2
ِالرحِيِم
ِ ِِحمان
ِ الر
ِ ِِبِسِمِِللا
َ :ال
ََ للاَُتَ ََع َ ِابَََر
َ َُحََو َِ َامَ َُمَمَ ٌَدََبْ َُنَ ََعَْب َِدَاَلََْوى َِْ َالَالشََْي َُخ
َُ ال ََم ََ َق
ِالرحِيِم
ِ ِِحمان
ِ الر
ِ ِِبِسِمِِللا
Segala pujian hanyalah teruntuk khusus bagi Allah Sang Robb Tuhan
Pemelihara seluruh alam semesta. Semoga pula sholawat serta salam Allah
senantiasa tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad, kepada keluarganya,
dan kepada seluruh shohabatnya.
3
memberikan Tanbiih (peringatan) tentang betapa pentingnya perkara yang
akan disebutkan setelahnya.
ََ ِشَرَةَُنََو َاق
(ض
َ َ ََ لَِم َ ََع
ََ ال َْس
َ ََ ِ )أَنَ َنََو َاقkata An-Nawaaqidh adalah jamak dari kata
َِْ َ ض
Naaqidhun yang artinya adalah Al-Mubthilaat (pembatal-pembatal). Semisal
dikatakan Nawaaqidhul Wudhuu’, yakni artinya adalah pembatal-pembatal
dari wudhuu’. Disebut dengan An-Nawaaqidh, namun bisa juga disebut
dengan Asbaabur Riddah, atau Anwaa’ur Riddah. Maka mengenali dan
mengetahui perkara ini adalah teramat sangat penting bagi seorang muslim,
tujuannya adalah agar supaya seorang muslim bisa menjauhi lagi
menghindarinya, serta bisa memperingatkan diri dari bahayanya. Karena
manakala seorang muslim tidak mempunyai ma’rifah tentangnya,
dikhawatirkan ia bisa saja terjerumus ke dalam salah satu di antara
pembatal-pembatal keislaman tersebut, dan keadaan tersebut adalah sangat
berbahaya, sebab bisa membatalkan keislaman dirinya. Oleh sebab itu
mengetahui dan mempelajari tentang apa sajakah hal-hal yang bisa
membatalkan keislaman seseorang adalah merupakan perkara yang sangat
penting.
4
Dan Allah –subhaanahu wata’aalaa- juga berfirman:
“Dan barangsiapa yang murtad (rujuk ataupun mundur) di antara kalian dari
agamanya (islam yang sekarang tengah dianutnya, pent.), lalu iapun
meninggal dunia sudah dalam keadaan kaafir, maka mereka itulah orang-
orang yang terhapus habis seluruh amalan mereka di dunia dan di akhirat.
Dan mereka itulah para penghuni neraka, mereka kekal didalamnya.” (QS.
Al-Baqoroh: 217).
5
6
(ن َ َِدَيَْنَِِو
َ ) َوَم َن َيََرَتدَ َ َِمَْن َُك َم َ ََعyakni siapa saja yang rujuk dan mundur dari
ْ ْ َْ ْ َ َ
agama yang telah dianutnya. Maka di dalam ayat ini terdapat Tahdziir
(peringatan) dari perilaku murtad, serta adanya penyebutan ancaman
terhadap perilaku tersebut. Adapun dalil dari hadits-hadits, maka di
antaranya sungguh Nabi –shollallahu ‘alaihi wasallama- telah bersabda:
َس
َُ َوالنَ َْف،
ََ انَ ِالز
َ َب ٍَ ل
َُ َِّالثََي:ث ََ َِِ َْح ََدىََث َِ َسَلٍَِم ََإِل َْ ََلَ َ ََد َُم َ َْامَِرٍَء َ َُم
ََِ ََل
اع َِة ََ قََلَِْل
ََ ج ََم َُ ََِوالتَاَِرَُكََلِ َِدَيَْنَِِوَاَلْ َُم َفاَِر، س َِ َِبلنَ َْف
“Sama sekali tidak halal darah seorang muslim untuk ditumpahkan, kecuali
hanya dengan tiga alasan: 1). Ats-Tsayyib (seorang yang sudah pernah
merasakan pernikahan, meski statusnya masih terikat pernikahan, janda
ataupun duda, pent.) namun ia berzina, 2). Nyawa balas nyawa (yakni jikalau
ia membunuh seseorang muslim dengan sengaja, maka ia dibalas dengan
dijatuhkan hukuman mati atau membayar diyaat tergantung kerelaan
keluarga dan ahli waris si korban, pent.), 3). Seorang yang meninggalkan
agamanya –inilah sisi pendalilan kita- yang memisahkan diri dari jamaa’ah
(yakni keluar dari islam dan meninggalkan jamaa’atul haq, atau seorang
yang melakukan pemberontakan kepada penguasa kaum muslimiin yang
sah, sehingga ia memisahkan diri dari jamaa’ah kaum muslimiin yang telah
berbai’at kepada pemimpin mereka, pent.).” HR. Al-Bukhooriy (6878). Dan
Muslim (1676). Dari hadits ‘Abdullah bin Mas’uud –rodhiyallahu ‘anhu-.
7
“Barangsiapa yang mengganti agamanya (selain islam, pent.), maka kalian
bunuhlah dirinya.” HR. Al-Bukhooriy (4/75). Abu Daawud (2/440). At-
Tirmidziy (6/242). Dan Ahmad (1/282).
8
orang kaafir, lagi akan berjihaad di jalan Allah, serta sama sekali tidak akan
merasa takut ataupun gentar dengan celaannya orang-orang yang suka
mencela mereka.” (QS. Al-Maa-idah: 54).
Apabila yang murtad itu hanya satu orang sosok tertentu, maka ia
sekedar dipenjarakan dan diminta bertaubat, di mana apabila ia bertaubat
maka ia diampuni, dan apabila tidak maka ia boleh dibunuh (oleh penguasa
kaum muslimiin yang sah, pent.). Dan hukum seorang yang murtad tidak
sama dengan hukum seorang yang memang sejak awalnya merupakan orang
kaafir asli, sebab seorang yang murtad dianggap sudah mengenal lagi
mengetahui tentang Al-Haq, bahkan ia sudah masuk dan merasakan
bagaimana agama Allah dengan pilihan dan kerelaan hatinya, serta dengan
pengakuan dirinya bahwasanya islam itulah agama yang Al-Haq. Maka
apabila setelah itu ia murtad, iapun sudah teranggap sebagai seorang yang
mempermainkan agama, karena dia sudah mengetahui mana yang Al-Haq
dan telah masuk kedalamnya, sehingga dikala dirinya malah murtad maka
iapun boleh untuk dibunuh (oleh penguasa kaum muslimiin yang sah, pent.)
sebagai bentuk penjagaan dan perlindungan bagi ‘aqiidah. Dan perbuatan ini
merupakan bentuk penjagaan terhadap perkara yang dikenal dengan Adh-
Dhoruriyaatul Khomsi (lima hal yang wajib untuk dijaga, dan urutannya
meliputi 1). Wajib menjaga agama, 2). Wajib menjaga nyawa, 3). Wajib
menjaga kehormatan, 4). Wajib menjaga harta, 5). Wajib menjaga akal,
9
pent.), di mana urutan pertamanya adalah kewajiban menjaga agama, agar
supaya seseorang tidak meninggalkan agamanya begitu saja karena
mempermainkannya dengan cara berislam lalu selanjutnya malah murtad
meninggalkannya. Maka iapun boleh untuk dibunuh guna melindungi agama
ini dari dipermainkan dan dijadikan senda gurau.
Kemudian ada pula di antara orang-orang yang murtad ini yang boleh
untuk langsung dibunuh meskipun tidak dimintai pertaubatannya, yakni bagi
siapa saja yang sudah terlanjur sangat keras kemurtadannya, maka orang
yang demikian boleh untuk dibunuh (oleh penguasa kaum muslimiin yang
sah dan bukan oleh pribadi perorangan, pent.) meskipun tanpa dimintai
bertaubat terlebih dahulu, sebagai bentuk penjagaan terhadap agama, dan
sebagai penjagaan terhadap Adh-Dhoruuriyaatul Khomsi urutan pertama
yang memang telah diperintahkan oleh islam untuk senantiasa kita
menjaganya.
10
Allah –subhaanahu wata’aalaa- maupun bagi Rosulullah –shollallahu ‘alaihi
wasallama-, atau merupakan celaan terhadap agama islam.
