Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

SELF-INJURY DAN BUNUH DIRI DALAM PENJARA


MATA KULIAH PSIKOLOGI FORENSIK

Dosen Pengampu:
Dr.phil. Dian Veronika Sakti Kaloeti, S.Psi., M.Psi.
Disusun oleh:
Kelompok 4

Nurlita Maulidia Azizah (15000119130291)


Aisyah Zahra Madani (15000119130178)
Syifa Aulia Ramadhina (15000119130218)
Tazkia Syifa Faradhilla (15000119140127)
Sheila Rizki Arbianti (15000119130150)
Alhimna Rusydana (15000119130206)
Debora Debby Hanggoro (15000119140104)
Muhammad Miftah Kamal (15000119140276)

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2022
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat dan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul Self-injury dan
Bunuh diri dalam Penjara ini tepat waktu.
Adanya penulisan makalah ini guna memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Forensik.
Serta, makalah ini bertujuan untuk memberikan wawasan kepada pembaca dan penyusun
mengenai materi self-injury dan bunuh diri dalam penjara.
Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada ibu Dr.phil. Dian Veronika Sakti
Kaloeti, S.Psi., M.Psi., selaku dosen mata kuliah Psikologi Forensik, yang telah memberikan
kesempatan dan arahan kepada kami dan mendapat tambahan wawasan dan pengetahuan
mengenai bidang forensik. Tidak lupa, kami juga mengucapkan terima kasih kepada anggota
kelompok ini, selaku penyusun makalah, karena telah berkontribusi dan memberikan ide-ide
sehingga makalah ini dapat disusun dengan baik.
Kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan pada makalah ini, sehingga kami
berharap kepada pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang membangun agar
makalah ini menjadi lebih baik lagi.

Penyusun

Kelompok 4

1
DAFTAR ISI

BAB I 3
PENDAHULUAN 3
Latar Belakang 3
Rumusan Masalah 4
Tujuan 5
BAB II 6
PEMBAHASAN 6
Warga Binaan 6
Perilaku Self-Injury 8
Faktor Terjadinya Bunuh Diri 9
Faktor Risiko Situasional 9
Faktor Psikososial 9
Faktor Terjadinya Perilaku Self Injury 10
Hukuman Mati 12
Keadilan Restoratif Konferensi 13
Contoh Kasus 16
BAB III 20
PENUTUP 20
Kesimpulan 20
Saran 21
DAFTAR PUSTAKA 22
LEMBAR PARTISIPASI 24

2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Psikologi forensik merupakan sebuah penerapan dari teori dan penelitian psikologi
yang diterapkan ke dalam sistem legal atau hukum. Dapat diartikan bahwa psikologi
forensik akan mempelajari suatu fenomena atau permasalahan hukum akan tetapi dengan
konteks psikologi. Weiner dan Hess (2005) menyatakan bahwa psikologi forensik adalah
suatu layanan psikologi yang diberikan pada dunia hukum dan berlandaskan sistem
hukum serta memberi kesempatan bagi psikolog untuk mengembangkan keilmuan
psikologi dalam ranah hukum.
Huss (2014) mengemukakan bahwa bidang psikologi klinis merupakan bidang
keilmuan psikologi yang nantinya akan dikembangkan ke dalam ranah hukum atau yang
dikenal dengan psikologi forensik. Sehingga dapat dikatakan bahwa psikologi forensik
merupakan penerapan dari asesmen dan intervensi klinis yang dikembangkan pada ranah
hukum (Kaloeti, Indrawati, & Alfaruqy 2019). Salah satu bentuk penerapan dari asesmen
dan intervensi klinis tersebut adalah untuk mempelajari gangguan abnormaL, asesmen
risiko, cedera pribadi (bentuk cedera akibat kelalaian orang lain), dan civil commitment
(Kaloeti, Indrawati, & Alfaruqy 2019).
Permasalahan hukum sangat erat kaitannya dengan dinamika psikologi. Hal ini
dikarenakan permasalahan hukum identik dengan persoalan yang bersifat negatif dan
rentan mengganggu kesehatan mental orang-orang di dalamnya. Ketika kita mendengar
persoalan hukum pasti akan berhubungan dengan perilaku kejahatan, penjara, narapidana,
ataupun hukuman. Individu yang melakukan kejahatan atau tindak pidana akan disebut
dengan tahanan atau narapidana. Sedangkan tempat untuk menampung para tahanan atau
narapidana disebut dengan lembaga pemasyarakatan atau Lapas.
Lembaga Pemasyarakatan atau dikenal dengan Lapas tidak hanya sekedar sebagai
tempat penampungan bagi para tahanan. Di dalam lembaga pemasyarakatan para tahanan
juga akan dilakukan proses pembinaan yang nantinya diharapkan ketika kembali ke
masyarakat memiliki perilaku yang lebih baik. Sehingga saat ini istilah tahanan sering
digantikan dengan istilah warga binaan. Lembaga Pemasyarakatan yang seharusnya
merupakan tempat pembinaan bagi para tahanan ternyata memiliki banyak permasalahan.

