Anda di halaman 1dari 5

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SULTAN MAULANA HASANUDDIN BANTEN


FAKULTAS USHULUDDIN DAN ADAB
PROGRAM STUDI ILMU ALQURAN DAN TAFSIR

UJIAN AKHIR SEMESTER

Mata Kuliah : Ad-Dakhil


Jurusan : Ilmu al-Qur’an dan Tafsir
Semester : VI (Enam)
Dosen Pengampu : Salim Rosyadi, M.Ag
Petunjuk Ujian
1. Setiap mahasiswa diwajibkan menjawab pertanyaan dengan
jujur dan bukan hasil plagiasi
2. Uijan ini sifatnya Take Home dan dikerjakan dalam jangkan
waktu yang ditentukan.
3. Setiap mahasiswa tidak diperkenankan memberikan jawaban
berdasarkan pendapatnya sendiri.
4. Soal ini sifatnya Essay dengan jawaban bentuk deskriptif.
5. Pengiriman jawaban diupload melalui google classroom dalam
bentuk file PDF dengan mencantumkan Nama, NIM, Jurusan
dan Semester

Soal Essay
1. Jelaskan salah satu contoh penafsiran al-Qur’an yang dakhil dalam aspek sains
2. Jelaskan mengapa di dalam Kitab Jami’ al-Bayan ‘an Ayyi Ta’wil al-Qur’an karya at-
Thabari masih mencatat riwsayat-riwayat isra’iliyat yang jelas masuk dalam kategiori Ad-
Dakhil fi at-Tafsir?
3. Bagaimana pendapat saudara jika dalam suatu tafsir yang memiliki kedakhilan baik secara
riwayat maupun dirayah, bagaimana tolak ukur dakhil tersebut diterima atau ditolaknya?
4. Berikan contoh bentuk ad-Dakhil dalam tafsir Bathini dan sertakan juga letak
kedakhilanya!
5. Berikan masing-masing satu contoh dakhil yang bersumber dari ma’tsur dan ra’yi!
6. Jelaskan bagaimana syarat-syarat suatu tafsir baik yang Ma’tsur maupun Ra’yi yang dapat
diterima (ashil) sehingga terhindar dari unsur dakhil?

LEMBAR JAWABAN

1. Salah satu contoh penafsiran Al-Qur’an yang dapat dilihat dalam aspek sains adalah pemahaman
tentang penciptaan alam semesta dan proses-proses alam yang dijelaskan dalam beberapa ayat Al-
Qur’an. Contoh ayat yang sering dikaitkan dengan aspek sains adalah ayat ke-30 dari Surah Al-
Anbiya’ (21:30), yang berbunyi:

‫ض كَانَتَا َرتقًا فَفَتَق َٰنَهُ َما ۖ َو َج َعلنَا ِم َن ٱل َمآ ِء كُ َّل شَىء َحى ۖ أَف ََل يُؤ ِمنُو َن‬ ِ ‫أَ َولَم يَ َر ٱلَّذِي َن كَف َُر ٓوا أَ َّن ٱلسَّ َٰ َم َٰ َو‬
َ ‫ت َوٱْلَر‬

“Apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwa langit dan bumi itu keduanya dahulu
adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya?”
Pemahaman tradisional dari ayat ini adalah bahwa Allah menciptakan langit dan bumi dalam
keadaan padu, kemudian Dia memisahkan antara keduanya. Namun, penafsiran ini juga dapat
dilihat dalam konteks ilmiah.

Dalam cosmology modern, teori Big Bang diterima secara luas oleh para ilmuwan sebagai
penjelasan yang paling konsisten tentang asal mula alam semesta. Teori ini menyatakan bahwa
alam semesta bermula dari suatu ledakan besar, di mana awalnya semua materi dan energi
terkonsentrasi dalam satu titik kepadatan dan suhu yang sangat tinggi. Setelah itu, alam semesta
mengalami ekspansi dan perkembangan yang terus berlanjut hingga saat ini.

Dalam konteks ini, ayat tersebut dapat diinterpretasikan sebagai deskripsi yang serupa dengan
konsep Big Bang dalam sains modern. Pada awalnya, langit dan bumi terkonsentrasi dalam satu
keadaan yang padu (dalam satu titik kepadatan tinggi), kemudian Allah memisahkan antara
keduanya, yang mencerminkan tahap ekspansi dan perkembangan alam semesta setelah Big Bang.

Penafsiran semacam ini menunjukkan kesesuaian antara teks Al-Qur’an dan pemahaman sains
modern tentang asal mula alam semesta. Ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an dapat mengandung
pesan-pesan yang dapat dihubungkan dengan pengetahuan ilmiah pada zamannya, serta membuka
ruang untuk penafsiran yang dapat dihubungkan dengan pemahaman ilmiah yang lebih mutakhir.
Namun, penting untuk diingat bahwa Al-Qur’an bukanlah buku sains, melainkan buku petunjuk
spiritual dan pedoman etika. Oleh karena itu, penafsiran Al-Qur’an dalam konteks sains haruslah
berhati-hati dan mempertimbangkan keberagaman penafsiran yang ad a.

