Anda di halaman 1dari 24

ANALISIS PENERAPAN COOPERATIVE LEARNING DALAM

MEMBENTUK KOMUNITAS SHALOM DI SEKOLAH DASAR

Lina Labora Munthe


lm8255@student.uph.edu
Fakultas Ilmu Pendidikan, Program Studi Pendidikan Matematika

ABSTRAK
Setiap orang dipanggil Tuhan untuk hidup dalam komunitas agar saling bertumbuh dan
saling mengasihi satu sama lain. Kelas adalah komunitas bagi siswa. Kelas sebagai
komunitas seharusnya menjadi kesempatan bagi siswa untuk berelasi dengan sesamanya
melalui bekerja sama dalam membangun dan menopang satu sama lain untuk
menghadirkan komunitas shalom. Namun masalahnya banyak sekarang ditemui siswa
tidak peka dengan lingkungannya, cenderung melakukan hal yang bermanfaat bagi dirinya
saja. Individual misalnya, hal ini merusak panggilan Tuhan agar manusia hidup untuk
memberikan dampak bagi sekelilingnya. Untuk itu guru harus mampu dalam menjawab
tantangan itu dan memberikan solusinya melalui pendekatan pembelajaran. Salah satu yang
patut dipertimbangkan adalah pembelajaran kooperatif. Pembelajaran kooperatif
mendesain siswa saling belajar bersama serta bekerja sama dengan siswa yang lain untuk
memahami materi dan melakukan kegiatan belajar di dalam kelas. Maka dari itu, paper ini
bertujuan untuk menganalisis kemungkinan penerapan pembelajaran berkelompok dalam
membentuk sebuah komunitas shalom di dalam kelas. Paper ini menyimpulkan bahwa
pembelajaran kooperatif yang baik mampu membuat siswa menjadi anggota komunitas
yang signifikan, Namun, perlu ditinjau kembali bahwa pembelajaran kooperatif yang telah
diintegrasikan ke dalam iman Kristenlah yang mampu menghadirkan shalom bagi
komunitas kelas, karena dasar iman kepada Kristus yang mampu membawa shalom di
dalam komunitas.
Kata Kunci: Pembelajaran, kooperatif, komunitas, shalom.

ABSTRACT

Every person is called by God to live in a community to grow and love one another. Class
as community should be an opportunity for students to have relations through team work
in building one another in constructing shalom community. However, nowadays problems
found that students are not sensitive to their environment; tend to do beneficial for
themselves. For example is individuality, this damages God's calling for humans to give
an impact to their surroundings. For this reason, teachers must be able to answer those
challenges and provide solutions through the learning application. One thing that should
be considered is cooperative learning; this answers individual challenges in the classroom
through group study. Group study requires students to learn and work together with other
students to understand the material and carry out learning activities. In group study,
students are trained to contribute in the group so the group will get good grades. The
cooperative learning approach is able to make individual students to have good relation
one another, but only the redeemed group is able to construct shalom. This paper aims to
examine how the group learning approach is able to make a community that brings shalom
in the classroom.
Keywords: Learning, cooperative, community, shalom.
LATAR BELAKANG

Sekolah adalah komunitas yang mempertemukan dan mempersatukan siswa

untuk sama-sama mendapatkan pertumbuhan dalam bidang kognitif, spiritual,

emosi, sosial dan fisik. Sekolah menyediakan fasilitas bagi siswa dalam

mendapatkan pertumbuhan dalam semua ranah agar siswa menjadi pribadi yang

holistis yang dapat bertanggung jawab atas dunia global. Sebuah komunitas sangat

berpengaruh besar terhadap pertumbuhan diri seseorang. Bagi orang Kristen,

komunitas shalom adalah tempat untuk saling membangun, peduli, dan tempat

untuk saling bertumbuh di dalam Kristus. Menurut Koptari (2008) mengatakan

bahwa komunitas shalom adalah tempat untuk saling mendukung, saling

membangun, tempat saling mengasihi dalam suatu ikatan di dalam persaudaran

dengan Kristus sebagai dasar utama yang menyatukan untuk selalu bertumbuh di

dalam iman, kasih dan pengharapan dalam membentuk diri menjadi ciptaan yang

dikehendaki oleh Allah. Berdasarkan defenisi tersebut dapat disimpulkan bahwa

ciri-ciri komunitas shalom adalah setiap anggota bersama dalam menanggung

beban, saling membangun satu sama lain, saling menopang di dalam kesesakan dan

saling bertumbuh di dalam Kristus. Komunitas shalom adalah komunitas yang

saling mengingatkan satu dengan yang lain untuk berjalan di dalam jalannya Tuhan.

Perbedaan komunitas shalom dengan komunitas lain adalah bahwa dasar yang

membentuk komunitas itu adalah Kristus, dan tujuan komunitas itu terbentuk

adalah untuk memuji dan memuliakan Kristus.

Sekolah merupakan suatu bentuk komunitas, yang minimal terdiri dari

siswa dan guru. Oleh karena itu, dalam perspektif pendidikan Kristen, sekolah juga

2
harus merupakan suatu bentuk komunitas shalom. Artinya, semua tindakan di

sekolah harus dibangun di atas prinsip dan tujuan shalom, termasuk proses

pembelajaran di kelas.

