Anda di halaman 1dari 10

JURNAL LINGKUNGAN BINAAN INDONESIA

ISSN Cetak: 2301-9247 | ISSN Daring: 2622-0954 | Beranda Jurnal: https://jurnal.iplbi.or.id/index.php/jlbi/

Spasialitas dan Temporalitas Arsitektur Bambu dalam Konteks


Masyarakat Tradisional dan Kontemporer
Sukmayati Rahmah1, Yulia Eka Putrie2
1,2
Program Studi Teknik Arsitektur UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

| Diterima August 1st 2021 | Disetujui August 30th 2021 | Diterbitkan Sept 30th 2021 |
| DOI http://.doi.org/10.32315/jlbi.v10i3.65 |

Abstrak

Diskusi tentang spasialitas dan temporalitas arsitektur diangkat karena dapat menghubungkan elemen-elemen arsitektur dengan
pengalaman manusia di dalam ruang dan waktu. Pembahasan arsitektur bambu dalam konteks masyarakat dan masa yang berbeda bertujuan
memberikan interpretasi tentang arah perkembangan arsitektur berkelanjutan secara umum. Kajian eksploratif – interpretif ini dilakukan
terhadap beberapa kasus arsitektur bambu vernakular dan kontemporer di Indonesia. Pembahasan spasialitas dan temporalitas arsitektur
bambu tak hanya melibatkan perkembangan teknologi, inovasi desain, dan aspek-aspek teraga, namun juga memberikan gambaran
pergeseran cara pandang terhadap bambu dan cara manusia dalam berinteraksi dengan arsitektur bambu. Melalui kajian eksploratif –
interpretif ini dapat disimpulkan adanya perubahan pada konteks ruang dan waktu arsitektur bambu. Namun, perubahan terjadi bukan
dalam bentuk diskontinuitas nilai, meski terdapat eksplorasi dan cara pandang baru terhadap bambu. Dalam berbagai konteks, kontinuitas
hadir melalui kemampuan arsitektur bambu untuk menghubungkan pengalaman ruang dan waktu manusia dengan lingkungan alam,
sekaligus menghubungkan masa lalu dengan masa kini dan masa depan.

Kata kunci: arsitektur bambu, spasialitas, temporalitas, materialitas

Spatiality and Temporality of Bamboo Architecture in Traditional and


Contemporary Context of Society
Abstract

The discussion of spatiality and temporality of bamboo architecture was raised to connect physical architectural elements with spatial experience
through time and provide an insightful interpretation of the direction of sustainable architecture development. This exploratory–interpretive study
was conducted on several cases of vernacular and contemporary bamboo architecture in Indonesia. Discussion of the spatiality and temporality
involves technological developments, design innovations, and architectural physical aspects and provides an overview of the shifting way in looking
at bamboo’s materiality and the way people interact with it. This study found that there are changing contexts of spatiality and temporality of
bamboo architecture. However, changes occurred not in the form of discontinuity of values, despite new explorations and perspectives on the
material. Continuity is presented through the ability of bamboo architecture to connect human experiences with the natural environment while
connecting the past with the present, and hopefully, the future.

Keywords: bamboo architecture, spatiality, temporality, materiality

Kontak Penulis

Sukmayati Rahmah
Program Studi Teknik Arsitektur UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
Jl. Gajayana 50 Kota Malang, Jawa Timur, 65144
E-mail : sukma_rahmah@arch.uin-malang.ac.id

