Anda di halaman 1dari 7

Senjakala Toko Buku di Indonesia, Adaptasi Jadi Kunci Bertahan

tirto.id - Dalam beberapa tahun terakhir, kita telah menyaksikan fenomena yang menyedihkan dalam
dunia perbukuan di Indonesia. Salah satu toko buku terbesar di negeri ini, Gunung Agung, baru saja
mengumumkan penutupan operasionalnya. Keputusan ini diambil setelah toko buku tersebut tidak
mampu lagi bertahan menghadapi persaingan sengit di era digital yang semakin mendominasi industri
perbukuan.
Tidak hanya Gunung Agung, tetapi juga banyak media cetak yang gulung tikar karena oplahnya tidak lagi
mampu menutupi biaya produksi dan operasional. Fenomena ini menjadi sorotan penting, karena
menunjukkan bahwa toko buku dan media cetak di Indonesia belum mampu beradaptasi dengan cepat
terhadap perubahan zaman di mana teknologi benar-benar merubah tata cara kita mengakses informasi
dan konsumsi konten.
Sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar dan kebutuhan literasi yang tinggi, persoalan ini
perlu dianalisis secara mendalam untuk mencari tahu akar permasalahannya. Mengapa toko buku dan
media cetak terus menghadapi kesulitan dalam bertahan di era digital ini?
Salah satu faktor yang mungkin menjadi penyebabnya adalah kegagalan toko buku dan media cetak
dalam beradaptasi secara cepat. Perubahan teknologi telah mendisrupsi hampir semua aspek kehidupan
kita, termasuk cara kita membaca dan mengakses informasi. Namun, banyak toko buku yang terjebak
dalam model bisnis tradisional yang kurang responsif terhadap perubahan tersebut. Mereka gagal
mengadopsi teknologi dan strategi pemasaran baru yang dapat menghadapi persaingan di pasar digital.
Dalam menganalisis masalah utama yang dihadapi oleh toko-toko buku di Indonesia, terdapat beberapa
faktor yang perlu diperhatikan. Pertama, adalah kurangnya adaptasi dan inovasi dalam menghadapi
perubahan zaman yang cepat. Banyak toko buku masih mengandalkan model bisnis tradisional yang
kurang mampu bersaing dengan kemajuan teknologi dan tren digital. Hal ini menyebabkan mereka sulit
menarik minat generasi muda yang lebih cenderung memanfaatkan platform online untuk mencari dan
membeli buku.
Kedua, terdapat ketidakseimbangan antara biaya produksi dan pendapatan yang dihasilkan oleh toko
buku. Biaya operasional yang tinggi, termasuk biaya sewa lokasi yang mahal dan persediaan buku yang
tidak terjual, menjadi beban yang berat bagi toko buku. Sementara itu, pendapatan dari penjualan fisik
buku cenderung menurun seiring dengan pergeseran preferensi pembaca ke format digital. Hal ini
mengakibatkan margin keuntungan yang sempit atau bahkan kerugian, menyebabkan banyak toko buku
sulit untuk bertahan dalam persaingan bisnis yang semakin ketat.
Ketiga, perubahan perilaku konsumen juga menjadi faktor penting yang memengaruhi kelangsungan
toko buku. Banyak pembaca yang beralih ke platform digital atau e-book karena kemudahan akses,
harga yang lebih terjangkau, dan fleksibilitas dalam membawa koleksi buku. Hal ini menimbulkan
tantangan bagi toko buku fisik untuk mempertahankan pangsa pasar dan menarik minat pembaca yang
lebih memilih kemudahan dan kenyamanan berbelanja secara online. Selain itu, kurangnya sinergi
antara toko buku dan penerbit juga menjadi masalah yang perlu diperhatikan. Terdapat kesenjangan
dalam pengadaan dan distribusi buku, di mana beberapa buku terbitan lokal kurang mendapatkan
eksposur yang cukup di toko buku. Selain itu, kurangnya promosi dan pemasaran yang efektif juga dapat
menghambat penjualan buku-buku tersebut. Oleh karena itu, penting untuk membangun hubungan
yang kuat antara toko buku dan penerbit, serta menjalin kerjasama dalam mempromosikan dan
mendistribusikan buku-buku lokal.
Namun, bukan berarti tidak ada harapan bagi industri perbukuan di Indonesia. Untuk bertahan dan
berkembang, model bisnis inovatif perlu diadopsi oleh toko-toko buku. Salah satu solusi yang dapat
diusulkan adalah dengan mendorong kampus-kampus untuk mendirikan lini penerbitan buku dan toko
