Anda di halaman 1dari 13

1.

Perhitungan beban kerja


Kinerja
Analisis kinerja dilakukan dengan mengacu pada Sasaran Kerja
Pegawai (SKP). SKP merupakan perencanaan kerja dan target
yang akan dicapai oleh seorang pegawai, yang disusun dan
disetujui bersama antara pegawai dan atasan pegawai.

Beban Kerja
Komponen beban kerja adalah jenis tugas dan uraian tugas
yang secara nyata dilaksanakan oleh jenis SDMK tertentu sesuai
dengan tugas pokok dan fungsi yang telah ditetapkan.
Metode ABK Kes adalah suatu pendekatan untuk menghitung
kebutuhan sumber daya manusia di bidang kesehatan, baik pada
tingkat manajemen maupun pelayanan, dengan memperhatikan
beban kerja untuk mendapatkan informasi tentang jumlah pegawai
yang dibutuhkan. Metode ini dapat digunakan dalam lingkup
institusi dan dapat direkapitulasi dalam tingkatan administrasi
pemerintahan yang lebih tinggi. Metode ini juga dapat digunakan
oleh fasilitas pelayanan kesehatan swasta. Langkah-langkah metode
ABK Kes adalah sebagai berikut:
1) Menetapkan Fasyankes dan jenis SDMK Data dan informasi
Fasyankes, Unit / Instalasi, dan jenis SDMK dapat diperoleh
dari:
a) Struktur Organisasi dan Tata Kerja (SOTK) institusi;
b) Undang-undang No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan;
d) Permenkes No. 73 Tahun 2013 tentang Jabatan Fungsional
Umum di Lingkungan Kementerian Kesehatan RI;
c) Permen PAN-RB tentang Jabatan Fungsional Tertentu
(28 Jenis Jabatan Fungsional Tertentu)
2) Menetapkan Waktu Kerja Tersedia (WKT)
Waktu Kerja Tersedia (WKT) adalah waktu yang
dipergunakan oleh SDMK untuk melaksanakan tugas dan
kegiatannya dalam kurun waktu 1 (satu) tahun. Dalam
Keputusan Presiden Nomor 68 Tahun 1995 telah ditentukan
jam kerja instansi pemerintah 37 jam 30 menit per minggu,
baik untuk yang 5 (lima) hari kerja ataupun yang 6 (enam) hari
kerja sesuai dengan yang ditetapkan Kepala Daerah masing-
masing. Berdasarkan Peraturan Badan Kepegawaian Negara
Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pedoman Umum Penyusunan
Kebutuhan Pegawai Negeri Sipil, Jam Kerja Efektif (JKE)
sebesar 1250 jam per tahun. Demikian juga menurut Permen
PA-RB No. 26 tahun 2011, Jam Kerja Efektif (JKE) antara
1192 - 1237 jam per tahun yang dibulatkan menjadi 1200 jam
per tahun atau 72000 menit per tahun baik yang bekerja 5 hari
kerja maupun 6 hari kerja per minggu.
Tabel 1. Waktu kerja tersedia

3) Menetapkan komponen beban kerja (tugas pokok, uraian tugas,


dan norma waktu)
Komponen beban kerja adalah jenis tugas dan uraian tugas
yang secara nyata dilaksanakan oleh jenis SDMK tertentu
sesuai dengan tugas pokok dan fungsi yang telah ditetapkan.
Norma Waktu adalah rata-rata waktu yang dibutuhkan oleh
seorang SDMK yang terdidik, terampil, terlatih dan
berdedikasi untuk melaksanakan suatu kegiatan secara normal
sesuai dengan standar pelayanan yang berlaku di Fasyankes
bersangkutan, sehingga kebutuhan waktu ini dapat bervariasi.
Data ini dapat diperoleh dari Analisis Jabatan (Anjab) tiap
jabatan dari Fasyankes yang bersangkutan

4) Menghitung Standar Beban Kerja (SBK)


Standar Beban Kerja (SBK) adalah volume/kuantitas pekerjaan
selama 1 tahun untuk tiap jenis SDMK. SBK untuk suatu
kegiatan pokok disusun berdasarkan waktu yang dibutuhkan
untuk menyelesaikan setiap kegiatan (Rata-rata Waktu atau
Norma Waktu) dan Waktu Kerja Tersedia (WKT) yang sudah
ditetapkan.
5) Menghitung kebutuhan SDMK tiap institusi/fasyankes
Untuk menentukan tingkat Tekanan Beban Kerja (TBK),
digunakan Rasio Beban Kerja (RBK). Untuk rumus dan
kriteria adalah sebagai berikut :

