Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas kelompok mata kuliah Ekonomi Industri
Dosen Pengampu :
Disusun Oleh :
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat
dan karunia-Nya kepada Tim Penulis. Sehingga dapat menyelesaikan makalah
yang bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas kelompok mata Kuliah
Ekonomi.dengan judul “Monopolistik”
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan menambah ilmu
pengetahuan tentang ekonomi terutama didalam materi monopolistik. Kritik dan
saran sangat kami harapkan kepada pembaca dalam pengembangan makalah
kedepannya.
i
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................... i
KATA PENGANTAR......................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................... 1
A. Latar Belakang.............................................................................. 1
B. Rumusan Masalah........................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN..................................................................... 2
KESIMPULAN................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................... 13
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pasar Monopolistik adalah salah satu pasar yang dimana terdapat banyak
produsen yang memproduksi atau menghasilkan barang serupa tetapi mempunyai
perbedaan dalam beberapa aspek. Penjual di pasar monopolistik tidak terbatas,
tapi setiap produk yang dihasilkan pasti mempunyai karakter tersendiri yang
membedakannya dengan produk-produk lainnya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut dapat dirumuskan beberapa masalah seperti
berikut :
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pasar Monopolistik
2
B. Asumsi Pasar Monopolistik
3
Andi Fahmi Lubis, dkk, 2009, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks, Jakarta,ROV
Creative Media, hlm. 88.
3
4. Produsen dapat keluar masuk pasar. Hal ini dipengaruhi oleh laba ekonomis,
saat produsenhanya sedikit di pasar maka laba ekonomisnya cukup tinggi.
Ketika produsen semakinbanyak dan laba ekonomis semakin kecil, maka
pasar menjadi tidak menarik dan produsendapat meninggalkan pasar.
5. Promosi penjualan harus aktif . Pada pasar ini harga bukan merupakan
pendongkrak jumlahkonsumen, melainkan kemampuan perusahaan
menciptakan citra baik dimata konsumen,sehingga dapat menimbulkan
fanatisme terhadap produk. Karenanya, iklan dan promosimemiliki peran
penting dalam merebut dan mempertahankan konsumen.Kedudukan
persaingan monopolistik akan membuka peluang pasar yang terbatas
lingkupkonsumennya, sehingga pencapaian laba tak sebesar seperti kedudukan
yang mungkin bisadicapai pada pasar persaingan bebas sempuma. Dalam
pasar persaingan monopolistik masih
4
Kempat bentuk pasar itu adalah:4
Al-Qur’an dan Al-Hadits adalah sumber pokok bagi umat Islam, karena
alQur’an dan Al-Hadits merupakan kalam ilahi yang bersifat abadi yang
diwahyukankepada Rasulullah Saw.27 Al-Qur’an dan Al-Hadits merupakan
sumber utama dalam ilmu pengetahuan sekaligus sumber hukum yang memberi
inspirasi tentang seperangkat pengaturan segala aspek kehidupan termasuk dalam
hal muamalah. Seperti yang diterangkan dalam potongan ayat dan hadits dibawah
ini:Firman Allah dalam surat An-Nisaa’ ayat 29 :
4
3 Suharso dan Ana Retnoningsih, 2012, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Widya karya,
Semarang, hlm. 180.
5
اط ِل آِاَّل اَ ْن تَ ُك ْو َن تِ َج َار ًة َع ْن
ِ ٰيٓاَُّيها الَّ ِذين ٰام ُنوا اَل تَْأ ُكلُ ْٓوا اَموالَ ُكم بينَ ُكم بِالْب
َ ْ َْ ْ َ ْ ْ َ َْ َ
س ُك ْم ۗ اِ َّن ال ٰلّهَ َكا َن بِ ُك ْم َر ِح ْي ًما ٍ َت َر
َ اض ِّم ْن ُك ْم ۗ َواَل َت ْق ُتلُ ْٓو ا اَْن ُف
Terjemahnya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh
dirimu, Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”5
5
Al-Qur’an Al-Karim.
6
Sholikul Hadi, Strategi Penetapan Harga Komoditas Dalam Perspektif Ekonomi Syariah, (Jurnal
Ekonomi, Keuangan & Bisnis Syariah:2019)
6
1) Standard Markup Pricing Dalam metode ini, harga ditentukan dengan jalan
menambahkan persentase tertentu dari biaya pada semua item dalam suatu
kelas produk. Misalnya, pakaian dikenai tambahan 15%, sepatu 20%,
arloji 25%, hem 15%, dan lain-lain. Metode ini banyak diterapkan di
supermarket dan toko-toko eceran lainnya yang menawarkan banyak lini
produk. Persentase mark up bervariasi besarnya, tergantung pada jenis
usaha serta produk yang dijual. Biasanya produk-produk yang tingkat
perputarannya lebih tinggi dikenakan markup yang lebih kecil daripada
produk-produk yang tingkat perputarannya rendah.