11
Kemudian Asy-Syeikh penulis sendiri juga mempunyai sebuah risalah
tulisan yang sangat bermanfaat, yang beliau beri judul “Al-Kalimaatun
Naafi’ah Fiil Mukaffirootil Waaqi’ah,” dan risalah beliau ini tercetak bersama
di dalam risalah yang berjudul “Ad-Dirorus Saaniyah” ataupun selainnya.
12
adanya dakwah dari imam mereka, mereka membolehkan menikahi
mahrom, mereka melakukan taqiyyah (dusta) untuk menyembunyikan jati
diri mereka yang sebenarnya, mereka menyatakan alam semesta ini tidak
ada permulaannya guna mengingkari adanya Sang Pencipta, mereka
mencela para shohabat, dan mengadopsi filsafat, pent.) dan Quroomithoh
(pengikut Hamdaan Quromith dan para pengikutnya, mereka menghalalkan
pemberontakan kepada Al-Hajjaaj sehingga iapun memerangi mereka.
Mereka merendahkan wanita dan menghalalkan darah kaum muslimiin,
serta melakukan penolakan atas wajibnya ibadah haji pada tahun 317 H,
pent.), demikian pula dengan para Quburiyyuun (yang suka melakukan ritual
ibadah di kuburan, pent.)? Apakah kita harus menganggap islam pula kaum
Syii’ah Roofidhoh (yakni mereka yang mengakafirkan Abu Bakr dan ‘Umar
serta para shohabat lainnya dan menyatakan bahwa yang berhak menjadi
kholiifah pertama adalah ‘Aliy –rodhiyallahu ‘anhum-. Mereka menuduh
Ummul Mu’miniin ‘Aaisyah sebagai pezina, dan menganggap para imam
mereka ma’shuum (terjaga dari kesalahan) bahkan kedudukannya lebih
daripada para Nabi dan Rosul sekalipun, serta mereka secara dusta mengaku
mencintai ahlul bait dan mengaku memiliki nasab dengan ahlul bait, bahkan
mereka sampai menganggap ‘Aliy sebagai Ilah, pent.)? Demikian pula
apakah kita juga harus menganggap islam kaum Qoodiyaaniyah
(ahmadiyyah), serta siapa saja yang dengan mudahnya mengaku sebagai
seorang muslim (meski mereka melakukan pembatal-pembatal keislaman,
pent.)?
13
Muroodu Bihaa Baathilun (ungkapannya benar akan tetapi tujuan dan
penggunaannyalah yang salah lagi baathil, pent.).” Karena para shohabat –
rodhiyallahu ‘anhum-, ketika mendapati orang-orang ‘Arob yang murtad
setelah wafatnya Nabi –shollallahu ‘alaihi wasallama-, maka merekapun
memeranginya, dalam keadaan tiada seorangpun dari mereka yang berkata:
“Jangan kalian memecah belah kaum muslimiin.” Sebab mereka tahu bahwa
mereka yang murtad tersebut bukan lagi menjadi bagian dari kaum
muslimiin, selama mereka memilih untuk tetap berada diatas
kemurtadannya.
Maka kemurtadan ini adalah suatu perkara yang lebih berbahaya dari
kekufuran asli –wal’iyaadzu billahi-, sehingga wajib bagi kita untuk
mengetahui dan mempelajari sikap dan kedudukan kita dari perkara
14
pembatal-pembatal keislaman tersebut, wajib bagi kita untuk mengenali
perbedaannya dan wajib pula untuk menerangkan serta menjelaskannya.
Sebab di masa sekarang ini kita sedang dalam masa pembutaan dan
pengkaburan serta masa pembodohan umat, di mana di sana mulai
bermunculan orang-orang yang menulis, lalu mereka itu dijadikan sebagai
tokoh dan panutan, serta sering diundang memberikan muhaadhoroh,
namun mereka itulah justru orang-orang yang suka berkata: “Jangan kalian
mengkafirkan kaum muslimiin.” Maka kita katakan kepada mereka: “Kami
tidak mengakafirkan kaum muslimiin, tetapi kami hanya mengkafirkan siapa
saja yang memang sudah keluar dari islam, adapun jikalau benar seorang itu
adalah muslim, maka sama sekali tidak dibolehkan untuk
mengakafirkannya.”
15
َ ال َِ َادَِة
ََ للاَتَ ََع َِ ف
ََ ََعَب َِّ الََو َُل
َ ََِالشَْرَُك:
“Pembatal yang pertama: Kesyirikan di dalam melaksanakan ibadah dan
penyembahan terhadap Allah –subhaanahu wata’aalaa-.”
16
17
yang mengaku berislam, tetapi mereka masih saja membangun tempat-
tempat pemujaan, pusara, ataupun tempat peringatan serta prasasti,
kemudian mereka masih mengelilingi dan berthowaaf di tempat-tempat
tersebut, mereka melakukan penyembelihan di sekitar tempat tersebut,
mereka bernadzar untuk tempat tersebut, dan melakukan berbagai macam
pendekatan diri di tempat tersebut, sambil mereka beralasan dengan
berkata: “Mereka-mereka yang kita datangi pusara serta prasastinya ini
adalah orang-orang yang membantu kita untuk bisa semakin dekat kepada
Allah.” Maka merekapun melakukan sejumlah pendekatan diri di pusara dan
prasasti mereka itu, sambil meyakini bahwa dengan perbuatan mereka yang
demikian, sosok yang didatangi pusaranya itu akan membantu mereka untuk
bisa semakin khusyu’ lagi bisa semakin dekat kepada Allah –subhaanahu
wata’aalaa-.
Kita katakan: “Jikalau memang benar itu tujuan kalian, lantas kenapa
kalian tidak mendekatkan diri saja kepada Allah –subhaanahu wata’aalaa-
secara langsung? Kenapa kalian tidak langsung saja melakukan ibadah
pendekatan diri kalian kepada Allah dan meninggalkan pendekatan diri pada
tempat-tempat seperti itu? Kenapa kalian tidak langsung mendekatkan diri
kepada-Nya, bukankah Allah itu Qoriibun Mujiib (Maha Dekat lagi Maha
Menerima dan Mengabulkan)? Mengapa engkau terlebih dahulu harus
melakukan pendekatan diri kepada makhluq? Dan mengapa kalian
mengatakan: “Makhluq-makhluq tersebut bisa membantu kita untuk
semakin mendekatkan diri kepada Allah.” Apakah Allah –subhaanahu
wata’aalaa- itu jauh? Apakah Allah menutup pintu-pintu-Nya? Apakah Allah
–subhaanahu wata’aalaa- tidak mengetahui, tidak mengilmui, dan tidak
mendengar seluruh makhluq-Nya, serta tidak melihat segala yang mereka
perbuat? Sungguh Allah –jalla wa’alaa- adalah Qoriibun Mujiib (Maha Dekat
lagi Maha Menerima dan Mengabulkan).
18
“Dan apabila para hamba-Ku bertanya kepada-Mu (Muhammad) tentang
diri-Ku, maka beritahukanlah bahwa sesungguhnya Aku ini Qoriib, Aku
menerima dan mengabulkan do’a seruan orang yang menyeru lagi berdo’a
kepada-Ku, dikala ia hanya berdo’a dan menyeru kepada-Ku saja.” (QS. Al-
Baqoroh: 186).
“Dan Robb Tuhan kalian telah berfirman: Wajib bagi kalian semua untuk
hanya berdo’a, serta beribadah kepada-Ku semata, niscaya akan Aku terima
dan kabulkan untuk kalian.” (QS. Ghoofir: 60).
19
Demikianlah bagaimana syaithoon dari kalangan jin dan manusia telah
menghias-hiasi dan menampakkan seolah-olah indah perbuatan kesyirikan
mereka tersebut, padahal mereka adalah orang-orang yang mengaku
berislam, mereka juga bersyahaadat mempersaksikan bahwasanya tiada
sesuatupun yang berhak untuk dijadikan sebagai Ilah sesembahan satu-
satunya yang berhak mendapatkan segala bentuk suguhan ibadah kecuali
hanyalah Allah semata, mereka juga melaksanakan sholat dan berpuasa,
akan tetapi mereka mencampur-adukkan amalan-amalan mereka itu dengan
unsur kesyirikan Akbar (besar), maka merekapun keluar dari agama islam,
meskipun mereka masih sholat, meski masih berpuasa, dan meski masih
berhaji, serta meskipun orang-orang yang melihat mereka menyangka
bahwa mereka itu adalah masih kaum muslimiin sekalipun. Sehingga sudah
sepantasnya dan sewajibnya bagi kita untuk mengenali lagi mempelajari
apakah yang dimaksud dengan syirik itu.