buku fisik sebagai basis display buku terbitan mereka.
Dalam lingkungan kampus, buku masih memiliki peran penting dalam proses pembelajaran. Dengan
mendirikan lini penerbitan buku, kampus dapat merilis buku-buku akademik dan ilmiah yang relevan
dengan perkembangan pengetahuan di bidangnya. Kemudian, dengan mendirikan toko buku fisik yang
menampilkan karya-karya tersebut, kampus dapat menghadirkan tempat yang nyaman dan menarik
bagi mahasiswa dan masyarakat umum untuk mengakses buku-buku tersebut.
Selain itu, toko-toko buku juga perlu meningkatkan pengalaman belanja buku bagi pelanggan.
Menghadirkan ruang baca yang nyaman, menyelenggarakan acara bincang-bincang dengan penulis, atau
memberikan diskon dan penawaran menarik adalah beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk
menarik minat pembaca. Tidak hanya itu, kolaborasi antara toko buku dan penerbit juga dapat menjadi
solusi yang efektif. Dalam hal ini, toko buku dapat bekerja sama dengan penerbit untuk mengadakan
acara promosi buku, seperti peluncuran buku atau sesi tanda tangan penulis. Hal ini tidak hanya akan
meningkatkan minat pembaca, tetapi juga memberikan dukungan kepada penulis lokal dan penerbit
dalam memasarkan karya-karya mereka.
Dalam menghadapi era digital, toko-toko buku juga dapat memanfaatkan platform online untuk
memperluas jangkauan pasar. Dengan memiliki toko buku online yang terintegrasi dengan toko fisik,
pelanggan dapat dengan mudah membeli buku secara daring dan memilikinya dikirimkan ke rumah.
Selain itu, platform online juga dapat digunakan untuk memperkenalkan buku-buku baru, memberikan
ulasan, dan menjalin interaksi dengan komunitas pembaca melalui forum diskusi atau blog.
Tidak kalah pentingnya adalah meningkatkan kerjasama antara toko buku dan lembaga pendidikan.
Melalui program kerjasama dengan sekolah, universitas, dan lembaga pendidikan lainnya, toko buku
dapat menjadi mitra dalam menyediakan buku teks, buku referensi, dan bahan bacaan lainnya untuk
keperluan akademik. Dengan adanya kemitraan ini, toko buku dapat menjadi sumber yang dapat
diandalkan bagi lembaga pendidikan dan sekaligus meningkatkan penjualan buku.
Dalam upaya meningkatkan daya saing toko-toko buku di era digital, perlu dilakukan langkah-langkah
tambahan yang lebih inovatif. Salah satunya adalah dengan menggagas program keanggotaan atau
keanggotaan premium yang menawarkan berbagai keuntungan eksklusif kepada pelanggan. Misalnya,
memberikan diskon khusus, akses terlebih dahulu untuk buku-buku terbaru, atau undangan ke acara-
acara khusus. Dengan demikian, toko buku dapat membangun hubungan yang lebih erat dengan
pelanggan dan meningkatkan loyalitas mereka.
Selain itu, memperluas jangkauan bisnis melalui kerja sama dengan platform e-commerce juga
merupakan langkah yang berpotensi sukses. Dengan bergabung dengan platform e-commerce yang
populer, toko buku dapat menjangkau lebih banyak pelanggan potensial secara nasional maupun
internasional. Dalam hal ini, toko buku dapat memanfaatkan keunggulan platform e-commerce, seperti
infrastruktur logistik yang kuat, keamanan pembayaran online, dan eksposur yang lebih luas.
Tidak hanya itu, penting bagi toko-toko buku untuk terus mengikuti tren dan mengantisipasi perubahan
di pasar. Misalnya, dengan meningkatkan penawaran buku-buku digital atau e-book, toko buku dapat
menyesuaikan diri dengan preferensi pembaca yang semakin cenderung menggunakan perangkat
elektronik. Selain itu, menghadirkan platform pembaca digital yang interaktif, seperti aplikasi baca buku
dengan fitur-fitur menarik, juga dapat menjadi daya tarik bagi pembaca modern.
Di samping itu, pengembangan komunitas pembaca yang aktif juga dapat menjadi strategi yang efektif
untuk meningkatkan kehadiran toko buku. Melalui acara-acara buku, klub baca, atau forum diskusi
online, toko buku dapat membangun komunitas yang berbagi minat dan saling mendukung. Komunitas
pembaca yang kuat tidak hanya akan meningkatkan loyalitas pelanggan, tetapi juga menciptakan buzz
