Anda di halaman 1dari 15

Nama: Raudatul Husna

Nim: 190103020210

Lokal: IAT 19 D

Mata Kuliah: Historiografi

Dosen Pengampu: Hanafi, S. Th.I, MA.

Sejarah Mesjid Sungai Banar di Amnutai

A. Latar Belakang
Perkembangan suatu bangsa dapat kita lihat dengan ada
peninggalan-peninggalan budayanya, sebab peninggalan orang-orang di
masa lalu dapat dijadikan bukti sejarah melalui peninggalan itu
masyarakat sekarang bisa mengetahui pemikiran orang-orang di masa lalu,
salah satu yang termasuk ke dalam hal ini adalah sebuah mesjid yang bisa
juga disebut dengan life monumen. Dalam istilah arkeologi, mesjid
termasuk living monumen, yaitu bangunan yang tetap digunakan sesuai
dengan fungsi semula ketika bangunan itu dibuat.1
Mesjid adalah bangunan atau tempat yang digunakan oleh umat
Islam untuk beribadah. Dalam perkembangannya pengertian mesjid
menjadi lebih spesifik, yaitu sebuah bangunan atau gedung atau
lingkungan yang ditembok dipergunankan sebagai tempat mengerjakan
shalat. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dam Imam
Bukhari ditegaskan oleh Nabi Muhammad Saw dalam sabda beliau yang
berbunyi “Al-ardhu kulluha masjidun (bumi bagi setiap muslim adalah
mesjid)” dan dijelaskan juga di dalam hadits lain yang berbunyi “Ju’ilat
lanal ardhu masjidun wa thahuuran (telah dijadikan bagi kita bumi ini
sebagai tempat sujud dan keadaannya bersih). Merujuk pada hadits
tersebut, setiap muslim bebas memilih tempat untuk melakukan shalat

1
Tessa Paramita, Sejarah Masjid Jami’ Sungai Lumpur Kelurahan 11 Ulu Palembang
(Studi Analisis Fungsinya terhadap Penyebaran Islam di Palembang), Skripsi (Palembang: UIN
Raden Fatah, 2018), 1.

1
asalkan tempatnya bersih, kecuali di kuburan dan kamar mandi dimana
aktivitas shalat dilarang disana.
Di dalam al-Qur’an istilah mesjid Penyebutan nama mesjid berasal
dari firman Allah Swt di dalam Al-Qur’an sebanyak 28 kali, yaitu kata
sajada-sujud yang bermakna patuh, taat, tunduk penuh hormat dan
takzim.2
Tujuan utama pembangunan sebuah mesjid sejak awal dibangun
sampai sekarang tidaklah berubah, yaitu tempat untuk mengerjakan ajaran
Islam secara keselurahan, dari ibadah yang umum sampai shalat jum’at,
juga dakwah, dan mesjid merupakan tempat suci untuk mempertemukan
diri dengan Dzat Yang Maha Agung.3
Mesjid memiliki fungsi utama sebagai tempat ibadah, namun
mesjid juga memiliki fungsi lain, seperti Mesjid Sungai Banar di Amuntai
yang dijadikan sebagai mesjid berkeramat yang dipercaya bisa
mengabulkan hajat-hajat jika mampu memeluk 4 tiang di dalam mesjid
tersebut.
Mesjid Sungai Banar adalah salah satu mesjid tertua di Kalimantan
Selatan yang terletak di tepi Sungai Nagara. Menurut H.M.Husein Mesjid
Sungai Banar didirikan pada tahun 1218 H berdasarkan catatan dauhnya
(beduk). Mesjid ini diresmikan pada hari jum’at tahun 1218 H yang
diresmikan langsung oleh Datu Kalampayan.
Mesjid Sungai Banar terletak di daerah Amuntai, tepatnya berada
di jalan Brigjen H. Hasan Baseri, desa Jarang Kuantan, Amuntai Selatan.
Mesjid Sungai Banar memiliki fungsi tambahan yang unik selain
difungsikan sebagai tempat beribadah (shalat dan lain-lain), mesjid ini
juga dikenal dengan tradisi mengelilingi 4 tiang yang ada di dalam mesjid
sebanyak 3 kali hal ini dipercaya dapat mengabulkan segala hajat yang
diinginkan.