Maka syirik kepada Allah –‘azza wajalla- adalah merupakan dosa yang
paling berbahaya sekaligus merupakan dosa yang paling besar. Namun
dengan begitu bahaya dan keburukan yang bisa ditimbulkannya, serta realita
masih saja banyaknya di antara umat manusia yang mengaku sebagai
seorang muslim yang terjatuh ke dalamnya, akan tetapi tetap saja mereka
tidak menyebut perbuatan mereka tersebut sebagai perbuatan kesyirikan,
bahkan mereka malah menyebut dan menganggapnya sebagai perbuatan
Tawassul, atau mereka memberi istilah lainnya dengan sebutan perbuatan
meminta Syafaa’at. Mereka memang menamainya dengan selain nama
syirik, namun tetap saja penamaan tidaklah bisa merubah hakikatnya, di
mana syirik tetaplah syirik (meskipun dirubah-rubah namanya dan dihiasi
seindah mungkin, pent.).
20
dari perbuatan syirik tersebut, sehingga tidak ada satu surohpun di dalam Al-
Qur-aan yang luput ataupun kosong dari peringatan tentang Tahdziir dari
perkara syirik ini. Namun bersamaan dengan jelasnya hal tersebut, mereka
yang terjatuh di dalam perbuatan syirik ini juga membaca Al-Qur-aan, tetapi
tetap saja tidak menjauhi perbuatan syirik, bahkan terkadang malah datang
seseorang yang berkata: “Mereka itukan adalah orang-orang yang jaahil,
sehingga mereka diberikan ‘udzur dengan kejaahilannya tersebut.”
21
َ :ال
ََ للاَُتَ ََع
َ َال
ََ َق
ََ ِاَد َو َن َذََل
(ك َُ ) َويَ َْغ َِف َر َ َمYakni Allah masih akan mengampuni dosa-dosa
ْ َ ُ ََ
yang derajatnya di bawah dari dosa kesyirikan, semisal dosa zina, dosa
meminum khomr, dosa mencuri, dan dosa memakan hasil riba’, yang mana
kesemua dosa tersebut derajatnya masihlah tetap berada di bawah dari dosa
kesyirikan, lagi masih masuk ke dalam hukum kehendak masyii-ah Allah,
22
sedangkan para pelakunya hanya dianggap sebagai para pelaku dosa besar
(Kabaa-ir) lagi faasiq, dikarenakan mereka tidak melakukan dosa kesyirikan
akan tetapi sebatas melakukan dosa-dosa besar (Kabaa-ir). Sehingga
keadaan dosa-dosa mereka itu dapat mengurangi keimanannya, dan
membuat dirinya dihukumi sebagai seorang yang faasiq. Lalu apabila ia
meninggal dunia dalam keadaan ia belum sempat bertaubat dari dosa Kabaa-
irnya tersebut, maka hukum atas dirinya berada di bawah kehendak masyii-
ah Allah, yang mana apabila Allah menghendaki dengan masyii-ah-Nya untuk
mengampuni dirinya dengan modal masih adanya keTauhiidan di dalam
dirinya, iapun akan diampuni. Sebaliknya apabila Allah menghendaki dengan
masyii-ah-Nya untuk meng’adzaab karena dosa Kabaa-irnya tersebut,
Allahpun akan meng’adzaabnya, namun pada akhirnya ia tetap akan
dimasukkan ke dalam surga dikarenakan masih adanya modal Tauhiid di
dalam dirinya. Inilah keadaan hukum bagi para pelaku Kabaa-ir yang derajat
dosanya masih di bawah dari dosa kesyirikan.
ََ ِاَد َو َن َ َذَل
(ك
ْ َ ُ ََ َُ ) َويَ َْغ َِف َر َ َمMenunjukkan bahwasanya seluruh dosa apapun
itu, derajatnya masih di bawah dari dosa kesyirikan. Dan bahwasanya
kesyirikan itu adalah merupakan dosa yang paling besar lagi paling
berbahaya secara muthlak, yang sekaligus menunjukkan betapa
mengkhawatirkannya perkara syirik ini, dikarenakan ia merupakan dosa yang
paling besar.
23
:ال
ََ الَتَ ََع
ََ ََوَق
24
neraka, ia kekal selama-lamanya di dalamnya, (ر ََ ْ اَلِلظَ َالِ َِم
ََ ْيَ َِم َنَأََن
ٍَ صا ْ َ ) َوَم. Yakni
ََ
tiada seorang penolongpun lagi bagi orang-orang yang berbuat kesyirikan.
Sebab kesyirikan merupakan kedzhooliman yang paling dzhoolim, di mana
tiada lagi seorangpun penolong yang sanggup untuk mengeluarkan mereka
dari neraka nantinya, dan tiada seorangpun yang bisa memberikan syafaa’at
bagi mereka di sisi Allah.
“Pada hari itu tiada lagi teman kerabat penanggung maupun pemberi
syafaa’t yang akan diterima lagi untuk orang-orang yang dzhoolim (musyrik)
tersebut.” (QS. Al-Mu’min/Ghoofir: 18).
Orang musyrik tidak akan pernah lagi diterima syafaa’at bagi mereka
sedikitpun –wal’iyaadzu billahi-.
(ار
َ َالن
ُ ُ) َوَمأْ َواه Kata Ma’waahu yakni bermakna Muqirruhu (tempat
25
masih bolehkah dikatakan: “Biarkan saja umat manusia dengan urusannya
masing-masing, biarkan saja para Quburiyyuun (orang-orang yang suka
berTawassul dan melakukan pendekatan diri kepada Allah di kuburan, pent.),
biarkan saja para penyembah Adhrihah (benda-benda pusaka maupun benda
keramat, pent.). Biarkan saja mereka meskipun mereka melakukan
kemurtadan, tinggalkan saja mereka semua, yang penting selama mereka
masih mengaku sebagai seorang muslim, maka dia tetaplah seorang muslim.
Seharusnya kalian lebih menyibukkan diri untuk membantah para
Mulaahidah (orang-orang kaafir asli, pent.)!”
26
َ ج َِّنَأََْوََلَِْل َق َِْب
َِ للاََ َك ََم َْنََيَ َْذَبَ َُحََلَِْل
ِ ََوَِمَْن َوَالذََب َحََلَِغ َِي
َْ ُ ْ ُ َ
“Diantara contoh perbuatan kesyirikan adalah menyembelih untuk
selain Allah, semisal menyembelih untuk jin ataupun untuk kuburan.”
27
neraka. Namun sangat disayangkan kebanyakan dari manusia justru
meremehkan dan bergampangan di dalam perkara ini dengan alasan-alasan
yang sepele, berupa agar supaya hajatnya bisa terpenuhi, agar supaya dia
bisa mengetahui suatu perkara yang ghooib, agar supaya ia bisa mengetahui
di mana barangnya yang hilang, dan berbagai macam alasan lainnya yang
mereka inginkan dari jin maupun kuburan. Maka tanpa disadari mereka telah
keluar dari agamanya –wal’iyaadzu billahi-, dan mereka menjadi murtad
hanya dengan perkara yang mereka anggap gampang lagi remeh. Oleh
karena itu hal ini merupakan perkara yang sangat berbahaya sekali.
28
َسأَ َُلَُْم َ ََويََتَََوكَ َُل
َْ َط ََيَ َْد َُعَْوَُى َْم َ ََوَي َِ َ ي
َ ِللا َ ََو ََس َائ ََْ َََم َْن َ ََج ََع ََل َبََْيََنََوُ َ ََوب: َ ِ َالث
ََ ان
َ اعا َْ ََِعَلَْي َِه َْمََ َك َفََرََإ
ًَ َج
“Pembatal yang kedua: Barangsiapa mengangkat adanya perantara
penghubung antara dirinya dengan Allah, di mana ia berdo’a kepada si
perantara tersebut, ia meminta kepada si perantara tersebut, dan
berTawakkal (bersandar) kepada si perantara tersebut, maka ia telah
kaafir berdasarkan ijma’.”
29
Mereka berkata: “Ini bukanlah perbuatan syirik, akan tetapi ini hanyalah
merupakan bentuk Tawassuth (mengambil perantara penghubung, pent.), di
mana kita hanya menjadikan mereka sebagai perantara dan penyampai
syafaa’at saja bagi kami, agar kita bisa terhubung dengan Allah. Lagi pula
orang yang menjadi wali ini juga adalah seorang yang shoolih, sehingga
sudah pasti ia mempunyai kedudukan dan derajat yang tinggi di sisi Allah.
