Anda di halaman 1dari 130

BAB V

PERENCANAAN STRUKTUR ATAS

Perencanaan struktur atas jembatan dibagi dalam dua


bagian perencanaan, yaitu :
1. Perencanaan struktur sekunder jembatan, meliputi sandaran
jembatan.
2. Perencanaan struktur utama jembatan yang meliputi struktur
box girder yang berupa pracetak pratekan beserta komponen
yang berada didalamnya.

5.1 PRELIMINARY DESIGN


5.1.1 Perencanaan Dimensi Profil Box
Struktur jembatan tersusun dari single box dengan lebar
9,6 m, bentang total jembatan sepanjang 190 m terbagi menjadi 3
bentang yaitu 47,5 m + 95 m + 47,5 m dengan disangga oleh dua
pilar dan dua abutment. Perencanaan dimensi profil box girder
yang digunakan didapat dari cara trial and error, dan berdasarkan
ketentuan peraturan yang ada. Rencana dari profil box girder
adalah sebagai berikut :
 Untuk tiap sisi bentang kantilever dengan ketinggian antara
2.40 m sampai dengan 5.75 m, profil box yang digunakan
adalah dengan panjang 3,75 m sebanyak 46 buah, panjang
2.75 m sebanyak 2 buah dan panjang 2,50 m sebanyak 4 buah
 Pada bagian diatas pilar, profil box yang digunakan adalah
setinggi 5.75 m 2 buah.
 Untuk segmen penutup pada tengah bentang digunakan profil
box dengan ketinggian 2.40 m dan panjang 2.00 m sebanyak
1 buah cor ditempat
 Jumlah total box yang digunakan untuk kontruksi jembatan
ini adalah 52 buah.

43
44

Gambar 5.1 Typikal penampang box girder

Tabel 5.1 Perhitungan Dimensi dan Efisiensi pada segmen 7

yt = 159,34 cm
yb = 195,66 cm
 = 0,544
Wt = 9.791.516,59 cm3
Wb = 7.974.317,29 cm3
Kt = 86,68 cm
Kb = 106,43 cm
45

Tabel 5.2 dimensi penampang box girder


46
47
48

Dimana :
b = lebar pias
h = tinggi pias
A = luas pias = b × h
y = jarak titik berat pias ke serat atas

yt = jarak c.g.c terhadap serat atas =

yb = jarak c.g.c terhadap serat bawah = h - yt


I = momen inersia
= untuk bentuk segitiga

= untuk bentuk segiempat

i = Sehingga : =

Untuk selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut :


Tabel 5.3 Efisiensi Profil Box Girder
49

5.1.2 Desain Tendon dan Urutan Erection


Dalam perencanaan ini ada beberapa macam tendon yang
dipakai. Secara umum dibagi menjadi 3 :
1. Menurut pemakaian
2. Menurut tempatnya
3. Menurut bentuknya

1. Pembagian tendon menurut waktu pemakaian dibagi menjadi


2, yaitu :
- Tendon sementara
Tendon ini dijack saat pemasangan segmen pada pilar.
Berfungsi untuk mengimbangi momen yang terjadi pada
waktu pelaksanaan pemasangan segmen. Hal ini terjadi
karena sistem pemasangan yang dipakai adalah sistem
kantilever. Sehingga dibutuhkan gaya yang menahan
segmen pada saat dipasang sampai sistem statika
berubah. Disamping itu alat yang dipakai dalam
pemasangan juga mempengaruhi gaya pratekan yang
dipakai.
- Tendon tetap
Tendon ini berfungsi untuk memikul berat sendiri
jembatan dan beban kerja yang direncanakan.

2. Pembagian tendon menurut letaknya dibagi menjadi 3, yaitu :


- Tendon kantilever
Tendon ini dipasang pada saat kantilever. Berfungsi
untuk menahan momen akibat berat sendiri segmen dan
alat pemasangan, dan selalu bertambah sesuai
bertambahnya segmen. Biasanya diangkerkan dibagian
badan.
- Tendon tengah
Tendon ini akan bekerja pada saat struktur telah menjadi
statis tak tentu. Dan akan menahan momen akibat segmen
tengah bentang cor setempat
50

- Tendon menerus
Tendon ini diletakkan di plat bawah tengah bentang dan
diangker di plat atas. Dan akan menahan momen akibat
beban mati tambahan dan beban lalu lintas

3. Menurut bentuknya tendon ada yang dipasang lurus dan ada


yang melengkung. Keuntungan tendon dipasang lurus,
kehilangn gaya pratekan akibat gesekan hampir tidak ada.
Tendon yang dipasang melengakung dipakai pada arah
memanjang jembatan untuk mengikuti besarnya momen yang
terjadi

Penyusunan profil/segmen box girder dalam struktur atas dibagi


dalam 3 langkah pelaksanaan :
- Langkah 1 : segmen kantilever dipasang di pilar
- Langkah 2 : segmen tengah setelah segmen kantilever selesai

5.1.3 Detail Post Tensioning


Penarikan direncanakan sebesar 70 % dari gaya ultimate.
Sedangkan gaya efektif pada waktu penarikan dengan
mengikutsertakan kehilangan gaya pratekan akibat slip angker
dan geser tidak kurang dari 60 % dari gaya ultimate. Pada
perencanaan jembatan pratekan dengan metode pemasangan
tendon post tension dibagi dalam beberapa group :
- Group 1 : post tension kantilever
- Group 2 : post tension bentang tengah
- Group 3 : post tension menerus

5.1.4 Perhitungan Gaya Pratekan Awal


Keseluruhan langkah perhitungan dan proses pelaksanaan
dalam perancanaan jembatan ini mengunakan pedoman Precast
Segmantal Box Girder Bridge Manual. Dan prosedur desain unuk
jembatan segmental box girder dengan metode pelaksanaan
balanced kantilever dibagi dalam beberapa tahap sebagai berikut :
51

1. Kantilever bebas dan gaya post tension awal group 1,


kemudian kontrol tegangan yang terjadi pada semua fase
erection.
2. Penempatan segmen tengah bentang dan penentuan gaya
pratekan post tension group 2 dan kontrol tegangan yang
terjadi.
3. Perhitungan penambahan beban mati tambahan. Kontrol
tegangan yang terjadi.
4. Perhitungan penambahan beban hidup.
Akibat pengaruh waktu momen struktur akan tereduksi akibat
adanya creep, baik pada beban mati maupun pada beban post
tension dan akibat creep dan loss prestress dari tendon
sendiri.
5. Kontrol tegangan akhir.
Perhitungan gaya prategang awal secara berurutan dari
pelaksanaan metode kantilever, pemasangan segmen tengah cor
setempat, sampai beban bekerja dan terakhir nantinya dilakukan
kontrol tegangan akhir

5.2 ANALISA PEMBEBANAN


5.2.1 Analisa Beban Mati
Beban mati yang terjadi pada struktur ada 2 macam, yaitu
berat sendiri dan beban mati tambahan.
a. Analisa Berat Sendiri
Perhitungan besarnya momen akibat berat sendiri struktur
langsung dihitung dengan sendirinya oleh program bantu
SAP 2000 dengan mutu beton dan material sesuai dengan
peraturan, berat sendiri balok akan berbeda-beda karena
dimensi balok berbeda secara parabolik.
52

Tabel 5.4. Berat sendiri profil box

b, Analisa Beban Mati Tambahan


Berat lapisan aspal = 0.05 x 2.200 x 7,6 = 836 kg/m
Berat trotoar = 0.8 x 0.25 x 2.400 x 2 = 960 kg/m
Berat kerb = 0.2 x 0.25 x 2.400 x 2 = 240 kg/m
Berat sandaran + penerangan ( asumsi ) = 250 kg/m
Berat air hujan (5 cm) = 0.05 x 9.6 x 1.000 = 480 kg/m+
Total Beban Mati Tambahan = 2.766 kg/m
= 2,766 ton/m

5.2.2 Analisa Beban Hidup


a. Faktor beban dinamis
Faktor beban dinamis (DLA) berlaku untuk “KEL” lajur
“D” dan truk “T” untuk simulasi kejut dari kendaraan
bergerak pada struktur jembatan. Untuk “KEL” nilai
DLA diberikan sesuai peraturan BMS 1992 untuk LE
90 m, maka DLA = 0.3

b. Beban rencana “UDL” atau merata


Beban UDL tergantung pada panjang bentang L yang
dibebani:
L 30, q = 8 KN/m2
53

Untuk penyebaran gaya arah melintang L = 47,5 m ,


maka:
Sepanjang 5.5 m ;
q UDL 47,50 = 8 5.5 1 = 35,9

KN/m
Sepanjang 2.1m ;
q UDL 47,50 = 8 2.1 0.5 =

13,7KN/m
Jadi UDL = 35,9 + 13,7 = 49,6 KN/m yang bekerja
merata sepanjang 47,50 m

Beban UDL tergantung pada panjang bentang L yang


dibebani:
L 30, q = 8 KN/m2

Untuk penyebaran gaya arah melintang L = 95 m , maka:


Sepanjang 5.5 m ;
q UDL 95 = 8 5.5 1 = 28,95 KN/m

Sepanjang (9.6-2)-5.5=2.1m ;
q UDL 95 =8 2.1 0.5 = 11,05 KN/m
Jadi UDL = 28,95 + 11,05 = 40 KN/m yang bekerja
merata sepanjang 95 m

c. Beban rencana “KEL” atau garis terpusat


Besarnya beban “KEL” P = 44 KN/m yang
penyebarannya tergantung pada arah gaya melintang,
yaitu:
L : 2,1 m P1 = 44 load faktor (1+DLA)
54

= 2,1 44 0,5 (1+0,3)


= 47,5 KN
L : 5,5 m P1 = 44 load faktor (1+DLA)
= 5,5 44 1 (1+0,3)
= 314,6 KN
Jadi KEL = 47,5 + 314,6 = 362,1 KN yang bekerja
merata sepanjang 95 m

d. Beban rencana akibat beban truk “T”


Beban truk “T” adalah sebesar 100 KN dengan faktor
kejut DLA 0,3 untuk bentang 9,6 m
TU’ = 100 (1+DLA) Load factor(KUTT )
TU’ = 100 (1+0.3) 2
= 260 KN = 260.000.000 Nmm

5.2.3 Analisa Gaya Angin


Gaya angin pada jembatan, dianggap sebagai beban
terbagi rata pada bidang vertikal jembatan, bekerja dalam arah
horizontal dan tegak lurus sumbu memanjang jembatan.