Rasio Beban Kerja (RBK) Tekanan Beban Kerja (TBK)

≤ 0,5 Sangat tinggi

0,51 – 0,80 Tinggi

0,81 – 0,99 Rendah

1,0 Normal

1,1 – 1,3 Longgar

> 1,3 Sangat Longgar

Tabel 2. Kriteria Tekanan Beban Kerja (TBK)

Daftar Pustaka
1. Menteri Kesehatan RI. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 33
Tahun 2015 tentang Pedoman Penyusunan Perencanaan Kebutuhan
Sumber Daya Manusia Kesehatan. 2015
2. Menteri Kesehatan RI. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 29
Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. 2004
3. Menteri Kesehatan RI. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 5
Tahun 2014 tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Primer. 2014
4. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara. Keputusan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 139/KEP/M.PAN/11/2003
tentang Jabatan Fungsional Dokter dan Angka Kreditnya. 2003

2. Definisi, metode dalam evaluasi program dan berikan contohnya


Evaluasi berasal dari kata evaluation (bahasa Inggris) yang kemudian dijadikan kata
serapan dalam bahasa Indonesia untuk mempertahankan kata aslinya dengan istilah
“EVALUASI”. Sehingga sampai saat ini istilah evaluasi menjadi hal yang tidak asing
dalam bahasa Indonesia.
Berikut penulis kemukakan beberapa pengertian dari evaluasi menurut para ahli.
a. Tyler (2005) yang terkenal dengan Bapak evaluasi mengemukakan bahwa evaluasi
adalah proses yang menentukan sampai sejauh mana tujuan suatu program telah
terlaksana.
b. Beberapa ahli terkemuka seperti Alkin (1969) Stufflebeam (1999) dan Cronbach
(1963) sepakat menyatakan bahwa evaluasi adalah evaluasi secara umum merupakan
kegiatan dalam menyediakan informasi untuk membuat keputusan
1. Langkah 1: Mendefinisikan Program
Langkah pertama adalah mendefinisikan istilah atau program itu sendiri. Program
didefinisikan sebagai usaha-usaha yang maksimal yang dilakukan berdasarkan
seperangkat sumber daya dengan melakukan serangkaian kegiatan yang ditentukan.
Sebuah strategi dilakukan mengacu dan ditentukan dari definisi program dan mengacu
pada aktivitas terencana yang bertujuan untuk mencapai tujuan atau memecahkan
masalah. Strategi yang dilakukan harus berdasarkan bukti dan fakta mengenai konsep dan
definisi program itu sendiri.
2. Langkah 2: Mendapatkan Data dari Tim yang Akurat
Dalam memperoleh data, lakukan langkah mengumpulkan data hanya dari orang-orang
yang tepat. Kumpulkan Tim data sekolah atau organisasi yang bertanggung jawab untuk
mengelola pengumpulan dan analisis data. Bentuklah tim yang solid dengan anggota yang
memiliki keahlian yang diperlukan untuk menangani data. Tim adalah orang- orang yang
memiliki keahlian yang diperlukan untuk masalah akademik dan sosial akademik
program, praktek dan strategi di sekolah. Anggota tim mungkin termasuk kepala sekolah;
direktur pendidikan, guru kelas (mungkin salah satu yang mewakili masing-masing
tingkat kelas); konselor sekolah; psikolog sekolah atau pekerja sosial, lainnya. Beberapa
tim bahkan termasuk orang tua dan siswa.
3. Langkah 3: Lakukan Pembatasan Sumber Daya yang Digunakan dan Sub Sistem yang
Akan Dievaluasi
Berbekal daftar catatan sekolah, evaluator akan dapat mengidentifikasi program yang
kurang terkoordinasi dan kemudian menghilangkan program yang menyedot terlalu
banyak sumber daya, atau yang tidak selaras dengan tujuan evaluasi. Upayakan waktu
seefektif mungkin untuk melakukan evaluasi. Selain itu dukungan dari system akademis
adalah unsure kunci dari iklim sekolah dapat dievaluasi Jika evaluator menemukan bahwa
tidak ada dukungan akademis atau iklim sekolah tidak mendukung dilakukan evaluasi,
halmungkin menunjukkan bahwa upaya evaluasi ini tidak layak dilanjutkan. Setelah
evaluator melakukan beberapa "pemangkasan" atau pembatasan dari daftar maka
berikutnya evaluator dapat mengevaluasi bagian program yang tersisa.
4. Langkah 4: Mengevaluasi Semua Rencana yang Ada Pada Daftar
Untuk melukiskan gambaran yang lengkap, rencana evaluasi sekolah yang komprehensif