Copyright ©2021. Rahmah, Sukmayati


This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial 4.0 International
License
Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia 10 (3), September 2021 | 146
S. Rahmah, Y.E. Putrie
Pendahuluan mengeksplorasi keterhubungan antara aspek teraga
dan aspek tak teraga dari arsitektur bambu.
Sepanjang perjalanan sejarah, bambu telah dikenal
sebagai salah satu material alami yang terbaharui dan Spasialitas dan Temporalitas dalam Arsitektur
multifungsi. Sebagai material bangunan bambu
Diskusi mengenai spasialitas dan temporalitas dalam
memiliki keunikan karakter, yaitu perpaduan antara
arsitektur berupaya menjelaskan hubungan antara
sifatnya yang ringan dan lentur, sekaligus kekuatan
kualitas spasial dengan pengalaman keruangan
dan ketahanan yang dapat diandalkan. Bambu
manusia melalui sebuah rentang waktu “the inherent
merupakan material yang berdasarkan entropi surya,
interrelationship between people, place, and activities
dapat diperbaharui, dan berkelanjutan sehingga tidak
make spatiality, an essential constituent of
mempengaruhi keseimbangan alam [1]. Dengan
understanding peoples’ experience and perception” [3].
berbagai keunggulan, bambu tetap dipandang sebagai
Spasialitas juga berhubungan dengan pergerakan di
material dengan potensi pemanfaatan yang besar
dalam ruang “movement is key to the revealing of space,
walaupun telah melalui pergantian dari generasi ke
contributing to constructs of spatiality, and how physical
generasi. Dalam konteks Indonesia, bambu tersebar di
surroundings are divulged” [4]. Sebagai sesuatu yang
sebagian besar wilayah karena kesesuaiannya dengan
dialami, spasialitas arsitektur juga berhubungan erat
iklim tropis dan kemudahannya tumbuh di berbagai
dengan konsep temporalitas. Arsitektur dialami tidak
kondisi geografis, terutama wilayah dengan
hanya melalui pergerakan fisik dari satu titik ke titik
kelembaban yang tinggi. Sekitar 145 spesies tersebar
lain di dalam ruang, melainkan juga melalui sebuah
mulai dari Sumatera hingga Papua [1].
rentang waktu dengan berbagai kemungkinan
Walaupun demikian, penggunaan bambu sebagai perubahan terjadi di dalamnya. Arsitektur berinteraksi
material bangunan pada hunian dan permukiman dengan waktu dan menjadi entitas yang dinamis dan
masyarakat dalam beberapa dekade terakhir telah mengandung kesementaraan, tidak stagnan dan tidak
banyak digantikan oleh material fabrikasi. abadi. Secara umum, temporalitas dimaknai sebagai
Berkembang pula asumsi bahwa rumah yang terbuat “subjective movement through moments” [5].
dari bambu dipandang kurang sesuai sebagai hunian Temporalitas menghadirkan pengalaman yang dinamis
dan hanya digunakan oleh masyarakat menengah ke melalui pergerakan waktu, di dalam ruang yang statis
bawah [1]. Bambu mulai dipandang kurang praktis, sekalipun. Pergerakan waktu juga menyediakan
kurang kekinian, dan kurang tahan lama, jika kontinuitas melalui perulangan atau daur pergerakan
dibandingkan dengan beton dan material fabrikasi harian, musiman, bahkan tahunan. Pengalaman spasial
lainnya [2]. Disadari maupun tidak, asumsi umum ini yang menyiratkan temporalitas dapat diperoleh
berkaitan erat dengan perubahan cara pandang dan melalui perubahan intensitas cahaya, suara,
keterikatan manusia dengan alam, sekaligus temperatur, perubahan cuaca, pergantian iklim,
mengakibatkan pergeseran tradisi membangun maupun perubahan fisik material pembatas ruang
masyarakat di berbagai wilayah. yang termakan oleh waktu.

Adanya perubahan dan pergeseran karakteristik Spasialitas dapat dihadirkan melalui berbagai aspek
pemanfaatan bambu di dalam arsitektur selama arsitektur, di antaranya volume ruang, karakter
beberapa generasi, terutama pada konteks arsitektur permukaan ruang, serta materialitas elemen-elemen
vernakular yang berkembang secara tradisional di permukaan dimana “spatiality including not only formal,
masyarakat, dan pada konteks arsitektur kontemporer but also other qualities of space, such as definition,
yang diusung oleh komunitas arsitek, perancang, dan openness, visibility, and expressivity” [6]. Lebih jauh,
desainer, merupakan topik yang menarik untuk derajat keterlingkupan (enclosure) ruang, ukuran,
diangkat, karena melibatkan tidak hanya bentuk, openings, dan pencahayaan juga
perkembangan teknologi, inovasi desain, dan tataran mempengaruhi kualitas spasial [7]. Elemen pembatas
fisik bentuk arsitektur, namun melibatkan pula ruang (elements of spatial definition), kedalaman ruang
pergeseran cara pandang, cara hidup dan (depths of space), kepadatan ruang (densities of space),
berkehidupan, serta pengalaman ruang yang bukaan ruang (openings of space), geometri ruang
dihasilkan. Karena itu, kajian ini difokuskan pada aspek (geometry of plans, sections, and spaces), serta cahaya
spasialitas dan temporalitas arsitektur bambu di kedua dan bayangan (light and shade) adalah sebagian aspek
konteks yang berbeda tersebut, untuk dapat spasial yang dapat memberikan pengalaman
keruangan bagi manusia [8].

Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia 10 (3), September 2021 | 147