Untuk itu, setiap guru Kristen terpanggil untuk membangun dan

mengarahkan kelasnya pada terbentuknya suatu komunitas shalom dalam proses

pembelajaran. Setelah penulis melakukan observasi dan melakukan PPL selama

sebulan di kelas II di suatu sekolah di Jakarta, penulis menemukan bahwa siswa di

kelas belajar dengan sendiri-sendiri atau secara individual (Lampiran). Siswa belum

memberikan andil di dalam kelas, yang mana belajar juga harus dapat memberikan

kontribusi bagi lingkungan. Sebagai sebuah komunitas di dalam kelas, siswa tidak

menunjukkan relasi yang berkomitmen diantara mereka sebagai anggota kelas yang

memiliki tujuan yang sama dan mereka tidak memiliki kepekaan terhadap satu

dengan yang lain. Menurut Washington & Keherin dalam Lee (2010) bahwa

sebuah komunitas yang baik adalah kelas memperlihatkan setiap anggota memiliki

relasi yang berkomitmen dalam Kristus (Ruth 1:16) dan memiliki kepekaan antar

anggota (Efesus 4:15-16). Komunitas kelas yang belum menunjukkkan relasi yang

baik terjadi bukan hanya karena kesalahan dari siswa. Namun juga karena guru

sebagai pemegang otoritas atau pemimpin di kelas tidak membawa setiap siswa

menjadi anggota kelas yang peduli satu dengan yang lain (Priyatna, 2017).

Para siswa belum memiliki interaksi yang membuat mereka menjadi

seseorang yang berguna bagi sekelilingnya. Kelas sebagai komunitas seharusnya

membuat setiap siswa menemukan penerimaan dari lingkungannya. Guru mentor

sebagai wali kelas juga menanggapi pertanyaan penulis didalam wawancara bahwa

3
pembelajaran yang berlangsung di dalam kelas adalah individual (Lampiran). Kelas

yang individual dan menjalankan aktivitas untuk tujuan pribadi bukanlah sebuah

komunitas yang ideal. Kelas sebagai komunitas seharusnya kelas menjadi wadah

untuk memfasilitasi siswa dalam mendukung proses belajar siswa untuk

menciptakan kelas yang ideal.

Hubungan timbal balik antara guru dan siswa serta siswa dengan siswa

diperlukan karena penting dalam berlangsungnya proses pembelajaran di kelas

(Yuliati, 2017). Interaksi yang baik di dalam kelas dapat membawa siswa

mendapatkan pembelajaran yang ideal. Namun kenyataanya siswa di dalam kelas

tidak memiliki interaksi yang baik dengan temannya yang mana bisa dilihat siswa

berjalan-jalan, siswa asik bermain dengan mejanya atau bukunya. Jika ditelusuri

lebih dalam, masalah-masalah yang terjadi di kelas ini adalah kurangnya kepedulian

sesama anggota komunitas dalam membawa komunitas menjadi pribadi-pribadi

yang reflektif. Kelas yang diobservasi tidak menjadi kelas yang ideal karena kelas

tidak dibangun menjadi sebuah komunitas shalom. Dalam hal ini guru sangat

berperan penting dalam mendorong siswa membentuk kemunitas shalom supaya di

dalamnya siswa dapat saling membangun satu sama lain.

Maka dari itu dibutuhkan suatu pendekatan belajar yang dapat membuat

siswa saling mendukung di dalam belajar untuk membentuk hadirnya komunitas

yang saling membangun satu sama lain. Salah satu pendekatan yang dapat

dilakukan guru adalah pembelajaran kooperatif (cooperative learning), pendekatan

ini dapat menjadi hal yang baik bagi siswa jika diterapkan sesuai dengan kondisi

4
yang tepat dan guru dapat mengatur proses pembelajaran dengan baik dan

membimbing siswa untuk menjadi anggota komunitas kelas yang signifkan.

Menurut West dalam Nurnawati, Yulianti, & Susanto (2012) menyatakan

bahwa riset membuktikan bahwa pada bidang aktivitas dan usaha manusia, jika

dilakukannya kerja sama secara berkelompok, maka pekerjaan yang dilakukan akan

lebih efisien dan efektivitas yang lebih baik. Di dalam kelas siswa yang telah dibagi

didalam kelompok terlihat mulai berinteraksi dengan teman kelompoknya dan

berusaha untuk saling mendukung dan membantu satu sama lain.

Berdasakan pemaparan di atas, maka penulisan paper ini bertujuan untuk

memberikan analisis teoritis kemungkinan penggunaan pembelajaran kooperatif

dalam membentuk komunitas shalom di kelas.

BELAJAR DALAM PENDIDIKAN KRISTEN

Di era modernisasi ini menawarkan segalanya serba instan dan selalu

bergerak dengan cepat yang membuat orang diperadaban ini menjadi malas untuk

melakukan sesuatu. Namun setiap orang harus tetap belajar dalam menanggapi

segala yang ditawarkan oleh dunia agar tidak membawa malapetaka bagi dirinya

sendiri jika tidak disikapi dengan benar. Menurut Hamalik dalam Siagian (2012)

mengatakan bahwa “belajar” merupakan suatu aktivitas yang dilakukan seseorang

dalam upaya mengalami perubahan yang signifikan di dalam dirinya dari hasil

pengalamannya dengan interaksinya pada lingkungan. Defenisi tersebut

mengungkapkan bahwa belajar adalah upaya yang dilakukan seseorang dengan

sengaja untuk memperoleh pengetahuan yang baru dalam memperbaiki progress

5
pola pikir dan tingkah lakunya. Melalui belajar seseorang menjadi lebih maju dalam

berpikir dan bertindak yang bermanfaat bagi dirinya sendiri dalam menyaring apa

yang perlu ia terima ataupun tidak.

