Anda di halaman 1dari 111

FIQIH DARAH WANITA

ABDUS SYAKUR, S.Ud


Copyright Page

Judul Buku
FIQIH DARAH WANITA

Penulis
Abdus Syakur, S.Ud

Editor
M. Hanif Mufti Al - Islam

Design Cover
Abu Abdillah Bagus

Cet . I: 20 Dzulhijjah 1440 H / 21 Agustus 2019


Cet . II: 25 Dzulhijjah 1440 H / 26 Agustus 2019

SERIAL BUKU UAS KE-1


DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ........................................................................... - 2 -

MUQODDIMAH .................................................................. - 3 -

DARAH HAID .................................................................... - 13 -

DARAH NIFAS ................................................................... - 32 -

HAL-HAL YANG DIHARAMKAN BAGI WANITA


HAID DAN NIFAS ............................................................ - 37 -

HAL-HAL YANG DIBOLEHKAN BAGI WANITA


HAID DAN NIFAS ............................................................ - 72 -

DARAH ISTIHADHAH .................................................... - 77 -

PENGGUNAAN ALAT PENCEGAH ATAU


PERANGSANG HAID, PENCEGAH KEHAMILAN
DAN PENGGUGUR KANDUNGAN .......................... - 94 -

DAFTAR PUSTAKA ........................................................ - 108 -

-2-
MUQODDIMAH

ِ‫ضل ْل ِفَ ََل‬


ْ ُ‫ِوَم ْن ِِي‬،
َ ُ‫ِمض َّل ِلَه‬
ُ ‫ِم ْن ِيَ ْهده ِاهللُِفَ ََل‬، َ ُ‫ِنَ ْح َم ُده‬،‫ْح ْم َد ِللَّه‬
َ ُ‫ِونَ ْستَعينُه‬ َ ‫إِ َّن ِال‬

ُ‫ِوََ ُُللُِه‬
َ ُ‫اِع ْب ُد ِه‬
َ ‫ِم َح َّم ًد‬ َّ ‫ِوأ‬،
ُ ‫َن‬ َ ُ‫يكِلَه‬ َ ُ‫ِوأَ ْش َه ُدِأَ ْن ََِلِإلَ َهِإ ََّلِاهلل‬،
َ ‫ِو ْح َدهُ ََِلِ َشر‬ َ ُ‫يِلَه‬
َ ‫َهاد‬
Segala puji hanya bagi Allah, kami memuji-Nya, memohon
pertolongan dan ampunan kepada-Nya, kami berlindung kepada Allah
dari kejahatan diri-diri kami dan kejelekan amal perbuatan kami.
Barangsiapa yang Allah beri petunjuk, maka tidak ada yang
menyesatkannya, dan barangsiapa yang Allah sesatkan maka tidak ada
yang dapat memberinya petunjuk. Aku bersaksi bahwasahnya tidak
ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah semata,
tidak ada sekutu bagi-Nya dan aku bersaksi Bahwasahnya Nabi
Muhammad -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- adalah hamba dan rasul-
Nya.

-3-
َ َ‫ِآمنُلاِاتَّ ُقلاِاللَّه‬ َّ
ِ .‫ِم ْسلِ ُمل َن‬ َ ‫ِوََلِتَ ُملتُ َّنِإ ََّل‬
ُ ‫ِوأَنْ تُ ْم‬ َ ‫ِحقَِّتُ َقاته‬ َ ‫ين‬َ ‫{يَاِأَيُّ َهاِالذ‬
”Wahai oramg-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah
dengan sebenar-benarnya takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati
kecuali dalam keadaan muslim” 1

َّ َ‫اِوب‬ ٍ َ ‫لاَِبَّ ُك ُمِالَّذ‬


ٍ ‫يِخلَ َق ُك ْمِم ْنِنَ ْف‬
َِّ َ ‫اِزْو َِج َه‬
َ ‫ِو َخلَ َقِم ْن َه‬
َ ‫ِواح َدة‬
َ‫س‬ َ ‫َّاسِاتَّ ُق‬
ُ ‫{يَاِأَيُّ َهاِالن‬
ِ‫اَ ِإ َّن ِاللَّهَ ِ َكا َن‬ َّ َّ
َ ‫الََِْ َح‬
ِْ ‫ِو‬
َ ‫اءلُل َن ِبه‬
َ‫س‬ َ َ‫ِواتَّ ُقلا ِاللهَ ِالذي ِت‬
َ ‫اء‬
ً‫س‬َ ‫ِون‬
َ ‫م ْن ُه َما َِ َج ًاَل ِ َكث ًيرا‬
.‫َِقيبًا‬
َ ‫َعلَْي ُك ْم‬

”Wahai Manusia! Bertakwa kepada Rabb-mu yang telah


menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan Allah menciptakan
pasangannya (Hawa) dari (diri)nya; dan dari keduanya Allah
mengembangbiakan laki-laki dan perempuan yang banyak.
Bertakwalah kepada Allah yang dengan Nama-Nya kamu saling

1
QS. Ali-Imran[3]:102

-4-
meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya
Allah selalu menjaga dan mengawasimu.” 2

َّ
َ ‫صلِ ْح ِلَ ُك ْم ِأَ ْع َمالَ ُك ْم‬
ِ‫ِويَغْف ْر‬ ْ ُ‫ُِدي ًداِي‬ َ َ‫ِآمنُلاِاتَّ ُقلاِاللَّه‬
َِ ‫ِوقُللُلاِقَ ْلًَل‬ َ ‫ين‬َ ‫{يَاِأَيُّ َهاِالذ‬
ِ .‫يما‬
ً ‫اِعظ‬ َ ‫ِوَم ْنِيُطعِاللَّ َه‬
َ ‫ِوََ ُُللَهُِفَ َق ْدِفَ َازِفَ ْلًز‬ َ ‫لَ ُك ْمِذُنُلبَ ُك ْم‬
”Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kamu kepada
Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar, niscaya Allah akan
memperbaiki amal-amalmu dan mengampuni dosa-dosamu. Dan
barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh dia menang
dengan kemenangan yang besar”3

ِ‫ِصلىِاهللِعليهِوُلم‬-ِ‫ِالهديِهديِمحمد‬
ُ ‫ِوخير‬،‫ِاهلل‬
َ ‫فإنِخيرِالحدي َِّكتاب‬
ُ

ِ‫كلِضَللةِفي‬
َّ ‫ِو‬،ٌ‫كلِبدعةِضَللة‬
َّ ‫ِو‬،ٌ‫كلِمحدثةِبدعة‬
َّ ‫ِو‬،‫ِوشرِالملَِمحدثاتُها‬،
َّ -

ِ َ‫النا‬

Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullaah (Al-


Qur’an) dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad -

2
QS. An-Nisaa'[3];1
3
QS. Al-Ahzab[33]:70-71
-5-
Shallallahu ‘alaihi wa sallam- (As-Sunnah). Seburuk-buruk perkataan
adalah perkataan yang diada-adakan (dalam agama), setiap yang diada-
adakan dalam agama adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat, dan
setiap kesesatan tempatnya di neraka.

Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan Al-Qur’an


kepada Rasul-Nya Muhammad Shalallahu’alaihi wasallam dan
Beliau telah menjelaskan Agama Islam ini dengan Sempurna.

‫ِاْل ُْ ََل ََِِدينًا‬


ْ ‫يتِلَ ُك ُم‬
ُ ‫يِوََض‬
َ ‫ِعلَْي ُك ْمِن ْع َمت‬
َ ‫ت‬ُ ‫ِوأَتْ َم ْم‬ ُ ‫الْيَ ْل ََِأَ ْك َمل‬
َ ‫ْتِلَ ُك ْمِدينَ ُك ْم‬
“Pada hari ini, telah Kusempurnakan agama kalian untuk
kalian, dan telah Kucukupkan Nikmat-Ku bagi kalian, dan telah
Kuridhai Islam sebagai agama kalian.”4
Ibnu Katsir berkata, “Ini adalah nikmat Allah terbesar
bagi umat ini. Allah subhanahu wa ta’ala menyempurnakan
agama mereka sehingga mereka tidak butuh kepada agama
yang lain dan Nabi lain selain nabi mereka. Karena itu,
Allah subhanahu wa ta’alamenjadikan Beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallamsebagai penutup para Nabi dan mengutusnya kepada jin

4
QS. Al-Maidah: 3
-6-
dan manusia. Tiada yang halal kecuali apa yang ia halalkan,
tiada yang haram kecuali yang ia haramkan dan tiada agama
kecuali yang ia syariatkan. Segala sesuatu yang ia kabarkan
adalah benar, jujur tiada kedustaan, dan tiada penyelewengan
padanya…”
Lalu beliau (Ibnu Katsir) menyebutkan riwayat dari Ali
bin Abu Thalhah dari Ibnu Abbas bahwa beliau menafsirkan
ayat ini dan berkata, “Maksudnya Islam. Allah subhanahu wa
ta’ala telah mengabarkan kepada Nabi-Nya serta kaum
mukminin bahwa Allah subhanahu wa ta’ala telah melengkapi
iman untuk mereka sehingga mereka tidak butuh tambahan
senya. Allah subhanahu wa ta’ala tidak akan menguranginya
selamanya. Allah subhanahu wa ta’ala juga telah meridhainya
sehingga tidak akan marah kepadanya selamanya.”5

Kitab al-Ujab fi Bayanil Asbab. Ibnu Hajar mengatakan bahwa di antara orang-orang
5

tsiqah yang meriwayatkan dari Ibnu abbas yaitu … 3. Dari jalan Muawiyah bin Shalih
dari Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu Abbas. Ali seorang yang shaduq dan jujur, tetapi
tidak berjumpa dengan Ibnu Abbas. Akan tetapi, dia mengambil dari para murid Ibnu
Abbas yang tsiqah. Oleh karena itu, al-Bukhari, Ibnu Abi Hatim, dan selain keduanya
bersandar pada lembaran catatannya.

-7-
Dari Ibnul Majisyun, Al-Imam Malik berkata, “Barang
siapa melakukan bid’ah dalam agama dan menganggapnya
baik, sungguh ia telah menganggap Muhammad berkhianat
terhadap risalah (Islam). Sebab, Allah telah berfirman,

ِ‫ِعلَْي ُك ْم‬
َ ‫ت‬ُ ‫ِوأَتْ َم ْم‬
َ ‫ْتِلَ ُك ْمِدينَ ُك ْم‬
ُ ‫الْيَ ْل ََِأَ ْك َمل‬
‘Pada hari ini, telah Kusempurnakan agama kalian.’6
Sesuatu yang pada saat itu bukan sebagai agama, pada
hari ini juga bukan sebagai agama.”7
Aisyah radhiallahu ‘anha berkata, “Barang siapa yang
beranggapan bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam menyembunyikan sesuatu yang telah Allah turunkan,
sungguh ia telah berdusta besar terhadap Allah. Padahal
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

6
QS.Al-Maidah: 3

7
Asy-Syathibi, Mukhtashar al-I’tisam hlm. 17
-8-
ُِ‫ِواللَّه‬ َ ْ‫ِوإ ْنِلَ ْمِتَ ْف َع ْلِ ِفَ َماِبَلَّغ‬
َ ُ‫ت َِ َُالَتَه‬ َ‫ك‬ َ ِّ‫َِب‬
َ ‫ك ِمِ ْن‬ َ ‫للِبَلِّ ْغ‬
َ ‫ِماِأُنْز َلِإلَْي‬ ُ ُُ ‫اِالر‬
َّ ‫يَاأَيُّ َه‬

َّ
َ ‫كِم َنِالنَّاسِإ َّنِاللهَ ََِلِيَ ْهديِالْ َق ْل ََِالْ َكافر‬
ِ‫ين‬ َ ‫يَ ْعص ُم‬
‘Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu
dari Rabbmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan
itu, berarti), kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah
memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.’8
Demikian pula Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika
berkhutbah di Arafah berkata di hadapan ribuan para
sahabatnya,

ُِ ْ‫ِه ْلِبَلَّغ‬
ِ‫ت‬ َ ‫ِاللَّ ُه َّم‬،‫ت‬
ُ ْ‫َه ْلِبَلَّغ‬
“Bukankah sudah kusampaikan?” Mereka pun menjawab, “Ya.”9
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mengangkat
tangannya ke langit dan menunjukannya pada mereka seraya
berkata,
ِ‫ِ«اللَّ ُه َّمِا ْش َه ْد‬:‫ال‬
َ َ‫ِق‬،‫ِنَ َع ْم‬:‫قَالُلا‬

8
QS.Al-Maidah : 67
9
HR.Bukhari, no.1739
-9-
“Wahai Allah, saksikanlah. Wahai Allah, saksikanlah. Wahai
Allah, saksikanlah.” 10
Dalam hadits yang lain beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam berkata,
ِ،‫ِماِيَ ْعلَ ُمهُِلَ ُه ْم‬
َ ‫ىِخِْير‬ َ ُ‫اِعلَْيه ِأَ ْن ِيَ ُد َّل ِأ َُّمتَه‬
َِ َ‫ِعل‬ َ ‫إنَّهُِلَ ْم ِيَ ُك ْن ِنَب ٌّي ِقَ ْبليِإ ََّلِ َكا َن‬
َ ‫ِح ًّق‬

ِ‫ِماِيَ ْعلَ ُمهُِلَ ُه ْم‬


َ ‫َويُْنذ ََُه ْمِ َش َّر‬
“Tidaklah Allah mengutus seorang nabi sebelumku kecuali
wajib baginya untuk menunjukkan pada umatnya kebaikan yang ia
ketahui dan memperingatkan kepada mereka kejahatan yang ia
ketahui.” 11
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
ِ،َ‫ب ِإلَى ِالنَّا‬
ُ ‫ِع َم ٌل ِيُ َق ِّر‬ َ ‫ِإ ََّل ِقَ ْد ِأ ََم ْرتُ ُك ْم ِبه‬،‫ْجنَّة‬
َ ‫ِوََل‬، ُ ‫ِع َم ٍل ِيُ َق ِّر‬
َ ‫ب ِإلَىِال‬ َ ‫س ِم ْن‬
َ ‫لَْي‬

َ ‫إ ََّلِقَ ْدِنَ َه ْيتُ ُك ْم‬


‫ِع ْنه‬

10
HR.Bukhari, no.1739

11
HR. Muslim, no. 1844
- 10 -
“Tidaklah ada sesuatu pun yang mendekatkan kepada al-
jannah dan menjauhkan dari an-nar kecuali telah kuterangkan kepada
kalian.” 12
Abu Dzar radhiallahu ‘anhu bersaksi,
ِ‫الس َماء ِإ ََّل‬
َّ ِ ‫اح ْيه ِفي‬
َ َ‫ِجن‬ َ ‫ِو َُلَّ َم‬
َ ‫ِوَماِيُ َح ِّر ُك ِطَائ ٌر‬، َ ُ‫ِصلَّىِاهلل‬
َ ‫ِعلَْيه‬ َ ‫اِم َح َّم ٌد‬
ُ َ‫لََق ْد ِتَ َرَكن‬

ِ‫أَذْ َك َرنَاِم ْنهُِعِْل ًما‬

“Rasulullah benar-benar telah meninggalkan kami dalam


keadaan tidak seekor burung pun yang membalikkan kedua sayapnya
di langit kecuali beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan
kepada kami ilmu darinya.” 13
Dengan demikian, Islam ini telah sempurna. Islam telah
menjelaskan dari masalah yang besar sampai masalah yang
terkecilpun Islam telah menjelaskan.

Sungguh, masalah darah yang biasa terjadi pada kaum


wanita, yaitu Haid, istihadhah dan nifas, merupakan
masalah penting yang perlu dijelaskan dan diketahui
hukumnya, perlu dipilah mana yang benar dan yang salah dari

12
Mustadrak Al Hakim, no. 2136
13
Musnad Ahmad, no. 21361
- 11 -
pendapat para ulama dalam masalah ini. Dan hendaknya yang
menjadi sandaran dalam memperkuat dan memperlemah
pendapat dalam hal tersebut adalah dalil dari Kitab dan
Sunnah, karena keduanya merupakan sumber utama yang
menjadi landasan dalam beribadah, yang diperintahkan oleh
Allah subhanahu wa ta’ala kepada para hamba-Nya.
Diantara bentuk perbedaan beribadah kepada Allah antara
laki-laki dan wanita dalam hukum Islam adalah yang berkaitan
dengan darah kebisaan wanita. Dan ini adalah sebuah masalah
yang sangat penting diketahui oleh setiap muslimah, karena
berkaitan dengan hukum – hukum agama Islam terkhusus
berkaitan masalah sholat, puasa dll.

