Analisis Penerapan Cooperative Learning Dalam Mebentuk Komunitas Shalom Di SD
Analisis Penerapan Cooperative Learning Dalam Mebentuk Komunitas Shalom Di SD
ABSTRAK
Setiap orang dipanggil Tuhan untuk hidup dalam komunitas agar saling bertumbuh dan
saling mengasihi satu sama lain. Kelas adalah komunitas bagi siswa. Kelas sebagai
komunitas seharusnya menjadi kesempatan bagi siswa untuk berelasi dengan sesamanya
melalui bekerja sama dalam membangun dan menopang satu sama lain untuk
menghadirkan komunitas shalom. Namun masalahnya banyak sekarang ditemui siswa
tidak peka dengan lingkungannya, cenderung melakukan hal yang bermanfaat bagi dirinya
saja. Individual misalnya, hal ini merusak panggilan Tuhan agar manusia hidup untuk
memberikan dampak bagi sekelilingnya. Untuk itu guru harus mampu dalam menjawab
tantangan itu dan memberikan solusinya melalui pendekatan pembelajaran. Salah satu yang
patut dipertimbangkan adalah pembelajaran kooperatif. Pembelajaran kooperatif
mendesain siswa saling belajar bersama serta bekerja sama dengan siswa yang lain untuk
memahami materi dan melakukan kegiatan belajar di dalam kelas. Maka dari itu, paper ini
bertujuan untuk menganalisis kemungkinan penerapan pembelajaran berkelompok dalam
membentuk sebuah komunitas shalom di dalam kelas. Paper ini menyimpulkan bahwa
pembelajaran kooperatif yang baik mampu membuat siswa menjadi anggota komunitas
yang signifikan, Namun, perlu ditinjau kembali bahwa pembelajaran kooperatif yang telah
diintegrasikan ke dalam iman Kristenlah yang mampu menghadirkan shalom bagi
komunitas kelas, karena dasar iman kepada Kristus yang mampu membawa shalom di
dalam komunitas.
Kata Kunci: Pembelajaran, kooperatif, komunitas, shalom.
ABSTRACT
Every person is called by God to live in a community to grow and love one another. Class
as community should be an opportunity for students to have relations through team work
in building one another in constructing shalom community. However, nowadays problems
found that students are not sensitive to their environment; tend to do beneficial for
themselves. For example is individuality, this damages God's calling for humans to give
an impact to their surroundings. For this reason, teachers must be able to answer those
challenges and provide solutions through the learning application. One thing that should
be considered is cooperative learning; this answers individual challenges in the classroom
through group study. Group study requires students to learn and work together with other
students to understand the material and carry out learning activities. In group study,
students are trained to contribute in the group so the group will get good grades. The
cooperative learning approach is able to make individual students to have good relation
one another, but only the redeemed group is able to construct shalom. This paper aims to
examine how the group learning approach is able to make a community that brings shalom
in the classroom.
Keywords: Learning, cooperative, community, shalom.
LATAR BELAKANG
emosi, sosial dan fisik. Sekolah menyediakan fasilitas bagi siswa dalam
mendapatkan pertumbuhan dalam semua ranah agar siswa menjadi pribadi yang
holistis yang dapat bertanggung jawab atas dunia global. Sebuah komunitas sangat
komunitas shalom adalah tempat untuk saling membangun, peduli, dan tempat
dengan Kristus sebagai dasar utama yang menyatukan untuk selalu bertumbuh di
dalam iman, kasih dan pengharapan dalam membentuk diri menjadi ciptaan yang
beban, saling membangun satu sama lain, saling menopang di dalam kesesakan dan
saling mengingatkan satu dengan yang lain untuk berjalan di dalam jalannya Tuhan.