Harold Spears dalam Isnaini & Rifai (2018) mengungkapkan bahwa

“belajar adalah mengamati, membaca, meniru, mencoba sesuatu, mendengar dan

mengikuti arah tertentu.” Jika ditarik ke dalam pendidikan Kristen agar lebih

spesifik maka berarti belajar adalah siswa dididik untuk mengamati dan meniru

karakter Kristus serta mengikuti arah dan jalan keselamatan yang telah dijanjikan

Allah. Belajar di dalam pendidikan Kristen juga harus mampu mendidik para siswa

untuk belajar memegang tanggung jawab di dalam sebuah komunitas. Hal ini sesuai

dengan ajaran Kristus bahwa di dalam hidup harus saling menopang dalam

menanggung beban (Galatia 6:2). Beban yang dimaksud di sini adalah tanggung

jawab yang diemban para siswa untuk terus membentuk diri menjadi pribadi yang

responsible.

Belajar di dalam pendidikan Kristen harus meluluskan siswa-siswa yang

mampu memberikan karakter baik yang memiliki dampak bagi kehidupan

bermasyarakat melalui nilai-nilai yang ada di sekolah (Priyatna, 2017). Untuk itulah

siswa harus mampu memberi masukan di dalam kelompok ataupun sebaliknya

menerima bantuan dari dalam kelompok sebagai salah satu bentuk kasih kepada

sesama. Siswa yang belajar di dalam sebuah komunitas menjadi mampu bagaimana

belajar untuk menghargai pendapat dan kebutuhan orang lain, belajar menjadi

pribadi yang responsive untuk membantu sesama, belajar bersama-sama

menggumulkan Firman Tuhan sebagai pertumbuhan yang baik bagi imannya .

6
Tuhan Yesus juga mengajarkan umat manusia dalam surat Paulus kepada

(Titus 3:14) bahwa setiap orang harus belajar dalam melakukan pekerjaan yang baik

untuk dapat memenuhi keperluan hidup yang pokok, supaya hidupnya berbuah.

Kristus adalah teladan bagi orang Kristen yaitu di dalam karakter dan hidup. Kristus

yang menjadi guru Agung yang mengajarkan makna kehidupan yang membawa

manusia kembali kejalan yang benar. Siapa saja yang berpegang pada pengajaran

Kristus maka ia akan memahami kebenaran, dan kebenaran itu akan

menyelamatkan dari keberdosaannya (Van Brummelen, 2008). Maka dari itu

pendidikan Kristen mengupayakan perkembangan hidup manusia secara utuh,

bukan hanya dimensi rohani yang harus menjadi perhatian pendidikan tetapi juga

di dalam semua aspek intelektual, emosi, kehendak, dan bahkan jasmani manusia

secara keseluruhan (Sidjabat, 1994). Lukas 2:40 menuliskan bahwa Kristus juga

bertumbuh dalam semua aspek itu, maka setiap pengikutnya harus belajar seperti

Dia dengan terus mengembangkan semua aspek yang ada dalam dirinya. Ketika

semua aspek bertumbuh secara signifikan dan seimbang maka akan membawa

manusia yang dapat memberikan perubahan bagi lingkungannya. Ia dapat menjadi

pembelajar sejati yang mau melakukan hal yang Kristus inginkan.

Karena “misi pendidikan Kristen adalah proses mendidik siswa (sudah jatuh

dalam dosa) sesuai dengan Firman Tuhan sehingga yang kemudian inti pendidikan

itu (Firman Tuhan) meresap dalam jiwa siswa yang terwujud dalam pola pikir dan

tingkah laku hidup yang sesuai jalan Kebenaran-Nya” (Boiliu, 2016, hal 123).

Belajar dalam pendidikan Kristen adalah belajar untuk terus bergumul dalam

mengetahui keinganan hati Tuhan yang membawa ke dalam kebenaran. Tingkah

7
laku siswa yang terbentuk dari kebenaran sejati akan membuahkan kehidupan yang

damai yang mana para siswa mampu menghidupi dan menjalankan karakter Kristus

didalam kehidupannya.

PEMBELAJARAN KOOPERATIF

Kegiatan yang ada dalam pendidikan merupakan suatu proses sosial yang tidak

dapat terjadi tanpa interaksi antar individu, sedangkan belajar tidak lepas dari

kegiatan pendidikan yang tidak hanya sebagai suatu proses pribadi tetapi juga

proses sosial dengan orang lain dalam membangun pengertian dan pengetahuan

bersama (Suryani, 2010). Siswa memiliki kreatifitas tanpa batas untuk menemukan

pengetahuan bagi dirinya yang mana pengetahuan itu akan diproses dan kemudian

akan dikembangkannya sendiri. Namun, tetap saja siswa membutuhkan guru untuk

membantu siswa untuk berada dalam kondisi dan situasi yang memungkinkan siswa

dapat membentuk makna dari pengetahuan-pengetahuan melalui suatu proses

belajar yang telah siswa terima (Suryani, 2010).

Menciptakan proses belajar yang baik bagi siswa adalah tugas guru untuk

memberikan siswa kesempatan belajar yang baik. Salah satu pendekatan

pembelajaran yang dapat guru terapkan adalah pembelajaran kooperatif yang mana

siswa membutuhkan interaksi sosial dengan lingkungannya untuk membangun

pengertian dan pengetahuannya sendiri sebagaimana itu menjadi suatu kegiatan di

dalam belajar. Pembelajaran kooperatif adalah kegiatan belajar mengajar yang

dilakukan oleh pelajar secara bersama-sama di dalam sebuah kelompok untuk

saling mendukung satu dengan yang lain dalam mencapai tujuan pembelajaran

8
(Simamora & Dalimunthe, 2014). Belajar di dalam kelompok adalah kesempatan

siswa untuk memiliki tanggung jawab dengan temannya untuk mencapai sebuah

tujuan pembelajaran. Siswa yang belajar di dalam kelompok dididik untuk mampu

memberikan kontribusi bagi kelompok dan saling menopang temannya untuk sama-

sama mengerti pelajaran.