- 12 -
DARAH HAID

- 13 -
A. Darah Haid
1. DARAH HAID
Darah Kodrat Kewanitaan

َ ‫ِ« َه َذاِ َش ْيءٌِ َكتَبَهُِاللَّ ِهُِ َعلَىِبَنَات‬:‫ِو َُلَّ َم‬


ِ 14ََِ ‫ِآد‬ َ ُ‫ِصلَّىِاهلل‬
َ ‫ِعلَْيه‬ َ ‫الِالنَّب ُّي‬
َ َ‫ق‬
Rasulullah bersabda : Ini ( Haid ) Allah subhanallah telah
menetapkan kepada keturunan anak adam yang wanita.

2. Definisi Haid
Haid Menurut bahasa, haid berarti sesuatu yang mengalir.15
Menurut syar’i adalah darah yang terjadi pada wanita secara
alami, bukan karena suatu sebab dan terjadi pada waktu
tertentu.16
Jadi haid adalah darah normal, bukan disebabkan oleh
suatu penyakit, luka, keguguran atau kelahiran. Oleh karena
haid adalah darah normal, maka keluarnya darah haid berbeda

14
HR. Bukhari, 294
15
Shalih bin Abdul Aziz, Fiqih Muyassar,Riyadh: Daarul A’lamus Sunah hal.52, dan
Shalih Fauzan, Sentuhan Nilai Kefikihan untuk wanita beriman, hal.32
16
Shalih bin Abdul Aziz, Fiqih Muyassar,Riyadh,52, Syaikh Shalih Fauzan,
Sentuhan,32
- 14 -
sesuai kondisi, lingkungan dan iklimnya, sehingga terjadi
perbedaan yang nyata pada setiap wanita.
3. Ciri - ciri darah Haid
a) Merah pekat
b) Kehitam – hitaman
c) Kental
d) Bau menyengat / amis17
) ‫ف‬
ُ ‫َُ َل ُدِيُ ْع َر‬
ْ ‫ِد ٌَِأ‬
َ ‫ْح ْيض‬ َ ‫«إ َّن‬
َ ‫ِد ََِال‬
18

Sesungguhnya darah haid adalah darahnya hitam


dapat diketahui.

4. Usia Mulai Haid


Usia haid biasanya antara 12 sampai 50 tahun. Dan
kemungkinan seorang wanita sudah mendapatkan haid
sebelum usia 12 tahun atau masih mendapatkan haid sesudah
usia 50 tahun.19

17
Sayyid Sabiq, Shahih Fiqih Sunnah,206
18
HR.Abu Dawud dan Sunan An Nasai no.216 dishahihkan oleh Syaikh Al bani
19
Muhammad bin Shalih Utsaimin, Risalah fii Dimaait thabi’iiyah lilnisa,hal.5
- 15 -
Para ulama, berbeda pendapat tentang apakah ada batasan
tertentu bagi usia haid, di mana seorang wanita tidak
mendapatkan haid sebelum atau sesudah usia tersebut?
Itu semua dikembalikan pada kondisi, lingkungan dan
iklim yang mempengaruhinya kondisi wanita.

5. Masa Haid
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan masa
atau lamanya haid. Pada umum masa haidnya enam atau tujuh
hari dan paling lama lima belas hari.20
Adapun menetapkan umur tertentu dimana minimal
wanita mendapati haid atau menetapkan usia berapa
berakhirnya haid, juga menetapakan batasan minimal dan
maksimalnya, maka hal yang demikian tidak ada dalilnya.21
Padahal hal tersebut sangat perlu sekali dijelaskan pada
masa Nabi shallahu’alaihi wa sallam. Jika ada batasan secara
pasti dalam jangka waktu tertentu niscaya Nabi shallahu’alaihi

20
Shalih bin Abdul Aziz, Fiqih Muyassar,Riyadh: Daarul A’lamus Sunahhal.52
21
Al-Qowa’id wa Al-Furuq, hlm.169
- 16 -
wa sallam telah menjelaskanya dengan gamblang, karena ini
masalah yang penting dalam ibadah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa tidak
ada batasan minimal dan maksimal lamanya haid. Selama
wanita melihat kebiasaan haidnya terus menurus, maka
dihukumi darah haid.22
Jadi menurut pendapat yang paling kuat, tidak ada batasan
minimal atau maksimal lamanya masa haid.
Firman Allah subhanahu wa ta'ala:

ِ‫له َّن‬
ُ ُ‫ِوََلِتَ ِْق َرب‬
َ ‫اءِفيِال َْمحيض‬ َ ‫ِه َلِأَذًىِفَا ْعتَزلُلاِالن‬
َ ‫ِّس‬ ُ ‫ِعنِال َْمحيضِقُ ْل‬
َ ‫ك‬َ َ‫َويَ ْسأَلُلن‬

ِ‫ين‬
َ ‫َّلاب‬ ُِّ ‫ َّ ِأ ََم َرُك ُم ِاللَّهُ ِإ َّن ِاللَّ َه ِيُح‬
َّ ‫ب ِالت‬ ُ ‫ِح ْي‬ ُ ُ‫َّر َن ِفَأْت‬
َ ‫له َّن ِم ْن‬ ْ ‫َحتَّىِيَط ُْه ْر َن ِفَإذَاِتَطَه‬
ِ‫ين‬
َ ‫بِال ُْمتَطَ ِّهر‬
ُّ ‫َويُح‬
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “haid itu
adalah suatu kotoran”, oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan
diri dari wanita di waktu haid, dan janganlah kamu mendekati mereka,
sebelum mereka suci…” 23.

22
Majmu’ Fatawa 21/623
23
QS. Al-Baqarah : 222
- 17 -
Dalam ayat ini perintah untuk menjauhi wanita di masa
haidnya tidak diberikan batasan waktu tertentu. Intinya wanita
tersebut bisa disetubuhi jika telah suci. Sebab hukum dalam
ayat ada atau tidak adanya darah haid. Jika didapati darah haid,
maka tidak boleh menyetubuhi istrinya. Namun jika sudah suci
halal baginya menyetubuhi istrinya.
Diriwayatkan dalam shahih Muslim bahwa Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Aisyah
yang haid ketika dalam keadaan Ihram untuk umrah:

ِ 24ِ‫طْ ُهري‬ َ ‫اجِغَْي َرِأَ ْنَِلَِتَ ِطُْلفيِبالبَ ْي‬


ِ َ‫تِحتَّىِت‬ ُّ ‫ِالح‬
َ ‫ِماِيَ ْف َع ُل‬
َ ‫افْ َعل ْي‬
“lakukankanlah apa yang dilakukan jamaah haji, hanya saja
jangan melakukan thawaf di Ka’bah sebelum kamu suci”.
Dalam shahih Al-Bukhari, diriwayatkan bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Aisyah:

ِ 25‫ِفَإذَاِطَ ُه ْرتِفَا ْخ ُرجيِإلَىِالتَ ْنع ْيم‬،‫ي‬


ْ ‫انْتَظِر‬
“Tunggulah, jika kamu suci, maka keluarlah ke Tan’im”.

24
HR.Muslim,4/30 no.1211
25
HR. Bukhari, 3/5 no 1787
- 18 -
Dalam hadits ini, Nabi Muhammad Shallahu’alaihi
wasallam menjadi kesucian sebagai batas akhir larangan, bukan
suatu masa tertentu. Hal ini menunjukan, bahwa hukum
tersebut berkaitan dengan ada atau tidak adanya darah haid.

6. Haid Wanita Hamil


Pada umumnya, seorang wanita jika dalam keadaan hamil
akan berhenti haid (menstruasi). Kata Imam Ahmad
rahimahullah: “kaum wanita dapat mengetahui adanya
kehamilan dengan berhentinya haid”.26
Apabila wanita hamil mengeluarkan darah sesaat sebelum
melahirkan (dua atau tiga hari) dengan di sertai rasa sakit, maka
darah tersebut adalah darah nifas, tetapi jika terjadi jauh hari
sebelum kelahiran atau mendekati kelahiran tapi tidak disertai
rasa sakit, maka darah itu bukan darah nifas. Jika bukan darah
nifas, apakah itu termasuk darah haid yang berlaku pula
baginya hukum-hukum haid atau disebut darah kotor yang

26
Muhammad bin Shalih Utsaimin, Risalah fii Dimaait thabi’iiyah lilnisa,hal.7

- 19 -
hukumnya tidak seperti hukum darah haid? ada perbedaan
pendapat di antara para ulama dalam masalah ini.27
Dan pendapat yang benar, bahwa darah tadi adalah darah
haid apabila terjadi pada wanita menurut waktu haidnya.
Sebab, pada prinsipnya, darah yang keluar dari rahim wanita
adalah darah haid selama tidak ada sebab yang menolaknya
sebagai darah haid. Dan tidak ada keterangan dalam Al Qur’an
maupun Sunnah yang menolak kemungkinan terjadinya haid
pada wanita hamil.28
Inilah pendapat Imam Malik dan As Syafi'i, juga menjadi
pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. 29
Adapun jika ditemui darah yang keluar dari wanita hamil,
hal ini mengandung beberapa kemungkinan :
1. Apabila wanita hamil mengeluarkan darah sesaat
sebelum melahirkan dua atau tiga hari dengan disertai
rasa sakit, maka darah tersebut adalah darah nifas.

27
Muhammad bin Shalih Utsaimin, Risalah fii Dimaait thabi’iiyah lilnisa,hal.9

28
Muhammad bin Shalih Utsaimin, Risalah fii Dimaait thabi’iiyah lilnisa,hal.9

29
Ikhtiyar, hal 30
- 20 -
Tetapi jika terjadi jauh hari sebelum kelahiran atau
mendekati kelahiran namun tidak disertai rasa sakit,
maka darah tersebut bukan darah nifas.
2. Jika bukan demikian, maka ada dua kemungkinan :
a) Jika darah keluar pada waktu haid tiap bulannya ,
maka itu adalah darah haid.
b) Jika tidak, maka itu adalah darah istihadhah, karena
pada dasarnya wanita hamil tidak haid.

7. Mengetahui Tanda Suci dari Haid


Seorang wanita dianggap suci dari haid apabila terdapat
salah satu dari dua tanda antara lain.

1. Keluarnya cairan bening

Sebagian wanita masa sucinya bisa diketahui dengan


keluarnya cairan bening, namun sebagian lainnya tidak
melihatnya, akan tetapi dengan mengeringnya daerah
kewanitaannya menjadi tanda masa sucinya dari haid.30

30
Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah: 23/278.
- 21 -
2. Berhentinya darah haid, bahkan jika seorang wanita
menempelkan kapas atau semacamnya pada tempat
keluarnya haid, kapas tersebut bersih tidak ada sisa
darah, flek kecoklatan atau kekuningan.

Jika darah haid sudah berakhir dan tempat keluarnya


sudah mongering dengan sempurna, maka anda sudah suci dari
haid, kemudian janganlah dihiraukan jika ada cairan kuning
atau lainnya yang keluar setelahnya, berdasarkan hadits Ummu
‘Athiyah –radhiyallahu ‘anha- berkata:

31
‫الص ْف َرةَِ بَ ْع َِد الطُّ ْهرِ َش ْيئًا‬
ُّ ‫ُكنَّا ََِل نَعُ ُِّد الْ ُك ْد ََةَِ َو‬

“Kami dahulu tidak menghiraukan flek kecoklatan dan


kekuningan yang keluar setelah masa suci”.

Imam Nawawi –rahimahullah- berkata: “Tanda


berakhirnya haid dan keberadaan masa sucinya, bahwa
keluarnya darah dan flek kekuningan dan kecoklatan akan

31
HR. Abu Daud: 307 dan dishahihkan oleh Syeikh Albani

- 22 -
terhenti, jika sudah terhenti maka seorang wanita dianggap
sudah suci, meskipun setelahnya keluar cairan bening atau
tidak”. 32

Syaikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- berkata:

“Jika pada diri seseorang banyak terdapat keragu-


raguan, sehingga tidaklah dia melakukan apapun kecuali dia
merasa ragu-ragu, jika dia berwudhu’ ragu-ragu, jika shalat
ragu-ragu, berpuasa menjadi ragu, maka dalam hal ini tidak
perlu dihiraukan; karena yang demikian itu merupakan
penyakit. Pembicaraan kita ini diperuntukkan bagi seseorang
yang sehat dari penyakit, adapun seorang peragu akalnya
dianggap tidak stabil, maka tidak perlu dihiraukan”.33

8. Hal-hal di luar kebisaan haid


Ada beberapa hal yang terjadi di luar kebiasaan haid:

32
Al Majmu’: 2/562

33
Asy Syarhul Mumti’: 3/379
- 23 -
A. Bertambah atau berkurangnya masa haid.
Misalnya, seorang wanita biasanya haid selama enam
hari, tetapi tiba-tiba haidnya berlangsung sampai tujuh
hari. Atau sebaliknya, biasanya haid selama tujuh hari,
tetapi tiba-tiba suci dalam masa enam hari.
B. Maju atau mundur waktu datangnya haid.
Misalnya, seorang wanita biasanya haid pada akhir bulan
lalu, tiba-tiba haid datang pada awal bulan. Atau
biasanya haid pada awal bulan, lalu tiba-tiba haid datang
pada akhir bulan.
Para ulama berbeda pendapat dalam menghukumi kedua
hal di atas. Namun pendapat yang benar, bahwa seorang
wanita jika mendapatkan darah (haid) maka dia dalam keadaan
haid dan jika tidak mendapatkannya berarti dia dalam keadaan
suci, meskipun masa haidnya melebihi atau kurang dari
kebiasaannya.34 Dan telah disebutkan dalam pasal terdahulu
dalil yang memperkuat pendapat ini, yaitu bahwa Allah telah
mengaitkan hukum-hukum haid dengan keberadaan haid.

34
Muhammad bin Shalih Utsaimin, Risalah fii Dimaait thabi’iiyah lilnisa,hal.10

- 24 -
Pendapat tersebut merupakan madzhab Imam Asy Syafi'i
dan menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Pengarang
kitab Al Mughni pun ikut menguatkan pendapat ini dan
membelanya, ia berkata: “Andikata adat kebiasaan menjadi
dasar pertimbangan, menurut yang disebutkan dalam
madzhab, niscaya dijelaskan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
kepada umatnya dan tidak akan ditunda-tunda lagi
penjelasannya, karena tidak mungkin beliau menunda-nunda
penjelasan pada saat dibutuhkan. Istri-istri beliau dan kaum
wanita lainnya pun membutuhkan penjelasan itu pada setiap
saat, maka beliau tidak akan mengabaikan hal itu. Namun,
ternyata tidak ada riwayat yang menyatakan bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyebutkan tentang adat
kebiasaan ini atau menjelaskannya kecuali yang berkenaan
dengan wanita yang istihadhah saja.35

35
Muhammad bin Shalih Utsaimin, Risalah fii Dimaait thabi’iiyah lilnisa,hal.10

- 25 -
C. Darah berwarna kuning atau keruh
Yakni seorang wanita mendapatkan darahnya berwarna
kuning seperti nanah atau keruh antara kekuning-
kuningan dan kehitam-hitaman. Jika hal ini terjadi pada
saat haid atau bersambung dengan haid sebelum suci,
maka itu adalah darah haid dan berlaku baginya hukum-
hukum haid. Namun jika terjadi sesudah masa suci,
maka itu bukan darah haid. Berdasarkan riwayat yang
disampaikan oleh ummu 'Athiyah Radhiyalluhu ‘Anha:

ًِ ‫ِوال ُك ْد ََةِبَ ْع َدِالطُّ ْهرِ َش ْي‬


ِ 36‫ئا‬ ُّ ‫ُكنَّاَِلَِنُع ُّد‬
َ َ‫ِالص ْف َرة‬
“Kami tidak menganggap sesuatu apapun (haid) darah yang
berwarna kuning atau keruh sesudah masa suci”

Hadits ini diriwayatkan Abu Dawud dengan sanad


shahih. Diriwayatkan pula oleh Al Bukhari tanpa
kalimat “sesudah masa suci”, tetapi beliau sebutkan dalam
“Bab: Darah Warna Kuning Atau Keruh Di luar Masa
Haid” dan dalam fathul Baari dijelaskan: “itu merupakan

36
HR. Sunan Abu Dawud.
- 26 -
isyarat Al Bukhari umtuk memadukan antara hadits
Aisyah yang menyatakan, “sebelum kamu melihat lendir
putih” dan hadits Ummu Athiyah yang disebutkan
dalam bab ini, bahwa maksud hadits Aisyah adalah saat
wanita mendapatkan darah berwarna kuning atau keruh
pada masa haid. Adapun di luar masa haid, maka
menurut apa yang disampaikan Ummu Athiyah”.