Itulah sebabnya akupun meminta bantuan dengan derajat dan
kedudukannya itu supaya bisa membantuku untuk bisa semakin
mendekatkan diri pula kepada Allah.” Inilah hujjah mereka, padahal hujjah
tersebut adalah hujjah yang sama persis dengan hujjahnya orang-orang
musyrik terdahulu.
“Dan orang-orang yang suka menjadikan adanya selain Allah sebagai wali-
wali mereka, mereka berhujjah: “Kita tidaklah melakukan ibadah di sekitar
pusara para wali itu di dalam rangka untuk menyembah mereka, tidak
demikian. Akan tetapi tiada lain kita melakukan ritual ibadah di sekitar
pusara mereka adalah agar supaya dengan kedudukan dan derajat mereka,
mereka juga bisa membantu kita untuk semakin mendekatkan diri kepada
Allah dengan sedekat-dekatnya.” (QS. Az-Zumar: 3).
30
“Dan mereka melakukan ritual ibadah pula untuk selain Allah, padahal sosok
yang mereka suguhkan dengan ritual itu sama sekali tidak bisa memberikan
mudhoorot maupun manfaat sedikitpun kepada mereka, namun tetap saja
mereka berhujjah dengan berkata: Para wali ini adalah orang-orang yang
nantinya akan menyampaikan syafaa’at bagi kami di sisi Allah. Katakanlah
kepada mereka: Apakah kalian mau mendikte dan memberitakan kepada
Allah tentang suatu perkara yang seakan-akan tidak diilmui oleh Allah
berkenaan dengan segala yang di langit dan di bumi? Maha Suci Allah lagi
Maha Tinggi dari segala sesuatu yang mereka jadikan sebagai Syariik (sekutu
tandingan) terhadap-Nya.” (QS. Yuunus: 18).
31
mendukung dan memberikan pembelaan bagi perbuatan tersebut. Para
‘ulama itu berkata: “Perbuatan ini bukanlah perbuatan kesyirikan, karena
syirik itu hanyalah apabila engkau beribadah kepada Ashnaam (berhala),
sementara yang mereka lakukan di sini bukanlah bentuk ibadah kepada
Ashnaam.” Aduhai Subhaanallahi (Maha Suci Allah)! Melakukan ibadah
kepada Ashnaam hanyalah merupakan salah satu bentuk dari kesyirikan,
sementara yang dimaksud dengan syirik itu sendiri adalah engkau
menyuguhkan ritual ibadah kepada siapa saja selain Allah, entah itu kepada
Ashnaam, kepada pepohonan, bebatuan, kuburan, wali, malaikat, orang
shoolih, dan lain sebagainya selain dari Allah, maka inilah yang dimaksud
dengan syirik itu, bukannya hanya sekedar bagi mereka yang menyembah
Ashnaam semata.
32
ََ َ ف َ َُك َْفَِرَِى َْم َأََْو
َصحَ ََح ََْ ِش ِرَك
َ َِ َي َأََْو َ ََشك َْ َم َْن َ َلْ ََيُ َكفَ َِر َاَلْ َُم َُ ِالثَ َال
ََ :ث
َ ََم َْذ ََىبََ َُه َْمََ َك َفََر
“Pembatal ketiga: Siapa saja yang tidak menganggap kafirnya
orang-orang musyrik, atau ia ragu dengan kekafiran mereka, atau bahkan
ia malah membenarkan madzhab mereka, maka ia juga telah kaafir.”
33
“Sesungguhnya aku benar-benar Baroo’ dari segala sesuatu yang kalian
suguhkan dengan ritual ibadah, kecuali dari Dzat yang telah mengadakan
diriku, karena sesungguhnya Dialah yang akan memberikan hidayah
kepadaku.” (QS. Az-Zukhruf: 26-27).”
َ اسَلِيَ ُق ْولُْو
َ َََلَإِلَوََإِل:ا
َ ُللا َ ََالن لِأ ُِمرتَأَ ْنَأُقَات
ُْ
34
“Aku telah diperintahkan untuk memerangi umat manusia agar supaya
mereka semua mau mengucapkan syahaadat: “Sama sekali tiada sesuatupun
yang berhak untuk dijadikan sebagai Ilah sesembahan satu-satunya kecuali
hanyalah Allah semata.” HR. Al-Bukhooriy (2946). Muslim (20). Maalik di
dalam Al-Muwaththo’ (1/269). Abu Daawud (1556). At-Tirmidziy (2610).
An-Nasaa-iy (5/14). Dari hadits Abu Huroiroh –rodhiyallahu ‘anhu-.
َ َُللا
َ َحَّتَيُ ْعبَ َد ِ َبلسْي
ف ِ ت ث
ْ ِبع
َ ُ ُ
“Aku telah diutus dengan menghunuskan pedang hingga akhirnya Allah satu-
satunya sajalah yang disembah dan diibadahi.” HR. Ahmad (5115). Ibnu Abiy
Syaibah (5/313). Al-Baihaqiy di dalam Syu’abul Iimaan (1199). Dan Ibnu
Hajar di dalam Taghliiqut Ta’liiq (3/445).
“Dan wajib bagi kalian untuk memerangi mereka, sehingga tiada lagi fitnah
dan agama seluruhnya hanyalah menjadi hak serta bagi Allah semata.” (QS.
Al-Anfaal: 39).
35
َََأََْوَأَن، بَملسو هيلع هللا ىلصَأَ َْك ََم َُلَ َِم َْنَ ََى َْدَيَِِو َِ اعتََ َق ََدَأَنََ َغْيَََرَ ََى َْد
َ َِيَالن َْ ََم َِن: ََ الراَبِ َُع
َ
َت َِ ض َُل َ َُح َْك ََم َالطَََو
َِ اغَْي َِّ َ َكالَ َِذي َيَُ َف، س َُن َ َِم َْن َ َُح َْك َِم َِو ََ َُح َْك ََم َ َغ َِْيَِه َأَ َْح
َفَ َُه َوََ َك َافٌَِر، ىَح َْك َِم َِو
َُ ََعَل
“Barangsiapa yang berkeyakinan bahwasanya ada selain dari
tuntunan hidayah Nabi –shollallahu ‘alaihi wasallama- yang lebih
sempurna dari tuntunan hidayah beliau, atau seseorang menganggap
selain dari hukum dan putusan beliau lebih baik dari hukum dan putusan
beliau, semisal perbuatan seorang yang lebih mengutamakan hukum para
Thooghuut di atas dari hukum dan putusan beliau, maka ia juga telah
kaafir.”
36
Sesungguhnya berhukum dengan syarii’at Allah mengandung makna ibadah
pula kepada Allah –‘azza wajalla-, sehingga tujuan dari penegakkannya
bukanlah sekedar semata-mata untuk mencapai persatuan, kesatuan, dan
melerai pertikaian, serta keteratuan, bahkan tujuannya adalah untuk
beribadah kepada Allah dengan cara berhukum dengan syarii’at Allah –
subhaanahu wata’aalaa-. Sedangkan berhukum dengan selain hukum Allah
adalah merupakan perbuatan kesyirikan, yakni syirik di dalam ketaatan dan
syirik di dalam berhukum. Lihatlah kepada firman Allah –subhaanahu
wata’aalaa-:
“Dan apabila kalian mentaati mereka (yakni para wali syaithoon dan segala
aturan mereka, pent.), sesungguhnya kalian benar-benar juga akan menjadi
orang-orang yang berlaku syirik.” (QS. Al-An’aam: 121).
37
38
dia kaafir, terlebih parah lagi jikalau dia malah berkata: “Sesungguhnya
hukum selain Allah lebih baik dari hukum yang telah diturunkan oleh Allah.”
Maka orang yang berucap demikian hukumnya lebih parah lagi. Sehingga
seorang yang berkata: “Pada masa ini manusia tidak bisa baik dan tidak akan
menerima kecuali hanyalah hukum-hukum selain Allah yang demikian, jadi
tidak cocok lagi jikalau diterapkan hukum syarii’at, karena hukum syarii’at
sudah tidak pas lagi dengan zaman sekarang dan tidak membawa
kamudahan lagi bagi manusia, oleh karena itu tujuan-tujuan di masa ini
hanya bisa dicapai dengan tata aturan perundang-undangan selain Allah
yang demikian, karena inilah yang bisa membawa kemudahan dan diterima
oleh umat manusia secara luas, sebab itulah kitapun dianjurkan untuk turut
pula membuat tata aturan perundang-undangan yang sama seperti
digunakan oleh kabanyakan manusia di zaman ini, bahkan hukum tata
negara dan perundang-undangan yang demikian di zaman ini dirasa sudah
lebih baik dari hukum Allah.” Maka orang ini kaafir lebih parah dibandingkan
sekedar seorang yang berucap: “Sesungguhnya antara hukum Allah dan
hukum selain-Nya sama saja.”
