Anda di halaman 1dari 247

Prof. Dr. jur. Udin Silalahi, SH.,LL.

M
Magister Hukum UPH

1
Sejarah (latar belakang) Hukum Persaingan Usaha
(HPU)
 Perusahaan-perusahaan besar
 Tidak melakukan perubahan dalam proses produksi:
tidak ada efisiensi dan inovasi.
 Pertumbuhan perusahaan cenderung statis, nyaman
dengan posisi yang telah dicapai.

2
Latar Belakang Lahirnya HAPU
 Perusahaan melakukan praktek kartel
 Terjadi konsentrasi ekonomi ditangan pelaku usaha tertentu
 Pertumbuhan ekonomi stagnan dan pembagian pendapatan tidak
merata
 Lahirlah Hukum Persaingan Usaha/Antitrust Law pada tahun 1890
dengan judul “Act to Protect Trade and Commerce Against Unlawful
Restraints and Monopolies” di AS yang lebih dikenal dengan Sherman
Act sesuai dengan nama inisiatornya, yaitu Senator John Sherman dari
Partai Republik.
 Kemudian diikuti oleh Clayton Act dan Federal Trade Commission Act
tahun 1914.

3
Latar Belakang Lahirnya HAPU
 Di Indonesia:
 Issu perlunya UU Antimonopoli pertama kali
dilontarkan oleh Christianto Wibisono pada tahun 1984.
 Perusahaan-perusahaan besar di Indonesia mulai
melakukan pemusatan kekuatan ekonomi.
 Akan tetapi issu tersebut hilang begitu saja tidak
membawa dampak yang berarti bagi masyarakat.

4
Latar Belakang Lahirnya HAPU
 Pada Tahun 1989 muncul kembali issu pentingnya suatu
UU Antimonopoli bagi negara Republik Indonesia, karena
konglomerat semakin banyak, sedangkan pelaku usaha
kecil dan menengah semakin tertekan bahkan banyak yang
gulung tikar.
 Perdebatan pentingnya UU Antimonopoli berlangsung
selama enam bulan mulai pertengahan Juli 1989 –
Desember 1989.
 Akhirnya diakhiri dengan suatu seminar yang
diselenggarakan oleh Yayasan Prastya Mulia yang
menyimpulkan, bahwa UU Antimonopoli belum
diperlukan.

5
Latar Belakang Lahirnya HAPU
 Namun demikian para akademisi tetap mencoba membuat
draft UU Antimonopoli.
 Misalnya pada tahun 1992 Litbang PDI yang diketuai oleh
Kwik Kian Gie mengeluarkan konsep UU Antimonopoli.
 Pada tahun 1994 Bpk. Normin Pakpahan membuat konsep
UU Antimonopoli yang didukung oleh ELIPS bekerjasama
dengan Dep. Keuangan.
 Hal yang sama juga dilakukan oleh Fak. Hukum UI
bekerjasama dengan Dep. Perindustrian dan Perdagangan.

6
Latar Belakang Lahirnya HAPU
 Pada pertengahan 1997 Indonesia dilanda krisis
ekonomi.
 Untuk memulihkan krisis ekonomi tersebut Pemerintah
Indonesia mendapat tawaran bantuan keuangan dari
IMF sebesar $USA 43 miliar.
 Dan salah satu syarat pencairan dana tersebut beberapa
perundang-undangan harus dibuat, antara lain adalah
undang-undang yang mengatur tentang Antimonopoli
dan persaingan usaha yang sehat.

7
Latar Belakang Lahirnya HAPU
 Untuk itu, Pemerintah dalam hal ini Deperindag
membuat rancangan undang-undang Antimonopoli dan
DPR juga.
 Akhirnya disepakati Rancangan undang-undang
Antimonopoli tersebut disepakati merupakan usul
inisiatif DPR.
 Melalui berbagai diskusi antara Pemerintah dan DPR
lahirlah UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang
diundangkan pada tgl. 5 Maret 1999.

8
Apa itu persaingan usaha?
 Dua atau lebih pelaku usaha melakukan kegiatan usaha
yang sama bersaing untuk menjadi yang lebih unggul di
pasar yang bersangkutan
 Di dalam persaingan, mereka mempunyai tujuan yang
sama, untuk menjadi yang lebih besar
 Di pasar minimal terdapat dua pelaku usaha sebagai
penjual atau sebagai pembeli

9
Apa itu persaingan usaha
 Tidak ada definisi yang baku
 Kalau ada, maka perkembangan ekonomi akan
terhambat
 Para ahli hukum kartel mempunyai pengertian masing-
masing mengenai apa itu persaingan usaha.
 Karena tidak ada definisi baku, maka yang ditetapkan
adalah pengertian persaingan usaha yang tidak sehat
yang dituangkan secara normativ di dalam UU No.
5/1999

10
Apa itu persaingan usaha
 Untuk menjelaskan formulasi tujuan dan definisi hukum
persaingan Klaus Herdzina menambahkan suatu sistimatika yang
masing-masing mempunyai sequensi sendiri-sendiri, yaitu:
 Persaingan usaha menunjukkan akibat-akibat atau boleh dikatakan
persaingan mengarah kepada suatu hasil pasar tertentu;
 Persaingan usaha mendokumentasikan prosedur pasar tertentu
atau dengan kata lain persaingan usaha menunjukkan tingkah laku
pasar tertentu pelaku usaha;
 Persaingan usaha terjadi, kalau syarat-syarat persaingan yang
mendasar cukup tersedia, misalnya ada dua atau lebih penjual atau
pembeli pada pasar yang bersangkutan.

11
Apa itu persaingan usaha
 Oleh karena tidak adanya suatu kesatuan
pendapat mengenai definisi hukum persaingan
usaha, maka tidak ada jalan lain untuk mengatur
hubungan antara pelaku usaha secara normatif
melalui suatu undang-undang.
 Di dalam UU No. 5/1999 tidak ditetapkan definisi
hukum persaingan usaha yang sehat, tetapi
definisi hukum persaingan usaha tidak sehat, yang
ditetapkan di dalam Pasal 1 angka. 6.

12
Persaingan Usaha Tidak Sehat
 Persaingan usaha tidak sehat adalah
persaingan antar pelaku usaha dalam
menjalankan kegiatan produksi dan atau
pemasaran barang dan atau jasa yang
dilakukan dengan cara tidak jujur atau
melawan hukum atau menghambat
persaingan usaha.

13
Persaingan Usaha Tidak Sehat
 Dari penjelasan diatas dan dari ketentuan Pasal 1 angka 6
tersebut dapat disimpulkan, bahwa persaingan usaha
adalah hubungan antara pelaku usaha yang satu dengan
yang lain.
 Definisi ketentuan Pasal 1 angka 6 mencampur adukkan
persaingan yang tidak sehat yang dilakukan secara tidak
jujur dengan melawan hukum atau menghambat
persaingan usaha.
 Sementara ketentuan persaingan usaha yang dilakukan
dengan cara tidak jujur tidak diatur di dalam UU No.
5/1999.

14
Perbuatan tidak jujur?

 Perbuatan tidak jujur adalah suatu tindakan penipuan yang


subjektiv, yang dapat dilakukan oleh suatu pelaku usaha
dalam bentuk apa saja, mungkin dalam proses produksi suatu
barang, atau dalam memasarkan barang tertentu.
 Misalnya: kualitas barang dan mereknya tidak sesuai dengan
harganya, kualitas barang tidak sesuai dengan yang
diiklankan, atau harga barang yang dibayar tidak sesuai
dengan harga yang tertera pada barang tersebut.

15
Perbuatan tidak jujur
 Oleh karena itu suatu tindakan penipuan yang dilakukan secara
tidak jujur, yang pembuktiannya mensyaratkan pembuktian yang
subjektiv.
 Akibat dari perbuatan tersebut dirasakan langsung oleh konsumen,
dan secara tidak langsung oleh pesaingnya.
 Hal-hal seperti ini diatur di dalam Pasal 382 bis KUHP, Pasal 1365
KUHPerdata dan UU No. 8/1999 tentang perlindungan konsumen.
 Jadi, hal ini tidak berhubungan dengan persaingan usaha antara
pelaku usaha yang satu dengan pelaku usaha pesaingnya

16
Perbuatan melawan hukum
 Persaingan usaha yang melawan hukum adalah
segala kegiatan usaha yang melanggar larangan
ketentuan perundang-undangan.
 Sedangkan larangan undang-undang adalah yang
melarang perilaku tertentu dan secara imperatif.
 Larangan imperatif biasanya diikuti dengan kata-
kata „dilarang atau tidak boleh“ di dalam suatu
ketentuan perundang-undangan.

17
Perbuatan melawan hukum
 Contohnya ketentuan-ketentuan di dalam KUHP, jika ketentuan-
ketentuan tersebut dilanggar langsung dijatuhkan hukuman
tertentu.
 Misalnya seseorang dijatuhi hukuman penjara lima tahun, karena
mencuri barang milik orang lain.
 Di dalam ketentuan UU No. 5/1999 ada juga ketentuan-ketentuan
yang menggunakan kata-kata „dilarang“ini bararti suatu pelaku
usaha otomatis dijatuhkan hukuman, jika terbukti pelaku usaha
tersebut melakukan pelanggaran ketentuan UU No. 5/1999 (per se
approache); dan
 Ketentuan menggunakan kata dilarang, tetapi akibat perbuatan
melawan hukum yang tersebut harus dibuktikan di pasar yang
bersangkutan, ini disebut dengan rule of reason approach.

18
Per se approach
 Suatu pendekatan terhadap penerapan ketentuan UU No.
5/1999, jika dilanggara oleh pelaku usaha, jika terbukti,
maka pelaku usaha tersebut langsung diberikan sanksi
oleh KPPU.
 Misalnya kalau pelaku usaha dengan pesaingnya
mengadakan perjanjian harga (price fixing) atas suatu
barang tertentu.
 Jadi, ketentuan UU No. 5/1999 lebih banyak mengatur
hubungan antara pelaku usaha dalam menjalankan
usahanya di wilayah Republik Indonesia.

19
Rule of reason approach
 Suatu pendekatan dalam penerapan ketentuan
UU No. 5/1999 dengan mempertimbangkan
adanya dampaknya terhadap pasar bersangkutan,
yaitu apakah ada keuntungan ekonomisnya serta
tidak menggangu persaingan usaha.
 Ketentuan yang menggunakan pendekatan rule of
reason biasanya di awali dengan kata “dilarang”
dan pada akhir kalimat diakhiri dengan kata-kata
“yang dapat mengakibatkan praktek monopoli
dan/atau persaingan usaha tidak sehat

20
Menghambat persaingan usaha
 adalah praktek-praktek atau perilaku pelaku usaha
yang menghambat persaingan itu sendiri yang
dilakukan oleh pelaku usaha di pasar yang
bersangkutan.

21
Kepada siapakah UU No. 5/1999 dapat
diterapkan?
 UU No. 5/1999 berlaku bagi setiap pelaku usaha.
 Hal ini ditetapkan di dalam Pasal 1 angka 5.
 Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan
usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan
hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan
kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia,
baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian,
menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang
ekonomi.
 Pelaku usaha: orang perorang; badan usaha yang berbadan
hukum (PT) dan yang tidak berbadan hukum (UD, FA, CV)

22
Kepada siapakah UU No. 5/1999 dapat
diterapkan?
 Ketentuan Pasal 1 angka 5 tersebut tidak
membedakan antara perusahaan terbuka
dan tertutup.
 Artinya, sepanjang pelaku usaha tersebut
melakukan kegiatan usahanya di wilayah
Republik Indonesia, UU No. 5/1999 dapat
diterapkan, jika melanggar ketentuan-
ketentuannya.
 Secara geografis UU No. 5/1999 berlaku
seluas wilayah Republik Indonesia.
23
Kepada siapakah UU No. 5/1999 dapat
diterapkan?
 Extraterritorial jurisdiction application by KPPU
Hukum Antimonopoli dan
Persaingan Usaha

Prof. Dr. jur. Udin Silalahi, SH., LL.M


Magister Hukum UPH

1
Asas UU No. 5/1999
⚫ Pasal 2 UU No. 5/1999:
⚫ Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan
kegiatan usahanya berasaskan demokrasi
ekonomi dengan memperhatikan
keseimbangan antara kepentingan pelaku
usaha dan kepentingan umum.
⚫ Demokrasi ekonomi→ gagasan atau
pandangan hidup yang mengutamakan
persamaan hak dan kewajiban, dan perlakuan
bagi semua warga negara dibidang ekonomi.

2
Tujuan HPU
⚫ Ada banyak daftar tujuan dari HPU yang
ditemukan oleh para ahli hukum kartel, yang
dapat kita baca di dalam literatur-literatur.
⚫ Di sini akan disebutkan hanya dua tujuan
pokok saja, yaitu.
• Untuk melakukan pencegahan hambatan persaingan
usaha, sehingga ekonomi menjadi lebih efisien, demi
kepentingan konsumen dan untuk kepentingan
nasional.
• Secara ekonomi UU No. 5/1999 (HPU) berusaha
supaya pendapatan dibagi-bagi di dalam ekonomi
pasar.

3
Tujuan HPU
⚫ UU No. 5/1999 mempunyai tujuan, yang ditetapkan di
dalam Pasal 3, yaitu
a. menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi
ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat;
b. mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui
pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga
menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang
sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah
dan pelaku usaha kecil;
c. mencegah praktek monopoli dan/atau persaingan usaha
tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha; dan
d. terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan
usaha.

4
Tujuan HPU
⚫ Dari keempat tujuan tersebut dapat dirumuskan menjadi
dua tujuan pokok yaitu,
⚫ yang pertama tujuan dibidang ekonomi dan
⚫ yang kedua tujuan meta ekonomi atau tujuan diluar
ekonomi.
⚫ Tujuan dibidang ekonomi tersebut antara lain adalah
untuk memberikan hak dan kesempatan yang sama bagi
setiap pelaku usaha untuk melakukan kegiatan di wilayah
RI; meningkatkan efisiensi bagi pelaku usaha serta
menciptakan persaingan usaha yang sehat dan kondusif.
⚫ Sedangkan tujuan diluar ekonomi adalah untuk mencapai
kesejahteraan masyarakat (consumer welfare).

5
Fungsi HPU
⚫ Fungsi Kebebasan:
⚫ Setiap orang mempunyai hak akan kebebasan.
⚫ Kebebasan adalah suatu dasar kehidupan yang
manusiawi bagi setiap orang.
⚫ Kebebasan biasanya ditetapkan di dalam setiap undang-
undang dasar setiap negara misalnya Pasal 2 ayat 1
UUD Jerman, pasal 28 A – 28 J UUD 1945.
⚫ Tetapi dia tidak boleh menggunakan kebebasannya atau
kekuasaannya untuk menggangu atau mengurangi hak-
hak orang lain.

