Anda di halaman 1dari 7

Analisis Kebijakan dan Problematika

Pendidikan Tinggi Agama Islam


By fathurrohman8685 on October 12, 2012
 
 
 
 
 
 
Rate This

Analisis Kebijakan dan Problematika Pendidikan Tinggi Agama Islam

By: Muhammad Fathurrohman, M.Pd.I

(Guru Sang Dewo (SMPN 2 Pagerwojo) & Akademisi UIN Maliki Malang)

A.      Pendahuluan

Pendidikan Tinggi Islam di Indonesia telah berlangsung sejak dibukanya Sekolah Tinggi Islam (STI) di
Jakarta pada bulan Juli 1945 menjelang Indonesia merdeka. Sejak saat itu telah terjadi dinamika dan
perkembangan pendidikan tinggi Islam di Indonesia berawal dari lahirnya STI kemudian STI berubah
menjadi UII, fakultas agama UII dinegerikan menjadi PTAIN, kemudian muncul IAIN dan STAIN,
selain dari itu muncul pula pendidikan tinggi Islam swasta baik yang berbentuk universitas maupun
sekolah tinggi.

Secara Historis, Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) khususnya IAIN, memang lahir dari peleburan
PTAIN  (Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri) yang berkedudukan di Yogyakarta dengan mengacu
pada PP. No. 34 tahun 1950 dan ADIA (Akademi Dinas Ilmu Agama) Jakarta berdasarkan  Penetapan
Menteri Agama No. 1 tahun 1957 tanggal 1 Januari 1957. Unifikasi kedua lembaga pendidikan tersebut
menjadi IAIN didasarkan atas Peraturan Presiden No. 77 tahun 1960 tanggal 9 Mei 1960, dengan
sebutan lain “al-Jami’ah al-Islamiah al-Hukumiyah.”

Pada awalnya,  pendirian IAIN hanya dimaksudkan sebagai kelanjutan dari program “memodernisasi”
pendidikan Islam tradisional dan mempersiapkan tenaga-tenaga yang dapat mengisi tugas-tugas di
bidang keagamaan. Namun, kini tujuan tersebut telah mengalami pergeseran dan perluasan misi,
sejalan dengan perkembangan IAIN itu sendiri dalam menjawab tuntutan zaman. Bahkan secara
institusional,  selain terdapat 14 IAIN di Indonesia, hampir semua IAIN cabang yang ada selama ini
telah diubah menjadi STAIN (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri).

Kendatipun demikian, tampaknya pengembangan kelembagaan tersebut belum sepenuhnya menjamin


keberadaan lembaga pendidikan tinggi itu untuk dapat menjadi tempat belajar dengan predikat
“academic excellence.” Sudah barang tentu kenyataan pahit ini juga berlaku hampir di seluruh PTAI
lainnya, di luar IAIN dan STAIN. Bahkan bukan mustahil di beberapa PTAIS tertentu, pesoalannya
lebih krusial dan complicated. Karena itu, untuk dapat mencapai cita-cita sebagaimana yang
diharapkan,  maka setiap PTAI harus berani menempuh kebijakan yang arah dan orientasinya lebih
terfokus kepada misi akademik. Melalui cara ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas PTAI setarap
dan sekelas dengan Perguruan Tinggi Umum lainnya, tanpa meninggalkan kekhasan bidang kajiannya
tentang ke-Islaman.

B.       Analisis Kebijakan


Pada prinsipnya PTAI sebagai lembaga pendidikan tinggi, secara legal-formal (lihat selengkapnya UU
SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003 Pasal 14) eksistensinya tidak berbeda dengan PTU lainnya. Yaitu
secara Nasional mempunyai tujuan yang sama diatur dalam PP No. 60 Tahun 1999, Pasal 2 ayat (1)
tentang Tujuan Pendidikan Tinggi yang berbunyi :

Tujuan pendidikan tinggi adalah:

a.         menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik
dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau memperkaya khasanah ilmu
pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian;

b.         mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian serta
mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya
kebudayaan nasional.