Gambar 5.2 Permodelan Gaya Angin

Tew = 0.0006 Cw Vw2 Ab ………..kN

Dimana:
Vw = Kecepatan angin rencana (m/dt) untuk keadaan
batas yang ditinjau
55

Cw = Koef seret yang besarnya tergantung dari


perbandingan dari lebar total jembatan dengan
tinggi bangunan atas termasuk tinggi bagian
sandaran yang masif (b/d) lihat tabel 2.4
Ab = Luas koef bagian samping jembatan (m2)

Tew-2 = 0.00012 Cw Vw2 ………..kN/m

Dimana:
Vw = Kecepatan angin rencana (m/dt) untuk keadaan
batas yang ditinjau
Cw = Koef seret yang besarnya tergantung dari
perbandingan dari lebar total jembatan dengan
tinggi bangunan atas termasuk tinggi bagian
sandaran yang masif (b/d) lihat tabel 2.4

Beban angin pada gelagar utama


Tew-2 = 0,0012 x Cw x Vw2
B/d = 9.600/6.750 = 1,4 → Cw = 1,74
Tew-2 = 0,0012 x 1,74 x 352 = 2,56 kN/m

5.2.4 Analisa Pengaruh Rangkak


Analisa perhitungan pengaruh rangkak ini merupakan
perubahan oleh rangkak yang bukan disebabkan oleh susut, tetapi
oleh waktu pelaksanaan ketika proses pelaksanaan kantilever
hingga seluruh bentang terbentuk terjadi perubahan distribusi
momen oleh rangkak.

5.2.5 Analisa Beban Pelaksanaan


Analisa pengaruh pelaksanaan menyangkut metode
pelaksanaan yang digunakan. Dalam tugas akhir ini, metode
pelaksanaan digunakan sistem kantilever dengan menggunakan
alat launching gantry.
Penggunaan alat launching gantry dengan berat yang
diasumsikan yaitu berat alat 130 ton akan berpengaruh pada
56

perhitungan terutama pada posisi yang mengakibatkan kondisi


struktur kritis, yaitu pada saat pemasangan segmen kantilever
telah selesai dan dilanjutkan dengan pemasangan segmen pilar
pada bentang selanjutnya. Dengan demikian kondisi yang kritis
tersebut akan dihitung momen dan gaya yang terjadi akibat
pelaksanaan tersebut.
Selain berat launching gantry, ada beban pelaksanaan
merata sepanjang box sebesar 0,285 ton/m.

5.2.6 Analisa pengaruh prategang


Pengaruh prategang dibagi menjadi dua yaitu sebelum
kehilangan pratekan dan sesudah kehilangan pratekan. Kondisi
sebelum/sesudah kehilangan prateka dapat terjadi ketika
pelaksanaan konstruksi kantilever dan ketika konstruksi jembatan
menjadi bentang menerus.
Kehilangan gaya prategang (loss prestressed) dapat
dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu :
1. Kehilangan gaya pratekan langsung, yaitu kehilangan gaya
pratekan yang terjadi segera setelah peralihan gaya pratekan
yang meliputi : akibat slip angker, perpendekan elastis dan
gesekan kabel.
2. Kehilangan pratekan berdasarkan fungsi waktu, yaitu
kehilangan gaya pratekan yang bergantung pada waktu yang
meliputi : akibat rangkak beton, susut beton dan relaksasi
baja.
a. Perpendekan Elastis Beton ( ES )
Pada beton pratekan dengan sistem pratarik, proses
kehilangan pratekan akan terjadi setelah gaya pratekan
dialihkan ke beton. Dengan memendeknya komponen
struktur, baja juga ikut memendek.
Rumus umum yang dapat dipakai umtuk mendapatkan
jumlah kehilangan gaya pratekan adalah :

Dimana
57

ES = kehilangan gaya prategang akibat perpendekan


elastis beton.
Kes = 0,5 untuk komponen struktur pasca-tarik dan 1,0
untuk komponen struktur pratarik
Es = modulus elastisitas baja prategang.
Eci = modulus elastisitas beton pada saat pengangkuran
(initial).
fcir = tegangan beton pada garis berat baja (cgs) akibat
gaya prategang yang efektif segera setelah gaya
prategang telah dikerjakan pada beton.

b. Gesekan dan Wobble effect


Kehilangan gaya pratekan akibat pengaruh kelengkungan
dihasilkan dari kelengkungan tendon yang diinginkan
sebagai tambahan pada penyimpangan turun naiknya
selubung. Kehilangan gaya prategang ini tergantung pula
pada koefisien gesekan antara bahan yang bersentuhan
dan tekanan yang disebabkan oleh tendon pada beton.
Koefisien gesekan akan bergantung dari kelicinan dan
sifat permukaan bidang kontak. Tekanan diantara tendon
dan beton tergantung dari tekanan pada tendon dan
perubahan sudut total. Kehilangan gaya prategang akibat
gesekan dapat dipertimbangkan pada dua pengaruh yaitu
panjang dan pengaruh kelengkungan. Pengaruh panjang
adalah jumlah gesekan yang akan dijumpai jika tendon
lurus, tidak dirancang bengkon atau melengkung. Namun
selubung tendon tidak dapat sepenuhnya lurus.
Rumus umum untuk kehilangan gaya pratekan akibat
gesekan dan wobble effect :

Dimana :
Fx = gaya prategang akhir sesudah loss akibat efek
wobble dan gesekan
F0 = gaya pratekan awal
μ = koefisieen friksi
58

α = perubahan sudut dari titik jack ke titik X.

c. Slip angker ( ANC )


Pada kebanyakan sistem post tension, pada saat tendon
ditarik sampai nilai penuh kemudian dongkrak dilepas
dan gaya prategang dialihkan ke angkur, tegangan yang
terjadi didalam angkur cenderung untuk berdeformasi,
jadi tendon dapat tergelincir sedikit. Baji gesekan yang
dipakai untuk menahan kabel akan tergelincir sebelum
kabel dijepit dengan kokoh. Besar gelincir tergantung
dari jenis baji dan tegangan pada kawat, nilai rata-rata
sekitar 2.5 mm.
Rumus umum untuk menghitung kehilangan gaya
prategang akibat deformasi pengangkuran adalah :

 = 2 x 0 x xX

X =

d. Rangkak beton ( CR )
Banyak yang mempengaruhi rangkak yaitu perbandingan
volume terhadap permukaan, umur beton pada saat
prategang, kelembaban relatif dan jenis beton. Balok
memberikan respon yang elastik terhadap gaya prategang
pada saat peralihan, tetapi rangkak pada beton akan
terjadi untuk jangka waktu yang lama akibat beban yang
terus menerus bekerja. Rangkak dianggap terjadi dengan
beban mati permanen yang ditambahkan pada komponen
struktur setelah beton diberi gaya prategang. Bagian
regangan tekan awal disebabkan pada beton segera
setelah peralihan gaya prategang dikurangi oleh regangan
tarik yang dihasilkan dari beban mati permanen.
Kehilangan gaya prategang akibat rangkak untuk
59

komponen struktur dengan tendon terekat dapat


dirumuskan sebagai berikut :

CR =

Dimana
Kcr = 2,0 untuk komponen struktur pratarik.
1,6 untuk komponen struktur pasca-tarik.
fcds = tegangan beton pada titik berat tendon akibat
sseluruh beban mati yang bekerja pada komponen
struktur setelah diberi gaya prategang.
Es = modulus elastisitas tendon pratekan.
Ec = modulus elastisitas beton berumur 28 hari yang
bersesuaian dengan fc’.

e. Susut (SH)
Susut beton dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti
rangkak yaitu perbandingan antara volume dan
permukaan, kelembaban relatif dan waktu dari curing
sampai dengan bekerjanya gaya prategang.
Rumus umum yang dipakai untuk menghitung kehilangan
gaya pratekan akibat susut beton yaitu :
SH =

Dimana
Ksh = koefisien faktor susut
RH = kelembaban relatif.
V
/S = perbandingan volume terhadap permukaan
(dalam inchi)

f. Relaksasi baja ( RE )
Akibat perpendekan elastik (kehilangan gaya prategang
seketika setelah peralihan) dan gaya prategang yang
tergantung pada waktu, CR dan SH, ada pengurangan
60

kontinu pada tegangan tendon, jadi kehilangan gaya


prategang akibat relaksasi berkurang. Sebenarnya balok
prategang mengalami perubahan regangan baja yang
konstan di dalam tendon bila terjadi rangkak yang
tergantung pada waktu, untuk ini ACI memberikan
perumusan untuk menghitung kehilangan gaya pratekan
yaitu :
RE =
Nilai Kre, J dan C bergantung jenis dan tipe tendon. Maka
untuk strand atau kawat stress relieved 1860 MPa yaitu :
Kre = 138 MPa
J = 0,15
C = 1

5.3 ANALISA TEGANGAN YANG TERJADI


Tegangan Pada beton yang diijinkan
a. Saat transfer / jacking
Tekan = ci = 0.6 x fc’ = 0.6 x 65 = 39 Mpa
Tarik = ti = 0,25 x = 0,25 x = -2,016
Mpa
b. Saat service
Tekan = ci = 0,45 x fc’ = 0,45 x 65 = 29,25 Mpa
Tarik = ti = 0,5 x = 0,5 x = -4,03 Mpa

5.3.1 Perhitungan Tegangan Akibat Tendon Kantilever


(Tahap 1)
Tendon kantilever dihitung berdasarkan berat sendiri
kantilever terlebih dahulu. Ada beberapa proses yang terjadi pada
kondisi kantilever, yaitu :

1. Peletakan box girder pada pilar


61

Gambar 5.3. Peletakan segmen pada pilar

2. Launching gantry berpindah ke box diatas pilar

Gambar 5.4. Launching gantry berpindah ke box diatas pilar

3. Dilakukan pengangkatan segmen box, kemudian di jacking

Gambar 5.5. Pemasangan segmen kantilever

Dengan tujuan untuk mengantisipasi momen yang terjadi,


tendon kantilever terletak pada sisi atas dari c.g.c.