2) Cost Plus Percentage of Cost Pricing Metode ini seringkali digunakan
untuk menentukan harga suatu item. Misalnya suatu perusahaan arsitektur
menetapkan tarif sebesar 15% dari biaya kontruksi sebuah rumah. Jadi,
bila biaya kontruksi sebuah rumah sebesar Rp100 juta dan fee arsitek
sebesar 15% dari biaya kontruksi (Rp 15 juta), maka harga akhirnya
sebesar RP 115 juta.
3) Cost Plus Fixed Fee Pricing Metode ini banyak diterapkan dalam produk-
produk yang sifatnya sangat teknikal, seperti mobil, pesawat, atau satelit.
Dalam strategi ini produsen akan mendapatkan ganti atas semua biaya
yang dikeluarkan, seberapapun besarnya, tetapi produsen hanya akan
memperoleh fee sebagai laba yang besarnya tergantung kesepakatan
bersama. Misalnya Singapura menyepakati untuk membayar PT Satelit
kita seharga Rp 2 triliyun sebagai biaya peluncuran satelit SS1 dan fee
sebesar RP 200 milyar. Bila kemudian ternyata biaya peluncuran
membengkak hingga mencapai Rp 3 triliyun, maka fee yang diterima PT
Satelit kita tetap sebesar Rp 200 milyar.
4) Exsperience Curve Pricing Metode ini dikembangkan atas dasar konsep
efek belajar yang menyatakan bahwa unit cost barang dan jasa akan
menurun antara 10-30% untuk setiap peningkatan sebesar dua kali lipat
pada pengalaman perusahaan dalam memproduksi dan menjual barang
atau jasa tersebut. Pengalaman perusahaan tersebut dinyatakan dalam
volume produksi dan penjualan. Misalnya, perusahaan meramalkan
7
biayanya akan menurun sebesar 15% setiap kali terjadi peningkatan
volume produksi sebesar dua kali lipat. Dengan demikian biaya produksi
dan penjualan unit ke 100 akan sebesar 85% dari biaya pada unit ke 50,
dan seterusnya. Strategi ini banyak diterapkan dalam perusahaan-
perusahaan elektronik.
b. Metode Penetapan Harga Berbasis Laba
1) Target Profit Pricing Metode ini umumnya berupa ketetapan atas besarnya
target laba tahunan yang dinyatakan secara spesifik.
Metode ini dapat dinyatakan dengan rumus :
Laba : Pendapatan total – Biaya total Laba : (Harga x kuantitas) – (Biaya
tetap + (Biaya variable x Kuantitas))
2) Target Return On Sales Pricing Pada metode ini, perusahaan menetapkan
tingkat harga tertentu yang dapat menghasilkan laba dalam persentase
tertentu terhadap volume penjualan. Biasanya metode ini banyak
digunakan oleh jaringanjaringan supermarket.
3) Target Return On Investment Pricing Dalam metode ini perusahaan
menetapkan besarnya suatu target ROI tahunan, yaitu rasio antara laba
dengan investasi total yang ditanamkan perusahaan pada fasilitas produksi
dan asset yang mendukung produk tertentu. Kemudian harga ditentukan
agar dapat mencapai target ROI tersebut.
Metode ini dapat dinyatakan dengan rumus :
Harga sasaran:
Biaya + Pengembalian yang diinginkan x modal yang diinvestasikan
Jumlah penjualan yang diharapkan
c. Metode Penetapan Harga Berbasis Persaingan
Selain berdasarkan kepada pertimbangan biaya, permintaan, atau laba, harga
juga dapat diterapkan atas dasar persaingan, yaitu apa yang dilakukan pesaing.
8
1) Customary Pricing Metode ini digunakan pada produk yang penetapan
harganya dilakukan dengan berpegang teguh pada tingkat harga tradisional.
Perusahaan berusaha untuk tidak mengubah harga diluar batas yang
diterima. Dengan begitu, perusahaan menyesuaikan ukuran dan isi produk
guna mempertahankan harga. Contoh produk yang harganya biasa
ditetapkan dengan metode ini antara lain beras, gula, dan makanan ringan.
2) Above, At, or Below Market Pricing Pada umumnya sangat sulit untuk
mengidentifikasi harga pasar spesifik untuk suatu produk atau kelas produk
tertentu. Oleh karena itu, seringkali ada perusahaan yang menggunakan
pendekatan subyektif dalam memperkirakan harga pesaing atau harga
pasar. Berdasarkan patokan subyektif tersebut, kemudian perusahaan secara
cermat memilih strategi penetapan harga yang berada diatas, sama, atau di
bawah harga pasar tersebut. Above – market pricing dilaksanakan dengan
jalan menetapkan harga yang lebih tinggi daripada harga pasar. Metode ini
hanya sesuai digunakan oleh perusahaan yang sudah memiliki reputasi atau
perusahaan yang menghasilkan barang-barang prestise. Ini dikarenakan
konsumen kurang memperhatikan aspek harga dalam pembeliannya, tetapi
mereka lebih mengutamakan kualitas atau faktor prestise yang terkandung
dalam produk yang dibeli.
