandingkan dengan provinsi yang AKB
nya rendah. Namun, terdapat perbedaan yang paling mencolok yang perbedaan persentasenya
paling besar antara AKB tinggi dengan AKB rendah yaitu penolong persalinan oleh non-
tenaga kesehatan. Perbedaan persentase penolong persalinan oleh non-tenaga kesehatan antara
provinsi dengan AKB tinggi dan AKB rendah sebesar 24,8%.
Analisis hubungan antara angka kematian bayi tinggi/rendah dan determinan yang
mempengaruhinya akan disajikan dalam bentuk scatter-plot dan korelasi serta nilai
signifikansinya dianalisis dengan menggunakan uji korelasi dengan koefisien korelasi rho
Spearman. Diagram scatter-plot pada masing-masing dapat dilihat di bawah ini:

Faktor Demografis
Faktor demografis yang digunakan dalam penelitian ialah daerah perdesaan di 33 provinsi.
Dibawah ini menunjukkan diagram scatter-plot dari AKB provinsi dan daerah perdesaan :

Diagram 1. Scatter-plot AKB provinsi dan Daerah Perdesaan

 
Dari diagram 1 di atas, dapat diketahui bahwa persebaran AKB provinsi menurut daerah
perdesaan itu berkumpul pada sisi kanan > 50 % daerah pedesaan. Nilai koefisien korelasi
yang didapatkan adalah 0,508 yang menunjukkan korelasi kuat antara daerah perdesaan
dengan AKB provinsi. Hubungan antara kedua variabel berpola positif, yang artinya semakin
tinggi persentase daerah perdesaan di suatu provinsi maka semakin tinggi pula AKB

Determinan Angka..., Mutiara Putriani Laksana, FKM UI, 2014


provinsinya. Nilai ρ 0,003 menunjukkan bahwa secara statistik terdapat hubungan yang
signifikan antara daerah perdesaan dengan AKB provinsi.

Faktor Ibu dan Bayi


Variabel faktor ibu dan bayi yang digunakan dalam penelitian ini meliputi usia ibu yaitu usia
ibu risiko tinggi, pendidikan yaitu pendidikan tidak tamat SD/sekolah, paritas yaitu paritas > 5
anak, dan berat bayi lahir yaitu berat bayi lahir <2500 gr (BBLR).

Diagram 2. Scatter-plot AKB provinsi dan Usia Risiko Tinggi

 
Dari diagram 2 di atas, dapat diketahui bahwa persebaran AKB per provinsi menurut usia
risiko tinggi itu menyebar yang artinya tidak ada hubungan antara usia ibu risiko tinggi
dengan AKB per provinsi. Pada usia ibu risiko tinggi koefisien yang didapat bernilai negatif
yaitu -0,459 yang artinya semakin tinggi AKB provinsi tersebut, semakin rendah usia risiko
tinggi. Nilai-p=0,007 menunjukkan bahwa secara statistik terdapat hubungan antara usia ibu
risiko tinggi dengan AKB provinsi.

Diagram 3. Scatter-plot AKB provinsi dan Pendidikan Tidak Tamat SD/sekolah

Determinan Angka..., Mutiara Putriani Laksana, FKM UI, 2014


Dari diagram 3 di atas, dapat mencerminkan bahwa tingkat pendidikan tidak tamat
SD/sekolah di Indonesia rendah. Sebaran AKB per provinsi menyebar dengan di 0-10%
pendidikan tidak tamat SD/sekolah. Nilai koefisien korelasi yang didapat adalah 0,325 yang
menunjukkan korelasi sedang antara variabel pendidikan tidak tamat SD/sekolah dengan
AKB provinsi. Hubungan kedua variabel berpola positif, yang artinya semakin tinggi
persentase pendidikan tidak tamat SD/sekolah di suatu provinsi maka semakin tinggi pula
AKB provinsinya. Namun, nilai ρ 0,065 menunjukkan bahwa secara statistik tidak terdapat
hubungan yang signifikan antara pendidikan tidak tamat SD/Sekolah dengan AKB per
provinsi.
Diagram 4. Scatter-plot AKB provinsi dan paritas > 5 anak  