Gambar 5.6. Tendon kantilever

Sehingga langkah-langkah perhitungan adalah sebagai


berikut :
1. Hitung semua momen akibat berat sendiri (beban mati
kantilever) yaitu akibat beban yang bekerja :
a. Berat sendiri box (tergantung jenis material)
Pola pembebanan :

Gambar 5.7. Pembebanan pada saat pemasangan segmen


kantilever akibat berat sendiri
62

Analisa perhitungan momen pemasangan segmen tepi


akibat berat sendiri menggunakan SAP 2000, didapatkan
momen maksimum
M14 ( x = 47,5 m ) = -22.449,3781 tm

b. Akibat Launching Gantry


Berat Launching Gantry = 130 ton
Panjang Truss = 134 m
Jarak antar kaki = 65 x 2 = 130 m
Pola pembebanan :

Gambar 5.8. Pembebanan pada saat pemasangan segmen


kantilever akibat Launching Gantry

Analisa perhitungan momen pemasangan segmen tepi


akibat beban merata pelaksanaan menggunakan SAP
2000, didapatkan momen maksimum
M14 ( x = 47,5 m ) = -6.045 tm

c. Berat pelaksanaan diasumsikan = 0,285 t/m


Pola pembebanan :

Gambar 5.9. Pembebanan pada saat pemasangan segmen


kantilever akibat berat pelaksanaan

Analisa perhitungan momen pemasangan segmen tepi


akibat beban merata pelaksanaan menggunakan SAP
2000, didapatkan momen maksimum
M14 ( x = 47,5 m ) = -321,51563 tm
63

Contoh perhitungan pada Tahap 1 adalah :


1. Akibat beban Mati, Launching gantry dan beban pelaksanaan

Gambar 5.10. Bidang momen akibat beban kombinasi

Diambil joint 7
A = 9.200.000 mm2
yt = 1.593,44 mm
yb = 1.956,56 mm
I = 15.602.214.057.971 mm4
Mg = 47.004.609.400 Nmm
e = 1.060,35 mm

 Serat Atas

Didapatkan F0 atas = 12.834.709 N


64

 Serat Bawah

Didapatkan F0 bawah = -1.363.785.361 N

Kontrol tegangan pada serat box


 Serat Atas

-2,02 Mpa < 0,00 Mpa……………. ok

 Serat Bawah

39 Mpa > 5,357 Mpa ……………. ok


65

F F.e.y M.y
A I I

Gambar 5.11. Diagram tegangan joint 7 akibat pelaksanaan


segmen kantilever
66

Tabel 5.5 perhitungan pada tahap 1 ( tahap kantilever )


67

5.3.2 Perhitungan Tegangan akibat Tendon Tengah


(tahap 2)
Pada tahap ini tendon tengah dipasang dan dijacking
setelah box bentang kelengkapan tengah dicor setempat.

Gambar 5.12. Pengecoran segmen tengah

Letak dari tendon segmen tengah berada pada sisi bawah


dari c.g.c., seperti pada gambar berikut ini :

Gambar 5.13. Tendon tengah

Prosedur perhitungan gaya tendon adalah sebagai berikut :


1. Hitung momen yang dihasilakan akibat penambahan segmen
tengah, dan beban yang bekerja adalah :
a. Berat sendiri box (tergantung jenis material)
Pola pembebanan :

Gambar 5.14. Pembebanan pada saat pemasangan


segmen tengah akibat berat sendiri

Analisa perhitungan momen pemasangan segmen tepi


akibat berat sendiri menggunakan SAP 2000, didapatkan
momen maksimum
Mmax (-) = M14 ( x = 47,5 m ) = -1.174,55705 tm
Mmax (+) = M27 ( x = 95 m ) = 1.831,38748 tm
68

b. Berat pelaksanaan diasumsikan = 0,285 t/m


Pola pembebanan :

Gambar 5.15. Pembebanan pada saat pemasangan


segmen tengah akibat berat pelaksanaan

Analisa perhitungan momen pemasangan segmen tepi


akibat berat sendiri menggunakan SAP 2000, didapatkan
momen maksimum
Mmax (-) = M14 ( x = 47,5 m ) = -18,99654 tm
Mmax (+) = M27 ( x = 95 m ) = 29,62268 tm

Contoh perhitungan pada tahap 2


1. Akibat beban Mati dan beban pelaksanaan

Gambar 5.16. Bidang momen akibat beban mati + beban


pelaksanaan
69

Diambil joint 20
A = 9.200.000 mm2
yt = 1.593,44 mm
yb = 1.956,56 mm
I = 15.602.214.057.971 mm4
Mg = 2.333.839.100 Nmm
e = 1.706,56 mm

 Serat Atas

Didapatkan F0 atas = -590.934.697 N

 Serat Bawah

Didapatkan F0 bawah = 5.338.959 N


70

Kontrol tegangan pada serat box


 Serat Atas

39 Mpa > 0,000 Mpa ……………. Ok

 Serat Bawah

-2,02 Mpa < 0,880 Mpa……………. ok

F F.e.y M.y
A I I

Gambar 5.17. Diagram tegangan joint 20 akibat tendon tengah


Tabel 5.6 perhitungan pada tahap 2 ( tendon tengah )
71
72

5.3.3 Perhitungan Tegangan saat service


Pada langkah ini, jembatan mendapat tambahan pengaruh
beban mati tambahan yang terdiri dari beban aspal, trotoar, kerb,
sandaran dan pagar, dan beban air hujan.
Kemudian didapatkan tegangan akibat penambahan
beban mati tambahan :
1. Hitung momen yang disebabkan oleh beban mati tambahan
pada struktur.
Beban yang bekerja adalah beban mati tambahan = 2,766 t/m
Pola pembebanan :

Gambar 5.18. Pembebanan pada saat service akibat berat sendiri

Analisa perhitungan momen saat service akibat beban mati


tambahan menggunakan SAP 2000, didapatkan momen
maksimum
Mmax (-) = M14 ( x = 47,5 m ) = -1.755.12749 tm
Mmax (+) = M27 ( x = 95 m ) = 1.363,88326 tm

2. Hitung momen yang disebabkan akibat beban rencana lalu


lintas
UDL 47,5 m = 49,6 kN/m = 4,96 t/m
UDL 90 m = 40 kN/m = 4 t/m
KEL = 362,1 kN = 36,21 t
Jadi untuk momen, akibat beban hidup dipakai beban UDL
dan KEL (ML3) karena lebih besar dari beban “Truk”
Setelah dilakukan input pada SAP 2000 dengan alternatif
alternatif yang ada dimana fungsinya nantinya untuk
mendapatkan momen yang paling maksimum maka akan
didapatkan momen-momen sebagai berikut:
73

 Alternatif 1

Gambar 5.19. Alternatif 1 pembebanan UDL dan KEL

Gambar 5.20. Bidang momen Alternatif 1 pembebanan


UDL+KEL
74

 Alternatif 2

Gambar 5.21. Alternatif 2 pembebanan UDL dan KEL

Gambar 5.22. Bidang momen Alternatif 2 pembebanan


UDL+KEL
75

 Alternatif 3

Gambar 5.23. Alternatif 3 pembebanan UDL dan KEL

Gambar 5.24. Bidang momen Alternatif 3 pembebanan


UDL+KEL
76

 Alternatif 4

Gambar 5.25. Alternatif 4 pembebanan UDL dan KEL

Gambar 5.26. Bidang momen Alternatif 4 pembebanan


UDL+KEL
77

Dari hasil input SAP 2000 didapatkanlah momen-momen seperti


yang tertera diatas dimana momen yang maksimum dipakai
dalam mendesain tendon yang akan dipergunakan.
Mmax (-) = M14 ( x = 47,5 m ) = -3.224,01738 tm (alternatif 1)
Mmax (+) = M27 ( x = 95 m ) = 2.773,77528 tm (alternatif 3)

Tegangan saat service di atas tumpuan (Momen Negatif)


Diambil pada joint 14
A = 12.250.000 mm2
yt = 2.871,69 mm
yb = 2.878,31 mm
I = 54.993.589.018.708 mm4
Mg = 49.791.448.700 Nmm
e = 2.721,69 mm

 Serat Atas

Didapatkan F0 atas = -440.563.064 N

 Serat Bawah

Didapatkan F0 bawah = -6.359.678 N


78

Kontrol tegangan pada serat box


 Serat Atas

29,95 Mpa > 1,897 Mpa ……………. Ok

 Serat Bawah

-4,03 Mpa < 0,000 Mpa……………. Ok

F F.e.y M.y
A I I
79

Gambar 5.27. Diagram tegangan joint 14 saat service (menerus


diatas tumpuan)
80

Tegangan saat service pada tengah bentang (Momen Positif)


Diambil pada joint 27
A = 6.990.000 mm2
yt = 906,93 mm
yb = 1.493,07 mm
I = 41.376.585.400 mm4
Mg = 176.923.257.640 Nmm
E = 1.343,07 mm

 Serat Atas

Didapatkan F0 atas = -190.126.458 N

 Serat Bawah

Didapatkan F0 bawah = 15.837.582 N


81

Kontrol tegangan pada serat box


 Serat Atas

29,95 Mpa > 5,287 Mpa ……………. Ok

 Serat Bawah

-4,03 Mpa < 0 Mpa……………. ok

F F.e.y M.y
A I I
Gambar 5.28. Diagram tegangan joint 27 saat service (menerus
tengah bentang)
82

5.4 PERENCANAAN KABEL


5.4.1 Perhitungan Tegangan saat transfer
1. Tahap Pemasangan Kantilever
Kontrol jumlah strand satu sisi web pada segmen 7
Mutu baja pratekan digunakan kabel jenis strand seven
wires stress relieved (7 kawat untaian) dengan diameter
15.24 mm grade 270 (ASTM-A 416) A strands = 98,71
mm2.Tegangan tarik dalam tendon pratekan adalah
sebagai berikut:
- Modulus elastisitas (Es) = 200 000 Mpa
- Tegangan putus kabel (fpu) = 1.860 Mpa
- Tegangan leleh kabel (fpy) = 0.9 x fpu
= 0.9 x 1860 = 1674Mpa

Jika dicoba memakai 2 duct = = 13,144 strand


19 strand tiap duct
Maka dipakai 2 VSL 19 Sc

2. Tahap Pemasangan Segmen Tengah


Kontrol jumlah strand satu sisi web pada segmen 20
Mutu baja pratekan digunakan kabel jenis strand seven
wires stress relieved (7 kawat untaian) dengan diameter
15.24 mm grade 270 (ASTM-A 416) A strands = 98,71
mm2.Tegangan tarik dalam tendon pratekan adalah
sebagai berikut:
83

- Modulus elastisitas (Es) = 200 000 Mpa


- Tegangan putus kabel (fpu) = 1.860 Mpa
- Tegangan leleh kabel (fpy) = 0.9 x fpu
= 0.9 x 1860 = 1674Mpa

Jika dicoba memakai 1 duct = 17,671 strand


19 strand tiap duct
Maka dipakai 1 VSL 19 Sc

Tabel 5.7 perencanaan tendon pada tahap kantilever

Tabel 5.8 perencanaan tendon segmen tengah


84
85

5.4.2 Perhitungan Tegangan saat service


1. Perencanaan kabel diatas tumpuan
Kontrol jumlah strand satu sisi web pada segmen 14
Mutu baja pratekan digunakan kabel jenis strand seven
wires stress relieved (7 kawat untaian) dengan diameter
15.24 mm grade 270 (ASTM-A 416) A strands = 98,71
mm2.Tegangan tarik dalam tendon pratekan adalah
sebagai berikut:
- Modulus elastisitas (Es) = 200 000 Mpa
- Tegangan putus kabel (f pu ) = 1.860 Mpa
- Tegangan leleh kabel (f py ) = 0.9 x fpu
= 0.9 x 1860 = 1674Mpa