Karena itu, sebagai bagian dari sub-Sistem Pendidikan Nasional, PTAI juga terikat dengan komitmen
mengemban misi utama perguruan tinggi, yakni Tri Dharma Perguruan Tinggi. Dalam rangka
memegang kuat komitmen itulah, PTAI mewarnainya dengan citra diri yang menonjolkan kehidupan
jiwa agama (keislaman).

Komitmen Tri Dharma Perguruan Tinggi di atas teramu dalam PP No. 60 Tahun 1999Pasal 3, tentang
Penyelenggaraan Perguruan Tinggi yang berbunyi:

(1)          Perguruan tinggi menyelenggarakan pendidikan tinggi danpenelitianserta pengabdian


kepada masyarakat.

(2)          Pendidikan tinggi merupakan kegiatan dalam upaya menghasilkan manusia terdidik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).

(3)          Penelitian merupakan kegiatan telaah taat kaidah dalam upaya untuk menemukan kebenaran
dan/atau menyelesaikan masalah dalam ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau kesenian.

(4)          Pengabdian kepada masyarakat merupakan kegiatan yang memanfaatkan ilmu pengetahuan
dalam upaya memberikan sumbangan demi kemajuan masyarakat.

Berangkat dari Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999 juga, telah  disebutkan pada Pasal 1 ayat
(1) bahwa:

Pendidikan tinggi adalah pendidikan pada jalur pendidikan sekolah pada jenjang yang lebih tinggi
daripada pendidikan menengah di jalur pendidikan sekolah.

Pendidikan tinggi dalam rangka menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas memiliki posisi
yang sangat strategis. Hal ini sejalan dengan tujuan pendidikan tinggi yakni,

menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau
profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan atau memperkaya khasanah ilmu
pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian,

untuk itu perlu kesiapan perguruan tinggi dengan segala perangkatnya termasuk yang utama adalah
tenaga akademik sebagai penggerak utama aktifitas pembelajaran, sehingga dosen harus mendapatkan
pembinaan karier yang terencana dan proporsional.

Tuntutan seperti tersebut di atas telah pula ditegaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun
2005, tentang Standar Nasional Pendidikan, pada Pasal 36 ayat (1) yaitu,

Tenaga Kependidikan pada pendidikan tinggi harus memiliki kualifikasi, kompetensi, dan
sertifikasisesuai dengan bidang tugasnya.
Memang secara tidak langsung untuk mendapatkan mutu pendidikan yang lebih bagus maka
keseluruhan perangkat pendidikannya harus bagus pula termasuk tenaga akademik tersebut.

Terkait dengan Perguruan Tinggi Islam dewasa ini, jumlah Perguruan Tinggi Agama Islam dari hari ke
hari secara kuantitas mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan. Tentu saja dengan jumlah
tersebut, dilihat dari segi kuantitasnya, patutlah untuk disyukuri. Namun demikian perlu dipertanyakan
sejauhmanakah kondisi dari sebagian PTAI tersebut. Artinya, sejauhmana kualitas PTAI dibanding
dengan PTU? Apakah mereka sudah benar-benar menjadi Perguruan Tinggi, atau hanya sekedar
menjadi lembaga “penjual” ijazah, yang tidak pernah mengetahui bagaimanakah kompetensi dan daya
serap (akseptabilitas) lulusannya di masyarakat.

Seperti fakta di Kediri, Jawa Timur, dalam Seleksi Penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil Tahun
2009 kemarin, seluruh pelamar dengan embel-embel gelar “i” (tentunya lulusan PTAI) ternyata tidak
lolos mengikuti ujian (meskipun akhirnya terdapat verifikasi dan dilakukan pendataan ulang).