S. Rahmah, Y.E. Putrie
Kualitas spasial bergantung pada keterlingkupan berdasarkan pada aspek-aspek pembentuk kualitas
ruang dan persepsi manusia terhadap kualitas ruang, spasialnya.
serta seringkali terbentuk oleh budaya, pengalaman di
Pembahasan dalam tulisan ini akan dibatasi pada
masa lalu, dan preferensi perseorangan [7].
eksplorasi dan interpretasi terhadap aspek-aspek
Pengalaman arsitektural termasuk kualitas material,
pembentuk kualitas spasial yang memberikan
ruang, dan skala, didasarkan pada indera manusia yang
kekhasan pada spasialitas arsitektur bambu, terlepas
berinteraksi dan saling mendukung satu sama lain [9].
dari beragamnya pemaknaan terhadap pengalaman
Arsitektur memang dapat dimaknai secara berbeda
spasial yang muncul darinya. Aspek-aspek spasialitas
oleh setiap orang tergantung pada persepsi dan
tersebut adalah skala, proporsi dan kedalaman ruang,
pengalaman masing-masing “nevertheless, the human
kepadatan dan elemen pengisi ruang, keterbukaan dan
sensory experiences are universal so that in certain
keterlingkupan ruang, bentuk dan geometri ruang,
context and culture, people will experience the same
materialitas elemen pembatas, serta cahaya dan suara.
thing” [10]. Pada konteks tertentu, pencerapan
Sementara itu, temporalitas arsitektur bambu juga
indrawi dari sebuah kualitas ruang yang dihadirkan
akan dibahas di dalam aspek-aspek spasialitas yang
dapat memberikan pengalaman ruang yang sejalan
berkaitan dengan adanya perubahan dalam sebuah
dengan yang diharapkan, seperti keterhubungan
rentang waktu, seperti materialitas, cahaya, dan suara.
dengan alam, kelapangan, keterlingkupan,
Selanjutnya, analisis interpretif akan dilakukan dalam
keterbukaan, dan sebagainya.
rangka merangkai tema kontinuitas dan diskontinuitas
pada spasialitas dan temporalitas arsitektur bambu di
Metode
masa lalu dan masa kini.
Kajian ini merupakan bagian dari penelitian mengenai
Hasil dan Pembahasan
kontribusi pendidikan arsitektur di Indonesia dalam
mendorong pemanfaatan bambu sebagai material Eksplorasi Spasialitas dan Temporalitas pada
eksploratif dengan berbagai potensi dan Arsitektur Bambu Vernakular
keunggulannya. Pendidikan arsitektur perlu menyikapi
berbagai isu dan fenomena sosial budaya yang Eksplorasi mengenai arsitektur bambu vernakular di
berimplikasi pada lingkungan alam dan lingkungan berbagai wilayah di Indonesia memberikan inspirasi
binaan, salah satunya asumsi yang kurang mendukung tentang keberagaman sekaligus kesatuan karakteristik
eksplorasi bambu dalam budaya membangun pemanfaatan material alami ini di masyarakat secara
masyarakat. Agar pendidikan arsitektur dapat tradisional. Material bambu digunakan sebagai baik
mengambil peran yang tepat, kajian kualitatif yang sebagai elemen struktural maupun sebagai elemen
bersifat eksploratif–interpretif dilakukan untuk penutup dinding hingga atap. Bambu digunakan
memetakan perkembangan pemanfaatan bambu sebagai material utama, kombinasi, maupun material
sebagai material bangunan, baik pada konteks substitusi. Kemudahannya diperoleh membuat bambu
masyarakat tradisional maupun kontemporer. material yang akrab di masyarakat.

Kajian ini dilakukan pada beberapa kasus permukiman Salah satu permukiman vernakular yang
vernakular yang akrab dengan pemanfaatan bambu memanfaatkan bambu sebagai material bangunannya
dalam tradisi membangunnya untuk menggali aspek adalah Kampung Nage, Flores. Bambu digunakan
spasialitas dan temporalitas di dalam permukiman- sebagai material struktural pengganti kayu yang
permukiman vernakular yang berbeda konteks semakin sedikit persediaannya [11]. Bambu juga
wilayah tersebut. Lebih jauh, aspek spasialitas dan dimanfaatkan sebagai material penutup dinding dan
temporalitas dari beberapa kasus arsitektur bambu lantai, bersamaan dengan papan kayu yang juga
kontemporer yang dirancang oleh arsitek dan telah banyak digunakan sebagai material penutup dinding
terbangun juga dikaji secara eksploratif–interpretif dan lantai seperti yang terlihat pada Gambar 1. Selain
untuk memperoleh pengayaan hasil kajian dalam kayu dan bambu, batu dan alang-alang juga
konteks ruang, waktu, dan budaya kontemporer. dimanfaatkan sebagai pondasi dan bahan penutup
Berbagai dokumentasi mengenai objek arsitektur yang atap. Walaupun bukan bahan bangunan utama, namun
akan dibahas dikumpulkan, meliputi refleksi hasil studi pemanfaatan bambu cukup memberikan warna pada
lapangan, beragam rekaman visual dari internet (foto permukiman masyarakat Kampung Nage. Salah
dan video), dan penjelasan konseptual dari objek- satunya adalah pemanfaatan bambu utuh
objek arsitektur tersebut, untuk dianalisis
Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia 10 (3), September 2021 | 148
S. Rahmah, Y.E. Putrie
sebagai dinding yang berbeda dengan anyaman sisinya, namun terdapat pula beranda yang lebih
bambu yang banyak ditemukan. terbuka di ketiga sisinya. Ruang-ruang bersifat
multifungsi, ruang utama merupakan tempat di mana
aktivitas ritual hingga aktivitas keluarga (memasak,
makan, dan tidur) berlangsung sehari-hari. Karenanya,
ruang cukup fleksibel dan elemen pengisi ruang yang
paling definitif adalah tungku di salah satu pojoknya.
Udara dan cahaya masuk ke dalam ruang melalui sela-
sela lantai bambu dan celah dinding [11]. Pada bagian
terluar hunian atau tedha wawa, skala yang akrab dan
proporsi yang manusiawi juga sangat terasa, namun
dengan derajat keterbukaan yang jauh lebih besar
daripada ruang-ruang lainnya. Area ini merupakan
area yang bersifat publik dan dapat dimasuki oleh
siapa pun. Dalam acara-acara ritual, area ini ditempati
oleh anak-anak dan tamu di luar keluarga inti dan
sanak famili pemilik rumah. Selain itu, upacara-
upacara atau perhelatan besar diselenggarakan di
halaman terbuka di sepanjang area permukiman,
karena itu tidak ditemukan adanya satu bangunan
publik yang berskala besar atau gigantis untuk
menampung penduduk dalam jumlah besar.