6
Fungsi Kebebasan
⚫ Pelaku usaha juga mempunyai kebebasan akan
perencanaan usahanya, bagaimana barang atau jasanya
secara efektif masuk ke pasar dan dijual dengan harga
berapa.
⚫ Maka dibedakan antara kebebasan secara formal dan
secara materiil:
• kebebasan secara formal adalah tidak ada paksaan
melakukan kegiatan usahanya.
• kebebasan secara materiil adalah adanya kemungkinan
untuk merealisasi sendiri tujuan usahanya dalam kaitannya
dengan kebebasan secara formal, jadi kebebasan secara
individual melakukan perdagangan/kegiatan.

7
Fungsi Kebebasan
⚫ Persaingan usaha membuka ruang kebebasan kepada setiap
orang, yang dapat dilakukan untuk kegiatan usahanya.
⚫ Dalam kaitan ini Hoppmann berbicara tentang kebebasan
persaingan sebagai proses tukar menukar dan sebagai proses
yang paralel.
⚫ Persaingan memberikan kemungkinan tersedianya bermacam-
macam barang-barang yang ditawarkan.
⚫ Baik pembeli maupun penjual dalam sektor yang sama
mempunyai kemungkinan yang lebih untuk bertindak secara
kreativ.
⚫ Ruang gerak kebebasan ini yang dibuka oleh persaingan yang
disebut oleh Hoppmann sebagai kebebasan persaingan
⚫ Persaingan mensyaratkan, bahwa kebebasan tetap ada bagi
persaingan dan tetap dipelihara.

8
Fungsi Kebebasan
⚫ Jadi, kebebasan persaingan harus dijamin
melalui kondisi hukum yang sesuai dan melalui
suatu kebijakan persaingan yang
memungkinkan persaingan.
⚫ Di satu pihak persaingan memberikan pelaku
ekonomi kebebasan untuk melaksanakan
kegiatan ekonominya dengan dukungan
kemampuannya sendiri dan keuangannya
sendiri.
⚫ Dan dipihak lain parameter persaingan dibatasi
melalui peraturan perundangan-undangan dan
norma-norma moral dan adat istiadat.
9
Fungsi Pengontrol
⚫ Fungsi pengontrol dilihat dalam kaitannya dengan fungsi
kebebasan
⚫ Negara harus mengupayakan terhadap pemenuhan
lingkungan perundang-undangannya
⚫ Dan disamping itu institusi yang mempunyai sistem yang
immanen dan sarana harus mengontrol tingkah laku
pelaku usaha.
⚫ Proses pengontrolan memperhatikan konflik kepentingan
antara penjual dan pembeli demikian juga persaingan
antara penjual atau antara pembeli.
⚫ Pelaku usaha saling mengontrol.

10
Fungsi Pengontrol
⚫ Di mana mereka saling mengikuti kepentingan mereka sebagai
penjual atau pembeli.
⚫ Penjual ingin menjual barangnya semahal mungkin dan pembeli ingin
membeli suatu barang semurah mungkin.
⚫ Jadi, para pelaku pasar harus bersedia terhadap suatu kompromi, jika
suatu perjanjian ingin terlaksana, kalau tidak, mereka tidak
mempunyai kesempatan di dalam pasar
⚫ Kontrol dalam proses paralel mengupayakan terhadap kontrol pelaku
pasar pada pasar yang sama.
⚫ Kompetitor harus berorientasi dan mengukur kemampuan prestasi dan
aksi yang lain.
⚫ Di dalam ekonomi pasar setiap pelaku usaha sekaligus sebagai
pengontrol dan terkontrol
⚫ Jadi, persaingan usaha mempunyai fungsi pengontrol.
⚫ Tanpa persaingan usaha pelaku pasar tidak cukup dikontrol.

11
Fungsi koordinasi-penyesuaian
⚫ Fungsi koordinasi, bahwa kebutuhan
dikoordinasikan dengan produksi;
⚫ Sehingga hanya barang dan jasa dalam jenis,
kualitas dan jumlah tertentu yang
ditawarkan/dijual yang sesuai dengan
permintaan.
⚫ Maka fungsi penyesuaian persaingan
mengusahakan, bahwa produksi
menyesuaikan dengan kebutuhan yang
berubah-ubah dalam perjalanan waktu.

12
Fungsi koordinasi-penyesuaian
⚫ Permintaan suatu barang melebihi dari pada penawaran, maka harga
naik
⚫ Harga yang naik mengendalikan lebih banyak penjual di pasar,
dengan konsekuensi, bahwa Penawaran menjadi meningkat lagi.
⚫ Pada permintaan yang menurun harga juga akan turun, sehingga
sebagian penjual akan meninggalkan pasar.
⚫ Keseimbangannya dipulihkan kembali otomatis melalui persaingan
⚫ Mekanisme harga ini jaminan dari keseimbangan pasar hanya dapat
berfungsi, jika di semua pasar yang bersangkutan menguasai banyak
persaingan, harga bergerak secara bebas dan akses masuk ke dalam
pasar tetap terbuka bagi semua pelaku usaha.
⚫ Jadi fungsi koordinasi dan penyesuaian mengupayakan supaya
penjual berusaha terhadap pembeli, sesuai dengan bayangan mereka,
produksinya sedapat mungkin memenuhi keinginan pembeli dan
disesuaikan, bahwa produksi juga membutuhkan konfirmasi.
⚫ Produk yang tidak menemukan kepentingan pengguna, tidak dapat
dikurangi, selanjutnya persaingan mengusahakan terhadap
percepatan proses koordinasi
13
Fungsi Alokasi
⚫ Fungsi alokasi adalah terkait dengan fungsi koordinasi
dan fungsi penyesuaian, tetapi mempunyai akibat
tersendiri.
⚫ Dengan adanya tekanan persaingan pelaku usaha akan
selalu mencari akan kombinasi biaya minimal dari
kemampuan faktor-faktor yang digunakan dan
mensubsitusi kemampuan faktor yang relativ mahal
melalui harga yang relativ murah, jika hal ini secara
tehnis memungkinkan.
⚫ Dengan demikian persaingan mengusahakan, bahwa
suatu jumlah produksi tertentu diproduksi dengan biaya
minimum.
⚫ Faktor-faktor produksi akan dibuat sesuai dengan jumlah
ukuran kemampuan yang akan dicapai.

14
Fungsi Alokasi
⚫ Persaingan sendiri dapat membawa pelaku
usaha kepada suatu usaha ekonomi untuk
melakukan penurunan biaya produksi yang
disebut alokasi faktor produksi.
⚫ Persaingan mengusahakan untuk itu, bahwa
kegiatan faktor-faktor dikendalikan dimana
mereka lebih dibutuhkan sesuai dengan
permintaan barang dan ditempatkan dimana
yang lebih efektif.

15
Fungsi pendorong dan
penampian
⚫ Fungsi pendorong adalah berkaitan langsung dengan
fungsi penampian persaingan.
⚫ Penampian dalam proses persaingan berdasarkan
kriteria efisiensi ekonomi.
⚫ Siapa tidak memenuhi standard efisiensi yang diciptakan
dalam proses persaingan otomatis terpaksa keluar dari
pasar.
⚫ Fungsi penampian hanya membiarkan yang paling efisien
akan mejadi maju.
⚫ Pelaku usaha yang tidak efisien atau memproduksi tidak
sesuai dengan kebutuhan harus meninggalkan pasar.

16
Fungsi pembagian pendapatan
⚫ Fungsi pembagian persaingan terkait erat
dengan fungsi alokasi.
⚫ Dalam proses produksi ekonomi nasional
ditransformasikan kemampuan faktor-faktor
produksi, lingkungan hidup dan modal produksi
ke dalam penggunaan barang-brang yang
efektiv.
⚫ Dari segi faktor pasar ditawarkan dari
anggaran faktor kegiatan dan permintaan dari
produsen.

17
Fungsi pembagian pendapatan
⚫ Pendapatan/gaji dibagi berdasarkan cara dan
besarnya prestasi/kemampuan terhadap
produksi dari subjek ekonomi yang ikut ambil
bagian.
⚫ Ini disebut pembagian pendapatan secara
fungsional atau pembagian pendapatan yang
primer.
⚫ Apakah pembagian pendapatan adil, hal ini
dipengaruhi oleh prinsip-prinsip yang berbeda-
beda; yaitu:

18
Fungsi pembagian pendapatan
⚫ Prinsip keadilan prestasi: pendapatan
sebaiknya dibayar sesuai dengan prestasi nilai
pasar.
⚫ Prinsip kesamaan: untuk prestasi yang sama
seharusnya juga dibayar dengan pendapatan
yang sama.
⚫ Prinsip keadilan kebutuhan: siapa berdasarkan
situasi ekonomi dan sosialnya memerlukan
kebutuhan yang besar secara objektif, maka
dia seharusnya mendapat gaji/atau
pendapatan yang tinggi.

19
Bentuk perjanjian
⚫ Perjanjian horizontal: pelaku usaha melakukan kegiatan
usaha yang sama, contoh, kartel harga, jumlah produksi,
pembagian wilayah pemasaran
→ hard core cartels
⚫ Perjanjian vertikal : perjanjian antara pelaku usaha
dengan pelaku usaha yang lain yang mempunyai kaitan
usaha, yaitu dari pasar hulu ke hilir
⚫ Perjanjian diagonal: perjanjian antara pelaku usaha
dengan pelaku usaha yang lain yang tidak mempunyai
kaitan usaha sama sekali.

20
Perjanjian horizontal
⚫ Pasal 4-Pasal12;
⚫ Pasal 16-Pasal 18;
⚫ Pasal 22-Pasal 24

21
Perjanjian Vertikal
⚫ Pasal 14-Pasal 15
⚫ Pasal 14 → larangan penguasaan sejumlah
produk yang termasuk dalam rangkaian
produksi barang dan atau jasa tertentu yang
mana setiap rangkaian produksi merupakan
hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik
dalam satu rangkaian langsung maupun tidak
langsung yang dapat mengakibatkan
terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan
atau merugikan masyarakat.

22
Perjanjian Vertikal

⚫ Pasal15 → Perjanjian tertutup

23
Perjanjian Diagonal
⚫ Pasal 28 ayat 2 → Pelaku usaha
dilarang melakukan pengambilalihan
saham perusahaan apabila tindakan
tersebut dapat mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli dan atau persaingan
usaha tidak sehat.

24
Hambatan Persaingan Usaha
⚫ Horizontal (horizontal restraint of trade)
⚫ Vertikal (vertical restraint of trade)
⚫ Diagonal (diagonal restraint of trade)

25
Jenis hambatan persaingan usaha
dan ciri-cirinya
Jenis Hambatan Persaingan Usaha oleh Pelaku Usaha Hambatan Persaingan Usaha oleh
Negara

Kolusi Kartel Konsentrasi Penyalah gunaan Regulasi


kekuasaan pasar

Dasar Perilaku paralel Kesepakatan Pertumbuhan Penyalahgunan Peraturan


secara nyata, berdasarkan eksternal dan economic of birokrasi negara,
kesepakatan perjanjian internal scale terhadap regulasi-regulasi
tanpa perjanjian pembeli, pesaing, dan intervensi
atau
liveransir/penjual
barang

Strategi Strategi perilaku Strategi Strategi Strategi Strategi regulasi


dan perundingan perundingan pertumbuhan hambatan dan
eksploitasi

Arah Horizontal, Horizontal Horizontal, Horizontal, Horizontal


vertikal vertikal, diagonal vertikal, diagonal

Bentuk Hukum Tanpa perjanjian Dengan Gabungan Tanpa perjanjian Melalui Undang-
tertulis perjanjian tertulis perusahaan, trust tertulis, dengan undang,
perjanjian tertulis Peraturan
Pemerintah
26
Apa perjanjian itu menurut HPU?
⚫ Perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau
lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri
terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain
dengan nama apa pun, baik tertulis maupun
tidak tertulis (Pasal 1 angka 7 UU No. 5/1999).
⚫ Bandingkan dengan pengertian perjanjian
menurut Pasal 1313 jo Pasal 1320 KUHPer.
⚫ Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan
dengan amana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain
atau lebih (Pasal 1313 KUH Per.)
27
Apa perjanjian itu menurut HPU?
⚫ Pasal 1320 untuk sahnya suatu perjanjian
diperlukan 4 syarat:
⚫ Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
⚫ Kecakapan untuk membuat sesuatu perikatan;
⚫ Suatu hal tertentu;
⚫ Suatu sebab yang halal.
⚫ Pasal 1338→ kebebasan berkontrak → semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi para pihak.
28
Apa perjanjian itu menurut HPU?
⚫ Perjanjian menurut HPU:
⚫ Suatu ikatan→ ikatan tersebut tidak harus
melibatkan semua pihak yang berpartisipasi
dalam perjanjian bersangkutan.
⚫ Ikatan hukum→ suatu pihak terikat menurut
hukum, apabila perjanjian yang dilakukan
mengakibatkan kewajiban hukum
⚫ Ikatan ekonomi→ pihak yang terikat perjanjian
beruntung apabila mengikuti strategi yang
disepakati, sedangkan jika menyimpang dari
strategi tersebut mengalami kerugian.

29
Perjanjian menurut UU No.
5/1999
⚫ Pasal 1 angka 7:
⚫ Perjanjian adalah suatu perbuatan satu
atau lebih pelaku usaha untuk
mengikatkan diri terhadap satu atau
lebih pelaku usaha lain dengan nama
apapun, baik tertulis maupun tidak
tertulis.

30
Perjanjian menurut UU No.
5/1999
⚫ Perjanjian menurut HPU termasuk
“gentlemen’s agreements”.
⚫ Termasuk dalam perilaku yang saling
menyesuaikan yang perlu dibuktikan
merusak persaingan di pasar yang
bersangkutan.
⚫ Termasuk tindakan bersama yang paralel
(concerted action atau concerted practices).