D. Darah haid keluar secara terputus-putus


Yakni sehari keluar darah dan sehari tidak keluar. Dalam
hal ini terjadi 2 kondisi:
1. Jika kondisi ini selalu terjadi pada seorang wanita
setiap waktu, maka darah itu adalah darah istihadhah.
2. Jika kondisi ini tidak selalu terjadi pada seorang
wanita tetapi kadang kala saja datang dan dia
mempunyai saat suci yang tepat. Maka para ulama
berbeda pendapat dalam menentukan kondisi ketika
tidak keluar darah. Apakah hal ini merupakan masa
suci atau termasuk dalam hukum haid?37

37
Muhammad bin Shalih Utsaimin, Risalah fii Dimaait thabi’iiyah lilnisa,hal.11
- 27 -
Madzhab Imam Asy Syafi'i, menurut salah satu
pendapatnya yang paling shahih, bahwa hal ini masih
termasuk dalam hukum haid, pendapat ini pun menjadi
pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan pengarang
kitab Al Faiq, juga merupakan madzhab Imam Abu
Hanifah. Sebab, dalam kondisi seperti ini tidak
didapatkan lendir putih; kalaupun dijadikan sebagai
keadaan suci berarti yang sebelumnya adalah haid yang
sesudahnyapun haid, dan tak ada seorangpun yang
menyatakan demikian, karena jika demikian niscaya
masa iddah dengan perhitungan Quru’ (haid atau suci)
akan berakhir dalam masa lima hari saja. Begitu pula jika
dijadikan sebagai keadaan suci, niscaya akan
merepotkan dan menyulitkan karena harus mandi dan
lain sebagainya setiap dua hari; padahal syariat tidaklah
itu menyulitkan. Walhamdulillah.38
Adapun yang masyhur menurut madzhab pengikut
Imam Ahmad bin Hanbal, jika darah keluar berarti

38
Muhammad bin Shalih Utsaimin, Risalah fii Dimaait thabi’iiyah lilnisa,hal.11

- 28 -
darah haid dan jika berhenti berarti suci; kecuali apabila
jumlah masanya melampaui jumlah maksimal masa
haid, maka darah yang melampaui itu adalah darah
Istihadhah.39
Dikatakan dalam kitab Al Mughni: “jika berhentinya
darah kurang dari sehari maka seyogyanya tidak
dianggap sebagai keadaan suci. Berdasarkan riwayat
yang kami sebutkan berkenaan dengan nifas, bahwa
berhentinya darah yang kurang dari sehari tak perlu
diperhatikan. Dan inilah yang shahih, insyaallah. Sebab,
dalam keadaan keluarnya darah yang terputus-putus
(sekali keluar, sekali tidak) bila diwajibkan mandi bagi
wanita pada setiap saat berhenti keluarnya darah tentu
hal itu menyulitkan, 40padahal Allah subhanahu wa ta'ala
berfirman:
Atas dasar ini, berhentinya darah yang kurang dari sehari
bukan merupakan keadaan suci kecuali jika si wanita

39
Muhammad bin Shalih Utsaimin, Risalah fii Dimaait thabi’iiyah lilnisa,hal.11

40
Muhammad bin Shalih Utsaimin, Risalah fii Dimaait thabi’iiyah lilnisa,hal.11

- 29 -
mendapatkan bukti yang menunjukkan bahwa ia suci.
Misalnya, berhentinya darah tersebut pada akhir masa
kebiasaannya atau ia melihat lendir putih.41

E. Terjadi pengeringan darah.


Yakni, si wanita tidak mendapatkan selain merasa
lembab atau basah (pada kemaluannya). Jika hal ini
terjadi pada saat masa haid atau bersambung dengan
haid sebelum masa suci, maka dihukumi sebagai haid.
Tetapi jika terjadi setelah masa suci, maka tidak
termasuk haid. Sebab, keadaan seperti ini paling tidak
dihukumi sama dengan keadaan darah berwarna kuning
atau keruh.42

41
Al Mughni, juz I, Hal: 355

42
Muhammad bin Shalih Utsaimin, Risalah fii Dimaait thabi’iiyah lilnisa,hal.12

- 30 -
DARAH NIFAS
B. Darah Nifas
1. Makna Nifas
Nifas adalah darah yang keluar dari rahim disebabkan
kelahiran, baik bersamaan dengan kelahiran itu, sesudahnya
atau sebelumnya (2 atau 3 hari) yang disertai rasa sakit.43
Sungguh telah bersepakat para ulama jika wanita sudah
mengetahui dia suci sebelum waktu 40 hari, maka dia wajib
mandi, sholat dan lain sudah dianggap suci.44
Para ulama berbeda pendapat tentang apakah masa nifas
itu ada batas minimal dan maksimalnya. Menurut Syaikh
Taqiyuddin dalam risalahnya "tentang sebutan yang dijadikan
kaitan hukum oleh pembawa syariat" hal. 37: “Nifas tidak ada
batas minimal maupun maksimalnya. Andaikata ada seorang
wanita mendapati darah lebih dari 40, 60 atau 70 hari dan
berhenti, maka itu adalah darah nifas. Namun jika berlanjut
terus maka itu adalah darah kotor, dan bila demikian yang

43
Sayyid Sabiq, Shahih Fiqih Sunnah,215

44
Sayyid Sabiq, Shahih Fiqih Sunnah,215

- 33 -
terjadi maka batasnya 40 hari, karena hal itu merupakan batas
umum sebagaimana dinyatakan oleh banyak hadits.

َ ُ‫ِصلَّىِاهلل‬
ِ‫ِعلَْيه‬ َ ‫َِ ُُللِالِلَّه‬
َِ ‫ىِع ْهد‬
َ َ‫ِعل‬ َ ‫ِ« َكانَتِالنُّ َف‬:‫ت‬
َ ُ‫ساء‬ ْ َ‫ُِلَ َمةَِقَال‬
َ َُِّ ‫َع ْنِأ‬

ً‫ينِلَْي ِلَ ِة‬ َّ


َ ‫ِأ َْوِأ ََْبَع‬-ِ‫ينِيَ ْلًما‬
َ ‫َو َُل َمِتَ ْقعُ ُدِبَ ْع َدِن َفاُ َهاِأ ََْبَع‬
45

Dahulu wanita di jaman Nabi Muhammad


Shalallahu’alaihi wasallam libur dari shalat selama 40 hari.

Kaidah yang perlu kita ketahui dalam masalah darah


nifas.
1. Batas Minimal
Tidak ada ketentuan waktu minimal sucinya wanita
dari darah nifas. Oleh karenanya kapan darah itu
berhenti walaupun baru berjalan 7 hari atau 10 hari
atau lebih sebentar dari itu, apabila sudah terlihat suci
maka di hukumi suci. Dan diwajibkan baginya
layaknya wanita suci setelah mandi wajib.
2. Batas Maksimal

45
HR. Abu Dawud no.307
- 34 -
Batas waktu maksimal terjadinya nifas adalah 40 hari.
Dihitung sejak hari pertama keluar darah saat
melahirkan. Jika darah berlanjut keluar melebihi 40
hari, maka dianggap suci.
Imam Tirmidzi mengatakan : Para ulama dari
kalangan sahabat Nabi Muhammad, tabi’in dan
generasi setelah mereka telah sepakat bahwa wanita –
wanita yang mengalami nifas, meninggalkan shalat
selama 40 hari. Kecuali apabila ia mendapatkan dirinya
suci sebelum waktu itu, maka dia mandi kemudian
suci.46
Nifas tidak dapat ditetapkan, kecuali jika si wanita
melahirkan bayi yang sudah berbentuk manusia, seandainya ia
mengalami keguguran dan janinnya belum jelas berbentuk
manusia maka darah yang keluar itu bukan darah nifas, tetapi
dihukumi sebagai darah penyakit. Karena itu yang berlaku
baginya adalah hukum wanita mustahadhah.

46
Hasyiah Raudhah Al Murbi’ 1/403
- 35 -
Minimal masa kehamilan sehingga janin berbentuk
manusia adalah 80 hari dihitung dari mulai hamil, dan pada
umumnya 90 hari.

2. Hukum Darah Haid dan Nifas adalah Najis hal ini


berdasarkan kesepakatan Ulama Dan Kaum
Muslimin.

- 36 -
HAL-HAL YANG DIHARAMKAN BAGI WANITA
HAID DAN NIFAS
C. Hal –hal yang diharamkan bagi wanita haid dan nifas
1. Larangan Shalat.
Diharamkan bagi wanita yang sedang haid mengerjakan
shalat, baik fardhu maupun sunnat dan jika ternyata
mengerjakan shalat, maka shalatnya tidak sah. Dan tidak
diperintahkan untuk mengqodho’nya waktu – waktu shalat
selama masa haid atau masa nifasnya.47
Sebagaumana Rasullullah bersabda :
ِ‫ِ«فَ َذلكِم ْن‬:‫ال‬
َ َ‫ِق‬،‫ِبَلَى‬:‫ْن‬
َ ‫ص ِْم»ِقُل‬
ُ َ‫ِولَ ْمِت‬
َ ‫ص ِّل‬
َ ُ‫تِلَ ْمِت‬
ْ ‫اض‬
َ ‫اِح‬ َ ‫أَلَْي‬
َ َ‫سِإذ‬
48
‫صانِدين َها‬
َ ‫نُ ْق‬
“Bukankah apabila wanita haid tidak shalat dan puasa. Kami
mengatakan Ya Rasullullah berkata : yang demikian itu menunjukan
kurangnya akal kaum wanita.

ِ–ِ‫ِم َعِالِنَّب ِّى‬ ُ ‫َح ُروَيَّةٌِأَنْتِ ُكنَّاِنَح‬


َ ‫يض‬ َ ‫تِأ‬
ْ َ‫تِفَ َقال‬ َ َ‫أَتَ ْجزىِإ ْح َدان‬
ْ ‫اِصَلَتَ َهاِإذَاِطَ ُه َر‬

ُ‫تِفََلَِنَ ْف َعلُِه‬
ْ َ‫صلىِاهللِعليهِوُلمِ–ِفََلَِيَأ ُْم ُرنَاِبهِ ِأ َْوِقَال‬

47
Sayyid Sabiq, shahih fiqih sunnah, hal 209
48
HR. Bukhari, no 308
- 38 -
“Apakah kami perlu mengqodho’ shalat kami ketika suci?”
‘Aisyah menjawab, “Apakah engkau seorang Haruri? Dahulu kami
mengalami haid di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih
hidup, namun beliau tidak memerintahkan kami untuk mengqodho’nya.
Atau ‘Aisyah berkata, “Kami pun tidak mengqodho’nya.”49
Tidak wajib baginya mengerjakan shalat kecuali jika ia
mendapatkan sebagian dari waktunya yang cukup untuk
mengerjakan satu rakaat sempurna, baik pada awal atau akhir
waktunya.
Contoh pada awal waktu, seorang wanita haid setelah
matahari terbenam tetapi ia sempat mendapatkan waktu
sebanyak satu rakaat dari waktunya. Maka wajib baginya
mengqadha shalat maghrib tersebut setelah suci, karena ia telah
mendapatkan sebagian dari waktunya yang cukup untuk satu
rakaat sebelum datangnya haid.50
Adapun contoh pada akhir waktu: seorang wanita suci dari
haid sebelum matahari terbit dan masih sempat mendapatkan
satu rakaat dari waktunya. Maka wajib baginya mengqadha

49
HR.Bukhari, no.321
50
Sayyid Sabiq, shahih fiqih sunnah, hal 210
- 39 -
shalat subuh tersebut setelah bersuci, karena ia masih sempat
mendapatkan sebagian dari waktunya yang cukup untuk satu
rakaat.
Namun jika wanita yang haid mendapatkan sabagian dari
waktu shalat yang tidak cukup untuk satu rakaat sempurna;
seperti kedatangan haid -pada contoh pertama– sesaat setelah
matahari terbenam, atau suci dari haid –pada contoh kedua–
sesaat sebelum matahari terbit, maka shalat tersebut tidak
wajib baginya. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam:
51
َّ ‫نِالصَلَةِفَ َق ْدِأَ ْد ََ َك‬
ِ‫ِالصَلَ َة‬ َ ‫ِ َم ْنِأَ ْد ََ َك‬
َّ ‫َِْك َعةًِم‬
“Barang siapa mendapatkan satu rakaat dari shalat, maka dia
telah mendapatkan shalat itu”.
Pengertiannya, siapa yang mendapatkan kurang dari satu
rakaat berarti tidak mendapatkan shalat tersebut.
Jika seorang wanita haid mendapatkan satu rakaat dari
waktu ashar, maka wajib baginya mengerjakan shalat dzhuhur
bersama ashar, atau mendapatkan satu rakaat dari waktu Isya’

51
Muttafaqun’alaihi
- 40 -
apakah wajib baginya mengerjakan shalat Maghrib bersama
Isya’ ?
Terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama dalam
masalah ini. Dan yang benar, bahwa tidak wajib baginya kecuali
shalat yang didapatkan sebagian waktunya saja yaitu shalat
Ashar dan shalat Isya’, karena sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam:
52
ِ‫ص َر‬ َ ‫سِفَ َق ْدِأَ ْد ََ َك‬
ْ ‫ِالع‬ َّ ‫ب‬
ُ ‫ِالش ْم‬ َ ‫صرِقَ ْب َلِأَ ْنِتَغْ ُر‬
ْ ‫نِالع‬ َ ‫َم ْنِأَ ْد ََ َك‬
َ ‫َِْك َعةًِم‬
“Barang siapa mendapatkan satu rakaat dari shalat Ashar sebelum
matahari terbenam, maka dia telah mendapatkan shalat Ashar”.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyatakan “maka ia
telah mendapatkan shalat Dzhuhur dan Ashar” juga tidak
menyebutkan kewajiban shalat Dzhuhur baginya. Dan
menurut kaidah: seseorang itu pada prinsipnya bebas dari
tanggungan. Inilah madzhab Imam Abi Hanifah dan Imam
Malik53, ".

52
Muttafaqun Ilahi
53
Syarh Al Muhadzdzab juz III, hal. 70
- 41 -
2. Larangan Puasa
Diharamkan bagi wanita yang sedang haid berpuasa, baik
puasa wajib maupun sunnat, dan tidak sah puasa yang
dilakukannya. Akan tetapi ia berkewajiban mengqadha’ puasa
yang wajib, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah
Radhiyallahu ‘anha:54

ِ‫ضاء‬
َ ‫ِوَلَ ِنُِ ْؤَم ُر ِب َق‬
َ َ‫ِالص ْل‬
َّ ‫ضاء‬
َ ‫ ِفَ نُ ْؤَم ُر ِب َق‬-‫تعني ِالحيض‬-ِ ‫ك‬
َ ‫ِ َكا َن ِيُص ْيبُ نَا ِذَل‬
55
ِ‫الصَلَة‬
َّ
“Ketika kami mengalami haid, diperintahkan kepada kami
mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan mengqadha’ shalat..

ُ ‫َح ُروَِيَّةٌ ِأَنْت ِقُل‬


ِ‫ْت‬ َ ‫ت ِأ‬
ْ َ‫ىِالصَلَ َة ِفَ َقال‬
َّ ‫ِوَلَ ِتَ ْقض‬
َ ََ ‫ىِالص ْل‬
َِّ ‫ْحائض ِتَ ْقض‬
َ ‫ال ِال‬
ُ َ‫َماِب‬

َِ‫ِوَل‬ ٍ
َ َ‫ص ْل‬
َّ ‫ضاء ِال‬
َ ‫ك ِفَ نُ ْؤَم ُر ِب َق‬
َ ‫تِ َكا َن ِيُصيبُ نَاِ َذل‬
ْ َ‫َل ِقَال‬
ُ ‫َُأ‬
ْ ‫ِولَكنِّىِأ‬
َ ‫ت ِب َح ُروَيَّة‬
ُ ‫لَ ْس‬

‫ِالصَلَة‬
َّ ‫ضاء‬
َ ‫نُ ْؤَم ُرِب َق‬
‘Kenapa gerangan wanita yang haid mengqadha’ puasa dan tidak
mengqadha’ shalat?’ Maka Aisyah menjawab, ‘Apakah kamu dari

54
Sayyid Sabiq, shahih fiqih sunnah, hal 210
55
HR.Muslim, no. 260
- 42 -
golongan Haruriyah? ‘ Aku menjawab, ‘Aku bukan Haruriyah, akan
tetapi aku hanya bertanya.’ Dia menjawab, ‘Kami dahulu juga
mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha’ puasa
dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’ shalat’.”56

Berdasarkan kesepakatan para ulama pula, wanita yang


dalam keadaan haid dan nifas tidak wajib puasa dan wajib
mengqodho’ puasanya. Jika seorang wanita kedatangan haid
ketika berpuasa maka batallah puasanya, sekalipun hal itu
terjadi sesaat menjelang Maghrib, dan wajib baginya
mengqadha puasa hari itu, jika puasa tersebut puasa wajib.
Namun jika ia merasakan tanda-tanda akan datangnya haid
sebelumnya, tetapi darah baru keluar setelah Maghrib, maka
menurut pendapat yang shahih bahwa puasanya itu sempurna
dan tidak batal, alasannya, darah yang masih dalam rahim
belum ada hukumnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika
ditanya tentang wanita yang bermimpi dalam tidur seperti
mimpinya orang laki-laki, apakah wajib mandi? beliaupun
menjawab:

56
HR. Muslim no. 335
- 43 -
ِ 57‫ل‬
ِْ ‫اءِفَلْتَ غْتَس‬
َ ‫ِالم‬
َ ‫َِأَت‬
َ ‫ِإذَاِه َي‬،‫نَ َع ْم‬
"Ya, jika wanita itu melihat adanya air maka mandilah”.