Selanjutnya, kasus arsitektur vernakular yang akan


dibahas adalah Kampung Naga, Tasikmalaya. Pada
permukiman masyarakat Kampung Naga di
Tasikmalaya, Jawa Barat, kita juga dapat melihat
Gambar 1. Pemanfaatan bambu sebagai atap pelataran, penutup pemanfaatan bambu sebagai material bangunan.
dinding, kolom dan balok lantai di Kampung Nage, Flores [12] Bambu adalah salah satu material alam yang
digunakan oleh masyarakat Kampung Naga dalam
Rumah-rumah adat di Kampung Nage memiliki ruang
memenuhi kebutuhan akan bahan bangunan. Rumah-
utama yang disebut one berukuran 4,5 x 4,5 meter
rumah di Kampung Naga menggunakan konstruksi
persegi diapit ruang-ruang tambahan di kanan kiri, dan
bambu dan kayu yang dari segi kekuatan dan
tedha one (ruang tengah) serta tedha wawa (ruang
ketahanannya telah teruji oleh alam [13]. Selain kayu
bawah) di bagian depan. Pada bentuk aslinya, one tidak
dan bambu, rumah-rumah di Kampung Naga
diapit oleh ruang apapun, dan dapur untuk memasak
memanfaatkan bahan material alami lain seperti batu,
berada di salah satu pojok ruangan [11]. Ruang utama
ijuk, daun tepus atau daun eurih (sejenis ilalang)
ini merupakan area terdalam dan tertinggi di dalam
sebagai penutup atap. Pemanfaatan bambu sebagai
rumah yang paling sakral dan privat, hanya
bahan bangunan di Kampung Naga difungsikan selain
diperuntukkan bagi keluarga inti. Derajat keterbukaan
sebagai rangka atap yaitu reng, juga banyak
ruang sangat kecil dengan aksesibilitas tunggal.
difungsikan sebagai elemen penutup atau dinding.
Pada Kampung Nage, pemanfaatan material bambu Dinding-dinding bangunan menggunakan anyaman
yang dikombinasikan dengan material kayu, batu, dan sasag, anyaman bilik, di mana jenis bambu yang
alang-alang mewujudkan kualitas spasial hunian digunakan adalah bambu tali (awi tali). Bambu terlebih
dengan skala yang akrab, proporsi yang manusiawi, dahulu dijemur untuk meningkatkan keawetannya
ruang yang terlingkup dan privat. Geometri ruang [13]. Bambu juga digunakan sebagai elemen
utama cukup sederhana dengan bentuk persegi konstruksi, sebagai pengikat antar elemen satu
panjang, namun dengan hirarki vertikal dan horisontal dengan elemen lainnya, seperti tiang, atap rangka, dan
yang menunjukkan tingkatan-tingkatan kesakralan. dinding.
Ruang-ruang yang memiliki makna ritual memiliki
Selain sebagai konstruksi bangunan, bambu juga
keterlingkupan yang besar dengan elemen-elemen
difungsikan sebagai pagar yang mengelilingi Kampung
pembatas yang definitif berupa dinding di keempat
Naga. Pagar keliling tersebut menggunakan anyaman

Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia 10 (3), September 2021 | 149


S. Rahmah, Y.E. Putrie
bambu rangkap dua dan menjadi batas antara lantainya menggunakan lantai palupuh, yaitu lantai
permukiman Kampung Naga dengan yang bukan bambu. Jenis anyaman ini memberikan aliran sirkulasi
permukiman Kampung Naga. Walaupun bukan berupa udara yang baik untuk ruang dapur. Pemisahan zona
pagar massif dan tertutup, namun keberadaan laki-laki, zona perempuan, dan zona netral dilakukan
anyaman bambu rangkap dua tersebut dapat menjadi dengan elemen pembatas dinding untuk menjaga
elemen pembentuk ruang yang definitif bagi kawasan privasi aktivitas di masing-masing zona. Elemen
Kampung Naga. dinding berupa anyaman sasag yang dilapisi kapur
dicampur air, dengan tujuan agar dinding lebih awet
Kawasan Kampung Naga terbagi menjadi beberapa dan memiliki keindahan dengan warna putih dari
zona yaitu zona permukiman, zona pemakaman, zona warna kapur tersebut. Elemen perabot yang dipakai
tempat ibadah (masjid), zona musyawarah (bale pada setiap ruang sangat terbatas dan sesuai dengan
patemon). Fasad depan rumah-rumah di Kampung kebutuhan utamanya. Di ruang dapur disediakan
Naga menghadirkan fasad depan memanjang perabot tungku dari tanah liat yang disebut hawu,
berbentuk persegi panjang, dengan menghadap barat tempat piring, alat memasak. Sementara itu, di ruang
dan timur. Keseragaman bentuk denah persegi tamu dapat ditemui tepas, yaitu tikar dari anyaman
panjang dan orientasi bangunan pada kawasan bambu.
pemukiman Kampung Naga menghadirkan bentuk
geometri yang sederhana, menyatu dan selaras Zona publik pada Kampung Naga antara lain zona
tempat ibadah yaitu masjid, dengan dimensi bangunan
lebih besar dari rumah, memiliki skala besar yang
memberikan kesan ruang yang luas, statis, kokoh,
dengan bentuk geometri persegi panjang yang
sederhana. Tiang-tiang kolom di ekspos selain sebagai
struktur kontruksi bangunan, memiliki nilai estetika
tersendiri dari pemilihan material bambu dan kayu
pada kolom tersebut. Zona publik yang lain pada
Kampung Naga adalah bale patemon sebagai tempat
berkumpul dan musyawarah masyarakat, serta tempat
menerima tamu dari luar kampung, dibuat lebih besar
ruangannya menyesuaikan kapasitas pengguna,
sehingga bangunan tampak berskala besar dengan
bentuk geometri yang tetap sederhana dan selaras
dengan lingkungannya. Material bambu dimanfaatkan
pada elemen dinding, rangka atap, dan lantai. Bentuk
bangunan publik menghadirkan kesan statis, berskala
besar.

