Anda di halaman 1dari 10

TUGAS TUTORIAL KE-3

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH


Nama Mata Kuliah : EKONOMI ISLAM
Kode Mata Kuliah : EKSA4405
Jumlah sks : 3SKS
Nama Pengembang : Djuraidj Rumiki, SE., M.Si
Nama Penelaah : M. Komarudin
Status Pengembangan : Baru/ Revisi
Tahun Pengembangan : 2021.2
Edisi Ke- : 1

No Tugas Tutorial Skor Maksimal Sumber Tugas Tutorial


1 Produsen dalam pandangan 30 Modul 7 KB 1
ekonomi Islam adalah
mashlahah maximizer. Uraikan
pendapat anda tentang hal
tersebut
2 Jelaskan perbedaan antara pajak 30 Modul 7 KB2
penjualan dan zakat perniagaan
3 Terdapat perbedaan konsep 40 Modul 8 KB1
dasar antara Perbankan
konvensional dengan Bank
Syariah, jelaskan pendapat anda
dan gunakan gambar.

* coret yang tidak sesuai


Jawaban
1. mendefinisikan kegiatan produksi sebagai penyediaan barang dan jasa dengan
memerhatikan nilai keadilan dan kebajikan/kemanfaatan (maslahah) bagi masyarakat.
Dalam pandangannya, sepanjang produsen telah bertindak adil dan membawa kebajikan
bagi masyarakat maka ia telah bertindak Islami.
Dari berbagai definisi di atas, maka bisa disimpulkan bahwa kepentingan manusia yang
sejalan dengan moral Islam, harus menjadi fokus atau target dari kegiatan produksi.
Produksi adalah proses mencari, mengalokasikan dan mengolah sumber daya menjadi
output dalam rangka meningkatkan kemanfaatkan atau maslahah bagi manusia. Oleh
karena itu, produksi juga mencakup aspek tujuan kegiatan menghasilkan output serta
karakter-karakter yang melekat pada proses dan hasilnya.

Tujuan seorang konsumen dalam mengkonsumsi barang dan jasa dalam perspektif
ekonomi islam adalah mencari maslahah maksimum dan produsen juga harus demikian.
Dengan kata lain tujuan kegiatan produksi adalah menyediakan barang dan jasa yang
memberikan maslahah maksimum bagi konsumen yang bisa diwujudkan dalam berbagai
bentuk diantaranya sebagai berikut :
1. Pemenuhan kebutuhan manusia pada tingkat moderat

Hal ini akan menimbulkan dua implikasi, yaitu pertama, produsen hanya menghasilkan
barang dan jasa yang menjadi kebutuhan meskipun belum tentu keinginan konsumen
karena keinginan manusia sifatnya tidak terbatas, sehingga sering kali mengakibatkan
ketidak jelasan antara keinginan dengan apa yang benar-benar menjadi kebutuhan
hidupnya. Kedua, kuantitas produk yang diproduksi tidak akan berlebihan, tetapi hanya
sebatas kebutuhan yang wajar.
2. Menemukan kebutuhan masyarakat dan pemenuhannya

Produsen harus mampu menjadi sosok yang kreatif, proaktif dan inovatif dalam
menemukan barang dan jasa apa yang jadi kebutuhan manusia dan kemudian memenuhi
kebutuhan tersebut. Sebab konsumen seringkali tidak mengetahui apa yang
dibutuhkannya dimasa depan, sehingga produsen harus mampu melakukan inovasi agar
konsumen mengerti bahwasannya hal tersebut telah menjadi kebutuhan dalam hidupnya.
3. Menyiapkan persedian jasa atau barang di masa depan