Jika dicoba memakai 4 duct = = 14,139


strand
19 strand tiap duct
Maka dipakai 4 VSL 19 Sc

2. Perencanaan kabel pada tengah bentang


Kontrol jumlah strand satu sisi web pada segmen 27
Mutu baja pratekan digunakan kabel jenis strand seven
wires stress relieved (7 kawat untaian) dengan diameter
15.24 mm grade 270 (ASTM-A 416) A strands = 98,71
mm2.Tegangan tarik dalam tendon pratekan adalah
sebagai berikut:
- Modulus elastisitas (Es) = 200 000 Mpa
- Tegangan putus kabel (fpu) = 1.860 Mpa
- Tegangan leleh kabel (fpy) = 0.9 x fpu
86

= 0.9 x 1860 = 1674Mpa

Jika dicoba memakai 4 duct = = 27,949


strand
31 strand tiap duct
Maka dipakai 4 VSL 31 Sc
Gambar 5.29 Potongan memanjang dan tamapk Atas layout tendon
87
88

Gambar 5.30 Detail penempatan tendon box joint 1,2,3,4


89

Gambar 5.31 Detail penempatan tendon box joint 5,6,7


90

Gambar 5.32 Detail penempatan tendon box joint 8,9,10


91

Gambar 5.33 Detail penempatan tendon box joint 11,12


92

Gambar 5.34 Detail penempatan tendon box joint 13,14


93

5.5 ANALISA KEHILANGAN GAYA PRATEGANG


Pengaruh prategang dibagi menjadi dua yaitu sebelum
kehilangan pratekan dan sesudah kehilangan pratekan.
Kehilangan gaya prategang (loss prestressed) dapat
dikelompokan menjadi dua jenis, yaitu:
1. Kehilangan gaya pratekan langsung yaitu kehilangan
gaya pratekan yang terjadi segera setelah peralihan gaya
pratekan (waktu jangka pendek) yang meliputi: akibat
slip angker, perpendekan elastis dan gesekan kabel
2. Kehilangan pratekan berdasarkan fungsi waktu yaitu
kehilangan gaya pratekan yang tergantung pada waktu
(waktu jangka tertentu) yang meliputi: akibat rangkak
beton (creep), susut beton (shrinkage) dan relaksasi baja
(relaxation)
5.5.1 Perhitungan kehilangan gaya prategang langsung
1. Kehilangan prategang akibat perpendekan elsastis
(ES)
Untuk sistem pasca tarik, jika tendon yang dimiliki
lebih dari satu dan tendon-tendon tersebut ditarik secara
berurutan, maka gaya prategang akan bekerja secara
bertahap pada beton, perpendekan beton bertambah
apabila setiap kabel diikatkan padanya dan kehilangan
gaya prategang akibat perpendekan elastis berbeda-beda
pada tendon. Untuk kehilangan elastis memperhitungkan
pengaruh penarikan yang berturut-turut pada kehilangan
elastis dapat digunakan persamaan:

ES = Kes x Es x

dimana:
fcir = tegangan beton pada garis yang melalui titik
berat baja (c.g.s) akibat gaya prategang yang
efektif segera setelah gaya prategang telah
dikerjakan pada beton
Fo = 0.9 Fi untuk komponen struktur pratarik
Fo = Fi untuk komponen struktur pasca tarik
94

Kes = 0,5 untuk komponen struktur pasca tarik

fcir i =

Contoh perhitungan tendon pada tahap 2 (Joint 22)

fcir = 2,326 + 3,548 – 1,064 = 4,810 Mpa

Eci = modulus elastisitas beton


= 4700 = 4700
= 37.892,611 MPa
Es = 2 106 kg/cm2
= 200 000 Mpa
95

Tabel 5.9 Perhitungan kehilangan gaya pratekan akibat


Perpendekan elastis tahap kantilever

Tabel 5.10 Perhitungan kehilangan gaya pratekan akibat


Perpendekan elastis pada segmen tengah

Tabel 5.11 Perhitungan kehilangan gaya pratekan akibat


Perpendekan elastis pada saat service
96

2. Kehilangan prategang akibat gesekan kabel dan


wooble effect
Kehilangan gaya pratekan akibat pengaruh
kelengkungan dihasilkan dari kelengkungan tendon yang
diinginkan sebagai tambahan pada penyimpangan turun
naiknya selubung (duct). Kehilangan gaya prategang ini
tergantung pula pada koefisien gesekan diantara bahan
yang bersentuhan dan tekanan yang disebabkan oleh
tendon beton. Koefisien gesekan pada gilirannya akan
tergantung dari kelicinan dan sifat permukaan bidang
kontak, Tekanan diantara tendon dan beton tergantung
dari tekanan pada tendon dan perubahan sudut total.
Kehilangan gaya prategang akibat gesekan ini dapat
dipertimbangkan pada 2 bagian pengaruh panjang adalah
jumlah gesekan yang akan dijumpai jika tendon lurus,
tidak dirancang bengkong atau melengkung namun
selubung tendon tidak dapat sepenuhnya lurus hal ini
dijelaskan sebagai pengaruh naik turunnya selubung
(wobble effect). Adapun rumus umum kehilangan gaya
pratekan akibat gesekan dan wobble effect adalah:
Fx = Fo x e –( +KL)

dimana:
Fx = gaya prategang akhir sesudah loss akibat wobble
effect dan gesekan
Fo = gaya prategang awal
= Koefisien friksi / gesekan (0.15 0.25)
= 0.2 (selubung logam dilapisi timbal, tabel 18.6.2 ACI)
K = koefisien wobble = 0.0026 (tabel T.Y Lin)
= Perubahan sudut akibat pengaruh kelengkungan
Contoh perhitungan tendon pada tahap 2 (Joint 22)
Fx = F0 x e –( +KL)

= F0 x 1,31 –(0,2 x 0,11 + 0,0026 x 17,5) = 0,916 F0


97

%loss = x
100%
= 8,372 %
Tabel 5.12 Perhitungan kehilangan gaya pratekan akibat Wobble
effect tahap kantilever

Tabel 5.13 Perhitungan kehilangan gaya pratekan akibat Wobble


effect pada segmen tengah

Tabel 5.14 Perhitungan kehilangan gaya pratekan akibat Wobble


effect saat service
98
99

3. Kehilangan prategang akibat slip angker


Pada sistem post tension, pada saat tendon ditarik
sampai nilai penuh kemudian dongkrak dilepas dan gaya
prategang dialihkan ke angkur. Perlengkapan di dalam
angkur yang mengalami tegangan pada saat peralihan
cenderung untuk berdeformasi. Jadi tendon dapat
tergelincir sedikit. Baji gesekan yang dipakai untuk
menahan kabel akan sedikit tergelincir sebelum kabel
dijepit dengan kokoh. Besarnya gelincir ini tergantung
dari jenis baji dan tegangan pada kawat, nilai rata-rata
sekitar 2.5 mm (menurut T.Y. Lin, hal 91). Rumus umum
untuk menghitung kehilangan gaya prategang akibat
deformasi pengangkuran adalah

 = 2 x 0 x xX

X =

Dimana :
 = Kehilangan pratekan pada baja
X = Jarak pengaruh slip angker
0 = Gaya prategang awal = 0,7 x fpu = 1.302
 = Koefisien friksi / gesekan ( 0,15 <  < 0,25 )
= 0,2 ( selubung logam dilapisi timbal, tabel 18.6.2 ACI)
K = Koefisien Wobble = 0,0026 ( tabel T.Y. Lin )
 = Perubahan sudut
Es = 2.106 kg/cm2 = 2.105 Mpa
d = defleksi = 1 mm
L = Panjang total kebel
100

Contoh perhitungan tendon pada tahap 2 (Joint 22)


X =

= 8,008 m

 = 2 x 0 x xX

= 2 x 1.302 x x 8,008

= 49,952 Mpa

%loss = 100%
= 3,837 %
101

Tabel 5.15 Perhitungan kehilangan gaya pratekan akibat slip


angker slip angker tahap kantilever

Tabel 5.16 Perhitungan kehilangan gaya pratekan akibat slip


angker tahap segmen tengah

Tabel 5.17 Perhitungan kehilangan gaya pratekan akibat slip


angker saat service
102

5.5.2 Perhitungan kehilangan gaya prategang berdasarkan


fungsi waktu
1. Kehilangan prategang akibat rangkak beton (CR)
Faktor yang mempengaruhi rangkak diantaranya
adalah perbandingan volume terhadap permukaan umur
beton pada saat prategang, kelembaban relatif dan jenis
beton. Rangkak pada beton akan terjadi untuk jangka
waktu yang lama akibat beban yang terus menerus
bekerja. Rangkak dianggap terjadi akibat beban mati
permanen yang ditambahkan pada komponen struktur
setelah beton diberi gaya prategang. Bagian regangan
tekan awal terjadi pada beton segera setelah peralihan
gaya prategang dikurangi oleh regangan tarik yang
dihasilkan dari beban mati permanen. Kehilangan gaya
prategang akibat rangkak untuk komponen struktur
dengan tendon terekat dapat dirumuskan sebagai berikut:

CR =

Dimana
CR = kehilangan pratekan akibat rangkak beton
Kcr = 2,0 untuk komponen struktur pratarik.
1,6 untuk komponen struktur pasca-tarik.
fcds = tegangan beton pada titik berat tendon
akibat sseluruh beban mati yang bekerja
pada komponen struktur setelah diberi gaya
prategang. =
Es = modulus elastisitas tendon pratekan.
= 200.000 Mpa
Ec = modulus elastisitas beton berumur 28 hari
yang bersesuaian dengan fc’.
= 4700 = 4700
= 37.892,61 MPa
103

Contoh perhitungan pada tendon tahap 2 (Joint 22)


104

Tabel 5.18 Perhitungan kehilangan gaya pratekan akibat rangkak


tahap kantilever

Tabel 5.19 Perhitungan kehilangan gaya pratekan akibat rangkak


tahap segmen tengah

Tabel 5.20 Perhitungan kehilangan gaya pratekan akibat rangkak


saat service
105

2. Kehilangan prategang akibat susut beton


Pada saat kabel ditegangkan dan dijangkarkan,
sebenarnya telah terjadi suatu perpanjangan tertentu. Pada
waktu balok menyusut panjang balok total diperkecil,
kabel kehilangan sebagian dari perpanjangan semula.
Gaya prategang berkurang setelah berlalunya waktu
akibat susut beton. Diasumsikan bahwa saluran kabel
digrouting sehingga kabel dan beton monolit dengan
demikian deformasi dalam arah memanjang akan sama.
Penyusutan beton tergantung pada beberapa faktor seperti
mutu semen, banyaknya semen dalam 1m 3 beton,
banyaknya air dan kelembaban udara. Adapun persamaan
yang akan dipakai adalah:
SH = 8,2 10-6 Ksh Es (1 – 0,06 ) (100 –
RH)
dimana :
Ksh = 0,73 (tabel 4.4 T.Y Lin, hal 88)
V = Luas balok
S = Keliling balok
RH = Kelembaban udara, diambil rata-rata = 75%