3
Permasalahan Lapas yang pertama adalah mengenai kelebihan kapasitas di Lapas atau
yang sering disebut dengan Over Capacity atau Overcrowding. Lapas di masa kini
mengalami kelebihan kapasitas yang sangat mengkhawatirkan. Dilansir dari
CNNIndonesia.com setidaknya ada lima lapas di Indonesia yang over kapasitas di atas
200 persen. Pertama Rutan Bagan Siapi-api saat ini memiliki 893 penghuni, sementara
kapasitasnya hanya 98 orang, atau 811 persen melebihi kapasitas. Selanjutnya, Lapas
Kelas II Kerobokan dengan jumlah penghuni 1.229 orang, sementara jumlah kapasitas
hanya 323 orang. Artinya, lapas kelebihan 329 persen. Kemudian Lapas Kelas IIB
Tasikmalaya dengan total penghuni 381 orang, dengan kapasitas hanya 88 orang. Ini
berarti lapas tersebut kelebihan kapasitas hingga 333 persen.
Permasalahan kelebihan kapasitas dalam Lapas tentunya akan menimbulkan cabang
permasalahan yang lebih banyak lagi. Beberapa permasalahan yang ditimbulkan akibat
dari hal tersebut dapat berupa perilaku self injury, depresi, dan bunuh diri. Berdasarkan
kumparan.com di Indonesia sendiri kasus bunuh diri khususnya di dalam Lembaga
Pemasyarakatan dari data yang saya dapat bahwasanya Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan, Kementerian Hukum dan HAM, mencatat lebih dari 63 kasus kematian
akibat bunuh diri di dalam Lembaga Pemasyarakatan, selama 7 tahun (mulai dari
2011-2018)
Proses penyesuaian pada dunia penjara juga disinyalir merupakan hal yang
menyebabkan narapidana atau warga binaan mengalami tekanan psikologis yang berat.
Kondisi Lapas tentunya sangat berbeda dengan kondisi di luar Lapas yang mana akan
membuat seseorang yang baru memasukinya akan mengalami efek psikologis negatif.
Pernyataan tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Pettus-davis, Veeh,
Davis, & Tripodi (2017) penyesuaian diri pada lingkungan yang baru seperti lapas
membuat narapidana perempuan mengalami depresi, belum lagi daya tampung lapas
yang melebihi kapasitas, sarana kesehatan yang kurang maksimal memicu terjadinya
masalah psikologis (Gunter, 2004).

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan warga binaan?
2. Apa yang dimaksud dengan self injury?

4
3. Apa saja faktor terjadinya bunuh diri?
4. Apa saja faktor terjadinya perilaku self injury?
5. Bagaimana proses hukuman mati pada narapidana?
6. Apa yang dimaksud keadilan restoratif konferensi?

C. Tujuan
1. Menjelaskan apa yang dimaksud dengan warga binaan.
2. Menjelaskan apa yang dimaksud dengan self injury.
3. Menjelaskan apa saja faktor terjadinya bunuh diri dalam penjara.
4. Menjelaskan apa saja faktor terjadinya perilaku self injury dalam penjara.
5. Menjelaskan proses hukuman mati pada narapidana.
6. Menjelaskan yang dimaksud keadilan restoratif konferensi.

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Warga Binaan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Pasal 1 Ayat 1 tentang
Pemasyarakatan menjelaskan bahwa pemasyarakatan itu sendiri merupakan sebuah
kegiatan untuk melakukan pembinaan terhadap warga binaan pemasyarakatan yang
didasarkan pada sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian
akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana. Pada Pasal 1 Ayat 5 juga
dijelaskan siapa saja yang termasuk ke dalam warga binaan tersebut, yakni
narapidana, anak didik pemasyarakatan, dan klien pemasyarakatan.
1. Narapidana merupakan terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan
di LAPAS atau lembaga pemasyarakatan (Pasal 1 Ayat 7).
2. Anak didik pemasyarakatan terdiri atas (Pasal 1 Ayat 8):
a. Anak pidana, yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan harus
menjalani pidana di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18
tahun;
b. Anak negara, yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan
diserahkan kepada negara untuk dididik dan ditempatkan di LAPAS
Anak paling lama sampai berumur 18 tahun;
c. Anak sipil, yaitu anak yang atas permintaan orang tua atau walinya
memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di LAPAS Anak
paling lama sampai berumur 18 tahun.
3. Klien pemasyarakatan yaitu seseorang yang berada dalam bimbingan BAPAS
atau badan pemasyarakatan (Pasal 1 Ayat 9).
Selain warga binaan, terdapat juga istilah tahanan. Berbeda dengan warga
binaan, menurut PP Nomor 27 Pasal 19 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), tahanan adalah orang yang masih
dalam proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan negeri,
pengadilan tinggi, atau Mahkamah Agung, dan ditempatkan di rumah tahanan.

6
Data Dirjen Pemasyarakatan RI (2018) mengatakan bahwa jumlah tahanan
dan warga binaan di Indonesia hingga tahun 2018 adalah sebanyak 252.372 orang
(Kaloeti dkk, 2019). Berikutnya, tahanan dan warga binaan tersebut dibedakan
menjadi beberapa penggolongan, yakni:
1. Usia
Berdasar usia, dibedakan menjadi:
a. Usia anak (12-18 tahun)
b. Usia dewasa (18 tahun ke atas)
2. Jenis kelamin
Berdasar jenis kelamin, dibedakan menjadi:
a. Laki-laki
b. Perempuan
3. Lama pidana yang dijatuhkan
Berdasar lama pidana yang dijatuhkan, dibedakan menjadi:
a. Pidana 1 hari sampai 3 bulan (register B.II b)
b. Pidana 3 bulan sampai 12 bulan 5 hari atau satu tahun (register B.II a)
c. Pidana 12 bulan 5 hari atau satu tahun ke atas (register B.I)
d. Pidana seumur hidup (register seumur hidup)
e. Pidana mati (register mati)
4. Jenis kejahatan
Berdasar jenis kegiatan, dibedakan menjadi:
a. Pidana umum (pidum)
Pidana umum berisi jenis-jenis kejahatan yang tertuang dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Contohnya adalah pembunuhan,
pemerkosaan, penipuan, dan pencurian.
b. Pidana khusus (pidsus)
Pidana khusus berisi jenis-jenis kejahatan yang tidak tertuang dalam KUHP,
tetapi diatur dalam undang-undang khusus tentang tindak pidana tersebut.
Contohnya adalah korupsi, pencucian uang, perlindungan anak, dan
terorisme.