Dalam hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam


mengaitkan hukum dengan air, bukan dengan tanda-tanda
akan keluarnya. Demikian pula masalah haid, tidak berlaku
hukum-hukumnya kecuali dengan melihat adanya darah
keluar, bukan dengan tanda-tanda akan keluarnya.
Juga pada saat terbitnya fajar seorang wanita masih dalam
keadaan haid maka tidak sah berpuasa pada hari itu, sekalipun
ia suci sesaat setelah fajar. Tetapi jika suci menjelang fajar,
maka sah puasanya, sekalipun ia baru mandi setelah terbit fajar.

3. Larangan Thawaf.
Diharamkan bagi wanita yang sedang haid melakukan
thawaf di Ka’bah, baik yang wajib maupun sunnah, dan tidak
sah thawafnya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam kepada Aisyah:58

57
HR.Tirmidzi, no.122
58
Shalih bin Abdul Aziz, Fiqih Muyassar, hal.53
- 44 -
َ ‫اجِغَْي َرِأَ ْنَِلَِتَطُْلف ْيِبالبَ ْيت‬
‫ِحتَّيِتَط ُْهري‬ ُّ ‫ِالح‬
َ ‫ِماِيَ ْف َع ُل‬
َ ‫ِافْ َعل ْي‬
59

“Lakukanlah apa saja yang dilakukan jamaah haji, hanya saja


jangan melakukan thawaf di Ka’bah sebelum kamu suci.”
Adapun kewajiban lainnya seperti sa’i antara Shafa dan
marwah, wukuf di Arafah, bermalam di Muzdalifah dan Mina,
melempar jumrah dan amalan haji dan umrah selain itu, tidak
diharamkan. Atas dasar ini, jika seorang wanita melakukan
thawaf dalam keadaan suci, kemudian keluar darah haid
langsung setelah thawaf atau di tengah-tengah melakukan sa’i,
maka tidak apa-apa hukumnya.
Adapun thawaf untuk haji dan umrah tetap wajib bagi
wanita yang sedang haid, dan dilakukan setelah suci. Akan
tetapi bagi wanita haid, baik untuk haji maupun umrah
hukumnya sah dan dibolehkan. Yang perlu dilakukan, ketika
wanita haid sampai di miqat, hendaknya mandi dan istitsfar,
kemudian memulai ihram. Yang dimaksud istitsfar adalah
menggunakan pembalut lebih rapat, sehingga dipastikan tidak
ada darah yang merembet keluar ke celana.

59
HR. Bukhari, No.1650
- 45 -
Sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu
‘anhuma menceritakan kejadian yang dialami Asma’ bintu
Umais, istrinya Abu Bakr as-Shiddiq radhiyallahu ‘anhuma,
pada saat rombongan haji bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam tiba di Dzulhulaifah (Bir Ali). Jabir menceritakan,

ْ َ‫س ُم َح َّم َِد بْ َِن أَبى بَ ْك ٍِر فَأ ََْ َُل‬


ِ‫ت‬ ٍِ ‫ت عُ َم ْي‬
ُِ ‫اءُ ب ْن‬
ِ ‫َُ َم‬
ْ‫تأ‬ِْ ‫ْحلَْي َفةِ فَ َللَ َد‬
ُ ‫َحتَّى أَتَ ْي نَا َذا ال‬

‫اُتَثْفرى‬
ْ ‫ا ْغتَسلى َو‬: َِ‫َصنَ ُِع قَال‬ َِ ‫ َك ْي‬- ‫ صلى اهلل عليه وُلم‬-ِ‫إلَى ََ ُُللِ اللَّه‬
ْ ‫فأ‬

‫َحرمى‬ ٍِ ‫بثَ ْل‬


ْ ‫ب َوأ‬
Ketika kami sampai di Dzulhulaifah, Asma bintu Umais
melahirkan Muhammad bin Abu Bakr. Kemudian beliau
menyuruh orang untuk bertanya kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, ‘Apa yang harus saya lakukan?’ jawab
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Mandilah dan lakukanlah
istitsfar dengan kain, dan mulailah ihram.”60

60
HR. Muslim, no.3009
- 46 -
Meskipun hadist Asma’ bintu Umais terkait orang nifas,
namun ini berlaku untuk wanita haid, karena hukumnya sama
dengan sepakat ulama.
Dalil lain bolehnya ihram dalam kondisi haid adalah
peristiwa yang dialami A’isyah radhiyallahu ‘anha. Beliau
menceritakan perjalanan hajinya bersama Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. “Kami berangkat dengan niat haji. Ketika
sampai di daerah Saraf, aku mengalami haid.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menemuiku sedang
nangis.”“Kamu kenapa? Apa kamu haid?” tanya
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Benar.” Jawab A’isyah.
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

َ‫ غَْي َِر أَ ِْن َِل‬، ‫اج‬


ُِّ ‫ْح‬ َ ِ‫إ َِّن َه َذا أ َْم ٌِر َكتَبَ ِهُ اللَِّهُ َعلَى بَنَات‬
َ ‫ فَاقْضى َما يَ ْقضى ال‬، ََِ ‫آد‬

ِ‫تَطُلفى بالْبَ ْيت‬

Haid adalah kondisi yang Allah takdirkan untuk putri Adam.


Lakukan seperti yang dilakukan jamaah haji, hanya saja jangan
melakukan thawaf di ka’bah.61

61
HR. Bukhari,No 294, Muslim, no.2976.

- 47 -
Dalam riwayat Muslim terdapat tambahan,

ِ‫الص َفا َوال َْم ْرَوة‬


َّ ‫ت بالْ َك ْعبَةِ َو‬
ِْ َ‫ت طَاف‬
ِْ ‫ف َحتَّى إذَا طَ َه َر‬
َِ ‫ت َوَوقَ َفتِ ال َْم َلاق‬
ِْ َ‫فَ َف َعل‬

Aisyah pun melakukannya, beliau melaksanakan semua


aktivitas orang haji. Hingga ketika beliau telah suci, bliau
thawaf di ka’bah dan sa’i antara shafa dan marwah.62 Ini
menunjukkan bahwa wanita yang mengalami haid ketika
umrah dan belum melakukan thawaf, maka dia boleh
melakukan kegiatan apapun, selain thawaf, sa’i dan masuk
masjidil haram. Dia menunggu sampai suci dan mandi haid.
Setelah itu, baru dia thawaf dan sa’i.Karena thawaf tidak boleh
dilakukan dalam kondisi hadats, menurut pendapat jumhur
ulama.
Ibnu Qudamah menyebutkan,

‫الطهاَة من الحدث والنجاُة والستاَة شرائط لصحة الطلاف في المشهلَ عن‬

‫أحمد وهل قلل مالك و الشافعي‬

62
HR. Muslim, no 2996.

- 48 -
Suci dari hadats, dan najis serta memakai pakaian adalah
syarat sah thawaf menurut pendapat yang masyhur dari Imam
Ahmad. Dan ini pendapat Malik dan as-Syafi’i.63
Jika ternyata haid tidak berhenti sampai batas akhir dia di
mekah, apa yang harus dilakukan? Para ulama memberikan
rincian
1. Jika memungkinkan baginya untuk kembali ke Mekah
setelah suci, maka dia tetap ihram, lalu pulang. Dan
setelah suci, dia kembali lagi ke Mekah untuk thawaf
dan sa’i. Ini berlaku untuk mereka yang tinggal tidak
jauh dari Mekah.
2. Jika tidak memungkinkan baginya untuk kembali ke
Mekah, seperti jamaah umrah Indonesia, maka dia bisa
thawaf dan sa’i sebelum meninggalkan Mekah,
meskipun dalam kondisi haid.

Pertama, kaidah dalam islam, Allah perintahkan agar kita


bertaqwa kepada-Nya semampunya,

63
Al-Mughni, 3/397

- 49 -
Allah berfirman,

ْ ‫فَاتَّ ُقلا اللَِّهَ َما‬


ِ‫اُتَطَ ْعتُ ْم‬

“Bertaqwalah kepada Allah semampu kalian.” 64

Kedua, tidak membebani hamba-Nya melebihi


kemampuannya. Sehingga ada aturan yang melebihi
kemampuan manusia, dia bisa terpaksa tidak sejalan
dengannya. Allah berfirman,
‫سا إ ََِّل ُو ُْ َع َها‬ َّ ُِ ِّ‫ََِل يُ َكل‬
ً ‫ف الل ِهُ نَ ْف‬
“Allah tidak membebani jiwa melebihi kemampuannya.”65

Ketiga, bahwa semua syarat dan rukun dalam ibadah,


tergantung pada kemampuan. Ketika ada yang tidak mampu
dilakukan, maka dia melakukan penggantinya, jika ada syariat
penggantinya (badal). Seperti tayamum sebagai pengganti

64
QS. at-Taghabun: 16

65
QS. al-Baqarah: 286.
- 50 -
wudhu. Dan jika tidak ada badalnya, maka gugur tanggung
jawab itu.
Sementara suci dari haid adalah syarat sah thawaf.
Sehingga ketika ini tidak bisa dihilangkan karena tidak
berhenti, maka gugur tanggung jawab dia menunggu suci haid.
Ketika Ibnul Qoyim menjelaskan kaidah ini, beliau
mengatakan,
‫ ؛ إذ غايته‬-َ‫ بل يلافقها – كما تقد‬،‫ليس في هذا ما يخالف قلاعد الشرع‬

‫ وَل‬،‫ وَل واجب في الشريعة مع عجز‬،‫ أو الشرط بالعجز عنه‬،‫ُقلط اللاجب‬

‫حراَ مع ضروَة‬

Dalam kasus ini tidak ada yang menyalahi kaidah syariat.


bahkan sejalan dengan kaidah syariat. Karena hakekat yang
terjadi, gugurnya kewajiban atau gugurnya syarat ketika tidak
mampu. Dan dalam syariat, tidak kewajiban yang tidak mampu
dikerjakan dan tidak ada larangan melanggar yang haram dalam
kondisi darurat. 66

66
I’lam al-Muwaqqi’in, 3/20
- 51 -
4. Larangan Thawaf wada’
Jika seorang wanita mengerjakan seluruh manasik haji dan
umrah, lalu datang haid sebelum keluar untuk kembali ke
negerinya dan haid ini terus berlangsung sampai batas waktu
pulang, maka ia boleh berangkat tanpa thawaf wada’. Dasarnya
hadits Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma:
67
ِ‫ِالحائض‬
َ ‫ِعن‬ َ ‫ِخ ِّف‬
َ ‫ف‬ ُ ُ‫ِع ْهده ْمِبالبَ ْيتِإَلَِّأَنَّه‬
َ ‫َّاسِأَ ْنِيَ ُك ْل َنِآخ َر‬
ُ ‫أُم َرِالن‬
“Diperintahkan kepada jamaah haji saat-saat terakhir bagi
mereka berada di baitullah (melakukan thawaf wada’), hanya saja hal
ini tidak dibebankan kepada wanita yang sedang haid.”

5. Larangan Berdiam dalam masjid


Diharamkan bagi wanita yang sedang haid berdiam dalam
masjid. Berdasarkan hadits Ummu Athiyah Radhiyallahu ‘anha
bahwa ia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ِ‫صلَّى‬
َ ‫ِالم‬
ُ ‫ض‬ ُ َّ‫ِالحي‬
ُ ‫ِويَ ْعتَز ُل‬:‫ِوفيه‬،
َ َ‫ِوذَ َواتِِال ُخ ُد ْو‬
َ ‫ِالع َلات َق‬
َ ‫ج‬ ُ ‫ْخر‬

67
Muttafaqun ‘alah
- 52 -
“Agar keluar para gadis, perawan dan wanita haid… tetapi wanita
yang sedang haid menjahui tempat shalat” 68

6. Larangan Jima’ ( senggama)


Diharamkan bagi suami melakukan jima’ dengan istrinya
yang sedang haid, dan diharamkan bagi istri memberi
kesempatan kepada suaminya melakukan hal tersebut.

Dalilnya firman Allah subhanahu wa ta'ala:

ِ‫ِوََِل‬
َ ‫اء ِفي ِال َْمحيض‬ َ ‫ِه َل ِأَذًى ِفَا ْعتَزلُلا ِالن‬
َ ‫ِّس‬ ُ ‫ِعن ِال َْمحيض ِقُ ْل‬
َ ‫ك‬َ َ‫َويَ ْسأَلُلن‬

ُّ ‫ َّ ِأ ََم َرُك ُم ِاللَّهُ ِإ َّن ِاللَّ َه ِيُح‬


ِ‫ب‬ ُ ‫ِح ْي‬ ُ ُ‫َّر َن ِفَأْت‬
َ ‫له َّن ِم ْن‬ ْ ‫ِحتَّىِيَ ِطْ ُه ْر َن ِفَإذَاِتَطَه‬
َ ‫له َّن‬
ُ ُ‫تَ ْق َرب‬
69
ِ‫ين‬
َ ‫بِال ُْمتَطَ ِّهر‬
ُّ ‫ِويُح‬
َ ‫ين‬
َ ‫َّلاب‬
َّ ‫الت‬
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid, katakanlah: “haid
itu suatu kotoran: oleh sebab itu hendaklah engkau menjauhkan diri

68
Muttafaqun ‘alaih

69
QS. Al Baqarah : 222
- 53 -
dari wanita di waktu haid dan janganlah kamu mendekati mereka
sebelum mereka suci…" .
Yang dimaksud dengan “ ‫ " المحيض‬dalam ayat di atas
adalah waktu haid atau tempat keluarnya darah haid, yaitu: farji
(vagina).
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Kaum muslimin
sepakat akan haramnya menyetubuhi wanita haid berdasarkan
ayat Al Qur’an dan hadits-hadits yang shahih.”70
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Menyetubuhi wanita
nifas adalah sebagaimana wanita haid yaitu haram berdasarkan
kesepakatan para ulama.” 71
Allah Ta’ala berfirman,
ِ‫اءِفيِال َْمحيض‬
72
َ ‫ِّس‬
َ ‫فَا ْعتَزلُلاِالن‬
“Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari
(hubungan intim dengan) wanita di waktu haid.”

70
Al Majmu’, 2: 359
71
Majmu’ Al Fatawa, 21: 624

72
QS. Al Baqarah: 222
- 54 -
Imam Nawawi berkata, “Mahidh dalam ayat bisa bermakna
darah haid, ada pula yang mengatakan waktu haid dan juga ada
yang berkata tempat keluarnya haid yaitu kemaluan. … Dan
menurut ulama Syafi’iyah, maksud mahidh adalah darah haid.73”
Dalam hadits disebutkan,
-ِ‫ىِم َح َّم ٍِد‬ َ ‫ىِدبُرَهاِأ َْوِ َكاهنًاِفَ َق ْدِ َك َف َرِب َماِأُنْز َل‬
ُ َ‫ِعل‬ ُ ‫ِام َرأَ ًةِف‬
ْ ‫ضاِأَو‬ َ َ‫َم ْنِأَت‬
ً ‫ىِحائ‬

-‫صلىِاهللِعليهِوُلم‬

“Barangsiapa yang menyetubuhi wanita haid atau menyetubuhi


wanita di duburnya, maka ia telah kufur terhadap apa yang diturunkan
kepada Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.”74
Al Muhamili dalam Al Majmu’ (2: 359) menyebutkan
bahwa Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata, “Barangsiapa
yang menyetubuhi wanita haid, maka ia telah terjerumus dalam
dosa besar.” Hubungan seks yang dibolehkan dengan wanita
haid adalah bercumbu selama tidak melakukan jima’
(senggama) di kemaluan. Dalam hadits disebutkan,

73
Al Majmu’, 2: 343

74
HR. Tirmidzi no. 135, Ibnu Majah no. 639.
- 55 -
ٍ
َ ‫اصنَ عُلاِ ُك َّلِ َش ْىءِإَلَِّالنِّ َك‬
ِ‫اح‬ ْ
“Lakukanlah segala sesuatu (terhadap wanita haid) selain jima’
(di kemaluan).” 75
Dalam riwayat yang muttafaqun ‘alaih disebutkan,
ِ‫للِاللَّهِ–ِصلىِاهلل‬
ُ ُُ َِ
َ ‫اد‬
َ َََ ‫ِفَأ‬،ِ‫ضا‬
ً ‫ِحائ‬
َ ‫ت‬ْ َ‫تِإ ْح َدانَاِإذَاِ َكان‬
ْ َ‫تِ َكان‬
ْ َ‫شةَِقَال‬
َ ‫ِعائ‬
َ ‫َع ْن‬

ِ‫ت‬
ْ َ‫ضت َهاِثُ َّمِيُبَاش ُرَهاِ ِقَال‬ َ َ‫ِأ ََم َرَهاِأَ ْنِتَتَّزََِفىِفَ ْل‬،ِ‫عليهِوُلمِ–ِأَ ْنِيُبَاش َرَها‬
َ ‫ِح ْي‬

ُ‫كِإ َْبَِه‬ ُ ‫َوأَيُّ ُك ْمِيَ ْمل‬


ُ ‫كِإ َْبَهُِ َك َماِ َكا َنِالنَّب ُّىِ–ِصلىِاهللِعليهِوُلمِ–ِيَ ْمل‬
Dari ‘Aisyah, ia berkata bahwa di antara istri-istri
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ada yang mengalami haid.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin bercumbu
dengannya. Lantas beliau memerintahkannya untuk memakai
sarung agar menutupi tempat memancarnya darah haid,
kemudian beliau tetap mencumbunya (di atas sarung). Aisyah
berkata, “Adakah di antara kalian yang bisa menahan hasratnya
(untuk berjima’) sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
menahannya?” 76 .

