Anda di halaman 1dari 85

Islam

2
ِ‫الرحِيِم‬
ِ ِِ‫حمان‬
ِ ‫الر‬
ِ ِِ‫بِسِمِِللا‬

َ :‫ال‬
ََ ‫للاَُتَ ََع‬ َ ِ‫ابَََر‬
َ َُ‫حََو‬ َِ َ‫امَ َُمَمَ ٌَدََبْ َُنَ ََعَْب َِدَاَلََْوى‬ َِْ َ‫الَالشََْي َُخ‬
َُ ‫ال ََم‬ ََ ‫َق‬

َ‫ض‬ ِ‫شَرَةَُنََو َاق‬


َ َ
‫ع‬ َ ِ
َ
‫م‬ َ
‫ل‬ َ َ
‫س‬ ِ
َ
‫ال‬ْ َ َ
‫ض‬ ِ‫َاِ َعَل َمَأَنََنََو َاق‬
َ َ ََ َ ْ َ َ ْ ْ
“Dengan menyebut nama Allah yang Maha Rohmaan (luas rohmat-Nya
meliputi segala sesuatu, pent.) dan Maha Rohim (yang khusus rohmat-Nya
kepada orang-orang yang beriman, pent.).

Asy-Syeikh Al-Imaam Muhammad bin ‘Abdil Wahhaab –rohimahullahu


ta’aalaa- telah berkata:

“Ketahuilah dan ilmuilah olehmu, bahwasanya pembatal-pembatal


keislaman itu ada sepuluh.”

Syarah Asy-Syeikh Shoolih bin Fauzaan –hafidzhohullahu ta’aala-.

ِ‫الرحِيِم‬
ِ ِِ‫حمان‬
ِ ‫الر‬
ِ ِِ‫بِسِمِِللا‬
Segala pujian hanyalah teruntuk khusus bagi Allah Sang Robb Tuhan
Pemelihara seluruh alam semesta. Semoga pula sholawat serta salam Allah
senantiasa tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad, kepada keluarganya,
dan kepada seluruh shohabatnya.

Asy-Syeikh penulis –rohimahullahu- telah berkata: (‫م‬


َ َ‫ )َا َْعل‬yakni ِ
ْ
ketahuilah, ilmuilah, dan pahamilah. Kata ini memang sengaja digunakan
untuk menunjukkan pentingnya suatu perkara, sekaligus berfungsi untuk

3
memberikan Tanbiih (peringatan) tentang betapa pentingnya perkara yang
akan disebutkan setelahnya.

ََ ِ‫شَرَةَُنََو َاق‬
(‫ض‬
َ َ ََ ‫لَِم َ ََع‬
ََ ‫ال َْس‬
َ ََ ِ‫ )أَنَ َنََو َاق‬kata An-Nawaaqidh adalah jamak dari kata
َِْ َ ‫ض‬
Naaqidhun yang artinya adalah Al-Mubthilaat (pembatal-pembatal). Semisal
dikatakan Nawaaqidhul Wudhuu’, yakni artinya adalah pembatal-pembatal
dari wudhuu’. Disebut dengan An-Nawaaqidh, namun bisa juga disebut
dengan Asbaabur Riddah, atau Anwaa’ur Riddah. Maka mengenali dan
mengetahui perkara ini adalah teramat sangat penting bagi seorang muslim,
tujuannya adalah agar supaya seorang muslim bisa menjauhi lagi
menghindarinya, serta bisa memperingatkan diri dari bahayanya. Karena
manakala seorang muslim tidak mempunyai ma’rifah tentangnya,
dikhawatirkan ia bisa saja terjerumus ke dalam salah satu di antara
pembatal-pembatal keislaman tersebut, dan keadaan tersebut adalah sangat
berbahaya, sebab bisa membatalkan keislaman dirinya. Oleh sebab itu
mengetahui dan mempelajari tentang apa sajakah hal-hal yang bisa
membatalkan keislaman seseorang adalah merupakan perkara yang sangat
penting.

Ar-Riddah (murtad) dari islam artinya adalah Ar-Rujuu’ ‘Anil Islaam


(rujuk atau mundur dari keislaman, pent.). Disebut Irtadda dalam bahasa
‘Arob apabila seseorang rujuk atau mundur meninggalkan apa yang telah
dipijak olehnya. Allah –subhaanahu wata’aalaa- telah berfirman:

      

“Janganlah kalian murtad (rujuk ataupun mundur) ke belakang-belakang


kalian, sehingga akibatnya keadaan kalian bisa berbalik arah berubah (yang
semula dijanjikan kemenangan serta keberuntungan oleh Allah, pent.) dan
akhirnya malah menjadi orang-orang yang merugi.” (QS. Al-Maa-idah: 21).

4
Dan Allah –subhaanahu wata’aalaa- juga berfirman:

         

          

 

“Dan barangsiapa yang murtad (rujuk ataupun mundur) di antara kalian dari
agamanya (islam yang sekarang tengah dianutnya, pent.), lalu iapun
meninggal dunia sudah dalam keadaan kaafir, maka mereka itulah orang-
orang yang terhapus habis seluruh amalan mereka di dunia dan di akhirat.
Dan mereka itulah para penghuni neraka, mereka kekal didalamnya.” (QS.
Al-Baqoroh: 217).

Ini merupakan Tahdziir (peringatan) keras dari Allah bagi orang-orang


yang beriman:

َ ‫ )ومنَي رتَ ِد ْد َِمنِّ ُك‬wahai orang-orang yang beriman.


(‫م‬
ْ َْ ْ َ َ
(‫افِ َر‬ َْ ‫ ) ََع َن َ َِدَيَْنَِِو َفََي َم‬yakni ia belum sempat bertaubat kembali
َ ‫ت ََوَُى َوََ َك‬
ٌ َ َ َُ ْ
sebelum ia meninggal dunia, sehingga ia belum kembali berislam.

Maka sungguh (‫م‬


ْ َ َْ َ‫ ) َحَبِط‬yakni hahis dan hancurlah semua
َُ‫ت َأَ َْع َما َُل‬ َ
َ ‫اَخ َالِ َُد َْو‬
amalannya. (‫ن‬ ََ ‫ابَالنَا َِرَ َُى َْمََفِْيَ ََه‬
َُ ‫ح‬ ََ ِ‫اَو ْالَ َِخََرةََََِوَأَُْوََلَئ‬
َْ َ‫كَأ‬
ََ ‫ص‬ َ ِ).
ََ َ‫فَالدَنََْي‬

5
           

     

“Sesungguhnya orang-orang yang murtad (rujuk dan mundur) dari agama


dan kebenaran yang telah dianutnya lalu kembali lagi mengikuti kekufuran
yang sudah ditinggalkan di belakang-belakang mereka setelah jelas kepada
mereka hidayah (kebenaran islam, pent.). Maka syaithoonlah yang telah
menghias-hiasi lagi memperindah kemurtadan mereka tersebut dan
memang Allah juga sengaja memberikan penundaan kepada mereka
(sehingga mereka tidak langsung di ‘adzab seketika begitu mereka murtad
dan ini merupakan bentuk tipu daya Allah bagi mereka, pent.).” (QS.
Muhammad: 25).

           

       

   

“Wahai orang-orang yang beriman, barangsiapa yang murtad (rujuk dan


mundur) di antara kalian dari agamanya, maka kelak akan Allah datangkan
suatu kaum (menggantikan kalian, pent.) di mana mereka adalah orang-
orang yang dicintai oleh Allah dan merekapun mencintai Allah, mereka
sangat lembut lagi merendah diri antar sesama orang-orang yang beriman
akan tetapi keras dan menampakkan kekuatan mereka terhadap orang-
orang kaafir.” (QS. Al-Maa-idah: 54).

6
(‫ن َ َِدَيَْنَِِو‬
َ ‫ ) َوَم َن َيََرَتدَ َ َِمَْن َُك َم َ ََع‬yakni siapa saja yang rujuk dan mundur dari
ْ ْ َْ ْ َ َ
agama yang telah dianutnya. Maka di dalam ayat ini terdapat Tahdziir
(peringatan) dari perilaku murtad, serta adanya penyebutan ancaman
terhadap perilaku tersebut. Adapun dalil dari hadits-hadits, maka di
antaranya sungguh Nabi –shollallahu ‘alaihi wasallama- telah bersabda:

َ‫س‬
َُ ‫َوالنَ َْف‬،
ََ ‫ان‬َ ِ‫الز‬
َ َ‫ب‬ ٍَ ‫ل‬
َُ ِّ‫َالثََي‬:‫ث‬ ََ ‫َِِ َْح ََدىََث‬ َِ َ‫سَلٍَِم ََإِل‬ َْ ‫ََلَ َ ََد َُم َ َْامَِرٍَء َ َُم‬
ََِ ‫ََل‬
‫اع َِة‬ ََ ‫قََلَِْل‬
ََ ‫ج ََم‬ َُ ‫ََِوالتَاَِرَُكََلِ َِدَيَْنَِِوَاَلْ َُم َفاَِر‬، ‫س‬ َِ ‫َِبلنَ َْف‬
“Sama sekali tidak halal darah seorang muslim untuk ditumpahkan, kecuali
hanya dengan tiga alasan: 1). Ats-Tsayyib (seorang yang sudah pernah
merasakan pernikahan, meski statusnya masih terikat pernikahan, janda
ataupun duda, pent.) namun ia berzina, 2). Nyawa balas nyawa (yakni jikalau
ia membunuh seseorang muslim dengan sengaja, maka ia dibalas dengan
dijatuhkan hukuman mati atau membayar diyaat tergantung kerelaan
keluarga dan ahli waris si korban, pent.), 3). Seorang yang meninggalkan
agamanya –inilah sisi pendalilan kita- yang memisahkan diri dari jamaa’ah
(yakni keluar dari islam dan meninggalkan jamaa’atul haq, atau seorang
yang melakukan pemberontakan kepada penguasa kaum muslimiin yang
sah, sehingga ia memisahkan diri dari jamaa’ah kaum muslimiin yang telah
berbai’at kepada pemimpin mereka, pent.).” HR. Al-Bukhooriy (6878). Dan
Muslim (1676). Dari hadits ‘Abdullah bin Mas’uud –rodhiyallahu ‘anhu-.

Beliau –shollallahu ‘alaihi wasallama- juga telah bersabda:

َُ‫ََم َْنََبَدَ ََلَ َِديََْنََوََُفاقَْتََُلَُْوه‬

7
“Barangsiapa yang mengganti agamanya (selain islam, pent.), maka kalian
bunuhlah dirinya.” HR. Al-Bukhooriy (4/75). Abu Daawud (2/440). At-
Tirmidziy (6/242). Dan Ahmad (1/282).

Apabila ternyata yang murtad tersebut jamaa’ah yang banyak, dan


mereka mempunyai pengaruh serta kekuatan (untuk turut pula
mempengaruhi kaum muslimiin lainnya ataupun sanggup untuk memerangi
kaum muslimiin, pent.), maka mereka inilah yang diperangi (oleh penguasa
kaum muslimiin yang sah beserta bala tentara kaum muslimiin, dan bukan
diperangi oleh pribadi-pribadi orang perorang, pent.), sebagaimana Abu Bakr
Ash-Shiddiiq –rodhiyallahu ‘anhu- memerangi kaum yang murtad, hingga
mereka bisa ditundukkan dengan islam. Sehingga dikala itu ada yang
meninggal dunia di atas kemurtadannya, dan ada pula yang bertaubat lalu
kembali berislam. Beliau –rodhiyallahu ‘anhu- benar-benar memerangi
mereka sebagai bentuk pengamalan atas firman Allah –subhaanahu
wata’aalaa-:

           

       

        

“Wahai orang-orang yang beriman, barangsiapa yang murtad (rujuk dan


mundur) di antara kalian dari agamanya, maka kelak akan Allah datangkan
suatu kaum (menggantikan kalian, pent.) di mana mereka adalah orang-
orang yang dicintai oleh Allah dan merekapun mencintai Allah, mereka
sangat lembut lagi merendah diri antar sesama orang-orang yang beriman
akan tetapi keras dan menampakkan kekuatan mereka terhadap orang-

8
orang kaafir, lagi akan berjihaad di jalan Allah, serta sama sekali tidak akan
merasa takut ataupun gentar dengan celaannya orang-orang yang suka
mencela mereka.” (QS. Al-Maa-idah: 54).

Para ‘ulama telah berkata: “Ayat ini turun tentang peristiwa


perbuatan Abu Bakr Ash-Shiddiiq dan para shohabatnya yang memerangi
orang-orang murtad, sebab di dalamnya Allah –subhaanahu wata’aalaa-
memberitakan tentang kejadian yang akan terjadi kelak di masa yang akan
datang dengan lafazdh (َ‫ن َيََرَتد‬
َ ‫ ) َم‬yang mengandung makna di masa yang
َْ ْ َ
akan datang, (‫َللا‬
َُ ‫ت‬ َ ِْ‫ف َ ََي‬
ََ ‫س َْو‬
ََ ‫ )َف‬yakni kelak Allahpun akan mendatangkan Abu
Bakr Ash-Shiddiiq dan para shohabat Rosulullah –shollallahu ‘alaihi
wasallama- yang akan memerangi orang-orang yang murtad tersebut.”

Apabila yang murtad itu hanya satu orang sosok tertentu, maka ia
sekedar dipenjarakan dan diminta bertaubat, di mana apabila ia bertaubat
maka ia diampuni, dan apabila tidak maka ia boleh dibunuh (oleh penguasa
kaum muslimiin yang sah, pent.). Dan hukum seorang yang murtad tidak
sama dengan hukum seorang yang memang sejak awalnya merupakan orang
kaafir asli, sebab seorang yang murtad dianggap sudah mengenal lagi
mengetahui tentang Al-Haq, bahkan ia sudah masuk dan merasakan
bagaimana agama Allah dengan pilihan dan kerelaan hatinya, serta dengan
pengakuan dirinya bahwasanya islam itulah agama yang Al-Haq. Maka
apabila setelah itu ia murtad, iapun sudah teranggap sebagai seorang yang
mempermainkan agama, karena dia sudah mengetahui mana yang Al-Haq
dan telah masuk kedalamnya, sehingga dikala dirinya malah murtad maka
iapun boleh untuk dibunuh (oleh penguasa kaum muslimiin yang sah, pent.)
sebagai bentuk penjagaan dan perlindungan bagi ‘aqiidah. Dan perbuatan ini
merupakan bentuk penjagaan terhadap perkara yang dikenal dengan Adh-
Dhoruriyaatul Khomsi (lima hal yang wajib untuk dijaga, dan urutannya
meliputi 1). Wajib menjaga agama, 2). Wajib menjaga nyawa, 3). Wajib
menjaga kehormatan, 4). Wajib menjaga harta, 5). Wajib menjaga akal,

9
pent.), di mana urutan pertamanya adalah kewajiban menjaga agama, agar
supaya seseorang tidak meninggalkan agamanya begitu saja karena
mempermainkannya dengan cara berislam lalu selanjutnya malah murtad
meninggalkannya. Maka iapun boleh untuk dibunuh guna melindungi agama
ini dari dipermainkan dan dijadikan senda gurau.

Kemudian ada pula di antara orang-orang yang murtad ini yang boleh
untuk langsung dibunuh meskipun tidak dimintai pertaubatannya, yakni bagi
siapa saja yang sudah terlanjur sangat keras kemurtadannya, maka orang
yang demikian boleh untuk dibunuh (oleh penguasa kaum muslimiin yang
sah dan bukan oleh pribadi perorangan, pent.) meskipun tanpa dimintai
bertaubat terlebih dahulu, sebagai bentuk penjagaan terhadap agama, dan
sebagai penjagaan terhadap Adh-Dhoruuriyaatul Khomsi urutan pertama
yang memang telah diperintahkan oleh islam untuk senantiasa kita
menjaganya.

Mempelajari pembatal-pembatal keislaman ini adalah sesuatu yang


sangat penting, bahkan para ‘ulama sudah membuatkan banyak tulisan
berkenaan tentangnya, serta telah membuatkan bab pembahasan khusus di
dalam kitab-kitab fiqih, yakni bab tentang Hukmul Murtadd (hukum murtad).
Di mana pada setiap kitab fiqih, mereka sengaja mengadakan pembahasan
kitab ataupun bab khusus yang diberi judul Kitaabu Hukmil Murtadd (kitab
tentang hukum murtad), atau Baab Hukmil Murtadd (bab tentang hukum
murtad), baik itu menjabar secara luas maupun ringkas. Mereka berkata:
“Seorang yang murtad adalah seorang yang kaafir setelah berislam, baik
apakah itu disebabkan oleh I’tiqood (kayakinan) yang berada di dalam
hatinya, atau karena adanya Syakk (keraguan) di dalam dirinya tentang
perkara-perkara agama islam ini, atau karena ia melakukan perbuatan
kekufuran semisal ia bersujud kepada selain Allah, menyembelih untuk selain
Allah, dan bernadzar untuk selain Allah, di mana barangsiapa yang
melakukan perbuatan tersebut, maka ia bisa murtad keluar dari agama. Atau
dapat pula ia murtad dikarenakan oleh ucapan yang diucapkannya, semisal
dia mengucapkan sesuatu yang merupakan celaan ataupun penghinaan bagi

10
Allah –subhaanahu wata’aalaa- maupun bagi Rosulullah –shollallahu ‘alaihi
wasallama-, atau merupakan celaan terhadap agama islam.