Oleh karena itu, sudah semestinya PTAI memiliki pilihan yang kritis untuk mengembangkan citra
dirinya dengan menekankan aspek kualitas di atas kuantitas. Sehingga mampu berbicara banyak dalam
pergulatan sistem pendidikan di Indonesia.  Untuk itu beberapa orientasi yang patut dijadikan pijakan
dan sekaligus ditumbuhkembangkan, antara lain:

1.    Intellectual oriented.

Artinya, pendidikan hendaknya diorientasikan kepada upaya peningkatan kecerdasan peserta didik atau
mahasiswa, yang sangat sesuai dan berorientasi terhadap Tujuan Pendidikan Tinggi itu sendiri.
Orientasi ini mengarahkan PTAI untuk menjadi pusat lembaga pengembangan ilmu pengetahuan
agama, bukan pusat doktrin Islam. Dengan perkataan lain, pola dogmatis cenderung membawa
mahasiswa bersifat pasif dan rendah stimulan daya nalar serta kreatifitasnya.

2.    Professional oriented.

Yakni pendidikan tinggi Islam harus berorientasi kepada upaya peningkatan kemampuan profesional
atau ketrampilan praktis (PP No. 60 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Perguruan Tinggi). Ini
dimaksudkan agar peserta didik memiliki kemampuan dalam memberikan jawaban terhadap persoalan-
persoalan aktual. Dengan demikian, peguruan tinggi berarti tidak saja kampus bagi staf pengajar dan
mahasiswa atau segenap civitas akademikanya, tetapi juga “laboratorium” masyarakat secara luas.
Inilah pentingnya proses tansfer of skill dalam kegiatan belajar mengajar.

Sementara itu, untuk proses transfer of values and knowledge selama ini sudah cukup berjalan,
kendatipun dalam banyak hal masih harus dibenahi terutama berkaitan dengan beberapa metodanya.
Sedangkan transfer yang disebut pertama, agaknya masih dalam proses pencarian bentuk, karena hal
tersebut memang terkait erat dengan lapangan pekerjaan. Sesungguhnya sejauh jargon profesionalisme,
ia merupakan kode etik yang menjadi ciri khas dari sebuah perguruan tinggi. Karenanya sebuah
perguruan tinggi tidak saja dituntut melahirkan out-put yang profesional di bidangnya, tetapi juga
selayaknya di-manage secara profesional pula oleh para pengelolanya. Atas konsideran ini, posisi-
posisi kunci dalam perguruan tinggi, seharusnya dijabat oleh mereka yang terbukti berprestasi
akademik, bukan oleh orang yang memiliki masa kerja lama tanpa prestasi akademik.

3.    Moral oriented.

Sekalipun prinsip ini meduduki urutan terakhir, tetapi tidak berarti keberadaannya kurang signifikan.
Justru dalam bingkai citra diri PTAI, orientasi yang disebut terakhir ini harus dikedepankan di atas
segala-galanya. Ia mesti dijadikan parameter  pertama dan utama bagi jati diri PTAI. Lebih-lebih pada
saat bangsa kita sedang dilanda  dekadensi moral, baik berupa penyalahgunaan kekuasaan (KKN),
maupun praktek penyalahgunaan obat-obat terlarang (NARKOBA). Dengan mengaca pada berbagai
kasus di atas, maka sudah seharusnya PTAI menjadi proyek percontohan (pilot project) bagi satu-
satunya lembaga yang tidak tersentuh oleh praktek penyalahgunaan apapun juga, dengan menjunjung
tinggi moral dan akhlak di kalangan segenab civitas akademikanya. Sebab, jika moralpun tidak mampu
kita tegakkan, lalu apa bedanya PTAI dengan lembaga-lembaga lain, tragisnya apa lagi yang dapat kita
banggakan di tengah-tegah masyarakat.
C.      Analisa Problematika

Berawal setelah diberlakukannya UU No. 20 Tahun 2003, Undang-Undang Sistem Pendidikan


Nasional, yang dalam Pasal 18 tentang Pendidikan Menengah dimana bentuk satuan pendidikan
menengah terdiri atas:

1. Sekolah Menegah Atas (SMA)


2. Madrasah Aliyah (MA)
3. Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
4. Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK)
5. Bentuk lain yang sederajat

Dengan demikian, maka akan berlaku kurikulum yang sama untuk keseleruhan satuan pendidikan
dalam arti ada beberapa kurikulum wajib yang harus dimuat, seperti diatur dalam Pasal 37 di UU yang
sama. Bunyinya :

Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah wajib memuat :

1. a.         Pendidikan Agama;


2. b.         Pendidikan Kewarganegaraan;
3. c.         Bahasa;
4. d.         Matematika;
5. e.         Ilmu Pengetahuan Alam;
6. f.           Ilmu Pengetahuan Sosial;
7. g.         Seni dan Budaya;
8. h.         Pendidikan Jasmani dan Olahraga;
9. i.           Keterampilan/Kejuruan, dan;
10. j.           Muatan Lokal.