75
HR. Muslim no. 302)
76
HR. Bukhari no. 302 dan Muslim no. 293
- 56 -
Imam Nawawi menyebutkan judul bab dari hadits di atas,
“Bab mencumbu wanita haid di atas sarungnya”. Artinya di
selain tempat keluarnya darah haid atau selain kemaluannya.

7. Larangan Menyentuh mushaf Al Qur’an


Orang yang berhadats (hadats besar atau hadats kecil) tidak
boleh menyentuh mushaf seluruh atau sebagiannya. Inilah
pendapat para ulama empat madzhab. Dalil dari hal ini adalah
firman Allah Ta’ala,

ُ ‫سهُِإ ََّلِال ُْمطَه‬


ِ‫َّرو َن‬ ُّ ‫ََلِيَ َم‬
“Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan” 77
Begitu pula sabda Nabi ‘alaihish sholaatu was salaam,
ِ‫تِطَاه ٌر‬ َ َّ‫سِال ُق ْرآنِإَل‬
َ ْ‫ِوأَن‬ ُّ ‫َلَِتَ ُم‬
“Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali engkau dalam
keadaan suci.”78

77
QS. Al Waqi’ah: 79
78
HR. Al Hakim dalam Al Mustadroknya, beliau mengatakan bahwa sanad hadits ini
shahih
- 57 -
Bagaimana dengan membaca Al Qur’an? Para ulama
empat madzhab sepakat bolehnya membaca Al Qur’an bagi
orang yang berhadats baik hadats besar maupun kecil selama
tidak menyentuhnya. Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata,
“Diperbolehkan bagi wanita haid dan nifas untuk membaca Al
Qur’an menurut pendapat ulama yang paling kuat. Alasannya,
karena tidak ada dalil yang melarang hal ini. Namun,
seharusnya membaca Al Qur’an tersebut tidak sampai
menyentuh mushaf Al Qur’an. Kalau memang mau
menyentuh Al Qur’an, maka seharusnya dengan menggunakan
pembatas seperti kain yang suci dan semacamnya (bisa juga
dengan sarung tangan, pen). Demikian pula untuk menulis Al
Qur’an di kertas ketika hajat (dibutuhkan), maka
diperbolehkan dengan menggunakan pembatas seperti kain
tadi.”79

8. Larangan Menjatuhkan Talak


Diharamkan bagi seorang suami mentalak istrinya yang
sedang haid, berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta'ala:

79
Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 10: 209-210
- 58 -
ِ‫صلاِالْع َّد َة‬
ُ ‫َح‬ ُ ‫اءِفَطَلِّ ُق‬
َ ‫له َّنِلع َّدته َّن‬
ْ ‫ِوأ‬ َّ
َ ‫ِّس‬
َ ‫يَاأَيُّ َهاِالنَّب ُّيِإذَاِطَل ْقتُ ُمِالن‬
“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka
hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat
(menghadapi) iddahnya ( yang wajar)".80
Maksudnya, istri-istri itu ditalak dalam keadaan dapat
menghadapi iddah yang jelas. Berarti mereka tidak ditalak
kecuali dalam keadaan hamil atau suci sebelum digauli. Sebab
jika seorang istri ditalak dalam keadaan haid, ia tidak dapat
menghadapi iddahnya karena haid yang sedang dialami pada
saat jatuhnya talak itu tidak dihitung termasuk iddah.
Sedangkan jika ditalak dalam keadaan suci setelah digauli,
berarti iddah yang dihadapinya tidak jelas karena tidak dapat
diketahui apakah ia hamil karena digauli tersebut apakah tidak
hamil, jika ia hamil, maka iddahnya dengan kehamilan, dan jika
tidak hamil maka iddahnya dengan haid. Karena belum dapat
dipastikan jenis iddahnya, maka diharamkan bagi suami
mentalak istrinya sehingga jelas permasalah tersebut.

80
At Thalaq : 1
- 59 -
Jadi mentalak istri yang sedang haid haram hukumnya.
Berdasarkan ayat diatas dan hadits dari Ibnu Umar yang
diriwayatkan dalam shahih Al Bukhari dan Muslim serta kitab
hadits lainnya, bahwa ia telah menceraikan istrinya dalam
keadaan haid, maka Umar (bapaknya) mengadukan itu kepada
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Maka Nabipun marah dan
bersabda:
ِ‫ك‬
َ ‫اءِأ َْم َس‬
َ ‫ضِثُ َّمِتَط ُْه َرِثُ َِّمِإ ْنِ َش‬
َ ‫اِحتَّىِتَط ُْه َرِثُ َّمِتَح ْي‬
َ ‫ِ ُم ْرهُِفَ لْيُ َراج ْع َهاِثُ َّمِليُ ْمس ْك َه‬

ِ‫ْك ِالع َّدةُ ِالَّتي ِأ ََم َر ِاهلل ِأَ ْنِ تُطَلَّ َق ِلَ َها‬ َّ ‫اء ِطَلَّ َق ِقَ ْب َل ِأَ ْن ِيَ َم‬
َ ‫ ِ ِفَتل‬،‫س‬ َ ‫ِوإ ْن ِ َش‬
َ ،‫بَ ْع ُد‬

ُ‫اء‬
ِ ‫ِّس‬
َ ‫الن‬
81

“Suruh ia merujuk istrinya kemudian mempertahankannya sampai


ia suci, lalu haid, lalu suci lagi, setelah itu, jika ia mau, dapat
mempertahankannya atau mentalaknya sebelum digauli, karena itulah
iddah yang diperintahkan Allah dalam mentalak istri.”
Dengan demikian, berdosalah seorang suami andaikata
mentalak istrinya yang sedang haid. Ia harus bertaubat kepada
Allah subhanahu wa ta'ala dan merujuk istrinya untuk kemudian

81
HR. Bukhari, no.5251
- 60 -
mentalaknya secara syar’i sesuai dengan perintah Allah
subhanahu wa ta'ala dan Rasul-Nya. Yakni, setelah merujuk
istrinya hendaklah ia membiarkannya sampai suci dari haid
yang dialaminya ketika ditalak, kemudian haid lagi, setelah itu
jika ia menghendaki dapat mempertahankannya atau
mentalaknya sebelum digauli.
Dalam hal diharamkannya mentalak istri yang sedang haid,
ada tiga masalah yang dikecualikan:
1. Jika talak terjadi sebelum bersenggama dengan istri atau
sebelum menggaulinya (dalam keadaan pengantin baru
misalnya) maka boleh mentalaknya dalam keadaan haid.
Sebab dalam kasus demikian, istri tidak terkena iddah.
Maka talak tersebut tidak menyalahi firman Allah
subhanahu wa ta'ala:
ِ‫صلاِالْع َّد َة‬
ُ ‫َح‬ ُ ‫اءِفَطَلِّ ُق‬
َ ‫له َّنِلع َّدته َّن‬
ْ ‫ِوأ‬ َّ
َ ‫ِّس‬
َ ‫يَاأَيُّ َهاِالنَّب ُّيِإ َذاِطَل ْقتُ ُمِالن‬
“…Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu
mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar).82

82
At Thalaq : 1
- 61 -
2. Jika haid terjadi dalam keadaan hamil, sebagaimana yang
telah dijelaskan sebabnya pada pasal terdahulu.
3. Jika talak tersebut atas dasar iwadh (penggantian) maka
boleh bagi suami menceraikan istrinya dalam keadaan
haid.
Misalnya terjadi percekcokan dan hubungan yang tidak
harmonis lagi antara suami dan istri. Lalu si istri meminta
suami agar mentalaknya dan suami mendapat ganti rugi
karenanya, maka hal itu, sekalipun istri dalam keadaan haid
boleh, berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu:

ْ َ‫ِفَ َقال‬،‫ِو َُلَّ َم‬


ِ:‫ت‬ َ ُ‫ِصلَّىِاهلل‬
َِ ‫ِعلَْيه‬ ٍ ‫ِام َرأَ َةِثَابتِبْنِقَ ْي‬
َ ‫سِأَتَتِالنَّب َّي‬ ْ ‫َن‬َّ ‫ِأ‬،‫اس‬
ٍ َّ‫ِعب‬
َ ‫َعنِابْن‬

َ ‫يِخلُ ٍق‬
َ ‫ِوَلَِدي ٍن‬
ُِ‫ِولَكِنِّيِأَ ْك َره‬، ُ ‫ِعلَْيه ِف‬
َ ‫ب‬ُ ‫ِماِأَ ْعت‬،
َ ‫س‬ ُ ‫ِثَاب‬،‫لل ِاللَّه‬
ٍ ‫ت ِبْ ُن ِقَ ْي‬ َ ُُ َِ‫ا‬
َ َ‫ي‬
ِ‫ِعلَْيه‬
َ ‫ِّين‬ َّ َ ‫ِعلَْيه‬
َ ُ‫ِصلَّى ِاهلل‬
َ ‫لل ِاللَّه‬
َ ‫ ِ«أَتَ ُرد‬:‫ِو َُل َم‬ ُ ُُ َِ
َ ‫ال‬
َ ‫ ِفَ َِق‬،ََ‫ال ُك ْف َر ِفي ِاْل َُْل‬

َ ‫ِ«اقْبَل‬:‫ِو َُلَّ َم‬


ِ‫ِالحدي َق َة‬ َ ُ‫ِصلَّىِاهلل‬
َ ‫ِعلَْيه‬ َ ‫لل ِاللَّه‬
ُ ُُ َِ
َ ‫ال‬
َ َ‫ِق‬،‫ِنَ َع ْم‬:‫ت‬
ْ َ‫َحدي َقتَهُ؟»ِقَال‬

ٍِ َّ‫ِعب‬
))»‫اس‬ َ ِ‫ِ«َلَِيُتَابَ ُعِفيه‬:‫لِع ْبدِاللَّه‬
َ ‫ِع ْنِابْن‬ َ َ‫َوطَلِّ ْق َهاِتَطْلي َق ِةً»ِق‬
َ ُ‫الِأَب‬
“Bahwa istri Tsabit bin Qais bin Syammas datang kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “ Ya Rasulullah, sungguh
aku tidak mencelanya dalam akhlak maupun agamanya, tetapi aku
- 62 -
takut akan kekafiran dalam Islam” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bertanya: “ Maukah kamu mengembalikan kebunnya kepadanya?
Wanita itu menjawab: “Ya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: (kepada suaminya): “Terimalah kebun itu, dan ceraikanlah
ia"83
Dalam hadits tadi, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
bertanya apakah si istri sedang haid atau suci. Dan karena talak
ini dibayar oleh pihak istri dengan tebusan atas dirinya maka
hukumnya boleh dalam keadaan apapun, jika memang
diperlukan.
Dalam kitab Al mughni disebutkan tentang alasan
dibolehkannya khulu’ (cerai atas permintaan istri dengan
tebusan) dalam keadaan haid: “Dilarangnya talak dalam
keadaan haid karena adanya madharat (bahaya) bagi istri
dengan menunggu lamanya masa iddah. Sedang khulu’ adalah
untuk menghilangkan madharat (bahaya) bagi si istri
disebabkan adanya hubungan yang tidak harmonis dan sudah
tidak tahan tinggal bersama suami yang dibenci dan tidak
disenanginya. Hal ini tentu lebih besar madharatnya bagi si istri

83
HR. Bukhari, no.5273
- 63 -
daripada menunggu lamanya masa iddah, maka diperbolehkan
menghindari madharat yang lebih besar dengan menjalani
sesuatu yang lebih ringan madharatnya. Karena itu Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bertanya kepada wanita yang
meminta khulu’ tentang keadaannya.
Dan dibolehkan melakukan akad nikah dengan wanita
yang sedang haid, karena hal itu pada dasarnya adalah halal.
Dan tidak ada dalil yang melarangnya, namun perlu
dipertimbangkan bahwa suami tidak diperkenankan
berkumpul dengan istri yang sedang dalam keadaan haid. Jika
tidak dikhawatirkan akan menggauli istri yang sedang haid
tidak apa-apa. Sebaliknya, jika dikhawatirkan maka tidak
diperkenankan berkumpul dengannya sebelum suci untuk
menghindari hal-hal yang dilarang.

9. 'Iddah Talak Dihitung Dengan Haid.


Jika seorang suami menceraikan istri yang telah digauli atau
berkumpul dengannya, maka si istri harus beriddah selama tiga
kali haid secara sempurna apabila termasuk wanita yang masih

- 64 -
mengalami haid dan tidak hamil, hal ini berdasarkan pada
firman Allah subhanahu wa ta'ala:
ٍ ‫اتِي ت ربَّصنِبأَنْ ُفسه َّنِثَََلثَةَِقُر‬
ِ‫وء‬ َّ
ُ َ ْ َ َ َ ُ ‫َوال ُْمطَل َق‬
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru’"84
Tiga kali quru’ artinya tiga kali haid. Tetapi jika istri dalam
keadaan hamil maka iddahnya ialah sampai melahirkan, baik
masa iddahnya itu lama maupun sebentar. Berdasarkan firman
Allah subhanahu wa ta'ala:

ِ‫ِح ْملَ ُه َّن‬ َ َ‫َجلُ ُه َّنِأَ ْنِي‬


َ ‫ض ْع َن‬ َ ‫ِالح َمالِأ‬
ْ ‫ُوَلت‬
ُ ‫َوأ‬
“…Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu
ialah sampai mereka melahirkan kandungannya...”85
Jika si istri termasuk wanita yang tidak haid, karena masih
kecil dan belum mengalami haid, atau sudah menopause, atau
karena pernah dioperasi pada rahimnya, atau sebab-sebab lain
sehingga tidak diharapkan dapat haid kembali, maka iddahnya
adalah tiga bulan, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta'ala:

84
QS.Al Baqorah ;228
85
QS. At Thalaq: 4
- 65 -
َّ ‫ِو‬
ِ‫الَلئي‬ َ ‫ِاَتَ ْبتُ ْم ِفَع َّدتُ ُه َّن ِثَََلثَةُِأَ ِْش ُه ٍر‬
ْ ‫سائ ُك ْم ِإن‬ َّ ‫َو‬
َ ‫الَلئيِيَئ ْس َن ِم َن ِال َْمحيض ِم ْن ِن‬
ِ‫ض َن‬
ْ ‫لَ ْمِيَح‬
“Dan perempuan-perempuan yang putus asa dari haid di antara
istri-istrimu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah
mereka adalah tiga bulan, dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang
tidak haid …"86
Jika si istri termasuk wanita yang masih mengalami haid,
tetapi terhenti haidnya karena suatu sebab yang jelas seperti
sakit atau menyusui, maka ia tetap dalam iddahnya sekalipun
lama masa iddahnya sampai ia kembali mendapati haid dan
beriddah dengan haid itu. Namun jika sebab itu sudah tidak
ada, seperti sudah sembuh dari sakit atau telah selesai dari
menyusui sementara haidnya tak kunjung datang, maka
iddahnya satu tahun penuh terhitung mulai dari tidak adanya
sebab tersebut. Inilah pendapat yang shahih yang sesuai
dengan kaidah-kaidah syar’iyah. Dengan alasan, jika sebab itu
sudah tidak ada sementara haid tak kunjung datang maka
wanita tersebut hukumnya seperti wanita yang terhenti haidnya