         

   

“Katakanlah (Muhammad, kepada orang-orang yang menghina, mengolok-


olok, lagi menjadikan agama ini sebagai bahan candaan, pent.): Apakah
kalian berolok-olok dan mengambil bahan candaan kalian dengan Allah,
dengan ayat-ayat-Nya, dan dengan Rosul-Nya? Sudah kalian tidak usah lagi
mencari-cari ‘udzur alasan untuk meringankan perbuatan kalian itu, sebab
sungguh kalian telah menjadi kaafir padahal sebelumnya kalian sudah
beriman.” (QS. At-Taubah: 65-66).

Maka seorang itu ternyata bisa murtad hanya dikarenakan oleh


ucapan, atau oleh perbuatan, atau oleh I’tiqood (kayakinannya), atau hanya
karena adanya Syakk (keraguan) tentang perkara-perkara dari agama islam
ini, semisal seorang yang ragu tentang wajibnya sholat, ragu tentang
wajibnya zakat, atau ragu tentang Tauhiid, maka ia bisa menjadi kaafir.
Kemudian yang dimaksud dengan Syakk itu sendiri adalah At-Taroddud
Bainal Amroini (bingung 50:50 antara dua perkara, pent.).

Sehingga pembatal-pembatal keislaman itu banyak jumlahnya, akan


tetapi Asy-Syeikh penulis –rohimahullahu- di sini hanya menyebutkan
perkara-perkara terpenting dan terbesarnya saja, dan terlepas dari apa yang
beliau sebutkan, maka jumlahnya masihlah sangat banyak, di mana
perinciannya bisa engkau dapati di dalam kitab-kitab fiqih pada bab-bab
tentang Hukmul Murtadd.

11
Kemudian Asy-Syeikh penulis sendiri juga mempunyai sebuah risalah
tulisan yang sangat bermanfaat, yang beliau beri judul “Al-Kalimaatun
Naafi’ah Fiil Mukaffirootil Waaqi’ah,” dan risalah beliau ini tercetak bersama
di dalam risalah yang berjudul “Ad-Dirorus Saaniyah” ataupun selainnya.

Dan di masa sekarang ini, dengan semakin tersebarnya kejaahilan,


serta semakin terasingnya islam yang murni, mulai bermunculanlah orang-
orang dari kalangan mereka yang mengaku berilmu, akan tetapi mereka
malah berkata: “Kalian jangan mengkafirkan manusia, sebab cukuplah bagi
mereka penamaan sebagai seorang muslim, cukup baginya berkata: Saya
adalah seorang muslim. Jadi meski ia melakukan perbuatan apapun, meski ia
menyembelih untuk selain Allah, meski ia menghina Allah dan Rosul-Nya,
akan tetapi selama ia masih berkata: Saya adalah seorang muslim. Janganlah
engkau mengkafirkannya.” Padahal dengan ucapan yang demikian berarti
apakah kita juga harus menganggap islam kaum Baathiniiyah (pengikut
paham dari Ismaa’iil bin Ja’far Ash-Shoodiq, yang secara dzhoohir mereka
adalah kaum syi’ah, namun bathinnya adalah kekufuran, di mana mereka
menyatakan bahwa dzhoohir makna dari nash-nash yang ada hanyalah
diperuntukkan bagi mereka yang awam lagi bodoh, sementara makna
baathin yang dikandung nash-nash tersebut diperuntukkan bagi mereka
yang khusus lagi memiliki akal serta kecerdasan, lalu mereka juga
menyatakan bahwa Ismaa’iil bin Ja’far serta anak-anak keturunannya adalah
Nabi, mereka mengingkari wujud Allah, menyatakan adanya dua Ilah
pendahulu selain Allah yang berupa akal dan jiwa, sehingga mereka sama
seperti pemikiran orang-orang Majuusiy yang menyatakan adanya dua Ilah
yakni cahaya dan kegelapan. Mereka menafikan sifat-sifat Allah,
menyatakan Nabi Muhammad bukan penutup para Nabi dan Rosul, mereka
mengingkari keNabian serta mencela para Nabi dan Rosul, mereka
menganggap para imam mereka sebagai Ilah, mereka sangat bersemangat
untuk membunuh para ahlul bait Nabi, mereka tidak menganggap adanya
ruh dan mengingkari hari akhirat, menyatakan bahwa kewajiban syarii’at
dan mukallaf sudah tidak berlaku lagi serta islam sudah dihapuskan dengan

12
adanya dakwah dari imam mereka, mereka membolehkan menikahi
mahrom, mereka melakukan taqiyyah (dusta) untuk menyembunyikan jati
diri mereka yang sebenarnya, mereka menyatakan alam semesta ini tidak
ada permulaannya guna mengingkari adanya Sang Pencipta, mereka
mencela para shohabat, dan mengadopsi filsafat, pent.) dan Quroomithoh
(pengikut Hamdaan Quromith dan para pengikutnya, mereka menghalalkan
pemberontakan kepada Al-Hajjaaj sehingga iapun memerangi mereka.
Mereka merendahkan wanita dan menghalalkan darah kaum muslimiin,
serta melakukan penolakan atas wajibnya ibadah haji pada tahun 317 H,
pent.), demikian pula dengan para Quburiyyuun (yang suka melakukan ritual
ibadah di kuburan, pent.)? Apakah kita harus menganggap islam pula kaum
Syii’ah Roofidhoh (yakni mereka yang mengakafirkan Abu Bakr dan ‘Umar
serta para shohabat lainnya dan menyatakan bahwa yang berhak menjadi
kholiifah pertama adalah ‘Aliy –rodhiyallahu ‘anhum-. Mereka menuduh
Ummul Mu’miniin ‘Aaisyah sebagai pezina, dan menganggap para imam
mereka ma’shuum (terjaga dari kesalahan) bahkan kedudukannya lebih
daripada para Nabi dan Rosul sekalipun, serta mereka secara dusta mengaku
mencintai ahlul bait dan mengaku memiliki nasab dengan ahlul bait, bahkan
mereka sampai menganggap ‘Aliy sebagai Ilah, pent.)? Demikian pula
apakah kita juga harus menganggap islam kaum Qoodiyaaniyah
(ahmadiyyah), serta siapa saja yang dengan mudahnya mengaku sebagai
seorang muslim (meski mereka melakukan pembatal-pembatal keislaman,
pent.)?

Mereka berkata: “Jangan kalian mengakafirkan seorangpun, meskipun


mereka berbuat apa saja, meski mereka berI’tiqood (berkeyakinan) apa saja,
janganlah kalian memecah belah kaum muslimiin.”

Subhaanallahi! Kita bukannya memecah belah kaum muslimiin, akan


tetapi mereka itu memang bukanlah kaum muslimiin, sebab ketika mereka
telah melakukan salah satu di antara pembatal-pembatal keislaman, maka
secara otomatis merekapun keluar dari islam. Sehingga ucapan: “Janganlah
kalian memecah belah kaum muslimiin adalah Kalimatun Haqqun wal

13
Muroodu Bihaa Baathilun (ungkapannya benar akan tetapi tujuan dan
penggunaannyalah yang salah lagi baathil, pent.).” Karena para shohabat –
rodhiyallahu ‘anhum-, ketika mendapati orang-orang ‘Arob yang murtad
setelah wafatnya Nabi –shollallahu ‘alaihi wasallama-, maka merekapun
memeranginya, dalam keadaan tiada seorangpun dari mereka yang berkata:
“Jangan kalian memecah belah kaum muslimiin.” Sebab mereka tahu bahwa
mereka yang murtad tersebut bukan lagi menjadi bagian dari kaum
muslimiin, selama mereka memilih untuk tetap berada diatas
kemurtadannya.

Ucapan ini sebenarnya lebih parah hukumnya ketimbang engkau


menghukumi seorang yang kaafir sebagai seorang muslim, akan datang nanti
penjelasan bahwasanya di antara bentuk kemurtadan dan pembatal
keislaman adalah siapa saja yang tidak menganggap kufurnya seorang yang
kaafir, atau malah meragukan kekufuran mereka, maka iapun bisa dijatuhi
hukum kaafir sama seperti mereka. Sementara mereka ini malah berkata:
“Jangan kalian mengkafirkan seorangpun, meskipun ia berbuat apapun, yang
penting selama ia masih bersyahaadat, dan yang seharusnya kalian bantah
lagi hadapi adalah orang-orang kaafir asli, tinggalkan mengurusi mereka yang
masih bersyahaadat, yang penting mereka masih mengaku sebagai seorang
muslim.”

Kita katakan kepada mereka: “Mereka itu justru lebih berbahaya


daripada orang-orang kaafir asli, sebab orang-orang kaafir asli tidak mengaku
sebagai seorang muslim, dan tidak mengaku pula bahwa apa yang mereka
pijak tersebut adalah bagian dari islam, tidak demikian. Akan tetapi mereka
yang mengaku-ngaku inilah yang menipu umat manusia, di mana mereka
mengakui kekufuran sebagai bagian dari islam, oleh sebab itu mereka lebih
berbahaya lagi lebih parah dari orang kaafir asli.”

Maka kemurtadan ini adalah suatu perkara yang lebih berbahaya dari
kekufuran asli –wal’iyaadzu billahi-, sehingga wajib bagi kita untuk
mengetahui dan mempelajari sikap dan kedudukan kita dari perkara

14
pembatal-pembatal keislaman tersebut, wajib bagi kita untuk mengenali
perbedaannya dan wajib pula untuk menerangkan serta menjelaskannya.
Sebab di masa sekarang ini kita sedang dalam masa pembutaan dan
pengkaburan serta masa pembodohan umat, di mana di sana mulai
bermunculan orang-orang yang menulis, lalu mereka itu dijadikan sebagai
tokoh dan panutan, serta sering diundang memberikan muhaadhoroh,
namun mereka itulah justru orang-orang yang suka berkata: “Jangan kalian
mengkafirkan kaum muslimiin.” Maka kita katakan kepada mereka: “Kami
tidak mengakafirkan kaum muslimiin, tetapi kami hanya mengkafirkan siapa
saja yang memang sudah keluar dari islam, adapun jikalau benar seorang itu
adalah muslim, maka sama sekali tidak dibolehkan untuk
mengakafirkannya.”

15
َ ‫ال‬ َِ َ‫ادَِة‬
ََ ‫للاَتَ ََع‬ َِ ‫ف‬
ََ َ‫َعَب‬ َِّ ‫الََو َُل‬
َ َِ‫َالشَْرَُك‬:
“Pembatal yang pertama: Kesyirikan di dalam melaksanakan ibadah dan
penyembahan terhadap Allah –subhaanahu wata’aalaa-.”

Syarah Asy-Syeikh Shoolih bin Fauzaan –hafidzhohullahu ta’aala-.

Pembatal keislaman yang paling besar adalah melakukan kesyirikan di


dalam pelaksanaan ibadah dan penyembahan kepada Allah, di mana
bentuknya adalah dengan seseorang beribadah dan menyembah kepada
Allah, namun bersamaan dengan itu ia pula menyuguhkan ibadah serta
penyembahannya kepada selain Allah. Contohnya seseorang yang
menyembelih untuk Allah dan menyembelih pula untuk selain Allah,
seseorang bernadzar untuk Allah dan bernadzar pula untuk selain Allah,
seseorang bersujud kepada Allah namun bersujud pula kepada selain Allah,
atau seseorang berIstighootsah (memohon diangkatnya kesulitan, pent.)
kepada selain Allah di dalam perkara-perkara yang memang tidak disanggupi
kecuali hanya oleh Allah semata. Ini merupakan pembatal keislaman yang
paling besar, sebab Allah –subhaanahu wata’aalaa- telah berfirman:

           

“Sesungguhnya, barangsiapa yang mengadakan kesyirikan terhadap Allah,


maka sungguh Allah telah mengharomkan surga untuknya, dan telah
menetapkan tempat kembalinya adalah neraka.” (QS. Al-Maa-idah: 72).

16
              

      

“Sesungguhnya Allah tidak akan pernah mengampuni dosa berbuat syirik


terhadap-Nya (bagi siapa saja yang meninggal dunia tanpa bertaubat
daripadanya, pent.), dan akan mengampuni dosa-dosa yang masih lebih di
bawah derajatnya dari dosa kesyirikan, bagi siapa saja yang Dia kehendaki
berdasarkan kepada masyii-ah-Nya. Dan barangsiapa yang melakukan
kesyirikan terhadap Allah, maka sungguh ia telah mengadakan dosa yang
teramat sangat besar.” (QS. An-Nisaa’: 48).

       

“Barangsiapa yang berbuat kesyirikan terhadap Allah, maka sungguh ia telah


sesat dengan kesesatan yang teramat sangat jauh.” (QS. An-Nisaa’: 116).

Oleh sebab itu, syirik merupakan pembatal keislaman yang paling


berbahaya, dikarenakan seseorang bisa saja terjatuh ke dalam bentuk
beribadah dan melakukan penyembahan kepada selain Allah dengan
berbagai macam bentuk ibadah yang dilakukannya, baik itu yang bentuknya
ibadah berupa do’a, penyembelihan, nadzar, Istighootsah, berIsti’aanah
(memohon pertolongan) kepada makhluq pada perkara-perkara yang hanya
disanggupi oleh Allah –subhaanahu wata’aalaa- semata, atau ia berdo’a
kepada orang yang sudah meninggal dunia, berIstighootsah kepada mereka
yang sudah berada di dalam kubur, maupun bermunajat kepada orang-orang
yang telah meninggal dunia tersebut, yang mana semuanya merupakan
pembatal keislaman yang paling besar lagi paling berbahayanya. Namun
sangat disayangkan hal ini justru menimpa kebanyakan dari orang-orang

17
yang mengaku berislam, tetapi mereka masih saja membangun tempat-
tempat pemujaan, pusara, ataupun tempat peringatan serta prasasti,
kemudian mereka masih mengelilingi dan berthowaaf di tempat-tempat
tersebut, mereka melakukan penyembelihan di sekitar tempat tersebut,
mereka bernadzar untuk tempat tersebut, dan melakukan berbagai macam
pendekatan diri di tempat tersebut, sambil mereka beralasan dengan
berkata: “Mereka-mereka yang kita datangi pusara serta prasastinya ini
adalah orang-orang yang membantu kita untuk bisa semakin dekat kepada
Allah.” Maka merekapun melakukan sejumlah pendekatan diri di pusara dan
prasasti mereka itu, sambil meyakini bahwa dengan perbuatan mereka yang
demikian, sosok yang didatangi pusaranya itu akan membantu mereka untuk
bisa semakin khusyu’ lagi bisa semakin dekat kepada Allah –subhaanahu
wata’aalaa-.

Kita katakan: “Jikalau memang benar itu tujuan kalian, lantas kenapa
kalian tidak mendekatkan diri saja kepada Allah –subhaanahu wata’aalaa-
secara langsung? Kenapa kalian tidak langsung saja melakukan ibadah
pendekatan diri kalian kepada Allah dan meninggalkan pendekatan diri pada
tempat-tempat seperti itu? Kenapa kalian tidak langsung mendekatkan diri
kepada-Nya, bukankah Allah itu Qoriibun Mujiib (Maha Dekat lagi Maha
Menerima dan Mengabulkan)? Mengapa engkau terlebih dahulu harus
melakukan pendekatan diri kepada makhluq? Dan mengapa kalian
mengatakan: “Makhluq-makhluq tersebut bisa membantu kita untuk
semakin mendekatkan diri kepada Allah.” Apakah Allah –subhaanahu
wata’aalaa- itu jauh? Apakah Allah menutup pintu-pintu-Nya? Apakah Allah
–subhaanahu wata’aalaa- tidak mengetahui, tidak mengilmui, dan tidak
mendengar seluruh makhluq-Nya, serta tidak melihat segala yang mereka
perbuat? Sungguh Allah –jalla wa’alaa- adalah Qoriibun Mujiib (Maha Dekat
lagi Maha Menerima dan Mengabulkan).

            

18
“Dan apabila para hamba-Ku bertanya kepada-Mu (Muhammad) tentang
diri-Ku, maka beritahukanlah bahwa sesungguhnya Aku ini Qoriib, Aku
menerima dan mengabulkan do’a seruan orang yang menyeru lagi berdo’a
kepada-Ku, dikala ia hanya berdo’a dan menyeru kepada-Ku saja.” (QS. Al-
Baqoroh: 186).

     

“Dan Robb Tuhan kalian telah berfirman: Wajib bagi kalian semua untuk
hanya berdo’a, serta beribadah kepada-Ku semata, niscaya akan Aku terima
dan kabulkan untuk kalian.” (QS. Ghoofir: 60).

Kalau begitu sesungguhnya Allah itu adalah Qoriibun Mujiib, lantas


mengapa engkau malah pergi mendatangi pusara tersebut dan malah
berdo’a di tempat itu guna meminta bantuan kepada makhluq dari sosok
selain Allah? Mengapa engkau malah mengatakan: “Sosok yang kami datangi
pusaranya ini membantu kita untuk bisa semakin dekat kepada Allah.”

      

“(Orang-orang musyrik terdahulu beralasan, pent.): Tidaklah kami


melakukan ibadah-ibadah disekitaran (kubur dan pusara, pent.) mereka,
melainkan alasannya adalah karena supaya mereka bisa membantu kami
untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.”
(QS. Az-Zumar: 3).

Yakni engkau menyatakan seolah-olah Allah itu tidak mengetahui, dan


tidak berilmu (lagi tidak menyadari adanya pendekatan diri kepada-Nya
apabila dilaksanakan secara langsung tanpa adanya perantara penghubung,
pent.).”