7
B. Perilaku Self-Injury
Menjalani kehidupan di penjara bisa menimbulkan masalah mental bagi para
tahanan maupun warga binaan. Hal tersebut memicu munculnya ide untuk melakukan
bunuh diri terutama jika terjadi pengalaman-pengalaman yang memicu depresi
(Centers for Disease Control and Prevention dalam Kaloeti dkk, 2019). Menurut data
WHO bahwa beberapa komunitas berpeluang melakukan percobaan bunuh diri yang
lebih tinggi, di antaranya adalah laki-laki usia muda (15-49 tahun), laki-laki usia
senja, orang-orang pribumi, orang dengan gangguan mental, orang dengan
ketergantungan obat/narkotika dan alkohol, orang yang pernah melakukan percobaan
bunuh diri, dan yang terakhir adalah orang dalam tahanan.
Bunuh diri sendiri bisa terjadi pada beberapa kelompok di rumah tahanan
(Kaloeti dkk, 2019):
1. Tahanan dan warga binaan
Percobaan bunuh diri pada tahanan dan warga binaan bisa terjadi karena persepsi
tentang buruknya kehidupan penjara dan jatuhnya nama baik keluarga,
ketidakmampuan untuk berkarya, terbatasnya komunikasi dengan keluarga atau
orang terdekat, memburuknya kondisi finansial, dan juga adanya keterbatasan
ruang gerak di dalam penjara.

2. Warga binaan usia muda


Usia muda di sini adalah mereka yang berusia kurang dari 18 tahun. Seperti yang
telah diketahui, usia sebelum 18 tahun atau usia-usia remaja merupakan masa di
mana stress dan depresi rawan muncul pada anak, ditambah lagi dengan
pengendalian emosi yang masih kurang. Hukuman di penjara bisa menjadi salah
satu sumber stress yang sangat besar dan bisa dengan mudah memunculkan
keinginan untuk bunuh diri.

3. Warga binaan perempuan


Berdasarkan penelitian Dirjen Pemasyarakatan Kemenkumham RI, didapati
bahwa frekuensi melakukan bunuh diri pada warga binaan perempuan sama atau
bahkan lebih rendah daripada warga binaan laki-laki (Kaloeti dkk, 2019).
Meskipun demikian, nyatanya tingkat depresi pada warga binaan perempuan

8
lebih tinggi daripada warga binaan laki-laki. Rendahnya angka bunuh diri
tersebut menunjukkan bahwa warga binaan perempuan sudah membentuk
komunitas yang lebih sehat di dalam lembaga pemasyarakatan (Crighton &
Towl, dalam Kaloeti, 2019).

C. Faktor Terjadinya Bunuh Diri


Kaloeti, Indrawati, & Alfaruqy (2019) menyebutkan beberapa faktor yang
mempengaruhi warga binaan pemasyarakat untuk melakukan bunuh diri, adapun
diantaranya adalah:

1. Faktor Risiko Situasional


Salah satu masalah yang sering ditemui oleh warga lembaga
pemasyarakatan ialah jumlah warga binaan pemasyarakatan atau tahanan yang
melebihi kapasitas penjara yang disediakan. Selisih yang dihasilkan dari total
jumlah tahanan dengan kapasitas penjara di Indonesia mencapai lebih dari
50% atau 126.505 orang. Jumlah yang tidak sedikit untuk mengindikasi
kerentanan masalah psikologis, khususnya stres, pada warga binaan
pemasyarakatan. Kesenjangan antara jumlah pihak pemasyarakatan yang tidak
selaras dengan jumlah warga binaan yang terus bertambah, membuat
pelayanan yang diberikan terhadap warga binaan berkurang, salah satunya
seperti fasilitas kesehatan maupun psikologis. Keterbatasan aktivitas pribadi
di dalam penjara pun dinilai dapat memperburuk masalah psikis pada warga
binaan. Selain itu, masa pemenjaraan pada warga binaan pun juga memiliki
pengaruh terhadap kondisi psikis. Pada penelitian yang dilakukan oleh Kaloeti
dkk (2017) didapatkan hasil bahwa warga binaan pemasyarakat yang
menjalani vonis tahanan panjang atau di atas 5 tahun lebih depresi
dibandingkan dengan warga binaan yang menjalani vonis pendek atau di
bawah 5 tahun.
2. Faktor Psikososial
Ketika seseorang memiliki status sebagai warga binaan
pemasyarakatan, maka ia akan bertempat tinggal di dalam lembaga
pemasyarakatan sesuai dengan vonis yang telah diberikan. Hal ini tentunya

9
membuat warga binaan mau tidak mau berpisah dengan keluarganya.
Dukungan dari keluarga sendiri sangat menentukan kondisi psikologis bagi
para warga binaan selama berada di dalam masa tahanan dan lembaga
pemasyarakatan. Seseorang yang sulit atau bahkan tidak menerima dukungan
dari keluarga, memicu warga binaan mengalami stres. Adanya situasi sosial di
dalam penjara, seperti bullying, ternyata juga dapat memperburuk masalah
psikologis yang dialami oleh warga binaan. Fenomena bullying dan intimidasi
sudah sering terjadi, dimana tindakan ini dilakukan oleh warga binaan
terdahulu terhadap warga binaan baru selama periode tiga bulan pertama masa
pemenjaraan (Crighton & Towl, dalam Kaloeti, 2019). Hal ini selaras dengan
bukti yang menyatakan bahwa terdapat sekitar 20% angka kematian yang
dialami oleh warga binaan yang baru masuk sekitar tiga bulan diakibatkan
adanya bullying dan intimidasi dari penghuni lama. Pihak pemasyarakatan
yang tidak menyadari fenomena tersebut tentunya mengakibatkan warga
binaan pemasyarakatan yang mengalami bullying dan intimidasi akan semakin
stres dan memicu ide untuk bunuh diri karena merasa tidak tahan dengan
situasinya.