31
Hukum Antimonopoli dan
Persaingan Usaha
Prof. Dr. jur. Udin Silalahi, SH., LL.M
Magister Hukum UPH
Struktur Pasar

• Monopoli
• Monopsoni
• Oligopoli
• Oligopsoni
• Poli-poli
Monopoli
• Monopoli adalah keadaan suatu pasar dimana
terdapat hanya satu pelaku usaha yang
melakukan penjualan suatu barang atau jasa
tertentu.
• Pasal 1 angka 1: Monopoli adalah penguasaan
atas produksi dan atau pemasaran barang dan
atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu
pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha.
• Pasal 17 ayat 2→ menguasai pangsa pasar lebih
dari 50%
Monopoli
• Bentuk-bentuk monopoli:
• Monopoli alamiah (natural monopoly) - Monopoli ini
muncul secara alami tanpa ada rekayasa dan tidak
ada fasilitas serta perlakuan istimewa dari penguasa
sehingga produk yang dihasilkan dapat bersaing
dan menguasai pasar hingga 100%.
• Monopoli berdasarkan Undang-undang (monopoly
by law) yang ditetapkan oleh pemerintah.
• UU No. 5/1999 memberikan wewenang kepada
Pemerintah untuk melakukan monopoli melalui UU
(Pasal 51)
Monopoli

• Monopoli murni (pure monopoly) - suatu


monopoli yang berada di tangan produsen
barang dan jasa dengan merek dagang
terkenal, yang dilakukan melalui cara-cara
halal, fair serta mampu menentukan trend
di pasar tertentu dan produsen pesaing
lainnya terpaksa mengikuti trend tersebut.
Monopsoni

• Pasal 18 ayat 2 → menguasai pangsa pasar lebih


dari 50%
• Pasal 18 ayat 1 → Pelaku usaha dilarang
menguasai penerimaan pasokan atau menjadi
pembeli tunggal atas barang dan atau jasa dalam
pasar bersangkutan yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan
usaha tidak sehat.
Oligopoli

• Oligopoli adalah keadaan pasar dimana terdapat


dua atau tiga pelaku usaha sebagai penjual yang
mempunyai pangsa pasar yang seimbang.
• Pasal 4 ayat 2 → diduga atau dianggap melakukan
penguasaan produksi dan atau pemasaran barang
dan atau jasa, apabila dua atau tiga pelaku usaha
atau satu kelompok pelaku usaha menguasai
pangasa pasar lebih dari 75%.
Oligopoli
• Di dalam pasar oligopoli terjadi keterkaitan reaksi -
conscious parallelism (lawyer); oligopolistic
interdependence (economist).
• Hal ini terjadi pada:
• Produk yang homogen→ tidak terjadi persaingan
kualitas
• Kalau satu pelaku usaha (Market leader) menaikkan
harga yang lain akan ikut menaikkan harganya.
• Kalau satu pelaku usaha (market leader) menurunkan
harga yang lain ikut menurunkan harganya.
Oligopsoni

• Oligopsoni adalah keadaan pasar dimana terdapat


dua atau tiga pelaku usaha sebagai pembeli yang
mempunyai pangsa pasar yang seimbang.
• Pasal 13 ayat 2 →diduga atau dianggap melakukan
penguasaan produksi dan atau pemasaran barang
dan atau jasa, apabila dua atau tiga pelaku usaha
atau satu kelompok pelaku usaha menguasai
pangasa pasar lebih dari 75%.
Poli-poli
• Poli-poli adalah keadaan suatu pasar dimana terdapat banyak
penjual dan banyak pembelinya → pasar sempurna (Adam
Smith)
• Persaingan adalah suatu tata cara koordinasi perusahaan dahulu
yang mana menjadi sinthesa yang optimal dengan tujuan
menjamin kebebasan, kesamaan dan kemakmuran.
• Pasar berjalan secara otomatis atau dengan sendirinya →
invisible hand
• Akan tetapi pada waktu itu para ekonom klasik ini belum
membuat pemikiran syarat-syarat bagaimana persaingan dapat
berfungsi, dimana ada hambatan-hambatan persaingan dapat
dihilangkan.
Analisis Terhadap Pasar
• Di dalam melakukan penilaian atas kasus persaingan
usaha, apakah pelaku usaha melakukan praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat pada
pasar yang bersangkutan, hal pertama yang menjadi
perhatian lembaga pengawas persaingan usaha adalah
bagaimana struktur pasar pada pasar yang
bersangkutan, yaitu apakah monopoli atau oligopoli.
• Untuk melihat apakah persaingan usaha terdistorsi atau
tidak, maka perlu dianalisis pengaruh struktur pasar
terhadap perilaku perusahaan dalam pasar tersebut
dan kinerja yang dihasilkan oleh pasar.
Analisis Terhadap Pasar
• Untuk itu dapat digunakan pendekatan structure
conduct performance (SCP), yaitu adanya
hubungan langsung antara struktur pasar dengan
perilaku dan kinerja pasar.
• Dalam sebuah pasar persaingan sempurna, kinerja
yang dihasilkannya-pun akan efisien karena tingkat
harga yang terbentuk sama dengan biaya
marjinalnya.
• Dalam jangka panjang perusahaan yang tidak
efisien harus keluar dari pasar karena dalam jangka
panjang laba ekonomi sama dengan nol.
Analisis Terhadap Pasar
• SCP berpendapat bahwa struktur pasar akan
mempengaruhi perilaku perusahaan dalam
membuat keputusan untuk berkompetisi atau
berkolusi.
• Tingkat konsentrasi pasar yang tinggi akan
mendorong untuk melakukan kolusi, yang pada
giliriannya akan menentukan kinerja yang dicapai.
• Struktur pasar sebagai pengaruh utama dari
keberhasilan fungsi pasar.
• Kinerja= f (struktur, perilaku dan kondisi dasar)
Analisis Terhadap Pasar
• Sedangkan aliran Chicago School lebih menekankan
pada pentingnya analisis teoritis.
• Chicago School memilih model persaingan sempurna,
karena dianggap memiliki kekuatan penjelasan
(explanatory power) yang lebih baik.
• Perbedaan aliran SCP dengan chicago school, SCP
menekankan struktur pasar sebagai pengaruh utama
dalam kinerja pasar, sehingga pemilikan kekuatan pasar
yang tidak seimbang, yang berasal dari struktur pasar
yang tidak seimbang pula akan menyebabkan kinerja
pasar yang buruk.
• Sedangkan aliran Chicago school berpendapat
sebaliknya, bahwa sumber utama munculnya kekuatan
monopoli adalah campur tangan pemerintah di pasar.
Analisis Terhadap Pasar
• Pemerintah, dengan sengaja atau tidak, dapat
mencegah beberapa perusahaan untuk ikut
berkompetisi, yang merupakan keuntungan bagi
perusahaan yang lain.
• Posisi yang baik bagi pemerintah supaya pasar
berfungsi dengan baik, mundur dan berada di luar
pasar, dan menyerahkan semuanya kepada kekuatan
pasar.
• Menurut aliran Chicago, monopoli bukan sesuatu yang
harus dikhawatirkan, karena bersifat temporal.
• Monopoli timbul karena proses produksi yang lebih
efisien.
• Jika tidak ada perusahaan yang lebih efisien, maka
perusahaan itu terus menjadi perusahaan monopoli.
Analisis Terhadap Pasar
• Jadi aliran Chicago merupakan kebalikan dari aliran
SCP.
• Struktur = f (kinerja, perilaku, kondisi pasar)
• Chicago school secara fundamental bersifat teoritis,
dengan penekanan pada teori ekonomi dasar
tertentu, studi yang bersifat empirik sangat jarang
dilakukan, kalaupun dilakukan lebih bersifat kritikan
terhadap penelitian yang dilakukan menurut tradisi
SCP.
Analisis Terhadap Pasar
• Dalam pasar monopoli, harga yang terbentuk lebih tinggi
daripada biaya marjinalnya sehingga dalam jangka panjang
perusahaan yang tidak efisien tetap bisa bertahan dalam pasar.
• Menurut pendekatan structure-conduct-performance, perilaku
perusahaan dalam pasar akan sangat dipengaruhi oleh struktur
pasar dimana ia berada.
• Bila ia berada dalam struktur pasar monopoli maka perilaku-nya
adalah selayaknya seorang monopolis dimana ia merupakan
pelaku produksi atau pemasaran satu-satunya.
• Apabila perusahaan monopoli tersebut melakukan perbuatan
yang menyebabkan pesaingnya keluar dari pasar atau
menghalangi entry perusahaan baru maka perusahaan monopoli
tersebut dinyatakan merusak pasar dan mengurangi persaingan
dalam pasar.
Analisis Terhadap Pasar
• Dalam pasar oligopoli, masing-masing pelaku pasar akan
berusaha untuk dapat memanfaatkan posisi dominannya.
• Akan tetapi bila tidak ada satu perusahaan yang memiliki posisi
dominan maka ada kemungkinan mereka melakukan kolusi
untuk memaksimisasi keuntungan.
• Kolusi dilakukan untuk menghindari perang harga antar
produsen, yaitu bila mereka saling menurunkan harga demi
mempertahankan share mereka dalam pasar.
• Perang harga ini akan berujung pada kerugian karena apabila
ada satu perusahaan yang menurunkan harga maka perusahaan
lain juga akan ikut menurunkan harga dengan tujuan agar
pangsa pasar perusahaan tidak turun atau hilang (Kinked
Demand Curve).
Analisis Terhadap Pasar
• Perusahaan yang berusaha dalam pasar yang
berstruktur oligopoli akan berusaha untuk mendapatkan
keuntungan maksimum dengan berusaha sendiri atau
dengan berkolusi.
• Kolusi dapat dilakukan dengan menetapkan harga atau
kesepakatan lain yang sifatnya non harga seperti
kesepakatan alokasi pasar.
• Dengan kolusi maka kinerja yang dihasilkan oleh pasar
ini juga tidak efisien karena kolusi menyebabkan pasar
tidak lagi berfungsi sebagai mekanisme penentuan
harga dan akhirnya konsumen harus membayar dengan
tingkat harga yang lebih tinggi daripada biaya untuk
menghasilkannya karena alokasi sumber daya yang
tidak efisien.
Analisis Terhadap Pasar
• Biasanya semakin bertambahnya jumlah penjual
persaingan akan semakin meningkat, sehingga
keuntungan akan menurun.
• Sementara itu derajat dari diferensiasi produk,
pengetahuan penjual dan pembeli mengenai produknya
serta adanya hambatan untuk masuk pasar juga
mempengaruhi kekuatan penjual di pasar.
• Untuk mengukur derajat konsentrasi pasar, biasanya di
dalam literatur sering digunakan Concentration Ratio
(CR) dan Herfindahl Hirschman Index (HHI).
• Biasanya nilai HHI antara 1000-1800 dinyatakan sebagai
konsentrasi moderat, sedangkan lebih dari 1800 adalah
konsentrasi tinggi.
Analisis Terhadap Pasar

• Aspek hukum
• Dalam menganalisis dari aspek hukum
digunakan pendekatan:
• Teori objek
• Teori sebab akibat
• Teori tujuan
Analisis Terhadap Pasar
• Teori objek → pendekatan berdasarkan fakta perjanjian
yang dilakukan oleh para pihak
• Teori sebab akibat → pendekatan terhadap akibat
perjanjian yang dilakukan para pihak terhadap pasar
yang bersangkutan disebut juga effect doctrine.
• Teori tujuan → pendekatan berdasarkan tujuan dari
perjanjian yang dibuat para pihak dimana sejak semula
para pihak tujuan perjanjian menguntungkan dan
sekaligus merugikan atau mendistorsi pasar.
Cartel Prohibition Article 101 (1) TFEU
➢ „The following shall be prohibited as incompatible with the internal market: all
agreements between undertakings, decisions by associations of undertakings
and concerted practices which may affect trade between Member States and
which have as their object or effect the prevention, restriction or distortion of
competition within the internal market, and in particular those which:
➢ (a) directly or indirectly fix purchase or selling prices or any other trading
conditions;
➢ (b) limit or control production, markets, technical development, or
investment;
➢ (c) share markets or sources of supply;
➢ (d) apply dissimilar conditions to equivalent transactions with other trading
parties, thereby placing them at a competitive disadvantage;
➢ (e) make the conclusion of contracts subject to acceptance by the other
parties of supplementary obligations which, by their nature or according to
commercial usage, have no connection with the subject of such contracts.“
Perjanjian Yang Dilarang Mengenai
Harga
Prof. Dr. jur. Udin Silalahi, SH., LL.M
Magister Hukum UPH
Ketentuan Harga

• Perjanjian penetapan harga diatur di


dalam Pasal 5-Pasal 8 UU No. 5/1999.
• Pasal 5 - penetapan harga (price fixing)
• Pasal 6 diskriminasi harga (price
discrimination)
• Pasal 7 Penetapan harga di bawah harga
pasar
• Pasal 8 Penetapan harga jual jual Kembali
(resale price maintenance).
Harga
• Setiap konsumen berhak mendapatkan barang
dan jasa dengan kualitas terbaik pada harga
terendah.
• Persaingan antar produsen merupakan
mekanisme untuk mencapai hal di atas.
• Kondisi persaingan akan tercipta apabila pelaku
pasar menetapkan harga independent atau tidak
melalui kolusi.
• Ketika para pelaku pasar melakukan kolusi
penetapan harga maka harga akan naik dan
konsumen akan dirugikan.
Pasal 5

• Ayat (1):
• Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian
dengan pelaku usaha pesaingnya untuk
menetapkan harga atas suatu barang dan
atau jasa yang harus dibayar oleh
konsumen atau pelanggan pada pasar
bersangkutan yang sama.
Penetapan Harga (Price fixing)