Adapun secara Standar Isi Kurikulum juga diatur dalam PP 19 Tahun 2005, tentang Standar Nasional
Pendidikan. Pada Pasal 6 ayat (1) Bagian Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum, telah terpaparkan
bahwa :

(1)          Kurikulum untuk jenis pendidikan umum, kejuruan, dan khusus pada jenjang pendidikan
dasar dan menengah terdiri atas:

1. a.         kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia;


2. b.         kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian;
3. c.         kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi;
4. d.         kelompok mata pelajaran estetika;     
5. e.         kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan.

Sehingga dapat dijelaskan bahwa dengan dikeluarkannya kebijakan-kebijakan tersebut, maka lembaga-
lembaga pendidikan yang ada menyesuaikan diri dengan peraturan tersebut.

Konsekuensinya, madrasah yang dalam hal ini disebut sebagai sekolah yang berciri khas Islam mulai
dari tingkat dasar sampai menengah kurikulumnya sama dengan kurikulum sekolah umum dan
ditambah dengan ciri khas Islam.

Madrasah Aliyah program kurikulumnya sama persis dengan Sekolah Menengah Atas (SMA), dalam
hal pembagian program menjadi tiga, yaitu IPA, IPS, dan Bahasa. Pembagian ini dapat dilihat di
PERMENAG No. 2 Tahun 2008 BAB V, tentang Tabel Struktur Kurikulum Madrasah Aliyah.

Dengan adanya pembagian program yang seperti ini dapat dianalisa bahwa :

1. Siswa-siswa Madrasah Aliyah (MA), tidak dipersiapkan secara akademik untuk memasuki
PTAI, kendatipun tidak ditutup untuk itu.
2. Kesiapan mental siswa Madrasah Aliyah (MA) juga bukan ditempa untuk memasuki PTAI,
karena itulah ketika beberapa PTAI menjaring siswa berprestasi, biasanya yang terjadi
Madrasah Aliyah (MA) terutama yang negeri dan tergolong baik secara mayoritas tidak
mengirimkan siswa-siswanya  dengan alasan tidak ada siswa yang tergolong berprestasi
berminat memasuki PTAI. Ini salah satu contoh problematika peranan kesiapan mental di dalam
melanjutkan studi siswa Madrasah Aliyah (MA).

Bertolak dari dua asumsi di atas, maka secara kuantitatif tidak mustahil seandainya mereka memasuki
PTAI setelah lulus ujian masuk, atau bahkan mereka memasuki PTAI hanya sebagai pelampiasan
terakhir karena tidak diterima di PTU favorit. Berarti PTAI hanya sebagai alternatif terakhir saja.

Permasalahan yang mendasar dari pemaparan di atas adalah jika ditolok dari proses kurikulum Raw
Inputnya, bahwa ketika memasuki wilayah PTAI ilmu-ilmu basic keagamaan mereka lemah bahkan
yang umumnya juga tidak seberapa. Yang jadi tantangan selanjutnya, seberapa jauh kemampuan PTAI
dalam memproses peserta didiknya agar out-putnya sesuai dengan orientasi Pendidikan Tinggi itu
sendiri. Yaitu sesuai dengan KEPMENDIKNAS No. 232/U/2000, pada Pasal 1 ayat (1) dijelaskan
bahwa :

Pendidikan  tinggi  adalah  kelanjutan  pendidikan  menengah  yang  diselenggarakan untuk 


menyiapkan  peserta  didik  menjadi  anggota  masyarakat  yang  memiliki kemampuan  akademik 
dan/atau  profesional  yang  dapat  menerapkan, mengembangkan  dan/atau  menciptakan  ilmu 
pengetahuan.  teknologi  dan/atau kesenian.