D. Faktor Terjadinya Perilaku Self Injury


Self injury merupakan isu yang sering terjadi di lembaga pemasyarakatan yang
merupakan permulaan dari bunuh diri. Self injury juga dapat dijelaskan dalam
beberapa istilah sebagai percobaan bunuh diri, perilaku sengaja dalam menyakiti diri,
mutilasi diri, gestur bunuh diri, kegagalan bunuh diri, memunculkan kekerasan pada
diri sendiri, parasuicide, self harm, dan non-suicidal self-injury (Kaloeti, Indrawati,
dan Alfaruqy, 2019; Favril dkk, 2020). Pada tahun 2011 tercatat ada 8811 insiden self
injury di penjara wanita yang berlokasi di Inggris dan Welsh. Sekitar 1 dari 5
perempuan menyakiti dirinya sendiri selama penahanan. Angka ini sekitar 30 kali
lebih tinggi daripada tingkat melukai diri sendiri di luar penjara (Chamberlen, 2016).
Data lain menyebutkan bahwa terdapat 139.195 perilaku menyakiti diri di penjara
yang diantaranya terdiri dari 26.510 orang yang berasal Inggris dan Wales. Persentase

10
menyebutkan bahwa 5-6% dilakukan oleh laki-laki dan 20-24% dilakukan oleh
perempuan.
Penelitian yang dilakukan oleh Snow (2002) menyatakan bahwa ada beberapa
dorongan yang membuat warga binaan melakukan self injury/attempted suicide,
diantaranya adalah meredakan rasa marah, merasa sendiri, mengatasi perasaan negatif
akibat dari narkoba dan alkohol, rasa bersalah, rasa sedih, dan depresi. Masih pada
penelitian yang sama, terdapat faktor dari situasi yang mendorong warga binaan
melakukan self injury seperti merasa bosan di sel, bullying, depresi, anak-anak,
pemberhentian konsumsi obat (drug withdrawal), kehilangan segalanya, homesick,
takut, dan pembebasan yang akan terjadi sebentar lagi.
Snow (2002) menemukan bahwa warga binaan laki-laki muda yang
melakukan self injury dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berkaitan dengan hubungan
interpersonal seperti dukacita, adu argumen, masalah hubungan, dan kunjungan yang
buruk. Warga binaan perempuan muda cenderung dipengaruhi faktor untuk
menghilangkan perasaan atau emosi negatif. Terdapat faktor instrumental dan
situasional yang mendorong warga binaan pria melakukan self-injury, faktor
instrumental seperti kesendirian, menginginkan orang untuk berbicara, membutuhkan
bantuan, adanya transfer penjara, dan perubahan pengobatan. Faktor situasional
seperti merasa bosan di sel, bullying, depresi, anak-anak, pemberhentian konsumsi
obat (drug withdrawal), kehilangan segalanya, homesick, takut, dan pembebasan
yang akan terjadi sebentar lagi.
Warga binaan yang melukai diri sendiri tanpa niat bunuh diri karena adanya
emosi negatif seperti rasa marah, stres, dan ketegangan. Selain itu, warga binaan
melukai diri sendiri saat berada di penjara karena tidak adanya metode alternatif
untuk mengatasi perasaan negatif tersebut. Menurut Crighton dan Towl (dalam
Kaloeti, Indrawati, dan Alfaruqy, 2019) faktor warga binaan melakukan self-injury
adalah jenis kelamin perempuan yang ditemukan memiliki risiko 4 kali lebih besar
dalam melakukan self injury, adanya penyalahgunaan obat terlarang, trauma, riwayat
fisik, kekerasan, riwayat gangguan mental, depresi, self esteem, kecemasan, kurang
mampu melakukan coping stress, bullying, dan intimidasi. Selain itu, Favril dkk
(2020) menyebutkan bahwa faktor lingkungan khusus untuk penjara seperti sel

11
isolasi, pelanggaran disiplin, viktimisasi selama penjara, dan dukungan sosial yang
buruk memiliki hubungan dengan perilaku menyakiti diri sendiri.
Penelitian yang dilakukan oleh Knight, Coid, dan Ullrich (2017) menyatakan
bahwa ada mediasi antara perempuan dan perilaku NSSI (Non Suicidal-Self Injury),
yaitu pelecehan seksual di masa lalu, upaya bunuh diri sebelumnya, masalah
kesehatan mental di penjara, penggunaan obat terlarang, perilaku seksual yang tidak
diinginkan di penjara, dan adanya gangguan kecemasan.

E. Hukuman Mati
Hukuman mati menjadi isu yang masih menjadi perdebatan hingga hari ini.
Diketahui sebanyak 90 negara telah menghapuskan hukuman mati dan 11 di
antaranya masih menggunakan hukuman ini dengan alasan-alasan tertentu, termasuk
Indonesia yang secara de jure, hukum positif Indonesia masih menerapkan pidana
mati yang dituangkan dalam sejumlah Undang-Undang, antara lain KUHP,
Pengadilan HAM, Tindak Pidana Terorisme, Tindak Pidana Korupsi, serta Narkotika
(Komnas HAM RI, 2021).
Pemberian hukuman merupakan isu kritis dalam permasalahan keadilan. Hasil
analisis studi kepustakaan yang dilakukan oleh Lon (2020) menunjukan bahwa
penerapan hukuman mati bertentangan dengan Hak Asasi Manusia, khususnya hak
untuk hidup yang diterima sejak seseorang menjadi manusia. Hukuman mati memberi
kewenangan kepada pihak eksternal dan lembaga manusiawi untuk meniadakan atau
mencabut hak hidup seseorang. Hal itu mengkhianati hakikat hak hidup yang bersifat
melekat (inherent) dan tak terpisahkan (inseparable) dari diri seorang manusia. Maka
ketika hukuman mati diterapkan di Indonesia, muncul persepsi bahwa pemerintah
atau negara seolah-olah melegalisir tindakan kekerasan pelanggaran HAM.
Sejumlah kalangan psikolog di Amerika menolak penerapan hukuman mati.
Psikolog memiliki pandangan yang berbeda mengenai keadilan dan nilai-nilai
kehidupan bermasyarakat, yakni menekankan pada pentingnya kehidupan individu,
perubahan perilaku dan keadilan yang restoratif. Namun dengan alasan yang sama,
para pendukung hukuman mati tetap berada pada sikapnya.