• Price fixing dilakukan dengan tujuan untuk


memaksimisasi joint profit dari
perusahaan-perusahaan yang tergabung
dalam kesepakatan price fixing.
• Dengan kesepakatan harga, produsen
dapat mengkontrol harga dan menetapkan
harga yang paling menguntungkan bagi
mereka.
Price Fixing
• Dengan adanya kesepakatan price fixing maka
mekanisme terciptanya harga melalui tarik menarik
antara supply dan demand tidak terjadi karena para
produsen telah menetapkan harga yang dapat
memaksimisasi keuntungan mereka.
• Kesepakatan ini juga akan sangat merugikan industri
tersebut karena akan sulit bagi pelaku baru untuk masuk
dalam pasar tersebut.
• Pihak-pihak yang tergabung dalam price fixing
agreement akan menghalangi masuknya pesaing
dengan menciptakan barrier to entry.
Penetapan Harga (Price Fixing)
• Price fixing adalah salah satu bentuk
kolusi yang dilakukan melalui penetapan
harga.
• Pembuktian atas pelanggaran price fixing
tidak perlu dilakukan apabila perjanjian
tersebut telah dilaksanakan.
• Bukti apapun yang menunjukkan telah
terjadi kolusi penetapan harga dapat
digunakan sebagai dasar tuntutan.
Penetapan Harga (Price Fixing)
• Hambatan persaingan secara horizontal adalah penetapan harga
(pasal 5 ayat 1)
• Ketentuan pasal 5 ayat 1 adalah suatu larangan yang bersifat per
se.
• Mengapa dilarang per se?
• Biasanya pelaku usaha untuk mendapatkan keuntungan yang besar
• Menutup persaingan diantara pelaku usaha yang saling bersaing
• Merugikan konsumen, konsumen tidak mempunyai alternatif, untuk
membeli produk yang sama dengan harga yang berbeda (yang lebih
murah).
• Harga yang dibayar oleh konsumen bukan lagi harga akibat
persaingan melalui proses antara permintaan dan penawaran,
melainkan ditetapkan oleh pelaku usaha yang membuat perjanjian.
Penetapan Harga (Price Fixing)
• Contoh kasus penetapan harga adalah kartel
SMS dalam Perkara No. 26/KPPU-L/2007
• Para operator seluler menetapkan harga per
SMS interval antara Rp. 250 – 350.
• Buktinya Tim Pemeriksa menemukan beberapa
perjanjian tertulis mengenai harga SMS off-net
yang ditetapkan oleh operator sebagai satu
kesatuan PKS Interkoneksi.
Putusan KPPU:
• Perkara No. 10/KPPU-L/2005 – Kartel Garam
• Perkara No. 11/KPPU-I/2005 – Kartel Semen Gresik
• Perkara No. 26/KPPU-L/2007 – Kartel SMS
• Perkara No. 25/KPPU-I/2009 – Kartel Fuel Surcharge
• Perkara No. 01/KPPU-I/2010 – Kartel Semen
• Perkara No. 17/KPPU-I/2010 – Kartel Farmasi (Obat)
• Perkara No. 05/KPPU-I/2013 – Kartel Impor Bawang Putih
• Perkara No. 08/KPPU-i/2014 – Kartel Ban Kenderaan Bermotor
Roda Empat
• Perkara No. 02/KPPU-I/2016 – Kartel Produksi Bibit Ayam Pedaging
Penetapan Harga (Price Fixing)
• Oleh karena itu Adam Smith sangat concern
dalam memerangi kartel harga.
• Dia mengatakan bahwa „people of the same
trade seldom meet together, even for merriment
and diversion, but the conversation ends in a
conspiracy against the public, or in some
contrivance to raise prices“
• Jadi para pelaku usaha bertemu dimana saja
cenderung melakukan konspirasi untuk
merugikan masyarakat atau untuk menaikkan
harga suatu barang tertentu.
Pasal 5

• Ayat (2):
• Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) tidak berlaku bagi:
• suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu
usaha patungan; atau
• suatu perjanjian yang didasarkan undang-
undang yang berlaku.
Pasal 6

• Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian


yang mengakibatkan pembeli yang satu
harus membayar dengan harga yang
berbeda dari harga yang harus dibayar
oleh pembeli lain untuk barang dan atau
jasa yang sama.
Diskriminasi harga
• Ada tiga jenis diskriminasi harga yaitu diskriminasi harga
tingkat satu, tingkat dua, dan tingkat tiga.
• Diskriminasi harga tingkat satu terjadi saat setiap
konsumen membayar produk yang sama dengan harga
yang berbeda.
• Sedangkan pada diskriminasi harga tingkat dua,
penjual menawarkan berbagai tingkat harga pada semua
konsumennya, dan kemudian konsumennya yang
memilih tingkat harganya.
• Konsumen-konsumen tersebut membayar harga yang
berbeda, tetapi setiap konsumen yang memilih kategori
harga yang sama akan mendapatkan produk tersebut
pada harga yang sama.
Diskriminasi harga
• Contohnya adalah harga tiket pesawat pada hari sabtu
dan non-hari sabtu adalah berbeda. Semua konsumen
yang memilih membeli tiket untuk hari sabtu membayar
harga yang sama.
• Diskriminasi harga tingkat tiga agak berbeda dengan
diskriminasi tingkat satu dan dua.
• Diskriminasi harga pada tingkat ini ditentukan oleh
kemampuan penjual untuk memisahkan pembeli secara
efektif menjadi beberapa kelompok.
• Ketika ada beberapa kelompok yang
memiliki elastisitas permintaan yang
berbeda maka penjual dapat menerapkan
diskriminasi harga. Misalkan kita
menghadapi dua kelompok konsumen
dengan fungsi permintaan yang berbeda.
Diskriminasi harga
• Permintaan konsumen kelompok satu lebih
inelastis dibandingkan permintaan kelompok
dua.
• Dengan asumsi biaya marjinal sama dengan nol
maka untuk memaksimumkan keuntungan
perusahaan dapat menjual produk tersebut
dengan harga yang berbeda untuk kedua
kelompok yang berbeda dimana harga pada
pasar yang permintaannya inelastis adalah dua
kali harga di pasar yang permintaannya lebih
elastis.
Diskriminasi harga
• Contoh kasus diskriminasi harga diputus oleh
KPPU dalam kasus kartel garam, Perkara No.
No. 10/KPPU-L/2005
• G3 menetapkan harga jual garam bahan baku
kepada pelaku usaha selain G3 dan G4 lebih
tinggi (Rp. 490 atau Rp. 510) dibandingkan
dengan harga jual garam bahan bakunya
kepada pelaku usaha selain G3 dan G4.
Penetapan Harga dibawah Harga Pasar (maintained
minimum resale prices) Pasal 7

• Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian


dengan pelaku usaha pesaingnya untuk
menetapkan harga di bawah harga pasar,
yang dapat mengakibatkan terjadinya
persaingan usaha tidak sehat.
Penetapan harga jual kembali (Resale
Price Maintenance) Pasal 8
• Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian
dengan pelaku usaha lain yang memuat
persyaratan bahwa penerima barang dan
atau jasa tidak akan menjual atau
memasok kembali barang dan atau jasa
yang diterimanya, dengan harga yang
lebih rendah daripada harga yang telah
diperjanjikan sehingga dapat
mengakibatkan terjadinya persaingan
usaha tidak sehat.
Resale Price Maintenance (RPM)
• RPM menurut Pasal 8 UU No. 5/1999 menggunakan pendekatan
rule of reason.
• Yang dilarang adalah perjanjian pelaku usaha dengan pelaku usaha
lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau
jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan atau
jasa yang diterimanya, dengan harga yang lebih rendah daripada
harga yang telah diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan
terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
• Penerima barang tidak menjual barang kembali lebih rendah
daripada harga yang disepakati.
• Sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak
sehat.
• Jadi, kalau penjualan kembali dibawah harga yang disepakati tidak
mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat, maka penjualan
kembali tersebut tidak dilarang oleh UU No. 5/1999.
Resale Price Maintenance

Principal

Dis A Dis B Dis C

Agen D Agen E Agen F Agen G Agen H Agen I


Hukum Antimonopoli dan
Persaingan Usaha
(Pasal 9 – Pasal 13)
PROF. DR. JUR. UDIN SILALAHI, SH., LL.M
MAGISTER HUKUM UPH
Pembagian Wilayah
Pemasaran (Pasal 9)
 Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan
pelaku usaha pesaingnya untuk membagi wilayah
pemasaran atau lokasi pasar terhadap barang atau jasa
sehingga mengakibatkan praktek monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat.
 Syarat larangan Pasal 9 para pelaku usaha bergerak
dibidang usaha yang sama dan melalui perjanjian
tersebut persaingan diantara mereka menjadi tertutup.
 Akibatnya masing-masing pelaku usaha menjadi terbatas
wilayah pemasarannya.
 Konsumen tidak mempunyai alternatif untuk membeli
produk yang lain.
 Akhirnya masing-masing pelaku usaha dapat menentukan
sendiri jumlah produk, kualitas dan harga yang harus
dibayar oleh konsumen
 Pelaku usaha tidak berupaya lagi melakukan efisiensi, dan
tidak mengupayakan peningkatkan kualitas produk dan
pelayanan yang baik bagi konsumen.
Pembagian Wilayah
Pemasaran
 Contoh kasus yang telah diputus KPPU
sehubungan dengan penerapan Pasal 9 adalah
dalam kasus Pembagian Wilayah DPP AKLI Pusat
dalam Perkara No. 53/KPPU-L/2008.
Pembagian Wilayah
Pemasaran
 Terlapor I (Dewan Pengurus Pusat Asosiasi
Kontraktor Listrik dan Mekanikal Indonesia-
DPP AKLI) melalui Terlapor II (Dewan Pengurus
Daerah Asosiasi Kontraktor Listrik dan
Mekanikal Indonesia-DPD AKLI), Terlapor III
(Dewan Pengurus Cabang Asosiasi
Kontraktor Listrik dan Mekanikal Indonesia-
DPD AKLI, Palopo), Terlapor IV (Dewan
Pengurus Cabang Asosiasi Kontraktor Listrik
dan Mekanikal Indonesia-DPD AKLI, Luwu
Utara), Terlapor V (Dewan Pengurus Cabang
Asosiasi Kontraktor Listrik dan Mekanikal
Indonesia-DPD AKLI, Luwu Timur), Terlapor VI
(Dewan Pengurus Cabang Asosiasi
Kontraktor Listrik dan Mekanikal Indonesia-
DPD AKLI, Tanah Toraja) dan DPC-DPC lain di
wilayah Sulawesi Selatan membagi wilayah
kerja PJT berdasarkan wilayah cabang PT
PLN di Sulawesi Selatan.
Pembagian Wilayah
Pemasaran
 Akan tetapi khusus di wilayah PT PLN Cabang
Palopo, Terlapor II membagi lagi wilayah kerja PJT
(Penanggung Jawab Teknik) menjadi 4 (empat)
wilayah berdasarkan tempat kedudukan DPC
yaitu, Terlapor III, Terlapor IV, dan Terlapor VI.
Pemboikotan

 Biasanya boikot dilakukan jika suatu


pelaku usaha menghentikan
memasok barang atau jasa kepada
pelaku usaha ketiga atas permintaan
pelaku usaha yang lain.
 Dalam boikot terdapat tiga pihak,
pihak yang memboikot/pemboikot,
pihak yang meminta supaya
dilakukan boikot (party inducing
boycott) dan pihak yang diboikot
(addressee)
 Ketiga pelaku usaha tersebut adalah
masing-masing berdiri sendiri baik
secara hukum maupun kegiatan
usahanya.
Pemboikotan

Pihak Yang meminta


Pemboikot Dilakukan Boikot

Pihak Yang diboikot


Pemboikotan

 Boikot dapat diterima (dilakukan) jika pihak yang


diboikot kesiapannya untuk diboikot sudah
diberitahukan sebelumnya.
 Larangan terhadap boikot memerlukan syarat
subyektif yaitu untuk merugikan pihak yang
diboikot.
Pemboikotan (Pasal 10)

 Boikot Ayat 1 Pasal 10 mensyaratkan


perjanjian antara pelaku usaha yang
bergerak dibidang usaha
 Akibat perjanjian tersebut dapat
menghalangi pelaku usaha lain untuk
melakukan kegiatan usaha yang
sama pada pasar yang
bersangkutan.
 Tujuannya adalah untuk mencegah
pelaku usaha baru masuk ke pasar
yang bersangkutan.
Pemboikotan (Pasal 10)

Pelaku Usaha A Pelaku Usaha B


(Kegiatan Usahanya (Kegiatan Usahanya
Sama dengan B) Sama dengan A)

Pelaku Usaha C
Diboikot Tidak bisa
Melakukan Kegiatan
Usaha yang sama
Dengan A dan B
Pemboikotan (Pasal 10)

 Boikot Ayat 2 Pasal 10 adalah perjanjian


yang dilakukan antara pelaku usaha dengan
pesaingnya untuk menolak menjual setiap
barang atau jasa dari pelaku usaha lain,
akibatnya:
 Merugikan atau dapat diduga merugikan
pelaku usaha lain; atau
 Membatasi pelaku usaha lain dalam menjual
atau membeli setiap barang atau jasa dari
pasar yang bersangkutan.
 Jadi boikot dimaksudkan di dalam Ayat 2
tersebut adalah penjualan atau pembelian
barang atau jasa secara vertikal.
Pemboikotan (Pasal 10)

 Pelaku usaha yang saling bersaing


menolak setiap barang atau jasa dari
pelaku usaha lain untuk menghambat
persaingan pada pasar yang
bersangkutan, yang mengakibatkan
pelaku usaha lain tersebut mengalami
kerugian.
 Pelaku usaha yang saling bersaing
menghambat pelaku usaha lain untuk
mendapatkan atau memasarkan
barang atau jasa tertentu.
Kartel (Pasal 11)

 Ketentuan Pasal 11 melarang penetapan


jumlah produksi dan penetapan atau
pemasaran suatu barang atau jasa tertentu
yang bermaksud untuk mempengaruhi
harga yang dapat mengakibatkan praktek
monopoli dan/atau persaingan usaha tidak
sehat
 Unsur-unsur ketentuan Pasal 11 adalah
adanya perjanjian diantara pelaku usaha
yang saling bersaing, mengatur jumlah
produksi, mengatur pemasaran suatu barang
atau jasa, bermaksud untuk mempengaruhi
harga dan dapat mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli dan persaingan usaha
tidak sehat.
Unsur-unsur Pasal 11 harus
dipenuhi dalam penerapannya:
 perjanjian antara pelaku usaha dilarang yang
saling bersaing harus ada, baik berupa tertulis
maupun lisan;
 yang bermakskud untuk mempengaruhi harga;
 dengan mengatur produksi dan atau pemasaran
suatu barang dan atau jasa; dan
 yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Kartel (Pasal 11)

 Dalam kasus kartel garam di Sumatera


Utara, KPPU dalam putusannya
menetapkan bahwa PT PT Garam, PT
Budiono, PT Garindo secara sah dan
meyakinkan melanggar ketentuan Pasal
11 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999.
Karena G3 dalam memasok garam
bahan baku ke Sumatera Utara
bersepakat untuk mengatur jumlah
pasokan, untuk menyalurkan garam
bahan baku sebagian terbesar ke G4
dan menetapkan harga kepada G4.
Pasal 11 (Rule of reason)
 Memerlukan direct evidence dan indirect evidence
 Apakah hanya bukti tidak langsung dapat digunakan dalam
penyelidikan kasus kartel untuk menetapkan bahwa Terlapor
dinyatakan melanggar UU No. 5/1999 atau tidak, tanpa
adanya bukti langsung?
The OECD Policy Brief
mendefinisikan
 Direct evidence of an agreement is that
which indentifies a meeting or
communication between the subjects and
describes the substance of their agreement.
The most common form of direct evidence
are 1) documents (in printed or electronic
form) that indentify an agreement and the
parties to it, and oral or written statements
by co-operative cartel participants
describing the operation of the cartel.
Pengertian Indirect Evidence
 Menurut OECD Policy Brief:
 Circumstantial evidence is evidence that does not specifically
describe the terms of an agreement, or the parties to it. It
includes evidence of communications among suspected
cartel operators and economic evidence concerning the
market and the conduct of those participating in it that
suggest concerted action.
 Bukti tidak langsung adalah bukti bahwa suatu perjanjian
tidak menjelaskan secara khusus terminologi suatu perjanjian,
atau para pihak yang terlibat untuk perjanjian itu. Termasuk
bukti komunikasi diantara pelaku kartel dan bukti ekonomi
mengenai pasar dan perilaku para pelaku usaha yang terlibat
di dalamnya yang mengusulkan tindakan bersama
(terjemahan bebas dari penulis).
Pengertian Indirect Evidence
 Bukti tidak langsung atau circumstantial evidence atau
disebut juga indirect evidence dapat diklasifikasikan ke dalam
3 (tiga) jenis, yaitu
 communication evidence (bukti komunikasi),
 facilitating practices (quasi-communication evidence),
 and economic evidence.
Bukti Komunikasi
 Bukti komunikasi adalah meliputi bukti bahwa para pelaku
usaha bertemu atau bukti-bukti komunikasi yang lain, tapi
tidak menjelaskan isi pembicaraannya, misalnya percakapan
via telepon antara peserta yang diduga melakukan kartel,
bukti perjalanan pelaku usaha kepada suatu tujuan yang
sama, misalnya pada pertemuan konferensi perdagangan.
 Bukti komunikasi yang lain adalah bahwa pelaku usaha
mengkomunikasikan tentang subjek, misalnya adanya
notulen rapat mengenai harga, pembahasan mengenai
permintaan atau kapasitas, adanya dokumen internal
tentang pengetahuan atau pemahaman tentang strategi
harga, seperti kesadaran untuk menaikkan harga di masa
depan.
Bukti Komunikasi