Jadi, memang orientasi Pendidikan Tinggi itu sendiri yang dalam hal ini adalah PTAI harus mampu
menyiapkan peserta didik menjadi cakap akademiknya dan juga profesional secara praktisnya. Intinya
out-putnya tidak ”mogol”.

Dalam penilaian masyarakat yang majemuk ini, out-put PTAI dihadapkan pada tuntutan yang beragam.
Dalam hal ini terpolarisasi kepada dua kelompok masyarakat, yakni “ahli agama tradisionalis dan
modernis.”

Untuk kelompok ahli agama tradisionalis pada umumnya menilai:  pertama, mahasiswa dan lulusan
PTAI umumnya tidak memiliki pengetahuan yang memadai atau kalau tidak disebut sangat lemah
dalam penguasaannya terhadap teks-teks klasik (kitab kuning), dibandingkan mereka yang berlatar
belakang  pesantren. Padahal literatur pokok yang harus dipelajari di PTAI bersumberkan pada teks
klasik itu sendiri.

Oleh karena itu, sebagai tempat “kawah candradimuka” pembinaan calon intelektual muslim, PTAI
harus mampu memberikan kemampuan berbahasa Arab secara memadai, sehingga memungkinkan
mahasiswa dan lulusannya dapat mengkaji kitab-kitab klasik tersebut secara kritis analitis dan rasional.

Kedua, tidak sedikit jumlah alumni PTAI yang dianggap kurang trampil dalam melaksanakan fungsi
pelayanan terhadap umat, terutama memimpin berbagai acara ritual keagamaan, seperti tahlil, talqin,
marhaban dan lain-lain. Dengan demikian,  alumni PTAI di samping mempunyai kemampuan
intelektual yang memadai, mereka juga dituntut  memiliki kemampuan praktis untuk melaksanakan
fungsi ritual keagamaan bagi masyarakat muslim secara luas. Sebab, dalam pandangan masyarakat
umum, PTAI merupakan lembaga pendidikan bagi kaderisasi calon ulama. Karenanya, tuntutan
masyarakat yang demikian bagaimanapun juga harus diakomodir. Lebih-lebih dalam realitasnya,
sebagian besar alumni PTAI pada saatnya akan kembali ke masyarakat yang notabenenya masih
membutuhkan bimbingan ritual keagamaan.

Di sisi lain ahli agama modernis menilai:pertama, mahasiswa dan alumni PTAI umumnya cenderung
berfikir normatif, mereka kurang mampu memahami konteks dan substansi empiris dari persoalan-
persoalan agama. Dengan kelemahannya menangkap aspek empirisme dari berbagai problematika
keagamaan yang timbul, ini berakibat pada kekurangmampuan mereka mengemukakan alternatif-
alternatif penyelesaian masalah yang sifatnya cukup realistik.

Implikasi lebih jauh adalah lahirnya sikap dan cara pandang mahasiswa terhadap agama dalam
kaitannya dengan tantangan modernisasi cenderung sangat sempit, atau bersifat legalistik dan
formalistik. Atas dasar ini, maka diperlukan wawasan empiris selain penguasan terhadap teks-teks
klasik. Untuk itu kerja sama kontak dan konsultasi dengan perguruan tinggi non-agama tidak dapat
dihindari.

Pada bagian lain, materi pengajaran yang berkaitan dengan pandangan-pandangan keagamaan,
hendaknya juga berorientasi pada situasi nyata yang dihadapi oleh umat dewasa ini.

Kedua, sisi minus lain dari PTAI adalah kelemahannya di dalam mengembangkan pengetahuan baru.
Kondisi ini sangat kontras dengan situasi dunia saat ini, yaitu menggejalanya pengaruh ledakan ilmu
pengetahuan (explosion of knowledge) terhadap pola-pola pergaulan antara bangsa. Pada umumnya
bangsa-bangsa atau kelompok-kelompok yang mampu menghasilkan pengetahuan baru  akan mampu
merebut tempat yang menguntungkan  dalam interaksinya dengan bangsa atau kelompok lain. Fakta
menunjukkan bahwa dominasi kebudayaan Barat atau Jepang atas budaya-budaya lain di dunia ini,
pada dasarnya disebabkan oleh kemampuan bangsa tersebut  mengembangkan pengetahuan baru,
informasi baru, teknologi baru dan budaya baru.