19
Demikianlah bagaimana syaithoon dari kalangan jin dan manusia telah
menghias-hiasi dan menampakkan seolah-olah indah perbuatan kesyirikan
mereka tersebut, padahal mereka adalah orang-orang yang mengaku
berislam, mereka juga bersyahaadat mempersaksikan bahwasanya tiada
sesuatupun yang berhak untuk dijadikan sebagai Ilah sesembahan satu-
satunya yang berhak mendapatkan segala bentuk suguhan ibadah kecuali
hanyalah Allah semata, mereka juga melaksanakan sholat dan berpuasa,
akan tetapi mereka mencampur-adukkan amalan-amalan mereka itu dengan
unsur kesyirikan Akbar (besar), maka merekapun keluar dari agama islam,
meskipun mereka masih sholat, meski masih berpuasa, dan meski masih
berhaji, serta meskipun orang-orang yang melihat mereka menyangka
bahwa mereka itu adalah masih kaum muslimiin sekalipun. Sehingga sudah
sepantasnya dan sewajibnya bagi kita untuk mengenali lagi mempelajari
apakah yang dimaksud dengan syirik itu.

Maka syirik kepada Allah –‘azza wajalla- adalah merupakan dosa yang
paling berbahaya sekaligus merupakan dosa yang paling besar. Namun
dengan begitu bahaya dan keburukan yang bisa ditimbulkannya, serta realita
masih saja banyaknya di antara umat manusia yang mengaku sebagai
seorang muslim yang terjatuh ke dalamnya, akan tetapi tetap saja mereka
tidak menyebut perbuatan mereka tersebut sebagai perbuatan kesyirikan,
bahkan mereka malah menyebut dan menganggapnya sebagai perbuatan
Tawassul, atau mereka memberi istilah lainnya dengan sebutan perbuatan
meminta Syafaa’at. Mereka memang menamainya dengan selain nama
syirik, namun tetap saja penamaan tidaklah bisa merubah hakikatnya, di
mana syirik tetaplah syirik (meskipun dirubah-rubah namanya dan dihiasi
seindah mungkin, pent.).

Syirik dengan nama Tawassul ini merupakan jenis kesyirikan yang


paling berbahaya, bahkan merupakan jenis kesyirikan yang paling banyak
terjadi. Padahal hal ini sudah sangat Dzhoohir (nampak penjelasannya) di
dalam Kitaabullahi, di dalam Sunnah Rosul-Nya, serta telah diserukan, telah
diTahdziir (diperingatkan bahayanya), dan telah disebutkan janji ancaman

20
dari perbuatan syirik tersebut, sehingga tidak ada satu surohpun di dalam Al-
Qur-aan yang luput ataupun kosong dari peringatan tentang Tahdziir dari
perkara syirik ini. Namun bersamaan dengan jelasnya hal tersebut, mereka
yang terjatuh di dalam perbuatan syirik ini juga membaca Al-Qur-aan, tetapi
tetap saja tidak menjauhi perbuatan syirik, bahkan terkadang malah datang
seseorang yang berkata: “Mereka itukan adalah orang-orang yang jaahil,
sehingga mereka diberikan ‘udzur dengan kejaahilannya tersebut.”

Maka kita katakan: “Sampai kapan engkau akan menganggap mereka


ini sebagai orang-orang yang jaahil? Sementara Al-Qur-aan senantiasa
dibacakan kepada mereka, bahkan ada di antara mereka yang membaca dan
sampai menghapalkannya, sungguh telah tegak kepada mereka hujjah
dengan sampainya Al-Qur-aan kepada mereka.

        

“Dan Al-Qur-aan ini telah diwahyukan kepadaku, agar supaya aku


memperingatkan kalian dengannya, dan agar supaya juga aku
memperingatkan dengannya kepada siapa saja yang telah sampai Al-Qur-aan
ini kepada dirinya.” (QS. Al-An’aam: 19).

Maka semua orang yang telah sampai kepadanya Al-Qur-aan, artinya


sungguh telah tegak hujjah atas dirinya, sehingga tidak ada lagi ‘udzur atas
dirinya.”

21
َ :‫ال‬
ََ ‫للاَُتَ ََع‬
َ َ‫ال‬
ََ ‫َق‬

             

“Allah –subhaanahu wata’aalaa- telah berfirman:

             

“Sesungguhnya Allah tidak akan pernah mengampuni dosa berbuat syirik


terhadap-Nya (bagi siapa saja yang meninggal dunia tanpa bertaubat
daripadanya, pent.), dan akan mengampuni dosa-dosa yang masih lebih di
bawah derajatnya dari dosa kesyirikan, bagi siapa saja yang Dia kehendaki
berdasarkan kepada masyii-ah-Nya.” (QS. An-Nisaa’: 116).

Syarah Asy-Syeikh Shoolih bin Fauzaan –hafidzhohullahu ta’aalaa-:

(‫ََبَِِو‬ َْ ُ‫للاَ َََل َيََ َْغ َِفَُر َأَ َْن ََي‬


َ‫شََرَك‬ َ َ َ‫)َإِن‬ Nash ini menunjukkan bahwasanya

kesyirikan adalah merupakan dosa terbesar, di mana terbukti Allah telah


menyatakan bahwa Dia tidak akan memberi ampunan bagi pelakunya kecuali
orang tersebut yang harus bertaubat daripadanya sebelum tiba ajalnya.

ََ ِ‫اَد َو َن َذََل‬
(‫ك‬ َُ ‫ ) َويَ َْغ َِف َر َ َم‬Yakni Allah masih akan mengampuni dosa-dosa
ْ َ ُ ََ
yang derajatnya di bawah dari dosa kesyirikan, semisal dosa zina, dosa
meminum khomr, dosa mencuri, dan dosa memakan hasil riba’, yang mana
kesemua dosa tersebut derajatnya masihlah tetap berada di bawah dari dosa
kesyirikan, lagi masih masuk ke dalam hukum kehendak masyii-ah Allah,

22
sedangkan para pelakunya hanya dianggap sebagai para pelaku dosa besar
(Kabaa-ir) lagi faasiq, dikarenakan mereka tidak melakukan dosa kesyirikan
akan tetapi sebatas melakukan dosa-dosa besar (Kabaa-ir). Sehingga
keadaan dosa-dosa mereka itu dapat mengurangi keimanannya, dan
membuat dirinya dihukumi sebagai seorang yang faasiq. Lalu apabila ia
meninggal dunia dalam keadaan ia belum sempat bertaubat dari dosa Kabaa-
irnya tersebut, maka hukum atas dirinya berada di bawah kehendak masyii-
ah Allah, yang mana apabila Allah menghendaki dengan masyii-ah-Nya untuk
mengampuni dirinya dengan modal masih adanya keTauhiidan di dalam
dirinya, iapun akan diampuni. Sebaliknya apabila Allah menghendaki dengan
masyii-ah-Nya untuk meng’adzaab karena dosa Kabaa-irnya tersebut,
Allahpun akan meng’adzaabnya, namun pada akhirnya ia tetap akan
dimasukkan ke dalam surga dikarenakan masih adanya modal Tauhiid di
dalam dirinya. Inilah keadaan hukum bagi para pelaku Kabaa-ir yang derajat
dosanya masih di bawah dari dosa kesyirikan.

ََ ِ‫اَد َو َن َ َذَل‬
(‫ك‬
ْ َ ُ ََ َُ ‫ ) َويَ َْغ َِف َر َ َم‬Menunjukkan bahwasanya seluruh dosa apapun
itu, derajatnya masih di bawah dari dosa kesyirikan. Dan bahwasanya
kesyirikan itu adalah merupakan dosa yang paling besar lagi paling
berbahaya secara muthlak, yang sekaligus menunjukkan betapa
mengkhawatirkannya perkara syirik ini, dikarenakan ia merupakan dosa yang
paling besar.

23
:‫ال‬
ََ ‫الَتَ ََع‬
ََ ‫ََوَق‬

            

   

“Dan Allah –subhaanahu wata’aalaa- juga telah berfirman:

            

   

“Sesungguhnya barangsiapa yang melakukan kesyirikan kepada Allah,


maka sungguh Allah telah mengharomkan surga untuknya, dan tempat
kembalinya adalah neraka. Lalu sama sekali tidak ada seorang
penolongpun bagi orang-orang yang dzhoolim (yang berbuat kesyirikan,
pent.) itu.” (QS. Al-Maa-idah: 72).

Syarah Asy-Syeikh Shoolih bin Fauzaan –hafidzhohullahu ta’aalaa-:

Ini merupakan hukuman di akhirat bagi pelaku kesyirikan, di mana


diharomkan baginya surga, sehingga ia tidak bisa lagi masuk ke dalamnya
secara muthlak, dan tidak ada lagi harapan maupun kesempatan baginya,
lantas ke mana lagi ia akan pergi? Apabila ia bukan bagian dari penduduk
surga, maka ke mana lagi ia akan pergi? Apakah ia akan langsung
dilenyapkan begitu saja? Tentu tidak, bahkan tempat kembalinya adalah

24
neraka, ia kekal selama-lamanya di dalamnya, (‫ر‬ ََ ْ ‫اَلِلظَ َالِ َِم‬
ََ ْ‫يَ َِم َنَأََن‬
ٍَ ‫صا‬ ْ َ ‫) َوَم‬. Yakni
ََ
tiada seorang penolongpun lagi bagi orang-orang yang berbuat kesyirikan.
Sebab kesyirikan merupakan kedzhooliman yang paling dzhoolim, di mana
tiada lagi seorangpun penolong yang sanggup untuk mengeluarkan mereka
dari neraka nantinya, dan tiada seorangpun yang bisa memberikan syafaa’at
bagi mereka di sisi Allah.

Jikalau orang-orang yang melakukan Kabaa-ir masih akan


mendapatkan syafaa’at berupa kelak mereka tetap masih bisa dikeluarkan
dari nereka, adapun mereka yang melakukan kesyirikan justru sama sekali
tiada gunanya lagi syafaa’at orang-orang yang memberikan syafaa’at bagi
mereka sekalipun.

       

“Pada hari itu tiada lagi teman kerabat penanggung maupun pemberi
syafaa’t yang akan diterima lagi untuk orang-orang yang dzhoolim (musyrik)
tersebut.” (QS. Al-Mu’min/Ghoofir: 18).

Orang musyrik tidak akan pernah lagi diterima syafaa’at bagi mereka
sedikitpun –wal’iyaadzu billahi-.

(‫ار‬
َ ‫َالن‬
ُ ُ‫) َوَمأْ َواه‬ Kata Ma’waahu yakni bermakna Muqirruhu (tempat

menetapnya), di mana ia merupakan seburuk-buruknya tempat menetap,


dan sudah tidak ada lagi tempat menetap lainnya baginya untuk selama-
lamanya. Maka apabila sudah demikian derajat dosanya, demikian
bahayanya, dan demikianlah hukumannya, lantas masih bolehkah sekiranya
bagi kita untuk tetap jaahil mengenai syirik ini? Masih bolehkah bagi kita
untuk tetap tidak mau mengetahuinya dan tidak menTahdziir
(memperingatkan diri pribadi dan orang lain, pent.) dari bahayanya? Lantas

25
masih bolehkah dikatakan: “Biarkan saja umat manusia dengan urusannya
masing-masing, biarkan saja para Quburiyyuun (orang-orang yang suka
berTawassul dan melakukan pendekatan diri kepada Allah di kuburan, pent.),
biarkan saja para penyembah Adhrihah (benda-benda pusaka maupun benda
keramat, pent.). Biarkan saja mereka meskipun mereka melakukan
kemurtadan, tinggalkan saja mereka semua, yang penting selama mereka
masih mengaku sebagai seorang muslim, maka dia tetaplah seorang muslim.
Seharusnya kalian lebih menyibukkan diri untuk membantah para
Mulaahidah (orang-orang kaafir asli, pent.)!”

Maka kita jawab: “Mereka-mereka yang melakukan kesyirikan dan


kemurtadan itu, keadaannya justru lebih buruk dan lebih parah serta lebih
berbahaya ketimbang para Mulaahidah tersebut!”

26
َ ‫ج َِّنَأََْوََلَِْل َق َِْب‬
َِ ‫للاََ َك ََم َْنََيَ َْذَبَ َُحََلَِْل‬
ِ َ‫َوَِمَْن َوَالذََب َحََلَِغ َِي‬
َْ ُ ْ ُ َ
“Diantara contoh perbuatan kesyirikan adalah menyembelih untuk
selain Allah, semisal menyembelih untuk jin ataupun untuk kuburan.”

Syarah Asy-Syeikh Shoolih bin Fauzaan –hafidzhohullahu ta’aalaa-:

Asy-Syeikh penulis memberikan contoh ini dikarenakan hal ini benar-


benar terjadi, di mana kebanyakan umat manusia bermudah-mudahan di
dalam perkara ini, sehingga dengan mudahnya pula mereka melakukan
penyembelihan kepada selain Allah, semisal mereka menyembelih untuk jin
di dalam rangka untuk berlindung dari keburukan sang jin, atau mereka
menyembelih di dalam rangka untuk pengobatan dan penyembuhan dari jin’.
Kebanyakan manusia sangat bermudah-mudahan di dalam perkara ini,
sehingga perkara inipun banyak terjadi, padahal sebenarnya ia sudah
termasuk ke dalam kategori bagian dari syirik besar yang bisa membuat
pelakunya keluar dari agama islam.

Saking mudahnya syaithoonpun membisikkan: “Sembelilah anak


domba atau anak kambing, sembelilah seekor lalat saja, karena ini
penyembelihan yang paling gampang.” Namun tanpa disadari orang
tersebut, dirinya sudah tidak lagi melihat kepada efek di balik dari
perbuatannya tersebut yang berupa kesyirikan, sehingga orang yang
melakukan penyembelihan tersebut bisa dimasukkan ke dalam neraka. Maka
yang harusnya diperhatikan bukanlah besar kecilnya apa yang disembelih
maupun seberapa nilainya, akan tetapi yang seharusnya dilihat dan
diperhatikan adalah dari sisi ‘aqiidah, dari sisi niat seseorang di dalam
hatinya, dan yang dilihat adalah ketiadaan penolakan dirinya atas kesyirikan,
bukannya kepada nilai dari apa yang dia sembelih itu. Itulah sebabnya
seorang yang menyembelih lalat sekalipun tetap akan dimasukkan ke dalam

27
neraka. Namun sangat disayangkan kebanyakan dari manusia justru
meremehkan dan bergampangan di dalam perkara ini dengan alasan-alasan
yang sepele, berupa agar supaya hajatnya bisa terpenuhi, agar supaya dia
bisa mengetahui suatu perkara yang ghooib, agar supaya ia bisa mengetahui
di mana barangnya yang hilang, dan berbagai macam alasan lainnya yang
mereka inginkan dari jin maupun kuburan. Maka tanpa disadari mereka telah
keluar dari agamanya –wal’iyaadzu billahi-, dan mereka menjadi murtad
hanya dengan perkara yang mereka anggap gampang lagi remeh. Oleh
karena itu hal ini merupakan perkara yang sangat berbahaya sekali.

28
َ‫سأَ َُلَُْم َ ََويََتَََوكَ َُل‬
َْ َ‫ط ََيَ َْد َُعَْوَُى َْم َ ََوَي‬ َِ َ ‫ي‬
َ ِ‫للا َ ََو ََس َائ‬ ََْ ََ‫َم َْن َ ََج ََع ََل َبََْيََنََوُ َ ََوب‬: َ ِ َ‫الث‬
ََ ‫ان‬
َ ‫اعا‬ َْ ِ‫ََعَلَْي َِه َْمََ َك َفََرََإ‬
ًَ َ‫ج‬
“Pembatal yang kedua: Barangsiapa mengangkat adanya perantara
penghubung antara dirinya dengan Allah, di mana ia berdo’a kepada si
perantara tersebut, ia meminta kepada si perantara tersebut, dan
berTawakkal (bersandar) kepada si perantara tersebut, maka ia telah
kaafir berdasarkan ijma’.”

Syarah Asy-Syeikh Shoolih bin Fauzaan –hafidzhohullahu ta’aalaa-:

Pembatal ini sebenarnya masih merupakan jenis dari pembatal


keislaman yang pertama, yakni perbuatan mengangkat adanya perantara
penghubung antara seseorang dengan Allah. Asy-Syeikh penulis sengaja
menyendirikannya menjadi pembatal keislaman tersendiri dikarenakan
perbuatan ini banyak terjadi, dan malah menimpa kebanyakan dari mereka
yang mengaku sebagai seorang muslim, padahal perbuatan semacam ini
banyak terjadi dan dilakukan oleh para Qubuuriyyuun. Di mana mereka
melakukan ritual ibadah pendekatan diri kepada sosok wali tertentu dengan
maksud dan tujuan agar wali tersebut bisa menjadi penghubung penyampai
syafaa’at di sisi Allah bagi mereka, atau minimalnya bisa membantu mereka
untuk membawakan proposal hajat-hajat mereka kepada Allah. Padahal hal
itu hanyalah sekedar persangakaan mereka belaka, dan justru perbuatan
mereka itu sudah teranggap sebagai perbuatan mengambil selain Allah –
‘azza wajalla- sebagai Wasiilah penghubung. Oleh karena itulah mereka
melakukan penyembelihan dan nadzar di sekitar kuburan para wali tersebut,
serta berIstighootsah (memohon bantuan agar diangkat kesulitan hidupnya,
pent.) kepada para wali tersebut, dalam keadaan mereka tidak menganggap
perbuatan mereka yang demikian itu sebagai suatu perbuatan kesyirikan.