 Facilitating practices (praktek-praktek kemudahan)


adalah price announcement (pengumuman
harga), focal points, freight equalization systems,
information exchange, and most favored customer
clauses.
 Sedangkan bukti ekonomi dapat diklasifikasikan ke
dalam 2 (dua) jenis, yaitu structural evidence (bukti
struktural) dan conduct evidence (bukti perilaku).
Bukti Ekonomi
 Bukti ekonomi struktural adalah seperti konsentrasi pasar yang
tinggi dipasar yang bersangkutan, rendahnya konsentrasi di
pasar yang sebaliknya, tingginya hambatan masuk pasar,
homogenitas produk menunjukkan apakah struktur pasar
memungkinkan untuk pembentukan suatu kartel.
 Jadi, Structural economic evidence adalah konsentrasi pasar
(concentration in the market), konsentrasi pasar yang rendah
di pasar yang lain (low concentration on the opposite side of
the market), tingginya hambatan untuk masuk (high entry
barriers), dan produknya homogen (homogeneous products).

 Variabel-variabel ekonomi tersebut menunjukkan apakah


struktur pasar layak untuk kartel atau tidak.
Pendekatan Struktural
 Pendekatan struktural pada dasarnya bergantung pada
indikator ekonomi seperti harga, analisis biaya, pemanfaatan
kapasitas, jumlah perusahaan, konsentrasi dan ukuran
perusahaan, permintaan variabilitas, rasio biaya-penjualan
dan lain-lain.
Pendekatan Struktural
 Parameter untuk menguji keberlanjutan kartel
dalam pasar tertentu antara lain dengan
melakukan analisa terhadap:
 Ukuran perusahaan
 Hambatan masuk pasar
 Tingkat konsentrasi pasar
 Produk homogen
 Pemanfaatan kapasitas
 Rasio biaya penjualan
 Harga inelastis.
Pendekatan Perilaku
 Sedangkan conduct evidence seperti “parallel price
increases” dan “pola penawaran yang mencurigakan
(suspicious bidding patterns)” memperlihatkan apakah para
kompetitor saling bersaing atau tidak.
 Jadi, bukti perilaku adalah seperti peningkatan harga yang
parallel, dan pola penawaran yang mencurigakan
menunjukkan apakah para pesaing di pasar berperilaku tidak
bersaing.
 Suatu pendekatan perilaku berfokus pada dampak pasar
koordinasi tersebut, kecurigaan mungkin berasal dari pola
harga perusahaan atau kuantitas atau beberapa aspek lain
dari perilaku pasar.
Pendekatan Perilaku

 Bukti perilaku dapat dilihat dari harga jual yang


terdapat dipasar yang bersangkutan, yaitu harga
jual yang sama oleh para pelaku usaha.
 Akan tetapi harga yang sama atau harga yang
parallel (price parallelism) tidak selalu menunjukkan
bahwa para pelaku usaha telah melakukan
kesepakatan harga, bisa juga terjadi sebaliknya
bahwa harga yang parallel justru karena
persaingan diantara para pelaku usaha tersebut.
Penerapan Circumstantial Evidence
 Hampir semua Negara menerima bukti circumstantial
evidence
 Tetapi agak sulit diinterpretasikan, khususnya bukti-bukti
ekonomi dapat menjadi ambigu apakah tindakannya secara
bersama/disepakati atau secara bebas.
 Bukti ekonomi untuk dianalisa ekonomi secara hati-hati dan
menyeluruh
 Consciously parallel conduct dapat dijadikan sebagai alat
bukti yaitu bukti circumstantial evidence, tetapi secara umum
ini tidak cukup, biasanya disertai dengan direct evidence
 Peranan ahli ekonomi di dalam pembuktian pelanggaran
ketentuan kartel sangat menentukan
Penerapan Circumstantial Evidence
 Pendekatan struktur pasar dan perilaku.
 Dalam pendekatan struktur pasar tersebut pangsa pasar para
pelaku usaha akan ditentukan, maka untuk itu pasar
bersangkutan (relevant market) harus dibatasi, yaitu dengan
pembatasan pasar secara produk (product market) dan
secara geografis (geographical market).
 Seringkali lembaga persaingan usaha sulit mendekteksi
perilaku kartel, maka dinegara tertentu diberi wewenang
lembaga persaingan usaha untuk melakukan
penggeledahan terhadap perusahaan, seperti di Jerman
 Untuk mendapatkan direct evidence, lembaga persaingan
usaha menawarkan leniency program kepada pelaku usaha
untuk secara sukarela menginformasikan bahwa dia terlibat
praktek karel dan akan diberi insentif.
Penerapan Indirect evidence di
Amerika Serikat
 Di AS perilaku kartel diperlakukan per se rule.
 Penilaian perilaku kartel didasarkan pada
Pasal 1 Sherman Act yang berbunyi : “Every
contract, combination in the form of a trust
or otherwise, or conspiracy, in restraint of
trade or commerce among the several
states, or with foreign nations, is declared to
be illegal.”
Penerapan Indirect Evidence di
AS
 Di Amerika Serikat perilaku kartel
diperlakukan per se illegal.
 Di bawah ketentuan per se, tindakan yang
dianggap atau diduga memiliki efek yang
cukup buruk terhadap persaingan dilarang.
 Hal ini dapat dikatakan bahwa tidak ada
kebutuhan untuk membuktikan sifat anti-
persaingan terhadap pelanggaran secara
per se.
Penerapan Indirect Evidence di
AS
 Di dalam kasus Monsanto v. Spray-Rite ditetapkan bahwa
untuk menilai tindakan bersama (concerted action) “there
must be direct or circumstantial evidence that reasonably
tends to prove that the parties had a conscious commitment
to common a scheme designed to achieve a unlawful
objective”.
 Pembuktian berdasarkan kepada concious paralellism yang
ambigu harus ditambahkan sesuatu yang lebih yang disebut
dengan plus factors untuk membenarkan suatu kesimpulan
kesepakatan.
 Amerika Serikat dan Uni Eropa mengadopsi pendekatan
“parallelism plus” yang mensyaratkan penunjukan
keberadaan plus factors tidak hanya perilaku pelaku usaha
yang paralel untuk membuktikan telah terjadi pelanggaran
hukum persaingan usaha.
Penerapan Indirect Evidence oleh KPPU
– Kartel Minyak Goreng
 Pasal 11 diduga dilanggar oleh para Terlapor.
 Unsur-unsur Pasal 11:
 perjanjian antara pelaku usaha dilarang yang saling bersaing
harus ada, baik berupa tertulis maupun lisan;
 yang bermakskud untuk mempengaruhi harga;
 dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu
barang dan atau jasa; dan
 yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan
atau persaingan usaha tidak sehat.
Penerapan Indirect Evidence oleh KPPU
– Kartel Minyak Goreng
 Pembuktian:
 Indirect evidence: price parallelism
 Uji price parallelism: Apabila perubahan harga dari
setiap pelaku usaha memiliki probabilitas dibawah
5%, maka Ho ditolak dan tidak ada price
parallelism, namun sebaliknya jika nilai probabilitas
lebih besar dari 5% maka perubahan variasi harga
antar perusahaan sama atau ada price parallelism
Penerapan Indirect Evidence oleh KPPU
– Kartel Minyak Goreng
 Bukti lain:
 Bukti komunikasi bahwa para terlapor memiliki
komitment secara sadar untuk suatu skema yang
dirancang untuk mencapai tujuan tertentu yaitu
mengenai harga, kapasitas produksi dan struktur
biaya produksi.
 Putusan: Para Terlapor dinyatakan terbukti
melanggar Pasal 11 dan Pasal 5.
 Mengapa Terlapor dikenakan Pasal 5, sedangkan
dalam dugaan pelanggaran tidak dinyatakan
diduga melanggar Pasal 5?
Penerapan Indirect Evidence oleh KPPU

 Perkom No. 4 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Pasal


11.
 Indikasi kartel:
 Indikator awal terbentuknya kartel:
 Tingkat konsentrasi dan jumlah perusahaan;
 Ukuran perusahaan;
 Homoginitas produk;
 Persedian dan kapasitas produksi;
 Keterkaitan kepemilikan;
 Kemudahan masuk pasar (entry barrier)
 Karakter permintaan (keteraturan, elasitisitas dan perubahan)
 Faktor perilaku (Tranparansi dan pertukaran informasi;
pengaturan harga dan kontrak)
Putusan KPPU terhadap
Kasus Kartel:

 Perkara No. 26/KPPU-L/2007 – Kartel SMS


 Perkara No. 25/KPPU-I/2009 – Kartel Fuel
Surcharge
 Perkara No. 01/KPPU-I/2010 – Kartel Semen
 Perkara No. 17/KPPU-I/2010 – Kartel Farmasi
(Obat)
 Perkara No. 08/KPPU-I/2014 – Kartel Ban
 Perkara Nomor:04/KPPU-I/2016 – Kartel Skutik
Yamaha Honda
 Perkara Nomor 15/KPPU-I/2019 – Kartel Tiket
Pesawat Penerbangan Berjadwal
Trust (Pasal 12)

 Ketentuan Pasal 12 melarang pelaku usaha


yang satu dengan pelaku usaha yang lain
membuat perjanjian untuk membentuk
gabungan perusahaan atau perusahaan
yang lebih besar dengan tetap
mempertahankan kelangsungan hidup
masing-masing perusahaan untuk
mengontrol produksi atau pemasaran
barang atau jasa sehingga dapat
mengakibatkan praktek monopoli dan/atau
persaingan usaha tidak sehat.
 Gabungan perusahaan tersebut
memproduksi barang atau jasa yang sama
dengan barang atau jasa yang diproduksi
oleh pendiri gabungan perusahaan tersebut.
 Ketentuan Pasal 12 bersifat rule of reason.
Trust (Pasal 12)

Pelaku Usaha A Pelaku Usaha B


(Tetap Eksis) (Tetap Eksis)

Usaha Patungan
Trust

Single economic entity


Oligopsoni (Pasal 13)

 Ketentuan Pasal 13 mengandung prinsip


yang sama dengan ketentuan Pasal 4.
 Perbedaannya Pasal 4 mengatur monopoli
penjual dan Pasal 13 mengatur monopoli
pembelian.
 Dominasi (penguasaan) pangsa pasar yang
diatur oleh Pasal 13 sama dengan yang
diatur oleh Pasal 4, yaitu sesuatu yang
rebuttable.
 Oleh karena itu, pendekatan rule of reason
berlaku juga terhadap ketentuan Pasal 13.
Tugas Putusan Kartel
Honda Yamaha
 https://www.kppu.go.id/docs/Putusan/2016/Putusan_P
erkara_No04_KPPU-I_2016_Upload13032017.pdf
 Para Terlapor diduga melanggar Pasal 5 ayat (1)
 Jelaskan dan analisis apakah Para Terlapor melanggar
Pasal tersebut dan apakah unsur-unsurnya terpenuhi?
Kalau ya sebutkan dan kalau tidak, apa yang tidak
dipenuhi?
 Jelaskan bagaimana KPPPU membuktikan bahwa para
Terlapor melanggar Pasal 5 ayat (1) tersebut? Dan
sebutkan bukti-bukti yang digunakan KPPU tersebut
dan bagaimana pendapat saudara atas bukti-bukti
tersebut.
Perjanjian Yang Dilarang:
Pasal 14-Pasal 16
Prof. Dr. jur. Udin Silalahi, SH., LL.M
Magister Hukum UPH
Integrasi Vertikal (Pasal 14)

 Pasal 14 melarang pelaku usaha membuat


perjanjian dengan pelaku usaha lain tentang
kegiatan proses produksi dari hulu sampai ke
hilir yaitu kegiatan usaha yang terintegrasi
mulai dari pengolahan bahan baku sampai pada
pengolahan produksi barang sampai barang
tersebut sampai ditangan konsumen.
 Integrasi vertikal dapat terjadi pada pengolahan
bahan bakunya, atau dari pengolahan produk
sampai produk tersebut selesai diproduksi, dan
sampai kepada tangan konsumen akhir.
 Pada prinsipnya integrasi vertikal tidak dilarang.
 Dilarang, jika mengakibatkan praktek monopoli
dan/atau persaingan usaha tidak sehat pada
pasar yang bersangkutan.
Variasi Integrasi Vertikal
(Pasal 14)

P. Bahan Baku Produsen Distributor/Agen

Bahan Baku Distributor Retailer

Produsen Agen Konsumen Akhir


Integrasi Vertikal (Pasal 14)

 Contoh kasus integrasi vertikal adalah dalam kasus


Garuda dalam Putusannya dalam Perkara No.
1/KPPU-L/2003.
 KPPU menyatakan Garuda Indonesia sebagai Terlapor
dinyatakan secara sah dan meyakinkan melanggar
Pasal 14 UU No. 5/1999, karena Terlapor melakukan
penguasaan serangkaian proses produksi atas barang
tertentu mulai dari hulu sampai ke hilir atau proses
lanjutan atas suatu layanan jasa tertentu oleh pelaku
usaha tertentu.
 Terlapor menguasai proses lanjutan atas layanan jasa
informasi dan jasa distribusi tiket penerbangan
domestik dan internasional Terlapor.
 Essensial facilities doctrine
Perjanjian Tertutup (Pasal 15 ayat
(1) exclusive distribution agreement)