2
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1997), 459.
3
Laely Wijaya, Masjid Merah Panjunan Cirebon (Kajian Historis-Arkeologis), Skripsi
(Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2008), 1.

2
Penamaan Mesjid ini juga sangat unik yaitu Mesjid Sungai Banar
yang bermakna mesjid yang terletak dipinggiran sungai Nagara dan
warganya jujur-jujur. Sebenarnya nama mesjid ini bukan hanya Mesjid
Sungai Banar. Tetapi yang masyhurnya dikalangan masyarakat adalah
nama ini. Nama Mesjid Sungai Banar diberikan oleh seorang pedagang
yang berasal dari daerah Nagara yang kebetulan singgah di mesjid untuk
shalat asar dan saat itu mesjidnya belum memiliki nama.
Mesjid yang memiliki nilai sejarah yang luar biasa ini diperlukan
penulisan dan penelusuran sejarah yang baik, namun sayangnya belum
banyak yang melakukan penelitian dan penulisan lebih mendalam. Oleh
karena itu penelitian ini dilakukan.
B. Metode Penelitian
Dalam menyusun rencana penelitian, peneliti dihadapkan pada
tahap-tahap pemilihan metode atau teknik pelaksanaan penelitian. Tujuan
penelitian ini adalah menganalisa peristiwa-peristiwa masa lampau, maka
peneliti menggunakan metode historis.4
Metode penelitian historis merupakan penelitian yang dilakukan
dalam meneliti peristiwa yang telah berlalu. Peristiwa-peristiwa sejarah
direka ulang dengan mengunakan sumber data primer beruba kesaksian
dari pelaku sejarah yang masih ada, kesaksian tidak senghaja yang tidak
dimaksudkan untuk disimpan sebagai catatan atau rekaman seperti
peninggalan sejarah dan kesaksian senghaja berupa catatan dokumen-
dokumen.5
Metode historis tertumpu pada 4 langkah kegiatan, yaitu heuristik,
verifikasi, interpretasi, dan historiografi.
1. Heuristik (pengumpulan data)
Dilakukan dengan 3 cara, yaitu:

4
Dudung Abdurrahman, Pengantar Metode Penelitian (Yogyakarta: Kurnia Kalam
Semesta, 2003) 31.
5Iwan Hermawan, Metodologi Penelitian Pendidikan (Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed
Method) (Kuningan: Hidayatul Quran, 2019), 130.

3
a) Observasi/pengamatan. Cara ini dilakukan dengan melihat objek
Mesjid Sungai Banar secara online melalui via video call karena
peneliti tidak dapat langsung terjun kelapangan disebabkan sedang
berada diluar kota dan dibantu dengan rekan yang berada disana.
Peneliti melakukan observasi secara online melalui via video call
sebanyak 3 kali. Observasi ini dilakukan bertujuan untuk
mendapatkan data visual dengan melihat objek penelitian
walaupun dilakukan secara online. Data yang diperoleh dengan
observasi ini adalah foto fisik bagian-bagian penting dari objek
Mesjid Sungai Banar yang akan dideskripsikan di dalam penelitian
ini.
b) Interview/wawancara. Untuk mendapatkan informasi secara
langsung tentang latar belakang dan hal-hal yang berhubungan
dengan Mesjid Sungai Banar dari responen, yaitu kaum Mesjid
Sungai Banar, ulama, dan orang-orang yang tinggal disekitaran
Mesjid Sungai Banar.
c) Dokumentasi. Dokumentasi penelitian ini menggunakan benda-
benda bersejarah dan dokumen yang tersimpan di Mesjid Sungai
Banar.
2. Verifikasi Sumber
Setelah data terkumpul, dilakukan verifikasi atau kritik untuk
memperoleh keabsahan sumber.
3. Interpretasi
Interpretasi yaitu penafsiran data atau disebut juga analisis sejarah,
yaitu penggabungan atas sejumlah fakta yang diperoleh. Interpretasi
dilakukan dengan menggunakan metode analisis atau menguraikan dan
mensintesiskan fakta-fakta dengan penelitian ini, kemudian disusun
interpretasi menyeluruh
4. Historiografi