29
Mereka berkata: “Ini bukanlah perbuatan syirik, akan tetapi ini hanyalah
merupakan bentuk Tawassuth (mengambil perantara penghubung, pent.), di
mana kita hanya menjadikan mereka sebagai perantara dan penyampai
syafaa’at saja bagi kami, agar kita bisa terhubung dengan Allah. Lagi pula
orang yang menjadi wali ini juga adalah seorang yang shoolih, sehingga
sudah pasti ia mempunyai kedudukan dan derajat yang tinggi di sisi Allah.
Itulah sebabnya akupun meminta bantuan dengan derajat dan
kedudukannya itu supaya bisa membantuku untuk bisa semakin
mendekatkan diri pula kepada Allah.” Inilah hujjah mereka, padahal hujjah
tersebut adalah hujjah yang sama persis dengan hujjahnya orang-orang
musyrik terdahulu.

         

 

“Dan orang-orang yang suka menjadikan adanya selain Allah sebagai wali-
wali mereka, mereka berhujjah: “Kita tidaklah melakukan ibadah di sekitar
pusara para wali itu di dalam rangka untuk menyembah mereka, tidak
demikian. Akan tetapi tiada lain kita melakukan ritual ibadah di sekitar
pusara mereka adalah agar supaya dengan kedudukan dan derajat mereka,
mereka juga bisa membantu kita untuk semakin mendekatkan diri kepada
Allah dengan sedekat-dekatnya.” (QS. Az-Zumar: 3).

Jadi orang-orang musyrik terdahulu juga berkata: “Kami tidak


menjadikan para wali ini sebagai Syurokaa’ (sekutu tandingan) bagi Allah,
namun kami hanya sebatas menjadikan mereka sebagai perantara
penghubung saja yang bisa membantu mendekatkan diri kami kepada Allah.”
Namun Allah tetap menyebut mereka sebagai orang-orang musyrik.

30
        

          

         

 

“Dan mereka melakukan ritual ibadah pula untuk selain Allah, padahal sosok
yang mereka suguhkan dengan ritual itu sama sekali tidak bisa memberikan
mudhoorot maupun manfaat sedikitpun kepada mereka, namun tetap saja
mereka berhujjah dengan berkata: Para wali ini adalah orang-orang yang
nantinya akan menyampaikan syafaa’at bagi kami di sisi Allah. Katakanlah
kepada mereka: Apakah kalian mau mendikte dan memberitakan kepada
Allah tentang suatu perkara yang seakan-akan tidak diilmui oleh Allah
berkenaan dengan segala yang di langit dan di bumi? Maha Suci Allah lagi
Maha Tinggi dari segala sesuatu yang mereka jadikan sebagai Syariik (sekutu
tandingan) terhadap-Nya.” (QS. Yuunus: 18).

Allah menyebut mereka sebagai orang-orang yang berbuat kesyirikan,


meskipun mereka menyebutnya sebagai perbuatan Tasyaffu’ (meminta
syafaa’at). Dan realita ini banyak terjadi, di mana banyak diantara manusia
yang mengaku sabagai seorang muslim di masa ini yang justru melakukan
perbuatan demikian di sekitaran kuburan. Mereka menjadikan penghuni
kuburan tersebut sebagai Wasaa-ith (perantara penghubung) antara mereka
dengan Allah, dikarenakan samarnya hukum perbuatan ini di mata
kebanyakan manusia, bahkan di mata kebanyakan dari para penuntut ilmu
sekalipun. Bahkan di sana malah didapati adanya para ‘ulama yang justru

31
mendukung dan memberikan pembelaan bagi perbuatan tersebut. Para
‘ulama itu berkata: “Perbuatan ini bukanlah perbuatan kesyirikan, karena
syirik itu hanyalah apabila engkau beribadah kepada Ashnaam (berhala),
sementara yang mereka lakukan di sini bukanlah bentuk ibadah kepada
Ashnaam.” Aduhai Subhaanallahi (Maha Suci Allah)! Melakukan ibadah
kepada Ashnaam hanyalah merupakan salah satu bentuk dari kesyirikan,
sementara yang dimaksud dengan syirik itu sendiri adalah engkau
menyuguhkan ritual ibadah kepada siapa saja selain Allah, entah itu kepada
Ashnaam, kepada pepohonan, bebatuan, kuburan, wali, malaikat, orang
shoolih, dan lain sebagainya selain dari Allah, maka inilah yang dimaksud
dengan syirik itu, bukannya hanya sekedar bagi mereka yang menyembah
Ashnaam semata.

32
ََ َ ‫ف َ َُك َْفَِرَِى َْم َأََْو‬
َ‫صحَ ََح‬ ََْ ِ‫ش ِرَك‬
َ َِ َ‫ي َأََْو َ ََشك‬ َْ ‫َم َْن َ َلْ ََيُ َكفَ َِر َاَلْ َُم‬ َُ ِ‫الثَ َال‬
ََ :‫ث‬
َ ‫ََم َْذ ََىبََ َُه َْمََ َك َفََر‬
“Pembatal ketiga: Siapa saja yang tidak menganggap kafirnya
orang-orang musyrik, atau ia ragu dengan kekafiran mereka, atau bahkan
ia malah membenarkan madzhab mereka, maka ia juga telah kaafir.”

Syarah Asy-Syeikh Shoolih bin Fauzaan –hafidzhohullahu ta’aalaa-:

Ini merupakan perkara yang sangat mengkhawatirkan, dan banyak


dilakukan oleh kebanyakan orang yang menisbahkan diri kepada islam dari
kalangan orang-orang yang tidak menganggap kafirnya orang-orang musyrik.
Mereka biasanya berkata: “Alhamdulillah, aku bukanlah orang musyrik dan
akupun tidak berbuat kesyirikan terhadap Allah, hanya saja aku tidak mau
menganggap orang-orang yang melakukan kesyirikan sebagai orang-orang
musyrik.”

Maka kita katakan kepadanya: “Kalau begitu engkau adalah seorang


yang tidak paham dengan agamamu. Sebab agama mewajibkan bagimu
untuk menganggap kaafir siapa saja yang berlaku kufur kepada Allah dan
berbuat kesyirikan Akbar (besar) kepada Allah –‘azza wajalla-. Selain itu,
agama juga telah mewajibkan kepadamu untuk bersikap Baroo’ (berlepas
diri) dari kekufuran dan segala bentuk kesyirikan, sebagaimana Ibroohiim –
‘alaihis salaamu- juga telah bersikap Baroo’ dari ayahnya sendiri dan dari
kaumnya, dimana beliau telah berkata:

          

33
“Sesungguhnya aku benar-benar Baroo’ dari segala sesuatu yang kalian
suguhkan dengan ritual ibadah, kecuali dari Dzat yang telah mengadakan
diriku, karena sesungguhnya Dialah yang akan memberikan hidayah
kepadaku.” (QS. Az-Zukhruf: 26-27).”

(‫م‬ َ َ ‫ )أَ َو‬Ini hukumnya lebih parah lagi, dikarenakan dia


َ ‫صحَ َح َ َم َْذ ََىبَ َه‬
َُْ َ َ َ ْ
malah membenarkan dan menganggap benar madzhab mereka. Baik itu
bentuknya dengan ia berkata: “Menghukumi syirik dari perbuatan mereka
tersebut masih butuh untuk di telisik lebih lanjut lagi, karena mereka hanya
menjadikan para wali tersebut sebagai Wasaa-il (perantara penghubung di
dalam mendekatkan diri kepada Allah, pent.).” Atau ia berkata: “Mereka
yang melakukan perbuatan tersebut hanyalah orang-orang yang jaahil,
sehingga mereka terjatuh ke dalam perbuatan syirik tersebut juga
dikarenakan oleh kejaahilannya.” Dan ucapan lainnya yang mengandung
makna pembelaan terhadap orang-orang yang berbuat kesyirikan. Maka
orang yang membela ini hukumnya lebih kaafir dari mereka yang melakukan
kesyirikan secara langsung, dikarenakan mereka sudah menganggap benar
dan sahnya perbuatan kekufuran serta kesyirikan, atau mereka ragu (dengan
kesyirikan dan dengan Al-Haq yang ada pada ajaran agamanya sendiri,
pent.).

Oleh karena itu kita katakan kepadanya: “Bukankah engkau adalah


seorang muslim yang berIttibaa’ (mengikuti lagi mencontoh) kepada
Rosulullah –shollallahu ‘alaihi wasallama-? Sementara Rosulullah telah
datang dalam keadaan menghukumi kafirnya orang-orang musyrik, bahkan
beliau memerangi mereka dan menghalalkan harta serta darah mereka. Lalu
beliau juga telah bersabda:

َ ‫اسَلِيَ ُق ْولُْو‬
َ ََ‫َلَإِلَوََإِل‬:‫ا‬
َ ُ‫للا‬ َ َ‫َالن‬ ‫ل‬ِ‫أ ُِمرتَأَ ْنَأُقَات‬
ُْ

34
“Aku telah diperintahkan untuk memerangi umat manusia agar supaya
mereka semua mau mengucapkan syahaadat: “Sama sekali tiada sesuatupun
yang berhak untuk dijadikan sebagai Ilah sesembahan satu-satunya kecuali
hanyalah Allah semata.” HR. Al-Bukhooriy (2946). Muslim (20). Maalik di
dalam Al-Muwaththo’ (1/269). Abu Daawud (1556). At-Tirmidziy (2610).
An-Nasaa-iy (5/14). Dari hadits Abu Huroiroh –rodhiyallahu ‘anhu-.

َ ُ‫َللا‬
َ ‫َحَّتَيُ ْعبَ َد‬ ِ ‫َبلسْي‬
‫ف‬ ِ ‫ت‬ ‫ث‬
ْ ِ‫بع‬
َ ُ ُ
“Aku telah diutus dengan menghunuskan pedang hingga akhirnya Allah satu-
satunya sajalah yang disembah dan diibadahi.” HR. Ahmad (5115). Ibnu Abiy
Syaibah (5/313). Al-Baihaqiy di dalam Syu’abul Iimaan (1199). Dan Ibnu
Hajar di dalam Taghliiqut Ta’liiq (3/445).

        

“Dan wajib bagi kalian untuk memerangi mereka, sehingga tiada lagi fitnah
dan agama seluruhnya hanyalah menjadi hak serta bagi Allah semata.” (QS.
Al-Anfaal: 39).

Yang dimaksud dengan fitnah adalah kesyirikan, yakni musuhi dan


perangilah mereka hingga tiada lagi kesyirikan terhadap Allah.”

35
ََ‫َأََْوَأَن‬، ‫بَملسو هيلع هللا ىلصَأَ َْك ََم َُلَ َِم َْنَ ََى َْدَيَِِو‬ َِ ‫اعتََ َق ََدَأَنََ َغْيَََرَ ََى َْد‬
َ َِ‫يَالن‬ َْ َ‫َم َِن‬: ََ ‫الراَبِ َُع‬
َ
َ‫ت‬ َِ ‫ض َُل َ َُح َْك ََم َالطَََو‬
َِ ‫اغَْي‬ َِّ ‫ َ َكالَ َِذي َيَُ َف‬، ‫س َُن َ َِم َْن َ َُح َْك َِم َِو‬ ََ ‫َُح َْك ََم َ َغ َِْيَِه َأَ َْح‬
‫َفَ َُه َوََ َك َافٌَِر‬، ‫ىَح َْك َِم َِو‬
َُ ‫ََعَل‬
“Barangsiapa yang berkeyakinan bahwasanya ada selain dari
tuntunan hidayah Nabi –shollallahu ‘alaihi wasallama- yang lebih
sempurna dari tuntunan hidayah beliau, atau seseorang menganggap
selain dari hukum dan putusan beliau lebih baik dari hukum dan putusan
beliau, semisal perbuatan seorang yang lebih mengutamakan hukum para
Thooghuut di atas dari hukum dan putusan beliau, maka ia juga telah
kaafir.”

Syarah Asy-Syeikh Shoolih bin Fauzaan –hafidzhohullahu ta’aalaa-:

Termasuk pembatal keislaman adalah perbuatan berhukum dengan


selain yang telah diturunkan oleh Allah, sambil dia meyakini bolehnya
melakukan perbuatan tersebut dan meyakini pula berhukum dengan syarii’at
hanya sekedar boleh (namun bukan wajib hukumnya, pent.), sehingga iapun
membolehkan berhukum dengan Qowaaniin (undang-undang dan dasar
negara buatan manusia, pent.) dan iapun berkata: “Tujuan dari tata
kenegaraan adalah untuk melahirkan persatuan, kesatuan, dan melerai
pertikaian, di mana tujuan tersebut sudah dapat dicapai meskipun dengan
menggunakan hukum Qowaaniin buatan manusia atau dengan hukum
syarii’at sekalipun, sehingga kita boleh menggunakan hukum yang mana
saja.”

Maka kita katakan kepadanya: “Subhaanallahi! Apakah engkau mau


menganggap sama antara hukum Thoghuut dengan hukum Allah?!

36
Sesungguhnya berhukum dengan syarii’at Allah mengandung makna ibadah
pula kepada Allah –‘azza wajalla-, sehingga tujuan dari penegakkannya
bukanlah sekedar semata-mata untuk mencapai persatuan, kesatuan, dan
melerai pertikaian, serta keteratuan, bahkan tujuannya adalah untuk
beribadah kepada Allah dengan cara berhukum dengan syarii’at Allah –
subhaanahu wata’aalaa-. Sedangkan berhukum dengan selain hukum Allah
adalah merupakan perbuatan kesyirikan, yakni syirik di dalam ketaatan dan
syirik di dalam berhukum. Lihatlah kepada firman Allah –subhaanahu
wata’aalaa-:

             

“Apakah mereka itu mempunyai Syurokaa’ (sekutu tandingan bagi Allah),


yang mana Syurokaa’ tersebut bisa mempunyai hak untuk membuat-buat
hukum syarii’at agama bagi mereka (yang pantas untuk senantiasa mereka
patuhi dan taati,pent.) yang sama sekali tidak diizinkan oleh Allah?” (QS.
Asy-Syuuroo: 21).

    

“Dan apabila kalian mentaati mereka (yakni para wali syaithoon dan segala
aturan mereka, pent.), sesungguhnya kalian benar-benar juga akan menjadi
orang-orang yang berlaku syirik.” (QS. Al-An’aam: 121).

37
       

             

   

“Mereka menjadikan Ahbaar (para ulama yang faasiq yang


menyembunyikan ilmu Al-Haq lagi tidak mengamalkan ilmunya, pent.) dan
Ruhbaan (para ahli ibadah yang faasiq yang suka beramal tanpa dasar ilmu,
pent.) serta Al-Masiih putra Maryam sebagai Arbaab (Robb-Robb Tuhan
tandingan di dalam hak untuk menetapkan hukum dan ditaati satu-satunya
pent.) selain daripada Allah. Padahal tidaklah mereka semua diperintahkan
melainkan agar supaya mereka hanya beribadah, menyembah, dan mentaati
Ilah yang satu saja (yakni Allah semata, pent.), sama sekali tiada sesuatupun
yang berhak untuk dijadikan sebagai Ilah sesembahan yang disembah dan
ditaati secara penuh kecuali hanyalah Dia. Maha Suci Allah dari segala yang
mereka persyarikatkan terhadap-Nya.” (QS. At-Taubah: 31).

Allah menyebut perbuatan mereka sebagai perbuatan kesyirikan dan


menyebut mereka sebagai orang-orang musyrik. Maka orang yang
menyamakan kedudukan antara hukum Allah dengan hukum Thooghuut
adalah seorang yang juga kaafir.

Yang dimaksud dengan Thooghuut di sini adalah segala hukum selain


dari hukum Allah, baik itu berupa hukum adat, perundang-undangan orang-
orang kaafir, undang-undang buatan Perancis maupun Inggris, dan selainnya.
Maka kesemua hukum tersebut dianggap sabagai Thooghuut, termasuk pula
berhukum dengan hukum para tukang sihir. Oleh karena itu barangsiapa
yang berkata: “Hukum Allah dan hukum selainnya adalah sama saja.” Maka

38
dia kaafir, terlebih parah lagi jikalau dia malah berkata: “Sesungguhnya
hukum selain Allah lebih baik dari hukum yang telah diturunkan oleh Allah.”
Maka orang yang berucap demikian hukumnya lebih parah lagi. Sehingga
seorang yang berkata: “Pada masa ini manusia tidak bisa baik dan tidak akan
menerima kecuali hanyalah hukum-hukum selain Allah yang demikian, jadi
tidak cocok lagi jikalau diterapkan hukum syarii’at, karena hukum syarii’at
sudah tidak pas lagi dengan zaman sekarang dan tidak membawa
kamudahan lagi bagi manusia, oleh karena itu tujuan-tujuan di masa ini
hanya bisa dicapai dengan tata aturan perundang-undangan selain Allah
yang demikian, karena inilah yang bisa membawa kemudahan dan diterima
oleh umat manusia secara luas, sebab itulah kitapun dianjurkan untuk turut
pula membuat tata aturan perundang-undangan yang sama seperti
digunakan oleh kabanyakan manusia di zaman ini, bahkan hukum tata
negara dan perundang-undangan yang demikian di zaman ini dirasa sudah
lebih baik dari hukum Allah.” Maka orang ini kaafir lebih parah dibandingkan
sekedar seorang yang berucap: “Sesungguhnya antara hukum Allah dan
hukum selain-Nya sama saja.”

Adapun jikalau seseorang berhukum dengan selain yang telah


diturunkan oleh Allah dikarenakan mengikuti hawa nafsunya sendiri, atau
dikarenakan memang jaahil tentang apa yang telah diturunkan oleh Allah,
dan ia masih meyakini bahwa hukum Allah secara muthlak adalah yang
merupakan Al-Haq lagi wajib ditegakkan, maka orang ini hanya teranggap
melakukan perbuatan dosa besar diantara dosa-dosa besar (Kabaa-ir), atau
sering disebut pula dengan perbuatan Kufrun Duuna Kufrin.