Dilihat dari sudut ini, jelas bahwa pola pendidikan PTAI yang hanya menekankan kemampuan untuk
memahami serta mengulang-ulang pengetahuan yang sudah ada dan mengabaikan kemampuan untuk
mengembangkan diri bagi pengetahuan baru,  pada akhirnya akan membuat alumni PTAI menjadi
pihak-pihak yang dirugikan dalam interaksinya dengan pihak lain. Untuk itulah diperlukan kerja sama
interdisipliner pada setiap cabang ilmu pengetahuan, tak terkecuali ilmu agama. Reformasi pendidikan
Islam telah dimulai pada penghujung abad 19 dan awal abad 20. Salah satu diantaranya yang paling
mendasar adalah meletakkan kedudukan ilmu dalam pandangan Islam.

Seperti yang tertera dalam KEPMENDIKNAS No. 232/U/2000, tentang Arah dan Tujuan Pendidikan
Tinggi. Pasal 2 ayat (1) menjelaskan bahwa peserta didik memang di arahkan untuk dapat memperkaya
khasanah ilmu pengetahuan.

Secara tidak langsung pemahaman awam yang menyebar adalah bahwa jika suatu kebijakan
dikeluarkan oleh pihak Pendidikan Nasional, maka ”ilmu pengetahuan” yang dimaksud seolah-olah
hanya berlaku untuk ilmu umum saja (bukan ilmu agama). Akan tetapi jika yang mengeluarkan
kebijakan dari wilayah Depag  katakanlah, maka seolah-olah ”ilmu pengetahuan”  yang dimaksud
adalah ilmu agama saja.

Begitu juga jika pemaknaan kebijakan dari segi pengguna, bisa jadi Pendidikan Tinggi Umum
mencernanya lebih diarahkan sebagai ilmu umum, sedangkan Pendidikan Tinggi Islam mencernanya
lebih diarahkan ke ilmu agama.

Padahal, Konferensi Islam Internasional tentang pendidikan telah mencoba menata kurikulum
pendidikan Islam yang memang sesuai dengan semangat pembaruan pendidikan Islam, mungkin juga
bisa sebagai penjelas tentang ilmu pengetahuan yang dimaksud KEPMENDIKNAS di atas :

Planning of education to be bassed on the classification of knowledge into two categories: (a)
”Parennial knowledge” derived from the Qur’an and the Sunnah meaning all shari’ah-oriented
knowledge relevant and releted to them, and (b) ”acquired knowledge” susceptible to quantitative
growth and multipication, limited variations and cross cultural borrowing as long as consistency with
shariah as the source of values is maintained.

Pembagian ilmu menurut pandangan Islam yang dibagi kepada dua bagian yaitu parennial knowledge
dan acquired knowledgeyang oleh konferensi internasional tentang pendidikan telah disusun mulai dari
tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Di dalam penyusunan subjek-subjek tersebut telah direncanakan
seluruh ilmu-ilmu yang mesti dikuasai oleh setiap muslim. Aplikatifnya tentu tidak lepas dari tujuan
lembaga tersebut. Dalam hal ini tentu ada lembaga pendidikan yang penekanannya kepada pendalaman
ilmu yang tergolong acquired knowledge dan ada pula parennial knowledge yang masing-masingnya
juga harus menyeimbangkannya secara wajar sesuai tujuan masing-masing.

Dalam artian, PTAI tetap bercirikan Islam (parennial knowledge)tetapi proses penempaan peserta didik
sangat adaptif dengan dunia global sehingga out-put nya juga bernuansa global (akademik dan
profesional).
SEKIAN

SEMOGA BERMANFAAT

Anda mungkin juga menyukai