3) Loss Leader Pricing Terkadang ada perusahaan yang menjual produk
dengan harga dibawah biayanya. Tujuannya bukan untuk meningkatkan
penjualan produk yang bersangkutan, tetapi untuk menarik konsumen
supaya datang ke toko dan membeli produk lainnya, khususnya produk
yang bermarkup cukup tinggi. Jadi suatu produk dijadikan semacam
pancingan agar produk lainnya juga laku. Produk pancingan tersebut
biasanya dijual dengan dasar persediaan terbatas. Strategi ini banyak
diterapkan di supermarket dan department store.
4) Sealed Bid Pricing Metode ini menggunakan system penawaran harga dan
biasanya melibatkan agen pembelian. Jadi, bila ada perusahaan atau
lembaga yang ingin membeli suatu produk, maka yang bersangkutan
menggunakan jasa agen pembelian untuk menyampaikan spesifikasi produk
9
yang dibutuhkan kepada para calon produsen. Setiap calon produsen
diminta untuk menyampaikan harga penawarannya untuk kuantitas yang
dibutuhkan. Harga penawaran tersebut harus diajukan dalam jangka waktu
tertentu, kemudian diadakan semacam lelang untuk menentukan penawaran
terendah yang memenuhi syarat untuk melaksanakan kontrak pembelian.
D. Diferensiasi Produk
a. Hotelling Model
Pada tahun 1929, Hotelling (1929) mengusulkan sebuah model untuk
menggambarkan kasus pasar duopoli yang terjadi pada masa itu. Dalam pasar
duopoli ini, terdapat dua buah perusahaan yang bersaing ketat dengan
produk/jasa yang sama. Pelanggan diasumsikan tersebar pada sebuah garis
lurus (linear city model). Tingkat kepuasan pelanggan (utility function) atau
daya beli pelanggan dirumuskan sebagai harga jual ditambah dengan effort
untuk mencapai toko dari perusahaan tersebut.
7
Jeff Madura, Pengantar Bisnis, Salemba Empat, Jakarta, 2001, hlm. 99.
8
Joefer Pramata Sahetapy, Diferensiasi Produk, Strategi Merek, Pengaruhnya Terhadap Keputusan
Pembelian Meubel UD. Sinar Sakti Manado, Jurnal Emba, Vol. 1, No. 3, 2013, hlm. 412.
10
Pelanggan diasumsikan tidak memiliki preferensi khusus terhadap kedua
perusahaan tersebut. Sebagai ilustrasi, Hotelling (1929) menggambarkan
kasus tersebut seperti dalam Gambar 1.
Pada model mereka, Hotelling (1929) merumuskan profit (Π) dari kedua
perusahaan dalam persamaan (1) dan (2):
1) A = PA (a + x)
2) B = PB (b + y )
Keterangan:
i : Profit dari perusahaan i di mana i = A, B,
Pi : Harga jual produk dari perusahaan i di mana i = A, B, a,b, x, y : Jumlah
total demand secara berturut-turut di area a,b, x, y .
Di mana, total permintaan adalah total panjang dari linear city yang
dirumuskan pada persamaan (3):
3) l = a + x + y + b
Pada posisi di tengah linear city (antara x dan y ), pelanggan akan bersifat
indifferent (tidak memiliki preferensi tertentu). Sehingga fungsi utilitas pada
pelanggan ini akan besifat seperti pada persamaan (4).
4) UA =UB PA + ct x = PB + cty
di mana A t B t ct adalah biaya transportasi dari pelanggan menuju toko.
Model Hotelling (1929) ini memunculkan banyak penelitian setelahnya.
Hingga penelitian terkini pun, banyak mengadopsi model Hotelling. Beberapa
penerapan model Hotelling terkini akan dibahas lebih lanjut pada subbagian
2.2.
11
KESIMPULAN
12
DAFTAR PUSTAKA
Arcelus, F.J., Kumar, S. & Srinivasan, G., 2005. Retailer's response to alternate
manufacturer's incentives under a singleperiod, price-dependent,
stochasticdemand framework. Decision Sciences, 36(4), pp.599-626.
Arcelus, F.J. & Srinivasan, G., 2003. Scanbacks and direct rebates: manufacturer's
tools against forward buying. International Transactions in Operational Research,
10(6), pp.619-35.
Chen, X., Li, C.-L., Rhee, B.-D. & Simchi-Levi, D., 2007. The impact of
manufacturer rebates on supply chain profits. Naval Research Logistics, 54(6),
pp.667-80.
Demirag, O.C., Baysar, O., Keskinocak, P. & Swann, J.L., 2010. The effects of
customer rebates and retailer incentives on a manufacturer's profits and sales.
Naval Research Logistics, 57(1), pp.88-108.
Fishelson, G., 1990. The Hotelling model under uncertainty: A note. Resources
and energy, 12(4), pp.353-59.
Suharso dan Retnoningsih, Ana. “Kamus Besar Bahasa Indonesia”, Widya karya:
Semarang, 2012
13
14