Secara umum pada kedua kasus arsitektur vernakular


di atas, bambu dimanfaatkan pada bangunan-
dengan alam, berskala akrab, dan proporsi ruang yang bangunan hunian berskala akrab dengan proporsi
manusiawi seperti terlihat pada Gambar 2. yang manusiawi, serta bentuk atau geometri yang
Gambar 2. Pemanfaatan bambu sebagai struktur rangka atap, sederhana. Sebagian besar bangunan bambu bersifat
penutup dinding, kolom dan balok lantai di Kampung Naga, privat dengan peruntukan beragam aktivitas yang
Tasikmalaya [14] statis layaknya hunian pada umumnya, sebagai area
berinteraksi antar anggota keluarga, memasak dan
Rumah Kampung Naga memiliki denah tipikal,
makan bersama, serta area beristirahat. Karenanya
berbentuk persegi panjang dengan luasan antara 30
ruang yang dihasilkan berupa ruang-ruang yang
hingga 0 m2, dengan pembagian zona yaitu zona
terlingkupi, tingkat keterbukaan yang sangat terbatas
feminin, zona maskulin, dan zona netral [13]. Zona
dengan elemen pembatas ruang yang cukup definitif.
feminin adalah zona yang digunakan oleh wanita
Multi-fungsionalitas ruang menyebabkan perabot
antara lain pawon (dapur) dan goah sebagai tempat
sebagai elemen pengisi ruang hadir secukupnya dan
padi yang sudah dijemur. Pawon memiliki pintu
tak mendominasi ruang. Walaupun demikian, ruang-
khusus dengan anyaman sasag vertikal dan
ruang ini memiliki fleksibilitas yang tinggi terhadap
dindingnya dari anyaman sasag horizontal, serta
Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia 10 (3), September 2021 | 150
S. Rahmah, Y.E. Putrie
perubahan dan memberikan manusia kesadaran adalah Green School, Bali dan Dodoha
akan cahaya dan suara dari lingkungan di Mosintuwu, Sulawesi. Green School terletak di
sekelilingnya. Karenanya, salah satu temporalitas sepanjang Sungai Ayung dekat Abiansemal,
material bambu yang dapat ditangkap di dalam Kabupaten Badung, Bali, Indonesia, merupakan
bangunan vernakular adalah perubahan sekolah taman kanak-kanak hingga sekolah
pengalaman ruang seiring perubahan intensitas menengah swasta dan internasional. Green
cahaya, suara, dan cuaca dalam sehari semalam, school merupakan bangunan bermaterial bambu
atau perubahan musim selang beberapa bulan dengan bentuk dan skala yang besar, terletak di
dalam setahun. Perubahan-perubahan tersebut kawasan yang berkelanjutan, dan di tapaknya
mengisyaratkan pergerakan di dalam ruang yang terdapat aliran Sungai Ayung. Sekolah dirancang
terbatas, walaupun aktivitas-aktivitas yang terjadi dengan memanfaatkan energi surya pada ruang
di dalamnya bersifat statis. kelas, ruang pertemuan, ruang olahraga, asrama,
kantor, cafetaria, dan kamar mandi.
Sebagai material bangunan, masyarakat vernakular
secara umum mengasosiasikan bambu dengan Green School dirancang dengan menggunakan
penyangga konstruksi, penutup semi-permanen, material bambu lokal yang dipanen dari hasil
dan perabot rumah tangga [15]. Sifatnya yang semi- menanam sendiri, dan digunakan secara inovatif
permanen dan memerlukan pergantian setiap dan eksperimental [18]. Denah bangunan di
beberapa bulan atau beberapa tahun sekali, Green School berbentuk oval, ruang-ruang
menegaskan kesan temporalitas material bambu terbentuk dengan satu sisi melengkung, Cahaya
pada masyarakat vernakular. Walaupun demikian, dan bayangan di siang hari dapat masuk melalui
pergantian material secara rutin akibat bukaan-bukaan pada langit-langit bangunan,
kesementaraan arsitektur bambu tersebut kedalaman ruang memberi kesan luas dengan
menghasilkan sustainabilitas dalam hal warna alami dari bambu pada lantai dan langit-
keterampilan dan keahlian para pengrajin bambu langit, pembatas ruang berupa dinding kaca,
yang mewariskan berbagai jenis anyaman dan dinding bambu, begitu juga dengan lantai dan
teknik mengikat bambu kepada generasi langit-langit menggunakan material bambu
setelahnya. Sustainabilitas semacam ini juga dapat seperti yang terlihat pada Gambar 3. Tampilan
ditemukan pada arsitektur kuil Ise Jingu Grand bangunan ini tampak stand out atau menonjol
Shrine di Jepang yang dibongkar dan dibangun dengan desainspiral dan eksplorasi material
kembali setiap 20 tahun secara konsisten. Proses bambu dalam berbagai peruntukan dan bentuk.
pembangunan kembali secara terus-menerus ini
adalah jalan untuk melestarikan keaslian desain Preseden arsitektur bambu kontemporer
sekaligus craftmanship kuil tersebut [16]. selanjutnya adalah dodoha mosintuwu, Tentena,
Poso, Sulawesi Tengah. Dodoha mosintuwu adalah
Eksplorasi Spasialitas dan Temporalitas pada
bangunan multifungsi untuk berbagai kegiatan
Arsitektur Bambu Kontemporer
sosial, antara lain sekolah perempuan,
Pasca mengemukanya isu pemanasan global dan perpustakaan anak, dan restoran. Arsitektur
sustainabilitas lingkungan hidup, eksistensi dodohan Mosintuwu menggunakan bambu sebagai
bambu sebagai material bangunan kembali material utama struktur dan konstruksi, terutama
didiskusikan secara luas [17]. Arsitek di masa pada atap kubahnya. Gambar 4 menunjukkan
kontemporer cenderung memilih untuk struktur atap kubah yang didesain dengan
mengeksplorasi bambu yang memiliki daur hidup menggunakan bambu-bambu yang dipasang
yang jauh lebih singkat dan murah daripada kayu. bersilangan dan ada lubang untuk masuknya
Selain itu, kayu berkualitas tinggi juga telah relatif cahaya matahari di siang hari.
sulit ditemukan. Seiring dengan perkembangan
teknologi pengawetan dan pengolahan bambu,
telah banyak kita temukan preseden-preseden
arsitektur bambu kontemporer yang membawa
semangat zaman di masa kontemporer ini.