Perbedaan komunitas shalom dengan komunitas lain adalah bahwa dasar yang
membentuk komunitas itu adalah Kristus, dan tujuan komunitas itu terbentuk
siswa dan guru. Oleh karena itu, dalam perspektif pendidikan Kristen, sekolah juga
2
harus merupakan suatu bentuk komunitas shalom. Artinya, semua tindakan di
sekolah harus dibangun di atas prinsip dan tujuan shalom, termasuk proses
pembelajaran di kelas.
kelas belajar dengan sendiri-sendiri atau secara individual (Lampiran). Siswa belum
memberikan andil di dalam kelas, yang mana belajar juga harus dapat memberikan
kontribusi bagi lingkungan. Sebagai sebuah komunitas di dalam kelas, siswa tidak
menunjukkan relasi yang berkomitmen diantara mereka sebagai anggota kelas yang
memiliki tujuan yang sama dan mereka tidak memiliki kepekaan terhadap satu
dengan yang lain. Menurut Washington & Keherin dalam Lee (2010) bahwa
sebuah komunitas yang baik adalah kelas memperlihatkan setiap anggota memiliki
relasi yang berkomitmen dalam Kristus (Ruth 1:16) dan memiliki kepekaan antar
anggota (Efesus 4:15-16). Komunitas kelas yang belum menunjukkkan relasi yang
baik terjadi bukan hanya karena kesalahan dari siswa. Namun juga karena guru
sebagai pemegang otoritas atau pemimpin di kelas tidak membawa setiap siswa
menjadi anggota kelas yang peduli satu dengan yang lain (Priyatna, 2017).
sebagai wali kelas juga menanggapi pertanyaan penulis didalam wawancara bahwa
3
pembelajaran yang berlangsung di dalam kelas adalah individual (Lampiran). Kelas
yang individual dan menjalankan aktivitas untuk tujuan pribadi bukanlah sebuah
komunitas yang ideal. Kelas sebagai komunitas seharusnya kelas menjadi wadah
Hubungan timbal balik antara guru dan siswa serta siswa dengan siswa
(Yuliati, 2017). Interaksi yang baik di dalam kelas dapat membawa siswa
tidak memiliki interaksi yang baik dengan temannya yang mana bisa dilihat siswa
berjalan-jalan, siswa asik bermain dengan mejanya atau bukunya. Jika ditelusuri
lebih dalam, masalah-masalah yang terjadi di kelas ini adalah kurangnya kepedulian
yang reflektif. Kelas yang diobservasi tidak menjadi kelas yang ideal karena kelas
tidak dibangun menjadi sebuah komunitas shalom. Dalam hal ini guru sangat
Maka dari itu dibutuhkan suatu pendekatan belajar yang dapat membuat
yang saling membangun satu sama lain. Salah satu pendekatan yang dapat
ini dapat menjadi hal yang baik bagi siswa jika diterapkan sesuai dengan kondisi
4
yang tepat dan guru dapat mengatur proses pembelajaran dengan baik dan
bahwa riset membuktikan bahwa pada bidang aktivitas dan usaha manusia, jika
dilakukannya kerja sama secara berkelompok, maka pekerjaan yang dilakukan akan
lebih efisien dan efektivitas yang lebih baik. Di dalam kelas siswa yang telah dibagi
bergerak dengan cepat yang membuat orang diperadaban ini menjadi malas untuk
melakukan sesuatu. Namun setiap orang harus tetap belajar dalam menanggapi
segala yang ditawarkan oleh dunia agar tidak membawa malapetaka bagi dirinya
sendiri jika tidak disikapi dengan benar. Menurut Hamalik dalam Siagian (2012)
dalam upaya mengalami perubahan yang signifikan di dalam dirinya dari hasil
5
pola pikir dan tingkah lakunya. Melalui belajar seseorang menjadi lebih maju dalam
berpikir dan bertindak yang bermanfaat bagi dirinya sendiri dalam menyaring apa
mengikuti arah tertentu.” Jika ditarik ke dalam pendidikan Kristen agar lebih
spesifik maka berarti belajar adalah siswa dididik untuk mengamati dan meniru
karakter Kristus serta mengikuti arah dan jalan keselamatan yang telah dijanjikan
Allah. Belajar di dalam pendidikan Kristen juga harus mampu mendidik para siswa
untuk belajar memegang tanggung jawab di dalam sebuah komunitas. Hal ini sesuai
dengan ajaran Kristus bahwa di dalam hidup harus saling menopang dalam
menanggung beban (Galatia 6:2). Beban yang dimaksud di sini adalah tanggung
jawab yang diemban para siswa untuk terus membentuk diri menjadi pribadi yang
responsible.