Dari diagram 4 di atas, dapat diketahui bahwa persebaran AKB per provinsi menurut paritas >
5 anak, untuk AKB per provinsi yang rendah plot berkumpul pada sisi kiri 5-10% paritas > 5
anak, sedangkan untuk AKB per provinsi yang tinggi plot menyebar di 5 sampai > 25 %.
Nilai koefisien korelasi yang didapat adalah 0,552 yang menunjukkan korelasi kuat antara
variabel paritas > 5 anak dengan AKB provinsi. Hubungan kedua variabel berpola positif,
yang artinya semakin tinggi persentase perempuan yang telah memiliki >5 anak pada suatu
provinsi maka semakin tinggi pula AKB per provinsinya. Nilai ρ 0,001 menunjukkan bahwa
secara statistik terdapat hubungan yang signifikan antara paritas >5 anak dengan AKB per
provinsi.

Determinan Angka..., Mutiara Putriani Laksana, FKM UI, 2014


Diagram 5. Scatter-plot AKB provinsi dan Berat Bayi Lahir < 2500 gr

Dari diagram 5 di atas, dapat diketahui bahwa persebaran AKB per provinsi menurut berat
bayi lahir <2500 gram itu menyebar yang artinya tidak ada hubungan antara AKB per
provinsi dengan berat bayi lahir <2500gr. Nilai koefisien korelasi yang didapat adalah 0,283
yang menunjukkan korelasi sedang antara variabel berat bayi lahir <2500gram dengan AKB
provinsi. Hubungan kedua variabel berpola positif, yang artinya semakin tinggi persentase
berat bayi lahir <2500gram pada suatu provinsi maka AKB provinsinya semakin tinggi.
Namun, nilai ρ 0,111 menunjukkan bahwa secara statistik tidak terdapat hubungan yang
signifikan antara persentase berat bayi lahir <2500gram dengan AKB per provinsi.

Faktor Pengendalian Penyakit per Orangan


Variabel dari faktor pengendalian penyakit per orangan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah frekuensi ANC yaitu frekuensi ANC yang <4 kali, penolong persalinan yaitu penolong
persalinan oleh non-tenaga kesehatan, Inisiasi Menyusu Dini (IMD) yaitu yang tidak IMD,
dan waktu kunjungan neonatal yaitu waktu kunjungan neonatal >7 hari.

Diagram 6. Scatter-plot AKB provinsi dan Frekuensi ANC < 4 kali

Determinan Angka..., Mutiara Putriani Laksana, FKM UI, 2014


Dari diagram 6 di atas, dapat diketahui bahwa persebaran AKB per provinsi menurut
frekuensi ANC <4 kali itu menyebar yang artinya tidak ada hubungan antara AKB per
provinsi dengan frekuensi ANC <4 kali. Nilai koefisien korelasi yang didapat adalah 0,575
yang menunjukkan korelasi kuat antara variabel frekuensi ANC dengan AKB per provinsi.
Hubungan kedua variabel berpola positif, yang artinya semakin tinggi persentase perempuan
yang pemeriksaan ANC nya < 4 kali pada suatu provinsi maka semakin tinggi pula AKB per
provinsinya. Nilai ρ 0,000 menunjukkan bahwa secara statistik terdapat hubungan yang
signifikan antara frekuensi ANC < 4 kali dengan AKB per provinsi.