86
QS. At Thalaq : 4
- 66 -
karena sebab yang tak jelas; maka iddahnya yaitu satu tahun
penuh dengan perhitungan, sembilan bulan sebagai sikap hati-
hati untuk kemungkinan hamil (karena masa kehamilan pada
umumnya 9 bulan) dan tiga bulan masa iddahnya.
Adapun jika talak terjadi setelah akad nikah sedang sang
suami belum mencampuri dan menggauli istrinya, maka dalam
hal ini tidak ada iddahnya sama sekali, baik dalam keadaan haid
maupun yang lain. Berdasarkan firman Allah subhanahu wa
ta'ala:

ِ‫له َّنِفَ َما‬


ُ ‫س‬ ُ ‫آمنُلاِإذَاِنَ َك ْحتُ ُمِال ُْم ْؤمنَاتِثُ َّمِطَلَّ ْقتُ ُم‬
ُّ ‫له َّنِم ْنِقَ ْبلِِأَ ْنِتَ َم‬ َِ ‫يَاِأَيُّ َهاِالَّذ‬
َ ِ‫ين‬

‫ِعلَْيه َّنِم ْنِع َّد ٍةِتَ ْعتَ ُّدونَ َها‬


َ ‫لَ ُك ْم‬
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi
perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu menceraikan
mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib
atas mereka iddah yang kamu minta menyempurnakannya ..” 87

87
QS. Al Ahzaab: 49
- 67 -
10. Kewajiban mandi
Wanita yang lagi haid, jika telah suci wajib mandi dengan
membersihkan seluruh badannya, berdasarkan sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Fathimah binti Abi Hubaisy:
ِ‫صلِّ ْي‬
َ ‫ِو‬ ْ ‫ِوإ َذاِأَ ْدبَ َر‬،
َ ‫تِفَا ْغتَسل ْي‬ َ ‫يِالصَلَ َة‬
َّ ‫ضةُِفَ َدع‬
َ ‫تِالح ْي‬
َ َ‫إ َذاِأَقْبَ ل‬
“Bila kamu kedatangan haid maka tinggalkan shalat, dan bila telah
suci mandilah dan kerjakan shalat"88
Kewajiban minimal dalam mandi yaitu membasuh seluruh
anggota badan dengan air sampai bagian kulit yang ada di
bawah rambut. Yang lebih utama, adalah sebagaimana
disebutkan dalam hadits nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala
ditanya oleh Asma' binti sahl tentang mandi haid, beliau
bersabda:

ِ‫ىَِأُْ َها‬
َ َ‫ِعل‬
َِ ‫ب‬ ُ َ‫ِثُ َّم ِت‬،ََ‫اِوُ ْد َََهاِفَتُطَ ِّه َر ِفَ تُ ْحس َن ِالطُّ ُه ْل‬
ُّ ‫ص‬ َ ‫اء َه‬
َ ‫ْخ ُذ ِإ ْحدا ُك َّن ِ َم‬
ُ ‫ِتَأ‬

ِ‫ْخ ُذ‬
ُ ‫ِثُ َّمِتَأ‬،‫اء‬
َ ‫الم‬
َ ‫ِعلَْي َها‬
َ‫ب‬ ُ َ‫ِثُ َّمِت‬،‫َِأْسِ َها‬
ُّ ‫ص‬ َ ‫ِحتَّىِتَ ْب لُ َغِ ُش ُؤْو َن‬،‫ا‬ َ ُ‫فَتُ َدلِّ ُكه‬
َ ‫ِدلْ ًكاِ َشديْ ًد‬

88
HR. Al Bukhari
- 68 -
ِ‫ف‬
َ ‫ِ َك ْي‬:ُ‫َُ َماء‬
ْ ‫تِأ‬
ْ َ‫ِفَِ َقال‬،‫ِفَتُطَ ِّهرِب َها‬-‫ك‬ ٍ ‫َيِقط َْعةَِقُ َّم‬
ٌِ ‫اشِف ْي َهاِم ْس‬ ْ ‫ِأ‬-ِ‫مس َكة‬
َ ‫ِم‬
ُ ً‫صة‬
َ ‫فُ ْر‬
َّ ‫ تَ ْتبَع ْي َنِأَثَ َر‬:‫ش ةُِلَ َها‬
َِ‫ِالد‬ َ ‫ِعائ‬
َ ‫ت‬ْ َ‫ِفَ َقال‬،‫ُِ ْب َحا َنِاهلل‬:
ُ ‫ال‬َ ‫تُطَ ِّه ُرِب َها؟ِفَ َق‬
“Hendaklah seseorang di antara kamu mengambil air dan daun
bidara lalu berwudhu dengan sempurna, kemudian mengguyurkan air ke
bagian atas kepala dan menggosok-gosokkannya dengan kuat sehingga
merata ke seluruh kepalanya, selanjutnya mengguyurkan air pada
anggota badannya, setelah itu, mengambil sehelai kain yang ada
pengharumnya untuk bersuci dengannya. Asma’ bertanya:” bagaimana
bersuci dengannya? Nabi menjawab: “Subhanallah”. Maka Aisyah
menerangkan dengan berkata:” Ikutilah bekas-bekas darah”.89

Tidak wajib melepas gelungan rambut, kecuali jika terikat


kuat dan dikawatirkan air tidak sampai ke dasar rambut. Hal ini
didasarkan pada hadits yang tersebut dalam shahih Muslim dari
Ummu Salamah Radhiyallahu ‘anha bahwa ia bertanya kepada
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

89
HR Muslim
- 69 -
ٍ
ِ‫الجنَابَة؟‬
َ ‫ِو‬َ ‫ضة‬
َ ‫ْح ْي‬
َ ‫ِلل‬:‫؟ِوفيََِِوايَة‬
َ ‫ِالجنَابَة‬ ُ ‫َِأُْ ْيِأَفَأَنْ ُق‬
َ ‫ضهُِلغُ ْسل‬ ْ ‫إنِّ ْي‬
َ ‫ِام َرأَةٌِأَ ُش ُّدِ َش ْع َر‬
ٍ ‫ثِحثَي‬ َ ‫ِ((َِلَِإنَّ َماِيَ ْكف ْيكِأَ ْنِتَ ْحث‬:‫ال‬
ِ‫اتِثُ َّمِتُف ْيضِ ْي َِن َعلَْيك‬َ َ َ َ‫ىَِأُْكِثََل‬
َ َ‫يِعل‬ َ ‫فَ َق‬

ِ ))ِ‫الماَ َءِفَتَط ُْهريْ َن‬

“Aku seorang wanita yang menggelung rambutku, haruskah aku


melepasnya untuk mandi junub? menurut riwayat lain: untuk (mandi)
haid dan junub? Nabi bersabda: “Tidak, cukup kamu siram kepalamu
tiga kali siraman (dengan tanganmu) lalu kau guyurkan air ke seluruh
tubuhmu, maka kamupun menjadi suci”.90

Apabila wanita yang sedang haid mengalami suci di tengah-


tengah waktu shalat, maka ia harus segera mandi agar dapat
mendapatkan shalat pada waktunya. Jika ia sedang dalam
perjalanan dan tidak ada air, atau ada air tapi takut
membahayakan dirinya jika menggunakan air, atau dalam
keadaan sakit dan berbahaya baginya jika menggunakan air,
maka ia boleh bertayammum sebagai ganti dari mandi sampai
hal yang menghalanginya tidak ada lagi, kemudian mandi.

90
HR. Muslim, no.330
- 70 -
Ada di antara kaum wanita yang suci di tengah-tengah
waktu shalat tetapi menunda mandi pada waktu lain, dalihnya:
“tidak mungkin dapat mandi dengan sempurna pada waktu
sekarang ini”. Akan tetapi ini bukan alasan ataupun halangan,
karena boleh baginya mandi sekedar untuk memenuhi yang
wajib dan melaksanakan shalat pada waktunya. Apabila
kemudian ada kesempatan lapang, barulah ia dapat mandi
dengan sempurna.

- 71 -
HAL-HAL YANG DIBOLEHKAN BAGI WANITA
HAID DAN NIFAS

- 72 -
D. Hal – hal Dibolehkan Bagi Wanita Haid dan Nifas.
1. Membaca dzikir
2. Takbir
3. Tasbih
4. Tahmid
5. Bismillah ketika hendak makan atau pekerjaan
6. Membaca Hadits
7. Do’a
8. Mendengarkan Al Qur’an
9. Sujud Tilawah
10. Menghadiri ke tanah lapang shalat I’ed91
Ketika mengikuti haji wada’ Aisyah mengalami haid.
Diapun menangis karena takut tidak bisa melakukan manasik
haji. Melihat istrinya menangis, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam menghiburnya dan memberikan panduan kepadanya,

َ ‫ِغَْي َرِأَ ْنَِلَِتَطُلفىِبالْبَ ْيت‬،ِ‫اج‬


‫ِحتَّىِتَط ُْهرى‬ ُّ ‫ْح‬
َ ‫ىِماِيَ ْف َع ُلِال‬
َ ‫فَافْ َعل‬

91
Kamal bin As Sayyid, hal.213-215
- 73 -
“Lakukanlah segala sesuatu yang dilakukan orang yang berhaji
selain dari melakukan thawaf di Ka’bah hingga engkau suci.” 92
Dalam Fatawa Syabakah Islamiyah dinyatakan,
ِ‫ِومثلِالذكرِ ِوالدعاء‬،‫ومِنِالمعللَِِأنِالحاجِيقلَِبِكثيرِمِنِالذكاَِِمثلِالتلبية‬

ِ‫ِوالذكرِوالدعاء‬،َ‫ِوالدعاءِبعدِالرميِمنِالجما‬،‫ِوالذكرِفيِأياَِمنى‬،ِ‫فيِعرفة‬

َ‫فيِالمشعرِالحرا‬

Seperti yang kita tahu, bahwa jamaah haji melakukan


banyak dzikir (selama di tanah suci), seperti membaca talbiyah,
dzikir dan doa di arafah, dzikir ketika di Mina, doa setelah
melempar jumrah, atau dzikir dan doa di al-Masy’ar al-Haram
(Muzdalifah). 93

92
HR. Bukhari no. 305 dan Muslim no. 1211)

93
Fatawa Syabakah Islamiyah, no. 34948

- 74 -
‫‪Imam Ibnu Baz mengatakan,‬‬

‫الحائضِمشروعٌِِلهاِماِيشرعِلغيرهاِمِنِذكرِِاهللِعزِوجل‪ِ،‬تسبيحهِوتحميدهِ‬
‫ُِ‬

‫وتهليلهِوتكبيره‪ِ،‬واَلُتغفاَِوالتلبةِوُماعِالقرآنِممنِيتلله‪ِ،‬وُماعِالعلمِ‬

‫والمشاَكةِفيِحلقاتِالعلم‪ُِ،‬ماعِماِيذاعِمنِحلقاتِالعلم‪ِ،‬وحلقاتِ‬

‫القرآنِواَلُتفادةِمنِذلك‪ِ،‬مثلِغيرهن‬

‫‪Wanita haid dianjurkan untuk berdzikir sebagaimana‬‬


‫‪manusia yang lainnya, seperti membaca tasbih, tahmid, tahlil,‬‬
‫‪takbir, istighfar, bertaubat, mendengarkan Al-Quran dari‬‬
‫‪orang yang membacanya, ikut kajian, atau mendengarkan‬‬
‫‪rekaman kajian ilmu atau tafsir, atau yang lainnya.‬‬
‫‪Kemudian beliau membawakan dalil,‬‬
‫النبيِصلىِاهللِعليهِوُلمِقالِللحائض‪(ِ:‬افعليِماِيفعلهِالحاجِغيرِأنَِلِ‬

‫تطلفيِفيِالبيتِحتىِتطهري)ِفأمرهاِالمرأةِأنِتفعلِمثلِماِيفعلهِالحجاجِ‬

‫منِالتلبية‪ِ،‬والذكر‪ِ،‬وُائرِاللجلهِالشرعيةِماِعداِالطلاف‪ِ،‬فدلِذلكِعلىِ‬

‫أنهاِمثلِغيرها‪ِ،‬ترميِالجماَ‪ِ،‬تلبي‪ِ،‬تذكرِاهلل‪ِ،‬تسبح‪ِ،‬تحمد‪ِ،‬تهلل‪ِ،‬تستغفر‬

‫‪- 75 -‬‬
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang wanita
haid: ” Lakukanlah segala sesuatu yang dilakukan orang yang
berhaji selain dari melakukan thawaf di Ka’bah hingga engkau
suci.”
Beliau memerintahkan wanita haid untuk melakukan
kegiatan sebagaimana yang dilakukan jamaah haji lainnya,
berupa talbiyah, dzikir, atau amal sunah lainnya, selain thawaf.
Ini menunjukkan bahwa wanita haid, statusnya seperti yang
lainnya. Dia melempar jumrah, melantunkan talbiyah,
berdzikir, bertasbih, bertahmid, tahlil, atau beristighfar.94

94
http://www.ibnbaz.org.sa/mat/10970

- 76 -
DARAH ISTIHADHAH
E. Darah Istihadhah
1. Makna Istihadhah.
Darah istihadhah, (Arab, ‫ )إستحاضة‬adalah darah yang keluar
dari farji (vagina) perempuan di luar kebiasaan bulanan (darah
haid) dan bukan karena sebab kelahiran (darah nifas).
Istihadlah adalah darah penyakit yang menimpa sebagian
wanita. Darah istihadoh kadang berbeda dengan darah haid,
tapi kadang serupa. Tipe darah yang sama dapat disebut darah
haid apabila terjadi pada hari-hari haid, dan dapat disebut
sebagai darah istihadah apabila terjadi di luar waktu keluarnya
darah haid.
Istihadhah adalah keluarnya darah terus-menerus pada
seorang wanita tanpa henti sama sekali atau berhenti sebentar
seperti sehari atau dua hari dalam sebulan95.

2. Dalil Darah Istihadhah


 Hadits Nabi riwayat Bukhari dari Aisyah

95
Kamal bin As Sayyid, Shahih Fiqih Sunnah,206

- 78 -
ُِ‫ِصِلَّىِاهلل‬
َ ‫للِاللَّه‬
ُ ُُ َِ
َ ‫ال‬
َ ‫ِفَ َق‬،َ‫ِالصَلَة‬ َ ِّ‫ِإن‬،‫للِاللَّه‬
َّ ُ‫يَِلِأَط ُْه ُرِأَفَأ ََدع‬ َ ُُ َِ‫ا‬
َ َ‫ي‬
ِ‫ضة‬
َ ‫الح ْي‬
َ ‫سِب‬ َ ‫ِإنَّ َماِذَلكِع ْر ٌق‬,‫َل‬:‫ِو َُلَّ َم‬
َ ‫ِولَْي‬ َ ‫َعلَْيه‬

Fatimah binti Jaish berkata pada Nabi, "Wahai


Rasulullah saya mengalami isthihadhah tidak pernah
suci, apakah aku harus meninggalkan shalat? Beliau
menjawab: Tidak, sesungguhnya itu hanyalah urat pada
rahim yang terbuka.96

 Hadits Nabi riwayat Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi


dari Aisyah

....ِ‫ضةًِ َكب َيرًةِ َشدي َد ًِة‬


َ ‫ِح ْي‬
َ ‫اض‬ ْ ‫للِاللَّهِإنِّيِأ‬
ُ ‫ُُتَ َح‬ َ ُُ َِ‫ا‬
َ َ‫ي‬
Hamnah binti Jahsh pada Nabi dan berkata: "Wahai
Nabi, saya istihadlah s yang sangat banyak dan
deras.."97

96
HR. Bukhari, no.327 dan Muslim, no.754
97
HR. Abu Dawud, no. 287 dihasankan oleh Syaikh Albani dalam Irwa’ul Ghalil
- 79 -
Darah istihadlah itu adalah darah yang keluar dari urat dan
bukanlah haid. Apabila datang haid, maka tinggalkan shalat.
Apabila haid sudah putus (dan berganti darah istihadlah) maka
cucilah darah istihadlah itu dan shalatlah.