bermasyarakat melalui nilai-nilai yang ada di sekolah (Priyatna, 2017). Untuk itulah
menerima bantuan dari dalam kelompok sebagai salah satu bentuk kasih kepada
sesama. Siswa yang belajar di dalam sebuah komunitas menjadi mampu bagaimana
belajar untuk menghargai pendapat dan kebutuhan orang lain, belajar menjadi
6
Tuhan Yesus juga mengajarkan umat manusia dalam surat Paulus kepada
(Titus 3:14) bahwa setiap orang harus belajar dalam melakukan pekerjaan yang baik
untuk dapat memenuhi keperluan hidup yang pokok, supaya hidupnya berbuah.
Kristus adalah teladan bagi orang Kristen yaitu di dalam karakter dan hidup. Kristus
yang menjadi guru Agung yang mengajarkan makna kehidupan yang membawa
manusia kembali kejalan yang benar. Siapa saja yang berpegang pada pengajaran
bukan hanya dimensi rohani yang harus menjadi perhatian pendidikan tetapi juga
di dalam semua aspek intelektual, emosi, kehendak, dan bahkan jasmani manusia
secara keseluruhan (Sidjabat, 1994). Lukas 2:40 menuliskan bahwa Kristus juga
bertumbuh dalam semua aspek itu, maka setiap pengikutnya harus belajar seperti
Dia dengan terus mengembangkan semua aspek yang ada dalam dirinya. Ketika
semua aspek bertumbuh secara signifikan dan seimbang maka akan membawa
Karena “misi pendidikan Kristen adalah proses mendidik siswa (sudah jatuh
dalam dosa) sesuai dengan Firman Tuhan sehingga yang kemudian inti pendidikan
itu (Firman Tuhan) meresap dalam jiwa siswa yang terwujud dalam pola pikir dan
tingkah laku hidup yang sesuai jalan Kebenaran-Nya” (Boiliu, 2016, hal 123).
Belajar dalam pendidikan Kristen adalah belajar untuk terus bergumul dalam
7
laku siswa yang terbentuk dari kebenaran sejati akan membuahkan kehidupan yang
damai yang mana para siswa mampu menghidupi dan menjalankan karakter Kristus
didalam kehidupannya.
PEMBELAJARAN KOOPERATIF
Kegiatan yang ada dalam pendidikan merupakan suatu proses sosial yang tidak
dapat terjadi tanpa interaksi antar individu, sedangkan belajar tidak lepas dari
kegiatan pendidikan yang tidak hanya sebagai suatu proses pribadi tetapi juga
proses sosial dengan orang lain dalam membangun pengertian dan pengetahuan
bersama (Suryani, 2010). Siswa memiliki kreatifitas tanpa batas untuk menemukan
pengetahuan bagi dirinya yang mana pengetahuan itu akan diproses dan kemudian
akan dikembangkannya sendiri. Namun, tetap saja siswa membutuhkan guru untuk
membantu siswa untuk berada dalam kondisi dan situasi yang memungkinkan siswa
Menciptakan proses belajar yang baik bagi siswa adalah tugas guru untuk
pembelajaran yang dapat guru terapkan adalah pembelajaran kooperatif yang mana
saling mendukung satu dengan yang lain dalam mencapai tujuan pembelajaran
8
(Simamora & Dalimunthe, 2014). Belajar di dalam kelompok adalah kesempatan
siswa untuk memiliki tanggung jawab dengan temannya untuk mencapai sebuah
tujuan pembelajaran. Siswa yang belajar di dalam kelompok dididik untuk mampu
memberikan kontribusi bagi kelompok dan saling menopang temannya untuk sama-
komunitas yang baik di dalam diri para siswa karena kelompok membuat mereka
menjadi di dalam satu kesatuan untuk saling bekerja sama dalam mengupas
yang baru bagi siswa untuk saling berbagi dan saling menegur untuk terus
melakukan hal yang baik. Siswa di dalam kelompok menjadi lebih peka dengan
keadaan sekelilingnya, siswa menjadi pribadi yang bisa menjadi pemimpin dan
dapat dipimpin juga. Hal ini dapat menciptakan komunitas yang membawa dampak
bagi siswa.