4
Dalam hal ini mencakup cara penulisan, pemaparan atau pelaporan
hasil penelitian sejarah yang telah dilakukan.6
C. Hasil Penelitian
Pembangunan Mesjid Sungai Banar adalah proyek kerajaan Banjar
oleh yang mulia Datu Kalampayan. Pembangunan mesjid ini dilaksanakan
oleh Penghulu Ismail dan diketuai oleh syekh H.M.Nordin atau yang
dikenal sekarang dengan sebutan Datu Biha. Beliau adalah alim ulama
yang sangat berpengaruh di masanya sehingga beliaupun dipercayai untuk
menjadi ketua dalam pembangunan Mesjid Sungai Banar. Penghulu Ismail
diperintahkan untuk membawa surat berupa satu kitab al-Qur’an tulisan
tangan yang di tanda tangani oleh yang mulia Datu Kalampayan dan
sejumlah uang kepada masyarakat. Walaupun mesjid ini merupakan
proyek kerajaan Banjar namun pembangunannya dilakukan secara gotong
royong oleh masyarakat, hal ini bertujuan agar semua masyarakat merasa
memilikinya.
Awalnya mesjid Sungai Banar dibangun di desa Jarang Kuantan
sekitar 250 M dari lokasi mesjid sekarang tepatnya berada di gang Damai.
Ketika mesjid memasuki pemasangan tiang diperintahkan 4 orang yang
telah menyanggupi mencari tiang, tugas ini diberikan kepada Datu Biha.
Disebabkan Datu Biha adalah ketua pelaksana pembangunan mesjid, jadi
beliau harus selalu berada dilokasi pembangunan mesjid. Datu Bihapun
meminta kepada seorang ulama di Pasar Arba Banua Lawas (nama
kampung sekarang) agar masyarakat disana mencarikan 1 buah tiang ulin
dan akan diberikan upah jerih payah, kemudian ulama setempat meminta
kepada kepala masyarakat Dayak Ngaju dan lainnya untuk mencarikan
tiang ulin tadi, masyarakat Dayak Ngaju menyetujuinya dengan syarat
mengatar tiang hanya sampai batas Pasar Arba Banua Lawas. Suku Dayak
Ngaju dan lainnya mencari tiang secara gotong royong dan membawa 2

6
Dudung Abdurrahman, Metodologi Penelitian Sejarah Islam (Penerbit Ombak, 2019),
117.

5
tiang, untuk menghargai suku Dayak Ngaju Datu Biha membawa kedua
tiang tersebut walaupun beliau hanya memerlukan 1 tiang saja.
Pada tahun 1983 malam 19 Ramadhan disungai ada yang
memancarkan cahaya yang berbentuk tiang yang sangat terang dan
tenggelam perlahan-lahan yang disaksikan langsung oleh tuan guru
H.M.Husein menurut beliau Datu Biha sebenarnya membawa 2 tiang,
karena yang diperlukan hanya 1 tiang saja maka yang satunya lagi
ditinggal disungai, jadi yang muncul tadi itu mungkin tiang yang
ditinggalkan oleh Datu Biha disungai. Wa’allahu’alam bish shawab.
Pada waktu pembangunan Mesjid Sungai Banar sempat terjadi
kebakaran yang menyebabkan sebagian mesjid terbakar. Maka oleh mufti
Abdurrahman ayah dari penghulu Ismail (juriat Datu Kalampayan) utusan
dari kerajaan Banjar beliau memimpin musyawarah dengan keputusan
bahwa besok tiang-tiang akan didirikan lebih dahulu kemudian merehab
sebagian mesjid yang terbakar tadi. Keesokkan harinya ketika akan
mendirikan tiang-tiang mesjid, tiba-tiba 1 tiang mesjid hilang,
masyarakatpun mencari bersama-sama ada yang ke hulu dan ke hilir,
namun anehnya ketika ditemukan tiang tersebut sudah dalam keadaan
berdiri (di tempat mesjid sekarang didirikan). Ketika diperiksa oleh mufti
Abdurrahman ternyata tiang tersebut adalah tiang yang dibawa oleh Datu
Biha, beliaupun memerintahkan masyarakat agar memindahkan bangunan
mesjid ketempat tiang yang sudah berdiri dan masyarakat pun setuju.
Menurut tuan guru H.M.Husein Mesjid Sungai Banar didirikan
pada tahun 1218 H berdasarkan catatan dauhnya (beduk). Adapun al-
Qur’an tulis tangan yang dijadikan surat berada di Nagara-Kandangan.
Mesjid Sungai Banar diresmikan oleh yang mulia Datu
Kalampayan pada tahun 1218 H, pada hari Jum’at di awali dengan
pemukulan dauh (beduk) 10 kali sebagai tanda berkumpulnya jama’ah
dimesjid jam 10 pagi, acara dibuka dengan pengajian ayat suci al-Qur’an
dilanjutkan dengan membaca shalawat, ketika jam 11 acara dilanjutkan