positif dan merekomendasikan toko buku kepada orang lain.
Terakhir, penting untuk mengenali bahwa toko buku masih memiliki nilai tambah yang tidak dapat
ditemukan dalam platform digital. Pengalaman berbelanja yang nyata, kesempatan untuk melihat
langsung dan menyentuh buku-buku yang ingin dibeli, serta konsultasi langsung dengan staf penjualan
yang berpengetahuan luas tetap menjadi daya tarik yang unik dari toko buku fisik. Oleh karena itu, toko
buku perlu memanfaatkan keunggulan ini untuk menarik pelanggan dan menciptakan pengalaman
berbelanja yang menyenangkan dan berkesan.
Sebagai langkah terakhir, pemerintah juga memiliki peran penting dalam menciptakan lingkungan yang
kondusif bagi toko buku. Dukungan kebijakan, seperti pengurangan pajak dan regulasi yang
memfasilitasi perkembangan industri perbukuan, dapat mendorong pertumbuhan toko-toko buku di
Indonesia. Selain itu, penyelenggaraan acara dan festival buku yang diselenggarakan secara berkala juga
dapat meningkatkan minat masyarakat terhadap membaca dan membeli buku.
Contoh toko buku di luar negeri yang menghadapi kesulitan dalam menghadapi perubahan zaman digital
adalah Borders. Borders merupakan salah satu jaringan toko buku terbesar di Amerika Serikat. Namun,
pada tahun 2011, Borders mengumumkan kebangkrutan dan penutupan seluruh toko bukunya. Ada
beberapa faktor yang berkontribusi terhadap kegagalan mereka.
Salah satu faktor utama adalah kurangnya adaptasi terhadap tren digital. Borders gagal untuk secara
efektif menghadapi pergeseran perilaku konsumen yang lebih memilih untuk berbelanja secara online.
Mereka tidak berhasil mengembangkan platform e-commerce yang kuat untuk bersaing dengan toko
buku online seperti Amazon. Kurangnya investasi dalam teknologi dan pengalaman berbelanja online
yang kurang memadai menyebabkan Borders tertinggal dalam persaingan digital.
Selain itu, Borders juga menghadapi tantangan dalam mengelola inventaris dan penyediaan produk.
Mereka memiliki kebijakan persediaan yang tidak efisien dan stok yang terlalu banyak, terutama dalam
hal media fisik seperti CD dan DVD. Dalam era digital di mana penggunaan media fisik semakin menurun,
keputusan ini berdampak negatif pada keuangan toko buku.
Di sisi lain, ada toko buku Barnes & Noble yang mampu bertahan dan beradaptasi dengan baik dalam
menghadapi era digital. Barnes & Noble berhasil bertransformasi dengan meluncurkan platform e-
reader Nook dan memperluas penjualan buku digital. Mereka juga meluncurkan program keanggotaan
dan mengadakan acara dan kegiatan komunitas untuk meningkatkan keterlibatan pembaca.
Barnes & Noble juga mengubah tata letak toko mereka dengan menambahkan kafe dan ruang bersantai,
menciptakan pengalaman berbelanja yang lebih menyenangkan dan mengundang pelanggan untuk
tinggal lebih lama. Dengan strategi ini, mereka berhasil menciptakan nilai tambah dan membedakan diri
dari pesaing.
Analisis dari kegagalan Borders dan keberhasilan Barnes & Noble menunjukkan bahwa adaptasi dan
inovasi dalam menghadapi perubahan zaman adalah faktor kunci. Borders gagal beradaptasi dengan
cepat terhadap tren digital dan tidak berhasil mengembangkan platform online yang kuat, sementara
Barnes & Noble mampu mengubah bisnis mereka dengan meluncurkan produk digital dan menciptakan
pengalaman berbelanja yang menarik.
Keberhasilan Barnes & Noble juga menunjukkan pentingnya pengembangan strategi yang komprehensif,
termasuk diversifikasi produk, peningkatan keterlibatan pelanggan, dan transformasi tata letak toko.
Dengan menggabungkan aspek fisik dan digital, mereka berhasil menciptakan nilai tambah bagi
pelanggan dan tetap relevan dalam era digital.
Analisis ini menunjukkan bahwa toko buku yang berhasil dalam menghadapi perubahan zaman digital
adalah mereka yang mampu beradaptasi dengan cepat, mengembangkan strategi inovatif, dan
memberikan pengalaman berbelanja yang unik. Dalam menghadapi persaingan digital, toko buku perlu
memanfaatkan teknologi, memahami perubahan perilaku

