Anda di halaman 1dari 3

Kelestarian bagi yang Fitrah

Oleh Robikin Emhas


Staf Khusus Bidang Politik dan Hubungan Antarlembaga Wakil Presiden RI

Rentetan pesan teks dan video yang masuk melalui aplikasi percakapan Whatsapp pada
petang 11 April 2022 itu sungguh mengagetkan. Datang bersamaan menjelang waktu
berbuka puasa. Tak ada yang mengharapkan demonstrasi mahasiswa di Jakarta pada hari itu
berubah menjadi kericuhan, tentu saja. Lebih daripada itu, tidak terpikirkan sebelumnya
dalam unjuk rasa tersebut pecah kericuhan yang lantas memantik penganiayaan, dan brutal.

Ade Armando korbannya. Semua orang tahu. Semua menyesalinya. Tetapi peristiwa itu
ibarat push notification: api di dalam sekam masih membara! Pengeroyokan itu bukanlah
peristiwa kriminal biasa. Tersirat motif kebencian di baliknya, yang riwayatnya dapat
ditelusuri dengan cukup jelas bermuasal pada sejumlah momen perselisihan politik
beberapa tahun sebelumnya.

Insiden seperti itu, dengan ciri dan motif serupa, kerap terjadi dalam beberapa tahun
belakangan. Bisa berwujud pada macam-macam kasus. Namun polanya sama: satu
kelompok menganggap kelompok yang lain belum dapat menerima kenyataan, pembikin
onar, tukang fitnah; sementara kelompok yang lain menuding kubu seberang tak berakhlak,
zalim, tukang tipu. Keberadaan mereka lebih banyak menghasilkan perdebatan daripada
kesepakatan; lebih sering memicu perselisihan daripada perdamaian.

Gejala demikian, jelas, bukan situasi yang bagus. Bahaya—laten maupun kasatmata. Bukan
hanya karena perselisihan-perselisihan itu mengganggu keamanan dan ketertiban, mengusik
ketenteraman, merusak harmoni sosial, namun juga menghambat kemajuan. Yang lebih
penting lagi, dan mengkhawatirkan, situasi itu menurunkan tingkat peluang kelangsungan
hidup kita sebagai bangsa dan negara. Tunjuk sembarang contoh negeri yang tak henti
bertikai, dan lihat, apakah mereka menjadi bangsa maju, atau malahan di ambang
kepunahan.

Kelestarian bagi yang ramah

Bisa dimengerti kalau dianggap naif dan polos ketika ada yang menganjurkan sikap welas
asih dan mengulurkan sikap persahabatan setiap ada peristiwa kekerasan bermotif
kedengkian semacam itu. Apalagi dalam suasana Idul Fitri seperti sekarang, saat kata maaf
berseliweran, sampai-sampai, barangkali, menjadi kehilangan esensi kemurnian dan
ketulusannya.

Itu gagasan bagus, kata sebagian orang. Bersikap welas asih dan bersahabat terhadap
saudara, rekan kerja, atau tetangga yang pernah menyakiti kita, yah, sepertinya tidak terlalu
sukar. Bagaimana kalau itu diterapkan kepada musuh? Itu jauh lebih sukar dan bisa
bertentangan dengan naluri kita.

Namun pertimbangkan satu argumen bahwa sikap seperti itulah yang justru paling rasional.
Para ahli psikologi modern menyebutnya sebagai perilaku nonkomplementer. Dengan cara
itulah lingkar umpan balik negatif dapat dihentikan; kecenderungan untuk saling
membalaskan dendam akan teredam. "Jika Anda menghukum orang untuk membalas, Anda
mesti menyakiti," kata novelis George Bernard Shaw. "Jika Anda ingin meluruskan, Anda
mesti memperbaiki dia. Dan manusia tidak menjadi baik kalau disakiti."