maksimal dalam kelas jika dilakukan dengan benar, karena melalui berkelompok
9
sendiri. Ketika siswa menggunakan bahasanya dalam memaparkan pendapatnya
melalui diskusi di dalam kelompok adalah sebuah bentuk interpretasi dari cara ia
tersebut. Misalnya, setiap siswa dibagi dalam kelompok untuk saling bekerjasama
Interaksi yang mungkin akan terjadi adalah siswa yang cepat menangkap
pelajaran akan memaparkan isi pikirannya dari hasil penjelasan yang ia terima
tersebut pun akan memproses informasi dari temannya sesuai dengan kapasitas
berpikir dan bernalarnya yang sepadan. Ayunigtyas dalam Fahrullisa, Putra, &
Supriadi (2018) memaparkan bahwa jika diamati terlihat teman sebaya dapat lebih
pengetahuan dan cara berpikir (ways of thinking) yang lebih sejalan dan sepadan.
Namun bukan hanya cara berpikir saja tetapi juga berhubungan dengan bahasa yang
dimiliki antara guru dan siswa. Bahasa antara sesama siswa yang sebaya akan lebih
nyambung daripada guru yang usianya jauh lebih diatas siswa. Maka melalui
terdiri dari beberapa orang yang tingkat kognitif, latar belakang yang bervariasi.
Bertujuan untuk setiap anak saling mengisi dan saling membantu teman
10
kelompoknya. Pembelajaran kooperatif juga mengharapkan setiap siswa dapat
memiliki rasa kerjasama dalam mencapai tujuan dengan teman kelompoknya yang
membuat siswa belajar bertanggung jawab, siswa semakin peduli pada teman yang
misalnya bertanya kepada guru, bekerja sama dengan teman, berusaha menyimak
instruksi guru dan mampu memberikan hasil kerja kelompok dalam bentuk
2012).
Belajar kelompok juga melatih emosi siswa di dalam kelompok karena tidak
menutup kemungkinan ada teman yang tidak taat dengan peraturan maka sebagai
teman kelompok dalam tanggung jawab maka ia berusaha menegur temannya agar
tertib. Melalui bentuk kooperatif pun membuat siswa memiliki jiwa sosial karena
mengenal diri orang lain yang memiliki sudut pandang yang mungkin berbeda dari
miliknya menjadikan siswa menjadi pribadi yang menghargai pendapat orang lain.
bertanggung jawab atas diri siswa itu sendiri dan bertanggung jawab atas
pembelajaran orang lain adalah esensi pembelajaran kooperatif itu sendiri (Sharan,
2012).