Lie (2002) dalam Herawati, Wahyuni, & Prihatin (2014) mengungkapkan

bahwa pendekatan pembelajaran kooperatif mendesain belajar kelompok yang

terstruktur agar antara siswa saling memiliki ketergantungan positif, memiliki

interaksi, memiliki tanggung jawab secara individual maupun kelompok dan

memiliki keahlian dalam bekerja sama. Pembelajaran kooperatif ini membangun

komunitas yang baik di dalam diri para siswa karena kelompok membuat mereka

menjadi di dalam satu kesatuan untuk saling bekerja sama dalam mengupas

pelajaran lebih dalam. Belajar di dalam kelompok dapat menciptakan komunitas

yang baru bagi siswa untuk saling berbagi dan saling menegur untuk terus

melakukan hal yang baik. Siswa di dalam kelompok menjadi lebih peka dengan

keadaan sekelilingnya, siswa menjadi pribadi yang bisa menjadi pemimpin dan

dapat dipimpin juga. Hal ini dapat menciptakan komunitas yang membawa dampak

bagi siswa.

Pembelajaran kooperatif dapat membantu proses kegiatan belajar dengan

maksimal dalam kelas jika dilakukan dengan benar, karena melalui berkelompok

siswa memiliki kesempatan untuk membagikan informasi yang ia terima kepada

temannya dalam bentuk diskusi ataupun interaksi lainnya melalui bahasanya

9
sendiri. Ketika siswa menggunakan bahasanya dalam memaparkan pendapatnya

melalui diskusi di dalam kelompok adalah sebuah bentuk interpretasi dari cara ia

berpikir dan bernalar menggunakan kreatifitas dalam mengelola pengetahuan

tersebut. Misalnya, setiap siswa dibagi dalam kelompok untuk saling bekerjasama

dalam melaksanakan kegiatan yang diperintahkan guru.

Interaksi yang mungkin akan terjadi adalah siswa yang cepat menangkap

pelajaran akan memaparkan isi pikirannya dari hasil penjelasan yang ia terima

kepada temannya yang mungkin lambat dalam menangkap pelajaran dengan

menggunakan bahasa sederhananya. Anak yang lambat dalam menerima informasi

tersebut pun akan memproses informasi dari temannya sesuai dengan kapasitas

berpikir dan bernalarnya yang sepadan. Ayunigtyas dalam Fahrullisa, Putra, &

Supriadi (2018) memaparkan bahwa jika diamati terlihat teman sebaya dapat lebih

bisa membagi informasi kepada temannya karena sama-sama memiliki taraf

pengetahuan dan cara berpikir (ways of thinking) yang lebih sejalan dan sepadan.

Namun bukan hanya cara berpikir saja tetapi juga berhubungan dengan bahasa yang

dimiliki antara guru dan siswa. Bahasa antara sesama siswa yang sebaya akan lebih

nyambung daripada guru yang usianya jauh lebih diatas siswa. Maka melalui

pembelajaran kooperatif guru dapat memanfaatkan teman sebaya untuk mengisi

ruang yang tidak bisa diisi oleh guru.

Bentuk pembelajaran kooperarif adalah siswa dibagi dalam kelompok yang

terdiri dari beberapa orang yang tingkat kognitif, latar belakang yang bervariasi.

Bertujuan untuk setiap anak saling mengisi dan saling membantu teman

10
kelompoknya. Pembelajaran kooperatif juga mengharapkan setiap siswa dapat

mengambil peran di dalam komunitasnya untuk sama-sama mendapatkan hasil

belajar yang setara. Pembelajaran kooperatif memiliki kelebihan yaitu siswa

memiliki rasa kerjasama dalam mencapai tujuan dengan teman kelompoknya yang

membuat siswa belajar bertanggung jawab, siswa semakin peduli pada teman yang

belum mengerti dengan membantunya dalam memahami tugas. Pembelajaran

kooperatif juga membuat siswa semakin aktif dalam kegiatan pembelajaran,

misalnya bertanya kepada guru, bekerja sama dengan teman, berusaha menyimak

instruksi guru dan mampu memberikan hasil kerja kelompok dalam bentuk

penyelesaian soal sebagai bukti mereka telah memahami pelajaran (Susanto,

2012).

Belajar kelompok juga melatih emosi siswa di dalam kelompok karena tidak

menutup kemungkinan ada teman yang tidak taat dengan peraturan maka sebagai

teman kelompok dalam tanggung jawab maka ia berusaha menegur temannya agar

tertib. Melalui bentuk kooperatif pun membuat siswa memiliki jiwa sosial karena

dalam kelompok mengharuskan seseorang untuk berinteraksi sehingga lebih

mengenal diri orang lain yang memiliki sudut pandang yang mungkin berbeda dari

miliknya menjadikan siswa menjadi pribadi yang menghargai pendapat orang lain.

Dari proses interaksi tersebut menjadikan atau membentuk karakter yang

bertanggung jawab atas diri siswa itu sendiri dan bertanggung jawab atas

pembelajaran orang lain adalah esensi pembelajaran kooperatif itu sendiri (Sharan,

2012).