Diagram 7. Scatter-plot AKB provinsi dan Penolong Persalinan Oleh Non-Tenaga Kesehatan

Dari diagram 7 di atas, dapat diketahui bahwa persebaran AKB per provinsi menurut
penolong persalinan, untuk AKB per provinsi yang rendah plot berkumpul pada sisi kiri 0-10
%, sedangkan pada AKB per provinsi yang tinggi menyebar di 5-30 %. Nilai koefisien
korelasi yang didapat adalah 0,527 yang menunjukkan korelasi kuat antara variabel penolong
persalinan oleh non-tenaga kesehatan dengan AKB provinsi. Hubungan kedua variabel
berpola positif, yang artinya semakin tinggi persentase persalinan yang ditolong oleh non-
tenaga kesehatan pada suatu provinsi maka AKB per provinsi semakin tinggi. Nilai ρ 0,002
menunjukkan bahwa secara statistik terdapat hubungan yang signifikan antara persentase
penolong persalinan oleh non-tenaga kesehatan dengan AKB per provinsi

Determinan Angka..., Mutiara Putriani Laksana, FKM UI, 2014


Diagram 8. Scatter-plot AKB provinsi dan tidak IMD

Dari diagram 8 di atas, dapat mencerminkan cakupan IMD di Indonesia yang masih rendah.
Terlihat bahwa sebaran AKB provinsi berdasarkan tidak IMD berada di 40 sampai > 60 %.
Nilai koefisien korelasi yang didapat adalah 0,188 yang menunjukkan korelasi lemah/tidak
ada hubungan antara variabel tidak IMD dengan AKB provinsi. Hubungan kedua variabel
berpola positif, yang artinya semakin tinggi persentase perempuan tidak segera memberikan
ASI setelah melahirkan (tidak melakukan IMD) pada suatu provinsi maka AKB per provinsi
semakin tinggi. Namun, nilai ρ 0,294 menunjukkan bahwa secara statistik tidak terdapat
hubungan yang signifikan antara persentase perempuan yang tidak melakukan IMD dengan
AKB provinsi.

Diagram 5.9 Scatter-plot AKB provinsi dan Waktu Kunjungan Neonatal Pertama >7 Hari

 
Dari diagram 5.9 di atas, terlihat bahwa persebaran AKB per provinsi menurut waktu
kunjungan neonatal pertama >7 hari berada di 10-30 %. Nilai koefisien korelasi yang didapat
adalah 0,453 yang menunjukkan korelasi sedang antara variabel kunjungan neonatal pertama
>7 hari dengan AKB provinsi. Hubungan kedua variabel berpola positif, yang artinya semakin

Determinan Angka..., Mutiara Putriani Laksana, FKM UI, 2014


tinggi persentase waktu kunjungan neonatal pertama > 7 hari pada suatu provinsi maka AKB
per provinsi semakin tinggi. Nilai ρ 0,008 menunjukkan bahwa secara statistik terdapat
hubungan yang signifikan antara waktu kunjungan nonatal pertama >7 hari dengan AKB per
provinsi.