Contoh perhitungan tendon tahap 2 (Joint 22)


106

Tabel 5.21 Perhitungan kehilangan gaya pratekan akibat susut


tahap kantilever

Tabel 5.22 Perhitungan kehilangan gaya pratekan akibat susut


segmen tengah

Tabel 5.23 Perhitungan kehilangan gaya pratekan akibat susut


saat service
107

3. Kehilangan prategang akibat relaksasi baja


Akibat perpendekan elastis (kehilangan gaya prategang
seketika setelah peralihan) dan gaya prategang yang
tergantung waktu, CR dan SH ada pengurangan berkelanjutan
pada tegangan beton, jadi kehilangan gaya prategang akibat
relaksasi berkurang. Sebenarnya balok prategang mengalami
perubahan regangan baja yang konstan di dalam tendon bila
terjadi rangkak yang tergantung pada nilai waktu. Oleh
karena itu, ACI memberikan perumusan untuk menghitung
kehilangan gaya pratekan dimana nilai dari Kre, J dan C
tergantung dari jenis dan tipe tendon, dimana untuk strand
atau kawat stress yang dipakai adalah relieved derajat 1860
MPa. Adapun perumusan tersebut yaitu:
RE = ( Kre – J ( SH + CR + ES )) C
dimana :
Kre = 138 MPa (T.Y Lin tabel 4.5 hal : 90)
J = 0,15 (T.Y Lin tabel 4.5 hal : 90)
C = 1 (T.Y Lin tabel 4.6 hal : 90)
Contoh perhitungan tendon tahap 2 (Joint 22)
RE = (Kre – J(SH+CR+ES))C
= (138 – 0.15 x ((15,093 + 31,627 + 12,693))) x1
= 129,09 MPa
%loss = 100% = 9,915 %
108

Tabel 5.24 Perhitungan kehilangan gaya pratekan akibat relaksasi


baja tahap kantilever

Tabel 5.25 Perhitungan kehilangan gaya pratekan akibat relaksasi


baja segmen tengah

Tabel 5.26 Perhitungan kehilangan gaya pratekan akibat relaksasi


baja saat service
109

5.5.3 Perhitungan kehilangan gaya prategang total


Gaya prategang awal pada baja dikurangi dengan
semua kehilangan gaya - gaya prategang disebut sebagai
gaya prategang efektif atau gaya prategang rencana.
Menurut peraturan ACI tahun 1963 ditetapkan bahwa
kehilangan gaya prategang total dari perpendekan elastis,
rangkak, susut, dan relaksasi baja (tetapi tidak termasuk
gesekan dan pergesekan angkur) pada beton normal
besarnya 240 Mpa (25%) untuk balok – balok pratarik
dan 170 Mpa (20%) untuk balok pasca tarik.
Pada perencanaan jembatan pratekan ini didapatkan
total kehilangan pratekan akibat perpendekan elastis,
rangkak beton, susut beton, dan relaksasi baja adalah :
TL = ES + CR + SH + RE
Contoh perhitungan tendon tahap 2 (Joint 22)
TL = ES + CR + SH + RE
= 12,693 + 31,627 + 15,093 + 129,09
= 188,501 Mpa
%loss = x 100% = 14,478 %
110

Tabel 5.27 Perhitungan kehilangan gaya pratekan total tahap


kantilever

Tabel 5.28 Perhitungan kehilangan gaya pratekan total segmen


tengah

Tabel 5.29 Perhitungan kehilangan gaya pratekan total saat


service
111

5.5.4 Kontrol tegangan setelah terjadi kehilangan gaya


prategang (Loss Prestressed)

Contoh perhitungan tendon kantilever (Joint 7)


Feff = 0,8737 F0
= 0,8737 x 22.123.531 N
= 19.329.298 N
 Serat Atas

-4,03 Mpa < -0,606 Mpa ……………. Ok

 Serat Bawah

29,25 Mpa > 5,425 Mpa……………. ok

F F.e.y M.y
A I I

Gambar 5.35. Diagram tegangan saat service ( setelah kehilangan


gaya pratekan )
112

5.6 PERHITUNGAN PENULANGAN BOX


Analisa perhitungan penulangan box girder dilakukan
dengan menggunakan program bantu SAP 2000 dengan
memperhitungakan beban-beban yang bekerja pada struktur
box yang nantinya akan diketahui gaya-gaya dalam yang
terjadi. Perhitungan struktur memperhitungkan beban-beban
yaitu beban terpusat truk pada 2 lajur dan beban mati
tambahan serta beban trotoar.

 Beban trotoar
Pejalan kaki = 200 kg/m
Kendaraan ringan = 2.000 kg/m
Berat trotoar = 960 kg/m
Berat kerb = 240 kg/m
Berat sandaran + penerangan (asumsi) = 250 kg/m
qtotal = 3.650 kg/m
 Beban mati tambahan
Berat lapisan aspal = 836 kg/m
Berat air hujan = 480 kg/m
qtotal = 1.316 kg/m
 Beban Truk
TU’ = 100 (1+DLA) Load factor(KUTT )
TU’ = 100 (1+0.3) 2
= 260 KN = 26.000 kg
113

Dalam analisa perhitungan tulangan box digunakan 3


perbandingan
1. frame-frame dengan asumsi setiap box diberi
perletakan sendi
2. frame-frame dengan asumsi setiap perubahan
panjang terdapat lendutan, lendutan tersebut
digunakan untuk asumsi perletakan box dengan
spring
3. bentuk 3d seutuhnya jembatan dengan pemodelan
menggunakan shell

Gambar 5.36 Alternatif pembebanan box girder


114

5.6.1 Adapun pengaruh penyebaran beban T terhadap plat


lantai kendaraan dengn perletakan asumsi adalah
sendi dapat dilihat pada gambar dibawah ini

Gambar 5.37 Bidang momen Alternatif 1

Gambar 5.38 Bidang momen Alternatif 2


115

Gambar 5.39 Bidang momen Alternatif 3

Gambar 5.40 Bidang momen Alternatif 4


116

Gambar 5.41 Bidang momen Alternatif 5

Gambar 5.42 Bidang momen Alternatif 6


117

5.6.2 Adapun pengaruh penyebaran beban T terhadap plat


lantai kendaraan dengn perletakan asumsi adalah
spring dapat dilihat pada gambar dibawah ini

Gambar 5.43 Bidang momen Alternatif 1

Gambar 5.44 Bidang momen Alternatif 2


118

Gambar 5.45 Bidang momen Alternatif 3

Gambar 5.46 Bidang momen Alternatif 4


119

Gambar 5.47 Bidang momen Alternatif 5

Gambar 5.48 Bidang momen Alternatif 6


120

5.6.3 Adapun pengaruh penyebaran beban T terhadap plat


lantai kendaraan dengan pemodelan 3d menggunakan
shell dapat dilihat pada gambar dibawah ini

Gambar 5.49 permodelan dengan shell

Gambar 5.50 lendutan yang terjadi pada pemodelan


121

Gambar 5.51 momen yang terjadi pada shell

Momen maksimum yang terjadi pada pemodelan


Tabel 5.30 Hasil analisa momen penulangan box

Dari analisa diatas diambil momen terbesar untuk mendesain


tulangan box girder, dari 3 analisa tersebut yang paling mendekati
dengan model yang jembatan yang sebenarnya adalah pada
pemodelan no. 3 yaitu pemodelan 3d dengan shell
122

5.6.4 Perhitungan Tulangan


a. Perhitungan tulangan struktur flens atas
MU = 15,02 tm = 150.200.000 Nmm
D = 22
b = 1000 mm
dx = 250 – 40 – 22/2 = 199 mm
fc’ = 65 Mpa
fy = 320 Mpa
 = 0.8

karena  min <  perlu <  maks maka digunakan  perlu


Asperlu =  x b x d = 0,0185 x 1000 x 199 = 3.681,5 mm2
Dalam 1000 mm2 dipakai tulangan sebanyak :

Jadi tualgan yang digunakan adalah D22 – 100


Tulangan arah memanjang dipakai tulangan praktis D22–150
123

Gambar 5.52. Penulangan lentur pelat atas box

b. Perhitungan tulangan struktur flens tegak


MU lapangan = 9,31 tm = 93.100.000 Nmm
D = 22
b = 1000 mm
dx = 400 – 40 – 22/2 = 349 mm
fc’ = 65 Mpa
fy = 320 Mpa
 = 0.8

karena  min >  perlu maka digunakan  min


Asperlu =  x b x d = 0,004375 x 1000 x 349 = 1.526,875 mm2
Dalam 1000 mm2 dipakai tulangan sebanyak :
124

Jadi tualgan yang digunakan adalah D22–200


Tulangan arah memanjang dipakai tulangan praktis D22–250

Gambar 5.53. Penulangan lentur pelat tegak box

c. Perhitungan tulangan struktur flens bawah


MU lapangan = 20,24 tm = 202.400.000 Nmm
D = 22
b = 1000 mm
dx = 400 – 40 – 22/2 = 349 mm
fc’ = 65 Mpa
fy = 320 Mpa
 = 0.8
125

karena  min <  perlu <  maks maka digunakan  perlu


Asperlu =  x b x d = 0,00662 x 1000 x 349 = 2.310,38 mm2
Dalam 1000 mm2 dipakai tulangan sebanyak :

Jadi tualgan yang digunakan adalah D22 – 150


Tulangan arah memanjang dipakai tulangan praktis D22–200

Gambar 5.54. Penulangan lentur pelat bawah box


126

Gambar 5.55 Detail penulangan box joint 1,2,3,4


127

Gambar 5.56 Detail penulangan box joint 5,6,7


128

Gambar 5.57 Detail penulangan box joint 8,9,10


129

Gambar 5.58 Detail penulangan box joint 11,12


130

Gambar 5.59 Detail penulangan box joint 13,14


131

5.7 PERENCANAAN PERHITUNGAN GESER


Desain kekuatan geser dilakukan setelah desain lentur dari
komponen struktur dilengkapi. Prosedurnya perencanaan geser
adalah sebuah analisis untuk menentukan kekuatan geser beto Vc
yang dibandingkan terhadap tegangan geser batas pada
penampang yang diketahui Vu.