 Ayat 1 Pasal 15 melarang perjanjian


eksklusif, yaitu pihak yang menerima
barang dan atau jasa hanya akan
memasok atau tidak memasok kembali
barang atau jasa tersebut kepada pihak
tertentu atau pada tempat tertentu.
Perjanjian Tertutup (Pasal 15 ayat
(1)- exclusive distribution
agreement)
 Kasus yang telah diputus KPPU berhubungan
dengan Pasal 15 ayat 1 adalah dalam kasus
Distribusi Semen Gresik.
 KPPU menetapkan bahwa Terlapor I, II, III,
IV, V, VI, VII, VIII, IX, X dan Terlapor XI
terbukti secara sah dan meyakinkan
melanggar Pasal 15 ayat 1, karena Terlapor
I, II, III, IV, V, VI, VII, VIII, IX, dan Terlapor X
membentuk konsorsium distributor semen
gresik Area 4.
 Konsorsium menghimbau agar kepada
Langganan Tetap (LT) untuk hanya bersedia
menjual semen gresik saja.
Perjanjian Tertutup (Pasal 15 ayat
(1)- exclusive distribution
agreement)
 Adanya aturan yang ditetapkan oleh Konsorsium
tersebut mengakibatkan salah satu LT mengundurkan
diri sebagai LT kepada Terlapor XI. Karena sebelum
adanya konsorsium LT tersebut dapat menjual merek
lain selain semen gersik.
Perjanjian Tertutup (Pasal 15
ayat (2)- tying agreement)

 Ayat 2 Pasal 15 melarang pelaku usaha membuat


perjanjian dengan pihak lain yang memuat persyaratan,
bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa
tertentu harus bersedia membeli barang dan atau jasa
dari pelaku usaha pemasok.
Perjanjian Tertutup (Pasal 15
ayat (2) – tying agreement)

 Dalam Putusan KPPU Perkara No. 1/KPPU-


L/2003. KPPU menetapkan bahwa Garuda
Indonesia secara sah dan meyakinkan melanggar
Pasal 15 ayat (2), karena biro perjalanan yang
mau menjual tiket Garuda secara online, harus
menggunakan dual access system dengan
menggunakan sistem Abacus.
 Untuk melakukan booking tiket domestik
Garuda, biro perjalanan harus menggunakan
sistem ARGA dan untuk dapat menjadi agen
pasasi domestik, Terlapor mensyaratkan adanya
Abacus connection.
Perjanjian Tertutup (Pasal 15
ayat (2) – tying agreement)

 Garuda Indoneia mengharuskan biro


perjalanan wisata menyediakan terminal
Abacus yang di dalamnya terdapat
sistem Abacus terlebih dahulu untuk
dapat memperoleh sistem ARGA, untuk
memperoleh terminal Abacus, biro
perjalanan wisata membayar sejumlah
uang kepada Saksi I, padahal sistem
Abacus tidak digunakan untuk
melakukan booking tiket penerbangan
domestik Terlapor
Perjanjian tertutup dengan
potongan harga
 Ayat 3 Pasal 15 melarang pelaku usaha
membuat perjanjian mengenai harga atau
potongan harga tertentu atas barang atau
jasa tertentu yang memuat persyaratan,
bahwa pelaku usaha yang menerima barang
atau jasa dari pelaku usaha pemasok:
 Harus bersedia membeli barang dan atau
jasa lain dari pelaku usaha pemasok; atau
 Tidak akan membeli barang dan atau jasa
yang sama atau sejenis dari pelaku usaha
lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha
pemasok.
Perjanjian tertutup dengan
potongan harga
 Ketentuan Pasal 15 ayat 3 mengatur
suatu perjanjian mengenai persyaratan
tertentu, yang mengikat pembeli supaya
dia dapat memasok barang atau jasa
dari produsen dengan pemberian harga
atau potongan harga, yaitu melalui
suatu perjanjian eksklusif.
Perjanjian tertutup dengan
potongan harga
 Ketentuan ini mengatur suatu perjanjian
mengenai persyaratan tertentu yang dilarang,
yang mengikat pembeli supaya dia dapat
memasok barang atau jasa dari produsen
dengan pemberian harga atau potongan harga
secara eksklusif.
 Adanya kewajiban bagi pelaku usaha yang
menerima produk dengan harga diskon yang
kemudian diharuskan untuk membeli produk
lain dari pelaku usaha pemasok. Akibat yang
ditimbulkannya adalah menghilangkan hak
pelaku usaha pembeli untuk membeli barang
secara bebas produk yang harus dibelinya
(dipilihnya).
Perjanjian tertutup dengan
potongan harga
 Sedangkan adanya kewajiban pelaku
usaha yang menerima produk dengan
harga diskon untuk tidak membeli
produk yang sama atau sejenis dari
pelaku usaha lain yang menjadi pesaing
dari pelaku usaha pemasok.
 Akibanya adalah pelaku usaha pesaing
akan mengalami kesulitan dalam
menjual produknya yang sejenis dengan
pelaku usaha yang sebelumnya telah
membuat perjanjian potongan harga
terhadap penerima produknya dipasar.
Perjanjian tertutup dengan
potongan harga
 Terkait dengan Pasal 15 ayat (3), dalam Putusan
Perkara No. 06/KPPU-L/2004, PT Arta Boga
Cemerlang mengadakan program geser
kompetitor (PGK) dengan memberikan diskon
kepada Toko-toko dengan kondisi sebagai
berikut: toko yang tidak menjual bateri produk
Panasonic diberikan diskon 2%.
 Toko yang sebelumnya menjual bateri
Panasonic, sejak bulan Maret tidak menjual
lagi, Toko hanya menjual baterai ABC.
 KPPU menetapkan bahwa PT ABC terbukti
secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 15
ayat (3) UU No. 5/1999
Perjanjian dengan pihak di
luar negeri
 Pasal 16 melarang pelaku usaha membuat perjanjian
dengan pihak lain di luar negeri yang mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha
tidak sehat di Indonesia.
 Perjanjian dilakukan antara pelaku usaha Indonesia
dengan pihak asing di luar negeri, atau antar pelaku
usaha asing di luar negeri.
Perjanjian dengan pihak di luar
negeri

 Walaupun kedudukan perusahaan yang


mengadakan perjanjian tidak ada di
Indonesia, akan tetapi akibat perjanjian
yang dilakukannya mengakibatkan pasar
domestik Indonesia terganggun, maka
UU No. 5/1999 dapat diterapkan.
 KPPU telah menerapkannya dalam kasus
Temasek dengan menggunakan
pendekatan extrateritorial jurisdiction
Hukum Antimonopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat:
Kegiatan Yang Dilarang

Prof. Dr. jur. Udin Silalahi, SH., LL.M


Magister Hukum UPH
Kegiatan yang dilarang
◼ Di dalam UU No. 5/1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha (UU
Antimonopoli) kegiatan yang dilarang diatur
mulai Pasal 17 – 24.
◼ Pasal 17 mengatur mengenai monopoli,
◼ Pasal 18 mengatur mengenai monopsoni,
Pasal 19 –21 mengatur mengenai
penguasaan pasar,
◼ Pasal 22-24 mengatur mengenai
persekongkolan
Posisi Dominan
◼ Pasal 25 mengatur mengenai posisi
dominan;
◼ Pasal 26 mengenai jabatan rangkap;
Pasal 27 mengenai pemilikan saham;
dan
◼ Pasal 28 – 29 mengenai penggabungan,
peleburan, pengambilalihan saham
perusahaan.
Monopoli (Pasal 17)
◼ Dilihat dari struktur pasar, monopoli ada dimana hanya ada satu
penjual/pemasok pada pasar yang bersangkutan.
◼ Keadaan pasar seperti ini terjadi, jika monopolis tersebut tidak
mempunyai kompetitor sama sekali pada pasar yang
bersangkutan.
◼ Atau dengan kata lain struktur pasar tidak oligopolistik.
◼ Pada struktur pasar yang demikian, pelaku usaha dapat
mengatur jumlah produksi dan menetapkan harga sesuka
hatinya.
◼ Jadi, dimana hanya ada satu pelaku usaha pada pasar yang
bersangkutan, pelaku usaha tersebut dapat membuat suatu
keputusan tanpa memperhatikan (mempertimbangkan)
pesaingnya dan kepentingan konsumen.
Monopoli (Pasal 17)
◼ Hal ini sebenarnya diatur di dalam pasal 17 ayat 2 a, yaitu pada
pasar bersangkutan belum ada subsitusinya.
◼ Sedangkan di dalam pasal 1 No. 1 ditetapkan, bahwa monopoli
adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang
dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha
atau satu kelompok pelaku usaha.
◼ Definisi ini sebenarnya merupakan bagian dari pada pengertian
posisi dominan, yaitu penguasaan pangsa pasar lebih dari 50%
oleh satu pelaku usaha (pasal 17 ayat 2 c dan pasal 25 ayat 2
a).
◼ Artinya, monopoli terdapat pada suatu pasar dimana ada satu
pelaku usaha mempunyai pangsa pasar yang lebih tinggi
daripada pelaku usaha yang lain pada pasar yang
bersangkutan.
Monopoli (Pasal 17)
◼ Oleh karena itu pada pasal 17 ayat 1 pelaku usaha dilarang
melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran
barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
◼ Pasal 17 ayat 2 menetapkan, bahwa pelaku usaha patut diduga
atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan atau
pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) apabila :
◼ a. barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada
substitusinya; atau
◼ b. mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke
dalam persaingan usaha barang dan atau jasa yang sama; atau
◼ c.satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha
menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar
satu jenis barang atau jasa tertentu.
Monopoli (Pasal 17)
◼ Unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 17:
◼ Melakukan perbuatan penguasaan atas suatu
produk
◼ Melakukan perbuatan atas pemasaran suatu
produk
◼ Penguasaan tersebut dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli
◼ Penguasaan tersebut dapat mengakibatkan
terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Monopoli (Pasal 17)
◼ Praktek monopoli adalah pemusatan
kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih
pelaku usaha yang mengakibatkan
dikuasainya produksi dan atau
pemasaran atas barang dan atau jasa
tertentu sehingga menimbulkan
persaingan usaha tidak sehat (Pasal 1
angka 2)
Monopoli (Pasal 17)
◼ Persaingan usaha tidak sehat adalah
persaingan antar pelaku usaha dalam
menjalankan kegiatan produksi dan
atau pemasaran barang dan atau jasa
yang dilakukan secara tidak jujur atau
melawan hukum atau menghambat
persaingan usaha (Pasal 1 angka 6).
Monopoli (Pasal 17)
◼ Larangan ketentuan pasal 17 bersifat rule of
reason.
◼ Artinya, satu pelaku usaha menguasai barang
atau jasa tertentu jika tidak mengakibatkan
praktek monopoli atau persaingan usaha
tidak sehat tidak dikenakan larangan pasal 17
tersebut.
◼ Penguasaan pangsa pasar lebih 50% tidak
berlaku mutlak.
◼ Artinya, jika pelaku usaha menguasai pangsa
pasar lebih 50% tidak otomatis dikenakan
larangan pasal 17.
Monopoli (Pasal 17)
◼ Penguasaan pangsa pasar tersebut baru pada tahap patut
diduga atau dianggap.
◼ Artinya, dugaan tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu oleh
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), bahwa pelaku
usaha yang bersangkutan dengan menguasai pangsa pasar
lebih dari 50% terjadi persaingan usaha tidak sehat pada pasar
yang bersangkutan.
◼ Dan sebaliknya pelaku usaha tersebut juga membuktikan,
bahwa dengan penguasaan pangsa pasar lebih dari 50 tersebut
tidak melakukan praktek monopoli atau persaingan usaha tidak
sehat.
◼ Jadi, pembuktian melakukan praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat atau tidak merupakan hak KPPU,
demikian juga pelaku usaha mempunyai hak untuk
membuktikan, bahwa pelaku usaha tersebut tidak melakukan
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat pada
pasar yang bersangkutan.
Monopoli Pasal 17
◼ Putusan No. 04/KPU-I/2003 tentang Kasus Jakarta International
Container Terminal (JICT)
◼ JICT diduga melakukan praktek monopoli dalam menyelenggarakan
pelabuhan umum Tanjung Priok
◼ Pemerintah mengalihkan fungsi pelaksanaannya kepada PT Pelindo II
sebagai BUMN.
◼ PT Pelindo II mengikutsertakan PT JICT dalam bentuk kerjasama
pengelolaan untuk masa konsesi 20 tahun yang diwujudkan dalam
Perjanjian Kuasa Pengoperasian dan Pemeliharaan Terminal Petikamas
di Pelabuhan Tanjung Priok tertanggal 27 Maret 1999.
◼ Dalam kerjasaman tersebut diberi jaminan bahwa tidak akan ada
pembangunan terminal peti kemas sebelum tercapainya throughput
sebesar 75% sebagaimana tercantum dalam klausul 32.4 authorization
ageement.
Monopoli Pasal 17
◼ Majelis Komisi memutuskan bahwa:
◼ PT JICT secara sah dan meyakinkan telah melanggar
Pasal 17 (1) dan Pasal 25 ayat (1) huruf c UU No.
5/1999;
◼ PT JICT dan KSO TPK Koja secara sah dan
meyakinkan telah melanggar Pasal 19 huruf b UU No.
5/1999;
◼ Wibowo S. Wirjawan secara dan meyakinkan telah
melanggar Pasal 26 UU No. 5/1999.
Monopsoni (Pasal 18)
◼ Monopsoni adalah keadaan suatu pasar dimana hanya ada satu
pembeli.
◼ Pasal 18 ayat 1 melarang pelaku usaha menguasai penerimaan
pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan atau
jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat mengakibatkan
praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Larangan
ayat 1 pasal 18 tersebut juga bersifat rule of reason.
◼ Pelaku usaha patut diduga atau dianggap menguasai
penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal apabila satu
pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih
dari 50% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
◼ Kata patut diduga atau dianggap memberi pengertian, bahwa
penguasaan lebih 50% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa
tertentu tidak berlaku mutlak.
Monopsoni (Pasal 18)
◼ Artinya, bahwa pelaku usaha tersebut dengan
menguasai lebih dari 50% pangsa pasar tertentu
harus dibuktikan telah melakukan praktek monopoli
atau persaingan usaha tidak sehat.
◼ Contoh pelaku usaha yang melakukan monopsoni
adalah Badan Penyangga Pemasaran Cengkeh (BPPC)
yang ”memaksa” semua petani harus menjual
cengkehnya kepada BPPC tetapi dengan harga
murah.
Monopsoni (Pasal 18)
◼ Pelaku usaha kecil, mikro dan menengah dapat
memanfaatkan Pasal 18 tersebut untuk membentuk
suatu perkumpulan pembelian untuk dapat membeli
barang dari produsen dalam jumlah yang lebih besar.
◼ Dua atau lebih pelaku usaha kecil dan menengah
dapat melakukan kartel pembelian, jika penguasaan
pangsa pasar hasil kartel pembelian tersebut tidak
lebih dari 10%.
◼ Inilah apa yang disebut de minimis rule.
◼ Pengecualian melakukan pembelian bagi pelaku
usaha kecil menengah, karena penguasaan pangsa
pasar 10% tidak akan dapat melakukan persaingan
usaha tidak sehat.
Kegiatan Yang Dilarang:
Predatory Pricing (Pasal 20)