12
Kasus-kasus dengan hukuman mati biasanya melibatkan psikolog sebagai
saksi ahli dalam persidangan. Selain itu, berikut beberapa peran psikolog forensik
dalam penanganan kasus hukuman mati (Kaloeti, Indrawati, dan Alfaruqy, 2019):
1. Sebelum persidangan, seorang psikolog diminta untuk menilai kemampuan
terdakwa dalam memberikan pembelaan di dalam persidangan, jika hakim
merasa hal ini diperlukan
2. Bila kasus yang diperkarakan sudah tersebar luas, psikolog dapat ditugaskan
untuk membuat survei mengenai sejauh mana masyarakat lokal mengetahui
dan bias dalam kasus ini. Survei tersebut merupakan dasar bagi pemindahan
tempat pengadilan jika dirasa perlu
3. Pada pengadilan dengan melibatkan juri, psikolog berfungsi dalam
menyeleksi juri dalam kasus hukuman mati. Juri biasanya ditanya tentang
sikapnya mengenai hukuman mati, dan apakah mereka tidak akan memilih
hukuman mati terlepas dari fakta dan keadaan kasus yang ditemui.

F. Keadilan Restoratif Konferensi


Keadilan restoratif adalah suatu pendekatan yang dilakukan sebagai upaya
untuk memperbaiki kerusakan yang terjadi akibat kejahatan dengan melibatkan
semua pihak yang bersangkutan (Setyowati, 2020). Menurut buku panduan yang
dipublikasikan oleh United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) mengenai
program keadilan restoratif, keadilan restoratif didefinisikan sebagai setiap proses di
mana korban dan pelaku, dan, jika perlu, setiap individu atau anggota masyarakat lain
yang terkena dampak kejahatan, berpartisipasi bersama secara aktif dalam
penyelesaian masalah yang timbul dari kejahatan, umumnya dengan bantuan seorang
fasilitator. Hal yang perlu diperhatikan fasilitator adalah fasilitator harus melibatkan
semua pihak yang hadir pada pertemuan, membuat rangkuman dari pertemuan dan
kesepakatan tertulis yang ditandatangani oleh pihak yang bersangkutan, diwajibkan
untuk tidak memberikan pandangan pribadinya ketika mengajukan pertanyaan,
mempersiapkan apa saja yang dibutuhkan untuk pertemuan antara korban dengan
pelaku, dan pihak-pihak terkait dengan kasus (Kaloeti, Indrawati, dan Alfaruqy,
2019). Di Indonesia, peraturan yang membahas keadilan restoratif terdapat pada UU

13
Nomor 11 Pasal 5 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (Pemerintah Republik
Indonesia, 2012) yang berisi:
(1) Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan
Restoratif.
(2) Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. penyidikan dan penuntutan pidana Anak yang dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan
lain dalam Undang-Undang ini;
b. persidangan Anak yang dilakukan oleh pengadilan di lingkungan
peradilan umum; dan
c. pembinaan, pembimbingan, pengawasan, dan/atau pendampingan
selama proses pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelah menjalani
pidana atau tindakan.
(3) Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf a dan huruf b wajib diupayakan Diversi.
Dampak dari kejahatan membuat berbagai pihak yang terlibat merasa
membutuhkan keadilan. Para korban di berbagai kesempatan membutuhkan pelaku
untuk menegaskan martabat yang dimiliki, menanyakan pertanyaan-pertanyaan
seperti “mengapa kamu melakukannya”, mendengar rasa sakit yang mereka rasakan,
setidaknya meyakinkan korban mengenai keselamatan. Pelaku juga merasa pada
berbagai kesempatan membutuhkan korban untuk mendengar penyesalan yang
dirasakan, mendengarkan kata maaf, memberi kesempatan untuk memperbaiki diri.
Dari sinilah keadilan restoratif menawarkan untuk menyatukan mereka yang
berkaitan dengan kejahatan mulai dari korban, pelaku, keluarga korban, keluarga
pelaku, dan sebagainya untuk menjelaskan kejahatan, mengidentifikasi kewajiban
yang harus dilakukan antara pihak-pihak yang bersangkutan, serta menyelesaikan
dengan cara terbaik yang memenuhi keadilan di antara pihak tersebut.
Keadilan restoratif konferensi biasa dilakukan dengan menambahkan
pihak-pihak lain selain pelaku dan korban. Orang-orang yang terlibat pada kejahatan,
seperti keluarga, teman, perwakilan komunitas diberikan kesempatan untuk
menghadiri konferensi tersebut. Di beberapa model, polisi dan para ahli juga

14
dilibatkan dengan cara dibawa oleh pihak ketiga yang berperan sebagai fasilitator.
Kesempatan ini membuka jalan pada mereka untuk memperbaiki hubungan. Keadilan
restoratif konferensi dibagi dua yakni konferensi keluarga dan konferensi komunitas,
yaitu (UNODC, 2020):
1. Konferensi keluarga
Hal ini sering digunakan pada kejahatan yang dilakukan oleh
anak-anak. Pada setiap konferensi dibutuhkan fasilitator atau penyelenggara.
Proses konferensi keluarga bertujuan untuk mengidentifikasi hasil yang
diinginkan oleh pihak yang bersangkutan, mengatasi konsekuensi kejahatan,
dan mencari cara yang tepat untuk mencegah terulangnya perilaku yang
melanggar. Oleh karena keadilan restoratif konferensi cenderung melibatkan
banyak orang, proses konferensi yang dilakukan dapat menjadi sarana yang
efektif untuk memastikan bahwa pelaku mengikuti hasil yang telah disepakati.
2. Konferensi masyarakat
Konferensi masyarakat juga digunakan sebagai program tindakan
alternatif di mana pelaku dapat dialihkan dari sistem peradilan pidana.
Program-program tersebut cenderung dikelola oleh kelompok atau lembaga
masyarakat, dengan atau tanpa dukungan keuangan dari pemerintah.
Konferensi biasanya menyatukan mereka yang paling peduli tentang pelaku
dan korban dan anggota masyarakat lainnya yang berkepentingan dengan
proses tersebut (misalkan seorang guru pada kasus kejahatan yang dilakukan
anak-anak). Kelompok atau lembaga masyarakat memiliki kewajiban untuk
memantau kepatuhan pelaku mengenai ketentuan perjanjian yang telah dibuat
dan dari hal-hal yang tidak dapat diawasi langsung oleh aparat penegak
hukum atau peradilan.
Menurut Kaloeti, Indrawati, dan Alfaruqy (2019) metode dalam keadilan
restoratif konferensi dilakukan dengan berbagai protokol, yaitu:
1. Hakim memerintahkan pelaku untuk memberikan penggantian dan ganti rugi
pada korban tanpa harus bertemu langsung dengan korban apabila terdapat
kerusakan.
2. Komunikasi satu arah yang dilakukan oleh pelaku dengan korban