Gambar 5.60. Analisa ACI untuk kekuatan geser-distribusi gaya


geser sepanjang bentang

Pengaruh tegangan geser ini ialah untuk menimbulkan


tegangan-tegangan tarik utama pada bidang-bidang diagonal.
Kekuatan beton terhadap geser murni adalah hampir dua kali lipat
dari pada terhadap tarik.
Keruntuhan lokal pertama-tama tampak dalam bentuk retak-
retak akibat tarikan diagonal di bagian-bagian yang tegangan
gesernya tinggi.
132

Gambar 5.61. Tegangan-tegangan tarik utama pada sebuah batang


prategang

Gambar 5.62. Retak akibat tegangan geser


133

Perhitungan gaya geser pada beton pratekan berdasarkan SNI


03-2847-2002 pasal 13.4.2) adalah sebagai berikut :
1. Retak geser pada badan didekat tumpuan (Vcw)
Vcw =
Dimana :
Vcw = kuat geser beton yang disumbangkan oleh
beton pada saat terjadinya keretakan diagonal
akibat tegangan tarik utama yang berlebihan
pada penampang
fc’ = Mutu beton prategang = 65 Mpa
fpc = tegangan tekan pada beton (setelah
memperhitungkan semua kehilangan
prategang) pada titik berat penampang yang
menahan beban luar atau pada pertemuan
antara badan dan flens jika titik berat
penampang terletak dalam flens
bw = lebar badan
Vp = tekanan tendon keatas
d = jarak dari CGS ke serat penampang

2. Retak lentur geser miring (Vci)

Vci =

Dimana :
Vci = kuat geser nominal yang disumbangkan oleh
beton pada saat terjadinya keretakan diagonal
akibat kombinasi momen dan geser
fc’ = Mutu beton prategang = 65 Mpa
bw = lebar badan
d = jarak dari CGS ke serat penampang
Vd = gaya geser pada penampang akibat beban mati
tidak terfaktor
VL = gaya geser pada penampang akibat beban luar
tidak terfaktor
134

Mcr = Momen yang menyebabkan terjadinya retak


lentur pada penampang akibat beban luar

Perhitungan gaya geser Ultimate dan ketentuan tulangan


sengkang digunakan perumusan sebagai berikut :
 Penulangan geser
Penulangan sengkang diperlukan bila :
Vn =
Dimana :
Vn = beban nominal
Vc = kekuatan nominal
Vn = Vs + Vc
Kekuatan Pikul Sengkang
1. Sengkang tegak lurus

2. Sengkang miring

Dimana :
Av = luas tulangan geser dalam daerah sejarak s atau
luas tulangan geser yang tegak lurus terhadap
tulangan lentur tarik dalam suatu daerah sejarak s
(luas tulangan vertikal = 4 As untuk lebar badan 2
bw)
 = sudut antara sengkang miring dan sumbu
longitudinal dari komponen struktur
Vs = kelebihan gaya geser nominal pada keadaan batas
Vn lebih besar daripada yang dapat dipikul beton
Vc , disini Vc adalah nilai terkecil antara V cw atau
Vci
135

Ada beberapa ketentuan yang harus diperhatikan dalam


mendesain tulangan sengkang geser, diantaranya adalah sebagai
berikut :
 fy < 400 Mpa
 Jarak tulangan geser

maka

maka

 Tulangan sengkang minimum dipasang didaerah :


½ Vc < < Vc

Av min = mm

 Kemampuan tulangan geser maximum


Av max = 2/3 ∙

Kontrol tulangan geser dilakukan pada bentang yang terbesar


yaitu pada bentang tengah dengan asumsi bentang ini mengalami
gaya gesekan terbesar karena memiliki bentang terbesar.
Perhitungan Gaya Geser pada bentang tengah didasarkan
pada adanya gaya post tension yaitu Group 1 tendon kantilever
dan Group 3 tendon menerus tengah bentang. Dalam perhitungan
gaya geser nantinya akibat gaya post tension, hasil dari gaya geser
kedua Group post tension yang sesuai dengan letak jackingnya
akan dijumlahkan dan selanjutnya di Superposisikan dengan gaya
geser akibat beban mati dan beban hidup yang ada di bentang
tengah.
136

5.7.1 Perhitungan gaya geser


Kontrol tulangan geser dilakukan pada bentang yang
terbesar yaitu pada bentang tengah ( 95 m ) karena bentang
ini mengalami gaya gesekan terbesar akibat bentang lebih
besar bila dibandingkan bentang 47,50 m. Perhitungan gaya
geser pada bentang tengah didasarkan pada gaya post tension
tendon kantilever dan tendon menerus tengah bentang
kemudian gaya geser kedua group post tensioning yang sesuai
dengan letak jackingnya masing – masing akan dijumlahkan
dan selanjutnya disuperposisikan dengan gaya geser akibat
beban mati dan beban hidup yang bekerja pada tengah
bentang.
a. Perhitungan gaya geser akibat tendon kantilever
Contoh perhitungan diambil joint 22
F(22) = 27.015.261 N
L(22) = 47,50 m
e(22) = 0,931 m
P(22) =

= 89,213 N/m
Vp(22) = p x L = 89,213 x 28,75
= 2.564.861 N
Vu’ = 1,2 Vd + 1,6 VL
= ( 1,2 x 3.309.938 ) + ( 1,6 x 1.350.588 )
= 6.132.866 N
VU(22) = Vu’ – Vp
= 6.132.866 N –2.564.861 N
= 3.568.005 N

b. Perhitungan gaya geser akibat tendon tengah bentang


Contoh perhitungan diambil joint 22
F(22) = 18.748.558 N
L(22) = 95 m
e(22) = 1,31 m
137

P(22) =
= 21.775 N/m
Vp(22) = p x L = 21.775 x 26,25
= 408.286 N
Vu’ = 1,2 Vd + 1,6 VL
= ( 1,2 x 660.813 ) + ( 1,6 x 10.688 )
= 810.076 N
VU(22) = Vu’ – Vp
= 810.076 N – 408.286 N
= 401.790 N

c. Perhitungan gaya geser akibat tendon menerus


Contoh perhitungan diambil joint 22
F(28) = 22.988.777 N
L(28) = 95 m
e(28) = 2,72 m
P(28) =
= 55.462 N/m
Vp(28) = p x L = 55.462 x 47,5
= 2.634.460 N
Vp(22) =

= 970.590 N
Vu’ = 1,2 Vd + 1,6 VL
= ( 1,2 x 4.056.750 ) + ( 1,6 x 931.050 )
= 6.357.780 N
VU(25) = Vu’ – Vp
= 6.357.780 N – 970.590 N
= 5.387.190 N
138
139

Tabel 5.31 Gaya geser akibat tendon kantilever

Tabel 5.32 Gaya geser akibat tendon tengah bentang


140

Tabel 5.33 Gaya geser akibat tendon menerus


141

Perhitungan gaya geser superposisi akibat tendon kantilever,


tendon tengah bentang dan tendon menerus :
VU(22) Spp = VU(22) tendon kantilever + VU(22) tendon tengah
bentang + VU(22) tendon menerus
= 3.568.005 + 401.790 + 5.387.190
= 9.356.985 N

Tabel 5.34 Perhitungan VU Superposisi


142

Dari hasil perhitungan superposisi gaya geser pada kantilever


maupun segmen tengah digunakan untuk perencanaan dan
perhitungan tulangan geser yang diperlukan.
Berikut contoh perhitungan geser sebagai berikut :
5.7.2 Perhitungan retak geser pada badan (Vcw) pada joint 22
Vu = 9.356.985 N
d = e + yb
= 931,35 + 1.841,57
= 2.772,92 mm
fpc = = 1,937 Mpa

Vcw =
=

= 50.948.423 N

Tabel 5.35 Perhitungan retak geser pada badan (Vcw)


143

5.7.3 Perhitungan retak lentur geser miring (Vci) pada joint 22

Vci =

Dimana :
Vd = 8.027.501 N
VL = 2.382.905 N
Mmax = 32.199.609.400 N
F = 16.717.737 N

fpe =

= 3,75

fd =
144

Mcr =

= 34.605.036.424 Nmm

Vci =

= 5.589.160 + 8.027.501 + 2.560.916


= 16.177.422 N

15.968.583 N
16.177.422 N > 15.968.583 N

Tabel 5.36 Perhitungan retak geser miring (Vci)


145

5.8 PERHITUNGAN KEKUATAN DAN STABILITAS


5.8.1 Kontrol Momen Retak
Momen retak tercapai ketika box menghasilkan retak-
retak rambut pertama, yaitu pada saat tegangan tarik serat terluar
mencapai modulus keruntuhannya.

Gambar 5.63. Retak rambut akibat melebihi momen retak

Dengan menggunakan analisa elastik balok prategang,


perumusan tegangan pada saat jacking untuk daerah tarik serat
bawah adalah :
146

Dengan mentraposekan suku-suku pada perumusan diatas,


maka nilai momen retak tahana balok adalah :

Atau
Dimana :
M1 = momen akibat eksentrisitas gaya prategang = F0 ∙ (e + Kt)
M2 = momen tahanan dari beton sendiri = Fr ∙ Wb
F0 = Gaya prategang
e = eksentrisitas gaya prategang
Wb = tahanan serat bawah
Fr = Modulus retak = 0,7 √fc’

Suatu balok dapat dikatakan memenuhi syarat retak jika


momen yang bekerja padanya tidak melampaui momen retak
tahanan balok. Perhitungan Kontrol Momen retak tahanan balok
dilakukan pada saat Pelaksanaan dan pada saat bentang jembatan
sudah tersusun keseluruhan yang dikontrol pada daerah tumpuan
dan lapangan.
1. Kontrol momen retak akibat post tensionong group 1, yaitu
pada saat pelaksanaan/pemasangan segmen kantilever.
F0 = 54.634.276 N
Mu = 187.016.133.000 Nmm
e = 1.876,17 mm
wb = 17.938.575.548 mm3
kt = 1.504,91 mm
fr = = 5,64 Mpa
Mcr = F0 x ( e + kt ) + Fr x Wb
Mcr = 54.634.276 x (1.876 + 1.504) + (5,64 x 17.938.575.548)
= 285.960.951.779 Nmm
147

Mcr = 285.960.951.779 Nmm > Mu = 187.016.133.000 Nmm (Ok)


2. Kontrol momen retak pada bentang tengah / pemasangan
segmen tengah.
F0 = 53.087.145 N
Mu = 17.442.589.100 Nmm
e = 1.080,57 mm
wb = 3.192.939.702 mm3
kt = 456,79 mm
fr = = 5,64 Mpa
Mcr = F0 x ( e + kt ) + Fr x Wb
Mcr = 53.087.145 x (1.080 + 456) + (5,64 x 3.192.939.702)
= 99.636.676.916 Nmm
Mcr = 99.636.676.916 Nmm > Mu = 17.442.589.100 Nmm (Ok)

3. Kontrol momen retak pada saat balok sudah menerus (semua


segmen telah terpasang)
Pada tumpuan di pilar.
F0 = 9.303.799 N
Mu = 49.791.448.700 Nmm
e = 2.721,69 mm
wb = 19.106.233.555 mm3
kt = 1.559,69 mm
fr = = 5,64 Mpa
Mcr = F0 x ( e + kt ) + Fr x Wb
Mcr = 9.303.799 x (2.721+ 1.559) + (5,64 x 19.106.233.555)
= 147.660.724.625 Nmm
Mcr = 147.660.724.625 Nmm > Mu = 49.791.448.700 Nmm (Ok)