Pembahasan

Daerah perdesaan memiliki korelasi yang kuat dengan angka kematian bayi provinsi, dan
secara statistik juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara daerah perdesaan dengan
angka kematian bayi provinsi. Hal ini sesuai dengan teori Mosley (1984) bahwa risiko
kematian anak dan bayi yang tinggal di daerah perdesaan lebih tinggi dibandingkan dengan
anak-anak atau bayi yang tinggal di perkotaan, karena orang tua yang tinggal di desa
umumnya dianggap mempunyai pengetahuan atau kepercayaan, sikap dan nilai-nilai sosial
yang berbeda dengan orang tua di kota, terutama mengenai hal-hal yang berhubungan dengan
nutrisi, tentang hal-hal yang menyebabkan kontaminasi lingkungan seperti kebersihan air,
makanan, penyakit menular, tentang perawatan dan pemeliharaan bayi/anak-anaknya
Korelasi antara usia ibu risiko tinggi bernilai negatif (hubungan terbalik). Hal ini
dikarenakan, dalam kuesioner SDKI 2012 pertanyaan tentang usia ibu adalah usia ibu saat itu,
bukan usia ibu saat kematian bayi terjadi. Sehingga, usia ibu yang digunakan tidak dapat
menggambarkan determinan kematian bayi pada penelitian ini.
Pendidikan tidak tamat SD/sekolah memiliki korelasi sedang dengan AKB provinsi.
Namun, secara statistik tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pendidikan tidak tamat
SD/sekolah dengan AKB provinsi. Korelasi antara pendidikan dengan AKB per provinsi sama
dengan Uchimura dan Jutting dalam Robby (2010) yang juga menemukan bahwa tingkat
pendidikan yang rendah berhubungan dengan tingkat angka kematian bayi yang tinggi atau
buruk.
Paritas >5 anak memiliki korelasi yang kuat dengan AKB provinsi. Hasil penelitian ini
juga serupa dengan Martaadisoebrata dalam Noviani (2011) yang mengemukakan bahwa
wanita yang termasuk grandemultipara sering disertai dengan penyulit, seperti kelainan letak,
perdarahan antepartum, perdarahan post partum dan lain-lain.
Berat bayi lahir <2500 gram memiliki korelasi yang sedang dengan AKB provinsi.
Namun, secara statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara
berat bayi lahir <2500 gram dengan AKB per provinsi. Jika dilihat dari korelasi yang didapat,
maka hal ini serupa dengan yang dikemukakan Behrman, Kliegman, dan Jenson (2004)

Determinan Angka..., Mutiara Putriani Laksana, FKM UI, 2014


bahwa bayi yang lahir dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) memiliki risiko lebih tinggi
untuk menderita suatu penyakit dan lebih sulit untuk didiagnosanya, sehingga menyebabkan
keterlambatan dalam penatalaksanaannya.
Frekuensi ANC <4 kali memiliki korelasi yang kuat dengan AKB provinsi. Secara
statistik juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara frekuensi ANC
dengan AKB per provinsi. Beck, Ganges, Goldman, & Long (2004) mengemukakan bahwa
pemeriksaan kehamilan dilakukan untuk mendeteksi kemungkinan terjadinya komplikasi
selama kehamilan atau pada saat persalinannya nanti. Selama perawatan kehamilan, ibu hamil
perlu memiliki akses untuk dalam rangka pencegahan, pengobatan ketika dibutuhkan dan
penyuluhan kesehatan termasuk pendidikan tentang tanda bahaya selama kehamilannya
sehingga meminimalisir terjadinya kematian neonatal.
Penolong persalinan oleh non-tenaga kesehatan memiliki korelasi yang kuat dengan AKB
provinsi. Secara statistik juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara
penolong persalinan oleh non-tenaga kesehatan dengan AKB provinsi. Menurut Bale, dkk
(2003) ibu membutuhkan penolong persalinan dari tenaga kesehatan, karena penolong
persalinan profesional dan terlatih sudah mampu mengenali dan mengatasi persalinan tidak
maju, infeksi, dan perdarahan.
Tidak IMD memiliki korelasi yang lemah/tidak ada hubungan dengan AKB provinsi itu
lemah/tidak ada hubungan, dan secara statistik juga menunjukkan bahwa tidak terdapat
hubungan yang signifikan antara tidak IMD dengan AKB provinsi. Hal ini serupa dengan
studi ekologi Chen and Walter (2004) di Amerika Serikat yang menunjukkan bahwa tidak ada
korelasi antara menyusui dengan angka kematian post-neonatal, dengan hasil OR yang
didapat lebih rendah.
Waktu kunjungan neonatal pertama >7 hari memiliki korelasi yang sedang dengan AKB
provinsi. Secara statistik juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara
waktu kunjungan neonatal pertama dengan AKB provinsi. Menurut Departemen Kesehatan
(2009), kunjungan neonatal bertujuan untuk meningkatkan akses neonatus terhadap pelayanan
kesehatan dasar, mengetahui sedini mungkin bila terdapat kelainan/masalah kesehatan pada
neonatus. Risiko terbesar kematian neonatus terjadi pada 24 jam pertama kehidupan, minggu
pertama dan bulan pertama kehidupannya.