Imam An-Nawawi menjelaskan,

ِ‫جِم ْنِع ْر ٍق‬


ُ ‫ِوأَنَّهُِيَ ْخ ُر‬ َّ ‫ِج َريَا ُن‬
َ ‫ِالدَِم ْنِفَ ْرجِال َْم ْرأَةِفيِغَْيرِأ ََوانه‬ َ َ‫اضة‬ َّ ‫أ‬
َ ‫َنِاَل ُْت َح‬
“Isihadhah adalah darah yang keluar dari kemaluan wanita
yang bukan pada waktunya dan keluar dari urat/pembuluh.”98

Jadi Istihadhah adalah darah yang keluar dari kemaluan


wanita terus-menerus dengan (kondisi pertama) keluar terus
menerus tanpa henti atau (kondisi kedua) keluar terus menerus
dan berhenti sebentar

3. Hukum Wanita Istihadhah


Wanita istihadhah seperti wanita suci (tidak haid dan
nifas) dalam arti:

98
Al Mihaj Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawi, hal, 17
- 80 -
 Wajib melaksanakan shalat 5 waktu.
 Wajib melaksanakan puasa Ramadhan.
 Boleh menyentuh, membawa dan membaca Al-Quran
dan berbagai kebolehan lain yang biasanya terlarang
bagi wanita haid dan nifas.

4. Perbedaan Darah Istihadhah dan Haid


Beberapa perbedaan antara darah istihadlah dan haid
adalah sebagai berikut:
 Darah haid adalah darah alami, sedang istihadhah
tidak alami (darah penyakit).
 Darah haid berasal dari rahim sedangkan darah
istihadlah keluar karena pecahnya urat.
 Darah haid umumnya berwarna hitam sedangkan
darah istihadhah umumnya merah segar.
 Darah haid sifatnya keras sedangkan istihadlah lunak.
 Darah haid beraroma tidak sedap/busuk.

- 81 -
5. Cara Shalat Wanita Istihadhah
Wanita istihadlah wajib melaksanakan shalat 5 waktu.
Karena selalu keluar darah, maka wudhu-nya hanya berlaku
untuk satu kali shalat. Caranya sebagai berikut
 Saat waktu shalat tiba, cuci darah dari vagina dan
tutup dengan kain.
 Ambil wudhu’
 Lakukan shalat fardhu.
a. Wanita mustahadhah wajib berwudhu setiap kali
hendak shalat, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam kepada Fatimah binti Abi Hubaisy:

ٍِ‫ِصَلَة‬
َ ‫ِثُ َّمِتَ َلضَّئ ْيِل ُك ِّل‬
“Kemudian berwudhulah setiap kali hendak shalat99
Hal itu memberikan pemahaman bahwa wanita
mustahadhah tidak berwudhu untuk shalat yang telah
tertentu waktunya kecuali jika telah masuk waktunya.
Sedangkan shalat yang tidak tertentu waktunya, maka ia
berwudhu pada saat hendak melakukannya.

99
HR. Al Bukhari, no.228
- 82 -
b. Ketika hendak berwudhu, membersihkan sisa-sia darah
dan melekatkan kapas (pembalut) pada farjinya untuk
mencegah keluarnya darah, berdasarkan sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Hamnah:

َ ‫ِه َلِأَ ْكثَ ُرِم ْنِ َذل‬:


ِ ،‫ك‬ ُ ‫ت‬ َّ ‫ب‬
ْ َ‫ِالد ََِ))ِقَال‬ ُ ‫تِلَكِال ُك ْر ُُفِفَإنَّهِيُ ْذه‬
ُ ‫((ِأَنْ َع‬
100
))ِ‫ِفَ تَ لَ َّجم ْي‬:‫ال‬ َ ‫ِه َلِأَ ْكثَ ُرِم ْنِ َذل‬:
َ َ‫ ق‬،‫ك‬ ُ ‫ت‬ ْ َ‫ِ((ِفَاتَّخذ ْيِثَ ْلبًاِ))ِقَال‬:‫ال‬
َ َ‫ق‬
“Aku beritahukan kepadamu (untuk menggunakan) kapas,
karena hal itu dapat menyerap darah”. Hamnah berkata:
“darahnya lebih banyak dari pada itu, beliau Bersabda:
“Gunakan kain!” Kata Hamnah: Darahnya masih banyak
pula” Nabipun bersabda: “Maka pakailah penahan!”
Kalaupun masih ada darah yang keluar setelah tindakan
tersebut, maka tidak apa-apa hukumnya, karena sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

100
HR.Tirmidzi, no.228
- 83 -
ِ،‫ضة‬
َ ‫ْح ْي‬
َ ‫س ِبال‬ َ ‫ِإنَّ َماِذَلك ِع ْر ٌق‬،‫ِ« ََل‬:‫ال‬
َ ‫ِولَِْي‬ َ َ‫ِالص ََلةَ؟ِق‬
َّ ‫ع‬ ُ ‫ِأَفَأ ََد‬،‫فَ ََل ِأَط ُْه ُر‬

ِ‫ِوإ ْن‬، ٍ َِ ‫ِوتَلضَّئيِل ُك ِّل ِص‬،‫ِثُ َّم ِا ْغتسلي‬،‫يِالص ََل َة ِأَيَّاَ ِمحيضك‬
َ ‫َلة‬ َ ََ َ ََ َّ ‫اجتَنب‬
ْ
101
ِِِِ‫ْحصير‬
َ ‫ِعلَىِال‬ َّ ‫قَطََر‬
َ َُ ‫ِالد‬
“Aku isthihadhah tidak pernah suci, apakah aku
meninggalkan shalat? Beliau menjawab : Tidak, itu hanya urat
yang terbuka dari rahim dan bukan haid, tinggalkan shalat
selama hari-hari haidmu, kemudian mandilah dan berwudhulah
untuk setiap kali shalat, lalu shalatlah meskipun darah menetes
di atas alas”

6. Cara Puasa Wanita Istihadhah


Wanita istihadhah juga wajib melaksanakan puasa pada
bulan Ramadan. Berbeda dengan wanita haid dan perempuan
nifas. Dan kerena itu hukum puasa wanita istihadhah adalah
sah dan tidak perlu mengulangi. Ada 3 macam keadaan

101
HR. Ahmad dan Ibnu Majah

- 84 -
wanita mustahadhah atau wanita yang terkena istihadhah
sebagai berikut:
 TIPE PERTAMA : WANITA MUSTAHADHAH
Seorang wanita mengalami masa haid sekali atau lebih
sebelum terkena istihadlah. Apabila demikian, maka
hitungan masa haidnya adalah berdasarkan pada masa
menstruasi sebelumnya. Sedang hari-hari selebihnya
dianggap sebagai darah istihadlah. [Dalil kondisi
pertama, yakni keluarnya darah terus- menerus tanpa
henti sama sekali, hadits riwayat Al Bukhari dari Aisyah
Radhiayallahu ‘anha bahwa Fathimah binti Abu Hubaisy
berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

ِ ِ‫َلَِأَط ُِْهر‬
ِ َ‫اضِف‬
ُ ‫ُُتَ َح‬
ْ ‫ِأ‬:‫اض ِوفيَِواية‬ ْ ‫اَِ ُُ ْل َلِاهللِإنِّيِأ‬
ُ ‫ُُتَ َح‬ َ َ‫ِي‬
“Ya Rasulullah, sungguh aku istihadhah (tak pernah suci)
Dalam riwayat lain: Aku mengalami istihadhah, maka tak
pernah suci”.

Sebagai contoh, dia biasa haid mulai awal bulan sampai


hari ketujuh. Maka setelah terkena istihadlah--dimana

- 85 -
darah keluar terus menerus sepanjang bulan, haidnya
dihitung sejak awal bulan sampai hari ketujuh. Setelah
itu dia harus mandi bersuci dari haid. Dan hari-hari
selebihnya dia berstatus sebagai wanita istihadlah yang
harus shalat 5 waktu dan puasa pada bulan Ramadan.

َّ ‫ِأَفَأ ََدعُِا‬،‫اضِفََلَِأَط ُْه ُر‬


ِ،َ‫لصَلَة‬ ْ ‫حدي َِّعائشةِ َِضيِاهللِعنهاِ ِإنِّيِأ‬
ُ ‫ُُتَ َح‬

ِِ‫يِالصَلَ َةِقَ ْد ََِالَيَّاَِالَّتيِ ُك ْنت‬


َّ ‫ِدع‬ َ ‫ِ«َلَِإ َّنِ َذلكِع ْر ٌق‬:‫ال‬
َ ‫ِولَك ْن‬، َ ‫فَ َق‬
102
‫صلِّي‬
َ ‫يِو‬
َ ‫ِثُ َِّمِا ْغتَسل‬،‫ينِف َيها‬
َ ‫تَحيض‬
Dari Aisyah bahwa Fatimah binti Abi Hubaish berkata:
Wahai Rasulullah aku mengalami istihadah dan aku
belum bersesuci, apakah aku boleh meninggalkan
shalat? Nabi menjawab: Tidak. darah istihadoh itu darah
dari otot. Tinggalkan shalat pada hari-hari kamu
biasanya mengalami haid; setelah itu mandilah dan
lakukan shalat

102
HR.Bukhari, no.325
- 86 -
 TIPE KEDUA: WANITA MUSTAHADHAH
MUTAMAYYIZAH (DAPAT MEMBEDAKAN
DARAH)
Keadaan kedua dari wanita mustahadlah adalah
istihadlah mutamayyizah arti literalnya adalah wanita
istihadlah yang dapa tmembedakan darah yang
keluar.Yaitu keadaan di mana seorang wanita tidak
pernah meng`lami masa haid sebelumnya. Begitu
melihat darah pertama kali, darah itu langsung keluar
terus menerus sebulan penuh. Namun darah yang keluar
bermacam-macam bentuknya. Maka, darah yang
dihukumi sebagai darah haid adalah yang memiliki ciri-
ciri darah haid. Sedang selain itu dihukumi darah
istihadlah.[3]Ciri-ciri darah haid seperti kental dan agak
kehitaman kadang berubah menjadi kuning atau merah,
tidak menggumpal atau membeku, agak bau

- 87 -
ِ‫الِلَ َها‬
َ ‫ِ(فَ َق‬:ِ‫أنِالنبيِصلىِاهللِعليهِوُلمِقالِلَِحبيبةِبنتِجحش‬

ِ‫سك‬
ُ ‫تِتَ ْحب‬ َ ََ ‫ِ« ْام ُكثيِقَ ْد‬:‫ِو َُلَّ َم‬
ْ َ‫ِماِ َكاِن‬ َ ُ‫ِصلَّىِاهلل‬
َ ‫ِعلَْيه‬ َ ‫للِاهلل‬
ُ ُُ ََ

ِ‫صلِّي‬
َ ‫يِو‬
َ ‫ِثُ َّمِا ْغتَسل‬،‫ضتُك‬
َ ‫َح ْي‬

Nabi berkata pada Ummu Habibah binti Jahsh:


Diamlah (tidak usah shalat) pada sekitar masa-masa
haid; setelah itu mandilah (junub) dan laksanakan shalat.
103

 TIPE KETIGA: WANITA


MUSTAHADHAH MUTAHAYYIRAH
(BENTUK DARAH SAMA)
Keadaan ketiga dari wanita mustahadlah adalah
istihadlah mutahayyirah yang arti literalnya adalah
wanita yang bingung karena darah yang keluar terus
menerus dan bentuk darahnya sama. Yaitu keadaan di
mana seorang wanita tidak pernah mengalami masa haid

103
HR.Muslim, no.334
- 88 -
sebelumnya. Begitu melihat darah pertama kali, darah
itu langsung keluar terus menerus sebulan penuh. Dan
bentuk darah sama. Bagaimana cara membedakan darah
haid dan istihadlah?

ِ‫ِصلَّى‬
َ ‫الِلَ َهاِالِنَّب ُّي‬
َ ‫ِفَ َق‬،‫اض‬ ْ َ‫شِأَنَّ َهاِ َكان‬
ُ ‫تِتُ ْستَ َح‬ ٍ ‫يِحبَ ْي‬
ُ ‫َع ْنِفَاط َمةَِب ْنتِأَب‬

ِ‫ك‬
َ ‫ِفَإ َذاِ َكا َنِ َذل‬،‫ف‬ ْ ‫ضةِفَإنَّهُِأ‬
ُ ‫َُ َل ُدِيُ ِْعَِر‬ َ ‫ْح ْي‬ َ ‫ِ«إ َذاِ َكا َن‬:‫ِو َُلَّ َم‬
َ ‫ِد َُِال‬ َ ‫ِعلَْيه‬
َ ُ‫اهلل‬

ُ ‫صلِّي ِفَإنَّ َما‬


ِ‫ِه َِل‬ َ ‫ِو‬
َ ‫ِاْل َخ ُر ِفَتَ َلضَّئي‬
ْ ‫ ِفَإذَا ِ َكا َن‬،‫ِالص ََلة‬
َّ ‫ِعن‬
َ ‫فَأ َْمسكي‬
104
»‫ق‬
ٌِ ‫ع ْر‬

Artinya: Perkataan Nabi pada Fatimah binti Abi Jahsh:


Apabila darah haid maka ia berwarna hitam yang
diketahui. Kalau itu yang terjadi, maka jangan shalat.
Apabila darah yang lain, maka wudhu-lah dan shalatlah
karena darah (istihadhah) itu berasal dari otot. Caranya
menghitungnya adalah hari pertama keluar darah
dihitung sebagai darah haid sampai hari ke-6 atau ke-7

104
HR. Abu Dawud, no.286
- 89 -
setiap bulan. Hari selebihnya dihitung sebagai darah
istihadlah.

7. Bolehkah Jima’ (senggama)


Para ulama berbeda pendapat tentang kebolehannya pada
kondisi di mana bila ditinggalkan tidak dikhawatirkan
menyebabkan zina. Yang benar adalah boleh secara
mutlak. Karena ada banyak wanita, mencapai sepuluh atau
lebih, mengalami istihadhah pada zaman nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam sementara Allah dan Rasul-Nya tidak
melarang jima’ dengan mereka. Firman Allah:

“... Hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di


waktu haid …”105
Ayat ini menunjukkan bahwa di luar keadaan haid,
suami tidak wajib menjauhkan diri dari istri.
Kalaupun shalat saja boleh dilakukan wanita

105
QS. Al Baqarah: 222

- 90 -
mustahadhah, maka jima’pun lebih boleh. Dan tidak
benar jima’ wanita mustahadhah dikiaskan dengan
jima’ wanita haid, karena keduanya tidak sama,
bahkan menurut pendapat para ulama menyatakan
haram (mengkiaskannya). Sebab mengkiaskan
sesuatu dengan hal yang berbeda adalah tidak sah.

8. Hal wanita yang mirip istihadhah.


Kadang kala seorang wanita, karena suatu sebab,
mengalami pendarahan pada farjinya, seperti karena operasi
pada rahim atau sekitarnya, hal ini ada dua macam:
a. Diketahui bahwa si wanita tak mungkin haid lagi setelah
operasi, seperti operasi pengangkatan atau penutupan
rahim yang mengakibatkan darah tidak bisa keluar lagi
darinya, maka tidak berlaku baginya hukum-hukum
mustahadhah. Namun hukumnya adalah hukum wanita
yang mendapati cairan kuning, atau keruh, atau basah
setelah masa suci. Karena itu tidak boleh meninggalkan
shalat atau puasa dan boleh digauli. Tidak wajib baginya
mandi karena keluarnya darah, tapi ia harus

- 91 -
membersihkan darah tersebut ketika hendak shalat dan
supaya melekatkan kain atau semisalnya (pembalut
wanita) pada farjinya untuk menahan keluarnya darah,
kemudian berwudhu seperti berwudhu untuk shalat.
Tidak boleh ia berwudhu untuk shalat kecuali telah
masuk waktunya. Jika shalat itu telah tertentu waktunya
seperti shalat lima waktu; jika tidak tertentu waktunya
maka ia berwudhu ketika hendak mengerjakannya,
seperti shalat sunnah yang mutlak.
b. Tidak diketahui bahwa si wanita tidak bisa haid lagi
setelah operasi, tetapi diperkirakan bisa haid lagi, maka
berlaku baginya hukum mustahadhah. Hal ini
didasarkan pada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
kepada Fatimah binti Abi Hubaisy:
ِ‫كِالصَلَ َة‬
َّ ‫ضةُِفَاتْ ُر‬
َ ‫تِالح ْي‬
َ َ‫ِفَإ َذاِأَقْبَ ل‬،‫ضة‬
َ ‫الح ْي‬
َ ‫سِب‬
َ ‫ِولَْي‬، َ ‫إنَّ َماِ َذل‬
َ ‫كِع ْر ٌق‬
“Itu hanyalah darah penyakit, bukan haid, jika datang haid
maka tinggalkan shalat”

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “ jika datang haid ..”


menunjukkan bahwa mustahadhah berlaku bagi wanita yang
- 92 -
berkemungkinan haid, yang bisa datang atau berhenti. Adapun
wanita yang tidak berkemungkinan haid maka darah yang
keluar, pada prinsipnya dihukumi sebagai darah penyakit.