39
ََ‫ملسو هيلع هللا ىلصَولَ َْو َ ََع َِم ََل ََبِِو‬
ََ َ ‫الر َُس َْو َُل‬ َ َ ‫اَج َاءَ ََبَِِو‬ َِ ً‫ض َ ََشْيََئ‬
ََ ‫اَم‬ ََ َ‫َم َْن َأَبَْ َغ‬:
ََ ‫س‬ َِ َ‫ال‬
َُ ‫ام‬ َ
َ ‫َك َفََر‬
“Pembatal kelima: Barangsiapa membenci sesuatu apapun dari
perkara-perkara yang telah dibawa oleh Rosulullah –shollallahu ‘alaihi
wasallama-, meskipun ia telah mengamalkannya sekalipun, maka ia telah
kaafir.”

Syarah Asy-Syeikh Shoolih bin Fauzaan –hafidzhohullahu ta’aalaa-:

Di antara pembatal keislaman yang kelima adalah siapa saja yang


membenci sesuatu apapun yang telah dibawa oleh Rosulullah –shollallahu
‘alaihi wasallama-. Maka membenci sesuatu apapun dari apa yang telah
beliau bawa merupakan kemurtadan, meskipun orang tersebut sudah
mengamalkannya sekalipun. Allah –subhaanahu wata’aalaa- telah
berfirman:

        

“Yang demikian tersebut adalah dikarenakan mereka sudah membenci apa


yang telah diturunkan oleh Allah, sehingga Allahpun menghancur-leburkan
dan membatalkan amalan-amalan mereka.” (QS. Muhammad: 9).

Yang dimaksud dengan kata (‫ك ِرُىوا‬


َ ) adalah Al-Bughdhu (membenci),
ْ
dan perbuatan ini merupakan kemurtadan, sekalipun orang tersebut sudah
mengamalkan apa yang ia benci itu, maka ia tetap teranggap kaafir dengan

40
alasan berupa masih adanya kebencian di dalam hatinya, meskipun secara
dzhoohir ia telah mengamalkannya.

        

“Yang demikian tersebut adalah dikarenakan mereka sudah membenci apa


yang telah diturunkan oleh Allah, sehingga Allahpun menghancur-leburkan
dan membatalkan amalan-amalan mereka.” (QS. Muhammad: 9).

41
َِ َ ‫اب‬
َ‫للا َأََْو‬ َ َ ‫ش َْي ٍَء َ َِم َْن َ َِدَيْ َِن‬
َِ ‫الر َُس َْوَِل َأََْو َثَََو‬ ََ ِ‫استََ َْهََزأَ ََب‬
َْ َ ‫َم َِن‬
ََ :‫س‬ َُ ‫اد‬ َِ َ‫الس‬
َ ‫َِع َقاَبَِِوََ َك َفََر‬
“Pembatal keenam: Barangsiapa yang mengolok-ngolok,
menjadikan bahan candaan dan gurauan, atau menista sesuatu apapun
dari hal-hal yang menjadi bagian dari agama Rosulullah, atau sesuatu dari
hal-hal yang berkaitan dengan pahala Allah maupun siksa-Nya, maka dia
telah kaafir.”

Syarah Asy-Syeikh Shoolih bin Fauzaan –hafidzhohullahu ta’aalaa-:

Pembatal keislaman yang keenam adalah perilaku Istihzaa’


(mengolok-ngolok, menjadikan bahan candaan dan gurauan, atau menista,
pent.) sesuatu apapun dari perkara-perkara yang telah diturunkan oleh Allah,
atau dari perkara-perkara yang telah dibawa oleh Rosulullah, baik itu yang
merupakan perkara Sunnah maupun yang hukumnya Mustahab, semisal
tentang siwak, tentang mencukur kumis, tentang mencukur bulu kemaluan,
ataupun tentang memotong kuku. Barangsiapa berIstihzaa’ terhadap salah
satu saja di antara perkara-perkara tersebut dan yang semisalnya, maka dia
telah menjadi kaafir. Dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah firman
Allah –subhaanahu wata’aalaa-:

42
         

        

  

“Dan apabila engkau bertanya kepada mereka (kenapa kalian berucap dan
bercanda dengan candaan yang demikian, pent.), niscaya mereka akan
berkata: “Kami hanyalah sekedar bersenda gurau dan bercanda belaka, dan
tidak sungguh-sungguh berniat untuk mengolok-olok.” Katakanlah
(Muhammad): “Apakah kalian menjadikan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rosul-
Nya sebagai bahan candaan (Istihzaa’) kalian? Tidak usah lagi kalian mencari-
cari alasan keringanan (‘udzur), karena sesungguhnya kalian sudah dianggap
kaafir setelah sebelumnya kalian telah beriman dengannya.” (QS. At-
Taubah: 65-66).

Maka orang yang berIstihzaa’ tentang sesuatu apapun yang


datangnya dari Rosulullah, baik itu yang hukumnya Fardhu, Wajib, ataupun
Sunnah, artinya dia teranggap sudah murtad keluar dari agama islam. Lantas
bagaimana pendapat kalian dengan seseorang yang berkata: “Memelihara
janggut, mencukur kumis, mencukur bulu-bulu di badan, dan mencuci
kemaluan dikala selesai buang hajat, serta memotong kuku hanyalah perkara
yang tidak penting.” Ucapan yang demikian adalah merupakan bentuk
Istihzaa’ terhadap agama Allah –‘azza wajalla-, meskipun mereka sudah
mengamalkannya sekalipun, maka mereka tetap teranggap murtad keluar
dari agama, karena hal itu sudah dianggap sebagai bentuk perendahan dan
penistaan terhadap apa yang telah dibawa oleh Rosulullah. Oleh karena itu
wajib bagi kita untuk memuliakan dan mengagungkan seluruh Sunnah yang
datangnya dari Rosulullah –shollallahu ‘alaihi wasallama-, bahkan meskipun

43
perkara tersebut harus menyelisihi hawa nafsu seseorang, tetap wajib
baginya untuk memuliakan seluruh Sunnah beliau, seluruh hadits-hadits
beliau, dan tidak boleh sama sekali baginya untuk berkata: “Gampang,
perkara itu tidaklah penting.”

44
ََ ‫ََوالدََلَِْي َُلَقَ َْوَلَُوَُتَ ََع‬
َ :‫ال‬

         

  

“Dalilnya adalah firman Allah –subhaanahu wata’aalaa-:

         

  

“Katakanlah (Muhammad): “Apakah kalian menjadikan Allah, ayat-ayat-


Nya, dan Rosul-Nya sebagai bahan candaan (Istihzaa’) kalian? Tidak usah
lagi kalian mencari-cari alasan keringanan (‘udzur), karena sesungguhnya
kalian sudah dianggap kaafir setelah sebelumnya kalian telah beriman
dengannya.” (QS. At-Taubah: 65-66).

Syarah Asy-Syeikh Shoolih bin Fauzaan –hafidzhohullahu ta’aalaa-:

Asbaabun Nuzul (sebab turunnya) ayat ini adalah dikala ada suatu
jamaa’ah manusia yang ikut berangkat bersama Rosulullah –shollallahu
‘alaihi wasallama- di dalam peperangan Tabuuk, di mana mereka berasal
dari kalangan kaum muslimiin. Lalu pada waktu mereka tengah beristirahat,
merekapun berbincang-bincang sambil berkata: “Kita tidak pernah melihat
orang-orang yang modelnya seperti para Qurroo’ kita, di mana ucapan

45
mereka paling dusta, paling rakus makannya, dan paling penakut ketika
sudah bertemunya dua pasukan di medan pertempuran.” Yang mereka
maksudkan dengannya adalah Rosulullah –shollallahu ‘alaihi wasallama- dan
para shohabatnya. Namun ternyata di majelis mereka tersebut hadir seorang
pemuda dari kalangan shohabat, sehingga iapun menganggap ucapan
mereka itu bukanlah ucapan yang ringan, maka iapun beranjak untuk
mengadukannya kepada Rosulullah –shollallahu ‘alaihi wasallama- perihal
ucapan dari kaum tersebut, akan tetapi ternyata wahyu Allah sudah turun
mendahului pemberitaan darinya. Lalu datanglah utusan dari kaum tersebut
juga kepada Rosulullah untuk meminta ‘udzur, setelah mereka mendengar
bahwa beliau sudah mendengar tentang omongan di majelis mereka itu.
Utusan tersebut datang sambil langsung mengejar Rosulullah yang tengah
mengendarai unta, lalu ia merebut tali kekang unta beliau dan
menambatkannya, kemudian ia berkata: “Wahai Rosulullah, sesungguhnya
kita hanya berbincang-bincang mengisi waktu luang guna melepas letih
setelah berkendara melakukan safar, dan kami sama sekali tidak berniat
untuk Istihzaa’, akan tetapi benar-benar kita hanya sekedar bercanda gurau
saja.” Namun Rosulullah –shollallahu ‘alaihi wasallama- sama sekali tidak
mau melihat kepada orang tersebut serta hanya terus-menerus
membacakan ayat ini kepadanya:

         

        

  

“Dan apabila engkau bertanya kepada mereka (kenapa kalian berucap dan
bercanda dengan candaan yang demikian, pent.), niscaya mereka akan

46
berkata: “Kami hanyalah sekedar bersenda gurau dan bercanda belaka, dan
tidak sungguh-sungguh berniat untuk mengolok-olok.” Katakanlah
(Muhammad): “Apakah kalian menjadikan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rosul-
Nya sebagai bahan candaan (Istihzaa’) kalian? Tidak usah lagi kalian mencari-
cari alasan keringanan (‘udzur), karena sesungguhnya kalian sudah dianggap
kaafir setelah sebelumnya kalian telah beriman dengannya.” (QS. At-
Taubah: 65-66).

Beliau sama sekali tidak perduli dengan ucapan penjelasannya dan


terus-menerus membaca:

    

“Sesungguhnya kalian sudah dianggap kaafir setelah sebelumnya kalian telah


beriman dengannya.” (QS. At-Taubah: 66).

Maka ayat ini menunjukkan bahwa sebelumnya mereka adalah orang-


orang yang beriman, namun ketika mereka mengucapkan kalimat tersebut,
merekapun murtad keluar dari agama islam. Meskipun mereka beralasan:
“Kami hanyalah sekedar bercanda gurau.” Dikarenakan perkara agama ini
bukanlah candaan dan bukanlah permainan, maka sungguh Allahpun telah
menganggap mereka kaafir setelah sebelumnya mereka telah beriman -nas-
alullahal ‘aafiyah- (kita memohon keselamatan, penjagaan, dan kemaafan
dari Allah semata, pent.).

Maka hal ini pula menjadi dalil bagi siapa saja yang menista Allah,
Rosul-Nya, kitab-Nya, atau sesuatu apapun dari Al-Qur-aan, maupun sesuatu
apapun dari Sunnah Rosulullah –shollallahu ‘alaihi wasallama-, maka ia
teranggap murtad keluar dari agama islam, meskipun ia hanya bercanda.
Lantas di manakah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya orang-orang
yang menjadikan agama sebagai candaan tidak boleh dikafirkan, kecuali
sampai terlebih dahulu kita mengetahui secara pasti apa niat di dalam

47
hatinya yang sebenarnya. Jadi meskipun ia menista Allah, Rosul, ataupun Al-
Qur-aan, tetap tidak boleh bagi kita menghukuminya kecuali sampai kita
tahu betul bagaimana keyakinannya dengan perbuatannya itu, tidak boleh
kita hukum dia hanya dengan sekedar ucapan, lafadzh, ataupun perbuatan
dzhoohirnya saja.” Dari manakah datangnya ucapan, pendapat, dan syarat-
syarat semacam ini? Bukankah sudah jelas bahwa Allah langsung
menghukumi mereka sebagai orang yang murtad, meskipun mereka berkata:

    

“Kami hanyalah sekedar bersenda gurau dan bercanda belaka, dan tidak
sungguh-sungguh berniat untuk mengolok-olok.” (QS. At-Taubah: 65).

Dan meskipun pada asalnya mereka adalah orang-orang yang beriman


kepada Allah dan Rosul-Nya, serta merupakan kalangan Ahlu Tauhiid
sekalipun. Akan tetapi ketika mereka berucap dengan ucapan yang demikian,
Allah –jalla wa’alaa- tetap berfirman:

    

“Sesungguhnya kalian sudah dianggap kaafir setelah sebelumnya kalian telah


beriman dengannya.” (QS. At-Taubah: 66).

Allah tidak menyatakan: “Kalian kaafir apabila dikala kalian hanya


benar-benar meyakini dan serius dengan ucapan tersebut.” Jadi Allah tidak
bertanya tentang apa yang mereka yakini, dan Allah juga tidak menyebutkan
tentang apa keyakinan mereka sebenarnya, bahkan Allah langsung
menghukumi begitu saja secara dzhoohir sebagai orang-orang yang murtad
setelah mereka sebelumnya telah beriman. Di mana keterangan
penghukuman tersebut langsung datang setelah penyebutan kisah tentang
ucapan mereka itu, dan langsung datang setelah keterangan bahwa mereka

48
dianggap melakukan Istihzaa’ tanpa lagi menyebutkan syarat-syarat tertentu
sebelum menghukumi mereka. Oleh karena itu seorang insan apabila secara
dzhoohirnya mengucapkan kalimat-kalimat kekufuran dalam keadaan ia
mengucapkannya bukan dikarenakan oleh paksaan atas dirinya dari orang
lain, maka dia tetap dihukumi sebagai seorang yang murtad. Adapun jikalau
ia mengucapkannya karena memang ada paksaan dari orang lain, maka dia
tidak dihukumi murtad.

49
َِ ‫ََف ََم َْن َفَ ََعلََوُ َأََْو َََر‬، ‫ف‬
ََ‫ض ََي ََبََِو‬ َُ ‫َوَِمَْن َوُ َالصََْر‬،
َُ ْ‫ف َََواَلْ ََع َط‬ ََ ‫حَُر‬ َِّ َ:‫السَاَبِ َُع‬
َْ ‫الس‬
َ ‫َك َفََر‬

ََ ‫ََوالدََلَِْي َُلَقَ َْوَلَُوَُتَ ََع‬


َ :‫ال‬

            

“Pembatal ketujuh: Sihir. Dan di antara bentuk sihir adalah Ash-


Shorfu (guna-guna) dan Al-‘Athfu (pelet). Barangsiapa yang
mempraktekkan sihir, atau ridho dengan praktek sihir, maka dia telah
kaafir.

Dalilnya adalah firman Allah –subhaanahu wata’aalaa-:

            

“Dan tidaklah keduanya akan mengajari sihir kepada seorangpun,


melainkan terlebih dahulu keduanya akan berkata mengingatkan:
Sesungguhnya kami ini hanyalah merupakan fitnah (cobaan dari Allah
kepada kalian, pent.), maka janganlah kamu kaafir (dengan sengaja
mempelajari sihir ini, pent.).” (QS. Al-Baqoroh: 102).”

Syarah Asy-Syeikh Shoolih bin Fauzaan –hafidzhohullahu-:

50
Pembatal keislaman yang ketujuh adalah sihir. Sihir adalah amalan
yang dipraktekkan oleh seorang tukang sihir. Dan secara umum sihir itu
dikategorikan menjadi dua macam: 1). Sihir Haqiiqiy, dan 2). Sihir Takhyiiliy.

Kategori pertama: Sihir Haqiiqiy adalah bentuk sihir dengan


menggunakan ‘Uqod (buhul-buhul), di mana si tukang sihir meniup jampi-
jampi, ataupun membacakan mantra kepada buhul-buhul sihir, dengan
meminta bantuan kepada syaithoon di dalam bacaan mantra dan jampi-
jampinya, atau pada azimat yang dia lemparkan, maupun pada tulisan-
tulisan yang dituliskannya menggunakan nama-nama dari para syaithoon
tersebut. Inilah sihir Haqiiqiy itu, di mana dampak yang ditimbulkan
daripadanya bisa berpengaruh pada orang yang di sihir, baik itu berupa bisa
membinasakannya, membuatnya sakit, ataupun menghilangkan akalnya.

Kategori kedua: Sihir Takhyiiliy, dimana ia berupa seseorang


melakukan sesuatu yang bisa menimbulkan khayalan bagi siapa saja yang
melihat praktek sihir tersebut, sehingga merekapun bisa menganggapnya
nyata, padahal sebenarnya dia tidaklah nyata. Semisal dikhayalkan kepada
manusia bahwa si tukang sihir bisa merubah batu menjadi hewan,
membunuh seseorang lalu bisa menghidupkannya lagi, memotong kepala
seseorang dan bisa menyambungnya kembali, bisa menarik mobil hanya
dengan rambut ataupun giginya, bisa dilindas oleh mobil dalam keadaan ia
tetap baik-baik saja, bisa masuk ke dalam kobaran api, bisa memakan bara
api, bisa menusuk dirinya dengan pedang ataupun besi tajam, bisa menusuk
matanya dengan besi, dan bisa memakan beling, serta lain sebagainya, maka
kesemua hal tersebut adalah merupakan bentuk keanehan serta keunikan
yang sebenarnya tidak ada hakikatnya lagi tidak benar-benar nyata, semisal
praktek sihir dari para tukang sihirnya Fir’aun. Allah –subhaanahu
wata’aalaa- telah berfirman:

      

51
“Dikhayalkan kepada dirinya seolah-olah tali-temali dan tongkat mereka
tersebut hidup.” (QS. Thooha: 66).

Dan Allah –subhaanahu wata’aalaa- juga telah berfirman:

         

  

“Merekapun telah menyihir mata-mata manusia, dan membuat manusia


takjub dikarenakan mereka telah mendatangkan sihir yang besar lagi belum
pernah ada tandingannya. “ (QS. Al-A’roof: 116).