Produsen harus mampu melakukan pengembangan produk yang dapat memberikan


kemaslahatan bagi umat manusia dimasa depan. Menyadari bahwa sumber daya ekonomi
tidak hanya diperuntukkan untuk manusia yang hidup sekarang, tetapi juga untuk
generasi mendatang. Orientasi kedepan ini akan mendorong produsen untuk terus
menerus melakukan riset dan pengembangan yang bertujuan sebagai efisiensi dalam
pengelolaan sumber daya ekonomi serta mencari teknologi produksi yang ramah
lingkungan.
4.Pemenuhan sarana bagi kegiatan sosial dan ibadah kepada Allah
Tujuan yang terakhir, yaitu pemenuhan sarana bagi kegiatan sosial juga ibadah kepada
Allah dan inilah tujuan produksi yang tidak akan mungkin dapat dicapai dalam ekonomi
konvensional yang bebas nilai. Tujuan produksi adalah mendapatkan berkah yang secara
fisik belum tentu dirasakan oleh produsen itu sendiri. Tujuan ini akan membawa
implikasi yang luas, sebab produksi tidak akan selalu menghasilkan keuntungan material,
namun harus pula mampu memberikan keuntungan bagi orang lain dan agama.

Contohnya pabrik kertas, yang sering menimbulkan pencemaran di sekitar bangunan


pabriknya, kelompok yang menderita dari pencemaran itu adalah masyarakat sekitar
pabrik yang justru tidak mendapat manfaat langsung dari kegiatan pabrik tersebut. Dalam
pandangan ekonomi islam, motivasi produsen semestinya sejalan dengan tujuan produksi
dan tujuan kehidupan produsen itu sendiri. Jika tujuan produksi adalah menyediakan
kebutuhan material dan spiritual untuk menciptakan maslahah, maka motivasi produsen
tentu saja juga mencari maslahah. Dimana hal ini juga sejalan dengan tujuan kehidupan
seorang Muslim. Dengan demikian, produsen dalam pandangan ekonomi Islam adalah
maslahah maximizer. Mencari keuntungan melalui produksi dan kegiatan bisnis lain
memang tidak dilarang, sepanjang berada dalam bingkai tujuan dan hukum Islam
2.4 Formulasi Maslahah Produsen
Maslahah adalah kemanfaatan bagi kehidupan manusia untuk mencapai kehidupan yang
baik (hayyah thayyibah) dan kemuliaan (falah) dalam bingkai nilai-nilai keislaman.
Bagaimana konsep mashlahah dapat dipublikasikan dalam perilaku produsen?
bahwasanya mashlahah terdiri dari dua komponen, yaitu manfaat (fisik dan non fisik) dan
berkah. Dalam konteks produsen atau perusahaan yang menaruh perhatian pada
keuntungan/profit, maka manfaat ini dapat berupa keuntungan material (maal).
Keuntungan ini bisa dipergunakan untuk mashlahah lainnya seperti maslahah fisik,
intelektual, maupun sosial. Untuk itu rumusan mashlahah yang menjadi perhatian
prdusen adalah:
Maslahah = keuntungan + berkah
M=π+B
Di mana M menunjukkan mashlahah, π adalah keuntungan, dan B adalah berkah. Dalam
hal ini berkah didefinisikan di mana produsen akan menggunakan produksi yang sama
dengan yang dipakai oleh konsumen dalam mengidentifikasinya, yaitu adanya pahala
pada produk atau kegiatan yang bersangkutan. Adapun keuntungan merupakan selisih
antara pendapatan total/total revenue (TR) dengan biaya totalnya/total coast (TC), yaitu:
π = TR - TC
Pada dasarnya berkah akan diperoleh apabila produsen menerapkan prinsip dan nilai
Islam dalam kegiatan produksinya. Penerapan nilai dan prinsip Islam ini sering kali
menimbulkan biaya ekstra yang relatif besar dibandingkan jika mengabaikannya. Di sisi
lain, berkah yang diterima merupakan kompensasi yang tidak secara langsung diterima
produsen atau berkah revenue (BR) dikurangi dengan biaya untuk mendapatkan berkah
tersebut atau berkah cost (BC), yaitu:
B = BR – BC = -BC
Upaya produsen untuk memperoleh Maslahah yang maksimum dapat terwujud apabila
produsen mengaplikasikan nilai – nilai Islam. Dengan kata lain, seluruh kegiatan terikat
pada tatanan nilai moral dan teknikal yang islami, sebagaimana dalam kegiatan
konsumsi. Sejak dari kegiatan mengorganisasikan faktor produksi, proses produksi,
hingga pemasaran dan pelayanan kepada konsumen semuanya harus mengikuti moralitas
dan aturan teknis yang dibenarkan oleh Islam. Metwally (1992) mengatakan “perbedaan
dari perusahaan – perusahaan non islami tak hanya pada tujuannya, tetapi juga pada
kebijakan-kebijakan ekonomi dan strategi pasarnya.”