Dalam upaya mencari solusi yang inovatif dan berkelanjutan, kolaborasi antara toko-toko buku,
penerbit, pemerintah, dan lembaga pendidikan juga sangat penting. Dengan bekerja sama, mereka
dapat saling mendukung dalam menghadapi tantangan di era digital dan menciptakan ekosistem yang
mendukung pertumbuhan toko buku di Indonesia.
Senjakala toko buku di Indonesia adalah sebuah permasalahan serius yang perlu mendapatkan
perhatian. Namun, dengan adopsi model bisnis inovatif, kolaborasi yang kuat dengan penerbit,
penggunaan teknologi digital secara bijak, dan dukungan dari berbagai pihak terkait, toko-toko buku
masih memiliki peluang untuk bertahan dan berkembang. Semua pihak, termasuk pemerintah, lembaga
pendidikan, penerbit, dan masyarakat secara keseluruhan, perlu bekerja sama untuk menciptakan
ekosistem yang mendukung keberlangsungan toko-toko buku di era digital ini.

Industri buku perlu beradaptasi dengan tuntutan era digital saat ini agar terus bertahan.

Apakah Kerja Atas Nama Cinta Membuat Perempuan Merdeka?


Penulis: Ratri Ninditya - Kamis, 26 Agustus 2021 11:20 WIB

Dibaca Normal 2 menit

Peneliti kebijakan di Koalisi Seni.

tirto.id - Saya memutuskan berhenti bekerja di industri periklanan setelah Mita Diran, copywriter biro
iklan multinasional Jakarta, meninggal setelah kerja lembur 30 jam Di industri ini, dua dari tiga
korban karoshi—kematian akibat jam kerja berlebih—yang diberitakan media adalah perempuan. Di titik
itu, saya sadar sektor yang digadang-gadang sebagai industri masa depan dengan peran besar
membangun perekonomian dan menyediakan lapangan kerja itu hanya moda eksploitasi usang dengan
topeng baru.

Enam tahun kemudian, ketika mulai fokus pada kesenian, saya menemui bentuk eksploitasi lain.
Eksploitasi ini lebih samar dan sering tak teridentifikasi, namun konsekuensinya nyata dan terakumulasi
dalam jangka panjang.

Perempuan pekerja seni, baik cis maupun trans, rentan mengalami ketimpangan berlapis berbasis
gender dan kelas. Kajian UNESCO pada 2018 menyoroti sebagian besar pendanaan seni bukan dari
pemerintah, patron, atau swasta, melainkan dari seniman tanpa upah atau berupah rendah. Studi yang
sama juga mengutip 28% perempuan seniman bekerja paruh waktu, namun hanya 18% laki-laki memilih
sistem kerja serupa.

Dampaknya di lingkungan seni tercermin dari tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan, baik yang
dilaporkan maupun tidak. Sempitnya ruang aman dan keterbatasan akses perempuan pada remunerasi,
jalur distribusi, dan dukungan atas kerja seninya mengakibatkan banyak perempuan tak dapat bertahan
lama di bidang seni jika tidak memiliki sistem pendukung pribadi memadai. Walhasil, apresiasi bagi
perempuan yang memajukan seni amat minim.

Pelanggengan eksploitasi pekerja seni terjadi karena tiadanya ruang lingkup khusus dalam kebijakan
Indonesia mengenai mereka dan haknya. Undang-Undang (UU) Pemajuan Kebudayaan mengidentifikasi
seniman sebagai “Sumber Daya Manusia Kebudayaan” namun belum spesifik mengatur perlindungan
kerjanya. UU Ekonomi Kreatif pun demikian. UU tersebut hanya mengidentifikasi “Pelaku Ekonomi
Kreatif” yang terdiri dari “pelaku kreasi” dan “pengolah kekayaan intelektual”. Jika pekerja seni ingin
dilindungi, ia harus menjelma pihak lain dengan definisi dalam peraturan terkait, yang mungkin tak
sepenuhnya mengakomodasi kekhasan bentuk dan cara kerjanya. Dalam hubungan kerja formal, pekerja
seni dilindungi peraturan ketenagakerjaan yang bersifat umum. Sementara itu, kerja seni informal kerap
luput dari perlindungan UU Ketenakerjaan yang kaku serta menurut Hafidz Arfadi mengandung bias
formal dan manufaktur (PDF).