Pikirkan juga satu gagasan yang diperkenalkan sejarawan Rutger Bregman bahwa manusia
pada hakikatnya makhluk ramah, tidak menyukai pertikaian, berkecenderungan
berprasangka baik ketimbang sebaliknya, mencintai persahabatan dan perdamaian daripada
permusuhan dan konflik. Sifat asali atau bawaan manusia, tegasnya, ramah dan cinta damai.

Bahkan, menurut Bregman, itulah alasan kita sebagai manusia tetap eksis sejauh ini.
"Kelestarian bagi yang paling ramah," tulisnya, merujuk pada makalah ahli antropologi Brian
Hare, dalam Humankind: Sejarah Penuh Harapan.

Hanya mereka—kelompok, masyarakat, bangsa—yang berhasil membangun kerja sama—


bukan yang terpecah belah dan terperangkap dalam konflik—yang bakal langgeng dan
mampu mengatasi berbagai kesulitan. Dan kerja sama dapat dibangun hanya dengan
kesepahaman, bebas prasangka buruk dan kedengkian, tanpa pertikaian dan permusuhan.

Manusia menginginkan kebersamaan dan interaksi, kata Bregman, menegaskan penjelasan


sains tentang hakikat manusia. "Jiwa kita menginginkan hubungan sebagaimana kita
menginginkan makanan."

Husnut tafahum

Bagaimana, atau dengan apa, membangun kesepahaman dan saling pengertian itu yang,
tentu saja, tidak terbatas pada hubungan antarindividu melainkan juga antarkelompok,
masyarakat, dan bangsa. Husnut tafahum, demikian istilah yang baru-baru ini diperkenalkan
oleh Wakil Presiden Ma’ruf Amin.

Dengan kesadaran penuh sebagai bangsa yang majemuk—meliputi agama, suku, ras,
budaya, dan beragam perbedaan kultural lainnya, bahkan pandangan politik—para ulama
kita mengajarkan satu pedoman yang disebut dengan saddu dzara’i (mencegah terbukanya
jalan kerusakan). Dalam istilah lain yang lebih populer kita mengenal kaidah dar'ul mafasid
muqaddamun 'ala jalbil masalih (menghindari kerusakan didahulukan daripada melakukan
kebaikan).

Menghindari kerusakan adalah sebuah tindakan preventif yang bisa dilakukan sebelum
dampak madarat yang lebih besar terjadi. Tindakan preventif, menurut sudut pandang
agama, merupakan upaya yang baik dalam menentukan sikap apapun.

Sedikitnya ada dua rambu yang patut dijadikan panduan untuk mencegah suut tafahum,
kesalahpahaman, prasangka. Pertama, menghargai karya dan kebanggaan orang lain.
Kedua, tidak mencela keyakinan orang lain. Dua prinsip sepaket itu lugas apabila hendak
dijadikan asas bagi kita dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kita bisa mengambil ilham dari ungkapan terkenal Nelson Mandela, usai bebas, setelah
selama dua puluh tujuh tahun mendekam di penjara rezim apartheid, satu masa kritis ketika
bangsa Afrika Selatan di ambang perang saudara. “Jika Anda berbicara dengan seseorang
dalam bahasa yang dia pahami,” Mandela menjelaskan, “itu masuk ke kepalanya. Jika Anda
berbicara dengan dia dalam bahasanya sendiri, itu masuk ke hatinya.”

Kerelaan untuk menghargai orang lain dan tidak mencela keyakinan mereka, ditambah
upaya memahami jati diri orang lain, bahkan musuh atau lawan, merupakan ekspresi dari
komitmen untuk mengembangkan kesepahaman dan kerja sama.

Ekspresi itu akan tumbuh, bersemi, dan mekar jika—ini yang penting—manakala kita insaf
akan sifat asali atau fitrah sebagai manusia. Ya, sekali lagi, ramah dan cinta damai. Dengan
cara itulah kita bisa dengan yakin bahwa kita, sebagai bangsa, akan lestari dan menjadi
bangsa yang maju dan membangun peradaban luhur. Semoga Allah menjauhkan kita dari
perpecahan. []

Anda mungkin juga menyukai