2. Zakat dibayarkan melalui amil zakat (lembaga penyalur dan pengelola zakat) maupun
dibayarkan langsung kepada 8 golongan orang yang berhak menerima zakat. Manfaat
zakat dapat dirasakan langsung maupun tidak langsung oleh masyarakat.

Sedangkan pajak negara merupakan kewajiban yang dibayarkan kepada kantor pelayanan
pajak dan lembaga-lembaga lain yang ditunjuk oleh Pemerintah sebagai tempat
pembayaran pajak. Manfaat pajak negara tidak bisa dirasakan langsung oleh masyarakat
suatu negara.

2. Waktu Pembayaran

Zakat fitrah dibayarkan hanya pada bulan Ramadhan, lalu zakat harta dibayarkan pada
saat telah mencapai nisab dan dimiliki selama setahun. Sedangkan waktu pembayaran
pajak negara adalah satu tahun pembukuan. Misalnya tenggang waktu pembayaran pajak
setiap akhir bulan Maret.

3. Alat Pembayaran

Terakhir, perbedaan yang ketiga adalah benda yang digunakan sebagai alat pembayaran.
Pajak negara umumnya dibayar menggunakan uang tunai. Sementara itu zakat fitrah
boleh dibayarkan dalam bentuk uang tunai maupun bahan makanan pokok seperti beras
dan gandum.

4. Perbedaan Pajak dan Zakat Berdasarkan Makna Kebahasaan

Dari sisi kebahasaan, pajak dan zakat memiliki makna yang berbeda. Dalam bahasa Arab,
pajak memiliki makna dharibah yang artinya tagihan yang membebani. Sementara, zakat
memiliki arti pembersihan, pertumbuhan, dan keberkahan.

Nabi Sallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: harta tidak akan berkurang dengan sedekah
(HR. Tarmidzi. Bab zuhud No. 2326)

Lalu, Allah berfirman dalam Al Quran surat At-Taubah ayat 103:


“ Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan
mensucikan mereka dan berdoalah untuk mereka.“

Merujuk pada Al Quran dan hadits, zakat bertujuan untuk membersihkan dan
menyucikan harta karena tidak semua bagian adalah milik kita. Ada hak orang lain di
dalam harta yang kita gunakan dan konsumsi. Jadi, jangan lupa sisihkan 2,5%, ya!

5. Sasaran Wajib Zakat dan Pajak

Mengutip dari buku Fiqh Zakat Kontemporer yang ditulis oleh para lulusan S2 Kairo, Al
Azhar memaparkan kalau zakat adalah kewajiban yang Allah turunkan untuk umat Islam,
maka dari bentuknya ibadah. Karena termasuk rukun Islam, maka zakat hanya
diwajibkan kepada orang Islam. Berbeda dengan pajak yang dibebankan untuk muslim
dan non muslim.
6. Ukuran dan Kadar yang Berbeda untuk Pajak dan Zakat

Ukuran dan kadar zakat ditentukan mutlak secara syariat. Tidak ada yang bisa mengubah
untuk berkurang atau bertambah. Sementara, besaran pajak diatur oleh pemerintah.

7. Masa Berlaku Zakat di Dunia

Zakat sebagai rukun islam akan selalu berlaku selama umat Islam ada di muka bumi,
seperti sholat selaku tiang agama. Berbeda dengan pajak yang masa berlakunya dapat
berubah.

8. Penyaluran

Perbedaan zakat dan pajak yang terakhir yaitu penyaluran setelah dana terkumpul. Untuk
zakat, Al Quran telah mengatur penyaluran kepada 8 golongan mustahik atau penerima
zakat. Zakat menyimpan pesan tersirat untuk kemanusiaan. Kalau pajak. penyaluran
digunakan untuk menutupi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

3.