harus mencakup setiap usaha pada daftar yang telah dikemukakan. Lakukan identifikasi
tujuan dari setiap usaha dan memilih metode jangka pendek dan jangka panjang dari
pengukuran dan menilai dampaknya pada siswa. Catatan penting dalam langkah ini
adalah berpedoman pada urgensi masalah sebagai ukuran dasar dari menerapkan upaya-
upaya baru dalam menyelesaikan masalah. Semakin mendesak suatu masalah maka
evaluasi semakin prioritas untuk dilakukan. Selanjutnya juga merencanakan waktu,
menempatkan instrumen pengukuran atau mekanisme untuk pengumpulan data.
Melakukan konsultasi dengan ahli evaluasi merupakan suatu gagasan yang baik agar
evaluator sekolah siap untuk memilih metode dalam pengukuran hasil evaluasi. Seorang
ahli dapat membantu a memilih alat pengukuran yang baik (misalnya, tidak semua survei
diciptakan sama, dan ada beberapa keahlian yang terlibat dalam melakukan kelompok
fokus). Ahli juga dapat merencanakan pengumpulan data yang optimal dan menentukan
bagaimana data dari titik waktu yang berbeda akan dibandingkan (misalnya, akan
perbedaan yang signifikan secara statistik menjadi standar untuk menilai perubahan).
5. Langkah 5: Lengkapi Rencana Evaluasi
Setelah perencanaan evaluasi dilakukan maka langkah selanjutnya adalah melakukan
persiapan Perencanaan Lembar Kerja untuk menyempurnakan rencana evaluasi.
Evaluator sekolah mungkin saja belum dapat menerapkan praktek evaluasi tapi secara
keseluruhan, rencana dalam evaluasi harus melakukan hal berikut:
• Menjadwalkan evaluasi sedari awal dan menetapkan waktu yang tepat untuk melakukan
evaluasi.
• Jika memungkinkan melakukan pretest pengukuran serta beberapa posttest pengukuran
pada jarak waktu tertentu.
• Melakukan pengumpulan data secara berkelanjutan dengan dibantu pihak-pihak terkait
di sekolah.
• Melakukan pengukuran di berbagai tingkat, seperti individu, kelompok kelas kecil dan
besar, hingga pada tingkat populasi atau sekolah. Mengukur di tingkat kelompok untuk
mengevaluasi upaya yang mencapai kelompok-kelompok kecil; mengukur pada tingkat
populasi untuk mengevaluasi upaya yang menjangkau seluruh sekolah. Pengukuran pada
tingkat populasi cenderung dilakukan lebih jarang, misalnya, setiap tahun atau setiap
tahun, dibandingkan dengan pengukuran pada tingkat lain.
• Gunakan beberapa informan (siswa, orang tua dan guru).
• Gunakan beberapa alat pengumpulan data formal dan informal (misalnya, observasi,
catatan review, survei, wawancara).
• Melacak baik jangka pendek dan jangka panjang indikator hasil, menilai apa upaya yang
segera dapat dilakukan setelah melakukan pelacakan jangka pendek.
• Kumpulkan secara subjektif, hasil kualitatif dari data dengan menggunakan instrument
yang handal dan valid.
Terdapat hal-hal penting yang terkait dengan pemahaman evaluasi Program pendidikan:
a. Hal utama yang terkait dengan evaluasi program adalah bahwa evaluasi program
pendidikan harus dilakukan dengan sistematis. Ini berarti bahwa evaluator harus
bijaksana, melakukan evaluasi dengan sengaja, terstruktur dan melakukan pendekatan
benar-benar ketat dalam evaluasi.
b. Memperhatikan metode penelitian dan model evaluasi yang sesuai untuk mengevaluasi
sebuah program pendidikan karena metode dan model yang dapat digunakan dalam
evaluasi sangat majemuk. Hal ini berarti bahwa evaluator dapat memiliki banyak
instrument (alat) dalam melakukan pengukuran, namun tindakan pemilihan instrument
yang sesuai dengan kebutuhan evaluasi program harus dilakukan dengan hati-hati.
Instrumen alat atau tools apa yang akan dipilih dalam evaluasi program sangat tergantung
pada apa yang ingin dicapai melalui upaya evaluasi.
c. Evaluator meski teliti dengan hal-hal yang mungkin memandu pilihan instrument
evaluasi seperti: fokus pada struktur desain program, cara implementasi instrument dalam
evaluasi, populasi atau sampel yang akan dievaluasi, dan pengukuran hasil atau dampak
yang akan dilakukan.
Model-model Evaluasi Program
Enam model yang termasuk ke dalam kategori ini adalah sebagai berikut:

a. Model Appraisal (Haris). Contohnya, model ini menitik beratkan pada peranan
keputusan yang disusun oleh tenaga profesional.
Model ini menekankan pada keputusan ahli (profesional). Keputusan ini dibuat oleh
seorang ahli, tim ahli, atau tim pelaksana berbagai program, baik dari dalam maupun dari
luar kelembagaan atau program. Gunanya adalah untuk mengevaluasi program
berdasarkan kriteria yang telah ditentukan, dan membuat kesimpulan serta rekomendasi.
Model ini berguna terutama bila umpan balik dan interaksi dengan pelaksan program
dapat membantu kegiatan evaluasi. Penggunaan model ini perlu dimulai dengan
menidentifikasi tujuan appraisal dan tujuan program yang di evaluasi.
Proses appraisal sering digunakan dalam akreditasi, dalam reviu oleh instansi pemerintah
terhadap pelayanan pendidikan kepada umum, dan dalam reviu menyeluruh tentang
kegiatan bersama dalam perluasan pembelajaran kepada masyarakat.
b.Model evaluasi CIPP yang dikemukakan oleh Stufflebeam & Shinkfield (1985) adalah
sebuah pendekatan evaluasi yang berorientasi pada pengambil keputusan (a decision
oriented evaluation approach structured) untuk memberikan bantuan kepada administrator
atau leader pengambil keputusan. Stufflebeam mengemukakan bahwa hasil evaluasi akan
memberikan alternatif pemecahan masalah bagi para pengambil keputusan. Model CIPP
(Context, Input, Process dan Product) yang bertitik tolak pada pandangan bahwa
keberhasilan progran pendidikan dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti : karakteristik
peserta didik dan lingkungan, tujuan program dan peralatan yang digunakan, prosedur
dan mekanisme pelaksanaan program itu sendiri.
Evaluasi model ini bermaksud membandingkan kinerja (performance) dari berbagai
dimensi program dengan sejumlah kriteria tertentu, untuk akhirnya sampai pada deskripsi
dan judgment mengenai kekuatan dan kelemahan program yang dievaluasi. Model ini
kembangkan oleh Stufflebeam (1972) menggolongkan program pendidikan atas empat
dimensi, yaitu : Context, Input, Process dan Product. Menurut model ini keempat dimensi
program tersebut perlu dievaluasi sebelum, selama dan sesudah program pendidikan
dikembangkan.
c. Evaluasi Model Stake
Stake menekankan adanya dua dasarkegiatan dalam evaluasi, yaitu description dan
judgement dan membedakan adanya tiga tahap dalam program pendidikan yaitu context,
process dan outcomes. Stake menyatakan bahwa apabila menilai suatu program
pendidikan, makaharus melakukan perbandingan yang relatif antara satu program dengan
yang lainnya. Dalam model ini antencedent (masukan), transaction (proses) dan outcomes
(hasil) data dibandingkan tidak hanya untuk menentukan apakah ada perbedaan antara
tujuan dengan keadaan yang sebenarnya, tetapi juga dibandingkan dengan standar yang
absolut untuk menilai manfaat program (Farida Yusuf Tayibnapis, 2000:22).
d. Model Orientasi Goal-Free
Goal-free adalah model evaluasi yang berorientasi kepada seluruh hasil program. Tidak
semua hasil program berkaitan dengan tujuan yang diharapkan bahkan mungkin termasuk
tujuan yang tidak diharapkan, karena itu goal-free mengevaluasi hasil yang diharapkan
dan tidak diharapkan. Bahkan lebih jauh lagi tujuan program yang dinyatakan secara
eksplisit pun perlu dievaluasi. Mungkin saja manfaat program yang dilaksanakan itu
rendah disebabkan oleh tujuan programnya memang rendah.