2. Kitab “Jami’ al-Bayan ‘an Ayyi Ta’wil al-Qur’an” karya ath-Thabari adalah salah satu tafsir
terkenal yang membahas berbagai aspek Al-Qur’an. Kitab ini ditulis oleh seorang ulama besar
bernama Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari pada abad ke-9 Masehi. Ath-Thabari
mengumpulkan berbagai riwayat dan penafsiran Al-Qur’an yang dikemukakan oleh para ulama
sebelumnya, termasuk riwayat-riwayat isra’iliyat.
Riwayat-riwayat isra’iliyat merujuk pada cerita-cerita dan riwayat yang berasal dari tradisi Yahudi
dan Kristen. Ath-Thabari memasukkan beberapa riwayat isra’iliyat dalam tafsirnya karena pada
saat itu, banyak ulama Muslim yang menggunakan riwayat-riwayat ini dalam penafsiran Al-
Qur’an. Ath-Thabari ingin memberikan pemahaman yang komprehensif dan lengkap tentang
berbagai interpretasi yang ada.

Namun, penting untuk dicatat bahwa ath-Thabari mengkategorikan riwayat-riwayat isra’iliyat ini
sebagai “Ad-Dakhil fi at-Tafsir” atau “Masuk ke dalam Tafsir”. Kategori ini menunjukkan bahwa
ath-Thabari tidak memperlakukan riwayat-riwayat isra’iliyat sebagai bagian integral dari tafsir Al-
Qur’an. Sebaliknya, ia menyertakan riwayat-riwayat ini untuk memberikan informasi tambahan,
sejarah, atau konteks budaya yang dapat membantu pemahaman Al-Qur’an.

Adanya riwayat-riwayat isra’iliyat dalam kitab ath-Thabari dan karya-karya tafsir lainnya tidak
berarti bahwa semua riwayat tersebut dianggap otentik atau dijadikan sebagai dasar untuk
memahami ajaran Islam. Seiring dengan perkembangan ilmu hadis dan metodologi tafsir, banyak
ulama kemudian mempertanyakan dan mengkritisi penggunaan riwayat-riwayat isra’iliyat ini.
Mereka lebih memilih untuk berfokus pada sumber-sumber yang lebih otoritatif dan langsung
terkait dengan Islam, seperti hadis yang dapat dipertanggungjawabkan dan pemahama n para
sahabat Nabi Muhammad SAW.

Dalam konteks modern, banyak tafsir Al-Qur’an yang telah disusun setelah zaman ath-Thabari,
seperti tafsir Ibnu Kathir, telah mengecualikan penggunaan riwayat-riwayat isra’iliyat atau hanya
memasukkannya dalam batas-batas tertentu yang sangat terbatas. Ini menunjukkan bahwa para
ulama memiliki pendekatan yang berbeda dalam menggunakan riwayat-riwayat isra’iliyat dalam
tafsir Al-Qur’an.

Dalam rangka memahami Al-Qur’an dengan baik, penting untuk mengandalkan sumber-sumber
otoritatif Islam yang terpercaya dan menggunakan metodologi yang tepat dalam penafsiran.
Meskipun riwayat-riwayat isra’iliyat masih terdapat dalam beberapa karya tafsir klasik,
pemahaman kontemporer cenderung lebih selektif dalam memilih sumber-sumber yang digunakan
Untuk menafsirkan Al-Qur’an.

3. Dalam tafsir Bathini, ad-Dakhil adalah salah satu bentuk penyusupan atau interpolasi dalam ayat
Al-Qur’an yang tidak memiliki dasar atau tidak terdapat dalam sumber-sumber yang diakui. Bentuk
ini muncul ketika seseorang mengenalkan atau menyisipkan kata-kata atau frase yang tidak ada
dalam teks asli Al-Qur’an. Berikut adalah contoh ad-Dakhil dalam tafsir Bathini:
Ayat asli: “Dan apabila mereka berjalan di dalam kapal-kapal, mereka memohon Allah dengan
ikhlas (hati yang tulus), tetapi setelah Allah menyelamatkan mereka ke daratan, mereka langsung
mempersekutukan-Nya.” (QS. Yunus [10]: 22) Interpolasi ad-Dakhil: “Dan apabila mereka
berjalan di dalam kapal-kapal, mereka memohon Allah dengan ikhlas (hati yang tulus), tetapi
setelah Allah menyelamatkan mereka ke daratan, mereka langsung mempersekutukan-Nya di kuil-
kuil berhala.”