1. Fungsi dan Kegiatan Bank

Dalam menjalankan kegiatannya, bank konvensional berfungsi menyediakan jasa


keuangan dan sebagai intermediasi. Sementara itu, untuk bank syariah, selain menjadi
intermediasi, jenis bank yang satu ini juga memiliki fungsi sebagai manajer investasi,
investor sosial, dan tentu saja penyedia layanan keuangan.

2. Prinsip Dasar
Pada kegiatan usaha, pastinya ada prinsip dasar yang menjadi pegangan dalam
menjalankan roda kegiatan. Begitu pula yang terjadi baik pada bank konvensional
maupun bank syariah.
Prinsip pertama menyangkut nilai. Bank konvensional berprinsip bebas nilai, sedangkan
bank syariah menjunjung prinsip syariah Islam yang menyatakan tidak ada pembebasan
nilai.
Prinsip kedua yaitu mengenai pandangan terhadap uang. Bank konvensional melihat uang
sebagai komoditas. Artinya, uang dipandang sebagai barang yang dapat diperjual-belikan.
Sementara itu, bank syariah memandang uang sebagai alat tukar. Jadi, dalam bank
syariah, uang tidak dapat diperjual-belikan, namun dapat ditukarkan kepada bentuk lain
sesuai kebutuhan.
Prinsip ketiga menyangkut tentang pertumbuhan dana yang disimpan nasabah di kedua
jenis bank tersebut. Di bank konvensional, uang akan bertumbuh dengan adanya
pemberian bunga yang didapat dari pengelolaan pihak bank. Namun, bank syariah
menolak sistem bunga tersebut, Untuk menumbuhkan uang nasabahnya, bank ini
menerapkan sistem bagi hasil.

4. Sumber Likuiditas Jangka Pendek

Kedua jenis bank ini sama-sama memperoleh likuiditasnya dari dua sumber, yakni pasar
uang dan bank sentral. Di Indonesia, yang dimaksud dengan bank sentral adalah Bank
Indonesia. Hal yang membedakan antara likuiditas bank konvensional dengan bank
syariah terletak di pasar uang. Likuiditas bank konvensional dari pasar uang bebas
didapatkan dari emiten mana saja. Sementara itu, bank syariah hanya mengambil sumber
dari pasar uang yang menerapkan prinsip-prinsip syariah.

4. Risiko Usaha
Mengenai risiko usaha, bank syariah menerapkan poin “ringan sama dijinjing, berat
sama dipikul” antara bank dan nasabah. Hal ini membuat semua hal yang terjadi
ditanggung secara bersama-sama, baik berupa keuntungan maupun kerugian.
Sementara itu pada bank konvensional biasa, pihak bank tidak berurusan dengan risiko
yang mungkin dihadapi nasabahnya. Pihak nasabah juga tidak perlu memikirkan risiko
yang mungkin terjadi kepada bank tempatnya melakukan transaksi keuangan ataupun
menyimpan dana.
5. Struktur Pengawas

Agar tidak melenceng dari tujuan dan fungsinya, setiap bank memiliki dewan pengawas
yang tersusun dalam struktur organisasi lembaga tersebut. Di bank konvensional, struktur
pengawas dijabat oleh dewan komisaris. Namun di bank syariah, Anda akan menemui
struktur pengawas yang lebih kompleks, mulai dari dewan komisaris, dewan pengawas
syariah, hingga dewan syariah nasional.

1. . Sistem Bagi Hasil

Pembeda paling jelas antara bank konvensional dengan bank syariah dapat dilihat dari
sistem pertumbuhan dana simpanannya. Sistem bagi hasil menjadi ciri khas paten yang
dimiliki oleh bank syariah. Ini berbeda dengan sistem bunga yang diberlakukan oleh
bank-bank konvensional.