Dua preseden arsitektur yang menggunakan


material bambu dan dikaji di dalam tulisan ini
Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia 10 (3), September 2021 | 151
S. Rahmah, Y.E. Putrie
bambu kontemporer yang dibahas dan banyak
preseden arsitektur bambu kontemporer lainnya,
bambu dimanfaatkan pada bangunan-bangunan
publik berskala besar dengan proporsi yang cukup
gigantis dan mampu menampung banyak orang.
Bentuk dan geometri bangunan pun berkembang
menjadi lebih dinamis dengan memanfaatkan
karakteristik bambu yang dapat melengkung dan
membentuk kurva. Bentuk kurva diterapkan tidak
hanya pada denah,

Gambar 4. Penggunaan material bambu pada struktur atap


bangunan di dodoha mosintuwu, Tentena, Poso, Sulawesi
Tengah [20],[21]
Gambar 3. Penggunaan bambu sebagai bahan utama konstruksi
bangunan pada Green School, Bali [19] namun juga pada bentuk ruang-ruang, struktur
atap, hingga bentuk penutup atap secara
Desain ruangnya yang terbuka memberikan kesan keseluruhan.
lapang dan mendorong interaksi sosial berskala Sebagian besar bangunan bambu kontemporer ini
besar. Bangunan bambu di dodoha mosintuwu diperuntukkan bagi aktivitas publik dan mewadahi
berskala besar namun tetap memberikan kesan beragam aktivitas statis dan dinamis, seperti
dinamis dan sikuensial, sehingga pengguna dapat berkumpul, diskusi publik, workshop, makan-
mengeksplorasi berbagai pengalaman spasial yang makan, hingga mengadakan pertunjukan seni.
berbeda di dalam bangunan. Material bambu Karenanya, ruang yang dihasilkan memiliki tingkat
dieksplorasi sebagai struktur rangka atap, lantai, keterbukaan yang cukup besar dengan elemen-
dan dinding. Dinding sebagai pemisah antar ruang elemen pembatas ruang yang bersifat fleksibel.
dalam dan ruang luar, berupa dinding pagar dari
bambu setinggi kurang lebih satu meter, sehingga Multi-fungsionalitas ruang juga menyebabkan
kontinuitas spasial antara ruang dalam dan ruang ruang- ruang ini memiliki keterbukaan dan
dalam tetap terjaga. fleksibilitas yang tinggi terhadap perubahan dan
memberikan manusia kesadaran yang tinggi akan
Secara umum pada kedua preseden arsitektur
lingkungan sekitarnya. Karena itu, temporalitas
Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia 10 (3), September 2021 | 152
S. Rahmah, Y.E. Putrie
arsitektur bambu kontemporer juga dapat dua dekade terakhir. Materialitas bambu diangkat
diperoleh dari perubahan pengalaman ruang dalam berbagai topik terkait fleksibilitas dan
seiring perubahan intensitas cahaya, suara, dan affordability material, eksplorasi struktural, dan
cuaca dalam sehari semalam, atau perubahan karakteristik estetisnya [22]. Perhatian yang besar
musim selang beberapa bulan dalam setahun. terhadap bambu ini tentu pada gilirannya
Lebih jauh, di dalam arsitektur bambu diharapkan dapat menginspirasi secara luas,
kontemporer, karakteristik bangunan yang sehingga pandangan masyarakat umum terhadap
berskala besar dengan bentuk ruang dan bangunan bambu menjadi lebih optimis di masa depan, dan
yang dinamis memungkinkan temporalitas dialami dapat setidaknya sedikit melepaskan diri dari
melalui pergerakan dari satu sudut bangunan ke ketergantungan terhadap material fabrikasi dan
sudut lain, atau dari satu ruang ke ruang lain, di tak terbarukan.
mana setiap sudut bangunan menyediakan
pengalaman ruang yang berbeda. Walaupun demikian, perubahan yang terjadi pada
arsitektur bambu bukanlah sebuah diskontinuitas,
Lebih jauh, dengan perkembangan teknologi melainkan menyimpan kontinuitas dalam
pengawetan bambu pula, material bambu pada kemampuan arsitektur bambu untuk tetap
bangunan kontemporer memiliki durabilitas yang menghubungkan manusia yang mengalaminya
lebih tinggi dan dapat digunakan pada bangunan dengan lingkungan alam, baik dalam konteks
secara permanen. Material bambu pada bangunan- arsitektur vernakular maupun dalam konteks
bangunan kontemporer tidak lagi identik dengan arsitektur kontemporer “bamboo architecture