Romantisasi terhadap seni juga jadi hambatan utama perbaikan kondisi kerja, karena mengaburkan
definisi hubungan dan pembagian kerja. Hito Steyerl dengan tajam menulis keinginan untuk terbebas
dari alienasi sebagai pekerja, seperti pembagian kerja konvensional, jadi landasan penolakan atas
aktivitas seni sebagai bentuk kerja. Tapi, ini dilakukan dalam bentuk menindas diri sendiri.

Menurut saya, penindasan ini terjadi melalui ilusi kepuasan kerja "atas nama cinta”. Ungkapan
“mengerjakan hal yang dicintai berarti tidak perlu merasa bekerja seumur hidup” bukan motivasi, tapi
ironi. Tidak merasa bekerja artinya mewajarkan kerja seni sebagai yang tak pantas diupah, sekaligus
pekerja seni sebagai subjek terpinggirkan dalam mekanisme perlindungan risiko kerja.

Di Indonesia, pekerja kreatif menjadi satu-satunya persinggungan di mana seniman dapat dikategorikan
sebagai pekerja. Padahal, seniman dapat terikat dalam hubungan kerja meskipun moda kerjanya sulit
dipandang dalam kerangka “industri” konvensional manufaktur atau jasa, seperti seniman di kolektif tak
berbadan hukum atau lembaga nirlaba. Pekerja seni pun bisa keluar-masuk ruang lingkup industri kreatif
yang definisinya juga masih kabur. Kerentanan pekerja kreatif dialami pekerja seni pula, dengan
tambahan justifikasi bahwa kerja seni merupakan “kerja baik” karena berkontribusi penting untuk
masyarakat.

Selain panjangnya waktu kerja, bentuk eksploitasi pekerja seni adalah tingginya intensitas kerja, di mana
kerja emosional menjadi salah satu indikator pentingnya. Berkarya atas nama cinta dilakukan melalui
pengelolaan emosi yang kompleks, dan cenderung dibebankan pada perempuan.

Istilah kerja emosional menurut Arlie Hochschild adalah pengelolaan perasaan untuk menciptakan


mimik wajah dan gerakan tubuh tertentu ke publik. Perempuan dibebani kerja emosional karena selalu
dipandang lebih perhatian, lembut, dan mudah diajak bekerja sama. Hal ini tidak selalu dikenali sebagai
bentuk kerja, karena ada anggapan bahwa sifat-sifat seperti itu adalah natural bagi perempuan. Dalam
budaya patriarkis-kapitalis kita kini, kerja emosional dipinggirkan sebagai wilayah kerja yang minim
penghargaan dan perlindungan, bersama dengan kerja reproduksi, domestik, dan care work.

Dalam prosesnya, kerja emosional dapat memicu peleburan emosi pribadi dengan emosi saat bekerja. Ia
bisa menyebabkan memburuknya kesehatan fisik dan mental, maupun pengabaian diri dan burnout.
Implikasi kerja emosional yang paling nyata, misalnya, berupa keletihan mental dan depresi yang dialami
tenaga kesehatan Indonesia semasa pandemi.

Di ranah seni, disengaja maupun tidak, perempuan menempati posisi yang lebih membutuhkan kerja
emosional. Misalnya, staf komunikasi dan jejaring, penjaga galeri, asisten pribadi, pengajar,
manajer, liaison officer, serta posisi lain yang perlu interaksi intensif dengan orang lain.

Bagaimana kita dapat menuntut perlindungan atas risiko kerja emosional perempuan di ranah seni,
ketika definisi kerja seni luput dari kebijakan publik? Kita bisa mulai dengan mendorong pengakuan hak
pekerja seni dalam peraturan turunan UU Pemajuan Kebudayaan dan regulasi ketenagakerjaan.
Kesadaran hak-hak ekonomi dan sosial seniman, termasuk risiko kerja emosional, perlu ditingkatkan di
kalangan industri, komunitas, hingga aktivis HAM. Inisiatif-inisiatif seniman feminis akar rumput perlu
berkoalisi dan beraliansi dengan gerakan perempuan sektor lainnya untuk menciptakan jaring
pengaman yang solid. Mengutip dan memodifikasi Steyerl, seni tidaklah di luar politik gender. Politik
gender justru terkandung dalam seluruh proses berkesenian.

Kerja emosional mungkin tidak terhindarkan, tapi dapat diminimalisasi beban dan efeknya selama ia
diakui dan dilindungi dalam kebijakan di berbagai ruang lingkup. Mari menuntut kerja atas nama cinta
juga dilindungi dengan sistem pendukung yang konkrit, agar cita-cita kemerdekaan berpihak pula pada
pekerja seni perempuan.

Anda mungkin juga menyukai