11
KOMUNITAS SHALOM

Kejatuhan manusia dalam dosa membuat hidup manusia menyimpang dari

jalur Kebenaran Tuhan. Namun, karya penebusan Allah di dalam Kristus sebagai

Juruselamat manusia menjadi dasar utama bagi orang percaya mengalami

pendamaian dengan Allah (Tarigan, 2019). Para nabi dalam Alkitab menantikan

zaman baru manakala Tuhan menempatkan segala sesuatu kembali kepada tempat

yang tepat (Plantinga, 2004). Relasi yang baik antara Tuhan, manusia dengan

seluruh ciptaan dalam keadilan, kepenuhan, dan sukacita, sebagai “shalom” (Dalam

Alkitab, shalom berarti kelancaran, keutuhan, dan sukacita yang universal)

(Plantinga, 2004). Shalom merujuk kepada kondisi awal mula dunia diciptakan

yaitu bagaimana segala sesuatu seharusnya berada dalam ketetapan-Nya. Shalom di

dalam bahasa Ibrani dan sering dingunakan dalam Kitab Ibrani, diterjemahkan

sebagai “perdamaian” yang merupakan gambar yang tertanam dalam budaya Ibrani

sebagai sebuah tujuan (Lee & Kaak, 2017).

Motyer dalam Lee (2010) mengatakan bahwa shalom dapat terwujud jika

manusia sebagai mahkota ciptaan memiliki relasional yang baik ke atas yaitu

perdamaian dengan Allah dan ke luar sebagai integrasi damai dalam masyarakat

umat Allah. Maka berdasarkan teori tersebut maka hubungan yang baik antara

manusia dengan Tuhan, sesama dan lingkungannya dapat membawanya menuju

sebuah kedamaian. Menurut Platinga (2004) bahwa dalam kondisi shalom, segala

hal akan mempunyai integritas atau kepenuhan yang terstrukur, dan setiap hal itu

memiliki keterkaitan yang saling mendukung dengan hal lainnya. Misalnya,

manusia sebagai satu pribadi harus memakai akal pikirannya untuk memperlakukan

12
sesamanya dengan baik seperti mengembangkan cara berpikir, hasrat, emosi,

ucapan, tindakan, dan watak yang tepat. Sebagai umat Allah, maka setiap orang

Kristen harus hidup di dalam komunitas yang mana Tuhan yang akan memimpin

umatnya di dalam kekudusan dan setiap orang akan melakukan kehendak Tuhan

melalui talenta yang telah diberikan Tuhan untuk senantiasa menaikkan pujian, rasa

syukur dan hormat kepada Tuhan, hal inilah yang disebut komunitas shalom

(Plantinga, 2004).

Menurut Washington & Keherin dalam Lee Kak (2010) bahwa ada beberapa

prinsip-prinsip untuk membentuk komunitas shalom yaitu; relasi yang

berkomitmen (Ruth 1:16), secara sadar harus dilakukan (Efesus 2:14-16), secara

tulus dilakukan (John 15:5), kepekaan (Efesus 4:15-16), berkorban (Filipi 2:3-4),

bergantung satu sama lain (2 korintus 8:12-14), saling menguatkan (2 Korintus 8:9),

pengakuan dan mengampuni (2 Korintus 5:17-21). Sebuah komunitas yang dapat

membawa shalom adalah bahwa hal-hal di atas terdapat dalam sebuah komunitas

tersebut yang terus melakukan hal-hal yang Tuhan kehendaki di dalam kehidupan

umat Allah dan dasar terbentuknya komunitas tersebut adalah iman kepada Kristus

yang telah menyatukan.

Kelas sebagai komunitas bagi siswa harus dapat membentuk interaksi yang

baik bagi orang lain dan dirinya sendiri sebagai suatu bentuk pembelajaran. Melalui

interaksi siswa dengan lingkungan sekitar dapat menjadi hal positif bagi

perkembangan sosial yang merupakan perkembangan tingkah laku anak dan lambat

laun membentuk sifat anak (Nurmalitasari, 2015). Interaksi positif yang baik dalam

komunitas yang saling membangun juga dapat membentuk pola sifat anak dan

13
aspek kehidupannya yang lain. Hal ini akan membawa siswa sedikit demi sedikit

menjadi orang yang cerdas dalam mengatur emosinya yang berdampak pada cara

dia bertindak dalam mengatasi masalah yang ada disekitarnya (Setyowati, 2005).

KOMUNITAS SHALOM DALAM RUANG KELAS

Setiap siswa adalah unik, unik berarti seorang pun tidak ada yang sama

persis bahkan anak kembar sekalipun. Keunikan siswa berpusat pada kebenaran

bahwa Tuhan mengkhususkan manusia saat penciptaan dengan menciptakannya

sesuai gambar dan rupa Allah yang berimplikasi bahwa siswa memiliki sifat ilahi

yang diwariskan Tuhan (Knight, 2009). Dari keunikan tersebut yang diberikan

Tuhan kepada setiap manusia membuat mereka menjadi penting di mata Tuhan.

Siswa (image of God) diberikan Tuhan memiliki kemampuan, latar belakang dan

kesukaan yang berbeda-beda. Tujuannya adalah supaya setiap siswa dapat saling

melengkapi di dalam perbedaan tersebut sebagai suatu kesempatan untuk mereka

dapat menerapkan hukum kasih kepada sesamanya. Contohnya di dalam komunitas

kelas ada siswa yang pintar di dalam matematika, ada yang pintar di bahasa

Indonesia, ada yang pintar memainkan musik, ada yang pintar menggambar dan

lain-lain.

Perbedaan tersebut di dalam komunitas adalah biasa, namun hal inilah yang

dapat menyatukan setiap siswa karena di dalam perbedaan tersebut membuat siswa

saling membutuhkan satu sama lain. Misalnya di dalam pelajaran matematika siswa

yang pintar di dalam matematika mampu mengajari teman kelompoknya yang

belum mengerti pelajaran, siswa yang pintar menggambar mau mengajari teman-

14
teman yang lain untuk menggambar dengan baik, siswa yang pintar memainkan

musik mau mengajari temannya yang belum bisa memainkan alat musik. Saling

memberi dukungan di dalam kelompok belajar dengan memanfaatkan talenta yang

ada di dalam diri siswa dapat membentuk kepemimpinan pada siswa dengan

menggunakan talenta yang dimiliki untuk melengkapi sebuah komunitas dalam

menyediakan komunitas yang damai (Tjhin & Hidayat, 2019).