Prof. Dr. jur. Udin Silalahi, SH., LL.M


Magister Hukum UPH
Predatory Pricing (Pasal 20)

 Salah satu perilaku penyalahgunaan posisi


dominan yang dapat dilakukan pelaku usaha
yang mempunyai posisi dominan adalah
menjual rugi barang atau jasanya,dengan
maksud untuk menyingkirkan pesaingnya dari
pasar yang bersangkutan.
 Hukum persaingan melarang pelaku usaha
melakukan jual rugi, jika memenuhi dua hal
sebagai berikut, yaitu yang pertama jika
pelaku usaha mempunyai superior market
power (Posisi dominan).
Pelaku usaha memiliki Posisi
dominan

 Syarat penetapan suatu superior


market power (posisi dominan)
baca Pasal 1 angka 4 dan Pasal 25
 Pasal 1 angka 4: Pelaku usaha
tersebut tidak mempunyai pesaing
yang berarti dalam :
 Pasang pasarnya lebih besar;
 kemampuan keuang yang lebih
yang lebih tinggi;
Pelaku usaha memiliki Posisi
Dominan

 kememapuan akses pada pasokan


atau penjualan;
 kemampuan untuk menyesuaikan
pasokan atau permintaan barang
atau jasa tertentu.
Predatory Pricing (Pasal 20)

 Dan yang kedua jika pelaku usaha tersebut


melakukan penjualan dibawah biaya
produksi (jual rugi) dalam jangka waktu
yang lama, yang dapat mengakibatkan
persaingan usaha yang tidak sehat.
 Misalnya akibatnya perlahan-lahan
pesaingnya tersingkir dari pasar yang
bersangkutan.
Predatory Pricing (Pasal 20)
 Perilaku tersebut untuk mempertahankan atau
memperkuat posisi dominannya. Perilaku yang
demikian jelas dilarang dalam hukum persaingan,
karena melalui kekuatan pasar yang dimiliki oleh
pelaku usaha tersebut akan dapat menyingkirkan
pesaingnya dari pasar yang bersangkutan.
 Jika pesaingnya sudah tersingkir dari pasar yang
bersangkutan, akhirnya pelaku usaha yang memiliki
posisi dominan tersebut dapat mengusai pasar, yaitu
dapat menetapkan jumlah produksi dan harga yang
harus dibayar oleh konsumen.
 Perilaku yang demikian tidak saja merugikan
pesaingnya tetapi juga konsumen, karena konsumen
tidak mempunyai alternatif lagi dalam pasar yang
bersangkutan.
Predatory Pricing (Pasal 20)
 Dan sebaliknya, apakah suatu pelaku usaha yang tidak
mempunyai posisi dominan akan melakukan penjualan
dibawah biaya produksinya?
 Hal ini kemungkinan dilakukan dalam upaya
memperkenalkan (mempromosikan) produknya untuk
mencari pelanggan.
 Tetapi pelaku usaha tersebut tidak mampu melakukannya
dalam jangka waktu yang lama, karena pada akhirnya
pelaku usaha tersebut dapat menjadi rugi atau bangkrut
sendiri.
 Jadi, biasanya suatu pelaku usaha menjual barang atau
jasanya di bawah biaya produksi secara insidental (dalam
jangka waktu tertentu) untuk mencari pelanggan tidak
dikenakan larangan hukum persaingan, yaitu dalam
rangka memperkenalkan usahanya atau dalam rangka
mempromosikan barang atau jasanya.
Predatory Pricing (Pasal 20)
 Pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan
tidak terpengaruh dalam melakukan jual rugi,
apakah pelaku usaha tersebut dalam menjual rugi
barang atau jasanya dengan memberikan
informasi yang tidak jujur mengenai biaya
produksi barang atau jasanya yang menjadi
komponen harga barang atau jasanya.
 Oleh karena itu hukum persaingan usaha tidak
saja melarang penyalahgunaan harga (jual rugi),
tetapi juga penetapan harga yang sangat tinggi
yang harus dibayar oleh pembeli.
 Dengan demikian hukum persaingan melarang,
apakah ada penyalahgunaan harga atau tidak.
 Dan penyalahgunaan harga tersebut biasanya
dilakukan pelaku usaha yang mempunyai posisi
dominan.
Predatory Pricing (Pasal 20)
 Pertanyaannya adalah apakah
penyalahgunaan harga tersebut dapat
dilakukan oleh pelaku usaha yang tidak
mempunyai posisi dominan. Jawabannya,
ya.
 Tetapi sifatnya hanya sementara, dalam
kurun waktu yang pendek.
 Biasanya dilakukan untuk
mempromosikan (memperkenalkan)
produknya untuk mencari pelanggan.
Perkom No. 6/2011

 Unsur Pasal 20:


 Pelaku usaha (Pasal 1 angka 5);
 Pemasokan (Pasal 15);
 Barang (Pasal 1 angka 16);
 Jasa (Pasal 1 angka 17);
 Jual rugi;
 Harga yang sangat rendah
 Unsur dengan maksud;
 Unsur menyingkirkan atau mematikan;
 Unsur Pesaing ;
 Unsur Pasar (Pasal 1 angka 9);
 Unsur pasar bersangkutan (Pasal 1 angka 10);
 Unsur praktek monopoli (Pasal 1 angka 2);
 Unsur Persaingan Usaha Tidak sehat (Pasal 1 angka
6)
Perkara Nomor 03/KPPU-L/2020
tentang Jual Rugi Semen

 PT Conch South Kalimantan Cement


diduga melanggar Pasal 20 UU No.
5/1999
 Melakukan jual rugi di Kalimantan
Selatan
 Pelaku usaha yang sudah ada di
pasar geografis adalah:
Jual Rugi
 a. PT Indocement Tunggal Prakarsa, Tbk yang
memproduksi dan menjual semen dengan merk
“Semen Tiga Roda;
 b. PT Semen Indonesia, Tbk yang memproduksi dan
menjual semen dengan merk “Semen Gresik (SG);
 c. PT Semen Tonasa, yang memproduksi dan
menjual semen dengan merk “Semen Tonasa”;
 d. PT Solusi Bangun Persada, Tbk (d/h PT Holcim
Indonesia, Tbk), yang memproduksi dan menjual
semen dengan merk “Semen Holcim”;
 e. PT Semen Bosowa Maros, yang memproduksi dan
menjual semen dengan merk “Semen Bosowa”.
Jual Rugi
 Hanya 2 Pelaku usaha yg memproduksi
semen di Kalsel, yaitu PT Indocement
Tunggal Prakarsa, Tbk, Pabrik tersebut
memiliki kapasitas terpasang sekitar 2,6
juta ton; dan
 PT Conch South Kalimantan, Pabrik
tersebut memiliki kapasitas produksi
sebesar 2,3 juta ton
 Majelis Komisi menetapkan
bahwa PT Conch terbukti secara
sah dan meyakinkan melanggar
Pasal 20 UU No. 5/1999
 Dikenakan denda sejumlah
Rp22.352.000.000,00 (dua
puluh dua miliar tiga ratus lima
puluh dua juta rupiah)
Pangsa Pasar

 Pangsa pasar Semen Indonesia


(Semen merk “Gresik” dan Semen
merk “Tonasa”) sebesar 49%
(empat puluh sembilan persen)
pada tahun 2013 dan selanjutnya
turun hingga menjadi 28% (dua
puluh delapan persen) pada tahun
2018 dan pada kuartal 3 tahun
2019 menjadi sebesar 34% (tiga
puluh empat persen”)
Pangsa Pasar

 Pangsa pasar PT Indocement


Tunggal Prakarsa, Tbk (Semen merk
“Tiga Roda) sebesar 36% (tiga
puluh enam persen) pada tahun
2013 dan selanjutnya turun hingga
menjadi 22% (dua puluh dua
persen) pada tahun 2018 dan pada
kuartal 3 tahun 2019 menjadi
sebesar 20% (dua puluh persen)
Pangsa Pasar

 Pangsa pasar PT Solusi Bangun


Persada/PT Holcim Indonesia, Tbk
(Semen merk “Holcim) sebesar
10% (sepuluh persen) pada tahun
2013 dan selanjutnya turun hingga
menjadi 1% (satu persen) pada
tahun 2018 dan pada tahun 2019
keluar dari pasar.
Pangsa Pasar

 Pangsa pasar Terlapor (Semen merk


“Conch”) sebesar 2% (dua persen)
pada tahun 2014 dan selanjutnya
mengalami kenaikan hingga
menjadi 49% (empat puluh
sembilan persen) pada tahun 2018
dan dan pada kuartal 3 tahun 2019
menjadi sebesar 46% (empat puluh
enam persen);
Pangsa Pasar
Pangsa Pasar
Pangsa Pasar
Pangsa Pasar
Pangsa Pasar
Pangsa Pasar
Pangsa Pasar
Perkembangan Harga Produksi
Semen Conch
Tes Mendeteksi Jual Rugi
 Price cost test→ untuk menentukan apakah jual rugi yang
dilakukan oleh suatu pelaku usaha merupakan dari
strategi predatory pricing yang diterapkannya.
 Harga jual dibawah biaya produksi.
 Beberapa hal sebagai berikut yang digunakan lembaga
persaingan usaha sebagai acuan untuk mendeteksi
predatory pricing:
 a. Marginal cost (MC)→tambahan biaya untuk
memproduksi suatu tambahan unit output terakhir.
Tes Mendeteksi Jual Rugi
 b. Average variable cost (AVC)→menggambarkan perilaku
MC secara rata-rata sejumlah output. AVC dihitung
dengan mengidentifikasi semua biaya yang berubah
dengan penambahan output, menjumlahkannya secara
bersama-sama, dan membagi hasil dengan total ouput
yang dihasilkan.
 c. Average avoidable cost (AAC)→jumlah seluruh biaya
yang dapat dihindari oleh pelaku usaha dengan tidak
memproduksi sejumlah output tertentu, dibagi dengan
total output yang tidak diproduksi tersebut.
 Avoidable cost didefinisikan sebagai penjumlahan variable
cost dan fixed cost pada produk-produk tertentu, tetapi
bukan merupakan sunk cost.
 Baca HPU Buku Teks hal. 198-204
Kecurangan Dalam Penetapan Biaya Produksi
(Pasal 21)

 Pelaku usaha dilarang melakukan


kecurangan dalam menetapkan
biaya produksi dan biaya lainnya
yang menjadi bagian dari
komponen harga barang dan atau
jasa yang dapat mengakibatkan
terjadinya persaingan usaha tidak
sehat.
Kecurangan Dalam Penetapan Biaya Produksi
(Pasal 21)

 Penjelasan Pasal 21 menetapkan


bahwa kecurangan dalam
menetapkan biaya produksi dan
biaya lainnya adalah pelanggaran
terhadap peraturan perundang-
undangan yang berlaku untuk
memperoleh biaya faktor-faktor
yang lebih rendah dari seharusnya.
Kecurangan Dalam Penetapan Biaya Produksi
(Pasal 21)

 Ketentuan Pasal 21 pada prinsipnya


menjamin transparansi biaya
produksi.
 Dengan demikian maksud
kecurangan bertujuan untuk
memalsukan dasar kalkulasi harga
penjualan barang dan atau jasa
yang harus dibuktikan.
Kegiatan Yang Dilarang:
Persekongkolan Tender
PROF. DR. JUR. UDIN SILALAHI, SH., LL.M

MAGISTER HUKUM UPH


Kegitan Yang Dilarang Persekongkolan Tender
Persekongkolan

• Persekongkolan ditetapkan di dalam pasal 22 – pasal 24 UU No.


5/1999 yaitu mengenai tender (pasal 22), tukar menukar
informasi (pasal 23) dan hambatan masuk pasar (pasal 24).
• Ketentuan pasal 22-24 menuntut adanya kegiatan saling
menyesuaikan perilaku pasar (kolusif) diantara peserta tender
untuk menghilangkan persaingan usaha pada pasar yang
bersangkutan.
Persekongkolan

• Istilah persekongkolan berasal dari hukum antitrust law Amerika Serikat yang
ditetapkan secara umum di Sec. 1 Sherman Act 1890, yang melarang setiap
perjanjian, gabungan dalam bentuk perusahaan atau lainnya, atau konspirasi, dengan
maksud membatasi perdagangan atau bisnis antara negara-negara federal, atau dengan
negara-negara asing, adalah dinyatakan perbuatan melawan hukum.
• Ketentuan Sec. 1 Sherman Act tersebut dapat menjangkau setiap perjanjian atau
persekongkolan yang mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat.
Persekongkolan merupakan bagian dari larangan kartel secara umum.
Persekongkolan

• Sebagai unsur utama persekongkolan adalah kegiatan yang saling


menyesuaikan baik berdasarkan perjanjian, maupun melalui kesepakatan
bersama yang mempunyai kesatuan tujuan bersama, rencana bersama
atau pemahaman searah, penyelarasan pemikiran atau melakukan suatu
kesadaran bersama dengan pemikiran, bahwa sejumlah pelaku usaha
melaksanakan perilaku yang sejajar berdasarkan keyakinan dan dengan
harapan bahwa semuanya akan melakukan kegiatan yang sama, dan
sebagai konsekuensinya mereka telah mencapai kesepakatan.
Persekongkolan

• Menurut Pasal 1 angka 8, persekongkolan atau konspirasi usaha adalah bentuk


kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan
maksud untuk menguasai pasar berangkutan bagi kepentingan pelaku usaha
yang bersekongkol.
Persekongkolan
(Pasal 22-Pasal 24)

• Di dalam UU No. 5/1999 persekongkolan diatur di dalam Pasal 22 – Pasal 24.