15
3. Mempresentasikan video atau barang bukti lain pada pelaku kejahatan. Video
atau barang bukti tersebut berasal dari korban lain yang mengalami kejahatan
yang sama
4. Diskusi yang dilakukan antara pelaku dengan profesional pada saat masa
percobaan atau di dalam penjara yang membahas tentang keadaan yang
dirasakan oleh korban sebagai bentuk konsekuensi dari kejahatan yang
dilakukan pelaku, sehingga hal ini bisa menjadi motivasi untuk dilakukan
rehabilitasi
5. Melakukan diskusi kelompok antara pelaku dengan korban kejahatan yang
sama. Suasananya dapat diatur dengan menggunakan cognitive behavioral
therapy (CBT)
6. Mediasi tidak langsung. Komunikasi ini bersifat dua arah antara pelaku dan
korban kejahatan, namun terdapat perantara pihak ketiga yang menyampaikan
pesan pelaku kepada korban dan pesan korban kepada pelaku
7. Mediasi langsung. Komunikasi ini dilakukan antara pelaku dan korban dengan
bertatap muka yang didampingi oleh perantara dan apabila dibutuhkan dapat
menghadirkan jaksa atau hakim, dilakukan pembayaran ganti rugi kepada
korban
8. Mempertemukan pihak-pihak yang memiliki kaitannya dengan kasus
kejahatan, seperti keluarga, teman yang merasa dirugikan dengan dibantu oleh
fasilitator yang sudah berpengalaman

G. Contoh Kasus
1. Peran Psikolog Forensik dalam Sidang Hukuman Mati

Pada Mei tahun 2017 telah terjadi kasus penikaman oleh Jeremy Christian di
kota Portland, yang menyebabkan satu orang luka dan dua orang meninggal. Tidak
hanya itu, Christian juga dituduh atas intimidasi karena telah meneriakkan komentar
rasis pada dua orang gadis serta tuduhan atas pelecehan dan penyerangan terhadap
seorang wanita Afrika-Amerika. Tuduhan yang berlapis tersebut membuat Christian
didakwa pembunuhan kelas berat hingga jaksa menuntut hukuman mati. Dakwaan
tersebut dilayangkan karena adanya dugaan tindakan Christian merupakan bagian dari

16
aksi terorisme terorganisir. Namun dilansir dari Oregon Live, ternyata terdapat bukti
bahwa pembunuhan yang terjadi adalah tindakan Christian sendiri.
Dr. Glena Andrews, seorang pembela Christian yang merupakan seorang
neuropsikolog, melakukan wawancara serta evaluasi neuropsikologi Christian untuk
persidangan. Dr. Andrews juga memanggil seorang psikolog forensik, Dr. Timothy
Derning, untuk mengasesmen dan mendiagnosis Christian karena sebelumnya Dr.
Andrews menyatakan bahwa diagnosis Christian tidak dimiliki oleh DSM.
Hasil evaluasi Christian dipaparkan oleh Dr. Derning pada hari kedua
persidangan. Paparan yang disampaikan mencakup bagaimana masa kecil Christian,
dampak trauma terhadap kehidupannya, ketidakmampuan menjadi seorang dewasa
yang normal, serta kekurangan dalam hal dukungan sosial. Dilansir dari OPB, Dr.
Derning mewawancarai beberapa anggota keluarga Christian dan menemukan bahwa
Christian tidak memiliki hubungan yang dalam dengan kenalannya. Ia juga mendapati
sifat autisme pada ayah Christian. Meski beberapa ciri kepribadian Christian tidak
khas autisme, Dr. Derning mendiagnosis Christian dengan gangguan spektrum
autisme dan dengan apa yang dia sebut autisme atipikal.
Dari diadakannya evaluasi diketahui bahwa sebelumnya pada Mei 2002
Christian dijatuhi hukuman atas kasus perampokan bersenjata dan penculikan. Akibat
dari perbuatannya, ia menjalani delapan tahun empat bulan di lima penjara Oregon
yang berbeda. Saat dimintai keterangan ditemui keanehan, dimana ketika Christian
diinterogasi mengenai alasan ia mengeluarkan pistol saat dikejar oleh polisi adalah
untuk menembak dirinya sendiri. Teman-teman Christian menilai bahwa semenjak
kasus tahun 2002 tersebut terjadi kemunduran pada Christian, seperti tindakan yang
semakin tidak menentu dan kekerasan. Masa lalu Christian juga menimbulkan
pertanyaan tentang peran sistem penjara yang memperburuk kesehatan mentalnya.
Pada sidang terakhir hakim memutuskan untuk menurunkan hukuman, dari
hukum mati menjadi hukuman penjara seumur hidup. Hasil asesmen, diagnosis dan
evaluasi yang dilakukan oleh Dr. Derning dan pembela menjadi pertimbangan bagi
hakim untuk memutuskan perkara.