6
dengan tausiah kira-kira 30 menit dan ketika jam 11:30 dauh dipukul lagi
1 kali menandakan acara telah berakhir.
Setelah selasai dari mengerjakan shalat jum’at Datu Kalampayan
memberikan sajadah besar berwarna kuning dan satu buah kitab kepada
Syekh H.M.Nordin. Menurut juriat beliau sajadah besar berwarna kuning
yang diberikan Datu Kalampayan pernah digunakan untuk meluruskan
arah kiblat di sebuah mesjid, kemudian apabila orang yang memegang
sajadah meninggal maka sajadah ini akan hilang, selain itu orang yang
berikutnya ditakdirkan memegang sajadah, maka ia ditakdirkan menjadi
orang yang alim. Sedangkan kitab itu dikarang Datu Kalampayan dan
Datu Sanggul, kitab tersebut dikenal dengan sebutan kitab Barincong sama
dengan sajadah tadi jika orang yang memegangnya meninggal maka kitab
tersebut akan hilang dan orang berikutnya yang memegang kitab tersebut
akan menjadi wali “mastur” dan apabila orang berikutnya ditakdirkan
memegang keduanya yakni sajadah dan kitab Barincong maka orang-
orang akan berbondong-bondong datang kepadanya untuk menuntut ilmu
dari pelosok negeri manapun.
Namun sayangnya, peneliti tidak mendapatkan informasi yang
jelas mengenai keberadaan sajadah dan kitab Barincong sekarang. Para
informan mengatakan tidak ada yang mngetahui lagi mengenai keberadaan
2 benda pemberian Datu Kalampayan itu yakni sajadah dan kitab
Barincong. Bahkan sebagian informan yang diwawancarai tidak
mengetahui sama sekali mengenai hal tersebut.
Walaupun belum sepenuhnya pembangunan Mesjid Sungai Banar
selesai dikerjakan. Namun, mesjid ini sudah digunakan untuk shalat
jum’at. Ketika salah satu hari jum’at ketika orang-orang hendak
mengerjakan shalat jum’at secara berjama’ah dan saat itu jumlah
jama’ahnya masih 39 orang padahal waktu shalat hampir tiba. Datu Biha
tiba-tiba berdiri dan berkata “Bila sampai waktu zhuhur, bilal segeralah
azan, kita kerjakan shalat qabliyah jika tidak cukup juga orangnya kita
laksanakan shalat zhuhur dan jika ada yang datang bilal segera laksnakan

7
tahapan-tahapan shalat Jum’at”. Ketika bilal mengumandangkan azan
datang seorang laki-laki yang berarti shalat jum’at dapat dilaksanakan bilal
pun langsung melaksanakan tahapan jum’at. Setelah membaca ayat 7 dan
berdoa laki-laki itu keluar mesjid entah kemana meninggalkan jama’ah
yang masih berwirid. Setelah selesai shalat shalat jum’at para jama’ah
bertanya kepada Datu Biha siapakah laki-laki tadi, dijawab oleh Datu Biha
“Laki-laki tersebut adalah Nabi Khaidir AS, jika masyarakat setuju mesjid
ini akan diberi nama ISTIQOMAH artinya semoga mulai saat ini sampai
seterusnya mesjid ini dilaksanakan shalat jum’at terus menerus”. Para
jama’ah pun setuju.7
Ada cerita lain yang sedikit berbeda mengenai penamaan Mesjid
Sungai Banar ini dijelaskan bahwa ada seorang pedagang asal Nagara
yang datang menggunakan perahu singgah dan bertanya kepada orang
kampung sana “apa nama mesjid yang bagus ini?” lalu dijawab orang
kampung sana “mesjid ini belum ada namanya”.
Setelah itu ia memutuskan untuk shalat asar di dalam mesjid.
Ketika ingin kembali ke perahu untuk meneruskan perjalanannya. Ia
terkejut menemukan kadut (dompet) uangnya yang berada dipinggir
sungai dekat perahu masih ada. Ia ingat bahwa waktu berwudhu tadi ia
meletakkan kadut uangnya disana supaya tidak basah terkena air. Ketika
ingin shalat ia lupa mengambilnya. Ia pun berkata “ternyata orang-orang
kampung dekat mesjid ini orangnya banar-banar (jujur-jujur) tidak ada
yang curang, karena orang-orang disini banar-banar tidak ada yang
curang, bagaimana kalau mesjid ini kunamai MESJID SUNGAI BANAR.
Banar karena orang penduduknya banar-banar, sungai karena mesjid ini
terletak dipinggir sungai.
Sejak itu Mesjid Sungai Banar namanya yang disebut orang
Nagara tadi disampaikannya kepada orang lain. Kemudian disampaikan
lagi kepada orang-orang lainnya, sehingga tersebarlah kemana-mana nama