4. Kontrol momen retak pada saat balok sudah menerus (semua


segmen telah terpasang)
Pada tengah bentang
F0 = 22.988.777 N
Mu = 41.376.585.400 Nmm
e = 1.343,07 mm
wb = 3.192.939.702 mm3
148

kt = 456,79 mm
fr = = 5,64 Mpa
Mcr = F0 x ( e + kt ) + Fr x Wb
Mcr = 22.988.777 x (1.343 + 456) + (5,64 x 3.192.939.702)
= 59.396.197.394 Nmm
Mcr = 59.396.197.394 Nmm > Mu = 41.376.585.400 Nmm (Ok)

5.8.2 Kontrol Momen Batas


Kondisi keruntuhan batas balok akan terjadi lebih awal
pada tengah bentang pada saat service. Momen batas tahanan box
ini akan merupakan kontrol dimana momen ultimate box tidak
boleh kurang dari Mcr, serta momen tahanan batas φMn tidak
boleh lebih kecil dari momen terfaktor Mu yang bekerja pada box.
Dengan menggunakan kesetimbangan statis aksial dan
momen pada box yang akan dianalisa, maka dapat dicari momen
tahanan batas balok bedasarkan perumusan di bawah ini :
 Kesetimbangan aksial
T = C
Aps ∙ fps = b ∙ a ∙ 0,85 ∙ fc’

a =

 Kesetimbangan statis momen


Mn =

φMn = =
 Indek penulangan

ωp = ≤ 0,3 ,

dimana : ρp =
149

fps =

fpu = 1860 MPa

Dari perumusan diatas, maka kita menghitung momen


tahanan batas balok sebagai berikut :
1. Momen batas untuk bentang tengah pada lapangan
Momen akibat berat sendiri :
Aps = jumlah strand satu sisi box girder x 2 x 98,71
= 4 x 31 x 2 x 98,71
= 24.480,08 mm2

p = = 0,00204
fps =

= 1.805,71 Mpa
Ttot = Aps x fps
= 24.480,08 x 1.805,71
= 44.203.943 N

Kesetimbangan statis aksial :


C =T

a = = = 160,01 mm

Mn =
150

= =

= 102.552.831.748 N mm
φMn = 0,9 × 102.552.831.748
= 92.297.548.574 N mm > Mcr = 59.396.197.394 Nmm (ok)
5.8.3 Kontrol Gaya Membelah
Didalam balok beton pratekan, tegangan pratekan dikenal
sebagai beban terpusat yang bekerja pada pada bagian yang relatif
sangat kecil dari keseluruhan tinggi bentang. Dalam daerah
angker dari suatu beton pratekan post tensioning, keadaan
distribusi tegangan rumit serta bersifat tiga dimensi.
151

Gambar 5.64. Tegangan pada daerah angker


Di dalam kebanyakan pasca tarik ini kawat-kawat pratekan
dipasang di dalam lubang atau saluran kabel, yang dibentuk leleh
dulu di dalam batang kemudian ditegangkan serta diangker pada
permukaan ujung. Sebagai akibatnya, maka gaya-gaya besar yang
terpusat dalam daerah yang relatif sempit tersebut, gaya-gaya
yang tidak tetap ini berubah secara progresif ke distribusi linier
yang tetap, menimbulkan tegangan-tegangan geser dan
transversal. Rumus yang digunakan :

σijin = 0,5 √fc’


σ0 = ,
152

Dengan menggunakan tabel lyengara, didapat σy max


σy max < σijin , tidak perlu tulangan membelah (menggunakan
tulangan minimum)
σy max > σijin , perlu tulangan membelah

Perhitungan tulangan gaya membelah ini dihitung


berdasarkan group-group tendon, yaitu :
1. Penulangan gaya membelah akibat tendon group 1
(kantilever)
Sebagai contoh dihitung gaya membelah pada joint 4 dimana
dipasang 1 tendon VSL 19Sc.

Gambar 5.65. Penampang Tendon Group 1 pada joint 4


Ftendon kantilever = 4.800.000 N
b = lebar penampang = 400 mm
a1 = tinggi angker = 265 mm
d1 = 2.750 mm
Dari tabel Iyengara diperoleh σy max = koefisien yang
tergantung (a/d) × σ0
a1/d1 = 265 / 2.750 = 0,097 didapat koefisien dari grafik
lyengara = 0,36
σ01 = = 4,3 MPa
σu = 0,5 √fc’ = 4,031 MPa
maka :
153

σmax = 4,3 × 0,36 = 1,58 Mpa < σu = 0,5 √fc’ = 4,031 MPa
Maka dipakai tulangan membelah minimum
Sehingga :
T =

= = 1.084.363 N
Dari grafik Iyengara didapat bahwa daerah penyebaran gaya
dimulai pada jarak 0,195 × h = 0,195 × 2.750 = 535 mm
Kebutuhan tulangan untuk tiap web
As = = 3.388 mm2
Digunakan tulangan D19
Jumlah tulangan = = 13 buah, dipasang
dengan jarak 100 mm

5.8.4 Kontrol Torsi


Kontrol torsi digunakan untuk menganalisa keandalan box
girder bila menerima beban aksentrisitas. Kehancuran girder
beton akibat torsi jarang disebabkan oleh tulangan geser,
melainkan lebih disebabkan oleh tegangan tarik utama yang
diakibatkan tegangan geser. Di bawah ini diberikan ilustrasi
beban-beban yang menyebabkan torsi.

1. Perhitungan momen penyebab torsi


154

Gambar 5.66. Skema beban hidup merata yang menyebabkan


torsi

Gambar 5.67. Skema beban hidup garis yang menyebabkan torsi

Dari gambar diatas dapat dijumlahkan momen-momen


yang menyebabkan torsi yaitu momen akibat beban hidup merata
UDL, akibat beban hidup garis dan beban angin T ew sebagai
berikut:

a. Momen akibat beban hidup merata UDL


155

UDL =

= 5,26 kN/m2
MUDL =

= 1.803,9 kNm

b. Momen akibat beban hidup KEL


KEL = 44 + ( 1 + DLA ) = 44 + ( 1 + 0,3 )
= 57,2 kN
MKEL = KEL x s = 57,2 x 2,5
= 143 kNm

c. Momen akibat beban angin oleh kendaraan setinggi 2m diatas


lantai kendaraan. Ada 2 beban angin yang bekerja pada
sruktur jrmbatan:
 Beban angin tersebut bekerja pada truk setinggi 2m yang
berada diatas jembatan sebesar T ew-2 sepanjang 9m
sehingga menimbulkan momen. Adapun persamaan
tersebut adalah sebagai berikut:
MTew-2 = PTew-2 x (jarak antara ujung ketinggian truk
terhadap cgc box girder)
dimana:
Vw = kecepatan angin = 30m/dtk
Cw = Koefisien seret tergantung dari harga b/d
(BMS1992 tabel 2.9)
Tew-2 = 0,0012 x Cw x Vw2
B/d = 9.600/6.750 = 1,4 → Cw = 1,74
Tew-2 = 0,0012 x 1,74 x 352 = 2,56 kN/m

PTew-2 = Tew-2 Ltruk = 2,56 9


= 23 KN
MPTew-2 = PTew-2 (2 + Yt) = 23 (2 + 2,872)
= 112 KNm
156

 Beban angin yang bekerja pada sisi box girder sebesar T ew


akan menimbulkan momen. Adapun persamaan tersebut
adalah sebagai berikut:
M Tew = Tew {cgc- ½ Hbox}
Ab = Luas samping box girder yang terkena
angin = 15,125
Tew = 0.0006 Cw Vw2 Ab
= 0.0006 2.1 302 15,125
= 17,15 KN
MTew = Tew (cgc – ½ Hbox)
= 17,15 (2,872 – ½ 5,75)
= 0,05 kNm

Jadi momen total yang menimbulkan torsi adalah sebagai


berikut:
Tu = 1.6 (MUDL + MKEL) + MTEW + MTEW-2
= 1.6 (1.803,9 + 143) + 0,05 + 112
= 3.227,25 kNm
= 3.227.250.000 Nmm

2. Perhitungan Torsi Ijin


a. Perhitungan konstanta torsi

 Pelat atas

dimana :
x1 = tebal flens atas = 250 mm
y1 = lebar flens atas = 9.600 mm
157

 Pelat badan

dimana :
x1 = tebal badan = 400 mm
y1 = lebar badan = 5.750 mm

 Pelat bawah

dimana :
x1 = tebal flens bawah = 950 mm
y1 = lebar flens bawah = 4.200 mm

Jadi konstanta torsi :


Σ η ∙ x2 ∙ y = (0,45 x 2502 x 9.600)+(2 x 0,43 x 4002 x 5.750)
+ (0,36 ∙ 9502 ∙ 4.200)
= 270.000.000 + 791.200.000 + 1.364.580.000
= 2.425.780.000
158

Tcr = =

= 51

b. Torsi ijin
TU ijin = 0,25 ∙ φ ∙ Tcr ∙ Σ η ∙ x2 ∙ y
= 0,25 x 0,85 x 51 x 2.425.780.000
= 26.289.390.750 N mm

TU ijin > TU
26.289.390.750 Nmm > 3.227.250.000 Nmm

Jadi efek torsi diabaikan (tidak memerlukan tulangan torsi)

5.8.5 Kontrol Joint Antar Segmen


Tegangan yang terjadi pada joint antar segmen jembatan
segmental tidak boleh melebihi dari tegangan geser yang diijikan
pada beton yang disyaratkan. Adapun perencanaan joint pada
balok segmental diambil sebagai contoh adalah joint 14 yang
menghubungkan elemen 13 dan 14. data-data penampang dan
perhitungan kontrol joint (tegangan di titik A dan B pada joint 14
yang menerima geser terbesar) adalah sebagai berikut :
Bila ada gaya normal atau momen lentur bekerja dengan
gaya geser, maka sejumlah elemen akan mendapatkan dua macam
tegangan yaitu tegangan normal dan geser. Tegangan dalam
bidang ini sangat penting dalam memperkirakan sifat bahan yang
diberikan.
H = 5,75 m
159

yt = 2,8717 m
yb = 2,8783 m
A = 12,25 m2
Hbottom = 0,95 m
I = 54,99 m4

H = 20 x 5 + 5 x 2 + 10 x 11 + 32,5 x 8 + 95 = 575 cm
160

Gambar 5.68. Sketsa joint antar segmen pada joint 14

Luasan beton yang memikul geser Ac sambungan


161

= bw x d
= 2 x 40 x (20 x 3 + 32,5 x 4)
= 2 x 40 x 190
= 15.200 cm2

Gaya geser yang bekerja pada joint 14 akibat beban luar


= Vu = 1.825 ton

Momen yang bekerja pada joint 14 akibat beban luar


= Mu = 28.802 – 22.858
= 5.944 ton.m = 6.000 ton.m

Mn = Mu / 0,8 = 7.500 ton.m

Gaya yang bekerja pada joint :