Inilah sihir Takhyiiliy, dan biasa juga disebut dengan Al-Qumroh


(hipnotis), yakni sihir yang biasa dilakukan oleh tukang sihir kepada mata-
mata manusia, di mana apabila Al-Qumroh ini sudah selesai, maka segala
sesuatu akan kembali seperti semula menjadi hakikatnya yang sebenarnya.

Sihir adalah kekufuran, dalilnya adalah firman Allah –subhaanahu


wata’aalaa-:

     

“Akan tetapi para syaithoonlah yang telah kaafir, dikarenakan mereka telah
mengajarkan ilmu sihir kepada umat manusia.” (QS. Al-Baqoroh: 102).

Mengajarkan ataupun mempelajari ilmu sihir hukumnya adalah kufur


terhadap Allah –‘azza wajalla-, dan merupakan salah satu di antara pembatal
keislaman, oleh karena itu seorang tukang sihir adalah seorang yang murtad.
Jikalau memang asalnya dia adalah seorang mu’min, lalu ia mempelajari atau
mempraktekkan ilmu sihir, maka ia murtad keluar dari agama islam, dan

52
menurut sebagian ‘ulama dia boleh untuk dibunuh (oleh penguasa, pent.)
meskipun tanpa dimintai taubat terlebih dahulu. Sebab alasannya adalah
meskipun ia sudah bertaubat dari ilmu sihirnya secara dzhoohir, akan tetapi
dia sudah terlanjur menipu dan memperdaya umat manusia. Selain itu, ilmu
sihir yang berada di dalam hatinya juga tidak akan langsung lenyap begitu
saja meskipun dia sudah bertaubat.

(‫ك َُف َر‬


ْ ََ ‫َن َن ََفِْتََنََةٌ ََف‬
َْ ‫ل ََت‬ ُ ََْ ‫ان َ َِم َن َأَ َح ٍَد َ َحَّتَ َيَ َُقَوََل ََإَِّنَا‬
َْ َ َ ْ َِ ‫ ) َوَما َيَ ََعَلِّ َم‬Allah –‘azza
َ ُ ََ
wajalla- telah menurunkan dua orang malaikat dari langit untuk
mengajarkan ilmu sihir, sebagai bentuk Balaa’ (ujian) bagi umat manusia, dan
sebagai cobaan bagi mereka. Maka apabila ada salah seorang di antara
manusia yang mendatangi kedua malaikat tersebut untuk mempelajari ilmu
sihir, keduanyapun menasehati orang tersebut sambil berkata kepadanya:

      

“Sesungguhnya kami ini hanyalah merupakan fitnah (cobaan dari Allah


kepada kalian, pent.), maka janganlah kamu kaafir (dengan sengaja
mempelajari sihir ini, pent.).” (QS. Al-Baqoroh: 102).”

Yakni janganlah engkau mempelajari ilmu sihir ini. Maka hal inipun
menunjukkan bahwasanya perbuatan mempelajari ilmu sihir itu adalah
kekafiran.

53
َ‫ي‬ ِ َِ ‫يَ َوَم َع َاونَتَُ َه َمَ َعلَىَاَلْ َم‬ ِ‫ش ِرَك‬ ِ َ‫الث‬
َْ ‫سَل َم‬
ُْ َ ْ ُ َ ََُ َ
َْ َ
ْ َ
‫م‬ َ
‫ل‬
ْ ‫ا‬ َ
ُ َ ُ َُُ
‫ة‬‫ر‬ََ
‫اى‬
َ َ
‫ظ‬
ُ َ
‫َم‬: َ
‫ن‬ َ
‫ام‬
“Pembatal kedelapan: Lebih mengutamakan orang-orang musyrik
dan turut memberikan pertolongan kepada mereka di dalam memerangi
ataupun menimpakan kemudhorootan bagi kaum muslimiin.”

Syarah Asy-Syeikh Shoolih bin Fauzaan –hafidzhohullahu ta’aalaa-:

Pembatal keislaman yang kedelapan adalah memberikan bantuan


kepada orang-orang musyrik untuk memerangi ataupun menimpakan
mudhoorot bagi kaum muslimiin. Kata Al-Mudzhooharoh maknanya adalah
Al-Mu’aawanah (memberikan pertolongan). Bentuknya berupa seseorang
membantu orang-orang kaafir untuk memerangi kaum muslimiin, atau
membantu di dalam rangka memberikan gangguan bagi kaum muslimiin.

Oleh karena itu barangsiapa mencintai orang-orang kaafir, maka dia


juga dikafirkan, sebab sikap tersebut sudah bermakna bahwa dia menjadikan
orang-orang kaafir tersebut sebagai wali.

    

“Barangsiapa di antara kalian yang menjadikan mereka (orang-orang kaafir)


sebagai wali (penolong yang kalian bela lagi cintai, pent.), maka dia dianggap
sudah menjadi bagian dari mereka.” (QS. Al-Maa-idah: 51).

Yakni menjadikan mereka sebagai wali dengan cara saling tolong-


menolong, dan saling bahu-membahu dengan mereka, atau menjadikan
mereka sebagai wali dengan cara mencintai mereka, maka orang yang
demikian dikafirkan. Sebab artinya dia mencintai kekufuran dan orang-orang
kaafir, maka iapun dikafirkan karenanya. Dan maksud dari dia mencintai

54
orang-orang kaafir adalah dikala dia tidak mengingkari kekafiran mereka.
Karena siapa saja yang tidak mengingkari kekafiran artinya dia juga kaafir
(dikarenakan artinya dia telah ridho dengan kekafiran tersebut, pent.).

55
ََ ‫ََوالدََلَِْي َُلَقَ َْوَلَُوَُتَ ََع‬
َ :‫ال‬

           



“Dalilnya adalah firman Allah –subhaanahu wata’aalaa-:

           



“Barangsiapa di antara kalian yang menjadikan mereka (orang-orang


kaafir) sebagai wali (penolong yang kalian bela lagi cintai, pent.), maka dia
dianggap sudah menjadi bagian dari mereka. Sesungguhnya Allah tidak
akan memberikan hidayah kepada kaum yang dzhoolim.” (QS. Al-Maa-
idah: 51).”

Syarah Asy-Syeikh Shoolih bin Fauzaan –hafidzhohullahu ta’aalaa-:

Bunyi awal dari ayat ini adalah:

56
          

  

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan orang-orang


Yahuudiy dan Nashrooniy sebagai para wali, karena sebagian di antara
mereka adalah menjadi wali (penolong dan pembela serta saling mencintai
lagi bahu-membahu, pent.) terhadap yang lainnya.” (QS. Al-Maa-idah: 51).

Yakni oleh karena itu janganlah pula kalian berWalaa’ (loyal) kepada
mereka, baik dengan kalian memberikan pertolongan, mencintai, ataupun
membantu mereka.

َ ‫ ) َوَم َنَيَتََ َو َلَُمَ َِمَْن َُك َمََفَِإنَ َوَُ َِمْنَ َُه‬Yakni sehingga siapa saja di antara kalian
(‫م‬
ْ ْ ْ َ َ ْ ََ
wahai kaum muslimiin yang berWalaa’ kepada mereka, maka artinya dia
dianggap sudah menjadi seorang Yahuudiy ataupun Nashrooniy. Sehingga
hal ini menjadi dalil yang menunjukkan murtadnya ia dari agama islam.

ََ ْ ‫َالظَ َالِ َِم‬


Selanjutnya Allah menyatakan (‫ي‬ َ‫للاَ َََل َيََ َْه َِدى َاَلْ َق َْوَم‬
َ َ َ‫)َإِن‬
Allahpun menyebut mereka sebagai orang-orang yang dzhoolim.

57
َ‫جَ ََع َْنَ ََشَِريَْ ََع َِةَ َُمَمَ ٍَد‬
َُ ‫الَُُرَْو‬
َْ َُ‫س ََع َو‬
ََ َ‫اسََي‬ َِ َ‫ضَالن‬ َْ َ‫َم َِن‬:
ََ ‫اعتََ َق ََدَأَنََبََ َْع‬ َِ َ‫الت‬
ََ ‫اس َُع‬
ََ َ‫ىَعَلَْي َِو َالس‬
ََ‫ل َُم َفَ َُه ََو‬ ََ ‫ج َ ََع َْن َ ََشَِريَْ ََع َِة َ َُم َْو ََس‬
ََ ‫الَُُرَْو‬ َْ ِ‫ال‬
َْ َ ‫ضَُر‬ َْ َ ‫اَو ََس ََع‬
ََ ‫ملسو هيلع هللا ىلصَ َك ََم‬
َ
َ ‫َك َافٌَِر‬
“Pembatal kesembilan: Barangsiapa berkeyakinan bahwa sebagian
manusia masih boleh terbebas dari ikatan syarii’at Muhammad –
shollallahu ‘alaihi wasallama-, sebagaimana bebas keluarnya Khidr dari
syarii’at Muusaa –‘alaihis salaamu-, maka dia juga kaafir.”

Syarah Asy-Syeikh Shoolih bin Fauzaan –hafidzhohullahu ta’aalaa-:

Pembatal keislaman yang kesembilan adalah siapa saja yang


beranggapan bahwa masih bolehnya seseorang dari umat ini untuk keluar
terlepas dan tidak terikat lagi dengan syarii’at Muhammad –shollallahu
‘alaihi wasallama-. Sebab Allah telah mengutus Muhammad –shollallahu
‘alaihi wasallama- untuk seluruh umat manusia, dan Allah juga telah
mewajibkan kepada seluruh alam untuk berlaku taat kepada beliau.

     

“Dan tidaklah Kami mengutusmu (Muhammad) melainkan adalah sebagai


rohmat bagi seluruh alam.” (QS. Al-Anbiyaa’: 107).

58
         

  

“Dan tidaklah Kami mengutusmu (Muhammad) melainkan adalah untuk


seluruh umat manusia, sebagai pembawa kabar gembira dan sebagai
pemberi peringatan, akan tetapi kebanyakan manusia tidak berilmu (dengan
ilmu yang shohiih, bahkan mereka jaahil ataupun malah menentang dengan
cara tidak mengamalkan ilmu tersebut, sehingga mereka sama saja seperti
tidak berilmu, pent.).” (QS. Saba’: 28).

       

“Katakanlah: Wahai sekalian manusia! Sesungguhnya aku ini benar-benar


adalah Rosul utusan Allah yang telah dikirim oleh-Nya kepada kalian
semuanya.” (QS. Al-A’roof: 158).

Maka siap saja yang tidak menerima dan tidak menyambut Rosulullah,
serta tidak mau berIttibaa’ (mengikuti dan meneladani) kepada beliau,
dirinya adalah seorang yang kaafir, baik apakah ia asalnya adalah seorang
Yahuudiy, Nashrooniy, Majuusiy, atau pemeluk agama apapun. Dikarenakan
semenjak diutusnya beliau, Allah telah mewajibkan kepada seluruh umat
manusia untuk senantiasa taat lagi berIttibaa’ kepada beliau. Dan siapa saja
yang masih berada di atas agama Yahuudiy ataupun Nashrooniy, maka
sesungguhnya agama-agama tersebut telah di Mansuukh (dihapus) dengan
diutusnya beliau –shollallahu ‘alaihi wasallama-, sehingga tiada seorangpun
lagi yang masih diberikan kebebasan untuk tetap berada di luar dari ketaatan
terhadap beliau.

59
Adapun kasus keluarnya Khidr dari kewajian taat terhadap Muusaa,
hal tersebut adalah dikarenakan Muusaa bukanlah sosok yang memang Allah
utus untuk Khidr, sebab syarii’at Muusaa hanyalah berlaku khusus dan
mengikat Baniy Isroo-iil semata.

         

   

“Dan tatkala Muusaa berkata kepada kaumnya: Wahai kaumku! Kenapa


kalian mengganggu dan menyakitiku, padahal kalian semua tahu
bahwasanya aku ini benar-benar adalah Rosul utusan Allah yang telah diutus
khusus kepada kalian.” (QS. Ash-Shoff: 5).

Maka risalah Muusaa –‘alaihis salaamu- hanya berlaku khusus bagi


Baniy Isroo-iil dan bukan untuk seluruh umat manusia, oleh karena itu Khidr
juga mempunyai syarii’at tata cara beribadahnya tersendiri kepada Allah.

Para ‘ulama berbeda pendapat tentang status Khidr, apakah ia adalah


seorang Nabi, ataukah seorang hamba yang shoolih? Di sana terdapat dua
pendapat:

Pendapat pertama: Sesungguhnya dia adalah seorang Nabi. Alasannya


karena ia mengamalkan perkara-perkara yang dianggap sebagai mu’jizaat,
contohnya semisal ketika ia melubangi perahu, ketika ia menyembelih
seorang anak, dan ketika ia membangun dinding yang sudah hampir roboh,
di mana kesemua perkara tersebut dianggap mu’jizaat karena alasannya
dibangun di atas sesuatu yang ghooib. Sementara mu’jizaat tidak akan
mungkin terjadi kecuali hanya pada diri seorang Nabi. Adapun asal mula
kisah Muusa bersama dengan Khidr adalah dikala Muusaa –‘alaihis salaamu-
pada suatu waktu berkhuthbah kepada Baniy Isroo-iil, kemudian mereka

60
bertanya kepadanya: “Apakah di sana masih ada orang lainnya yang lebih
berilmu selain dirimu?” Maka iapun menjawab: “Tidak ada!”

Maka Allahpun mewahyukan kepadanya bahwasanya di sana ada


seorang hamba pada negeri demikian dan demikian yang mempunyai ilmu
tentang perkara yang tidak Muusaa ilmui. Sehingga Muusaa –‘alaihis
salaamu- pun berangkat guna ingin menuntut ilmu dari lelaki tersebut. Allah
–subhaanahu wata’aalaa- berfirman:

          

         

           

           

          

            

         

           

61
           

            

           

           

           

            

         

           

            

           

          

62
         

           

           

“Dan ketika Muusaa berkata kepada pemuda yang ikut menemani


perjalanannya: Aku tidak akan pernah berhenti melakukan perjalan terus-
menerus hingga kita sampai kepada pertemuan dua lautan, atau jikalau perlu
sampai ke akhir jalan sekalipun! Maka tatkala keduanya sudah sampai pada
pertemuan dua lautan, mereka lupa dengan lauk ikan keduanya, dan ikan
tersebut hidup kembali lalu melompat mencari jalannya ke arah lautan.
Ketika keduanya telah berjalan jauh melewati pertemuan dua lautan
tersebut, Muusaapun berkata kepada pemuda yang ikut menemaninya:
Bawakan kemari bekal makan siang kita, nampaknya kita sudah cukup letih
berjalan di dalam perjalanan safar kita kali ini! Pemuda tersebut berkata:
Bagaimana pendapatmu jikalau kita berteduh saja di bawah batu besar itu,
karena sesungguhnya tadi aku lupa perihal ikan bekal lauk kita, dan tiada
seorangpun yang membuatku lupa untuk menceritakannya melainkan
hanyalah oleh karena ulah syaithoon yang membuatku lupa, di mana ikan
tersebut tadi secara ajaibnya hidup kembali dan langsung melompat mencari
jalannya ke laut. Muusaapun berkata: Itulah tempat yang kita cari selama ini.
Maka keduanyapun kembali dan menyusuri lagi jalan yang telah mereka
berdua lalui, kemudian keduanya mendapati di sana terdapat seorang
hamba di antara para hamba Kami, di mana dirinya telah Kami anugerahkan
dengan rohmat, dan telah Kami ajarkan pula ilmu kepadanya dari sisi Kami.
Muusaapun berkata kepadanya: Bolehkan aku ikut bersamamu sehingga
engkaupun bisa mengajariku tentang ilmu petujuk yang telah diilmukan

63
kepadamu. Ia menjawab: Sesungguhnya engkau tidak akan sanggup bersabar
bersamaku, karena bagaimana mungkin engkau bisa bersabar melihat
perkara-perkara yang tidak engkau pahami?! Muusaa berkata: Engkau pasti
akan mendapati bahwa diriku ini adalah seorang yang penyabar, dan
nantinya aku tidak akan menyelisihi perintahmu. Ia berkata: Apabila engkau
mengikutiku, maka jangan sekali-kali engkau bertanya ataupun
mengomentari sesuatu apapun dariku sebelum aku sendiri yang
menerangkannya kepadamu! Maka keduanyapun beranjak melakukan
perjalanan dan menaiki kapal, lalu iapun melubangi kapal tersebut.
Muusaapun berkata: Apakah engkau sengaja melubangi kapal ini agar
penumpangnya tenggelam? Benar-benar sungguh engkau telah melakukan
perbuatan dosa yang besar! Ia berkata: Bukankah sudah aku katakan bahwa
engkau tidak akan sanggup bersabar bersamaku? Muusaa berkata: Janganlah
dulu engkau hukum aku karena kelupaanku, dan janganlah pula engkau
sempitkan aku karena urusan ini sehingga nantinya aku malah bertambah
susah. Maka keduanya kembali beranjak melanjutkan perjalanan hingga
menjumpai seorang anak, lalu anak itupun dibunuh olehnya. Muusaa
berkata lagi: Apakah engkau telah membunuh jiwa yang suci dengan alasan
yang tidak dibenarkan? Benar-benar sungguh engkau telah melakukan suatu
kemungkaran yang besar! Ia berkata: Bukankah sudah aku katakan bahwa
engkau tidak akan sanggup bersabar bersamaku? Muusaapun berkata:
Apabila selanjutnya aku masih berkata ataupun mengomentari sesuatu
apapun setelah ini, maka engkau boleh meninggalkanku, karena sungguh
engkau sudah cukup memberikan ‘udzur kepadaku! Keduanyapun
melanjutkan perjalanan hingga sampai pada suatu negeri, dan keduanyapun
meminta agar dijamu oleh penduduk setempat akan tetapi mereka enggan
menjamu keduanya. Lalu mereka mendapati adanya sebuah rumah yang
dindingnya hampir roboh, sehingga keduanyapun membangun kembali
dinding tersebut. Setelah itu Muusaa berkata: Jikalau engkau mau, engkau
benar-benar bisa meminta upah jerih payah pengerjaan dinding ini kepada
pemiliknya? Iapun berkata: Maka di sinilah tempat perpisahan kita berdua!