- 93 -
PENGGUNAAN ALAT PENCEGAH ATAU
PERANGSANG HAID, PENCEGAH KEHAMILAN
DAN PENGGUGUR KANDUNGAN
F. Penggunaan Alat Pencegah atau Perangsang Haid,
Pencegah Kehamilan dan Penggugur Kandungan
1. Pencegah Haid
Diperbolehkan bagi wanita menggunakan alat pencegah
haid, dengan dua syarat:
a. Tidak dikhawatirkan membahayakan dirinya, bila
dikhawatirkan membahayakan dirinya karena
menggunakan alat tersebut, maka hukumnya tidak
boleh. Berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta'ala:

“…Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke


dalam kebinasaan.." (QS. Al Baqarah: 195).

Pertama, beberapa ulama menegaskan bolehnya


mengkonsumsi obat pencegah haid, selama tidak
membahayakan pengguna. Baik resiko yang bersifat sementara
maupun permanen. Imam Ibnu Baz pernah ditanya tentang
hukum wanita yang menggunakan obat pencegah haid agar
bisa puasa ramadhan,haji dll

- 95 -
ِ‫َلِحرجِأنِتأخذِالمرأةِحبلبِمنعِالحيضِتمنعِالدوَةِالشهريةِأياََِمضان‬

ِ‫حتىِتصلَِمعِالناس… ِوإنِوجدِغيرِالحبلبِشئِيمنعِالدوَةِفَلِبأسِإذا‬

‫لمِيكنِفيهِمحذوَِشرعاًِومضرة‬

“Tidak masalah bagi wanita untuk menggunakan obat


pencegah haid, menghalangi datang bulan selama bulan
ramadhan, sehingga dia bisa berpuasa bersama kaum muslimin
lainnya… dan jika ada cara lain selain konsumsi obat untuk
menghalangi terjadinya haid, hukumnya boleh, selama tidak
ada hal yang dilarang syariat dan tidak berbahaya.”

Kedua, bagi wanita yang mengkonsumsi obat anti haid,


dia dihukumi suci jika benar-benar kering tidak ada darah yang
keluar. Akan tetapi jika dia setelah menggunakan obat
pencegah haid masih keluar darah, maka dia dihukumi haid,
meskipun darah yan keluar sangat sedikit.

Syaikh Musthofa Al-Adawi menjelaskan wanita yang


mengkonsumsi obat pencegah haid, bagaimana statusnya,

- 96 -
ِ‫ِأماِإذاِشكِفيِانقطاع‬،‫حكمهِاذاِقطعِالدَِتماماِأنِالصلَِمعهِجائزِوَلِإعادة‬

ِ‫الدَِمنِوجلدهِفحينئذِحكمهاِحكمِالحائضِوعليهاِأنِتفطرِأياَِحيضها‬

‫ِواهللِأعلم‬،‫وتعيدِصلَِتلكِالياَِبعد‬

“Hukumnya, apabila darah telah putus sempurna maka


dia boleh puasa dan tidak perlu mengulangi. Adapun jika dia
masih ragu darah terputus sempurna, karena masih ada darah
yang keluar, maka hukumnya seperti wanita haid dan dia tidak
boleh puasa pada hari haidnya dan mengqadha puasa pada hari
itu setelah ramadhan. Allahu a’lam.”106

Ketiga, tidak dianjurkan bagi para wanita untuk


menggunakan obat pencegah haid. Sekalipun untuk tujuan
agar bisa beribadah bersama masyarakat. Karena sikap
semacam ini kurang menunjukkan kepasrahan terhadap kodrat
yang Allah tetapkan untuk para putri Adam.

Imam Ibnu Utsaimin pernah ditanya tentang hukum


menggunakan obat pencegah haid agar bisa melakukan ibadah
bersama kaum muslimin lainnya. Jawaban beliau,

106
Jami’ Ahkam An-Nisa: 5/223

- 97 -
ِ‫َلِنرىِأنهاِتستعملِهذهِالحبلبِلتعينهاِعلىِطاعةِاهللِ؛ِلنِالحيضِالذي‬

َ‫يخرجِشيءٌِكتبهِاهللِعلىِبناتِآد‬

“Saya tidak menyarankan para wanita menggunakan


obat semacam ini, untuk membantunya melakukan ketaatan
kepada Allah. Karena darah haid yang keluar, merupakan
sesuatu yang Allah tetapkan untuk para putri Adam.”

Kemudian beliau menyebutkan dalilnya,

ِ‫وقدِدخلِالنبيِصلىِاهللِعليهِوُلمِعلىِعائشةِوهيِمعهِفيِحجةِاللداعِوقد‬

ِ،ِ‫أحرمتِبالعمرةِفأتاهاِالحيضِقبلِأنِتصلِإلىِمكةِفدخلِعليهاِوهيِتبكي‬

ِ‫فقالِماِيبكيكِفأخبرتهِأنهاِحاضتِفقالِلهاِإنِهذاِشيءٌ ِقدِكتبهِاهللِعلى‬

…ِ،َِ‫بناتِآد‬

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menemui A’isyah di


kemahnya ketika haji wada’. Ketika itu, A’isyah telah
melakukan ihram untuk umrah, namun tiba-tiba datang haid
sebelum sampai ke Mekah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam menemui A’isyah, sementara dia sedang menangis. Sang
suami yang baik bertanya, “Apa yang menyebabkan kamu
menangis?” A’isyah menjawab bahwa dia sedang sakit. Nabi
- 98 -
menasehatkan, “Ini adalah keadaan yang telah Allah tetapkan
untuk para putri Adam”

Selanjutnya Syaikh menasehatkan para wanita yang ingin


beribadah, namun terhalang haid,

ِ‫فإذاِجاءهاِفيِالعشرِالواخرِفلتقنعِبماِقدَِاهللِلهاِوَلِتستعملِهذهِالحبلب‬

َِ‫وقدِبلغنيِممنِأثقِبهِمنِالطباءِأنِهذهِالحبلبِضاَةِفيِالرحمِوفيِالد‬

ِ‫وَبماِتكلنُِبباًِلتشليهِالجنينِإذاِحصلِلهاِجنينِفلذاكِنرىِتجنبهاِ ِوإذا‬

ِ‫حصلِلهاِالحيضِوتركتِالصَلةِوالصياَِفهذاِليسِبيدهاِبلِبقدَِاهلل‬

Karena itu, ketika masuk sepuluh terakhir blan


ramadhan, hendaknya dia menerima kodrat yang Allah
tetapkan untuknya, dan tidak mengkonsumsi obat pencegah
haid. Ada informasi terpercaya dari dokter, bahwa obat
semacam ini berbahaya bagi rahim dan peredaran darah.
Bahkan bisa menjadi sebab, janin cacat, ketika di rahim ada
janin. Karena itu, kami menyarankan agar ditinggalkan. Ketika
terjadi haid, dia tinggalkan shalat dan puasa, keadaan semacam
ini bukan karena kehendaknya, tapi karena taqdir Allah.107

107
Fatwa islam, no. 13738

- 99 -
Keempat, sejatinya wanita haid masih bisa mendulang
sejuta pahala selama ramadhan, sekalipun dia tidak puasa dan
tidak shalat. Karena tidak semua ibadah dilarang untuk
dilakukan ketika haid.

b. Dengan seizin suami, apabila penggunaan alat tersebut


mempunyai kaitan dengannya. Contohnya; si istri dalam
keadaan beriddah dari suami yang masih berkewajiban
memberi nafkah kepadanya, menggunakan alat
pencegah haid supaya lebih lama iddahnya dan
bertambah nafkah yang diberikannya. Hukumnya tidak
boleh bagi si istri menggunakan alat pencegah haid saat
itu kecuali dengan seizin suami. Demikian juga jika
terbukti bahwa pencegahan haid dapat mencegah
kehamilan, maka harus dengan seizin suami.
Meski secara hukum boleh, namun lebih utama tidak
menggunakan alat pencegah haid kecuali jika dianggap perlu.
Karena membiarkan sesuatu secara alami akan lebih menjamin
terpeliharanya kesehatan dan keselamatan.

- 100 -
2. Perangsang Haid
Diperbolehkan juga menggunakan alat perangsang haid,
dengan dua syarat:
a. Tidak menggunakan alat tersebut dengan tujuan
menghindarkan diri dari suatu kewajiban. Misalnya;
seorang wanita menggunakan alat perangsang haid pada
saat manjelang Ramadhan dengan tujuan agar tidak
berpuasa, atau tidak shalat, dan tujuan negatif lainnya.
b. Dengan seizin suami, karena terjadinya haid akan
mengurangi kenikmatan hubungan suami-istri. Maka
tidak boleh bagi si wanita menggunakan alat yang dapat
menghalangi hak suami kecuali dengan restunya. Dan
jika istri dalam keadaan talak, maka tindakan tersebut
akan mempercepat gugurnya hak rujuk bagi suami jika
ia masih boleh rujuk.

3. Pencegah Kehamilan
Ada dua macam penggunaan alat pencegah kehamilan:
a. Penggunaan alat yang dapat mencegah kehamilan untuk
selamanya. Ini tidak boleh hukumnya, sebab dapat

- 101 -
menghentikan kehamilan yang mengakibatkan
berkurangnya jumlah keturunan. Dan hal ini
bertentangan dengan anjuran Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam agar memperbanyak jumlah umat Islam, selain itu
bisa saja anak-anaknya yang ada semuanya meninggal
dunia sehingga ia pun hidup menjanda seorang diri
tanpa anak.
b. Penggunaan alat yang dapat mencegah kehamilan
sementara, seorang wanita yang sering hamil dan hal itu
terasa berat baginya, sehingga ia ingin mengatur jarak
kehamilannya menjadi dua tahun sekali, maka
penggunaan alat ini diperbolehkan dengan syarat: seizin
suami, dan alat tersebut tidak membahayakan dirinya.
Dalilnya, bahwa para sahabat pernah melakukan azl
terhadap istri mereka pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam untuk menghindari kehamilan dan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melarangnya. Azl yaitu
tindakan - pada saat bersenggama - dengan
menumpahkan sperma di luar farji (vagina) istri.

- 102 -
4. Penggugur kandungan
Adapun penggunaan alat penggugur kandungan ada dua
macam:
a. Penggunaan alat penggugur kandungan yang bertujuan
membinasakan janin, jika janin sudah mendapatkan ruh,
maka tindakan ini tak diragukan lagi adalah haram,
karena termasuk membunuh jiwa yang dihormati tanpa
dasar yang benar. Membunuh jiwa yang dihormati
haram hukumnya menurut Al Qur’an, sunnah dan ijma’
kaum muslimin. Namun jika janin belum mendapatkan
ruh, maka para ulama berbeda pendapat dalam masalah
ini. Sebagian ulama membolehkan, sebagian lagi
melarang. Ada pula yang mengatakan boleh sebelum
berbentuk segumpal darah, artinya sebelum berumur 40
hari. Ada pula yang membolehkan jika janin belum
berbentuk manusia. Pendapat yang lebih hati-hati
adalah tidak boleh melakukan tindakan menggugurkan
kandungan, kecuali jika ada kepentingan. Misalnya,
seorang ibu dalam keadaan sakit dan tidak mampu lagi
mempertahankan kehamilannya, dan sebagainya. Dalam

- 103 -
kondisi seperti ini ia boleh menggugurkan
kandungannya, kecuali jika janin tersebut diperkirakan
telah berbentuk manusia maka hal ini tidak
diperbolehkan. Wallahu A’lam.
b. Penggunaan alat penggugur kandungan yang tidak
bertujuan membinasakan janin. Misalnya, sebagai upaya
mempercepat proses kelahiran pada wanita hamil yang
sudah habis masa kehamilannya dan sudah waktunya
melahirkan. Maka hal ini boleh hukumnya, dengan
syarat: tidak membahayakan bagi si ibu maupun
anaknya yang tidak memerlukan operasi. Kalaupun
memerlukan operasi, maka dalam masalah ini ada empat
hal:
i. Jika ibu dan bayi yang dikandungnya dalam keadaan
hidup, maka tidak boleh dilakukan operasi kecuali
dalam keadaan darurat, seperti sulit bagi si ibu untuk
melahirkan sehingga perlu dioperasi. Demikian,
karena tubuh adalah amanat Allah subhanahu wa ta'ala
yang dititipkan kepada manusia, maka dia tidak boleh
memperlakukannya dengan cara yang

- 104 -
mengkhawatirkan kecuali untuk maslahat yang amat
besar. Selain itu, dikiranya bahwa mungkin tidak
berbahaya operasi ini, tetapi ternyata membawa
bahaya.
ii. Jika ibu dan bayi yang di kandungnya dalam keadaan
meninggal, maka tidak boleh dilakukan operasi untuk
mengeluarkan bayinya. Sebab, hal ini tindakan sia-sia.
iii. Jika si ibu hidup, sedangkan bayi yang dikandungnya
meninggal. Maka boleh dilakukan operasi untuk
mengeluarkan bayinya, kecuali jika dikhawatirkan
dapat membahayakan si ibu. Sebab menurut
pengalaman wallahu a’lam bayi yang meninggal dalam
kandungan hampir tidak dapat dikeluarkan kecuali
dengan operasi. Kalaupun dibiarkan terus dalam
kandungan, dapat mencegah kehamilan ibu pada
masa mendatang dan merepotkannya pula, selain itu
si ibu akan tetap hidup tak bersuami jika ia dalam
keadaan menunggu iddah dari suami sebelumnya.
iv. Jika si ibu meninggal dunia, sedangkan bayi yang
dikandungnya hidup. Dalam kondisi ini, jika bayi

- 105 -
yang dikandung diperkirakan tak ada harapan untuk
hidup, maka tidak boleh dilakukan operasi. Namun
jika ada harapan untuk hidup, seperti sebagian
tubuhnya sudah keluar, maka boleh dilakukan
pembedahan terhadap perut ibunya untuk
mengeluarkan bayi tersebut. Tetapi jika sebagian
tubuh bayi belum ada yang keluar maka ada yang
berpendapat bahwa tidak boleh melakukan
pembedahan terhadap perut ibu untuk mengeluarkan
bayi yang dikandungnya, karena hal itu merupakan
tindakan penyiksaan. Pendapat yang benar, boleh
dilakukan pembedahan terhadap perut si ibu untuk
mengeluarkan bayinya jika tidak ada cara lain. Dan
pendapat inilah yang menjadi pilihan Ibnu Hubairah.
Dikatakan dalam kitab Al Inshaf :" pendapat ini yang
lebih utama”. Apalagi pada zaman sekarang ini,
operasi bukanlah merupakan tindakan penyiksaan.
Karena setelah perut dibedah, ia dijahit kembali. Dan
kehormatan orang yang masih hidup lebih besar dari
pada orang yang sudah meninggal. Juga

- 106 -
menyelamatkan jiwa orang yang terpelihara dari
kehancuran adalah wajib hukumnya dan bayi yang
dikandung adalah manusia yang terpelihara, maka
wajib menyelamatkannya. Wallahu a’lam.

- 107 -
DAFTAR PUSTAKA
Al – Qur’an Al- Kariim

Shahih Bukhari, Imam Bukhari, Dar Thauq An Nanajah,2000

Shahih Muslim, Imam Muslim, Bairut; Dar Ihya Turost , 2003

Sunan Abu Dawud, Sulaiman bin al-Asy’ats As-


Sijistany,Bairut; Maktabah Al’ishriyah ,2000

Sunan An Nasai, Ahmad bin Syu’ab Maktabah


Islamiyyah,2000

Sunan Tirmidzi,Muhammad bin’ isa ,Mesir; Syarikah


maktabah,2000

Sunan Ibnu Majah, Ibnu Majah, Dar Ihya Turost , 2000

Shahih Fiqih Sunnah, Kamal bin as Sayyid, Bairut,

- 108 -
Fiqih Muyassar, Shalih bin Abdul ‘Aziz, Riyad;Darul Alamus
Sunnah,2009

Tanbihaat ala Ahkam Takhtashu bil Mu’minaat. Shalih bin


Fauzan, Riyadh, 2010

Fiqih Wanita, Ali bin Sa’id al Ghamidi, Jakarta, Aqwam.2018

Tafsir Thabari, Abu Ja’far At thabari, Mu’asasah Risalah,2000

Tafsir Ibnu Katsir, Abu Fida Ismaiil, Darut Thaibah,1999

Tafsir As Sa’di, AbdurRahman bin Nashir, Muasasah


Risalah,1999

Risalah fii Dimaait thabi’iiyah lilnisa, Muhammad bin Shalih


Utsaimin,Maktabah dakwah wa irsyad,2006

Majmu’ Fatawa, Taqiyuddin ‘abul ‘abas ibnu Taimiyah,


Madinah, Darul Wafa,2005

- 109 -
Syarhu Muhadzab, Imam Nawawi, Darul Fikr, 1998

Hasyiah Raudhah Al Muraba’,AbdurRahman bin Muhammad


Al hambaly

- 110 -

Anda mungkin juga menyukai