Pendidikan di sekolah harus membangun komunitas yang membawa shalom

di dalam kelas agar setiap siswa menjadi satu di dalam satu kesatuan yang utuh

yaitu di dalam Kristus Yesus dan memberikan kontribusi kepada seluruh komunitas

kelas melalui talenta-talenta unik yang diberikan oleh Tuhan (Dami, 2019). Setiap

pribadi siswa memiliki kemampuan berbeda-beda, sifat yang berbeda-beda bahkan

memiliki cita-cita yang berbeda. Namun mereka berada di dalam sebuah komunitas

yang memiliki tujuan yang sama yaitu untuk menjadi manusia yang lebih baik dari

sebelumnya (lebih baik dari dia sebelumnya). Belajar di dalam komunitas shalom

mampu membawa setiap siswa menjadi pribadi yang mau peduli dengan kebutuhan

orang lain yaitu dengan belajar untuk menanggung beban masing-masing dan saling

berbagi sukacita, dan damai, dimana mereka belajar bekerja sama untuk kebaikan

semua (van Brummelen, 2008). Belajar di dalam komunitas shalom di kelas juga

harus membawa siswa pada suatu kesempatan untuk sama-sama merenungkan

Firman Tuhan dalam pertumbuhan imannya bersama saudara seimannya. Di dalam

kelas siswa juga belajar melayani dengan memberi kontribusi untuk menolong

orang lain sebagai bentuk dan cara untuk menciptakan komunitas yang membawa

damai (van Brummelen, 2009).

15
Untuk itu guru harus dapat mengatur kelas menjadi komunitas bagi siswa

salah satunya yaitu dengan menggunakan pendekataan cooperative learning yaitu

(Hoek, 1993):

1. Melihat kelas sebagai loka karya bagi siswa, sebagaimana hal itu perlu

untuk mencerminkan bahwa siswa bekerja di dalamnya agar siswa

merasa memiliki lingkungan kelas jika mereka memiliki andil di

dalamnya. Guru berperan menyediakan kerangka dasar dan

membimbing dan mengembangkan prosedur operasional dan ekspektasi

kelas.

2. Tidak ada komunitas yang terlepas dari masalah. Oleh karena itu penting

untuk mengajar siswa bagaimana mengatasi sebuah masalah.

3. Kelas harus membangun identitas komunal. Identitas penting bagi

sekolah Kristen karena bisa fokus untuk kepada doa bersama, dimana

suara hati para siswa saling sharing dan dibawa kehadapan Tuhan.

4. Membangun komunitas harus direncanakan. Hanya karena siswa belajar

di dalam kelompok tidak berarti komunitas itu dibangun harusnya

memerlukan interaksi berkelanjutan untuk mencapai tujuan bersama

yang memerlukan keterlibatan semua anggota

5. Setiap siswa membutuhkan kesempatan untuk bekerja sama dengan

semua anggota kelompok. Supaya siswa tidak jenuh dalam kelompok.

Kelompok harus dapat menjadi tempat untuk membagikan perasaan dan

pengalaman mereka.

16
6. Secara umum kita dapat mengatakan bahwa komunitas adaalah tempat

dimana semua orang merasa memiliki karena diterima oleh anggota

komunitas yang lain; dimana interaction is regular, on-going, and face-

to face; mengevaluasi bagaimana fungsi komunitas yang seharusnya.

Komunitas adalah tempat dimana setiap anggota berkeinginan untuk

membantu satu anggota lain yang bertanya; meningkatkan rasa percaya

diri; setiap anggota komunitas memiliki tanggung jawab satu terhadap

yang lain. Hal yang sama juga berlaku untuk komunitas di dalam kelas,

supaya siswa dapat belajar mengidentifikasi peran yang siswa jalankan

dalam kelompok.

Membentuk kelas menjadi sebuah komunitas dapat dilakukan dengan

menyadari bahwa setiap siswa adalah image of God yang memiliki identitas untuk

bergabung dengan lingkungannya.

GURU SEBAGAI PEMIMPIN KOMUNITAS SHALOM

Sebuah komunitas di dalamnya pasti memiliki pemimpin dan anggota

komunitas. Pemimpinlah yang membawa para anggotanya untuk terus saling

bertumbuh di dalam komunitas dan yang menyediakan sarana untuk mendukung

pertumbuhan tersebut. Di dalam komunitas kelas, guru adalah sebagai pemimpin

komunitas kelas yang menyediakan sarana dan prasana agar setiap siswa di dalam

kelas dapat mengalami pertumbuhan di dalam kelas. Guru harus mengerti

bagaimana cara menghadirkan komunitas yang membangun diantara siswa supaya

menjadi anggota komunitas yang signifikan.

17
Sebagai guru harus menyadari bahwa kehadirannya memiliki dampak yang

besar untuk membawa siswa untuk mengerti maksud dan tujuan Tuhan di dalam

hidupnya melalui pelayanan di dalam komunitas untuk menciptakan damai kepada

lingkungannya. Rise dalam Supratikno (2019) mengungkapkan bahwa shalom

sebagai tanda kedamaian dari Tuhan mampu menerobos semua dimensi kehidupan

manusia baik di dalam spiritual, fisik, kognitif, emosional, sosial dan ekonomi.