7
Manakib Datu Biha

8
mesjid itu. Kemudian ditetapkanlah bahwa nama mesjid itu MESJID
SUNGAI BANAR.8
Di dalam Mesjid Sungai Banar ada 4 tiang yang dikeramatkan dan
1 tiang dinamai tiang guru (tiang paling besar) dipercaya bahwa siapapun
yang dapat memeluknya maka akan terkabul hajatnya. Adapun sejarah
tradisi memeluk tiang ini dimulai oleh Datu Biha ketika ada 2 orang yang
minta doakan olehnya, Datu Biha menyuruh 2 orang tersebut memeluk
tiang guru yang dikeramatkan tadi sambil berdoa, 2 orang tersebut
mematuhi apa yang diperintahkan oleh Datu Biha, setelah selesai
keduanya kembali duduk, lalu Datu Biha pun berkata “siapa yang berdoa
sambil memeluk tiang guru tadi lalu tangannya tasampuk (mampu
menggapai satu sama lainnya) insya Allah hajatnya dikabulkan oleh Allah
Swt secepatnya. Jika hajat kalian terkabul aku minta untuk kembali ke
mesjid dan memeluk tiang-tiang itu lagi dengan memanjatkan puji syukur
kepada Allah Swt.”
kurang lebih 1 tahun ada orang yang bisa berangkat haji,
sekembalinya dari tanah suci sebelum masuk ke dalam rumah ia langsung
pergi ke mesjid melakukan apa yang diperintahkan Datu Biha. Selesai
memanjatkan rasa syukur kepada Allah Swt ia dan berpelukan dengan
Datu Biha, ia diajak Datu Biha untuk mengelilingi 4 tiang (seperti tawaf)
dimulai dari tiang guru sambil membaca shalawat kepada Nabi Saw, jika
sudah terkeliling disentuh tiang guru dan dilakukan 3 kali, setelah selesai
tawaf mengelilingi 4 tiang, ia disuruh oleh Datu Biha untuk ke maqam
orang tuanya yang sudah meninggal. Setelah kejadiannya ini Mesjid
Sungai Banar dikenal dengan sebutan mesjid adiknya Mekkah maksudnya
tradisi tawafnya. Jika di Mekkah tawaf mengelilingi ka’bah di Mesjid
Sungai Banar tawaf mengelilingi 4 tiang ini, di Mekkah berdoa di depan
pintu ka’bah di Mesjid Sungai Banar berdoa sambal memeluk tiang.
Selain memeluk tiang guru di Mesjid Sungai Banar juga dikenal
dengan tradisi masyarakatnya memandikan anak-anak ke Mesjid Sungai