Sistem bagi hasil terjadi ketika pemilik modal bekerja sama dengan pengusaha. Dari
kegiatan kerja sama tersebut, didapatkan untung yang nantinya kedua belak pihak akan
membagi dua keuntungan tersebut sesuai kesepakatan. Namun jika kegiatan usahanya
menimbulkan kerugian, pemilik modal dan pengusaha juga harus sama-sama
menanggungnya.

Kesepakatan rasio bagi hasil dari kedua pihak tidak akan pernah berubah sampai
kesepakatan baru yang dibuat dengan kesadaran bersama.

Banyak orang melihat sistem ini lebih mengakomodasi keadilan dan transparansi sebab
jika diterapkan sistem bunga, pengusaha dalam hal ini adalah pihak bank bebas dapat saja
menaikkan atau menurunkan angka persen bunga sesuai keadaan bunga patokan maupun
kondisi ekonomi.

2. Akad Transaksi

Yang dimaksud dengan akad dalam bank syariah adalah keputusan atau perjanjian yang
telah dijadikan komitmen berdasarkan nilai-nilai syariah. Secara fikih atau sumber
hukum Islam, akad dapat diartikan sebagai tekad dari pihak tertentu untuk menjalankan
ketentuan yang muncul, baik dari satu pihak maupun dari kedua pihak.

Dalam bank syariah, akad transaksi dapat dibagi menjadi dua kelompok, yakni akad
transaksi yang mencari keuntungan dengan akad transaksi yang tidak mencari
keuntungan. Akad-akad transaksi inilah yang menjadi produk pada bank syariah.

Akad transaksi atau yang mencari keuntungan terbagi menjadi dua produk, yakni
pembiayaan dan pendanaan. Sementara itu, akad transaksi yang tidak mencari
keuntungan terdiri atas tiga produk bank syariah, yaitu pendanaan, jasa pelayanan, dan
kegiatan sosial.

3. Pola Produk
Jika bank konvensional menamai tiap produknya sesuai dengan akivitasnya, bank syariah
menerapkan pola untuk membedakan antar kegiatan dari produk-produk yang
diterbitkannya. Pola pada produk bank syariah juga bergantung dari akad transaksinya.

Secara umum, ada enam kegiatan yang biasa dipakai dan diatur bank syariah dalam tiap
produk keuangannya. Berikut penjabaran tiap jenis polanya.

Pola Titipan
Pada pola ini dijunjung prinsip bahwa tiap barang ataupun aset nasabah adalah titipan
yang mesti dikembalikan kepada pihak yang bersangkutan sesuai kesepakatannya . Ada
dua dasar yang harus dipahami dalam pola titipan, yakni wadi'ah yad amanah dan
wadi’ah yad dhamanah.

Wadi’ah yad amanah menyatakan penerima titipan tidak bertanggung jawab atas
kehilangan atau pun kerusakan yang terjadi pada aset selama di luar kelalaian penerima
titipan. Contohnya jika ada kerusakan akibat bencana alam, maka pihak penerima titipan
berhak melepaskan tanggung jawabnya terhadap kondisi barang ataupun aset titipannya.
Contoh produknya serupa safe deposit box.

Sementara itu, wadi’ah yad dhamanah berarti penerima titipan dapat memanfaatkan
barang ata pun aset dari pemberi titipan sesuai izin yang telah diberikan. Namun harus
dipastikan, penerima dapat mengembalikan barang dan aset tersebut dalam kondisi utuh.
Produk dengan pola seperti ini bisa dijumpai dalam bentuk giro.
Pola Pinjaman
Pola pinjaman dalam bank syariah juga terbagi menjadi dua, yakni qardh dan qardhul
hasan. Keduanya sama-sama ditujukan untuk produk pinjaman syariah.

Qardh merupakan pola pinjaman kebaikan yang bersifat lunak atau tanpa imbalan saat
pengembaliannya. Melalui qardh, masyarakat cukup mengembalikan uang sesuai jumlah
pinjaman pokok tanpa harus memikirkan bunga atau pun biaya yang mesti diberikan
kepada pihak bank.