Determinan Angka..., Mutiara Putriani Laksana, FKM UI, 2014


Kesimpulan

1. Variabel dari faktor demografi yang memiliki hubungan yang positif dengan AKB
provinsi ialah daerah perdesaan. Semakin tinggi persentase daerah perdesaan di suatu
provinsi, maka semakin tinggi pula AKB di provinsi tersebut.
2. Variabel dari faktor ibu dan bayi yang memiliki hubungan yang positif dengan AKB
provinsi ialah paritas > 5 anak. Semakin tinggi persentase paritas > 5 anak di suatu
provinsi, maka semakin tinggi pula AKB di provinsi tersebut.
3. Variabel dari faktor ibu dan bayi yang memiliki hubungan yang negatif dengan AKB
provinsi ialah usia ibu risiko tinggi. Semakin tinggi persentase usia ibu risiko tinggi di
suatu provinsi, semakin rendah AKB di provinsi tersebut.
4. Variabel dari faktor pengendalian penyakit per orangan yang memiliki hubungan yang
positif dengan AKB provinsi ialah :
a. Frekuensi ANC <4 kali
Semakin tinggi persentase frekuensi ANC <4 kali di suatu provinsi, maka semakin
tinggi pula AKB di provinsi tersebut.
b. Penolong persalinan oleh non-tenaga kesehatan.
Semakin tinggi persentase penolong persalinan oleh non-tenaga kesehatan di suatu
provinsi, maka semakin tinggi pula AKB di provinsi tersebut.
c. Waktu kunjungan neonatal pertama >7 hari.
Semakin tinggi persentase waktu kunjungan neonatal pertama >7 hari di suatu
provinsi, maka semakin tinggi pula AKB di provinsi tersebut.

Saran

1. Untuk Kementerian Kesehatan/Dinas Kesehatan Provinsi


a. Perlu dilakukan kerjasama lintas sektoral untuk mengatasi tingginya kejadian
kematian bayi di perdesaan pada tiap provinsi.
b. Perlunya evaluasi mengenai program Jampersal. Program Jampersal perlu
ditingkatkan terutama cakupannya ke perdesaan karena berdasarkan hasil penelitian
ini variabel determinan kematian bayi yang memiliki kesenjangan sangat besar antara
provinsi yang AKB nya tinggi dan AKB nya rendah yaitu penolong persalinan oleh
non-tenaga kesehatan. Maka dari itu, program Jampersal perlu ditingkatkan dengan
syarat ibu hamil yang boleh memiliki dan menggunakan Jampersal adalah untuk
kehamilan pertama dan kedua. Hal ini berdasarkan pertimbangan hasil penelitian ini

Determinan Angka..., Mutiara Putriani Laksana, FKM UI, 2014


juga dimana masih tingginya paritas > 5 anak di tiap provinsi. Jika Jampersal
diberikan kepada ibu yang memiliki paritas tinggi, maka hal itu tidak akan mengurangi
risiko dan bertolak belakang dengan program KB di Indonesia.
c. Perlunya peningkatan penempatan Bidan Desa dan pelatihan Desa Siaga di tiap
provinsi.
d. Perlunya sosialisasi pendewasaan usia nikah di tiap provinsi baik di perdesaan maupun
di perkotaan.
e. Perlunya sosialisasi Kontrasepsi Mantap pada tiap provinsi, untuk mengatasi tingginya
paritas > 5 anak.
2. Untuk peneliti lain
Perlunya melakukan penelitian dengan desain yang berbeda seperti crossectional untuk
melihat pola penyebab kematian bayi di Indonesia ataupun di setiap bagian provinsi di
Indonesia agar dapat menjadi masukkan bagi pemerintah setempat.