39
ََملسو هيلع هللا ىلصَولَ َْو َ ََع َِم ََل ََبِِو
ََ َ الر َُس َْو َُل َ َ اَج َاءَ ََبَِِو َِ ًض َ ََشْيََئ
ََ اَم ََ ََم َْن َأَبَْ َغ:
ََ س َِ َال
َُ ام َ
َ َك َفََر
“Pembatal kelima: Barangsiapa membenci sesuatu apapun dari
perkara-perkara yang telah dibawa oleh Rosulullah –shollallahu ‘alaihi
wasallama-, meskipun ia telah mengamalkannya sekalipun, maka ia telah
kaafir.”
40
alasan berupa masih adanya kebencian di dalam hatinya, meskipun secara
dzhoohir ia telah mengamalkannya.
41
َِ َ اب
َللا َأََْو َ َ ش َْي ٍَء َ َِم َْن َ َِدَيْ َِن
َِ الر َُس َْوَِل َأََْو َثَََو ََ ِاستََ َْهََزأَ ََب
َْ َ َم َِن
ََ :س َُ اد َِ َالس
َ َِع َقاَبَِِوََ َك َفََر
“Pembatal keenam: Barangsiapa yang mengolok-ngolok,
menjadikan bahan candaan dan gurauan, atau menista sesuatu apapun
dari hal-hal yang menjadi bagian dari agama Rosulullah, atau sesuatu dari
hal-hal yang berkaitan dengan pahala Allah maupun siksa-Nya, maka dia
telah kaafir.”
42
“Dan apabila engkau bertanya kepada mereka (kenapa kalian berucap dan
bercanda dengan candaan yang demikian, pent.), niscaya mereka akan
berkata: “Kami hanyalah sekedar bersenda gurau dan bercanda belaka, dan
tidak sungguh-sungguh berniat untuk mengolok-olok.” Katakanlah
(Muhammad): “Apakah kalian menjadikan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rosul-
Nya sebagai bahan candaan (Istihzaa’) kalian? Tidak usah lagi kalian mencari-
cari alasan keringanan (‘udzur), karena sesungguhnya kalian sudah dianggap
kaafir setelah sebelumnya kalian telah beriman dengannya.” (QS. At-
Taubah: 65-66).
43
perkara tersebut harus menyelisihi hawa nafsu seseorang, tetap wajib
baginya untuk memuliakan seluruh Sunnah beliau, seluruh hadits-hadits
beliau, dan tidak boleh sama sekali baginya untuk berkata: “Gampang,
perkara itu tidaklah penting.”
44
ََ ََوالدََلَِْي َُلَقَ َْوَلَُوَُتَ ََع
َ :ال
Asbaabun Nuzul (sebab turunnya) ayat ini adalah dikala ada suatu
jamaa’ah manusia yang ikut berangkat bersama Rosulullah –shollallahu
‘alaihi wasallama- di dalam peperangan Tabuuk, di mana mereka berasal
dari kalangan kaum muslimiin. Lalu pada waktu mereka tengah beristirahat,
merekapun berbincang-bincang sambil berkata: “Kita tidak pernah melihat
orang-orang yang modelnya seperti para Qurroo’ kita, di mana ucapan
45
mereka paling dusta, paling rakus makannya, dan paling penakut ketika
sudah bertemunya dua pasukan di medan pertempuran.” Yang mereka
maksudkan dengannya adalah Rosulullah –shollallahu ‘alaihi wasallama- dan
para shohabatnya. Namun ternyata di majelis mereka tersebut hadir seorang
pemuda dari kalangan shohabat, sehingga iapun menganggap ucapan
mereka itu bukanlah ucapan yang ringan, maka iapun beranjak untuk
mengadukannya kepada Rosulullah –shollallahu ‘alaihi wasallama- perihal
ucapan dari kaum tersebut, akan tetapi ternyata wahyu Allah sudah turun
mendahului pemberitaan darinya. Lalu datanglah utusan dari kaum tersebut
juga kepada Rosulullah untuk meminta ‘udzur, setelah mereka mendengar
bahwa beliau sudah mendengar tentang omongan di majelis mereka itu.
Utusan tersebut datang sambil langsung mengejar Rosulullah yang tengah
mengendarai unta, lalu ia merebut tali kekang unta beliau dan
menambatkannya, kemudian ia berkata: “Wahai Rosulullah, sesungguhnya
kita hanya berbincang-bincang mengisi waktu luang guna melepas letih
setelah berkendara melakukan safar, dan kami sama sekali tidak berniat
untuk Istihzaa’, akan tetapi benar-benar kita hanya sekedar bercanda gurau
saja.” Namun Rosulullah –shollallahu ‘alaihi wasallama- sama sekali tidak
mau melihat kepada orang tersebut serta hanya terus-menerus
membacakan ayat ini kepadanya:
“Dan apabila engkau bertanya kepada mereka (kenapa kalian berucap dan
bercanda dengan candaan yang demikian, pent.), niscaya mereka akan
46
berkata: “Kami hanyalah sekedar bersenda gurau dan bercanda belaka, dan
tidak sungguh-sungguh berniat untuk mengolok-olok.” Katakanlah
(Muhammad): “Apakah kalian menjadikan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rosul-
Nya sebagai bahan candaan (Istihzaa’) kalian? Tidak usah lagi kalian mencari-
cari alasan keringanan (‘udzur), karena sesungguhnya kalian sudah dianggap
kaafir setelah sebelumnya kalian telah beriman dengannya.” (QS. At-
Taubah: 65-66).
Maka hal ini pula menjadi dalil bagi siapa saja yang menista Allah,
Rosul-Nya, kitab-Nya, atau sesuatu apapun dari Al-Qur-aan, maupun sesuatu
apapun dari Sunnah Rosulullah –shollallahu ‘alaihi wasallama-, maka ia
teranggap murtad keluar dari agama islam, meskipun ia hanya bercanda.
Lantas di manakah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya orang-orang
yang menjadikan agama sebagai candaan tidak boleh dikafirkan, kecuali
sampai terlebih dahulu kita mengetahui secara pasti apa niat di dalam
47
hatinya yang sebenarnya. Jadi meskipun ia menista Allah, Rosul, ataupun Al-
Qur-aan, tetap tidak boleh bagi kita menghukuminya kecuali sampai kita
tahu betul bagaimana keyakinannya dengan perbuatannya itu, tidak boleh
kita hukum dia hanya dengan sekedar ucapan, lafadzh, ataupun perbuatan
dzhoohirnya saja.” Dari manakah datangnya ucapan, pendapat, dan syarat-
syarat semacam ini? Bukankah sudah jelas bahwa Allah langsung
menghukumi mereka sebagai orang yang murtad, meskipun mereka berkata:
“Kami hanyalah sekedar bersenda gurau dan bercanda belaka, dan tidak
sungguh-sungguh berniat untuk mengolok-olok.” (QS. At-Taubah: 65).
48
dianggap melakukan Istihzaa’ tanpa lagi menyebutkan syarat-syarat tertentu
sebelum menghukumi mereka. Oleh karena itu seorang insan apabila secara
dzhoohirnya mengucapkan kalimat-kalimat kekufuran dalam keadaan ia
mengucapkannya bukan dikarenakan oleh paksaan atas dirinya dari orang
lain, maka dia tetap dihukumi sebagai seorang yang murtad. Adapun jikalau
ia mengucapkannya karena memang ada paksaan dari orang lain, maka dia
tidak dihukumi murtad.
49
َِ ََف ََم َْن َفَ ََعلََوُ َأََْو َََر، ف
ََض ََي ََبََِو َُ َوَِمَْن َوُ َالصََْر،
َُ ْف َََواَلْ ََع َط ََ حَُر َِّ َ:السَاَبِ َُع
َْ الس
َ َك َفََر
50
Pembatal keislaman yang ketujuh adalah sihir. Sihir adalah amalan
yang dipraktekkan oleh seorang tukang sihir. Dan secara umum sihir itu
dikategorikan menjadi dua macam: 1). Sihir Haqiiqiy, dan 2). Sihir Takhyiiliy.