Pola yang satu lagi adalah qardhul hasan. Produk yang dihasilkan dari qardhul hasan
ditujukan untuk membantu usaha kecil maupun aktivitas sosial. Dalam pemberian
pinjaman, penerima bahkan tidak harus mengembalikan dana yang telah dipinjamnya
tersebut.
Pola Bagi Hasil
Ada tiga jenis pola bagi hasil yang biasa digunakan oleh bank-bank syariah. Pola
tersebut dibagi menjadi mudharabah, musyarakath, serta mutanaqisah.

Di pola mudharabah, laba dibagi menurut rasio yang telah ditetapkan kepada bank
yang memberi modal dan kepada nasabah yang memberikan keahlian. Pola ini pun
mengandung dua tipe, yaitu mutlaqah yang merupakan kondisi pengelola dana diberikan
keleluasaan, dan muqayyadah di mana nasabah dapat menentukan syarat dan batasan
penggunaan kepada pengelola.

Pola lain dari bagi hasil adalah musyarakah. Dalam penerapannya, bank dan nasabah
berperan sebagai mitra usaha yang memiliki kesepakatan rasio pembagian hasil dari tiap
keuntungan atau pun kerugian yang diperoleh dalam jangka waktu tertentu.

Sementara itu, pola bagi hasil mutanaqisah menunjukkan situasi kerja sama antara
bank dan nasabah. Pada kerja sama tersebut, salah satu pihak dapat membeli bagian yang
dimiliki pihak lain.

Pola Jual Beli


Dalam jual beli, ada tiga pola yang diusung oleh bank syariah. Pertama adalah pola
murabahah. Pola ini terjadi saat bank menyediakan barang atau pun aset yang diinginkan
konsumen dengan imbalan yang telah disepakati. Di sini bank berperan sebagai perantara
jual beli tersebut.

Kedua adalah pola salam. Pola ini layaknya pemesanan barang atau pun aset tertentu
dari nasabah kepada pihak bank. Dalam pemesanan tersebut, pembayaran dilakukan pada
awal transaksi, sedangkan barang baru akan diberikan di kemudian hari.

Ketiga adalah pola istishna. Pola ini hampir sama dengan salam. Hal yang
membedakannya ada di sistem pembayarannya. Dengan pola istishna, nasabah dapat
melakukan pembayaran di tengah atau pun akhir pemesanan.
Pola Sewa
Menyangkut kegiatan atau pun produk sewa, ada dua pola yang digunakan oleh bank
syariah. Pola pertama dikenal sebagai ijarah, sementara yang kedua disebut sebagai ijarah
wa iqtina.

Ijarah merupakan kegiatan penyewaan di mana bank dapat menyewakan barang


ataupun aset tertentu kepada nasabah dengan imbalan jasa sewa.

Sementara itu, ijarah wa iqtina lebih mengarah pada pola sewa-beli dengan perjanjian
untuk menjual atau pun menghibahkan barang atau pun aset tersebut pada akhir masa
sewa.

Pola Lainnya
Kegiatan bank yang beragam membuat bank syariah ikut menentukan berbagai pola
yang tidak termasuk dalam lima kegiatan di atas. Hingga kini, terdapat enam pola lain
yang aturannya telah dipakai oleh bank syariah.

Kelima pola tersebut antara lain adalah pola perwalian yang sering disebut sebagai
warkalah. Di sini, bank diberikan kuasa oleh nasabah untuk melakukan transaksi
keuangan yang mewakilinya, seperti pembayaran gaji maupun transfer. Penerima kuasa
akan menerima imbalan dari nasabah setelah transaksinya berhasil. Selain perwalian, ada
pola rahn yang menjadi produk pelimpahan kekuasaan dari nasabah, seperti dalam
produk gadai.

Ada pula pola tentang pengalihan tanggung jawab yang dikenal sebagai kafalah. Selain
itu, ada hiwalah yang menjadi pola dalam pengalihan utang maupun piutang. Selanjutnya
ada pola sharf. Pola ini dipakai dalam jual-beli valuta asing. Yang terakhir adalah pola
ujrah, di mana bank akan selalu mendapat imbalan dari transaksi yang dilakukannya.

Anda mungkin juga menyukai