64
Dan akan saya terangkan kepadamu alasan dari perkara-perkara yang selama
ini engkau tidak sanggup untuk bersabar tentangnya.” (QS. Al-Kahfi: 64-78).

Dan seterusnya hingga akhir kisah yang telah dikisahkan oleh Allah
sendiri pada suroh Al-Kahfi, inilah asal kisahnya. Maka Khidr bukanlah bagian
dari umat Muusaa, dikarenakan Muusaa tidaklah diutus kepada seluruh
umat manusia, oleh karena itu iapun boleh keluar dari aturan syarii’at
Muusaa. Sedangkan Muhammad –shollallahu ‘alaihi wasallama-, maka
beliau diutus untuk seluruh umat manusia, sehingga sudah tidak boleh lagi
bagi seorangpun untuk keluar dari aturan syarii’at beliau. Dan di sini
terdapat bantahan bagi kaum tarekat Shuufiyyah, di mana mereka
beranggapan bahwasanya mereka bisa mencapai suatu derajat tertentu yang
keadaannya sudah tidak lagi butuh kepada aturan syarii’at Rosulullah, dan
tidak butuh lagi berIttibaa’ kepada beliau. Sebab apabila mereka telah
mencapai derajat tersebut, maka merekapun menganggap bahwa mereka
sudah bisa mengambil ilmu dan wahyu secara langsung dari Allah, sehingga
mereka tidak lagi butuh kepada Rosul maupun perantara, dan mereka
berkata: “Sesungguhnya para Nabi dan Rosul itu hanyalah khusus
diperuntukkan bagi orang-orang yang awam, adapun orang-orang yang
terkhusus lagi terpilih, mereka sudah tidak butuh lagi kepada para Nabi dan
Rosul, sebab mereka telah mencapai derajat Ma’rifatullahi (mengenal Allah)
dan telah terhubung langsung dengan Allah, serta telah bisa mengambil
langsung dari Allah.” Demikianlah keadaan dari Ghulaatush Shuufiyyah (para
pengikut tarekat Shuufiyyah yang ekstrimis, pent.), di mana mereka sudah
merasa tidak butuh lagi kepada Rosulullah –shollallahu ‘alaihi wasallama-,
dan manganggap diri mereka sudah terbebas dari syarii’at beliau. Oleh sebab
itu mereka sudah tidak lagi melaksanakan sholat, tidak lagi berpuasa, tidak
lagi berhaji, dan tidak lagi mempelajari apa yang dibawa oleh Rosulullah,
karena mereka menganggap diri mereka adalah hamba-hamba yang khusus
lagi terpilih, dan mereka berkata: “Kami sudah tidak butuh lagi kepada
Rosulullah, sebab kami sudah bisa terhubung secara langsung dengan Allah.”

65
-nas-alullahal ‘aafiyah (kita memohon keselamatan, penjagaan, dan
kemaafan dari Allah semata, pent.)-.

Inilah maksud dari Asy-Syeikh penulis mengapa beliau menyebutkan


permasalahan ini. Karena hal ini adalah merupakan bantahan bagi kaum
tarekat Shuufiyyah yang menyangka diri mereka sudah bisa keluar terlepas
dari ikatan aturan syarii’at Muhammad –shollallahu ‘alaihi wasallama-,
karena beralasan bahwa mereka sudah tidak butuh lagi kepada Rosulullah.

66
َ‫َلَيََتََ ََعلَ َُم َوَََُوََلَيََ َْع ََم َُلََبِِو‬،
ََ ‫ال‬ َِ َ‫اضَ ََع َْنَ َِدَيْ َِن‬
ََ ‫للاَتَ ََع‬ َُ ‫َال َْعََر‬: َِ ‫الع‬
َِْ ‫اشَُر‬ ََ
“Pembatal kesepuluh: Berpaling dari agama Allah –subhaanahu
wata’aalaa- dengan cara tidak mau mempelajarinya, dan tidak mau pula
mengamalkannya.”

Syarah Asy-Syeikh Shoolih bin Fauzaan –hafidzhohullahu ta’aalaa-:

Pembatal keislaman yang kesepuluh sekaligus yang terakhir di dalam


kitab ini adalah keberpalingan dari agama Allah, yakni sama sekali tidak
mempunyai perhatian dan semangat dengan urusan agama, serta tidak mau
mempelajarinya. Bahkan jikalaupun ia mempelajarinya, maka ia tidak mau
mengamalkannya, sehingga awalnya dia berpaling dari ilmu, kemudian
selanjutnya dia berpaling dari amal -nas-alullahal ‘aafiyah (kita memohon
keselamatan, perlindungan, dan kemaafan kepada Allah semata, pent.)-.
Demikian pula seandainya mereka mengamalkannya, maka mereka juga
beramal tanpa dilandasi oleh ilmu, sehingga amalan merekapun sesat. Maka
wajib bagi kita untuk terlebih dahulu berilmu sebelum kita beramal.

Adapun sekedar mengambil ilmu tetapi meninggalkan untuk


mengamalkannya, artinya dirinya teranggap sebagai golongan Al-
Maghdhuubu ‘Alaihim (orang-orang yang dimurkai), sebaliknya barangsiapa
mengambil amalan, namun meninggalkan ilmu, artinya dirinya termasuk
golongan Adh-Dhoolluun (orang-orang yang sesat). Perkara ini jugalah yang
senantiasa kita berlindung daripadanya di setiap roka’at kita.

67
        

    

“Berikanlah hidayah kepada kami untuk bisa menuju dan menapaki Ash-
Shiroothul Mustaqiim (jalan yang lurus), yakni jalannya orang-orang
terdahulu yang sudah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan
jalannya para Al-Maghdhuubu ‘Alaihim, serta bukan pula jalannya para Adh-
Dhoolluun.” (QS. Al-Faatihah: 6-7).

Maka barangsiapa yang berpaling dari agama Allah, tidak mau


mempelajarinya, dan tidak mau pula untuk mengamalkannya, artinya dia
murtad keluar dari agama islam ini. Dan Allah –jalla wa’alaa- telah
berfirman:

         

  

“Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya


baginya penghidupan yang buruk, dan kelak akan Kami bangkitkan serta
kumpulkan mereka semua dalam keadaan buta.” (QS. Thooha: 124).

َ ‫ضَ ََع َنََِذ َْكَِر‬


Makna (‫ي‬
ْ ْ َ ََ ‫ )أَ َْعَر‬adalah tidak mau mempelajarinya, dan tidak
mau pula mengamalkannya.

68
     

“Dan orang-orang kaafir itu, mereka adalah orang-orang yang berpaling dari
perkara-perkara yang telah diperingatkan kepada mereka.” (QS. Al-Ahqoof:
3).

           

  

“Siapakah lagi yang lebih dzhoolim dibandingkan dengan seseorang yang


telah diberikan peringatan melalui ayat-ayat Robb Tuhannya, kemudian dia
lebih memilih untuk berpaling daripadanya? Sesungguhnya Kami benar-
benar akan memberikan hukuman bagi orang-orang yang belaku dosa
jariimah.” (QS. As-Sajdah: 22).

Yakni orang-orang yang malah memilih berpaling padahal mereka


sudah diberikan peringatan.

Namun di sana ada juga orang-orang yang tidak mau mempelajari


agama adalah dikarenakan oleh kemalasan, maka orang yang demikian
tidaklah dikafirkan, akan tetap tetap dicela kemalasanya itu. Adapun apabila
orang tersebut tidak mau menuntut ilmu karena memang tidak cinta dan
tidak perduli dengan ilmu agama, maka orang inilah yang dianggap sebagai
orang yang berpaling -wal’iyaadzu billahi (kita berlindung kepada Allah
semata daripadanya, pent.)-, dan orang inilah yang dikafirkan.

Adapun seorang yang sebenarnya mencintai ilmu agama, dan perduli


dengannya, hanya saja pada dirinya terdapat kemalasan dikarenakan
menuntut ilmu itu memang sulit dan butuh kepada kesabaran, butuh kepada

69
sikap Tahammul (menjaga dengan baik catatan serta hapalan, pent.), butuh
kepada duduk bermajelis ilmu dalam waktu yang panjang, sementara dirinya
adalah seorang yang malas, maka orang ini dicela atas kemalasan dan
kelalaian dirinya itu, hanya saja dirinya tidak sampai kepada derajat kaafir.

70
ََ ‫ََوالدََلَِْي َُلَقَ َْوَلَُوَُتَ ََع‬
َ :‫ال‬

           

  

“Siapakah lagi yang lebih dzhoolim dibandingkan dengan seseorang yang


telah diberikan peringatan melalui ayat-ayat Robb Tuhannya, kemudian
dia lebih memilih untuk berpaling daripadanya? Sesungguhnya Kami
benar-benar akan memberikan hukuman bagi orang-orang yang belaku
dosa jariimah.” (QS. As-Sajdah: 22).

Syarah Asy-Syeikh Shoolih bin Fauzaan –hafidzhohullahu ta’aalaa-:

Yakni keberpalingan yang menunjukkan ketidak perdulian, dan


ketiadaan cinta terhadap ilmu agama, atau menunjukkan bahwa dirinya
adalah seseorang yang membenci ilmu agama, maka keberpalingan seperti
inilah yang bisa membuat pelakunya kaafir -wal’iyaadzu billahi (kita
berlindung kepada AllaH semata daripadanya, pent.).

71
ََ‫ ََإِل‬، ‫ف‬ َِ ِ‫الَ َائ‬
َْ ‫اد َََو‬ َِ َ‫ال‬
َْ ‫ي َا َْلَاَِزَِل َََو‬ََْ ََ‫ض َب‬ َِ ِ‫َجَْي َِع َ ََى َِذَِه َالنَََو َاق‬ ََِ ‫ف‬ َ َِ ‫ق‬ ََ ‫ََل َفََْر‬
َ‫َوَِم َْن َأَ َْكَثَ َِر َ ََما ََيَ َُك َْو َُن‬
ََ ، ‫َم َْن َأَ َْع َظ َِم َ ََما ََيَ َُك َْو َُن َ ََخ َطًَْرا‬ َِ ‫ َََوَُكلَ ََها‬، ‫اَلْ َُم َْكََرََه‬
َُ‫َنَ َُع َْوَذ‬، ‫س َِو‬
َِ ‫اَعَلىَنَ َْف‬ ََ ‫افَ َِمْنَ ََه‬ ََ َ‫اَوََي‬ ََ ‫سَلَِِمَأَ َْنَ َََُ َِّذََرََى‬ َْ ‫يَلَِْل َُم‬
َ ِ‫َفَيََْنََبَ َغ‬، ‫َُوقَُ َْو ًَعا‬
َ .‫َوأََلَِْي َِمَ َِع َقاَبَِِو‬،
ََ ‫ضَبَِِو‬ ََ ‫اتَ َغ‬ َِ َ‫للَ َِم َْنَ َُمَْوَِجَب‬ َِ ‫َِب‬

َ ‫حَبَِِوَ ََو ََسلَ ََم‬ ََ ‫يَخ َِْيَ ََخَْل َِق َِوَ َُمَمَ ٍَدَََو َآلَِِوَ ََو‬
َْ ‫ص‬ ََ ‫ىَللاَُ ََعَل‬ َ َ‫صل‬ ََ ‫ََو‬
“Tidak ada perbedaan hukum pada seluruh pembatal keislaman
yang disebutkan di sini, di mana hukumnya tetap berlaku meskipun kepada
orang yang Haazil, Jaadun, ataupun yang mengamalkannya karena alasan
takut sekalipun, maka hukumnya tetaplah berlaku, dan yang dikecualikan
hanyalah seorang yang Mukroh (dipaksa oleh orang lain, pent.).

Dan semua pembatal keislaman yang disebutkan di dalam kitab ini


adalah pembatal-pembatal yang paling besar lagi paling berbahayanya,
serta merupakan pembatal keislaman yang paling sering terjadi, sehingga
sudah sepantasnya bagi seorang muslim agar dirinya senantiasa
menTahdziir (memperingatkan diri dari bahaya, pent.) perkara-perkara ini,
dan hendaknya pula dia senantiasa merasa takut lagi khawatir jikalau saja
perkara-perkara tersebut bisa menimpa dirinya.

Kita berlindung kepada Allah dari segala hal yang bisa mengundang
kemurkaan Allah dan dari segala yang bisa menjadi sebab datangnya siksa
serta hukuman Allah yang pedih.

72
Semoga sholawat dan salam Allah senantiasa tercurahkan kepada
makhluq-Nya yang terbaik, yakni Muhammad, keluarganya, serta para
shohabatnya.”

Syarah Asy-Syeikh Shoolih bin Fauzaan –hafidzhohullahu ta’aalaa-:

Yakni hukum yang diberlakukan dari pembatal-pembatal keislaman ini


tidaklah dibeda-bedakan antara seseorang yang melakukannya karena
alasan dirinya adalah seorang yang Al-Jaadu: Yakni seorang yang serius dan
memang berniat mengucapkan ataupun mengamalkan pembatal keislaman
tersebut, maupun seorang yang Al-Haazil: Yakni seorang yang tidak serius,
melainkan hanya sekedar sebagai bentuk candaan dan gurauan semata.

Maka di sini terdapat bantahan kepada kelompok Murji-ah, yang


mengatakan: “Seseorang tidak boleh dikafirkan kecuali sampai betul-betul
kita ketahui apa yang menjadi keyakinan di dalam hatinya.” Padahal tidak
ada perbedaan hukum bagi orang yang Jaadun maupun Haazil, atau bahkan
seorang yang alasannya karena takut sekalipun sehingga ia melakukan
pembatal keislaman ini, maka hukum atas dirinya tetaplah berlaku, sebab
yang seharusnya wajib atas dirinya dikala tersebut adalah wajib bersabar di
atas Al-Haq meski dengan adanya tekanan perasaan takut sekalipun.

َْ ‫ )َإِلَ َاَلْ َم‬Yakni kecuali apabila seseorang dipaksa oleh orang lain
(ُ‫كَرَه‬
َ ُ
untuk mengucapkan suatu ucapan yang mengandung kekufuran, dalam
keadaan dia sama sekali tidak bisa melepaskan diri dari kedzhooliman orang
yang memaksanya tersebut kecuali hanya dengan cara menuruti paksaannya
itu, maka Allahpun telah memberikan Rukhshoh (keringanan) kepadanya
untuk mengucapkan ucapan tersebut.

73
          



“Barangsiapa yang belaku kufur kepada Allah padahal dirinya dahulu sudah
beriman (maka dia kaafir, pent.), kecuali bagi siapa saja yang melakukannya
karena Mukroh, akan tetapi hatinya tetap tenang dan teguh di atas
keimanannya.” (QS. An-Nahl: 106).

Dibolehkan baginya melakukan hal tersebut dengan syarat ini, yakni


tujuannya semata-mata hanya di dalam rangka untuk menolak pemaksaan
atas dirinya semata, selain itu pula hatinya juga harus tetap teguh di atas
keimanannya, dan tidak meyakini sesuatu apapun dari yang dia ucapkan
dengan lisannya berupa kekufuran tersebut. Sebagaimana yang terjadi
kepada ‘Ammaar bin Yaasir yang memang menjadi Asbaabun Nuzuul (sebab
turunnya) ayat ini –rodhiyallahu ‘anhu-, yaitu dikala dirinya ditangkap oleh
orang-orang kaafir dan mereka menyiksanya, sehingga iapun terpaksa
mengucapkan ucapan yang mengandung celaan bagi diri Muhammad –
shollallahu ‘alaihi wasallama- (yakni dia menistakan Rosulullah –shollallahu
‘alaihi wasallama-), karena dipaksa menuruti kemauan orang-orang kaafir
yang menyiksanya dan meminta dirinya mencela Rosulullah. Namun setelah
ia dilepaskan, iapun dengan penuh penyesalan mendatangi Rosulullah –
shollallahu ‘alaihi wasallama- lagi sangat takut dengan perbuatan yang telah
menimpa dirinya, sehingga Nabi –shollallahu ‘alaihi wasallama- pun
bertanya kepadanya:

ِ ِ ‫َمطْمئِن‬:‫ك؟َقَ َال‬ َِ ‫َكيف‬


َ َ‫اد ْواَفَ ُعد‬ َ ‫َفَِإ ْن‬:‫َقَ َال‬.‫ًّاَب ِْل ْْيَان‬
ُ ‫َع‬ َ ُ َ ‫ب‬
َ‫ل‬ْ ‫َق‬
َ ‫د‬
ُ ‫ََت‬ َ ْ

74
“Bagaimana keadaan hatimu? Iapun menjawab: Tetap tenang dan teguh di
atas keimananku. Beliaupun berkata: Apabila dikali berikutnya mereka
kembali memaksamu dan meminta engkau mengulangi lagi seperti
perbuatanmu itu, maka lakukanlah perbuatan yang sama.” HR.
‘Abdurrozaaq di dalam Al-Mushonnaf (1/360). Ibnu Sa’d (3/249). Ath-
Thobariy di dalam tafsirnya (14/374). Al-Haakim (2/357). Al-Baihaqiy di
dalam Dalaa-ilun Nubuwwah (8/208). Ibnu ‘Asaakir di dalam Taariikh
Dimasyqi (43/373). Dan As-Suyuuthiy di dalam Ad-Duril Mantsuur (4/132).