8
Fitriansyah, Lancar Berbahasa Banjar (Amuntai: 2000), 3-4.

9
Banar. Asal usul memandikan anak-anak di Mesjid ini adalah ketika suatu
hari Datu Biha berkunjung ke rumah Samam anaknya untuk menjenguk
cucunya yang bernama Hasyim yang berumur genap 40 hari. Samam
anaknya berkata “wahai ayah, anakku ini sering menangis apalagi ketika
waktu senja”. Lalu Datu Biha menjawab “wahai anakku coba besok bawa
anakmu ini ke mesjid agar kita mandikan anakmu ini disana”.
Keesokkannya anak tersebut dibawa ke mesjid, lalu dimandikan
oleh Datu Biha dengan air yang ada di kullah (tong) atau tempat
penampungan air untuk berwudhu dan dilanjutkan dengan memandikan
dengan air yang terdapat di dalam benjana-benjana air yang ada disitu.
Kemudian anak tadi dibawa ke dalam mesjid dan dibawa mengelilingi 4
tiang mesjid sebanyak 3 kali putaran yang dimulai dari tiang guru, apabila
melewati tiang guru maka tangan anak tadi disentuhkan beliau ke tiang
guru tersebut, ini dilakukan oleh Datu Biha sambil membaca shalawat.
Setelah itu Datu Biha menyuruh anaknya Samam untuk duduk di
mimbar sambil mengasuh anaknya. Lalu Datu Biha berkata “wahai anakku
pengangkanlah tangan kanan cucuku ini”. Setelah selesai lalu Samam
bertanya kepada ayahnya “wahai ayah apa makna dari ritual yang kita
kerjakan ini”. Kemudian dijawab Datu Biha, “wahai anakku dengan
perjalanan pertama anak ini keluar rumah setelah genap 40 hari dari
kelahirannya bahwa langkah dan tujuannya yang pertama adalah Mesjid,
maka semoga dengan ini apabila dia dewasa nanti maka langkah kakinya
selalu ke mesjid dan selalu dalam jalan Allah dan jalan kebaikan.
Memandikannya tadi maknanya adalah semoga ketika ia dewasa nanti ia
ingin masuk ke dalam mesjid ataupun untuk beribadah ia selalu dalam
keadaan bersih zhahir batin karena sudah dibersihkan dengan air yang
ada di mesjid. Adapun dengan didudukkan di atas mimbar maknanya
adalah semoga ketika ia dewasa nanti, ia mampu menggantikan atau
melanjutkan posisi kakeknya ini berkhotbah di atas mimbar atau
sekurang-kurangnya selalu hadir dalam shalat berjama’ah”.

10
Dari cerita inilah asal usul membawa dan memandikan anak-anak
ke mesjid, sampai sekarang kegiatan ini menjadi adat dan tradisi
masyarakat sungai banar.
Empat tiang yang berada di tengah adalah tiang yang dikelilingi
masyarakat yang dipercaya dapat mengabulkan hajat bagi siapa yang
mengelilinginya sebanyak 3 kali. Menurut informasi yang saya dapatkan
dari kaum Mesjid Sungai Banar, biasanya beliau akan memandu dan
memimpin doa-doa, dan shalawat sambil mengelilingi 4 tiang ini sebanyak
3 kali.

11
Tiang ini merupakan tiang guru dan tiang yang paling besar diantara yang
lain, tiang inilah yang dipercaya sebagai tiang pertama yang berdiri dengan sendiri
ketika ditemukan dan menjadi alasan pindahnya lokasi pertama Mesjid Sungai
Banar. Tiang ini juga yang jika sudah mengelilingi 4 tiang 3 kali putaran, maka
tangan akan disentuhkan ditiang ini

12
Foto Mesjid Sungai Banar dari Depan

13
Foto Halaman Mesjid Sungai Banar

14
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Dudung. Metodologi Penelitian Sejarah Islam, Penerbit Ombak,


2019.

Abdurrahman, Dudung. Pengantar Metode Penelitian, Yogyakarta: Kurnia Kalam


Semesta, 2003.

Fitriansyah, Lancar Berbahasa Banjar, Amuntai: 2000.

Hermawan, Iwan. Metodologi Penelitian Pendidikan (Kualitatif, Kuantitatif, dan


Mixed Method) (Kuningan: Hidayatul Quran, 2019.

Paramita, Tessa. Sejarah Masjid Jami’ Sungai Lumpur Kelurahan 11 Ulu


Palembang (Studi Analisis Fungsinya terhadap Penyebaran Islam di
Palembang), Skripsi. Palembang: UIN Raden Fatah, 2018.

Shihab, M. Quraish. Wawasan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1997

Wijaya, Laely. Masjid Merah Panjunan Cirebon (Kajian Historis-Arkeologis),


Skripsi. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2008.

15

Anda mungkin juga menyukai