2. Self Injury, Bunuh Diri dan Hukuman Mati

17
“Taxi Driver” merupakan sebuah drama korea yang bercerita tentang
kelompok rainbow taxi yang membela dan membalaskan dendam orang yang merasa
tidak adil. Diceritakan bahwa Kim Do Ki, sang pemeran utama, bergabung dengan
kelompok karena ibunya dibunuh oleh pembunuh berantai. Tersangka akhirnya
dijatuhi hukuman mati oleh hakim, akan tetapi sebelum sempat dieksekusi, ia
mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Cerita tersebut terinspirasi oleh kisah nyata
oleh seorang serial killer, Jeong Nam-Gyu.
Dilansir dari The Korea Times, Jeong Nam-Gyu ditemukan gantung diri
dengan tali yang terbuat dari kantong plastik oleh petugas di hari sabtu, namun pada
minggu pagi saat dibawa ke rumah sakit ia dinyatakan meninggal. Ia tidak
meninggalkan catatan khusus sebelum aksinya, namun petugas menemukan buku
harian Nam-Gyu yang berisi, "Pemerintah tidak mempertimbangkan untuk
menghapus hukuman mati. Hidup itu seperti awan, datang dan pergi untuk
sementara". Kementerian Kehakiman menilai Jeong Nam-Gyu sadar bahwa hukuman
mati menjadi masalah sosial dan ketidakpastian akan eksekusi nyalah yang mungkin
telah mendorong untuk bunuh diri. Sementara setelah dilakukan pemeriksaan, dokter
menyimpulkan bahwa kematian Nam-Gyu dikarenakan kerusakan otak yang
disebabkan oleh hipoksia. Profesor Kwon Il-Yong, seorang profiler pertama di Korea
Selatan, mengaku dalam sebuah acara televisi bahwa ia sering mendapatkan kiriman
surat dari Jeong Nam-Gyu. Surat tersebut berisi, “Saya merasa sangat frustasi karena
saya tertangkap seperti ini dan tidak bisa membunuh orang lagi. Jadi, jalankan
eksekusi atau biarkan aku pergi. Saya ingin membunuh seseorang, jadi saya tidak
tahan”.
Merujuk pada catatan di buku harian serta surat yang dikirimkan kepada
Profesor Kwon Il-Yong, Jeong Nam-Gyu begitu mendambakan ‘kebebasan’ selama di
sel tahanan. Berdasarkan wawancara Profesor Kwon dengan Jeong Nam-Gyu
diketahui bahwa motif pembunuhan yang ia lakukan adalah untuk mengejar kepuasan
psikologisnya yaitu melalui rasa sakit, yang mana dalam kasus adalah rasa sakit dari
para korban. Jeong Nam-Gyu juga menyebutkan bahwa pada hari ia tidak
mendapatkan korban, ia kembali mendatangi tempat pembunuhan sebelumnya untuk
mengingat apa yang ia lakukan. Ketika berada di penjara, ia tidak lagi mendapatkan

18
kesenangan dari rasa sakit orang lain. Satu-satunya sumber sakit yang bisa ia peroleh
adalah dari dirinya sendiri.
Berdasarkan kasus di atas, Jeong Nam-Gyu melakukan self-injury dan
berakhir bunuh diri dikarenakan adanya faktor situasional seperti hasil dari penelitian
Snow (2002). Jeong Nam-Gyu tidak dapat menahan hasratnya untuk membunuh
orang lain dan merasa kebebasannya telah hilang, sehingga membuatnya mencari cara
lain untuk mendapatkan kesenangan dari adanya rasa sakit yaitu pada dirinya sendiri.
Jeong Nam-Gyu sangat kecanduan dalam membunuh dan hanya menargetkan
perempuan dan anak-anak karena Nam-Gyu merasa mereka kecil dan lemah. Maka
dari itu ketika ia dimasukan ke dalam penjara, ia tidak bisa membunuh ataupun
menyakiti orang disana yang adalah laki-laki dengan badan lebih besar dari dia serta
pasti dapat mengalahkan dirinya. Hal tersebut membuatnya makin frustasi dan tidak
bisa menahan dirinya untuk membunuh, dan akhirnya memutuskan untuk menyakiti
dirinya sendiri untuk kesenangannya dan berakhir meninggal di penjara. Hal ini juga
ditambah karena tidak ada waktunya eksekusi yang pasti, karena di korea tidak
diberlakukan lagi hukuman mati dan digantikan menjadi hukuman seumur hidup.

19
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Warga binaan berbeda dengan tahanan. Yang masuk kedalam warga binaan adalah
narapidana, anak didik pemasyarakatan, dan klien pemasyarakatan. Sedangkan, tahanan
merupakan orang yang masih dalam proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di
pengadilan negeri, pengadilan tinggi, atau Mahkamah Agung, dan ditempatkan di rumah
tahanan.
Dalam lembaga pemasyarakatan, banyak sekali isu-isu seperti self-injury dan bunuh
diri. Self-injury merupakan perilaku yang disengaja dalam menyakiti diri dan
diidentifikasi sebagai percobaan bunuh diri. Terdapat beberapa faktor yang
menyebabkan warga binaan melakukan perilaku self-injury, yaitu adanya hubungan
interpersonal, pengilangan emosi negatif, faktor instrumental, dan situasional,
penyalahgunaan narkoba, dan lain sebagainya. Kemudian, bunuh diri dapat didorong
oleh faktor risiko situasional dan faktor psikososial.
Dalam menegakan keadilan, hukuman mati menjadi isu yang kritis. Ada yang
menganggap bahwa hukuman mati bertentangan dengan Hak Asasi Manusia, di sisi lain
ada yang mendukung hukuman tersebut. Psikolog memiliki pandangan yang berbeda
mengenai keadilan dan nilai-nilai kehidupan bermasyarakat, yakni menekankan pada
pentingnya kehidupan individu, perubahan perilaku dan keadilan yang restoratif.
Sehingga, dalam kasus hukuman mati biasanya melibatkan peran dari psikolog sebagai
saksi ahli dalam persidangan.
Seringkali dalam sebuah kejahatan, korban ingin meminta penjelasan ataupun
mendengarkan penyesalan dari pelaku untuk menenangkan diri. Keadilan restoratif
menjadi kesempatan dalam membuka jalan pada mereka untuk memperbaiki hubungan
antara pelaku dan korban. Keadilan restoratif konferensi biasa dilakukan dengan
menambahkan pihak-pihak lain selain pelaku dan korban, pihak ketiga sebagai
fasilitator. Keadilan restoratif konferensi dibagi dua yakni konferensi keluarga dan
konferensi komunitas