Dan Allah –subhaanahu wata’aalaa- pun menurunkan firman-Nya:

     

“Kecuali bagi siapa saja yang melakukannya karena Mukroh, akan tetapi
hatinya tetap tenang dan teguh di atas keimanannya.” (QS. An-Nahl: 106).

         

            

“Janganlah orang-orang yang beriman itu malah menjadikan orang-orang


yang kaafir sebagai para wali mereka. Karena barangsiapa yang melakukan
perbuatan tersebut, maka artinya dia sama sekali sudah tidak lagi memiliki
sedikitpun bagian dari Allah (yakni dirinya telah terputus dari Allah dan sama
sekali tidak memiliki bagian sekecil apapun dari agama Allah, yang artinya
dia telah kaafir, pent.), kecuali apabila alasannya ia melakukannya karena di
dalam rangka untuk menyelamatkan nyawa dari siksaan mereka, sehingga
iapun melakukan Taqiyyah.” (QS. Ali ‘Imroon: 28).

75
Kita berlindung kepada Allah dari segala perkara yang bisa
mengundang kemurkaan-Nya dan bisa menjadi sebab datangnya siksaan
Allah yang pedih. Aamiin.

76
TANYA-JAWAB:

1. Apakah perbedaan antara orang-orang kaafir dengan orang-orang


musyrik?

Jawab:

Di antara keduanya ada yang umum dan ada yang khusus. Syirik lebih
umum dari kekafiran, di mana setiap orang musyrik pastilah kaafir, tetapi
tidak setiap yang kaafir itu musyrik. Karena orang musyrik itu adalah seorang
yang menyuguhkan ibadah kepada Allah dan juga menyuguhkan ibadah
kepada selain-Nya. Adapun seorang yang kaafir maka pada asalnya dia
adalah seorang yang menentang keberadaan Allah –jalla wa’alaa- dan sama
sekali tidak mengakui Allah –‘azza wajalla-, atau bahkan diapun tidak
mengakui salah satu di antara agama-agama (yakni dirinya atheis atau tidak
berTuhan, pent.). Inilah yang namanya orang Kaafir Jaahid (kaafir karena
mengingkari lagi menentang adanya Tuhan, pent.). Sedangkan seorang yang
musyrik ia mengakui keberadaan Tuhan, dia meyakininya, hanya saja dia
menyuguhkan ibadah kepada Allah dan menyuguhkan pula kepada selain-
Nya, sehingga iapun disebut sebagai seorang yang musyrik lagi kaafir. Maka
setiap orang musyrik itu adalah seorang yang kaafir, namun tidak setiap yang
kaafir itu musyrik, dikarenakan seorang yang kaafir itu terkadang
penyebabnya adalah perilaku Ilhaad (menyeleweng) dan Jaahid
(menentang).

2. Ahsanallahu ilaikum, ada sedikit permasalahan di dalam benak kami


mengenai ucapan dari Asy-Syeikh penulis yang menyatakan: “Berpaling
dari agama Allah –subhaanahu wata’aalaa- dengan cara tidak mau
mempelajarinya, dan tidak mau pula mengamalkannya.”

77
Apakah maknanya juga mencakup orang-orang yang awam pada hari
ini, di mana mereka tidak paham dengan ilmu syar’iy dan tidak pula
perhatian dengannya, akan tetapi mereka tetap mengajarkan Tauhiid
kepada anak-anak mereka, serta mereka turut pula mengamalkan
Tauhiid?

Jawab:

Mereka ini tidak termasuk, sebab mereka ini adalah orang-orang yang
sudah lemah tidak sanggup lagi belajar, atau mungkin mereka ini adalah
orang-orang yang malas belajar, sementara mereka ini adalah seorang yang
asalnya muslim, mu’min, dan senantiasa beribadah kepada Allah, maka
mereka tidak dianggap sama seperti seorang yang mu’ridh (berpaling). Sebab
seorang yang disebut mu’ridh adalah seorang yang sama sekali tidak
mempunyai kepedulian dan perhatian terhadap ilmu agama, maupun
terhadap agamanya, inilah yang disebut dengan seorang yang mu’ridh itu.

3. Fadhiilatusy Syeikh, shohabat Haathib bin Abiy Balta’ah –rodhiyallahu


‘anhu- dikisahkan telah membantu orang-orang musyrik dan kaafir, akan
tetapi dirinya tidak dikafirkan oleh Nabi –shollallahu ‘alaihi wasallama-,
lantas apakah benar bahwa setiap orang muslim yang tolong-menolong
dengan orang-orang kaafir langsung dikafirkan?

Jawab:

Haathib bin Abiy Balta’ah –rodhiyallahu ‘anhu- adalah seorang yang


mempunyai amalan-amalan pendahulu yang menjadi kaffaaroh dari Allah
atas dosanya tersebut, dikarenakan dirinya adalah salah seorang di antara
Ashhaabu Badr (shohabat yang turut di dalam peperangan Badr, pent.). dan
sungguh Nabi –shollallahu ‘alaihi wasallama- telah bersabda:

78
َ‫ت‬ ِ ‫َاِ ْعملُو‬:‫إِن َللا َاطلَع َعلَى َأَى ِل َب ْد ٍر َفَ َق َال‬
ُ ‫اَماَشْئ تُ ْم َفَ َق ْد َ َغ َف ْر‬
َ َْ َ ْ َ َ َ
َ‫لَ ُك ْم‬
“Sesungguhnya Allah telah mengilmui seluruh keadaan dari mereka yang ikut
menjadi Ahli Badr, dan Allah telah menjanjikan ucapan kepada mereka:
“Lakukanlah amalan apa saja yang kalian inginkan, karena sungguh telah Aku
ampuni perbuatan tersebut bagi kalian!”

Sementara Haathib merupakan sosok seorang yang beriman lagi jujur


dan benar keimanannya, hanya saja dia melakukan perbuatan dosa tersebut
dikarenakan adanya Ta’wiil (penafsiran yang salah, pent.) dari dirinya sendiri,
dan ia menyangka bahwa di balik dari perbuatannya tersebut tidak akan
sampai membawa mudhoorot bagi kaum muslimiin. Oleh karena itulah
Rosulullah –shollallahu ‘alaihi wasallama- tidak mengkafirkannya,
dikarenakan dirinya adalah seorang shohabat yang mulia, yang mana sebagai
seorang manusia biasa memang terkadang bisa saja melakukan Khotho’
(kesalahan yang tidak di sengaja, pent.) karena sebab hasil dari Ta’wiil
(penafsiran yang salah, pent.). Selain itu dirinya juga adalah sosok seorang
yang mempunyai amalan besar terdahulu yang bisa menjadi kaffaaroh atas
perbuatan dosanya itu.

4. Atsaabakumullahu, apakah fithroh saja sudah cukup untuk dijadikan


sebagai hujjah atas kafirnya seseorang?

Jawab:

Hujjah adalah dengan diutusnya para Nabi dan Rosul. Adapun sekedar
fithroh saja, maka hal tersebut tidaklah cukup teranggap sebagai hujjah.
Karena jikalau benar fithroh saja sudah cukup dianggap sebagai hujjah,
niscaya Allah tidak akan lagi mengutus para Nabi dan Rosul-Nya.

79
         

 

“Para Nabi dan Rosul adalah sebagai pembawa kabar gembira dan sekaligus
sebagai pemberi peringatan, agar supaya sudah tidak ada lagi hujjah bagi
manusia dihadapan Allah nantinya setelah diutusnya para Nabi dan Rosul
tersebut.” (QS. An-Nisaa’: 165).

Engkau tidak akan mungkin bisa tahu mana yang wajib, harom,
maupun makruh, kecuali hanya melalui penjelasan para Nabi dan Rosul.
Hanya saja memang fithroh itu juga merupakan bentuk Tarbiyatun Shoolihah
(pendidikan dan pengarahan yang bagus, pent.) untuk bisa menuntunkan
kepada kebaikan, akan tetapi jikalau berbekal hanya dengan fithroh saja
tidaklah cukup, terbukti jikalau seorang insan tumbuh dan besar di atas
fithrohnya sekalipun, lalu dirinya tidak lagi mempelajari agama, dan tidak
pula mengamalkan agama sedikitpun, maka hal tersebut menunjukkan
bahwa fithroh saja belumlah cukup.

5. Atsaabakumullahu, apabila orang-orang kaafir mengulurkan tangan


mereka untuk berjabat tangan, apakah kita tetap berpaling dari mereka?

Jawab:

Apabila mereka memberikan salam kepadamu dan mengulurkan


tangan mereka untuk berjabat tangan, maka menjabat tangan mereka dikala
itu tidaklah mengapa (selama bukan ajnabiy atau lawan jenis yang bukan
mahrom, pent.). Adapun jikalau engkau yang memulai salam duluan dan
yang lebih dahulu mengulurkan tangan untuk berjabat tangan dengannya,
maka hal ini tidak dibolehkan.

80
6. Bagaimana hukum seorang yang berkata: Boleh pergi mendatangi dukun
dan orang pintar sekedar hanya untuk mencari informasi dan keterangan
tentang harta yang hilang misalnya, di mana di dalam keyakinan orang
tersebut yang dilarang dari mendatangi dukun ataupun orang pintar
adalah apabila tujuannya untuk berobat ataupun mencari kesembuhan?

Jawab:

Perbuatan ini tetap tidak dibolehkan, sebab:

ِ
َ ‫يَيَ ْوًما‬
َْ ‫َص َلةٌَأ َْربَع‬ َ َ‫َم ْنَأَت‬
َ ُ‫َلَ ْنَتُ ْقبَ َلَلَو‬، ‫ىَعرافًا‬
“Barangsiapa yang mendatangi dukun ataupun orang pintar, maka sholatnya
tidak akan diterima selama 40 hari.” HR. Muslim (2230). Ahmad (16638).
Dan Al-Baihaqiy di dalam As-Sunan (8/138).

ِ ِ ِ ‫من َأَتَىَعرافًاَأَو َ َك‬


َ ‫صدقَوُ َِبَاَيَ ُق ْو ُل َفَ َق ْد َ َك َفَر َِبَاَأُنْ ِزَل‬
َ‫َعلَى‬ َ ‫ف‬
َ َ‫ا‬ً‫ن‬‫اى‬ ْ َ َْ
‫ُمَم ٍَد‬
“Barangsiapa yang mendatangi dukun ataupun orang pintar, lalu dia
membenarkan ucapan dari dukun ataupun orang pintar tersebut, maka
sungguh dia telah kaafir dengan apa yang telah diturunkan kepada
Muhammad.” HR. Abu Daawud (3904). At-Tirmidziy (135). An-Nasaa-iy di
dalam Al-Kubroo (9017). Ahmad (9290)(10167). Ibnu Abiy Syaibah (4/252).
Ad-Daarimiy (1136). Dan Al-Baihaqiy di dalam As-Sunan (7/198).

Bahkan ketika Rosulullah ditanya tentang hukum sekedar saja hanya


untuk mendatangi dukun atau orang pintar, beliau –shollallahu ‘alaihi
wasallama- bersabda:

81
َ‫ََتِْتِِ ْم‬
َ ‫َل‬
“Jangan sama sekali engkau mendatangi mereka.” HR. Muslim (537). An-
Nasaa-iy (3/14). Ahmad (23762). Ath-Thoyaalisiy (1150). Ibnu Khuzaimah
(859). Ibnu Hibbaan (2247). Dan Al-Baihaqiy di dalam As-Sunan (2/249).

Maka sama sekali tidak boleh mendatangi mereka, bahkan meski


orang yang mendatangi tersebut tidak membenarkan mereka sekalipun.

7. Atsaabakumullahu, barangsiapa yang mengingkari satu hadits ataupun


satu hukum di antara hukum-hukum agama dikarenakan oleh adanya
persangkaan bahwa hadits Aahaad tidak bisa dijadikan sebagai hujjah,
apakah orang ini tetap dikafirkan dengannya?

Jawab:

Orang ini tidak dikafirkan dengan hal tersebut, dikarenakan itu terjadi
karena hasil dari Ta’wiil (penafsiran yang salah, pent.). Sebab kebanyakan
dari mereka yang beranggapan demikian sebenarnya hanyalah berTaqliid
(membeo) kepada orang-orang sebelum mereka yang juga melakukan Ta’wiil
(penafsiran yang salah, pent.), sehingga mereka belum bisa untuk dikafirkan,
hanya saja tetap dihukumi sebagai orang yang salah dan sesat.

8. Ahsanallahu ilaikum, di sana ada sebagian di antara ikhwah yang


mewajibkan denda-denda harta bagi siapa saja temannya yang
mengucapkan ucapan-ucapan yang buruk lagi kotor. Kemudian begitu
suatu waktu dikala dendanya sudah terkumpul banyak, mereka semua
bersama-sama menggunakannya untuk makan malam ataupun makan
siang bersama. Lalu apabila ternyata kesalahan yang diperbuat oleh
temannya itu adalah suatu kesalahan yang besar (sehingga menimbulkan

82
permusuhan dan perselisihan, pent.), merekapun mewajibkan kepada
orang yang bersalah itu untuk melakukan penyembelihan sebagai denda
hukumannya, lalu selanjutnya mereka mengadakan perdamaian dan
perbaikan di antara mereka yang berselisih. Lantas bagaimanakah
hukum dari perkara yang demikian?

Jawab:

Perbuatan seperti ini tidak dibolehkan, sebab tidak halal bagi


seorangpun untuk mengambil harta seorang muslim kecuali harus sesuai
dengan kerelaan hatinya. Adapun jikalau mewajibkan hal tersebut
kepadanya dan memaksanya melakukan demikian, maka ini hukumnya
harom.

9. Apakah hukumnya mengagungkan dan mengidolakan para pemain sepak


bola yang kaafir, serta hukum memujinya dikala dirinya bisa menjadi
sebab untuk menyatukan perbedaan?

Jawab:

Tidak boleh sama sekali memuji orang kaafir atas kekafirannya, dan
yang dibolehkan hanyalah sebatas memuji atas permainan dan kemahiran
permainannya. Namun tetap saja hal itupun dikhawatirkan bisa
mendatangkan bahaya dan dosa bagi pelakunya, hanya saja dosa tersebut
tidaklah sampai membawanya kepada derajat kaafir.

Jikalau sesorang memuji orang kaafir karena kekafirannya, karena


kesesatannya, atau karena kesyirikannya, maka orang yang memuji ini kaafir.
Adapun jika ia memuji permainan bolanya saja, atau kemahiran mereka di
dalam bermain atau pada bangunan-bangunan mereka, maka di dalam
pujian yang demikian mengandung makna pengagungan terhadap orang-
orang kaafir, dan ini berdosa hukumnya, hanya saja tidak sampai membawa
kepada derajat kaafir.

83
10. Atsaabakumullahu, apa yang kita katakan kepada seorang yang berkata:
Engkau tidak boleh langsung mengkafirkan sosok pribadi tertentu kecuali
hanya apabila dirinya telah memenuhi semua syarat, dan telah terangkat
semua penghalang dari dirinya?

Jawab:

Siapa saja yang nampak dari dirinya kekufuran, baik itu berupa
ucapannya, perbuatannya, keyakinannya, ataupun nampak adanya keraguan
tentang Al-Haq dari dirinya, maka dia dihukumi secara dzhoohir sebagai
seorang yang kaafir. Adapun apa yang menjadi isi hatinya, maka tiada
seorangpun yang bisa mengetahuinya kecuali hanyalah Allah semata.
Sementara kita tidak diperintahkan untuk mengurusi dan menghukumi isi
hati seseorang, sebaliknya kita hanya diperintahkan untuk menghukumi yang
dzhoohir. Maka barangsiapa menampakkan kekufuran secara dzhoohir,
kamipun menghukuminya sebagai seorang yang kaafir, serta kita bersikap
mu’aamalah kepadanya seperti kita bersikap mu’aamalah dengan orang-
orang kaafir.

11. Apakah hukum dari menonton pertunjukkan sihir, meskipun kita tidak
meyakini kebenaran dari apa yang diperbuatnya tersebut?

Jawab:

Perbuatan menonton pertunjukkan sihir sama saja artinya ridho


dengan kemungkaran.

12. Atsaabakumullahu, ada seseorang yang dijadikan rujukan oleh manusia


dikala mereka hendak menggali sumur, dan iapun mengaku bisa

84
mengetahui di mana posisi air berada, kemudian orang-orang juga
membenarkannya.

Jawab:

Sebenarnya mungkin orang ini bukan mengaku mengetahui di mana


adanya air, akan tetapi hanya mengaku mengetahui ilmu pertanahan,
geologi, bebatuan, serta perakaran pepohonan dan sungai bawah tanah
dengan menggunakan tanda-tanda alamat yang ada pada permukaan bumi,
maka jikalau demikian tidaklah mengapa hukumnya, sebab dia menggunakan
dalil-dalil yang secara dzhoohir nampak, berupa pengetahuan tentang jenis-
jenis tanah dan bebatuan serta macam-macam bentuk perakaran
pepohonan dan sungai bawah tanah di bumi, yang biasanya menandakan
lapisan bumi dan perkiraan kedalamannya. Sehingga tidak mengapa
menggunakan kabar berita darinya untuk dijadikan sebagai perkiraan tempat
menggali sumur bagi orang-orang.

85

Anda mungkin juga menyukai