51
“Dikhayalkan kepada dirinya seolah-olah tali-temali dan tongkat mereka
tersebut hidup.” (QS. Thooha: 66).
“Akan tetapi para syaithoonlah yang telah kaafir, dikarenakan mereka telah
mengajarkan ilmu sihir kepada umat manusia.” (QS. Al-Baqoroh: 102).
52
menurut sebagian ‘ulama dia boleh untuk dibunuh (oleh penguasa, pent.)
meskipun tanpa dimintai taubat terlebih dahulu. Sebab alasannya adalah
meskipun ia sudah bertaubat dari ilmu sihirnya secara dzhoohir, akan tetapi
dia sudah terlanjur menipu dan memperdaya umat manusia. Selain itu, ilmu
sihir yang berada di dalam hatinya juga tidak akan langsung lenyap begitu
saja meskipun dia sudah bertaubat.
Yakni janganlah engkau mempelajari ilmu sihir ini. Maka hal inipun
menunjukkan bahwasanya perbuatan mempelajari ilmu sihir itu adalah
kekafiran.
53
َي ِ َِ يَ َوَم َع َاونَتَُ َه َمَ َعلَىَاَلْ َم ِش ِرَك ِ َالث
َْ سَل َم
ُْ َ ْ ُ َ ََُ َ
َْ َ
ْ َ
م َ
ل
ْ ا َ
ُ َ ُ َُُ
ةرََ
اى
َ َ
ظ
ُ َ
َم: َ
ن َ
ام
“Pembatal kedelapan: Lebih mengutamakan orang-orang musyrik
dan turut memberikan pertolongan kepada mereka di dalam memerangi
ataupun menimpakan kemudhorootan bagi kaum muslimiin.”
54
orang-orang kaafir adalah dikala dia tidak mengingkari kekafiran mereka.
Karena siapa saja yang tidak mengingkari kekafiran artinya dia juga kaafir
(dikarenakan artinya dia telah ridho dengan kekafiran tersebut, pent.).
55
ََ ََوالدََلَِْي َُلَقَ َْوَلَُوَُتَ ََع
َ :ال
56
Yakni oleh karena itu janganlah pula kalian berWalaa’ (loyal) kepada
mereka, baik dengan kalian memberikan pertolongan, mencintai, ataupun
membantu mereka.
َ ) َوَم َنَيَتََ َو َلَُمَ َِمَْن َُك َمََفَِإنَ َوَُ َِمْنَ َُهYakni sehingga siapa saja di antara kalian
(م
ْ ْ ْ َ َ ْ ََ
wahai kaum muslimiin yang berWalaa’ kepada mereka, maka artinya dia
dianggap sudah menjadi seorang Yahuudiy ataupun Nashrooniy. Sehingga
hal ini menjadi dalil yang menunjukkan murtadnya ia dari agama islam.
57
َجَ ََع َْنَ ََشَِريَْ ََع َِةَ َُمَمَ ٍَد
َُ الَُُرَْو
َْ َُس ََع َو
ََ َاسََي َِ َضَالن َْ ََم َِن:
ََ اعتََ َق ََدَأَنََبََ َْع َِ َالت
ََ اس َُع
ََ َىَعَلَْي َِو َالس
ََل َُم َفَ َُه ََو ََ ج َ ََع َْن َ ََشَِريَْ ََع َِة َ َُم َْو ََس
ََ الَُُرَْو َْ ِال
َْ َ ضَُر َْ َ اَو ََس ََع
ََ ملسو هيلع هللا ىلصَ َك ََم
َ
َ َك َافٌَِر
“Pembatal kesembilan: Barangsiapa berkeyakinan bahwa sebagian
manusia masih boleh terbebas dari ikatan syarii’at Muhammad –
shollallahu ‘alaihi wasallama-, sebagaimana bebas keluarnya Khidr dari
syarii’at Muusaa –‘alaihis salaamu-, maka dia juga kaafir.”
58
Maka siap saja yang tidak menerima dan tidak menyambut Rosulullah,
serta tidak mau berIttibaa’ (mengikuti dan meneladani) kepada beliau,
dirinya adalah seorang yang kaafir, baik apakah ia asalnya adalah seorang
Yahuudiy, Nashrooniy, Majuusiy, atau pemeluk agama apapun. Dikarenakan
semenjak diutusnya beliau, Allah telah mewajibkan kepada seluruh umat
manusia untuk senantiasa taat lagi berIttibaa’ kepada beliau. Dan siapa saja
yang masih berada di atas agama Yahuudiy ataupun Nashrooniy, maka
sesungguhnya agama-agama tersebut telah di Mansuukh (dihapus) dengan
diutusnya beliau –shollallahu ‘alaihi wasallama-, sehingga tiada seorangpun
lagi yang masih diberikan kebebasan untuk tetap berada di luar dari ketaatan
terhadap beliau.
59
Adapun kasus keluarnya Khidr dari kewajian taat terhadap Muusaa,
hal tersebut adalah dikarenakan Muusaa bukanlah sosok yang memang Allah
utus untuk Khidr, sebab syarii’at Muusaa hanyalah berlaku khusus dan
mengikat Baniy Isroo-iil semata.
60
bertanya kepadanya: “Apakah di sana masih ada orang lainnya yang lebih
berilmu selain dirimu?” Maka iapun menjawab: “Tidak ada!”
61
62
63
kepadamu. Ia menjawab: Sesungguhnya engkau tidak akan sanggup bersabar
bersamaku, karena bagaimana mungkin engkau bisa bersabar melihat
perkara-perkara yang tidak engkau pahami?! Muusaa berkata: Engkau pasti
akan mendapati bahwa diriku ini adalah seorang yang penyabar, dan
nantinya aku tidak akan menyelisihi perintahmu. Ia berkata: Apabila engkau
mengikutiku, maka jangan sekali-kali engkau bertanya ataupun
mengomentari sesuatu apapun dariku sebelum aku sendiri yang
menerangkannya kepadamu! Maka keduanyapun beranjak melakukan
perjalanan dan menaiki kapal, lalu iapun melubangi kapal tersebut.
Muusaapun berkata: Apakah engkau sengaja melubangi kapal ini agar
penumpangnya tenggelam? Benar-benar sungguh engkau telah melakukan
perbuatan dosa yang besar! Ia berkata: Bukankah sudah aku katakan bahwa
engkau tidak akan sanggup bersabar bersamaku? Muusaa berkata: Janganlah
dulu engkau hukum aku karena kelupaanku, dan janganlah pula engkau
sempitkan aku karena urusan ini sehingga nantinya aku malah bertambah
susah. Maka keduanya kembali beranjak melanjutkan perjalanan hingga
menjumpai seorang anak, lalu anak itupun dibunuh olehnya. Muusaa
berkata lagi: Apakah engkau telah membunuh jiwa yang suci dengan alasan
yang tidak dibenarkan? Benar-benar sungguh engkau telah melakukan suatu
kemungkaran yang besar! Ia berkata: Bukankah sudah aku katakan bahwa
engkau tidak akan sanggup bersabar bersamaku? Muusaapun berkata:
Apabila selanjutnya aku masih berkata ataupun mengomentari sesuatu
apapun setelah ini, maka engkau boleh meninggalkanku, karena sungguh
engkau sudah cukup memberikan ‘udzur kepadaku! Keduanyapun
melanjutkan perjalanan hingga sampai pada suatu negeri, dan keduanyapun
meminta agar dijamu oleh penduduk setempat akan tetapi mereka enggan
menjamu keduanya. Lalu mereka mendapati adanya sebuah rumah yang
dindingnya hampir roboh, sehingga keduanyapun membangun kembali
dinding tersebut. Setelah itu Muusaa berkata: Jikalau engkau mau, engkau
benar-benar bisa meminta upah jerih payah pengerjaan dinding ini kepada
pemiliknya? Iapun berkata: Maka di sinilah tempat perpisahan kita berdua!
64
Dan akan saya terangkan kepadamu alasan dari perkara-perkara yang selama
ini engkau tidak sanggup untuk bersabar tentangnya.” (QS. Al-Kahfi: 64-78).