• Tender merupakan salah satu bentuk persekongkolan
• Pengertian tender atau lelang dapat ditemukan di dalam Perpres No. 54/2010
tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah diperbaharui
menjadi Perpres No. 4/2015 dan terakhir diganti dengan Perpres No. 16/2018
tentang Pnengadaan Barang/Jasa Pemerintah
• Tender atau pengadaan barang/jasa adalah kegiatan pengadaan barang/jasa
yang dibiayai dengan APMN/APBD, baik yang dilaksanakan secara swakelola
maupun oleh penyedia barang/jasa.
Tender (Collusive Tendering)
• Tender adalah memborongkan pekerjaan/menyuruh pihak lain untuk
mengerjakan atau memborong pekerjaan seluruhnya atau sebagian pekerjaan
sesuai dengan perjanjian atau kontrak yang dibuat oleh kedua belah pihak
sebelum pekerjaan pemborongan itu dilakukan.
Tender (Collusive Tendering)
• Di dalam penjelasan Pasal 22 ditetapkan bahwa tender adalah
tawaran mengajukan sebuah harga untuk memborong suatu
pekerjaan, maupun untuk pengadaan barang-barang atau untuk
menyediakan jasa-jasa tertentu.
• Jadi cakupan tawaran pengajuan harga dalam tender meliputi:
• a. memborong/melaksanakan suatu pekerjaan tertentu; dan
• b. Pengadaan barang dan atau jasa.
Tender (Collusive Tendering)
• Dengan demikian tender juga merupakan bagian dari pada persekongkolan, yaitu
tender penyediaan barang atau jasa tertentu.
• Pasal 22 UU No. 5/1999 menetapkan, bahwa pelaku usaha dilarang bersekongkokol
dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga
dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
• Tender kolusif biasanya menghilangkan persaingan harga diantara pelaku usaha
yang mengajukan penawaran.
• Artinya, diantara peserta tender harus ada kesepakatan menetapkan salah satu dari
peserta tender sebagai pemenang tender.
• Hal ini dapat dilakukan dengan sistem arisan, atau dengan cara pembagian komisi
atau pendapatan bagi peserta tender yang ikut memenangkan peserta tender yang
telah disepakati.
Tender (Collusive Tendering)
• Oleh karena itu larangan tender tidak harus memenuhi syarat
penguasaan pasar yang bersangkutan sebagaimana ditetapkan
di dalam pasal 1 No. 8 UU No. 5/1999, melainkan apabila
diantara peserta tender ada kesepakatan untuk menghilangkan
persaingan diantara mereka.
• Akibatnya peserta tender diluar yang bersepakat tidak mampu
bersaing dengan kelompok yang bersepakat untuk
memenangkan tender tersebut.
Tender (Collusive Tendering)
• Peserta tender, khususnya dalam tender pengadaan barang/jasa instansi
pemerintah, ada kecenderungan melakukan persekongkolan untuk menetapkan
salah satu peserta menjadi pemenang, karena dengan demikian para peserta
tender dapat melakukan tindakan yang saling menguntungkan peserta tender.
• Konspirasi dilakukan, kemungkinan karena diantara peserta tender sudah
saling mengenal, dan dengan demikian mereka membuat suatu sistem arisan.
• Artinya, peserta tender membuat suatu kesepakatan, bahwa diantara mereka
ditetapkan pemenang tender secara bergantian (begiliran).
Tender (Collusive Tendering)
• Misalnya pada pelaksanaan tender pengadaan
barang A, pelaku usaha X yang akan sebagai
pemenang, dan pada tender berikutnya akan
ditetapkan pelaku usaha Y sebagai pemenangnya,
dan demikian berlangsung terus sampai semua
anggota kartel mendapat giliran sebagai pemenang
tender.
Tender (Collusive Tendering)
• Caranya adalah pelaku usaha yang lain akan mengajukan harga yang lebih
tinggi dan pelaku usaha yang disepakati sebagai pemenang mengajukan harga
yang lebih rendah.
• Atau salah satu peserta tidak ikut mengajukan penawaran atau mengajukan
penawaran dengan pura-pura untuk mempengaruhi hasil tender yang sudah
disepakati.
• Atau membentuk konspirasi tambahan yang lain, yaitu peserta tender yang
disepakati sebagai pemenang akan mememberikan subkontrak kelak kepada
peserta tender yang mengajukan penawaran yang lebih murah atau penawaran
pura-pura atau dengan memberikan komisi tertentu.
Tender (Collusive Tendering)
• Di beberapa negara tender kolusif seperti ini dianggap hal
yang berbahaya dan sebagai pembatasan persaingan yang
berat (deep-seated), karena akibatnya merugikan negara dan
masyarakat dalam jumlah yang besar.
• Karena dalam tender pengadaan barang/jasa instansi
pemerintah berkaitan dengan uang negara yang dibayar oleh
masyarakat melalui pembayaran pajak.
Tender (Collusive Tendering)
• 70% Kasus yang diputuskan oleh KPPU adalah masalah collusive tendering.
• Baca Pedoman Pasal 22 tentang Larangan Persekongkolan Dalam Tender yang
dibuat oleh KPPU.
• Tender dapat dilakukan secara horizontal, vertikal dan secara horizontal dan
vertikal.
Tender (Collusive Tendering)
• Unsur-unsur Tender Pasal 22:
• 1.Pelaku usaha (Pasal 1 angka 5)
• 2.Bersekongkol→ kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pihak lain
atas inisiatif siapapun dan dengan cara apapun dalam upaya memenangkan tender
tertentu.
• Unsur bersekongkol:
• Kerjasama antara dua pihak atau lebih;
• Secara terang-terangan maupun diam-diam melakukan penyesuaian dokumen
dengan peserta lain lainnya;
• Membandingkan dokumen tender sebelum penyerahan;
• Menciptakan persaingan semu;
Tender (Collusive Tendering)
• Menyetujui dan atau memfasilitasi terjadinya persekongkolan;
• Tidak menolak suatu tindakan meskipun mengetahui atau sepatutnya mengetahui
bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk mengatur dalam rangka memenangkan
peserta tender tertentu;
• Pemberian kesempatan eksklusif oleh penyelenggara tender atau pihak terkait secara
langsung maupun tidak langsung kepada pelaku usaha yang mengikuti tender,
dengan cara melawan hukum.
• 3. Unsur pihak lain→ para pihak (horizontal dan vertikal) yang terlibat dalam
proses tender yang melakukan persekongkolan tender baik pelaku usaha sebagai
peserta tender dan atau subjek hukum lainnya yang terkait dengan tender tersebut.
Tender (Collusive Tendering)
• 4. Unsur mengatur dan atau menentukan pemenang tender→ suatu
perbuatan para pihak yang terlibat dalam proses tender secara bersekongkol
yang bertujuan untuk menyingkirkan pelaku usaha lain sebagai pesaingnya
dan/atau untuk memenangkan peserta tender tertentu dengan berbagai cara.
Dilakukan dalam hal penetapan kriteria pemenang, persyaratan teknik,
keuangan spesifikasi, proses tender dan sebagainya.
• 5. Unsur Persaingan usaha tidak sehat→ Pasal 1 angka 6
Pengertian tender tersebut mencakup tawaran mengajukan
harga untuk:
• a. Memborong atau melaksanakan suatu pekerjaan.
• b. Mengadakan barang dan atau jasa.
• c. Membeli suatu barang dan atau jasa.
• d. Menjual suatu barang dan atau jasa.
Cakupan tender Pasal 22 mencakup:
• a. Tender terbuka.
• b. Tender terbatas.
• c. Pelelangan umum, dan
• d. Pelelangan terbatas.
Jenis Persekongkolan Tender
Jenis Persekongkolan Tender
Jenis Persekongkolan Tender
Pasal 22 UU No. 5/1999
Tender (Collusive Tendering)
• Misalnya Tender Saham Indomobil.
• Dilihat secara normatif, pasal 22 tidak dapat diterapkan, karena dalam
penjelasannya ditetapkan, bahwa tender adalah tawaran mengajukan harga
untuk memborong suatu pekerjaan, untuk mengadakan barang-barang, atau
untuk menyediakan jasa.
• Penjelasan tersebut hanya mencakup tender pengadaan barang atau jasa
saja.
• Namun demikian, menurut pendapat saya ketentuan pasal 22 tetap dapat
diterapkan, karena ketentuan pasal 22 dapat mencakup tender (penjualan)
saham yang dilakukan oleh BPPN.
Tender (Collusive Tendering)
• Alasannya:
• jika dalam suatu pasar tertentu hambatan persaingan terjadi, akibat dari hambatan
tersebut ada pihak yang dirugikan, baik itu produsen, negara maupun konsumen,
maka persaingan yang sehat pada pasar yang bersangkutan harus dipulihkan.
• Selain itu hukum persaingan juga mengenal pertimbangan ekonomi dalam
memutuskan suatu keputusan. Dan menurut hukum persaingan setiap konspirasi
yang membatasi persaingan merupakan suatu larangan terhadap persekongkolan
secara penuh sebagai elemen dasar dalam penyesuaian diri dalam aspek kebijakan
persaingan usaha. Oleh karena itu pasal 22 dapat diterapkan terhadap kasus tender
indomobil.
• Interpretasi obyektiv yang dapat diterima oleh para ahli hukum persaingan secara
umum.
Indikasi Persekongkolan
• Perkom No. 2/2010 tentang Pedoman Pasal 22 UU No. 5 tentang Larangan
Persekongkolan Tender.
• Berlaku bagi semua pelaku usaha, BUMN, BUMD dan swasta.
Indikasi Persekongkolan
Rahasia Perusahaan (Pasal 23)
• Pasal 23 melarang pelaku usaha bersekongkol dengan pihak lain
untuk mengatur dan atau mendapatkan informasi kegiatan usaha
pesaingnya yang digolongkan sebagai rahasia perusahaan.
• Pasal 23 tersebut menetapkan, bahwa tujuan persekongkolan
untuk mendapatkan informasi yang dapat mengakibatkan
persaingan usaha tidak sehat.
• Artinya, jika informasi yang diperoleh melalui persekongkolan
tidak mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat, berarti
ketentuan pasal 23 tersebut tidak dapat diterapkan.
Rahasia Perusahaan (Pasal 23)
• Biasanya informasi tersebut disyaratkan sebagai suatu informasi yang
rahasia dan yang dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat
pada pasar bersangkutan adalah informasi mengenai know how, harga,
jumlah produksi, strategi pembelanjaan dan pemasaran bersama.
• Karena terjadinya tukar menukar harga misalnya, harga jual suatu
barang atau jasa dapat disepakati oleh para pihak yang harus dibayar
oleh konsumen. Hal ini bertentangan dengan semangat hokum
persaingan usaha.
Rahasia Perusahaan (Pasal 23)
• Selain itu, persekongkolan untuk mendapatkan informasi tersebut dapat terjadi
secara vertikal, yaitu melalui tukar menukar informasi antara pemasok dan pembeli
yang dapat menghambat persaingan usaha.
• Hambatan persaingan usaha terjadi, jika kesepakatan informasi (data) diberikan oleh
pemasok kepada pembelinya, dan pembeli (penerima data) mendorong supaya
kepadanya terus menerus barang atau jasa tersebut dipasok yang mengakibatkan
persaingan usaha tidak sehat.
• Dengan demikian pemasok tidak akan memasok barang atau jasanya kepada pelaku
usaha lain.
• Hal ini sebenarnya dapat dikatakan seperti perjanjian tertutup, yang pada prinsipnya
tidak dilarang jika tidak mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat pada pasar
bersangkutan.
Rahasia Perusahaan (Pasal 23)
• Putusan KPPU No. 19/KPPU-L/2007 tentan kasus Perpindahan Dewa 19 ke
EMI Music South East Asia.
• Dewa 19 mengadakan perjanjian dengan PT Aquarius Musikindo dengan
NO. 001/JS/DW/07/04, tertanggal 12 Juli 2004, bahwa artis secara bersama-
sama atau perorangan akan terikat secara formal kepada PT Aqurius untuk
menjual master rekaman artis secara eksklusif sebanyak 1 (satu) album, yaitu
album Laskar Cinta (Vol 4) dan ditambah 4 lagu baru.
Rahasia Perusahaan (Pasal 23)
• Ternyata sebelum menyerahkan keempat lagu baru sebagaimana
diperjanjikan, DEWA 19 telah memutuskan pindah ke EMI Music South East
Asia karena alasan ingin go internasional.
• Bukti persekongkolan: peran Jusak Irwan dan Arnel Affandi, SH ketika turut
serta mengubah beberapa paragraph kontrak antara EMI dengan DEWA 19.
• Arnel Affandi adalah mantan konsultan hukum PT Aquarius Musikindo
yang mengetahui isi kontrak antara DEWA 19 dengan PT Aquarius
Musikindo (12 Juni 2004), sedangkan dengan PT EMI ESA pada tanggal 19
Juli 2004.
Persekongkolan untuk menghambat produksi dan atau pemasaran barang atau
jasa (Pasal 24)

• Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk


menghambat produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa
pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar barang dan atau
jasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar bersangkutan menjadi
berkurang baik dari jumlah, kualitas, maupun ketepatan waktu
yang dipersyaratkan.
Persekongkolan untuk menghambat produksi dan atau pemasaran barang atau
jasa (Pasal 24)

• Ketentuan pasal 24 melarang pelaku usaha bersekongkol dengan pihak lain


untuk menghambat produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa
pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar barang dan atau jasa yang
ditawarkan atau dipasok di pasar bersangkutan menjadi berkurang baik
dari jumlah, kualitas, maupun ketepatan waktu yang dipersyaratkan.
• Ketentuan pasal 24 tersebut mensyaratkan adanya hambatan produksi atau
pemasaran pelaku usaha pesaingnya.
• Dengan adanya hambatan tersebut barang atau jasa yang ditawarkan atau
dipasok menjadi berkurang, baik dari jumlah, kualitas, maupun ketepatan
waktu yang ditetapkan.
Persekongkolan untuk menghambat produksi dan atau pemasaran barang atau
jasa (Pasal 24)
• Hambatan tersebut dapat dilakukan melalui suatu tindakan pemboikotan, yaitu
yang dilakukan secara kolektif.
• Hambatan kolektif adalah apabila para anggota kartel (yang saling bersekongkol)
tidak memungkinkan pesaingnya mendapatkan atau menjual barang atau jasa
tertentu.
• Artinya, hambatan tersebut dapat secara horizontal dan vertical. Secara horizontal
kelompok yang memboikot tidak memberikan kesempatan kepada pesaingnya
untuk memasarkan (menjual) barang atau jasa tersebut pada pasar yang
bersangkutan.
Persekongkolan untuk menghambat produksi dan atau pemasaran
barang atau jasa (Pasal 24)

• Dan secara vertical kelompok yang memboikot tidak


memberi kesempatan bagi pesaingnya untuk mengakses atau
membeli barang atau jasa tertentu.
• Hambatan-hambatan tersebut berakibat juga kepada jumlah,
kualitas, maupun ketepatan waktu yang ditetapkan.
• Hambatan seperti ini dilarang oleh UU No. 5/1999.

Anda mungkin juga menyukai