Contoh Evaluasi Program


 Evaluasi Program Kerja Instalasi Rehabilitasi Medik Rumah Sakit A
 Evaluasi Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan(RKAT) Unit kerja : Divisi
Administrasi Akademik

Daftar Pustaka
1. Ambiyar, Muharika. 2019. Metodologi Penelitian dan Evaluasi Program.
Bandung : Alfabeta
2. Farida Yusuf Tayibnapis. 2000. Evaluasi Program. Jakarta: PT Rineka Cipta
3. Kirkpatrick, D. L. 1998. Evaluating Training Programs: The Four Levels. San
Francisco: Berrett-Koehler Publisher, Inc.
4. Kirkpatrick, D. L. 2009. Kirkpatrick’s Training Evaluation Model. Partner, C.
2009. Implementing the Kirkpatrick Evaluation Model Plus.

3. Sistem Kesehatan Nasional Indonesia?


Sistem Kesehatan Nasional, yang selanjutnya disingkat SKN adalah pengelolaan
kesehatan yang diselenggarakan oleh semua komponen bangsa Indonesia secara terpadu
dan saling mendukung guna menjamin tercapainya derajat kesehatan masyarakat yan g
setinggi-tingginya.
Komponen pengelolaan kesehatan yang disusun dalam SKN sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 dikelompokkan dalam subsistem:
a. upaya kesehatan;
b. penelitian dan pengembangan kesehatan;
c. pembiayaan kesehatan;
d. sumber daya manusia kesehatan;
e. sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan;
f. manajemen, informasi, dan regulasi kesehatan; dan
g. pemberdayaan masyarakat.
SKN dilaksanakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat.
Pelaksanaan SKN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan:
a. cakupan pelayanan kesehatan berkualitas, adil, dan merata;
b. pemberian pelayanan kesehatan yang berpihak kepada rakyat;
c. kebijakan kesehatan masyarakat untuk meningkatkan dan melindungi kesehatan
masyarakat;
d. kepemimpinan dan profesionalisme dalam pembangunan kesehatan;
e. inovasi atau terobosan ilmu pengetahuan dan teknologi yang etis dan terbukti
bermanfaat dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan secara luas, termasuk
penguatan sistem rujukan;
f. pendekatan secara global dengan mempertimbangkan kebijakan kesehatan yang
sistematis, berkelanjutan, tertib, dan responsif gender dan hak anak;
g. dinamika keluarga dan kependudukan;
h. keinginan masyarakat;
i. epidemiologi penyakit;
j. perubahan ekologi dan lingkungan; dan
k. globalisasi, demokratisasi dan desentralisasi dengan semangat persatuan dan kesatuan
nasional serta kemitraan dan kerja sama lintas sektor.
Daftar Pustaka
1. Kementrian PPN & Bappenas. Buku Putih Reformasi Sistem Kesehatan Nasional.
2022.
2. Peraturan Presiden Republik Indonesia No.72 tahun 2012 tentang Sistem
Kesehatan Nasional

4. Definisi Stunting, gambaran kasus di dunia, negara mana, Indonesia dari tahun
2017- 2020 (paling terbaru)
Stunting merupakan bentuk kegagalan pertumbuhan (growth faltering) akibat akumulasi
ketidakcukupan nutrisi yang berlangsung lama mulai dari kehamilan sampai usia 24
bulan. Keadaan ini diperparah dengan tidak terimbanginya kejar tumbuh (catch up
growth) yang memadai.
· Balita Pendek (Stunting) adalah status gizi yang didasarkan pada indeks PB/U atau
TB/U dimana dalam standar antropometri penilaian status gizi anak, hasil pengukuran
tersebut berada pada ambang batas (Z-Score) <-2 SD sampai dengan -3 SD (pendek/
stunted) dan <-3 SD (sangat pendek / severely stunted).
· Stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang
kurang dalam waktu cukup lama akibat pemberian makanan yang tidak sesuai dengan
kebutuhan gizi. Stunting dapat terjadi mulai janin masih dalam kandungan dan baru
nampak saat anak berusia dua tahun.
· Stunting adalah salah satu keadaan malnutrisi yang berhubungan dengan
ketidakcukupan zat gizi masa lalu sehingga termasuk dalam masalah gizi yang bersifat
kronis.
· Stunting merupakan bentuk kegagalan pertumbuhan (growth faltering) akibat akumulasi
ketidakcukupan nutrisi yang berlangsung lama mulai dari kehamilan sampai usia 24
bulan. Keadaan ini diperparah dengan tidak terimbanginya kejar tumbuh (catch up
growth) yang memadai.
Stunting diukur sebagai status gizi dengan memperhatikan tinggi atau panjang badan,
umur, dan jenis kelamin balita. Kebiasaan tidak mengukur tinggi atau panjang badan
balita di masyarakat menyebabkan kejadian stunting sulit disadari. Malnutrisi merupakan
suatu dampak keadaan status gizi baik dalam jangka waktu pendek maupun jangka waktu
lama. Penyebab stunting bisa dikaitkan karena kurang gizi.
5. Target penurunan stunting