Dan seterusnya hingga akhir kisah yang telah dikisahkan oleh Allah
sendiri pada suroh Al-Kahfi, inilah asal kisahnya. Maka Khidr bukanlah bagian
dari umat Muusaa, dikarenakan Muusaa tidaklah diutus kepada seluruh
umat manusia, oleh karena itu iapun boleh keluar dari aturan syarii’at
Muusaa. Sedangkan Muhammad –shollallahu ‘alaihi wasallama-, maka
beliau diutus untuk seluruh umat manusia, sehingga sudah tidak boleh lagi
bagi seorangpun untuk keluar dari aturan syarii’at beliau. Dan di sini
terdapat bantahan bagi kaum tarekat Shuufiyyah, di mana mereka
beranggapan bahwasanya mereka bisa mencapai suatu derajat tertentu yang
keadaannya sudah tidak lagi butuh kepada aturan syarii’at Rosulullah, dan
tidak butuh lagi berIttibaa’ kepada beliau. Sebab apabila mereka telah
mencapai derajat tersebut, maka merekapun menganggap bahwa mereka
sudah bisa mengambil ilmu dan wahyu secara langsung dari Allah, sehingga
mereka tidak lagi butuh kepada Rosul maupun perantara, dan mereka
berkata: “Sesungguhnya para Nabi dan Rosul itu hanyalah khusus
diperuntukkan bagi orang-orang yang awam, adapun orang-orang yang
terkhusus lagi terpilih, mereka sudah tidak butuh lagi kepada para Nabi dan
Rosul, sebab mereka telah mencapai derajat Ma’rifatullahi (mengenal Allah)
dan telah terhubung langsung dengan Allah, serta telah bisa mengambil
langsung dari Allah.” Demikianlah keadaan dari Ghulaatush Shuufiyyah (para
pengikut tarekat Shuufiyyah yang ekstrimis, pent.), di mana mereka sudah
merasa tidak butuh lagi kepada Rosulullah –shollallahu ‘alaihi wasallama-,
dan manganggap diri mereka sudah terbebas dari syarii’at beliau. Oleh sebab
itu mereka sudah tidak lagi melaksanakan sholat, tidak lagi berpuasa, tidak
lagi berhaji, dan tidak lagi mempelajari apa yang dibawa oleh Rosulullah,
karena mereka menganggap diri mereka adalah hamba-hamba yang khusus
lagi terpilih, dan mereka berkata: “Kami sudah tidak butuh lagi kepada
Rosulullah, sebab kami sudah bisa terhubung secara langsung dengan Allah.”
65
-nas-alullahal ‘aafiyah (kita memohon keselamatan, penjagaan, dan
kemaafan dari Allah semata, pent.)-.
66
ََلَيََتََ ََعلَ َُم َوَََُوََلَيََ َْع ََم َُلََبِِو،
ََ ال َِ َاضَ ََع َْنَ َِدَيْ َِن
ََ للاَتَ ََع َُ َال َْعََر: َِ الع
َِْ اشَُر ََ
“Pembatal kesepuluh: Berpaling dari agama Allah –subhaanahu
wata’aalaa- dengan cara tidak mau mempelajarinya, dan tidak mau pula
mengamalkannya.”
67
“Berikanlah hidayah kepada kami untuk bisa menuju dan menapaki Ash-
Shiroothul Mustaqiim (jalan yang lurus), yakni jalannya orang-orang
terdahulu yang sudah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan
jalannya para Al-Maghdhuubu ‘Alaihim, serta bukan pula jalannya para Adh-
Dhoolluun.” (QS. Al-Faatihah: 6-7).
68
“Dan orang-orang kaafir itu, mereka adalah orang-orang yang berpaling dari
perkara-perkara yang telah diperingatkan kepada mereka.” (QS. Al-Ahqoof:
3).
69
sikap Tahammul (menjaga dengan baik catatan serta hapalan, pent.), butuh
kepada duduk bermajelis ilmu dalam waktu yang panjang, sementara dirinya
adalah seorang yang malas, maka orang ini dicela atas kemalasan dan
kelalaian dirinya itu, hanya saja dirinya tidak sampai kepada derajat kaafir.
70
ََ ََوالدََلَِْي َُلَقَ َْوَلَُوَُتَ ََع
َ :ال
71
ََ ََإِل، ف َِ ِالَ َائ
َْ اد َََو َِ َال
َْ ي َا َْلَاَِزَِل َََوََْ ََض َب َِ َِجَْي َِع َ ََى َِذَِه َالنَََو َاق ََِ ف َ َِ ق ََ ََل َفََْر
ََوَِم َْن َأَ َْكَثَ َِر َ ََما ََيَ َُك َْو َُن
ََ ، َم َْن َأَ َْع َظ َِم َ ََما ََيَ َُك َْو َُن َ ََخ َطًَْرا َِ َََوَُكلَ ََها، اَلْ َُم َْكََرََه
ََُنَ َُع َْوَذ، س َِو
َِ اَعَلىَنَ َْف ََ افَ َِمْنَ ََه ََ َاَوََي ََ سَلَِِمَأَ َْنَ َََُ َِّذََرََى َْ يَلَِْل َُم
َ َِفَيََْنََبَ َغ، َُوقَُ َْو ًَعا
َ .َوأََلَِْي َِمَ َِع َقاَبَِِو،
ََ ضَبَِِو ََ اتَ َغ َِ َللَ َِم َْنَ َُمَْوَِجَب َِ َِب
َ حَبَِِوَ ََو ََسلَ ََم ََ يَخ َِْيَ ََخَْل َِق َِوَ َُمَمَ ٍَدَََو َآلَِِوَ ََو
َْ ص ََ ىَللاَُ ََعَل َ َصل ََ ََو
“Tidak ada perbedaan hukum pada seluruh pembatal keislaman
yang disebutkan di sini, di mana hukumnya tetap berlaku meskipun kepada
orang yang Haazil, Jaadun, ataupun yang mengamalkannya karena alasan
takut sekalipun, maka hukumnya tetaplah berlaku, dan yang dikecualikan
hanyalah seorang yang Mukroh (dipaksa oleh orang lain, pent.).
Kita berlindung kepada Allah dari segala hal yang bisa mengundang
kemurkaan Allah dan dari segala yang bisa menjadi sebab datangnya siksa
serta hukuman Allah yang pedih.
72
Semoga sholawat dan salam Allah senantiasa tercurahkan kepada
makhluq-Nya yang terbaik, yakni Muhammad, keluarganya, serta para
shohabatnya.”
َْ )َإِلَ َاَلْ َمYakni kecuali apabila seseorang dipaksa oleh orang lain
(ُكَرَه
َ ُ
untuk mengucapkan suatu ucapan yang mengandung kekufuran, dalam
keadaan dia sama sekali tidak bisa melepaskan diri dari kedzhooliman orang
yang memaksanya tersebut kecuali hanya dengan cara menuruti paksaannya
itu, maka Allahpun telah memberikan Rukhshoh (keringanan) kepadanya
untuk mengucapkan ucapan tersebut.
73
“Barangsiapa yang belaku kufur kepada Allah padahal dirinya dahulu sudah
beriman (maka dia kaafir, pent.), kecuali bagi siapa saja yang melakukannya
karena Mukroh, akan tetapi hatinya tetap tenang dan teguh di atas
keimanannya.” (QS. An-Nahl: 106).
74
“Bagaimana keadaan hatimu? Iapun menjawab: Tetap tenang dan teguh di
atas keimananku. Beliaupun berkata: Apabila dikali berikutnya mereka
kembali memaksamu dan meminta engkau mengulangi lagi seperti
perbuatanmu itu, maka lakukanlah perbuatan yang sama.” HR.
‘Abdurrozaaq di dalam Al-Mushonnaf (1/360). Ibnu Sa’d (3/249). Ath-
Thobariy di dalam tafsirnya (14/374). Al-Haakim (2/357). Al-Baihaqiy di
dalam Dalaa-ilun Nubuwwah (8/208). Ibnu ‘Asaakir di dalam Taariikh
Dimasyqi (43/373). Dan As-Suyuuthiy di dalam Ad-Duril Mantsuur (4/132).
“Kecuali bagi siapa saja yang melakukannya karena Mukroh, akan tetapi
hatinya tetap tenang dan teguh di atas keimanannya.” (QS. An-Nahl: 106).
75
Kita berlindung kepada Allah dari segala perkara yang bisa
mengundang kemurkaan-Nya dan bisa menjadi sebab datangnya siksaan
Allah yang pedih. Aamiin.