Berdasarkan teori tersebut, shalom merujuk kepada belas kasihan, kebenaran,

keadilan, dan kedamaian melalui pertobatan di dalam Kristus yang dipimpin oleh

Roh Kudus dan transformasi sosial. Sebagai pemimpin komunitas yang membawa

damai di dalam kelas, guru juga harus dituntut untuk mampu memenuhi kualifikasi

yang seimbang berkaitan dengan adanya karakteristik spiritual, fisik, emosional,

kognitif dan sosial di dalam dirinya karena hal ini sangat penting dalam menyadari

diri sebagai pembawa perubahan bagi diri siswa (Knight, 2009).

Pentingnya guru dalam mengenalkan siswa tentang hidup di dalam

komunitas agar siswa lebih menyadari bahwa ia adalah mahkluk sosial yang butuh

orang lain dalam membantunya menjalankan kegiatannya. Dalam komunitas kelas,

guru sadar tugasnya sebagai pemimpin untuk mengembangkan kelas menjadi

komunitas belajar yang mana para siswa mengalami kelimpahan hidup di dalam

komunitas yang saling peduli (van Brummelen, 2009). Keteladanan guru sebagai

pemimpin komunitas yang sangat signifikan dapat dilihat melalui sikap dan

keprofesionalitasannya dalam meningkatkan mutu pembelajaran bagi siswa

(Triatna, 2015). Hal tersebut perlu diketahui guru untuk menjadi pemimpin

komunitas yang baik. Sebagai pemimpin yang baik, maka guru harus mengenal

18
semua anggota kelas dan potensi setiap siswa dalam mendorong mereka menjadi

anggota komunitas yang signifikan.

PEMBAHASAN

Pendidikan Kristen menyediakan banyak cara dalam mendidik dan

mengembangkan potensi yang dimiliki siswa-siswi sebagai cerminan dari Allah.

Membahas tentang siswa sebagai imago Dei, dapat dilihat bahwa siswa memiliki

tiga rangkap relasi di dalam hidupnya yaitu dengan Allah sebagai Pencipta, dengan

sesamanya dan dengan alam tempat tinggalnya (Hoekema, 2008). Hoekema

memberikan pertanyaan apakah manusia mungkin memiliki relasi dengan dirinya

sendiri? Jika ya, maka relasi seseorang dengan dirinya sendiri dapat membawa

dampak yang buruk yaitu menjadi berpusat pada diri sendiri, membenci dirinya

sendiri jika tidak dapat mencapai sesuatu dan lainnya. Namun jika relasi yang benar

dengan diri sendiri seperti memiliki kepercayaan diri dan tidak pernah menjadikan

dirinya menjadi pusat alam semesta. Citra diri yang sehat tersebut merupakan suatu

akibat (implikasi) bahwa fungsi relasi yang tiga tersebut berjalan dengan baik.

Maka dapat disimpulkan bahwa siswa harus menjaga dan memelihara relasi yang

baik dengan Tuhan, sesama, dan juga lingkungannya (Hoekema, 2008).

Berimplikasi bahwa setiap orang tidak boleh menjadi individual dan mementingkan

diri sendiri, haruslah terus menjaga relasi dengan Tuhan, sesama dan

lingkungannya.

Di dalam kelas siswa yang telah diobservasi penulis terlihat bahwa siswa

melakukan belajar dengan sendiri-sendiri atau individual. Hal ini belum

19
mencerminkan belajar yang baik dalam pendidikan Kristen. Maka dari itu, untuk

mengembalikan siswa tersebut mengenal dirinya sendiri di dalam sebuah komunitas

yang harus berelasi maka diperlukan sebuah pendekatan pembelajaran yang mampu

memberikan siswa-siswa tersebut berelasi dengan lingkungannya sebagai sebuah

komunitas kelas.

Salah satu yang dapat dipertimbangkan adalah pembelajaran kooperatif.

Berikut akan dipaparkan bagaimana pembelajaran kooperatif dapat membentuk

komunitas shalom. Tabel di bawah ini menunjukkan bahwa karakteristik yang ada

dalam pembelajaran kooperatif memiliki ciri-ciri yang sama dengan bagaimana

membentuk komunitas shalom yang dilihat juga dari karakteristik komunitas

shalom.

Tabel 1. Persamaan Karakteristik Pembelajaran Kooperatif dan Komunitas Shalom

Karakteristik Kooperatif Prinsip-Prinsip Karakteristik dalam


Learning untuk Membentuk Komunitas Shalom
Komunitas Shalom (Palmer dalam Lee
(Washington & Kak, 2010)
Keherin dalam Lee
Kak, 2010)
Mendesain pembelajaran di • Relasi yang • Orang asing bertemu di
dalam kelompok yang berkomitmen tanah yang sama dan
beranggotakan antara 4-5 (Ruth 1:16) memilikipijakan yang
orang untuk bersama-sama • Secara sadar harus sama (adanya
mencapai tujuan dilakukan (Efesus pertemuan)
pembelajaran (Lie dalam 2:14-16) • Ketakutan akan orang
Herawati, Wahyuni, dan lain dihadapi
Prihatin, 2014) (melakukan
pendekatan)
Setiap orang di dalam • Kepekaan (Efesus • Sumber daya yang
kelompok saling bekerja 4:15-16) langka dibagikan dan
sama, saling membantu • Saling menguatkan secara bersama-sama
dalam melakukan (2 Korintus 8:9) merasakan kelimpahan