Referensi

Bale, JR & BJ.S. (2003). Improving Birth Outcomes :Meeting The Challenge in The
Developing World. Washington DC : The National Academics Press.
Bappenas. (2009). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kelangsungan Hidup Anak. Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional.
Beck,D; Ganges.F.Goldman, & Long.P. (2004). Care of The Newborn References Manual.
Washington : Kinetik.
Behrman, Kliegman, & Jenson. (2004). Nelson Textbook of Pediatrics 17th Edition.
Peddsylvania : Saunder.
Profil kematian neonatal berdasarkan sosio demografi dan kondisi ibu saat hamil di
Indonesia. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 14 No. 4 Oktober 2011: 391–398
Chen, Aimin & Walter.J.Rogan. (2004). Breastfeeding and the Risk of Postneonatal Death in
the United States. Pediatrics Vol. 113 No. 5 May 1, 2004 pp. e435 -e439.
Departemen Kesehatan. (2004). Pedoman pemantauan wilayah setempat kesehatan ibu dan
anak (PWS-KIA). Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kesehatan Masyarakat.
Departemen Kesehatan. (2010). Buku Saku Pelayanan Kesehatan Neonatal Essensal. Jakarta :
Kementerian Kesehatan
H.P, Sutanto & Luknis Sabri. (2011). Statistik Kesehatan. Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada.
Mosley & Chen. (1984). An Analytical Framework for The Study of Child Survival in
Developing Countries. Bulletin of the World Health Organization, 81 (2), 140-5.
Noviani. (2011). Hubungan Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) dengan Kejadian Kematian
Neonatal Dini di Indonesia tahun 2010 (Analisis Data Riskesdas 2010). Tesis FKM :
Universitas Indonesia.

Determinan Angka..., Mutiara Putriani Laksana, FKM UI, 2014


Robby. (2010). Pengaruh Pengeluaran Publik Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat
Terhadap Angka Kematian Bayi :Analisis Data Panel. Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia.
Syafiq, Ahmad. (2013). Angka Kematian Ibu Dan Pendidikan Perempuan Di Indonesia:
Tinjauan Ekologis Provinsial. Universitas Indonesia : Kelompok studi kesehatan
reproduksi FKM.
____________.(2010). Modul Metodologi Penelitian Gizi Kesehatan Masyarakat.
Departemen Gizi : FKM UI.
UNICEF. (2012). MDG, Keadilan dan Anak-anak: Jalan ke depan bagi Indonesia. diakses
pada tanggal 28 Desember 2014 di website http://www.unicef.org/indonesia/id/A1_-
_B_Ringkasan_Kajian_MDG.pdf
_______. (2012). Multiple Indicator Cluster Survey 2011 di Kabupaten Terpilih di Papua dan
Papua Barat. Diakses pada tanggal 28 Desember 2014 di website
http://www.unicef.org/indonesia/id/2MICS_in_selected_districts_of_Papua_and_West_P
apua_Summary_-_Indonesia.pdf
WHO. (2005). The World Health Report 2005 : Make Every Mother and Child Count.
Geneva : WHO.
WHO. (2006). Neonatal and Perinatal Mortality. Prancis : WHO Press.
WHO. (2010). Millenium Development Goals : Progress Towards the Health Related
Millenium Development Goals.
World Bank Data. (2010). Child mortality in developing countries has declined by 25 percent
since 1990. Diakses pada tanggal 10 juli 2014 pada website
http://data.worldbank.org/news/developing-countries-child-mortality-declines
World Bank Data. (2010). Mortality Rate. Diakses pada tanggal 10 juli 2014 pada website
http://data.worldbank.org/indicator/SP.DYN.IMRT.IN

Determinan Angka..., Mutiara Putriani Laksana, FKM UI, 2014

Anda mungkin juga menyukai