kerentanan dan kesementaraan. Dengan upaya enables various surrounding natural phenomena
eksploratif yang sedemikian besar selama proses recorded by the human senses” [10]. Spasialitas
perancangan dan pembangunannya, arsitektur arsitektur bambu, baik dalam konteks tradisional
bambu kontemporer harus menemukan jalannya maupun kontemporer, menghadirkan pengalaman
untuk bertahan lebih lama, agar kemanfaatannya keterhubungan atau kedekatan dengan alam.
setidaknya setara dengan upaya besar proses
pengadaannya. Lebih jauh, arsitektur bambu juga dalam konteks
tertentu mampu menghubungkan pengalaman di
Kesimpulan masa lalu dengan masa kini “from the sensory
experience then they will realize as the surrounding
Spasialitas dan Temporalitas Arsitektur Bambu, environment and recall the childhood experiences or
Masa Lalu dan Masa Kini: Sebuah Interpretasi hometown” [10]. Temporalitas arsitektur bambu,
setidaknya bagi sebagian orang, juga dapat
Dari paparan di atas, dapat kita simpulkan adanya
menghadirkan pengalaman kembali ke masa lalu
perubahan pada konteks ruang dan waktu
yang dekat dengan alam “viewing the bamboo
arsitektur bambu. Bambu yang di masa lalu dikenal
buildings makes them comfortable and returned to
sebagai material sederhana, substitusi, sementara,
their childhood home” [10]. Bagi orang yang
atau semi- permanen, menjadi material eksploratif
mengalami masa kecil dan remaja di dalam rumah-
dan material utama bangunan dengan durabilitas
rumah dengan material bambu atau dengan
yang tinggi, dari material yang mencerminkan
furnitur bambu, atau menghabiskan masa kanak-
kesederhanaan menjadi material yang
kanak di lingkungan yang kaya akan rumpun
mencerminkan kompleksitas bentuk dan fungsi,
bambu, arsitektur bambu kontemporer juga dapat
dari material bangunan hunian yang familiar dan
menghadirkan pengalaman yang serupa walaupun
akrab menjadi arsitektur yang stately atau berdiri
dalam bentuk berbeda. Pada akhirnya,
tegak ‘menyatakan diri’ walaupun masih berkesan
pengalaman ini diharapkan dapat pula
selaras dengan lingkungannya.
menginspirasi mereka untuk dapat berbuat
Dalam konteks kontemporer, arsitektur bambu sesuatu di masa depan bagi keberlanjutan
menemukan kembali jati dirinya dalam bentuk lingkungan alam dan lingkungan binaan.
yang baru. Sebagai material, bambu dilihat
Sebagai penutup, eratnya keterhubungan antara
kembali dengan cara pandang yang baru dan
arsitektur dengan lingkungan yang membentuk
optimisme yang baru. Beragam penelitian
spasialitas dan temporalitas arsitektur bambu
mengenai bambu sebagai material yang
tampaknya menarik untuk dikaji lebih jauh melalui
berkelanjutan dan ekologis pun banyak dilakukan
konsep interspatiality sebagai sebuah formulasi
Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia 10 (3), September 2021 | 153
S. Rahmah, Y.E. Putrie
konseptual yang menawarkan hubungan baru [6] F. D. K. Ching, Architecture : Form, Space, & Order,
antara arsitektur dan lingkungan [23]. 4th ed. New Jersey: John Wiley & Sons Inc., 2014.
Interspatiality menawarkan dialektika
[7] P. von Meiss, The Elements of Architecture: from
interdependensi spatio- environmental, bahwa Form to Place. New York: Van Nostrand Reinhold,
arsitektur dan lingkungan yang lebih luas memiliki 1997.
saling ketergantungan dalam mewujudkan
[8] T. Sofian, I. Sudradjat, and B. Tedjo, “Materiality
keberlanjutan lingkungan binaan. “Architecture is
and sensibility: Phenomenological studies of brick
interdependent; it does not exist for its own sake as architectural material,” Nakhara J. Environ. Des.
independent of the factors that create, define, Plan., vol. 18, 2020.
influence and ultimately sustain it... equally,
[9] T. Sofian, I. Sudradjat, and B. Tedjo,
environment is dependent, determined and
“Phenomenological Interpretation of
conditioned by space, spatial design and production,” Contemporary Bamboo Architecture in
[23]. Interspasialitas dapat dirasakan pada Indonesia,” in Proceeding of 4th International