Pada contoh di atas, frasa “di kuil-kuil berhala” merupakan bentuk ad-Dakhil yang disisipkan ke
dalam ayat tersebut. Frasa ini tidak terdapat dalam teks asli Al-Qur’an dan merupakan penyisipan
yang tidak memiliki dasar.
4. Jika dalam suatu tafsir terdapat kedakhilan baik secara riwayat maupun dirayah, itu bisa menjadi
hal yang positif dan bernilai. Berikut adalah beberapa implikasi atau manfaat yang dapat dimiliki
oleh tafsir semacam itu:
- Kepercayaan yang lebih kuat: Riwayat yang kuat menunjukkan bahwa tafsir tersebut memiliki dasar yang
kokoh dalam sejarah dan dapat ditelusuri kembali ke sumber-sumber yang tepercaya. Hal ini dapat
memberikan kepercayaan yang lebih kuat kepada pembaca atau peneliti terhadap keabsahan dan keandalan
tafsir tersebut.
- Pemahaman yang lebih kaya: Dengan memadukan kedakhilan riwayat dan dirayah, tafsir tersebut dapat
memberikan pemahaman yang lebih kaya dan komprehensif tentang ayat-ayat Al-Quran. Kedakhilan
riwayat dapat memberikan pemahaman kontekstual dan sejarah, sementara kedakhilan dirayah dapat
memberikan pemahaman berdasarkan analisis dan penalaran yang mendalam.
- Konteks yang lebih luas: Dengan menggunakan kedakhilan baik secara riwayat maupun dirayah, tafsir
tersebut dapat memperluas konteks pemahaman ayat-ayat Al-Quran. Ini berarti mencakup konteks sejarah,
linguistik, budaya, dan konteks ayat-ayat lain dalam Al-Quran yang saling terkait. Dengan demikian, tafsir
semacam itu dapat membantu pembaca atau peneliti dalam memahami pesan-pesan Al-Quran secara lebih
holistik.
- Kajian yang lebih mendalam: Tafsir dengan kedakhilan baik secara riwayat maupun dirayah menunjukkan
adanya upaya yang serius dan teliti dalam memahami Al-Quran. Hal ini dapat mendorong kajian yang lebih
mendalam dan menyeluruh terhadap ayat-ayat Al-Quran serta memicu pemikiran kritis dan refleksi yang
lebih dalam.
- Keterbukaan terhadap perbedaan pendapat: Meskipun tafsir tersebut memiliki kedakhilan baik secara
riwayat maupun dirayah, tetap penting untuk diingat bahwa perbedaan pendapat dalam tafsir adalah hal
yang wajar dan sah dalam Islam. Keberagaman pendapat dalam memahami Al-Quran adalah hasil dari
kekayaan warisan intelektual umat Islam. Oleh karena itu, tafsir semacam itu dapat memperluas pandangan
dan pemahaman, serta mendorong penghormatan terhadap perbedaan pendapat yang sah. Dalam
menghadapi tafsir semacam itu, penting untuk tetap mempertimbangkan bahwa tafsir hanyalah usaha
manusia untuk memahami Al-Quran, dan kesempurnaan mutlak hanya ada pada Al-Quran itu sendiri. Oleh
karena itu, pembaca atau peneliti harus tetap kritis dan hati-hati dalam memeriksa argumen dan kesesuaian
tafsir dengan prinsip-prinsip Islam yang mendasar.

5. Untuk menentukan tafsir yang kemasukan dakhil (valid), terdapat beberapa tolak ukur yang dapat
digunakan. Berikut adalah beberapa di antaranya:
- Landasan Al-Quran dan Hadis: Tafsir yang kemasukan dakhil haruslah berdasarkan Al-Quran dan Hadis
yang sahih. Landasan utama untuk menentukan validitas sebuah tafsir adalah apakah tafsir tersebut sesuai
dengan ayat-ayat Al-Quran dan hadis Nabi Muhammad saw. Oleh karena itu, penting untuk merujuk kepada
sumber-sumber utama Islam ini.
- Konteks Historis: Menyelidiki konteks historis ayat atau hadis yang diterjemahkan dapat membantu
memahami pesan asli yang diungkapkan. Menggunakan pengetahuan tentang konteks sosial, politik,
budaya, dan sejarah saat ayat atau hadis itu diungkapkan dapat membantu menghindari kesalahpahaman
dan tafsir yang keliru.
- Ijma’ (Kesepakatan Umat Muslim): Ijma’ adalah kesepakatan umat Muslim yang diperoleh melalui
konsensus para ulama. Jika sebuah tafsir diterima oleh mayoritas ulama dan diakui sebagai pandangan yang
sahih, maka tafsir tersebut memiliki tingkat keabsahan yang lebih tinggi.
- Pendekatan Ilmiah: Pendekatan ilmiah melibatkan penggunaan metode ilmiah, seperti penelitian
akademik, analisis teks, dan pendekatan linguistik untuk memahami dan menafsirkan ayat atau hadis.
Pendekatan ini mendorong keobjektifan dan metode yang rasional dalam menentukan validitas tafsir.
- Kesesuaian dengan Maqasid al-Shariah: Maqasid al-Shariah adalah tujuan-tujuan syariat Islam yang
meliputi perlindungan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Tafsir yang kemasukan dakhil
haruslah konsisten dengan prinsip-prinsip dasar Islam dan tidak bertentangan dengan tujuan-tujuan syariat
Islam.

Anda mungkin juga menyukai