11
KOMUNITAS SHALOM
jalur Kebenaran Tuhan. Namun, karya penebusan Allah di dalam Kristus sebagai
pendamaian dengan Allah (Tarigan, 2019). Para nabi dalam Alkitab menantikan
zaman baru manakala Tuhan menempatkan segala sesuatu kembali kepada tempat
yang tepat (Plantinga, 2004). Relasi yang baik antara Tuhan, manusia dengan
seluruh ciptaan dalam keadilan, kepenuhan, dan sukacita, sebagai “shalom” (Dalam
(Plantinga, 2004). Shalom merujuk kepada kondisi awal mula dunia diciptakan
dalam bahasa Ibrani dan sering dingunakan dalam Kitab Ibrani, diterjemahkan
sebagai “perdamaian” yang merupakan gambar yang tertanam dalam budaya Ibrani
Motyer dalam Lee (2010) mengatakan bahwa shalom dapat terwujud jika
manusia sebagai mahkota ciptaan memiliki relasional yang baik ke atas yaitu
perdamaian dengan Allah dan ke luar sebagai integrasi damai dalam masyarakat
umat Allah. Maka berdasarkan teori tersebut maka hubungan yang baik antara
sebuah kedamaian. Menurut Platinga (2004) bahwa dalam kondisi shalom, segala
hal akan mempunyai integritas atau kepenuhan yang terstrukur, dan setiap hal itu
manusia sebagai satu pribadi harus memakai akal pikirannya untuk memperlakukan
12
sesamanya dengan baik seperti mengembangkan cara berpikir, hasrat, emosi,
ucapan, tindakan, dan watak yang tepat. Sebagai umat Allah, maka setiap orang
Kristen harus hidup di dalam komunitas yang mana Tuhan yang akan memimpin
umatnya di dalam kekudusan dan setiap orang akan melakukan kehendak Tuhan
melalui talenta yang telah diberikan Tuhan untuk senantiasa menaikkan pujian, rasa
syukur dan hormat kepada Tuhan, hal inilah yang disebut komunitas shalom
(Plantinga, 2004).
Menurut Washington & Keherin dalam Lee Kak (2010) bahwa ada beberapa
berkomitmen (Ruth 1:16), secara sadar harus dilakukan (Efesus 2:14-16), secara
tulus dilakukan (John 15:5), kepekaan (Efesus 4:15-16), berkorban (Filipi 2:3-4),
bergantung satu sama lain (2 korintus 8:12-14), saling menguatkan (2 Korintus 8:9),
membawa shalom adalah bahwa hal-hal di atas terdapat dalam sebuah komunitas
tersebut yang terus melakukan hal-hal yang Tuhan kehendaki di dalam kehidupan
umat Allah dan dasar terbentuknya komunitas tersebut adalah iman kepada Kristus
Kelas sebagai komunitas bagi siswa harus dapat membentuk interaksi yang
baik bagi orang lain dan dirinya sendiri sebagai suatu bentuk pembelajaran. Melalui
interaksi siswa dengan lingkungan sekitar dapat menjadi hal positif bagi
perkembangan sosial yang merupakan perkembangan tingkah laku anak dan lambat
laun membentuk sifat anak (Nurmalitasari, 2015). Interaksi positif yang baik dalam
komunitas yang saling membangun juga dapat membentuk pola sifat anak dan
13
aspek kehidupannya yang lain. Hal ini akan membawa siswa sedikit demi sedikit
menjadi orang yang cerdas dalam mengatur emosinya yang berdampak pada cara
dia bertindak dalam mengatasi masalah yang ada disekitarnya (Setyowati, 2005).
Setiap siswa adalah unik, unik berarti seorang pun tidak ada yang sama
persis bahkan anak kembar sekalipun. Keunikan siswa berpusat pada kebenaran
sesuai gambar dan rupa Allah yang berimplikasi bahwa siswa memiliki sifat ilahi
yang diwariskan Tuhan (Knight, 2009). Dari keunikan tersebut yang diberikan
Tuhan kepada setiap manusia membuat mereka menjadi penting di mata Tuhan.
Siswa (image of God) diberikan Tuhan memiliki kemampuan, latar belakang dan
kesukaan yang berbeda-beda. Tujuannya adalah supaya setiap siswa dapat saling
kelas ada siswa yang pintar di dalam matematika, ada yang pintar di bahasa
Indonesia, ada yang pintar memainkan musik, ada yang pintar menggambar dan
lain-lain.