arsitektur bambu vernakular, di mana bangunan Conference on Sustainable Built Environment
(ICSBE), 2016, pp. 120–131.
dan lingkungan memiliki interdependensi yang erat
dalam mewujudkan keberlanjutan lingkungan [10] V. Kosasih, Kampung Nage : Sebuah Sketsa
binaan, di mana bangunan dan lingkungannya Arsitektural. Surabaya: Wastu Lanas Grafika, 2009.
dilihat sebagai satu kesatuan spasial. Hal ini
[11] “Ekspedisi Flores - Arsitektur
merupakan bahan refleksi yang sangat penting
Hijau.”
bagi upaya mewujudkan keberlanjutan lingkungan https://arsitekturhijau.com/expedition/ekspedisi
secara luas dalam konteks kontemporer yang - flores-3/ (accessed Aug. 01, 2021).
terkadang masih tersekat pada sentralitas
[12] A. Padma and et al, Kampung Naga: Permukiman
eksplorasi objek arsitektur semata.
Warisan Karuhun. Bandung: Architecture &
Communication, 2001.
Daftar Pustaka
[13] “Mengunjungi dan Mempelajari Budaya Kampung
[1] E. Suriani, “Bambu Sebagai Alternatif Penerapan Naga.”
Material Ekologis: Potensi dan Tantangannya,” https://disparpora.tasikmalayakab.go.id/2019/0
EMARA Indones. J. Archit., vol. 3, no. 1, 2017, doi: 6/27
10.29080/emara.v3i1.138.
/mengunjungi-dan-mempelajari-budaya-
[2] L. Maslucha, Y. E. Putrie, S. Rahma, A. N. kampung- naga/) (accessed Aug. 01, 2021).
Handryant, and V. Ramardani, “Contribution of
bamboo materials in architecture education [14] D. Larasati, R. F. Aditra, and A. Primasetra,
towards sustainable community development,” in “Promoting of Bamboo Prefabricated Product
IOP Conference Series: Earth and Environmental Toward Sustainable Housing in Indonesia,” 2014.
Science, 2020, vol. 456, no. 1, doi: 10.1088/1755-
1315/456/1/012047.
[15] T. Kwanda, “Tradition of Conservation: Redefining
Authenticity in Javanese Architectural
[3] L. Rajendran, F. Molki, S. Mahdizadeh, and A. Conservation,” Int. Conf. Herit. Sustain. Dev., 2010.
Mehan, “(Re)framing spatiality as a socio-cultural
paradigm: Examining the iranian housing culture
[16] E. A. Nurdiah, “The Potential of Bamboo as
and processes,”
Building Material in Organic Shaped Buildings,”
Procedia - Soc. Behav. Sci., vol. 216, 2016, doi:
J. Archit. Urban., vol. 45, no. 1, 2021, doi: 10.1016/j.sbspro.2015.12.004.
10.3846/jau.2021.14032.
[17] Alex Sanchez Vidiella, Bamboo. Barcelona: Loft,
[4] S. Liddicoat, “Perceptions of spatiality: Supramodal 2011.
meanings and metaphors in therapeutic
environments,” Interiority, vol. 1, no. 2, 2018, doi:
[18] “Green School, Bali -
10.7454/in.v1i2.17.
IBUKU.” https://ibuku.com/green-school-bali/
(accessed Aug. 01, 2021).
[5] M. Joelle, “The Difference Between Time and
Temporality | Stories & Soliloquies,” 2014.
[19] “effstudio_Dodoha-Mosintuwu_3r.jpg
https://storiesandsoliloquies.com/2014/06/18/t
(600×900).” https://domusnovem.com/wp-
ime- and-temporality/ (accessed Aug. 01,
content/uploads/2018/06/effstudio_Dodoha-
2021).Đ. Alfirević and S. Simonović-Alfirević,
Mosintuwu_3r.jpg (accessed Aug. 01, 2021).
“Design principles for achieving spatiality in living
space,” Arhit. i Urban., no. 48, 2019, doi:
[20] “Jelajah Waktu : Poso Dulu dan Kini -
10.5937/a-u0-19740.
mosintuwu.com.”
Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia 10 (3), September 2021 | 154
S. Rahmah, Y.E. Putrie
http://www.mosintuwu.com/2014/11/09/jelaja
h- waktu-poso-dulu-dan-kini/ (accessed Aug. 01,
2021).

[21] Luluk Maslucha, Yulia Eka Putrie, Aisyah


NurHandryant, and Sukmayati Rahmah,
“Pendidikan Arsitektur dan Edukasi tentang
Bambu sebagai Material Ramah Lingkungan |
Maslucha | The Indonesian Green Technology
Journal,” Indones. Green Technol. J., vol. 9, no. 1, pp.
14–24, 2020.

[22] C. James, “Interspatiality: Space and the


environment– A conceptual approach,” WIT Trans.
Ecol. Environ., vol. 191, 2014, doi:
10.2495/SC140872.

Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia 10 (3), September 2021 | 155

Anda mungkin juga menyukai