Jakarta- Kepala Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan (BKPK) Kementerian


Kesehatan RI Syarifah Liza Munira mengungkapkan angka stunting hasil Survei Status
Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2022 mengalami penurunan sebesar 2,8% dibandingkan
dengan 2021.

“Angka stunting tahun 2022 turun dari 24,4% (tahun 2021) menjadi 21,6% (tahun 2022).
Dari yang kami perhitungkan untuk dapat mencapai 14% di tahun 2024 perlu penurunan
secara rata-rata sebesar 3,8% per tahun,” kata Liza dalam konferensi pers Hasil SSGI
2022 di Kantor Kementerian Kesehatan, Jakarta Selatan, Jumat (27/1).

Liza menerangkan survei status gizi ini pada dasarnya mengukur gambaran status gizi
balita. Utamanya adalah mengukur empat status gizi, yaitu stunting, overweight,
wasting dan underweight. Selain itu ditambah juga dengan beberapa determinan yang
terkait.

6. Program pengendalian stunting di Indonesia?

Menkes menjelaskan upaya pertama pencegahan stunting adalah pemberian TTD bagi
para remaja putri. Kegiatan ini telah dimulai dengan menggalakkan Aksi Bergizi di
Sekolah dengan 3 paket intervensi yakni pemberian TTD mingguan bagi remaja putri,
aktivitas fisik dan konsumsi makanan bergizi seimbang
Intervensi kedua, dengan pemberian TTD, pemeriksaan kehamilan dan pemberian
makanan tambahan pada ibu hamil.
Upaya ketiga, lanjut Menkes, dengan pemberian makanan tambahan berupa protein
hewani pada anak usia 6-24 bulan. Dikatakan Menkes, protein hewani ini tidak perlu
yang mahal. Ada banyak sumber protein hewani yang harganya terjangkau dan bisa
didapatkan di sekitar kita.
Berikut ini adalah 3 upaya yang akan dilakukan guna mencegah stunting di Indonesia,
diantaranya adalah:
 Pemberian TTD (Tablet Tambah Darah) bagi para remaja putri
 Melakukan pemeriksaan kehamilan dan pemberian makanan tambahan pada ibu
hamil guna mencukupi kandungan gizi dan zat besi pada ibu hamil.
 Pemberian makanan tambahan berupa protein hewani pada anak usia 6-24 bulan
seperti telur, ikan, ayam, daging dan susu.

Daftar Pustaka
1. 3 Upaya Penting Kemenkes Dalam Menurunkan Stunting
2. https://promkes.kemkes.go.id/3-upaya-penting-kemenkes-dalam-menurunkan-
stuntingAccessed: 2023-06-02
3. Dua Fokus Intervensi Penurunan Stunting untuk Capai Target 14% di Tahun 2024
- Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan | BKPK Kemenkes
https://www.badankebijakan.kemkes.go.id/dua-fokus-intervensi-penurunan-
stunting-untuk-capai-target-14-di-tahun-2024/Accessed: 2023-06-02

4. Algorithms for converting estimates of child malnutrition based on the NCHS


reference into estimates based on the WHO Child Growth StandardsPDF
5. Hong Yang, Mercedes de Onis BMC Pediatrics, 8, 5 2008
6. Stunting prevalence among children under 5 years of age (%) (model-based
estimates) https://www.who.int/data/gho/data/indicators/indicator-details/GHO/
gho-jme-stunting-prevalence Accessed: 2023-06-02

Anda mungkin juga menyukai