20
B. Saran
Kami sebagai tim penyusun ini menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam
makalah ini. Maka dari itu, kami berharap adanya saran dan kritik yang membangun dan
dapat melengkapi materi yang ada dalam makalah ini agar lebih sempurna kedepannya.

21
DAFTAR PUSTAKA

Adha, Aprilia D. (2021, September 13). Over Kapasitas Lapas, Pemerintah Dituding
Melanggar HAM.
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210912173723-12-693210/over-kapasitas-
lapas-pemerintah-dituding-melanggar-ham
Brenstein, Maxine. (2019). Judge eliminates death penalty for Jeremy Christian if convicted
on new 1st-degree murder charges. Oregon: Oregon Live. (1 November 2019).
Chamberlen, A. (2016). Embodying prison pain: Women’s experiences of self-injury in
prison and the emotions of punishment. Theoretical Criminology, 20(2), 205-219.
Favril, L., Yu, R., Hawton, K., & Fazel, S. (2020). Risk factors for self-harm in prison: a
systematic review and meta-analysis. The Lancet Psychiatry, 7(8), 682-691.
He-Rim, Jo. (2017). South Korea’s Most Notorious Serial Killers. Seoul: The Korea Herald.
(26 Mei 2017).
Kaloeti, D. V. S., Indrawati, E. S., & Alfaruqy, M. Z. (2019). Psikologi forensik. Psikosain.
Knight, Bernice; Coid, Jeremy; Ullrich, Simone (2017). Non-Suicidal Self-Injury in UK
Prisoners. International Journal of Forensic Mental Health, 1–11.
doi:10.1080/14999013.2017.1287139
Levinson, Jonathan. (2020). Friends, Experts Say Lack Of Mental Health Care Made
Portland 2017 MAX Stabbings More Likely. Oregon: OPB. (23 Januari 2020)
Lon, Y. S. (2020). Penerapan hukuman mati di Indonesia dan implikasi pedagogisnya.
KERTHA WICAKSANA: Sarana Komunikasi Dosen dan Mahasiswa. 14(1). Pp 47-55.
https://doi.org/10.22225/kw.14.1.1549.47-55
Meeyo, Kwon. (2009). Serial Murderer Kills Himself in Jail. Seoul: The Korea Times. (22
November 2009)
Pettus-Davis, C., Veeh, C. A., Davis, M., & Tripodi, S. (2018). Gender differences in
experiences of social support among men and women releasing from prison. Journal
of Social and Personal Relationships, 35(9), 1161–1182.
https://doi.org/10.1177/0265407517705492
Powell, Meerah. (2020). Expert Witnesses Testify To Jeremy Christian's Mental Functioning.
Oregon: OPB. (12 Februari 2020)

22
Rachman, A. (2021, February 23). Bunuh Diri di Penjara dari Pandangan Psikologis.
https://kumparan.com/dulbusiness88/bunuh-diri-di-penjara-dari-pandangan-psikologi
s-1vE2UvNJIBY
Setyowati, D. (2020). Memahami Konsep Restorative Justice sebagai Upaya Sistem
Peradilan Pidana Menggapai Keadilan. Pandecta Research Law Journal, 15(1),
121-141.
Snow, Louisa (2002). Prisoners' motives for self‐injury and attempted suicide. The British
Journal of Forensic Practice, 4(4), 18–29. doi:10.1108/14636646200200023
Pemerintah Indonesia. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3614.
Sekretariat Negara.
Pemerintah Indonesia. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 153,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5. Sekretariat Negara.
United Nations Office on Drugs and Crime. (2020) Handbook on Restorative Justice
Programmes (2nd Ed.). United Nations.
World Today News. (2020). “Jeong Nam-Gyu has Never Attacked a Victim From Behind”.
Diakses melalui
https://www.world-today-news.com/jeong-nam-gyu-has-never-attacked-a-victim-fro
m-behind/

23
LEMBAR PARTISIPASI

No. Nama (NIM) Kontribusi %

1 Nurlita Maulidia Azizah Mencari dan menganalisis contoh 12,5


(15000119130291) kasus 1 dan kasus 2

2 Aisyah Zahra Madani Menyusun makalah Bab 3, 12,5


(15000119130178) membantu menganalisis contoh
kasus 2 dan PPT

3 Syifa Aulia Ramadhina Menyusun makalah dan PPT Bab 12,5


(15000119130218) 2 Faktor Bunuh Diri

4 Tazkia Syifa Faradhilla Menyusun makalah dan PPT Bab 12,5


(15000119140127) 2 Keadilan Restoratif Konferensi

5 Sheila Rizki Arbianti Menyusun makalah dan PPT Bab 12,5


(15000119130150) 2 Warga Binaan dan Perilaku
Self-injury

6 Alhimna Rusydana Menyusun makalah dan PPT Bab 12,5


(15000119130206) 2 Hukuman Mati

7 Debora Debby Hanggoro Menyusun makalah dan PPT Bab 12,5


(15000119140104) 2 mengenai faktor self injury

8 Muhammad Miftah Kamal Menyusun Bab 1 12,5


(15000119140276)

Total 100%

24

Anda mungkin juga menyukai