76
TANYA-JAWAB:
Jawab:
Di antara keduanya ada yang umum dan ada yang khusus. Syirik lebih
umum dari kekafiran, di mana setiap orang musyrik pastilah kaafir, tetapi
tidak setiap yang kaafir itu musyrik. Karena orang musyrik itu adalah seorang
yang menyuguhkan ibadah kepada Allah dan juga menyuguhkan ibadah
kepada selain-Nya. Adapun seorang yang kaafir maka pada asalnya dia
adalah seorang yang menentang keberadaan Allah –jalla wa’alaa- dan sama
sekali tidak mengakui Allah –‘azza wajalla-, atau bahkan diapun tidak
mengakui salah satu di antara agama-agama (yakni dirinya atheis atau tidak
berTuhan, pent.). Inilah yang namanya orang Kaafir Jaahid (kaafir karena
mengingkari lagi menentang adanya Tuhan, pent.). Sedangkan seorang yang
musyrik ia mengakui keberadaan Tuhan, dia meyakininya, hanya saja dia
menyuguhkan ibadah kepada Allah dan menyuguhkan pula kepada selain-
Nya, sehingga iapun disebut sebagai seorang yang musyrik lagi kaafir. Maka
setiap orang musyrik itu adalah seorang yang kaafir, namun tidak setiap yang
kaafir itu musyrik, dikarenakan seorang yang kaafir itu terkadang
penyebabnya adalah perilaku Ilhaad (menyeleweng) dan Jaahid
(menentang).
77
Apakah maknanya juga mencakup orang-orang yang awam pada hari
ini, di mana mereka tidak paham dengan ilmu syar’iy dan tidak pula
perhatian dengannya, akan tetapi mereka tetap mengajarkan Tauhiid
kepada anak-anak mereka, serta mereka turut pula mengamalkan
Tauhiid?
Jawab:
Mereka ini tidak termasuk, sebab mereka ini adalah orang-orang yang
sudah lemah tidak sanggup lagi belajar, atau mungkin mereka ini adalah
orang-orang yang malas belajar, sementara mereka ini adalah seorang yang
asalnya muslim, mu’min, dan senantiasa beribadah kepada Allah, maka
mereka tidak dianggap sama seperti seorang yang mu’ridh (berpaling). Sebab
seorang yang disebut mu’ridh adalah seorang yang sama sekali tidak
mempunyai kepedulian dan perhatian terhadap ilmu agama, maupun
terhadap agamanya, inilah yang disebut dengan seorang yang mu’ridh itu.
Jawab:
78
َت ِ َاِ ْعملُو:إِن َللا َاطلَع َعلَى َأَى ِل َب ْد ٍر َفَ َق َال
ُ اَماَشْئ تُ ْم َفَ َق ْد َ َغ َف ْر
َ َْ َ ْ َ َ َ
َلَ ُك ْم
“Sesungguhnya Allah telah mengilmui seluruh keadaan dari mereka yang ikut
menjadi Ahli Badr, dan Allah telah menjanjikan ucapan kepada mereka:
“Lakukanlah amalan apa saja yang kalian inginkan, karena sungguh telah Aku
ampuni perbuatan tersebut bagi kalian!”
Jawab:
Hujjah adalah dengan diutusnya para Nabi dan Rosul. Adapun sekedar
fithroh saja, maka hal tersebut tidaklah cukup teranggap sebagai hujjah.
Karena jikalau benar fithroh saja sudah cukup dianggap sebagai hujjah,
niscaya Allah tidak akan lagi mengutus para Nabi dan Rosul-Nya.
79
“Para Nabi dan Rosul adalah sebagai pembawa kabar gembira dan sekaligus
sebagai pemberi peringatan, agar supaya sudah tidak ada lagi hujjah bagi
manusia dihadapan Allah nantinya setelah diutusnya para Nabi dan Rosul
tersebut.” (QS. An-Nisaa’: 165).
Engkau tidak akan mungkin bisa tahu mana yang wajib, harom,
maupun makruh, kecuali hanya melalui penjelasan para Nabi dan Rosul.
Hanya saja memang fithroh itu juga merupakan bentuk Tarbiyatun Shoolihah
(pendidikan dan pengarahan yang bagus, pent.) untuk bisa menuntunkan
kepada kebaikan, akan tetapi jikalau berbekal hanya dengan fithroh saja
tidaklah cukup, terbukti jikalau seorang insan tumbuh dan besar di atas
fithrohnya sekalipun, lalu dirinya tidak lagi mempelajari agama, dan tidak
pula mengamalkan agama sedikitpun, maka hal tersebut menunjukkan
bahwa fithroh saja belumlah cukup.
Jawab:
80
6. Bagaimana hukum seorang yang berkata: Boleh pergi mendatangi dukun
dan orang pintar sekedar hanya untuk mencari informasi dan keterangan
tentang harta yang hilang misalnya, di mana di dalam keyakinan orang
tersebut yang dilarang dari mendatangi dukun ataupun orang pintar
adalah apabila tujuannya untuk berobat ataupun mencari kesembuhan?
Jawab:
ِ
َ يَيَ ْوًما
َْ َص َلةٌَأ َْربَع َ ََم ْنَأَت
َ َُلَ ْنَتُ ْقبَ َلَلَو، ىَعرافًا
“Barangsiapa yang mendatangi dukun ataupun orang pintar, maka sholatnya
tidak akan diterima selama 40 hari.” HR. Muslim (2230). Ahmad (16638).
Dan Al-Baihaqiy di dalam As-Sunan (8/138).
81
َََتِْتِِ ْم
َ َل
“Jangan sama sekali engkau mendatangi mereka.” HR. Muslim (537). An-
Nasaa-iy (3/14). Ahmad (23762). Ath-Thoyaalisiy (1150). Ibnu Khuzaimah
(859). Ibnu Hibbaan (2247). Dan Al-Baihaqiy di dalam As-Sunan (2/249).
Jawab:
Orang ini tidak dikafirkan dengan hal tersebut, dikarenakan itu terjadi
karena hasil dari Ta’wiil (penafsiran yang salah, pent.). Sebab kebanyakan
dari mereka yang beranggapan demikian sebenarnya hanyalah berTaqliid
(membeo) kepada orang-orang sebelum mereka yang juga melakukan Ta’wiil
(penafsiran yang salah, pent.), sehingga mereka belum bisa untuk dikafirkan,
hanya saja tetap dihukumi sebagai orang yang salah dan sesat.
82
permusuhan dan perselisihan, pent.), merekapun mewajibkan kepada
orang yang bersalah itu untuk melakukan penyembelihan sebagai denda
hukumannya, lalu selanjutnya mereka mengadakan perdamaian dan
perbaikan di antara mereka yang berselisih. Lantas bagaimanakah
hukum dari perkara yang demikian?
Jawab:
Jawab:
Tidak boleh sama sekali memuji orang kaafir atas kekafirannya, dan
yang dibolehkan hanyalah sebatas memuji atas permainan dan kemahiran
permainannya. Namun tetap saja hal itupun dikhawatirkan bisa
mendatangkan bahaya dan dosa bagi pelakunya, hanya saja dosa tersebut
tidaklah sampai membawanya kepada derajat kaafir.
83
10. Atsaabakumullahu, apa yang kita katakan kepada seorang yang berkata:
Engkau tidak boleh langsung mengkafirkan sosok pribadi tertentu kecuali
hanya apabila dirinya telah memenuhi semua syarat, dan telah terangkat
semua penghalang dari dirinya?
Jawab:
Siapa saja yang nampak dari dirinya kekufuran, baik itu berupa
ucapannya, perbuatannya, keyakinannya, ataupun nampak adanya keraguan
tentang Al-Haq dari dirinya, maka dia dihukumi secara dzhoohir sebagai
seorang yang kaafir. Adapun apa yang menjadi isi hatinya, maka tiada
seorangpun yang bisa mengetahuinya kecuali hanyalah Allah semata.
Sementara kita tidak diperintahkan untuk mengurusi dan menghukumi isi
hati seseorang, sebaliknya kita hanya diperintahkan untuk menghukumi yang
dzhoohir. Maka barangsiapa menampakkan kekufuran secara dzhoohir,
kamipun menghukuminya sebagai seorang yang kaafir, serta kita bersikap
mu’aamalah kepadanya seperti kita bersikap mu’aamalah dengan orang-
orang kaafir.
11. Apakah hukum dari menonton pertunjukkan sihir, meskipun kita tidak
meyakini kebenaran dari apa yang diperbuatnya tersebut?
Jawab:
84
mengetahui di mana posisi air berada, kemudian orang-orang juga
membenarkannya.
Jawab:
85