Perbedaan tersebut di dalam komunitas adalah biasa, namun hal inilah yang
dapat menyatukan setiap siswa karena di dalam perbedaan tersebut membuat siswa
saling membutuhkan satu sama lain. Misalnya di dalam pelajaran matematika siswa
belum mengerti pelajaran, siswa yang pintar menggambar mau mengajari teman-
14
teman yang lain untuk menggambar dengan baik, siswa yang pintar memainkan
musik mau mengajari temannya yang belum bisa memainkan alat musik. Saling
ada di dalam diri siswa dapat membentuk kepemimpinan pada siswa dengan
di dalam kelas agar setiap siswa menjadi satu di dalam satu kesatuan yang utuh
yaitu di dalam Kristus Yesus dan memberikan kontribusi kepada seluruh komunitas
kelas melalui talenta-talenta unik yang diberikan oleh Tuhan (Dami, 2019). Setiap
memiliki cita-cita yang berbeda. Namun mereka berada di dalam sebuah komunitas
yang memiliki tujuan yang sama yaitu untuk menjadi manusia yang lebih baik dari
sebelumnya (lebih baik dari dia sebelumnya). Belajar di dalam komunitas shalom
mampu membawa setiap siswa menjadi pribadi yang mau peduli dengan kebutuhan
orang lain yaitu dengan belajar untuk menanggung beban masing-masing dan saling
berbagi sukacita, dan damai, dimana mereka belajar bekerja sama untuk kebaikan
semua (van Brummelen, 2008). Belajar di dalam komunitas shalom di kelas juga
kelas siswa juga belajar melayani dengan memberi kontribusi untuk menolong
orang lain sebagai bentuk dan cara untuk menciptakan komunitas yang membawa
15
Untuk itu guru harus dapat mengatur kelas menjadi komunitas bagi siswa
(Hoek, 1993):
1. Melihat kelas sebagai loka karya bagi siswa, sebagaimana hal itu perlu
kelas.
2. Tidak ada komunitas yang terlepas dari masalah. Oleh karena itu penting
sekolah Kristen karena bisa fokus untuk kepada doa bersama, dimana
suara hati para siswa saling sharing dan dibawa kehadapan Tuhan.
pengalaman mereka.
16
6. Secara umum kita dapat mengatakan bahwa komunitas adaalah tempat
yang lain. Hal yang sama juga berlaku untuk komunitas di dalam kelas,
dalam kelompok.
menyadari bahwa setiap siswa adalah image of God yang memiliki identitas untuk
komunitas kelas yang menyediakan sarana dan prasana agar setiap siswa di dalam
17
Sebagai guru harus menyadari bahwa kehadirannya memiliki dampak yang
besar untuk membawa siswa untuk mengerti maksud dan tujuan Tuhan di dalam
sebagai tanda kedamaian dari Tuhan mampu menerobos semua dimensi kehidupan
manusia baik di dalam spiritual, fisik, kognitif, emosional, sosial dan ekonomi.
keadilan, dan kedamaian melalui pertobatan di dalam Kristus yang dipimpin oleh
Roh Kudus dan transformasi sosial. Sebagai pemimpin komunitas yang membawa
damai di dalam kelas, guru juga harus dituntut untuk mampu memenuhi kualifikasi
kognitif dan sosial di dalam dirinya karena hal ini sangat penting dalam menyadari
komunitas agar siswa lebih menyadari bahwa ia adalah mahkluk sosial yang butuh
komunitas belajar yang mana para siswa mengalami kelimpahan hidup di dalam
komunitas yang saling peduli (van Brummelen, 2009). Keteladanan guru sebagai
pemimpin komunitas yang sangat signifikan dapat dilihat melalui sikap dan
(Triatna, 2015). Hal tersebut perlu diketahui guru untuk menjadi pemimpin
komunitas yang baik. Sebagai pemimpin yang baik, maka guru harus mengenal
18
semua anggota kelas dan potensi setiap siswa dalam mendorong mereka menjadi
PEMBAHASAN
Membahas tentang siswa sebagai imago Dei, dapat dilihat bahwa siswa memiliki
tiga rangkap relasi di dalam hidupnya yaitu dengan Allah sebagai Pencipta, dengan
sendiri? Jika ya, maka relasi seseorang dengan dirinya sendiri dapat membawa
dampak yang buruk yaitu menjadi berpusat pada diri sendiri, membenci dirinya
sendiri jika tidak dapat mencapai sesuatu dan lainnya. Namun jika relasi yang benar
dengan diri sendiri seperti memiliki kepercayaan diri dan tidak pernah menjadikan
dirinya menjadi pusat alam semesta. Citra diri yang sehat tersebut merupakan suatu
akibat (implikasi) bahwa fungsi relasi yang tiga tersebut berjalan dengan baik.