Ftendon = 2.160 ton
α= = 10,28°

Gaya yang bekerja pada joint akibat Ftendon :


Fv = F × sin α = 2.160x sin 10,28° = 385 ton
Fh = F × cos α = 2.160 x cos 10,28° = 2.125 ton

Akibat beban luar :


Vu = 1.825 ton
Mn = 7.500 ton m

Tegangan geser dan tegangan normal penampang joint 14 :


V = Vn – Fv = ( 1.825/ 0,6) – 385 = 2.656 ton
τA = = = 175 kg/cm2

Letak titik A dan B terhadap cgs :


ya = letak titik A terhadap cgs = 287,17 – 20 = 267,17 cm
yb = letak titik B terhadap cgs = 287,83 – 95 = 192,83 cm
162

σijin tarik = 0,5 √fc’ = 0,5 √65 = 4,031 Mpa = 403,1 t/m2
σijin tekan = 0,45 × fc’ = 0,45 × 65 = 29,25 Mpa = 29.250 t/m2
Tegangan di titik A dan B :

σA =

= = -173 + 365
= 192 t/m2 (tarik)

σB =

= = -173 - 263
= -436 t/m2 (tekan)
Tegangan A :
σ13 =

σA1 =
=
= 295 t/m2 < 385 t/m2 (ok)
σA3 =
=
= -103 t/m2 < -2.125 t/m2 (ok)

Tegangan B :
σ13 =

σB1 =
=
= 62 t/m2 < 385 t/m2 (ok)
163

σB3 =
=
= - 498 t/m2 < -2.125 t/m2 (ok)

Maka pakai tulangan praktis pada pertemuan 2 segmen tersebut


sebesar tulangan susut :
Untuk 1 badan selebar bw = 40 cm diperlukan tulangan
As = 0,002 ∙ bw ∙ d
= 0,002 ∙ 40 ∙ 190 = 15,2 cm2

Dipasang 5 buah tulangan, jadi untuk 1 buah tulangan = 15,2 / 5


= 3,04 cm2

Dipakai 3 tulangan D13 untuk lebar bw, maka tulangan terpasang


As tepasang = 3 × (0,25 × 3,14 × d2) = 3 × (0,25 × 3,14 × 1,22)
= 3,39 cm2
Jadi untuk 1 badan (lebar bw = 40 cm) dipakai 5 buah 3 D12.
dipakai panjang penyaluran untuk tulangan praktis pada
sambungan antar segmen adalah 300 mm.

Gambar 5.69. Penulangan sambungan

3D13
164

5.8.6 Kontrol Lendutan


Lendutan pada komponen jembatan tidak boleh lebih dari
y = , dimana L adalah panjang jembatan yang ditinjau
(B.M.S). Kontrol lendutan dilakukan pada saat transfer dimana
beban luar belum bekerja dan juga pada saat service setelah beban
luar bekerja dan juga pada saat service setelah beban luar bekerja,
lendutan yang terjadi pada struktur jembatan diakibatkan oleh:
 Beban mati
 Beban hidup UDL dan KEL
 Gaya pratekan tendon
Pada saat transfer dimana baru berat sendiri yang bekerja terjadi
lendutan keatas yang disebabkan oleh tekanan tendon keatas pada
waktu penarikan kabel pratekan. Lendutan yang terjadi diimbangi
oleh beban service sehingga menimbulkan lendutan pada balok
dan diharapkan lendutan yang terjadi tidak melebihi lendutan
maksimum yang diijinkan.
1. Lendutan saat transfer
a. Lendutan akibat beban mati

136,95 mm ()
b. Lendutan akibat gaya pratekan pada tendon
F tendon = 28.735.971 N
=
34,2

= 200,75 mm ()
Total lendutan yang terjadi saat transfer
 = 136,95 mm – 200,75 mm = 63,8 mm ()
2. Lendutan saat service
165

a. Lendutan akibat beban mati

136,95 mm ()
b. Lendutan akibat gaya pratekan pada tendon
Setelah gaya pratekan berkurang akibat overstressing,
maka :
F tendon = 0,8 F0 = 0,8 x 28.735.971 = 22.988.777 N
=
27,4

= 160,85 mm ()
c. Lendutan akibat beban hidup

= 23,50 + 3,55= 27,05 mm ()

Total lendutan yang terjadi saat service


 = 136,95 – 160,85 + 27,05 = 3,15 mm ()

Syarat
166

5.9 DESAIN PERLETAKAN


Perletakan disesain dengan menggunakan perletakan yang
terdiri dari susunan lapisan karet dan diperkuat dengan pelat baja
atau yang lebih dikenal dengan sebutan Rubber bearing pad.
Untuk perencanaan bearing pad pada pilar dihitung sebagai
berikut :

5.9.1 Perencanaan Prestressing Rods


Gaya jacking yang digunakan adalah F jacking.
Δ Momen pelaksanaan = MBS joint 13 – MBS joint 12
= 22.858,41 ton.m – 18.701,61 ton.m
= 4.156,8 ton.m
Jarak antar prestrassing Rods e = 5 m
Fjacking = [4.156,8 / 5] = 831,36 ton
Ftendon = [Fjacking / 0,8] = 1.039,2 ton

Direncanakan prestressing Rods dipakai 4 buah (2 pasang)


Jika momen bekerja kekiri ditahan oleh 2 buah prestressing rods
kanan sedangkan 2 yang lainnya tidak bekerja (berfungsi sebagai
tumpuan) dan sebaliknya.

Jumlah strand = = = 40,4

Maka, pada sgmn pilar dijacking dngn 4 buah angkur VSL 42 Sc.
167

Gambar 5.70. Potongan Box Girder Tampak Depan


5.9.2 Perencanaan Perletakan pada Pilar
Dalam menetukan dimensi dari elastomer didasarkan
pada beban vertikal dan horizontal yang terjadi pada tumpuan
adalah :
1. Pembebanan Vertikal
V = reaksi beban mati + beban lalu lintas
= 2.466 ton + 420 ton = 2.886 ton
2. Pembebanan horisontal
a. akibat gaya rem dan traksi 28 ton
b. akibat gaya gesek
Gaya gesek pada tumpuan yang ditinjau dari bahan antara
karet dan besi sebesar 0.16 dari beban mati.
FA = 0.16 x 2.886 ton
= 462 ton
Beban Horizontal total = 28 ton + 432 ton = 490 ton
Pada pilar direncanakan memakai 2 bearing pad yang
masing-masing akan menerima gaya vertikal sebesar = 2.886/ 2 =
168

1.443 ton = 1.443.000 kg dan gaya horizontal = 490 / 2 = 245 ton


= 245.000 kg
Untuk desain dipakai elastomer dengan dimensi 700 mm
× 1400 mm, dengan data-data sebagai berikut
- Lebar elastomer (a) = 700 mm
- Panjang elastomer (b) = 1.400 mm
- Tebal tiap lapisan karet (t) = 12 mm
- Tebal tiap pelat baja (ts) = 3 mm
- Jumlah lapisan karet maksimum (n) = 11 lapisan dipakai
5 lapis
- Rotasi maksimum = 0,9 ∙ 10-3 radian
Adapun susunan dari elastomer tersebut adalaha sebagai berikut :

Gambar 5.71. Susunan elastomer


Susunan elastomer tersebut terdiri dari
- 4 lapisan pelat baja tebal = 3 mm × 4 = 12 mm
- 5 lapisan karet tebal = 12 mm × 5 = 60 mm
Total tebal dari elastomer adalah = 12 + 60 = 72 mm

1. Kontrol Pembebanan
Kontrol pembebanan dilakukan untuk mengetahui apakah
perletakan yang dipilih telah mampu menerima beban yang
dipikulnya
Kontrol tersebut meliputi :
- Kontrol akibat beban vertikal
- Kontrol akibat beban horizontal
- Kontrol akibat rotasi
Kontrol akibat beban vertikal
169

Gambar 5.72 Pengaruh beban vertikal terhadap elastomer

τN = , dimana : σm = = 147 kg/cm2

Shape factor = β = = = 19,4

Maka : τN = = = 11,4 kg/cm2


Memenuhi syarat : τN ≤ 3G
11,4 ≤ 20,7

Kontrol akibat beban horizontal

Gambar 5.73. Pengaruh beban horizontal terhadap elastomer


Agar perletakan tetap pada kedudukannya, maka beban horizontal
harus dikontrol terhadap beban vertikal, yaitu sebagai berikut :
H≤f∙N
Dimana :
H = gaya horizontal yang mengakibatkan pergerakan
tersebut (dibandingkan antara pengaruh gaya rem,
pengaruh gempa dan pengaruh angin)
170

σm = tegangan tekan yang terjadi dibawah elastomer


(MPa) = 147 kg/cm2
= 14,7 MPa
N = V = reaksi akibat beban vertikal
f= = = 0,5
maka, H ≤ f ∙ N = 0,5 ∙ 1.443.000
245.000 kg < 721.500 kg (ok)

2. Kontrol terhadap pergeseran


 Syarat untuk slow deformation :
H=
Dimana : G = modulus geser = 6,9 kg/cm2
U = pergeseran maksimum pada permukaan
tumpuan
slow / fast deformation :
τH = > 0,7 G = 4,83 kg/cm2
U = ε ∙ L = 0,0003 × 9.500 cm = 2,85 cm
τH = = 15,2 kg/cm2 > 4,83 kg/cm2
(ok)

Kontrol akibat rotasi

Gambar 5.74. Pengaruh rotasi terhadap elastomer


171

τα =

dimana : α0 = rotasi pada pelat baja = 0,003 rad


αt = rotasi maksimum pada lapisan karet,
untuk t = 12 mm : 0,0009 rad

maka, τα = = 6,1 kg/cm2

 Kontrol τN + τα ≤ 4,5 G
11,4 + 6,1 ≤ 4,5 ∙ 6,9
17,5 ≤ 31,05 kg/cm2 (ok)
 Kontrol total τN + τH + τα ≤ 5 G <40
11,4+ 15,2 + 6,1 ≤ 5 ∙ 6,9 < 40
32,7 ≤ 34,5 < 40 kg/cm2 (ok)
 Kontrol terhadap tekukan (buckling)
T≤ dan T≥

72 ≤ 72 ≥
72 ≤ 140 mm 72 ≥ 70 mm
Jadi dipakai perletakan elastomer dengan ukuran 1400 mm ×
700 mm × 72 mm.
172

Gambar 5.75. Potongan box dengan elastomer

Gambar 5.76. Tampak samping box dengan elastomer

Anda mungkin juga menyukai