20
investigasi kelompok • Berkorban (Filipi • Jika ada konflik
(Simamora & Dalimunthe, 2:3-4) diselesaikan secara
2014) • Secara tulus (John bersama-sama secara
15:5) kekeluargaan
• Bergantung satu • Di dalam komunitas itu
sama lain (2 penuh warna, penuh
korintus 8:12-14) drama namun
puncaknya itu akan
damai
• Di dalam komunitas
harus fleksibel namun
tetap dalam aturan
Tuhan
• Setiap visi komunitas
dilaksanakan dengan
kemauan sendiri
• Saling menguatkan satu
sama lain tanpa harus
beradu kekuatan
• Tanggung jawab yang
ada merupakan bukti
kasih sayang di dalam
komunitas dan saling
membantu
Kelompok dibentuk dari Pengakuan dan Setiap orang ditarik
siswa yang memiliki mengampuni (2 keluar dari diri mereka
kemampuan yang berbeda- Korintus 5:17-21) untuk terbuka dengan
beda, suku, dan jenis yang lain
kelamin (Zulhartati, 2011)
Penghargaan lebih Saling menguatkan satu
menekankan pada sama lain tanpa harus
kelompok (Fajri, Yoesoef, beradu kekuatan
& Nur, 2016)

Berdasarkan tabel di atas menjelaskan bahwa adanya kesamaan antara

karakteristik pembelajaran kooperatif dan komunitas shalom. Jika pembelajaran

kooperatif dijalankan dengan baik, maka akan mendukung terbentuknya sebuah

komunitas shalom. Namun, jika ditinjau lebih jauh lagi bahwa pembelajaran

21
kooperatif cenderung menjadikan siswa menjadi pusat pembelajaran. Fokus

pembelajaran kooperatif adalah keberhasilan siswa dalam mencapai pembelajaran.

Hal ini dapat berdampak pada semua aspek pendidikan hanya mengutamakan

siswa. Di sekolah Kristen, pembelajaran yang ada di kelas haruslah menjadikan

Kristus sebagai pusat pembelajaran (Christ Centered) bukan berpusat pada guru

(Teacher centered) atau pada siswa (Student centered).

Kelas jika berpusat pada Kristus akan membawa kepada pengetahuan yang

sejati, namun jika berpusat pada siswa atau guru maka hanya membawa kepada

sekedar pengetahuan saja. Keberdosaan siswa dan guru tidak dapat mengerti makna

pengetahuan yang benar karena dosa membutakan jiwa mereka. Maka dengan itu

semua yang berhubungan dengan pembelajaran harus didasarkan kepada Kristus

yang melampaui segala pengetahuan (Bavinck, 2011).

Maka jika pembelajaran kooperatif dilakukan dengan benar maka lambat

laun komunitas kelas menjadi komunitas shalom. Shalom merupakan bagaimana

segala sesuatu seharusnya menjadi dalam rancangan Tuhan (Plantinga, 2004).

Pembelajaran kooperatif telah ditebus dapat berimplikasi terbentuknya komunitas

yang damai karena semua karakteristik di dalam pembelajaran kooperatif merujuk

kepada karakteristik komunitas shalom. Komunitas shalom memiliki karakteristik

bahwa hidup tidak boleh individual tetapi harus memberikan dampak pada orang

disekitarnya. Komunitas shalom merancangkan sebuah keutuhan di dalam suatu

kelompok yang memiliki tujuan yang sama yaitu untuk sama-sama terus bergumul

pada pengudusan sepanjang hayat. Komunitas shalom juga meminimalkan

individualisme di dalam zaman sekarang yang mana di dalam komunitas yang

22
membawa damai memiliki sikap menghormati dan menerima setiap individu.

Anggota komunitas shalom menyadari bahwa semua ciptaan berharga dimata

Tuhan yang memiliki ciri khas yang unik yaitu berbeda dari mahkluk lain (Pratt,

2002). Siswa yang belajar di dalam sebuah komunitas shalom akan sama-sama

melakukan kehendak Allah untuk melayani melalui talenta dan kemampuannya

untuk membantu saudara-saudaranya dalam keluarga Tuhan (Stott, 1999).

KESIMPULAN DAN SARAN

a. Kesimpulan

Pendidikan Kristen adalah pendidikan yang menyediakan sarana untuk

memenuhi pertumbuhan setiap siswa di dalam Kristus melalui pembelajaran. Setiap

tantangan yang terjadi di dalam kelas, guru harus mampu memberikan jalan keluar

dengan menerapkan pendekatan pembelajaran yang sesuai. Dalam menghadapi

tantangan siswa yang individual, guru dapat menerapkan pembelajaran

berkelompok yang berpusat kepada Tuhan bukan pada siswa ataupun guru. Jika

pendekatan pembelajaran kooperatif diterapkan guru dengan benar maka mampu

mengatasi masalah individual yang ada di dalam kelas dan menghadirkan

komunitas yang damai diantara siswa. Pembelajaran kooperatif dapat mendorong

terbentuknya komunitas shalom karena terlihat dari relasi siswa yang positif dalam

bekerja sama, saling membangun, mempedulikan, menolong, dan mengasihi satu

sama lain sebagai bentuk menjalankan panggilan Tuhan untuk hidup di dalam

komunitas yang dapat memberi kontribusi sesuai dengan talenta yang dimiliki

sebagai satu tubuh di dalam Tuhan.

23
b. Saran

Saat menerapkan pembelajaraan kooperatif, guru harus melihat situasi dan

kondisi setiap kelas. Hal ini dikarenakan pendekatan ini tidak dapat diterapkan

semua kegiatan pembelajaran. Guru Kristen harus menyadari bahwa pembelajaran

kooperatif yang telah diintegrasikan dengan wawasan Kristen Alkitabiahlah yang

dapat diterapkan dalam membentuk komunitas shalom di dalam kelas.

24

Anda mungkin juga menyukai