Maka dapat disimpulkan bahwa siswa harus menjaga dan memelihara relasi yang
Berimplikasi bahwa setiap orang tidak boleh menjadi individual dan mementingkan
diri sendiri, haruslah terus menjaga relasi dengan Tuhan, sesama dan
lingkungannya.
Di dalam kelas siswa yang telah diobservasi penulis terlihat bahwa siswa
19
mencerminkan belajar yang baik dalam pendidikan Kristen. Maka dari itu, untuk
yang harus berelasi maka diperlukan sebuah pendekatan pembelajaran yang mampu
komunitas kelas.
komunitas shalom. Tabel di bawah ini menunjukkan bahwa karakteristik yang ada
shalom.
20
investigasi kelompok • Berkorban (Filipi • Jika ada konflik
(Simamora & Dalimunthe, 2:3-4) diselesaikan secara
2014) • Secara tulus (John bersama-sama secara
15:5) kekeluargaan
• Bergantung satu • Di dalam komunitas itu
sama lain (2 penuh warna, penuh
korintus 8:12-14) drama namun
puncaknya itu akan
damai
• Di dalam komunitas
harus fleksibel namun
tetap dalam aturan
Tuhan
• Setiap visi komunitas
dilaksanakan dengan
kemauan sendiri
• Saling menguatkan satu
sama lain tanpa harus
beradu kekuatan
• Tanggung jawab yang
ada merupakan bukti
kasih sayang di dalam
komunitas dan saling
membantu
Kelompok dibentuk dari Pengakuan dan Setiap orang ditarik
siswa yang memiliki mengampuni (2 keluar dari diri mereka
kemampuan yang berbeda- Korintus 5:17-21) untuk terbuka dengan
beda, suku, dan jenis yang lain
kelamin (Zulhartati, 2011)
Penghargaan lebih Saling menguatkan satu
menekankan pada sama lain tanpa harus
kelompok (Fajri, Yoesoef, beradu kekuatan
& Nur, 2016)
komunitas shalom. Namun, jika ditinjau lebih jauh lagi bahwa pembelajaran
21
kooperatif cenderung menjadikan siswa menjadi pusat pembelajaran. Fokus
Hal ini dapat berdampak pada semua aspek pendidikan hanya mengutamakan
Kristus sebagai pusat pembelajaran (Christ Centered) bukan berpusat pada guru
Kelas jika berpusat pada Kristus akan membawa kepada pengetahuan yang
sejati, namun jika berpusat pada siswa atau guru maka hanya membawa kepada
sekedar pengetahuan saja. Keberdosaan siswa dan guru tidak dapat mengerti makna
pengetahuan yang benar karena dosa membutakan jiwa mereka. Maka dengan itu
bahwa hidup tidak boleh individual tetapi harus memberikan dampak pada orang
kelompok yang memiliki tujuan yang sama yaitu untuk sama-sama terus bergumul
22
membawa damai memiliki sikap menghormati dan menerima setiap individu.
Tuhan yang memiliki ciri khas yang unik yaitu berbeda dari mahkluk lain (Pratt,
2002). Siswa yang belajar di dalam sebuah komunitas shalom akan sama-sama
a. Kesimpulan
tantangan yang terjadi di dalam kelas, guru harus mampu memberikan jalan keluar
berkelompok yang berpusat kepada Tuhan bukan pada siswa ataupun guru. Jika
terbentuknya komunitas shalom karena terlihat dari relasi siswa yang positif dalam
sama lain sebagai bentuk menjalankan panggilan Tuhan untuk hidup di dalam
komunitas yang dapat memberi kontribusi sesuai dengan talenta yang dimiliki
23
b. Saran
kondisi setiap kelas. Hal ini dikarenakan pendekatan ini tidak dapat diterapkan
24